Sistem Pelaporan Keuangan Pemerintah Konsolidasian
Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2019
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1 . Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 2 . Revisi Anggaran adalah perubahan rincian anggaran yang telah ditetapkan berdasarkan APBN Tahun Anggaran 3. 20 1 9 dan disahkan dalarn Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 20 1 9 . Kernen terian Kernenterian Negara adalah yang selanjutnya disebut perangkat Pernerintah yang rnernbidangi urusan tertentu dalarn pernerintahan. 4 . Lernbaga adalah orgamsas1 non-Kernenterian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk rnelaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1 945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Bagian Anggaran Bendahara Urnurn Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelornpokkan dalarn bagian anggaran Kernenterian/ Lernbaga.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pernegang kewenangan penggunaan anggaran Kernenterian / Lernbaga.
Pernbantu Pengguna Anggaran Bendahara Urnurn Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kernen terian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang rnernperoleh kuasa dari PA untuk rnelaksanakan sebagian kewenangan tanggung jawab penggunaan anggaran Kernenterian/ Lernbaga yang bersangkutan. dan pada 9 . Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Urnurn Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari rnasing-rnasing PPA BUN baik di kantor pusat rnaupun kantor daerah atau satuan kerja di Kernenterian/ Lernbaga yang rnernperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk rnelaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PA/ KPA. 1 1 . DIPA Petikan adalah DIPA per satuan kerja yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi kinerja, nncian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi se bagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan satuan kerja. 1 2 . Pagu Anggaran adalah alokasi anggaran yang ditetapkan dalam DIPA untuk mendanai belanja pemerintah pusat dan/atau pembiayaan anggaran dalam APBN Tahun Anggaran 20 1 9 . 1 3 . Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/ L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kernen terian/ Lembaga yang disusun menurut bagian anggaran Kementerian/ Lembaga. 1 4 . Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rmcian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan untuk pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh KPA BUN. 1 5. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian/ Lembaga yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa program/kegiatan dan membebani dana APBN.
Penelaahan Revisi Anggaran adalah forum antara Kementerian Keuangan dan Kementerian/ Lembaga untuk memastikan kesesuaian usulan perubahan anggaran dengan pencapaian target-target yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana kerja pemerintah, rencana kerja Kementerian/ Lembaga, dan RKA-K/ L DIPA beserta alokasi anggarannya. 1 7. Kesesuaian adalah keterkaitan atal.l relevansi antara objek dengan instrumen yang digunakan. 1 8 . Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga yang selanjutnya disingkat DHP RKA-K/L adalah dokumen yang berisi rangkuman RKA-K/ L per unit eselon I dan program dalam suatu Kementerian/ Lembaga yang ditetapkan berdasarkan hasil penelaahan. 1 9 . Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RDP BUN adalah dokumen hasil penelaahan RDP BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit orgamsas1, fungsi, dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.
Rumusan Kinerja adalah rumusan yang ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan termasuk sasaran kinerja yang akan dicapai serta indikator sebagai alat ukur pencapaian kinerja meliputi rumusan program, hasil (outcome), kegiatan, keluaran (output) , indikator kinerja utama, dan indikator kinerja kegiatan. 2 1 . Program adalah penjabaran dari kebijakan sesuai dengan visi dan misi Kementerian/ Lembaga yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi unit eselon I atau unit Kementerian/ Lembaga yang berisi kegiatan untuk mencapai hasil (outcome) dengan indikator kinerja yang terukur.
Prioritas Pembangunan adalah serangkaian kebijakan yang dilaksanakan melalui prioritas nasional, program prioritas, kegiatan prioritas, dan proyek prioritas.
Prioritas Nasional adalah program/kegiatan/ proyek untuk pencapaian Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan kebijakan Presiden lainnya.
Program Prioritas adalah Program yang bersifat signifikan dan strategis untuk mencapai Prioritas Nasional. 25 . Kegiatan adalah penjabaran dari Program yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi Satker atau penugasan tertentu Kementerian/ Lembaga yang berisi komponen kegiatan untuk mencapai keluaran (output) dengan indikator kinerja yang terukur.
Kegiatan Prioritas adalah Kegiatan yang bersifat signifikan dan strategis untuk mencapai Program Prioritas.
Kebijakan Prioritas Pemerintah Yang Telah Ditetapkan adalah Program/ Kegiatan/keluaran (output) yang ditetapkan oleh Pemerintah setelah rencana kerja pemerintah ditetapkan dan/atau ditetapkan pada Tahun Anggaran 20 1 9 . 2 8 . Proyek Prioritas adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis dan jangka waktu tertentu untuk mendukung pencapaian Prioritas Pembangunan. 29 . Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesua1 dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-K/ L dan pengesahan DIPA, dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi anggaran.
Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. 3 1 . Lanjutan Pinjaman/Hibah Luar Negeri atau Pinjaman/Hibah Dalam Negeri adalah penggunaan kembali s1sa alokasi anggaran yang bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri atau pinjaman/hibah dalam negeri yang tidak terserap / tidak digunakan pada Tahun Anggaran 20 1 8, termasuk lanjutan untuk pelaksanaan Kegiatan pemberian hibah dan Pemberian Pinjaman.
Percepatan Penarikan Pinjaman/Hibah Luar Negeri atau Pinjaman/Hibah Dalam Negeri adalah tambahan alokasi anggaran yang berasal dari sisa komitmen pinjaman/ hibah luar negeri atau pinjaman/hibah dalam negeri yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan Kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada Tahun Anggaran 20 19, termasuk percepatan untuk pelaksanaan Kegiatan pemberian hibah dan Pemberian Pinjaman.
Ineligible Expenditure adalah pengeluaran-pengeluaran yang tidak diperkenankan dibiayai dari dana pinjaman/ hibah luar negeri karena tidak sesuai dengan naskah perjanjian pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Subsidi Energi adalah subsidi dalam bentuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Jenis BBM Tertentu (JBT) dan bahan bakar gas cair (Lique fied Petroleum Gas/ LPG) tabung 3 (tiga) kilogram untuk konsumsi rumah tangga dan usaha mikro, dan subsidi listrik.
Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Y ogyakarta.
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerin tahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta lembaga/ badan lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi. 38 . Sekretaris Jenderal/ Sekretaris Utama/ Sekretaris/ Pejabat Eselon I Kementerian/ Lembaga adalah Pejabat Eselon I selaku penanggung jawab Program yang memiliki alokasi anggaran (portofolio) pada bagian anggaran Kernen terian/ Lembaga. 39 . Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/ Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga.
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 4 1 . Sistem Aplikasi adalah sistem informasi atau aplikasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan untuk mendukung proses penyusunan dan penelaahan anggaran, pengesahan DIPA, dan perubahan DIPA. 42 . Sisa Anggaran Kontraktual adalah selisih lebih antara alokasi anggaran keluaran (output) yang tercantum dalam DIPA dengan nilai kontrak pengadaan barang/jasa untuk menghasilkan keluaran (output) sesuai dengan volume keluaran (output) yang ditetapkan dalam DIPA.
Sisa Anggaran Swakelola adalah selisih lebih antara alokasi anggaran keluaran (output) yang tercantum dalam DIPA dengan realisasi anggaran untuk mencapai volume keluaran (output) yang sudah selesai dilaksanakan.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah semua penerimaan Pemerintah Pusat yang diterima dalam bentuk pendapatan Sumber Daya Alam, pendapatan dari Kekayaan Negara Dipisahkan, pendapatan PNBP lainnya, dan pendapatan Badan Layanan Umum.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015.
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah.
Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas Pendapatan Pajak Dalam Negeri dan Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional.
Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pendapatan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya.
Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar.
Penerimaan Negara Bukan Pajak, yang selanjutnya disingkat PNBP, adalah semua penerimaan Pemerintah Pusat yang diterima dalam bentuk penerimaan dari sumber daya alam, pendapatan bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PNBP lainnya, serta pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).
Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada Kementerian Negara/Lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat BA-BUN, adalah bagian anggaran yang dikelola oleh Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal.
Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial.
Belanja Pemerintah Pusat Menurut Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai hasil ( outcome ) tertentu pada Kementerian Negara/Lembaga.
Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak sesuai kemampuan keuangan negara.
Transfer ke Daerah adalah bagian dari Belanja Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus, dana keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan dana transfer lainnya.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan negara yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disingkat DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan negara yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Umum, yang selanjutnya disingkat DAU, adalah dana yang bersumber dari pendapatan negara yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana Alokasi Khusus, yang selanjutnya disingkat DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan negara yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dana Transfer Lainnya adalah dana yang dialokasikan untuk membantu Daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan Dalam Negeri adalah semua penerimaan pembiayaan yang berasal dari perbankan dan nonperbankan dalam negeri, yang terdiri atas penerimaan cicilan pengembalian penerusan pinjaman, saldo anggaran lebih, hasil pengelolaan aset, penerbitan surat berharga negara neto, pinjaman dalam negeri neto, dikurangi dengan pengeluaran pembiayaan, yang meliputi alokasi untuk, penyertaan modal negara, dana bergulir, kewajiban yang timbul akibat penjaminan Pemerintah, dan cadangan pembiayaan untuk dana pengembangan pendidikan nasional.
Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, yang selanjutnya disebut SiLPA, adalah selisih lebih realisasi pembiayaan anggaran atas realisasi defisit anggaran yang terjadi dalam satu periode pelaporan.
Saldo Anggaran Lebih, yang selanjutnya disingkat SAL, adalah akumulasi neto dari SiLPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SiKPA) tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan.
Surat Berharga Negara, yang selanjutnya disingkat SBN, meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara.
Surat Utang Negara, yang selanjutnya disingkat SUN, adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya.
Surat Berharga Syariah Negara, yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut sukuk negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Surat Berharga Syariah Negara Berbasis Proyek ( Project Based Sukuk /PBS) yang selanjutnya disingkat SBSN PBS adalah sumber pendanaan melalui penerbitan SBSN untuk membiayai kegiatan tertentu yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara/Lembaga.
Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya, yang selanjutnya disingkat BPYBDS, adalah bantuan Pemerintah berupa Barang Milik Negara yang berasal dari APBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh BUMN berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga atau pada BUMN.
Dana Investasi Pemerintah adalah alokasi dana investasi Pemerintah untuk Pusat Investasi Pemerintah, penyertaan modal negara, dan/atau dana bantuan perkuatan permodalan usaha yang sifat penyalurannya bergulir, yang dilakukan untuk menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
Penyertaan Modal Negara, yang selanjutnya disingkat PMN, adalah dana APBN yang dialokasikan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai modal BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya dan dikelola secara korporasi, termasuk penyertaan modal kepada organisasi/lembaga keuangan internasional dan penyertaan modal negara lainnya.
Dana Bergulir adalah dana yang dikelola oleh BLU tertentu untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya.
Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya.
Kewajiban Penjaminan adalah kewajiban yang secara potensial menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada BUMN dan/atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam hal BUMN dan/atau BUMD dimaksud tidak dapat membayar kewajibannya kepada kreditur sesuai perjanjian pinjaman atau perjanjian jual beli dalam proyek kerjasama Pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur.
Pembiayaan Luar Negeri Neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman program dan pinjaman proyek dikurangi dengan penerusan pinjaman dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.
Pinjaman Program adalah pinjaman luar negeri yang diterima dalam bentuk tunai dimana pencairannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati kedua belah pihak yaitu Pemerintah dan Pemberi Pinjaman, seperti matrik kebijakan atau dilaksanakannya kegiatan tertentu.
Pinjaman Proyek adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu Kementerian Negara/Lembaga, termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan dan/atau diterushibahkan kepada pemerintah daerah dan/atau BUMN.
Penerusan Pinjaman adalah pinjaman luar negeri atau pinjaman dalam negeri yang diterima oleh Pemerintah Pusat yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah dan/atau BUMN yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui Kementerian Negara/Lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Persentase Anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara.
Tahun Anggaran 2015 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.
Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2016
Relevan terhadap
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2016. Menetapkan Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2016 sebagaimana tercantum dalam Lampiran ^yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2016 sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, digunakan sebagai pedoman operasional dalam pemenuhan target pembiayaan melalui utang dan pengelolaan portofolio utang tahun anggaran 2016. lfu C.
o.
KETIGA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Keputusan Direktur Jenderal ini mulai ^pada ^tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal ^25 ^November 2015. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2015 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, z.a hROBERTPAKPAHAN ^I LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL ^PENGELOLAAN PEMBTAYAAN DAN RISIKO NOMOR 7 3 /PR/2O15 TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN ^TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2016 STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI ^UTAITG TAHUN 2OL6 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN ^DAN ^RISIKO STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2OL6 KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha ^Esa, ^atas perkenan-Nya pen5rusunan Strategi Pembiayaan Tahunan melalui Utang ^Tahun 2016 dapat diselesaikan. Pemenuhan pembiayaan APBN tahun ^2016 dihadapkan pada tantangan atas kondisi pasar keuangan dan perekonomian, baik ^global maupun domestik. Kondisi pasar keuangan global diperkirakan ^masih diliputi ketidakpastian, terutama terkait dengan potensi ^peningkatan Fed ^Fund ^Rate. ^lsu relevan lainnya yang menjadi perhatian dalam pengelolaan utang ^adalah perlambatan perekonomian Tiongkok, lambatnya pemulihan ^perekonomian ^di Eropa pasca krisis utang, serta harga-harga komoditas ^yang diperkirakan ^masih akan tertekan. Tidak berbeda dengan kondisi global, perekonomian domestik ^juga ^sedang mengalami tekanan. Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dari ^rata-rata sebesar 67o untuk tahun 2010-2013 menjadi 5% di tahun 2014. Namun, ^realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2Ol5 sebesar 4,73o/o diyakini sebagai titik balik menuju prospek perekonomian yang lebih baik. Kondisi ^pasar keuangan juga kurang menguntungkan, dimana terjadi pelemahan nilai tukar rupiah dan peningkatan tingkat imbat hasil (yield) SBN yang berdampak langsung pada pengelolaan utang negara serta pembiayaan melalui utang. Pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah defisit neraca pembayaran yang dipicu oleh tingginya kebutuhan valas untuk transaksi dan pembiayaan utang dan pelemahan harga komoditas yang mengakibatkan penurunan ekspor. Strategi ini merupakan pedoman pelaksanaan bagi pengelola utang dalam ^rangka memenuhi target pembiayaan melalui utang tahun 2016. Strategi ini ^juga sebagai pedoman dalam pembiayaan kembali utang jatuh tempo dan pedoman untuk pengelolaan portofolio utang agar tercapai portofolio utang yang optimal dengan biaya yang efisien dan risiko yang terkendali. Untuk memenuhi aspek transparansi pengelolaan utang, strategi ini dapat diakses oteh publik melalui uebsite Kementerian Keuangan. Publikasi ini ^juga untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan publikasi ini diharapkan pengelolaan utang ^pemerintah dapat memenuhi aspek-aspek tata pemerintahan yang baik ^(good ^gouemancel, transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dengan didukung oleh ^peran aktif masyarakat. Jakarta, 1g Desember 2015 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, 1a ROBERT PAKPAHAN DAFTAR ISI Daftar Isi ............ Daftar Gambar Daftar Tabel Latar Belakang Tujuan Strategi.... Kebijakau Umum Pembiayaan Tahunan Kebutuhan Pembiayaan APBN 2016 ....... Strategi Pembiayaan Utang Tunai 1. Pembiayaan Rupiah 2. Pembiayaan Valas 3. Pengelolaan Portofolio 4. Fleksibilitas dan Potensi Tambahan Pembiayaan Utang Strategi Pembiayaan Kegiatan/ Proyek.... 1. Pinjaman Luar Negeri ............... 2. Pinjaman Dalam Negeri 3. Pembiayaan Proyek melalui SBSN Indikator Risiko Pembiayaan Utang 1, Risiko Tingkat Bunga (Interest Rate Risk) 2. Risiko Pembiayaan Kembali (Refinancing Risk) ........ 3. Risiko Nilai T-rkar (Exchange Rate Risk) Ekspektasi Portofolio Utang di Akhir Tahun 2016 ........ Penutup Lampiran: Lampiran 1 : Rencana Penarikan Pinjaman Luar Negeri . .............. Lampiran 2 : Rencana Penarikan Pinjaman Dalam Negeri Lampiran 3 : 9 10 10 Gambar 1 Gambar 2 DAFTAR GAMBAR Pembiayaan Utang Tahun 2016 Ekspektasi Indikator Risiko Portofolio Utang Akhir Tahun 2016 ........ DAFTAR TABEL 8 Tabel Tabel Tabel 1 2 J Rincian Pembiayaan melalui Utang Tahun 2016 Range Penerbitan SBN Domestik Melalui Lelang Target Indikator Pembiayaan Utang Tahun 2O16 3 4 7 STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2016 LATAR BELAI{ANG Salah satu arah kebijakan dalam Anggaran Pendapatan dan ^Belanja ^Negara (APBN) tahun 2016 adalah memberikan stimulus pada perekonomian untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung ^pencapaian ^target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3o , Pemerintah menempuh kebijakan ^fiskal ekspansif dengan besaran defisit yang direncanakan sebesar Rp273.178,9 ^miliar atau 2,15% dari PDB sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang ^Nomor ^14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ^Tahun ^Anggaran 2016 (UU No. 14l2015). Pemenuhan pembiayaan APBN tahun 2O16 dihadapkan ^pada tantangan ^atas kondisi pasar keuangan dan perekonomian baik global maupun domestik. ^Kondisi pasar keuangan global diperkirakan masih diliputi ketidakpastian, terutama terkait dengan potensi peningkatan Fed Fund Rate seiring ^tanda-tanda kebangkitan ekonomi Amerika Serikat. Isu relevan lainnya ^yang menjadi ^perhatian dalam pengelolaan utang adalah perlambatan perekonomian Tiongkok, ^lambatnya pemulihan perekonomian di Eropa pasca krisis utang, serta harga-harga komoditas yang diperkirakan masih akan tertekan. Tidak berbeda dengan kondisi global, perekonomian domestik ^juga ^sedang mengalami tekanan. Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dari ^rata-rata sebesar 6% untuk tahun 2010-2013 menjadi 5% di tahun 2014. Namun, ^realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2O15 sebesar 4,73oh diyakini sebagai titik balik menuju prospek perekonomian yang lebih baik. Kondisi ^pasar keuangan juga kurang menguntungkan, dimana terjadi pelemahan nilai tukar rupiah dan peningkatan tingkat imbal hasil SBN yang berdampak langsung pada ^pengelolaan utang negara serta pembiayaan melalui utang. Pelemahan nilai tukar ^rupiah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah defisit neraca ^pembayaran yang dipicu oleh tingginya kebutuhan valas untuk transaksi dan pembiayaan utang dan pelemahan harga komoditas yang mengakibatkan ^penurunan ^ekspor. Dengan memperhatikan hat-hal tersebut di atas, maka pengelolaan utang tahun 2O16 memerlukan adanya arahan kebijakan agar target pembiayaan utang ^dapat dipenuhi dengan biaya yang efisien dan risiko yang terkendali. Arahan kebijakan tersebut akan dituangkan dalam Strategi Pembiayaan Tahunan melalui Utang Tahun 2016, yang memuat kebutuhan pembiayaan utang, komposisi ^pemenuhan pembiayaan utang, arah kebijakan pengelolaan utang setiap instrumen, dan beberapa kebijakan khusus yang diperlukan untuk mengelola utang ^yang akuntabel dan transparan. TUJUAN STRATDGI Trrjuan Strategi Pembiayaan Tahunan melalui Utang Tahun 2016 adalah untuk:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan melalui utang tahun 2016 dan membiayai kembali utang jatuh tempo dengan biaya yang efisien dan risiko ^yang terkendali;
Mendukung pengembangan pasar SBN domestik untuk meningkatkan elisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang;
Meningkatkan akuntabilitas publik sebagai bagian dari ^pengelolaan utang Pemerintah yang transparan dalam rangka mewr-rjudkan tata kelola pemerintahan yang baik. t KEBIJAKAIiI UMUM PEMBIAYAAI{ TNIUNAN Kebijakan umum yang digunakan dalam ^pen1rusunan ^strategi ^pembiayaan tahunan sebagai berikut:
Mengendalikan rasio utang terhadap PDB ^pada level ^yang aman ^dengan mempertimbangkan kemampuan membayar kembali;
Mengoptimalkan penerbitan SBN di pasar domestik ^untuk ^memenuhi pembiayaan APBN, sedangkan penerbitan SBN valas dilakukan ^sebagai komplementer;
Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam rangka ^pemenuhan ^kebutuhan pembiayaan dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik;
Melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif antara ^lain ^melalui bugback dan debt suitch untuk meningkatkan likuiditas ^dan stabilitas ^pasar serta implementasi Asse/ Liabilitig Managemenl ^(ALM) ^dalam upaya untuk menjaga keseimbangan makro;
Mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan ^produktif ^antara ^lain ^melalui pengadaan pinjaman kegiatan dan penerbitan sukuk yang berbasis ^proyek dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan pendanaan ^pembangunan dalam jangka menengah;
Mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri dan ^pinjaman ^dalam ^negeri untuk mendukung pembiayaan belanja modal APBN dan ^pemanfaatan fasilitas pinjaman sebagai alternatif instrumen pembiayaan;
Memperkuat fungsi Inuestor Relation [Jnit, antara lain melalui ^diseminasi informasi secara proaktif, respon yang cepat dan efektif, dan ^komunikasi ^yang efektif dengan investor dan stqkeholder lainnya. KEBUTUHAI{ PEMBIAYAAN MELALUI UTANG TAIIUN 2OL6 Dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN tahun 2016 ^sesual dengan UU No. 14 12015, kebutuhan penerbitan/pengadaan ^utang ^(utang ^bruto) tahun 2016 direncanakan sebesar Rp6O5.218,6 miliar atau ^4,76oh ^dari ^PDB, dengan utang neto sebesar Rp33O.884,8 miliar atau 2,6Ooh dari ^PDB, sebagaimana pada Gambar 1. Gambar 1 Pembiayaan Utang Tahun 2O16 latuh Tempo Utang Rp274.333,8 miliar Utang Gross Rp505.218,5 miliar / Pembiayaan Non UtanS Rp57.705,9 miliar Pembiayaan oefisit Rp273.178,9 miliar (dalam mitiar rupiah) Utang Neto 330.884,8 SBN Neto 1 327.774,4 Penerbitan Jatuh Tempo ^+ Cash Management Pengelolaan Portofotio Utang 532.376,4 1202.102,0 (3.000,0 PLN Neto 398,2 Penarikan Jatuh Tempo 69.182,2 (68.784,0 PDN Neto 3.262,2 Penarikan Jatuh Ternpo 3.710,0 (447,81 z7 Kebutuhan penerbitan/pengadaan utang sebesar ^Rp605.218,6 ^miliar ^akan dipenuhi melalui (a) penerbitan/penarikan utang tunai ^sebesar ^Rp555.484,2 ^rniliar yang terdiri dari penerbitan SBN dan pengadaan/penarikan ^pinjaman ^tunai, ^dan (b) pembiayaan kegiatan/proyek sebesar Rp49.734,4 miliar ^yang ^terdiri ^dari penarikan pinjaman proyek (baik pinjaman dalam negeri maupun ^pinjaman luar negeri) dan penerbitan SBSN untuk Pembiayaan Proyek. Tabel 1 Rincian Pembiayaan Melalui Utang Tahun 2016 Penerbitan SBN belum Rp13.677 ,2 miliar dan management. termasuk target penerbitan SBSN untuk ^Pembiayaan ^Proyek ^sebesar akan disesuaikan dengan ^pengelolaan portofolio utang dan ^SPN cash STRATEGI PEMBIAYAAN UTANG TTINAI 1. Pembiayaan Rupiah Utang tunai dalam mata uang rupiah bersumber dari penerbitan SBN ^Rupiah di dalam negeri (SBN domestik), yang dilakukan melalui lelang ^(auctionl, bookbuilding maupun priuate placement. Selain untuk memenuhi pembiayaan APBN, ^penerbitan SBN domestik ^juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan instrumen ^dalam rangka pengembangan pasar SBN, mendorong terciptanya inuestment-oiented societA, mendukung pengelolaan likuiditas rupiah melalui ^penggunaan ^instrumen SBN sebagai alat Operasi Pasar Terbuka oleh Bank Indonesia, dan ^mengendalikan risiko nilai tukar portofolio utang Pemerintah. Dalam tahun 2016, ^lelang penerbitan SBN domestik dilakukan dengan batasan ^jenis instrumen dan tenor, dengan rincian sebagaimana pada Tabel 2. Selain melalui lelang, salah satu instrumen yang memiliki ^potensi besar ^adalah SBN ritel, mengingat ^jumlah penduduk Indonesia yang besar dan saat ^ini instrumen investasi di masyarakat masih terbatas. Pada tahun 2016, ^penerbitan SBN ritel ditargetkan sebesar Rp55.000,0 miliar, yang dilakukan melalui ^Sukuk Ritel, Sauing Bond Ritel, Sukuk Tabungan, dan Obligasi Negara Ritel. Pada tahun 2016, Pemerintah berencana melakukan konversi ^penyaluran dana transfer ke daerah dalam bentuk SBN non-fradable bagi daerah ^yang ^memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam ^jumlah yang cukup besar. ^Realisasi terhadap rencana ini dapat berdampak pada besaran SBN bruto ^yang ^akan diterbitkan sehingga diperlukan koordinasi antar unit terkait. (dalam miliar rupiah) P emblayaan Utang Ttrnai Penerbitan SBN SBN Domestik Lelang Non Lelang SBN Va-las Pinjaman Program Pembiayaan Kegiatan/ Proyek PinJaman Luar Negeri Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Dalam Negeri Penerbitan SBSN untuk P 555.484,2 5t8.649,2 388.684,2 75% 333.684,2 55.000,0 129 .965,0 25o/o 36.835,O 49.734.4 38.2s68 15.909,71 3.710,O ,t Tabel2 Range Penerbitan SBN Domestik Melalui Lelang 2. Pembiayaan Valas a. Penerbitan SBN Valas Penerbitan SBN valas dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, refiruancing utang, dan sebagai komplementer terhadap penerbitan SBN Rupiah;
Sebagai upaya diversifikasi instrumen pembiayaan dalam rangka ^mengelola tingkat biaya dan risiko pembiayaan;
Memberikan ruang yang lebih lebar kepada institusi non-pemerintah ^untuk memperoleh pembiayaan dari pasar keuangan domestik. Penerbitan SBN valas dapat dilakukan di pasar keuangan domestik maupun ^pasar keuangan global dalam mata uang yang sesuai dengan kebutuhan ^pembiayaan APBN dan kas negara. Pada tahun 2016 penerbitan SBN valas direncanakan dalam mata uang kwat (hard atrrencg) yaitu USD, EUR, dan JPY, sesuai dengan kebutuhan belanja dan pengeluaran pembiayaan APBN. Pemerintah ^juga sedang mengkaji kemungkinan penerbitan SBN dalam mata uang lainnya seperti Renminbi, Singapore Dollar, dan Ringgit Malaysia dengan tetap mempertimbangkan pengelolaan risiko dan pengelolaan cadangan devisa. Target penerbitan SBN valas direncanakan sebesar ekuivalen USD9,35 miliar atau sebesar 24ok dari total penerbitan SBN bruto. Jumlah tersebut dapat dimaksimalkan hingga 3Oo/o dari target penerbitan SBN bruto dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan, kondisi pasar keuangan, dan/atau minat investor. b. Penarikan Pinjaman Program/Tunai Kebijakan pinjaman program/tunai pada tahun 2016 diarahkan untuk ^menopang pembiayaan APBN, mengingat kebutuhan pembiayaan APBN yang tinggi dan keterbatasan sumber pembiayaan melalui SBN. Selain itu, pinjaman ^program merupakan salah satu sumber pembiayaan yang memiliki biaya ^yang relatif lebih kompetitif. Target penarikan pinjaman program/tunai pada tahun 2016 adalah sebesar Rp36.835,0 miliar ekuivalen USD2.65O juta. Pemerintah akan mengoptimalkan pembiayaan dari deuelopment partners, termasuk mengupayakan pencarian sumber pembiayaan pinjaman program baru dan/atau melakukan up-size atas pinjaman program yang telah direncanakan. Di samping itu, Pemerintah ^juga membuka kemungkinan pemanfaatan pinjaman tunai komersial dengan mempertimbangkan biaya dan risiko utang. SPN 3 Bulan SPN 12 Bulan Benchmark (tenor 5, l-0, 15, 20 tahun) Non Benchmark (termasuk Piuate Pla cement) SPN-S PBS 2o/o - 60/o llo/o - l5o/o 560/o - 600/o 2ok - 60/o 3o/o - 7o/o 75o/o - 19o/o 12 kali 23 kaii 23 kaJi sesuai kebutuhan 23 kali 23 kali ort 3. Pengelolaan Portofolio Dalam rangka mendukung pencapaian portofolio utang yang optimal ^dan pengembangan pasar SBN domestik, Pemerintah dapat menggunakan mekanisme debt stuitching dan buyback. Program debt switching dilakukan untuk mengurangi refinancing ^nsk, meningkatkan likuiditas pasar SBN, serta mengembangkan ^pasar SBN. ^Dalam rangka mengurangi refrnancing isk, debt stuitching dilakukan dengan ^menukar seri-seri SBN yang akan jatuh tempo dalam 5 tahun dengan seri-seri ^SBN benchmark atau seri lain yang direncanakan akan menjadi benchmark ^Untuk meningkatkan likuiditas pasar, bugback dilakukan dengan menarik off ^the ^run seies dan menggantikannya dengan on the run seies. Cara ini ^juga ^dilakukan untuk mendukung pengembangan pasar SBN. Program buyback dilakukan dengan 3 (tiga) tujuan, yaitu: meningkatkan likuiditas pasar dengan membeli seri yang tidak likuid, stabilisasi pasar sebagai langkah untuk mengurangi volatilitas harga, dan portofolio manajemen dalam rangka mengurangi refinancing risk serta salah satu langkah memanfaatkan idle cash. 4. Fleksibilitas dan Potensi Tambahan Pembiayaan Utang Ketidakpastian dalam perekonomian global di tahun 2016 diperkirakan masih terus berlanjut. Hal ini ditandai oleh belum optimisnya prospek ^pemulihan perekonomian globai, potensi gejolak di pasar keuangan sebagai dampak dari antisipasi pasar terhadap rencana kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan melambatnya ekonomi Tiongkok, serta berlanjutnya penurunan harga komoditas. Dinamika global lainnya yang perlu diantisipasi termasuk divergensi kebijakan moneter dalam upaya untuk mendongkrak kinerja perekonomian dan mendorong daya saing melalui mata uang. Guna merespons dinamika perekonomian dimaksud, UU Nomor 14 Tahun 2015 memberikan keleluasaan bagi Pemerintah untuk menentukan komposisi serta timing penerbitan/pengadaan utang. Terkait komposisi, dalam rangka menjamin pemenuhan target pembiayaan APBN, Pemerintah dapat melakukan switching dari satu ^jenis pembiayaan tunai ke pembiayaan tunai lainnya dengan memperhatikan biaya/risiko dan ketersediaan instrumen. Sementara itu, terkait timing pengadaan utang, Pemerintah dapat merealisasikan sebagian kebutuhan pembiayaan tahun 2016 di akhir tahun 2O15 @refundirug). Prefunding diharapkan dapat menjamin ketersedian anggaran di awal tahun, khususnya untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan awal tahun dalam rangka percepatan realisasi belanja infrastruktur. Besaran prefunding optimal untuk kebutuhan awal tahun ditentukan melalui koordinasi dengan unit-unit terkait, utamanya unit pengelola kas. Koordinasi ^juga dilakukan untuk mencari sumber- sumber alternatif pendanaan awal tahun di luar utang. Sebagai bagian dari front- loading strategg, prefunding akan dilakukan melalui penerbitan SBN pada kisaran 10% s.d. 15% dari target SBN bruto dengan tetap memperhatikan kondisi pasar, biaya dan risiko utang. Selain fleksibilitas tersebut, Pemerintah dapat menggunakan dana ^SAL, melakukan penarikan pinjaman, dan/atau penerbitan SBN sebagai tambahan pembiayaan dalam hal anggaran diperkirakan defisit melampaui target yang ditetapkan dalam APBN. Tambahan pembiayaan dimaksud tetap memperhitungkan adanya batasan maksimal defisit anggaran yang ditetapkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 3o/o dari PDB. Untuk mengantisipasi potensi tambahan pembiayaan melalui utang, Pemerintah akan terus melakukan penjajakan atas potensi pembiayaan, baik ^yang bersumber dari dalam maupun luar negeri. Potensi dimaksud dapat digunakan sebagai alternatif pembiayaan dengan mempertimbangkan biaya dan risiko ^yang tfi lebih menguntungkan bagi Pemerintah dan/atau searah dengan upaya pengembangan pasar SBN dalam negeri. STRATEGI PTMBIAYAAN KEGIATAN/ PROYEK Pembiayaan kegiatan/proyek melalui utang pada tahun 2016 dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) instrumen, yaitu: (i) Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang bersumber dari lembaga multilateral, bilateral, dan kredit ekspor/komersial, (ii) Pinjaman Dalam Negeri (PDN) yang bersumber dari perbankan dalam negeri, dan (iii) Pembiayaan Proyek melalui SBSN.
Pinjaman Luar Negeri Rencana penarikan pinjaman proyek luar negeri tahun 2016 adalah sebesar Rp38.256,9 miliar yang terdiri dari pinjaman proyek pemerintah pusat sebesar Rp29.942,9 miliar, penerusan pinjaman (on-lendingl ke pemerintah daerah dan BUMN sebesar Rp5.909,7 miliar, dan pinjaman yang diterushibahkan ke pemerintah daerah (oru-granting) sebesar Rp2.4O4,3 miliar. Dalam pelaksanaannya, realisasi penarikan pinjaman disesuaikan dengan progress pelaksanaan proyek dan nilai tukar rupiah. Untuk memberikan dampak pengganda (multiplier effectl yang optimal, koordinasi antar-unit terkait perlu ditingkatkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan sesuai rencana, salah satunya meningkatkan kualitas penganggaran serta optimalisasi fungsi monitoring dan evaluasi. Upaya ini juga dilakukan untuk meningkatkan kinerja realisasi pinjaman luar negeri dan untuk menghindari tambahan biaya utang.
Pinjaman Dalam Negeri Rencana penarikan PDN untuk tahun 2O16 ditetapkan sebesar Rp3.710,O miliar. Dalam lima tahun terakhir penarikan PDN belum dapat memenuhi target yang ditetapkan APBN/P. Untuk itu langkah-langkah proaktif dalam menangani slou disbursement dari PDN perlu ditingkatkan., di antaranya adalah K/L perlu memastikan terpenuhinya kriteria kesiapan (readiness criteial kegiatan serta koordinasi alltara Bappenas, Kemenkeu, dan K/L perlu ditingkatkan. Selain itu, perencanaan kegiatan harus dilakukan secara selektif dan hati-hati dengan didukung oleh perencanaan yang lebih komprehensif dan sudah terkoordinasi dengan para pihak yang terlibat.
Pembiayaan Proyek melalui SBSN Pembiayaan proyek melalui SBSN direncanakan sebesar Rp13.677,2 miliar untuk pembiayaan proyek di 3 (tiga) kementerian, yaitu Kementerian Perhubungan sebesar Rp4.983,0 miliar, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp7.226,3 miliar, dan Kementerian Agama sebesar Rp1.467,9 miliar. Waktu penerbitan SBSN tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan (realisasi pelaksanaan kegiatan dari proyek yang dibiayai) dan kondisi pasar keuangan khususnya pasar SBN dalam negeri. INDII(ATOR RISIKO PEMBIAYAAI{ UTANG Secara umum, indikator risiko dalam pemenuhan pembiayaan APBN melalui utang adalah sebagai berikut:
Risiko Tingkat Bunga llnterest Rorte Rislcf Untuk mengendalikan risiko tingkat bunga, penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman tahun 2016 dilakukan dengan mengutamakan tingkat bunga tetap (fixed U^l ratel. Namun demikian, utang dengan tingkat bunga mengambang ^masih diperlukan sebagai penyeimbang portofolio. Dengan ^pertimbangan ^tersebut penerbitan SBN dengan tingkat bunga mengambang dan penarikan pinjaman dengan tingkat bunga mengambang masih dimungkinkan bergantung ^pada kebutuhan portofolio dan/atau hasil negosiasi antara pemerintah dengan ^pemberi pinjaman. Porsi utang dengan tingkat bunga mengambang terhadap total outstanding utang diupayakan berada pada tingkat yang aman yaitu di bawah ^2Oo/o dari total outstandirug utang. Indikator risiko tingkat bunga yang lain yaitu refixing rate yang merupakan waktu portofolio utang disesuaikan tingkat bunganya. Indikator ini dikendalikan dengan membatasi utang yang jatuh tempo dalam 1 tahun dan mengendalikan utang dengan tingkat bunga mengambang. Untuk itu, tahun 2016 SBN ^jatuh tempo dalam 1 tahun dibatasi maksimal sebesar 2loh dari penerbitan SBN bruto. 2. Risiko Pembiayaan Kembali lRefinancing Rislcl Risiko pembiayaan kembali dilihat dari indikator Auerage Time to Maturity ^(ATM) dan utang yang jatuh tempo dalam 1 tahun. Pembiayaan utang tahun 2016 ditargetkan memiliki ATM di kisaran 11 tahun dengan range ^+1 tahun dimana ATM untuk penerbitan SBN ditargetkan sekitar 10,4 tahun dengan rincian ATM penerbitan SBN domestik 9,8 tahun dan SBN valas 15,1 tahun. Porsi pembiayaan utang yang akan ^jatuh tempo dalam 1 tahun sebesar ^19%o, dimana untuk penerbitan SBN diperkirakan sebesar 2lo/o dai penerbitan SBN bruto. Sedangkan untuk penarikan pinjaman baru tahun 2015 diperkirakan tidak akan memengaruhi utang yang jatuh tempo dalam 1 tahun mengingat rata-rata utang dalam pinjaman memiliki grace period lebih dari 1 tahun. 3. Risiko Nilai Tukar lExchange Rate Risk) Untuk mengendalikan risiko nilai tukar, porsi penerbitan/penarikan utang valas terhadap total pembiayaan utang tahun 2016 dibatasi maksimrm 4Oo/o. Dari sisi pinjaman, penarikan pinjaman luar negeri lebih dominan dibandingkan dengan pinjaman dalam negeri, sedangkan dari sisi penerbitan SBN pemerintah tetap mengutamakan penerbitan SBN domestik dan membatasi penerbitan SBN valas maksimum 3O%o dari total penerbitan SBN. Tabel S Target Indikator Pembiayaan Utang Tahun 2O16 t2% - t4% Oo/o - 2o/o I Maks 100% 1o,o-12,0 I 9,0-11,0 | 11,0-13,0 Maks. 19% I Maks.21% I - Maks.40% I Maks.30% I Maks.98% thd Utang thd SBN gross I thd Pinjaman Interest Rate Risk VR proporlion Refinancing Risk ATM (tatwn) Mattre in 1 gear Exchange Rate Risk FX proporlion ,7 TKSPEKTASI PORTOFOLIO UTANG DI AKTIIR TATIUN 2016 Berdasarkan rencana pembiayaan APBN melalui utang tahun 2016, portofolio utang pada akhir tahun 2016 diperkirakan menjadi sebesar Rp3.4 13.629,1 miliar yang terdiri dari outstanding SBN sebesar Rp2.666.421,6 miliar dan outstanding pinjaman sebesar Rp747.2O7,5 miliar. Indikator risiko portofolio utang akhir tahun 2016 diproyeksikan sebagaimana pada Gambar 2. Gambar 2 Ekspektasi Indikator Risiko Portofolio Utang Akhir Tahun 2O16 Rasio Utang Jatuh Tempo Dalam 3 Tahun terhadap Total Utang (%) Rasio Utang Tingkat Bunga etap terhadap Total Utang (%) Rasio Utang Valas terhadap Total Utang (%) o% ' Proyeksi Akhir Tahun 2016 r SPUN 2014-201 7 200/o 400k 600/0 80% 1000/0 . Proyeksi Akhir Tahun 2015 Catatan:
Proyeksi akhir tahun 2016 berdasarkan pembiayaan APBN 2016 dan asumsi kurs Rp13.900/USD 1. 2) Proyeksi akhir tahun 2015 berdasa-rkan realisasi pembiayaan APBN 20 15 per akhir November 2015. PENUTUP Strategi ini disusun berdasarkan data pengelolaan utang, pembiayaan utang tahun anggaran 2015, dan kondisi pasar keuangan pada bulan November 2015. Untuk itu, Pemerintah akan memantau secara seksama pelaksanaan strategi ini dalam tahun anggaran berjalan. DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, Average Time to Maturity (thn) Proyeksi Akhir Tahun 2016 Proyeksi Akhir Tahun 2015 SPUN 2014-201 7 ROBERT PAKPAHAN 8.d Lampiran 1: Rencana Penarikan Pinjaman Luar Negeri a. Indikasi Pinjaman Program/Ttrnai 530 130 400 400 400 200 200 1.520 *) Masih dilakukan pembahasan dengan beberapa deuelopment portners. Sebagian rencana penarikan pinjaman program/tunai dapat ^dipenuhi dari pinjaman program tahun 2015 yang di-cang ouer ke tahun 2016 dan/atau memanfaatkan pinjaman tunai komersial (less commercial tenn).
Pinjaman Kegiatan/ Proyek dalam miliar Ru 5.909,66 4.091,88 1.618,10 144,73 t4,95 2.4O4,33 2.404,33 World Bank Loca-I Gove rnme n t al d De cen tralization Proj e ct-II Revenue Collection Program Stepping Up Investment for Growth Acceleration Program KIUI Stepping Up Investment for Growth Acceleration Program B. 1 2 3 4 Rencana Penarlkan Piajaman yq'"g Diteruapinlmkan lOn'lendttrg I PT PLN PT Pe rtamina Ke me nte rian Keuan gan c. q. Ditj e n Pe rbendaharaan PI PII Rencana Penarikaa Pinjamaa yaag Diterushlbahkan ^(Oa4ra ^n{: lng I c. 1 x Kementerian Keuansan c.q. DJPK Lampiran 2: Rencana Penarikan Pinjaman Dalam Negeri (dalam miliar Rupiah) rnarikan (gross) 3.710 1 Kementerian Pertahanan 3.000 2 Kepolisian RI 7lO Pembayaran Cicilan Pokok (448) 3.262 Lampiran 3: Rencana Pembiayaan Proyek melalui Penerbitan ^SBSN dalam miliar Ru Kementerian Agama 1.467,9O Revitalisasi Asrama Hajr Peningkatan Sarana Prasarana Perguruan Tinggi Agama Negeri Pembangunan Gedung Balai Nikah dan Manasik Haji 885,00 400,00 182,90 Kementerian Perhubungan 4.983,OO Pembalgunan Fasilitas Perke retaapian untuk Manggarai s/ d Jatine ^gara Modernisasi Fasilitas Perkeretaapian untuk Jatinegara s/d Bekasi Pe mban gu nan ^j alur ganda an tara M artapu ra-Baturaj a Pembangunan Jalan KA Layang di Perkotaan Medan Pembangunan Jalur Ganda KA antara Purwokerto-Kroya Pembangunan Jalur Ganda Lintas S olo-Surabaya anta-ra Madiun-Jombang t.220,oo 530,00 523,t4 1.430,00 689,09 590,77 Kementerian PUPR 7.226,30 Pemban gunan / Revitalasr Pemban gu nan / Revi talasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Re vitalasi Ja-lan dan Jalan dan Jalan dal Jalan darr Ja-lan dan Ja]an darr .Ialan dal Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Sumatera Jawa Kalimantan Nusa Tenggara Sulawesi Maluku Papua i.540,93 1.o50,77 1.040,39 584,47 953,93 840,57 7.2t5,25 Total Pembiayaaa SBSN Project t3.677,2O ,o ,y
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nornor 62/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, Serta Pelunasan Pajak P ...
Relevan terhadap
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) untuk transaksi tertentu, yaitu:
pengeluaran dari Kawasan Bebas oleh pengusaha atas Barang Kena Pajak yang berhubungan dengan kegiatan usahanya ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang dalam jangka waktu tertentu akan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas berupa mesin dan/atau peralatan untuk: 1 . kepentingan produksi a tau pengerjaan proyek infrastruktur;
keperluan perbaikan, pengerjaan, pengujian, atau kalibrasi; dan/atau 3 . keperluan peragaan atau demonstrasi;
pengeluaran kembali dari Kawasan Bebas oleh pengusaha atas Barang Kena Pajak asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang berhubungan dengan kegiatan usahanya berupa me sin dan/atau peralatan un tuk: 1 . kepentingan produksi a tau pengerjaan proyek infrastruktur;
keperluan perbaikan, pengerjaan pengujian, atau kalibrasi; dan/atau
keperluan peragaan a tau demonstrasi;
pengeluaran Barang Kena Pajak untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas bumi serta panas bumi yang atas impornya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dipungut, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah sebagaimana ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut tidak untuk tujuan pengalihan hak;
pengeluaran Barang Kena Pajak, yang sesuai dengan ketentuan perundang undangan perpajakan atas impor dan/atau penyerahannya tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
pengeluaran Barang Kena Pajak yang telah dilunasi Pajak Pertambahan Nilainya dengan menggunakan stiker lunas Pajak Pertambahan Nilai; dan
pengeluaran Barang Kena Pajak berupa pengemas yang dipakai berulang-ulang (returnable package). ( 1 a) Me sin dan /a tau peralatan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan huruf b angka 1 yaitu:
mesin untuk kepentingan produksi terdiri dari:
mesin pabrik; dan
peralatan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mesin pabrik sebagaimana dimaksud pada angka 1, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang.
peralatan untuk pengerJaan proyek infrastruktur seperti crane, excavator, buldozer, forklift dan peralatan lain yang sej enisnya.
Batas waktu pemasukan kembali Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah paling lama 1 2 (dua belas) bulan sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
Batas waktu pengeluaran kembali Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah paling lama 1 2 (dua belas) bulan sejak tanggal Pemberitahuan Pabean.
Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas, Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib dilunasi oleh pengusaha di tern pat lain dalam Daerah Pa bean yang menenma a tau mengeluarkan Barang Kena Pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dikeluarkan kembali dari Kawasan Bebas, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dilunasi pada saat pengeluaran Barang Kena Pajak tersebut dari Kawasan Bebas oleh Orang yang mengeluarkan Barang Kena Pajak terse but dari menggunakan Kawasan Be bas dengan Surat Seto ran Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Kawasan Bebas sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
Ketentuan ayat (5) dan ayat (6) Pasal 1 0 diubah, sehingga Pasal 1 0 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 0 (1) Pemasukan Barang Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pemasukan Barang Kena Pajak dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
Penyerahan Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang penyerahannya dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang bertempat tinggal a tau berkedudukan di tempat lain dalam Daerah Pabean, terutang dan dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
Penyerahan Jasa Kena Pajak dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas yang penyerahannya dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus, . terutang dan dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
Penyerahan J asa Kena Pajak terten tu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari Tempat Penimbunan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
J asa Kena Pajak terten tu se bagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) adalah Jasa Kena Pajak yang batasan kegiatan dan jenisnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (8), juga berlaku untuk pemasukan Barang Kena Pajak dan penyerahan Jasa Kena Pajak yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. ( 1 1) Ke ten tuan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk pemasukan Barang Kena Pajak yang telah dilunasi Pajak Pertambahan Nilai dengan menggunakan stiker lunas Pajak Pertambahan Nilai, dan Bahan Bakar Minyak bersubsidi.
Ketentuan ayat (3) Pasal 1 1 diubah, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (la) sehingga Pasal 1 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 1 (1) Atas pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) wajib dibuatkan Faktur Pajak yang diisi lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 1 3 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. (la) Keterangan berupa jenis barang yang dicantumkan pada Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan nama Barang Kena Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya berikut kode Pos Tarif sesuai Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
Termasuk dalam pengertian Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 3 ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Saat pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain pada saat terutang juga dapat menggunakan saat lain, yaitu pada saat pengiriman Barang Kena Pajak ke Kawasan Bebas yaitu tanggal Bill of Lading, Airway Bill, atau Delivery Order.
Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), ayat (4), ayat (7), dan ayat (S), wajib dibuatkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpaj akan.
Atas penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) dan ayat (6) wajib dibuatkan Faktur Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) harus diberi cap "PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TIDAK DIPUNGUT BERDASARKAN PP NOMOR 10 TAHUN 2012" oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku atas pemasukan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan pemasukan kembali Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a.
Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (5), ayat (6), ayat (S), dan ayat (9) Pasal 12 diubah, serta ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (10) dan di antara ayat (1) dan ayat (9) disisipkan 11 (sebelas) ayat yakni ayat ( la), ayat (1 b), ayat ( le), ayat (2a), ayat (2b), ayat (2c), ayat (2d), ayat (6b), ayat (6e), ayat (Sa), dan ayat (Sb) sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.05/2013 Tentang Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Anggaran P ...
Relevan terhadap
PERATURAN MENTER! KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 162/PMK. 05/2013 TENTANG KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB BENDAHARA PADA SATUAN KERJA PENGELOLA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA. Pasall Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16 2/PMK. 05/2013 Tentang Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1350) , diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan se bagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penenmaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penenmaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan pajak dan hibah.
Kantor/Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Kantor /Satker, adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kernen terian Negara/ Lem bag a.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah Pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah Pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah Pejaba1: yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengUJian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah Pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah Pejabat yang memperoleh kewenangan untuk dan atas nama BUN melaksanakan fungsi pengelolaan Rekening Kas Umum Negara.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi BUN.
Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menenma, meny1mpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada Kantor/Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menenma, meny1mpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Negara dalam pelaksanaan APBN pada Kantor/Satker Kementerian Negara/ Lembaga.
Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disingkat BPP adalah orang yang ditunjuk untuk membantu Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.
Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka ke1ja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satuan Kerja atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.
Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu UP yang telah ditetapkan.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan UP.
Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan .TUP.
Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan UP yang telah dipakai.
Surat Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang diberikan oleh Bendahara Penerimaan kepada penyetor.
Surat Perintah Membayar Langsung kepada Bendahara yang selanjutnya disingkat SPM LS Bendahara adalah surat perintah membayar yang diterbitkan oleh PPS PM kepada Bendahara Pengeluaran.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara yang selanjutnya disingkat LPJ adalah laporan yang dibuat oleh Bendahara atas uang yang dikelolanya sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang.
Laporan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran Pembantu yang selanjutnya disingkat LPJ-BPP adalah laporan yang dibuat oleh BPP atas uang yang dikelolanya sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut UAKPA adalah unit akuntansi instansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan tingkat satker.
Surat Perintah Bayar yang selanjutnya disebut dengan SPBy adalah bukti perintah PPK atas nama KPA kepada Bendahara Pengeluaran/BPP untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran/BPP sebagai pembayaran kepada pihak yang dituju.
Layanan Perbankan Secara Elektronik adalah layanan yang memungkinkan nasabah Bank untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui media elektronik berupa inten1et banking dan kartu debit.
Internet Banking adalah salah satu layanan bank yang memungkinkan nasabah untuk memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan melalui jaringan internet.
Kartu Debit adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan tunai, pemindahan dana, dan/atau pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, di mana kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan pemegang kartu pada Bank Umum.
Surat Perintah Pendebitan Rekening yang selanjutnya disingkat SPPR adalah bukti perintah dari KPA/PPK atas nama KPA kepada Bendahara Pengeluaran/BPP untuk melakukan pendebitan rekening Bendahara Pengeluaran/BPP dengan menggunakan Kartu Debit.
Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 3A dan 3B, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. ...
Relevan terhadap
Jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan meliputi: epkumham.go a. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja, pengurus, pemegang participating interest, dan pemegang saham;
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang disimpan pada rekening bersama Badan Pelaksana dan kontraktor dalam rekening bank umum Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia;
harta yang dihibahkan;
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang timbul akibat kesalahan kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan;
biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik negara;
insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang saham;
biaya tenaga kerja asing yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) atau tidak memiliki izin kerja tenaga asing (IKTA);
biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan operasi perminyakan dalam rangka kontrak kerja sama;
biaya konsultan pajak;
biaya pemasaran minyak dan/atau gas bumi __ bagian kontraktor, kecuali biaya pemasaran gas bumi yang telah disetujui Kepala Badan Pelaksana;
biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) penerima manfaat;
biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi;
biaya pelatihan teknis __ untuk tenaga kerja asing;
biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan participating interest ;
biaya bunga atas pinjaman;
pajak penghasilan karyawan yang ditanggung kontraktor maupun dibayarkan sebagai tunjangan pajak dan pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas epkumham.go penghasilan pihak ketiga yang ditanggung kontraktor atau di- gross up ;
pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran __ dan kaidah __ keteknikan yang baik , atau yang melampaui nilai persetujuan otorisasi pengeluaran di atas 10% (sepuluh persen) dari nilai otorisasi pengeluaran;
surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan pembelian;
nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan __ yang tidak dapat beroperasi lagi akibat kelalaian kontraktor;
transaksi yang:
merugikan negara;
tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal tertentu; atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
bonus yang dibayarkan kepada Pemerintah;
biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak;
insentif interest recovery ; dan
biaya audit komersial.
Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang yang dibebankan untuk 1 (satu) tahun pajak, dihitung berdasarkan estimasi biaya penutupan dan pemulihan tambang berdasarkan masa manfaat ekonomis.
Cadangan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan dalam rekening bersama antara Badan Pelaksana dan kontraktor di bank umum Pemerintah Indonesia di Indonesia.
Dalam hal total realisasi biaya penutupan dan pemulihan tambang lebih kecil atau lebih besar dari jumlah yang dicadangkan, selisihnya menjadi pengurang atau penambah biaya operasi yang dapat dikembalikan dari masing-masing wilayah kerja atau lapangan yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Kepala Badan Pelaksana.
Ketentuan mengenai tata cara penggunaan dana cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 18 (1) Kontraktor dapat membebankan iuran pesangon bagi pegawai tetap yang dibayarkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Tata cara pengelolaan iuran pesangon dan besarnya pesangon diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. epkumham.go Pasal 19 (1) Seluruh biaya kerja, pembebanannya ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang berproduksi secara komersial di wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
Untuk pengamanan penerimaan negara, selain penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat mengambil kebijakan terkait pengembangan lapangan. Pasal 20 (1) Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang dapat dikembalikan dalam 1 (satu) tahun kalender terdiri atas:
biaya bukan modal tahun berjalan;
penyusutan biaya modal tahun berjalan; dan
biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya. (2) Jumlah maksimum biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kontrak jasa ditentukan sebesar imbalan yang diberikan oleh Pemerintah. (3) Biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum dapat diperhitungkan dalam 1 (satu) tahun kalender dapat diperhitungkan pada tahun berikutnya.
Biaya langsung __ minyak bumi dibebankan pada produksi minyak bumi dan biaya langsung __ gas bumi dibebankan pada produksi gas bumi. (5) Dalam hal terdapat biaya bersama minyak dan gas bumi, biaya bersama dialokasikan sesuai proporsi nilai relatif hasil produksi. (6) Dalam hal suatu lapangan atau wilayah kerja telah menghasilkan satu jenis hasil produksi minyak bumi atau gas bumi, sementara jenis produksi yang lainnya belum menghasilkan, biaya bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dialokasikan secara adil berdasarkan kesepakatan antara Badan Pelaksana dan kontraktor. (7) Pengembalian biaya operasi untuk minyak bumi dilakukan hanya terhadap lifting minyak bumi, sedangkan pengembalian biaya operasi untuk gas bumi dilakukan hanya terhadap nilai penjualan gas bumi. epkumham.go (8) Dalam hal pengembalian biaya operasi minyak bumi atau gas bumi tidak mencukupi dari hasil produksinya atau nilai penjualannya, ditentukan:
biaya operasi gas bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada hasil produksi minyak bumi;
biaya operasi minyak bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada nilai penjualan gas bumi.
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
Relevan terhadap
Pasal 23 Dalam hal pelaku usaha yang mendaftar belum memiliki NPWP, OSS yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak memproses pemberian NPWP. Pasal 24 Cukup ^jelas. Pasal 25 Cukup ^jelas. Pasal 26 Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b API terdiri atas angka pengenal importir umum (API-U) dan angka pengenal importir produsen (API-P). API-U diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan pendaftaran di bidang usaha perdagangan dan dipergunakan oleh Pelaku Usaha untuk meiakukan kegiatan impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. API-P diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan pendaftaran di bidang usaha selain perdagangan dan dipergunakan oleh Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal Pelaku Usaha melakukan usaha lebih dari 1 (satu) bidang usaha dan salah satunya bidang usaha perdagangan maka Pelaku Usaha diberikan pilihan menentukan ^jenis API. Huruf c Hak akses kepabeanan diberikan kepada Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai pengusaha barang kena cukai dan/atau menggunakan fasilitas kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 Cukup ^jelas. Pasal 28 Cukup ^jelas. Pasal 29 Cukup ^jelas. Pasal 30 . Pasal 30 Cukup ^jelas. Pasal 31 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "prasarana' adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu usaha dan/atau kegiatan. Contoh: gedung, pabrik, unit pengolahan limbah dan lahan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan ^umenguasai" termasuk sewa, ^pinjam meminjam, atau bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 32 Cukup ^jelas. Pasal 33 Ayat (1) Huruf a Cukup ^jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan 'kawasan ekonomi khusus" adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Yang dimaksud dengan "kawasan industri' adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri. Yang dimaksud dengan "kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas" adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai. Dalam Dalam rangka penerbitan Izin Lokasi di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, Badan pengusahaan Kawaian Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menyusun zonasi wilayah untuk usaha dan/atau kegiatan. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "proyek strategis nasional" adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Daftar proyek strategis nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^je1as. Ayat (4) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Pasal 34 Cukup ^jelas. Pasal 35 Cukup ^jelas. Pasal 36 Cukup ^jelas.
Pengujian UU Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah ...
Relevan terhadap
Ayat (1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya _surat ketetapan pajak; _ Ayat (2) Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 Kedua ketentuan tersebut memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri.
Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan dalam sistem self assessment , terhadap Wajib Pajak yang dalam melakukan pemenuhan hak dan kewajibannya tidak sesuai dengan ketentuan maka rentan akan sanksi mulai dari sanksi yang bersifat administrasi sampai dengan sanksi pidana;
Bahwa oleh karena itu, pembuat undang-undang memikirkan perlunya perlindungan bagi Wajib Pajak yang dalam melaksanakan pemenuhan hak dan kewajibannya dilakukan oleh orang lain, sehingga ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak;
Dengan adanya kewenangan tersebut, diharapkan Menteri Keuangan dapat memberikan pengaturan sedemikian rupa agar apabila Wajib Pajak dalam melaksanakan pemenuhan hak dan kewajibannya diwakili oleh pihak lain, maka pihak yang mewakilinya tersebut harus benar- benar memahami hukum perpajakan dan memiliki etika profesi;
Pendelegasian kepada Menteri Keuangan pada ketentuan a quo sama sekali tidak dimaksudkan untuk membatasi hak individu seseorang untuk memberikan kuasa maupun sebagai penerima kuasa. Pemerintah juga tidak memiliki kepentingan sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonan uji materiilnya yakni “bukan dalam rangka penegakan hukum tetapi demi kepentingan pribadi, mencari keuntungan atau tambahan rezeki bahkan lebih terkesan memeras wajib pajak” (halaman 21 permohonan uji materiil Pemohon);
Pendelegasian wewenang tersebut juga tidak berarti kewenangan Menteri Keuangan lebih tinggi dari undang-undang tetapi semata-mata dimaksudkan untuk melindungi wajib pajak agar terlindungi dalam melaksanakan hak dan kewajibannya secara benar; G. PERBANDINGAN PENGATURAN PERSYARATAN KUASA WAJIB PAJAK DI BERBAGAI NEGARA Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 1. Bahwa pengaturan mengenai syarat menjadi Kuasa Wajib Pajak juga dikenal di beberapa negara misalnya di:
Australia, untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak harus bernaung dalam asosiasi induk yang bernama Tax Practicioners Board dan untuk menjadi anggotanya terdapat beberapa persyaratan, yaitu: a) Berusia 18 tahun keatas; b) Sehat jasmani dan rohani; c) Memenuhi kualifikasi dan pengalaman yang disyaratkan d) Memiliki asuransi ganti rugi profesional yang memenuhi persyaratan; e) Menyampaikan aplikasi secara online dengan dilengkapi dokumen yang diperlukan; f) Membayar biaya keanggotaan $500; g) Melakukan pembaharuan keanggotaan setiap 3 tahun. __ 2) Jepang, untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak harus bernaung dalam asosiasi induk yang bernama Japan Fed of Zeirishi Asociation dan untuk menjadi anggotanya terdapat beberapa persyaratan, yaitu: a) Peserta yang lulus ujian Zeirishi Nasional; b) Pengacara; c) CPA.
Amerika, untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak harus bernaung dalam asosiasi induk yang bernama IRS __ dan untuk menjadi anggotanya terdapat beberapa persyaratan, yaitu: a) lulus dalam ujian BAR dan CPA untuk pengacara dan akuntan (tidak dikontrol oleh IRS); b) untuk enrolled agent harus lulus ujian yang dibuat IRS dan diselenggarakan pihak ketiga; c) untuk non credentialed wajib memiliki PTIN,lulus uji patuh pajak dan tidak punya catatan kriminal tanpa ada syarat pendidikan atau ujian tertentu; d) untuk credentialed , sama dengan non credentialed namun ditambahkan syarat mengikuti pelatihan perpajakan atau lulus satu dari beberapa ujian. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Ketiga negara dimaksud memiliki kesamaan yaitu mengatur adanya syarat-syarat tertentu sebelum seseorang dapat berpraktek menjadi tax advisor. Hal ini membuktikan bahwa tidak serta merta seseorang dapat menjadi tax advisor , setiap orang harus memenuhi lebih dahulu syarat-syarat tertentu dan mengikuti/menjadi bagian dari asosiasi sebuah profesi terlebih dahulu;
Bahwa bentuk perbandingan pengaturan mengenai kuasa Wajib Pajak dan pemberian jasa perpajakan di Amerika Serikat, Australia dan Jepang dapat kami sampaikan dalam bentuk tabel terlampir sebagai berikut: Aspek Australia Jepang Amerika Asosiasi Induk Tax Practicioners Board Japan Fed of Zeirishi Asociation IRS Sifat Independent , terpisah dari ATO dan bertanggungjawab pada Minister of small business dan assistant treasurer serta ada staf ATO yang diperbantukan di TPB Independent, terpisah dari otoritas pajak - Anggota Orang Pribadi atau perusahaan yang memberikan jasa agensi pajak, BAS dan jasa konsultasi pajak dan menerima imbalan terkait jasa yang diberikan 1. Peserta yang lulus ujian Zeirishi Nasional 2. Pengacara 3. CPA Terbagi menjadi 2 yaitu :
punya hak mewakili tidak terbatas yang terdiri dari Pengacara, CPA dan agen terdaftar ( enrolled Agent ) 2. punya hak mewakili terbatas yang terdiri dari non-credentialed (hanya menyiapkan SPT tahunan) dan Credentialed (mewakili WP untuk menandatangani SPT tahunan) Persyaratan 1. berusia 18 tahun keatas;
sehat jasmani dan rohani;
memenuhi kualifikasi dan pengalaman yang disyaratkan;
memiliki asuransi ganti rugi profesional yang memenuhi persyaratan;
menyampaikan 1. lulus ujian nasional Zeirishi;
melakukan registrasi pada asosiasi;
Zeirishi nasional dan regional.
lulus dalam ujian BAR dan CPA untuk pengacara dan akuntan (tidak dikontrol oleh IRS);
untuk enrolled agent harus lulus ujian yang dibuat IRS dan diselenggarakan pihak ketiga;
untuk non credentialed wajib Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 aplikasi secara online dengan dilengkapi dokumen yang diperlukan;
membayar biaya keanggotaan $500;
melakukan pembaharuan keanggotaan setiap 3 tahun. memiliki PTIN, lulus uji patuh pajak dan tidak punya catatan kriminal tanpa ada syarat pendidikan atau ujian tertentu;
untuk credentialed , sama dengan non credentialed namun ditambahankan syarat mengikuti pelatihan perpajakan atau lulus satu dari beberapa ujian; Materi yang diujikan - 1. Pembukuan;
Teori Laporan Keuangan;
Income Tax Act ; _4. Corporation Tax Act; _ 5. Consumption Tax _Act; _ 6. inheritance Tax Act. - Jasa yang ditawarkan 1. Memberikan konsultasi terkait kewajiban perpajakan;
mewakili WP dalam berhadapan dengan kantor pajak.
mewakili WP dalam usaha memenuhi kewajiban perpajakan termasuk mengurus restitusi, pelaporan, maupun pemeriksaan ulang;
menyiapkan dokumen yang berhubungan dengan pajak dan konsultasi perpajakan; - Tidak Wajib Terdaftar 1. pegawai dan kontraktor dari konsultan pajak terdaftar;
praktisi hukum yang memberikan jasa konsultasi hukum sesuai undang- undang namun tidak menyiapkan SPT. Pengawasan dan Monitoring ATO, otoritas perpajakan Australia, mengawasi kepatuhan konsultan pajak dengan pendekatan berdasarkan risiko yang fokus pada isu-isu sesuai tingkat risiko Wajib Pajak.
seluruh konsultan kecuali yang non- credentialed wajib memenuhi pendidikan pengembangan profesi setiap tahunnya;
semua kategori yang terbukti melakukan kecurangan dalam menyampaikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 dokumen dapat dibekukan prakteknya dan tidak dapat menandatangi SPT sebagai penyaji SPT;
IRS melakukan pengawasan terhadap enrolled agent dan yang lebih rendah;
melakukan kerjasama dengan asosiasi CPA dan BAR untuk mengantisipasi kecurangan;
melakukan pengembangan kerja sama dengan pengembang software terkait e-file SPT Tahunan yang digunakan konsultan.
Bahwa sebagaimana terlihat pada tabel di atas, Australia dan Jepang memiliki asosiasi independen tersendiri yang menaungi para tax advisor , di Indonesia peran ini diambil oleh asosiasi konsultan pajak misalnya IKPI (Ikatan Konsultan Pajak Indonesia). Mengenai keanggotaan atas asosiasi-asosiasi tersebut masing-masing negara mengatur dengan berbeda-beda, Australia dan Jepang memberikan syarat yang umum bagi semua tax advisor , sedangkan Amerika membagi tax advisor kedalam dua golongan, mereka yang bisa mewakili secara penuh dan mereka yang hanya bisa melakukan hal- hal tertentu saja;
Bahwa terlepas dari variasi cara mengatur sebagaimana dilakukan oleh beberapa negara tersebut di dalam tabel, sesuai materi permohonan uji materiil a quo , terlihat jelas bahwa dari tiga negara, setidaknya di Jepang dan Amerika, kedua negara tersebut mengatur adanya syarat-syarat tertentu sebelum seseorang dapat berpraktek menjadi tax advisor . Hal ini membuktikan bahwa tidak serta merta seseorang dapat menjadi tax advisor , setiap orang harus memenuhi lebih dahulu syarat-syarat tertentu dan mengikuti/menjadi bagian dari asosiasi sebuah profesi terlebih dahulu;
Bahwa dari pengaturan sebagaimana dijabarkan dalam tabel di atas, berdasarkan praktek yang dijalankan oleh beberapa negara, terlihat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 bahwa pengaturan berupa pembatasan, persyaratan, pengujian atas seseorang sebelum dapat bekerja dalam sebuah profesi (dalam hal ini profesi tax advisor ) adalah hal yang lazim dilakukan secara internasional; III. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) ketentuan a quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan pengujian Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, untuk menguatkan dalilnya, Presiden dalam persidangan tanggal 14 November 2017, mengajukan tiga orang ahli yakni Yustinus Prastowo, S.E., M.Hum., M.A., Drs. Kismantoro Petrus, Ak., M.B.A., dan Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak., yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 November 2017, pada pokoknya sebagai berikut:
Yustinus Prastowo, S.E., M.Hum., M.A. 1.0 PENDAHULUAN 1.1 Pengertian dan Tugas Konsultan Pajak Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael menyatakan bahwa sangat sulit melaksanakan sistem perpajakan tanpa melibatkan konsultan pajak. Hal ini disebabkan oleh rumit dan dinamisnya sistem perpajakan, sehingga menyebabkan wajib pajak tidak selalu memahami peraturan perpajakan secara up-to-date . Dalam hal ini, wajib pajak akan kesulitan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak ( compliance ). Beberapa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 negara memiliki pengaturan yang spesifik dan jelas, sedangkan beberapa negara lainnya belum memiliki pengaturan spesifik tentang konsultan pajak. OECD menaruh perhatian besar terhadap peran intermediaries dan mengeluarkan dokumen Study into the Role of Tax Intermediaries pada 2008. Dokumen ini mengakui peran penting intermediaries dalam mengedukasi dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, namun beberapa di antaranya justru terlibat dalam merancang dan mempromosikan aggresive tax planning yang berdampak buruk pada sistem perpajakan. Alih-alih mengusulkan suatu langkah pengawasan ekstrem, sebaliknya OECD mendorong kerjasama tripartit antara otoritas pajak, wajib pajak, dan tax intermediaries ; Manajemen risiko berbasis informasi mutlak diterapkan dengan memahami lima hal penting: understanding based on commercial awareness, impartiality, proportionality, openness (disclosure and transparency), and responsiveness . Lima pilar penting ini akan menjadi pondasi hubungan yang baik antara otoritas pajak, wajib pajak, dan t ax intermediaries ; Di dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUD 1945”) disebutkan bahwa “Pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur oleh undang-undang”. Sifat “memaksa” dalam pemungutan pajak tentu harus disertai dengan perlindungan wajib pajak agar tidak mendapat perlakuan semena-mena yang tidak sesuai dengan Undang-undang. Eksistensi tax intermediaries , antara lain konsultan pajak, salah satunya untuk memberikan perlindungan wajib pajak dalam menjalankan hak dan melaksanakan kewajibannya. Maka demi memastikan hak wajib pajak tersebut terlindungi dan dapat dijalankan dengan baik, Pemerintah mengatur profesi konsultan pajak. Pengaturan yang tidak saja dilihat dari sisi kepentingan wajib pajak, melainkan juga memastikan jasa yang diberikan tidak justru merugikan negara melalui aggressive tax planning ; 2.0 PENGATURAN DAN PERANAN KONSULTAN PAJAK DI BEBERAPA NEGARA 2.1 Representasi Wajib Pajak di Beberapa Negara 2.1.1. Representasi Wajib Pajak di Hadapan Otoritas Pajak Konsultan pajak yang mewakili wajib pajak di hadapan otoritas pajak bertindak sebagai advokat. Karena keterampilan yang dibutuhkan, seringkali ada batasan mengenai siapa yang dapat bertindak dalam kapasitas ini, dan peraturan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 biasanya berbeda tergantung pada formalitas prosedural yang diatur dalam prosedur-prosedur spesifik. Bila profesi diatur, umumnya konsultan pajak dapat mewakili wajib pajak di hadapan otoritas pajak;
1.2. Representasi (Wakil) Wajib Pajak di Hadapan Pengadilan Di beberapa negara, semua proses pengadilan pajak diputuskan oleh pengadilan sipil, bukan pengadilan administratif. Di negara-negara dimana pengadilan administratif pada awalnya mendengar sebuah kasus, tergantung pada peraturan dari prosedur pajak, maka banding dalam proses pengadilan pajak paling sering diputuskan oleh pengadilan sipil. Sementara itu, kecurangan pajak dan penghindaran pajak masuk dalam ranah pengadilan pidana. Pada umumnya, representasi wajb pajak di hadapan pengadilan sipil atau pidana diperuntukkan khusus untuk pengacara; Namun di negara-negara yang memiliki peraturan komprehensif tentang profesi pajak, konsultan pajak juga diizinkan untuk mewakili wajib pajak dalam proses pengadilan di hadapan pengadilan sipil. Dalam kasus tersebut, kompetensi khusus di bidang hukum atau teori perpajakan paling dibutuhkan. Jika menjadi representasi wajib pajak dalam kasus pidana, maka kebanyakan negara mengharuskan kompetensi khusus pengacara. Apabila pembela tidak diizinkan untuk mewakili wajib , maka para pembela harus mendapat lisensi dari pengadilan terlebih dahulu. Hal tersebut, terutama jika jumlah pengacara yang tersedia untuk menangani kasus pajak tidak mencukupi, maka lisensi semacam ini bisa menjadi solusi untuk wajib pajak dalam memberikan perwakilan profesional;
2 Pengaturan Konsultan Pajak di Beberapa Negara Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian 2.1, pengaturan mengenai konsultan pajak dibagi menjadi tiga jenis, yaitu full regulation , partial regulation , dan _no regulation; _ 2.2.1 Full Regulation Model Full Regulation menghendaki pengaturan khusus terhadap profesi konsultan pajak yang wajib dipatuhi. Untuk menjadi konsultan pajak, seseorang harus mengikuti pelatihan dan ujian khusus.
2.2 Partial Regulation Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 Seperti model full regulation , model partial regulation juga menghendaki adanya aturan khusus terhadap profesi konsultan pajak, namun ruang lingkupnya lebih luas dibandingkan model full regulation . Bahkan, seseorang yang tidak mengikuti pelatihan khusus dapat memberikan nasihat perpajakan, sepanjang ia memahami peraturan perpajakan dan memenuhi beberapa kriteria yang ditentukan oleh undang-undang;
2.3 No Regulation Pada model No Regulation , pemberian jasa konsultasi pajak tidak terbatas oleh profesi tertentu. Dengan demikian, siapa saja boleh menjadi kuasa wajib pajak di hadapan otoritas pajak; Adapun komparasi beberapa negara terkait pengaturan konsultan pajak dapat dilihat dalam Tabel 2 di bawah ini. Tabel 1 Komparasi Beberapa Negara Mengenai Pengaturan Konsultan Pajak Negara Model regulasi Ketentuan Peraturan terkait yang berlaku Qualified Tax Consultant Jerman Model full regulation disebut juga dengan German Model Jerman merupakan salah satu dari sedikit negara, di mana profesi penasihat pajak adalah profesi yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Kementerian Keuangan Federal adalah otoritas pengawasnya . Berdasarkan Tax Consultancy Law __ (StBerG). __ Article 3 , orang- orang berikut diakui sebagai konsultan pajak antara lain: Pengacara Akuntan Auditor Pengacara dapat memberikan tax advise berdasarkan Tax Consultancy Law Article 3 . Federal Lawyers Act (BRAO) & 59a tentang professional collaboration juga menyatakan bahwa pengacara juga Konsultan pajak membentuk profesi liberal terpisah di Jerman. Hanya anggota Bundessteuerb eraterkammer (BStBk), organisasi perundang- undangan, yang telah lulus ujian yang dipersyaratkan dan menyelesaikan pengalaman yang dibutuhkan untuk dapat menjadi konsultan pajak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 diperbolehkan untuk berkolaborasi dengan konsultan pajak untuk bersama- sama mempraktikkan profesinya. Adapaun mengenai hak dan kewajiban konsultan pajak diatur secara khusus oleh StBerG, German Tax Consultancy Act (DVStB) dan Professional Rules and Practice Guidelines of The Federal Chamber of Tax Advisors (BOStB). Amerika Serikat Model Partial Regulation dikenal juga dengan US Model Amerika Serikat pada pokoknya memiliki konsep pengaturan yang sama dengan Jerman terkait konsultan pajak, namun perbedaannya terletak pada kegiatan seperti persiapan Surat Pemberitahuan yang dapat dilakukan oleh non- profesional pajak dan sebagainya. Treasury Department Circular No. 230 (Rev. 6-2014) berisi peraturan yang mengatur tentang praktik dihadapan IRS dikenakan pada pengacara, akuntan publik bersertifikat, tax consultant yang teregistrasi, agen agen pensiun yang teregistrasi, dan orang lain yang mewakili wajib pajak di hadapan Internal Revenue Service (IRS). Hak praktik, terbagi atas 2 yakni: Hak perwakilan tidak terbatas Pengacara (setiap pengacara yang lulus Bar Exam di negara bagian manapun) Certified Public Accountant (CPA) Setiap CPA yang telah lulus ujian dan terdaftar di negara bagian manapun. Enrolled Agent (siapa saya yang lulus tiga ujian enrolled agent yang dikelola secara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 internasional) Hak perwakilan terbatas Hanya mempersiapka n SPT Dapat mewakili wajib pajak untuk memberikan pertanyaan audit terkait persiapan khusus. Australia Berada di antara German Model dan US Model. Tipe Australia itu rumit, dalam arti bahwa wajib pajak diperbolehkan untuk memotong biaya yang dibayarkan ke tax consultant atau pengacara yang terdaftar, namun wajib pajak menolak pengurangan biaya yang dibayarkan ke tax consultant yang tidak terdaftar. pengembalian pajak biasanya dipersiapkan untuk remunerasi hanya oleh agen pajak atau pengacara. Agen pajak didefinisikan dalam undang- undang dan diatur oleh dewan yang dikendalikan oleh otoritas pajak. Agen pajak dan pengacara mungkin juga mewakili Menjamin kepatuhan hukum untuk melindungi masyarakat Merupakan administrater dalam proses registrasi/menj amin kompetensi Mengadakan pedoman dan informasi terkait hal-hal yang relevan Menginvestiga si kemungkinan pelanggaran undang- undang dan kode etik Memberikan sanksi administrative bagi wajib pajak yang tidak patuh Mengerjakan atau memberikan konsultasi terkait kewajiban, kewajiban atau hak dari klien berdasarkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 pembayar pajak dalam perselisihan administrasi, namun hanya pengacara yang dapat mewakili pembayar pajak dalam proses pengadilan. undang- undang pajak Mewakili entitas dalam urusan mereka dengan kantor pajak Di mana klien bisa diharapkan untuk mengandalka n pelayanan untuk memenuhi kewajiban, kewajiban atau hak berdasarkan pajak hukum Japan Public Tax Accountant yang telah disertifikasi disebut juga dengan “Zeirishi” Peraturan tentang Zeirishi diatur dalan Zeirishi Act di tahun 1951. Hingga tahun 2014 Zeirishi Act telah mengalami 5 kali amandemen. Berdasarkan pasal 2 dalam Zeirishi Act menyatakan bahwa tidak ada orang lain selain Zeirishi yang berhak memberikan layanan berikut (dengan bayaran ataupun tanpa bayaran): Representasi Dalam hal: Mengisi SPT Meminta reinvestigasi Meminta reconsideration Mengirimka notifikasi Melapor,dsb Succesful candidate dari Zeirishi National Examination; Mereka yang dikecualikan dari ujian di atas menurut Art 7,8 Zeirishi Act; Pengacara; Certified Public Accountants (CPAs). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 Membuat SPT dan dokumen pajak Konsultasi Pembukuan dll Inggris Tidak ada batasan hukum mengenai ketentuan umum konsultan pajak. Namun, konsultan pajak memiliki pedoman. Siapapun juga bisa menyebut diri mereka sebagai konsultan pajak tanpa melihat profesi mereka. Siapapun bebas untuk menyiapkan SPT dan mewakili wajib pajak dihadapan administrasi perpajakan atau komisi pajak. Namun, Hanya pengacara barristers yang bisa mewakili wajib pajak di hadapan Pengadilan Tinggi. Peran konsultan pajak di UK: membantu kesepakatan antara wajib pajak dengan HMRC untuk melaporkan pembayaran pajak awalnya seperti pajak penghasilan, pajak perusahaan, pajak capital gain dan lainnya. memastikan dan memberi saran kepada klien untuk menyiapkan pengembalian pajak yang baik. menjelaskan masalah terkait audit hukum bagi perusahaan. mengikuti perubahan dalam undang- undang dan praktik perpajakan, Praktisi pajak berperan penting antara wajib pajak dan HMRC sehingga mereka bertanggung jawab untuk memperbarui untuk Akuntan, praktisi perpajakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 menjelaskan pembayar pajak dan menyampaika n informasi untuk HMRC. menginformas ikan dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum audit untuk perusahaan atau Inland Revenue dan Komisaris HMRC ketika perorangan atau perusahaan memiliki perselisihan dalam perpajakan. Luxembourg Konsultan pajak tidak dianggap sebagai profesi terpisah dalam undang- undang Luxembourg Meskipun tidak ada undang- undang khusus untuk konsultan pajak, banyak profesional yang memberikan konsultasi pajak sudah tercakup dalam undang- undang untuk akuntan (CFE- EUTAX, 2003) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 Switzerland Konsultan pajak, pengacara dan akuntan diatur sendiri, dengan persyaratan yang terutama menjaga kepentingan klien. Terdapat konsultan pajak yang besertifikat. Tugas mereka adalah: Perencanaan pajak Menangani masalah perpajakan yang kompleks Mewakili klien di hadapan otoritas pajak dan pengadilan Belgia undang-undang mengatur yang mungkin memberikan konsultasi pajak, namun ada organisasi profesional pribadi yang biasanya dimiliki konsultan pajak. seorang konsultan pajak disebut belastingconsul ent-conseil fiscal Konsultasi pajak juga dapat diberikan oleh pengacara (advokat / avokat), notaris (notaris / notaires), akuntan (akuntan / ahli- comptables) atau auditor (bedrijfsrevisore n / reviseurs d'entreprises). Semua profesi (pengacara, akuntan, dan auditor) ini diakui dan diatur oleh undang-undang, namun biasanya ketentuan layanan perpajakan berada di luar lingkup peraturan ini. seorang pengacara tidak dapat menjadi konsultan pajak, dan seorang pengacara tidak dapat menjadi auditor, namun keduanya berhak memberikan layanan pajak. Konsultasi pajak juga dapat diberikan oleh pengacara (advokat / avokat), notaris (notaris / notaires), akuntan (akuntan / ahli- comptables) atau auditor (bedrijfsrevisoren / reviseurs d'entreprises). Perancis Baru-baru ini, semua Konsultan pajak secara Konsultasi pajak diberikan oleh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 kegiatan hukum, termasuk proses pengadilan, konsultasi hukum, dan konsultasi pajak, digabungkan menjadi profesi baru yang anggotanya membawa gelar avokat. Pemberian konsultasi pajak yang merupakan nasihat hukum diatur sebagai bagian dari undang- undang profesi. Undang- undang tersebut juga menetapkan kriteria untuk mendapatkan jabatan pengacara (avocat) Semua peraturan yang berlaku bagi pengacara juga berlaku untuk konsultan pajak tradisional diatur secara tidak langsung sebagai bagian dari konsultasi hukum. Semua profesi ini diatur oleh undang-undang, tapi tributaristi juga bisa menjadi konsultan pajak yang tidak berlisensi secara professional. notaris (notaris), akuntan (comptables, experts- comptables) dan auditor (commissaires aux comptes). Italia Semua profesi ini diatur oleh undang-undang, tapi tributaristi juga bisa menjadi konsultan pajak yang tidak berlisensi secara professional. Istilah Italia tributaristi mencakup beberapa profesi, yaitu pengacara, akuntan, dan notaris. Belanda profesi konsultan pajak tidak diatur Konsultan pajak disediakan oleh Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 oleh undang- undang. pengacara, akuntan, maupun profesi lain dapat mengambil peranan sebagai konsultan pajak. berbagai profesi, semua yang (kecuali untuk konsultan pajak) diatur oleh undang-undang: pengacara (advocaten), notaris (notarissen), akuntan dan auditor (akuntan terdaftar), dan konsultan pajak (belastingconsul enten atau belastingadviseu rs ). Spanyol proses pengadilan pajak di pengadilan perdata tetap dibatasi hanya bagi pengacara penyediaan layanan konsultasi pajak tidak terbatas pada profesi tertentu, termasuk mengajukan pengembalian pajak untuk remunerasi. seorang konsultan pajak ( asesor fiscal ) juga dapat berprofesi sebagai pengacara ( abogado ), akuntan ( econom ist), atau pemegang gelar dalam bisnis ( profesor mercantil , intendente mercantil ). Sumber: Beberapa sumber Untuk melengkapi tabel di atas, berikut adalah tabel mengenai tax professionals di beberapa negara: Tabel 2 Tax Professionals in Selected Countries Negara Tax Professionals Australia Pengacara, akuntan, tax agent Belgium Konsultan pajak, pengacara, auditor, ahli akuntansi Canada Lawyer, akuntan France Akuntan, pengacara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 Germany Konsultan pajak, pengacara, auditor, akuntan besertifikat, perwakilan pajak The Netherlands Konsultan pajak, akuntan, pengacara Italy Pengacara, akuntan, notaris Spain Konsultan pajak, pengacara, ekonomist UK Akuntan, konsultan pajak, praktisi perpajakan, pengacara US Akuntan, pengacara, agen terdaftar Sumber: Tax Law Design and Drafting, 1996 3.0 PENGATURAN TENTANG KONSULTAN PAJAK DI INDONESIA Pajak di Indonesia diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, yaitu “Pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur oleh undang-undang”. Berdasarkan pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak bersifat memaksa dan untuk itu pelaksanaannya harus diatur oleh undang- undang supaya pemungutan pajaknya didasarkan pada prinsip-prinsip perpajakan yang baik dan adil; Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut “UU KUP”) diterbitkan untuk melaksanakan Pasal 23A UUD 1945. Pasal 32 ayat (3) UU KUP mengatur: Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan . Selanjutnya penjelasan pasal ini menyatakan: Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan perpajakan. Yang dimaksud dengan “kuasa” adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak atau memenuhi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan; Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (selanjutnya disebut “PP 74/2011”) kemudian mengatur tentang kuasa Wajib Pajak pada Pasal 49 ayat (1): “Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan”; Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh kuasa pajak berdasarkan Pasal 49 ayat (3) PP 74/2011 adalah: Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi _persyaratan sebagai berikut: _ _a. menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; _ _b. memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa; _ _c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; _ d. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan _Tahunan Pajak Penghasilan; dan _ e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan . Selanjutnya, Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 (selanjutnya disebut “PMK 229/2014”) mengatur mengenai siapa saja yang dapat menjadi kuasa pajak sebagaimana disebutkan Pasal 49 ayat (1) PP 74/2011, yaitu: “ _Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: konsultan pajak; _ dan karyawan Wajib Pajak”. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak (selanjutnya disebut “PMK 111/2014)”, pengertian konsultan pajak adalah: “ orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada wajib pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya __ sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan ” Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 Konsultan pajak bertugas untuk membantu wajib pajak dalam memenuhi kewajiban maupun mendapatkan hak perpajakannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Selain itu, berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (selanjutnya disebut “PMK 229/2014), konsultan pajak dapat menjadi kuasa wajib pajak untuk menghadapi otoritas pajak dengan menggunakan surat kuasa khusus. Di beberapa negara, konsultan pajak juga dapat menjadi penasihat hukum dan perwakilan wajib pajak saat berhadapan dengan Badan Peradilan Administrasi dan Fiskal; Di Indonesia, kualitas seorang kuasa wajib pajak di hadapan otoritas pajak diukur dan dibuktikan dengan izin praktik konsultan pajak dari Direktur Jenderal Pajak. Sebab untuk mendapatkan izin praktik konsultan pajak, seseorang harus dinyatakan lulus ujian sertifikasi konsultan pajak (USKP). Oleh karena itu, seorang konsultan pajak dapat mewakili wajib pajak di hadapan otoritas pajak berdasarkan keahlian yang ia miliki; Pembatasan di atas penting untuk melindungi wajib pajak terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh konsultan pajak. Inilah bentuk perlindungan negara terhadap wajib pajak, di samping mewajibkan pembayaran perpajakan. Dengan demikian, pemerintah telah menyeimbangkan peranannya atas “sifat memaksa pajak” dan “perlindungan wajib pajak” dalam pemungutan pajak; 4.0 PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, kami berkesimpulan bahwa: Dalam sistem perpajakan yang rumit dan dinamis, konsultan pajak dan kuasa hukum pajak memiliki peranan besar. Di banyak negara, peran konsultan pajak tidak hanya diperoleh dari seseorang yang berprofesi sebagai konsultan pajak saja, namun bisa juga berasal dari pengacara, akuntan, auditor dan lain sebagainya berdasarkan ketentuan yang berlaku di masing-masing negara. Kebanyakan negara tidak memiliki peraturan yang jelas terkait dengan peran konsultan pajak dan kuasa hukum pajak, namun di negara seperti Jerman dan US memperlakukan profesi konsultan pajak sebagai profesi yang diatur dan wajib mengikuti peraturan yang berlaku di negara tersebut; Adapun salah satu peran dari profesi sebagai konsultan pajak adalah mewakili wajib pajak dihadapan otoritas pajak maupun pengadilan. Di kebanyakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 negara yang menganut sistem no regulation, perwakilan oleh nonlawye rs di hadapan otoritas pajak maupun pengadilan dalam proses administrasi diperbolehkan atau relatif tidak terbatas. Meskipun begitu, pada dasarnya tidak semua negara memperbolehkan profesi konsultan pajak sebagai representasi wajib pajak di pengadilan. Di negara yang menganut sistem full regulation atau partial regulation seperti Jerman dan US memberlakukan beberapa persyaratan bagi konsultan pajak agar eligible dalam mendampingi wajib pajak. Di US dan Jepang, persyaratan tersebut bisa berbentuk test bagi profesi tertentu. Hal yang sama juga terjadi di Jerman dimana hanya kalangan tertentu saja yang telah lulus ujian yang berhak menjadi konsultan pajak; Setiap negara memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi pemerintahannya, tergantung pada tujuan negara itu sendiri. Dengan demikian, negara memiliki kedaulatan untuk mengatur pelaksanaan pemungutan pajak, salah satunya mengenai kuasa wajib pajak; Berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pajak bersifat “memaksa”. Untuk memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Pasal 32 ayat (3) UU KUP memberikan kelonggaran bagi wajib pajak agar dapat meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, sepanjang kuasanya memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (3) PP 74/2011 serta peraturan pelaksanaannya. Makna “sepanjang kuasanya memenuhi kriteria” dimaksudkan agar terdapat pembatasan bagi pihak-pihak yang hendak menjadi kuasa wajib pajak. Hal ini penting sebagai perlindungan bagi wajib pajak terhadap kualitas jasa yang diberikan seseorang, salah satunya konsultan pajak. Sebab di Indonesia, kualitas kuasa wajib pajak di hadapan otoritas pajak diukur dan dibuktikan dengan izin praktik konsultan pajak dari Direktur Jenderal Pajak; Advokat/pengacara dan kuasa hukum pada Pengadilan Pajak merupakan dua profesi yang berbeda. Sebab kedua profesi tersebut memiliki lisensi yang berbeda. Untuk menjadi seorang advokat, seseorang harus memenuhi syarat tertentu, beberapa di antaranya adalah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan lulus Ujian Profesi Advokat (UPA). Sama halnya dengan profesi kuasa hukum di Pengadilan Pajak, seseorang harus memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 Nomor 61/PMK.01/2012 tentang Persyaratan Untuk Menjadi Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak, agar mendapatkan izin kuasa hukum dari Pengadilan Pajak.
Drs. Kismantoro Petrus, Ak., M.B.A. I. LATAR BELAKANG Pengelolaan suatu Negara pada umumnya bertujuan untuk mencapai kebutuhan bersama demi kesejahteraan warga negaranya. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya yang dimiliki oleh suatu Negara lebih dititikberatkan untuk mencapai tujuan kemerdekaan negara tersebut dari pada kepentingan penguasa sumber dayanya. Seperti halnya dengan negara lainnya, kebutuhan sumber daya yang digunakan untuk menyelenggarakan pemerintahan di Indonesia sebagian besar diharapkan dari penerimaan pajak. Oleh karena itu penerimaan pajak adalah merupakan faktor yang sangat penting sebagai modal untuk mencapai tujuan Negara dan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Indonesia; Pasal 23A UUD 1945 adalah merupakan bukti betapa pentingnya penerimaan pajak bagi penyelenggaraan Negara Republik Indonesia. Sehubungan dengan pentingnya penerimaan pajak dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia, maka pajak didefinisikan secara khusus dalam Pasal 1 angka 1, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagai “ kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat ”; Dua jenis pajak yang paling besar diantara pajak-pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak di Indonesia adalah Pajak Penghasilan yang biasa disebut dengan PPh dan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah yang biasa disebut dengan istilah PPN. Objek PPh adalah “ setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 dalam bentuk apa pun ”, sedangkan objek PPN adalah “ penyerahan barang dan atau jasa, pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berujud dari luar daerah pabean, pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud/Tidak Berwujud, eksporJasa Kena Pajak, impor barang oleh Pengusaha Kena Pajak di Daerah Pabean Indonesia ”; Dalam rangka mengumpulkan penerimaan Negara dari PPh dan/atau PPN serta untuk menegakkan keadilan di Indonesia, maka setiap Orang Pribadi atau Badan yang memiliki objek PPh dan/atau PPN mempunyai kewajiban yang sama untuk membayar PPh dan/atau PPN sesuai dengan ketentuan; Cara memperoleh tambahan kemanpuan ekonomis dan melakukan penyerahan (transaksi yang terutang PPN) sangat bervariasi dan selalu berkembang dinamis mengikuti perkembangan budaya manusia dan teknologi yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi. Dengan kian cepatnya perkembangan teknologi maka variasi dan tatacara bertransaksi serta tatacara memperoleh tambahan kemampuan ekonomis para anggota masyarakat semakin bervariasi dan semakin cepat berubah. Dalam rangka agar setiap tambahan kemampuan ekonomis dan setiap mengikuti transaksi yang terutang PPN dapat diawasi dan dipastikan bahwa seluruh Wajib Pajak telah melakukan pembayaran pajak yang terutangnya, maka peraturan Undang-Undang pajak harus fleksibel agar selalu dapat mengikuti dan menyesiasati setiap adanya perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Dalam rangka memberikan fleksibilitas Undang-Undang perpajakan, maka Undang-Undang Pajak harus mencakup ketentuan- ketentuan yang mengatur pokok-pokok hak dan kewajiban formal dan material Wajib Pajak dan mengamanatkan pengaturan teknis dan prosedur serta tatacara kepada ketentuan berkedudukan dalam hirarkhi ketentuan yang lebih rendah . Desain pembuatan perundang-undangan semacam ini dimaksudkan agar setiap perubahan sosial, budaya, ekonomi maupun tekhnologi di masyarakat dapat diikuti dengan penyesuaian peraturan-perundang-undangan terhadap perubahan sosial, budaya, ekonomi dan tekhnologi agar setiap Pertambahan kemampuan ekonomis dan transaksi yang terutang pajak dapat dikenai pajak dengan tepat dan adil; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Struktur Undang-Undang pajak seperti ini mengakibatkan perubahan ketentuan perpajakan menjadi dinamis sesuai dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi maupun tekhnologi di masyarakat. Perubahan ketentuan perpajakan yang sangat dinamis seiring dengan perubahan/perkembangan sosial, budaya, ekonomi maupun teknologi mengakibatkan banyaknya ketentuan perpajakan yang harus diterbitkan. Sehingga mengakibatkan kesulitan yang semakin lama semakin besar bagi masyarakat untuk menguasai/memahami secara baik seluruh ketentun perpajakan agar terhindar dari pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan; Keadaan demikian ini mengakibatkan adanya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh bantuan pihak yang mempunyai pengetahuan perpajakan yang cukup untuk memberikan petunjuk, pertimbangan, atau nasihat tentang cara memenuhi kewajiban perpajakan yang benar; II. TINJAUAN FILOSOFIS DAN YURIDIS a. Tinjauan Filosofis 1) Istilah “Konsultan” Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Konsultan mengandung arti: “orang (ahli) yang tugasnya memberi petunjuk, pertimbangan, atau nasihat disuatu kegiatan. Dengan demikian, Konsultan Pajak berarti orang yang mempunyai keahlian perpajakan (ahli dibidang perpajakan) yang tugasnya memberi petunjuk, pertimbangan, atau nasihat yang diperlukan dalam kegiatan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan . Sesuai dengan namanya, Konsultan Pajak merupakan suatu profesi bagi orang yang telah memenuhi syarat utamanya yakni memiliki keahlian dibidang perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
Kuasa Dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan, istilah “kuasa” mempunyai arti khusus. Istilah “kuasa” diatur dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP. Istilah “kuasa” mengandung arti “orang yang diberi tugas berdasarkan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan”. Sedangkan berdasarkan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, diatur bahwa Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, secara resmi berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan, Seorang Kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan ;
Konsultan Pajak. Definisi Konsultan Pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 sebagai berikut: Konsultan Pajak adalah “ orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Seseorang dapat menjadi konsultan Pajak apabila dapat memenuhi seluruh ketentuan mengenai Persyaratan Konsultan Pajak antara lain: a) memiliki Izin Praktik Konsultan Pajak; b) Memiliki Sertifikat Konsultan Pajak Resmi Sebagai Konsultan Pajak yang diperoleh dengan lulus menempuh Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak; c) Melaksanakan tugas susuai dengan tingkatan Sertifikasi Konsultan Pajak yang dimiliki; d) menjadi anggota salah satu Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak; e) Melaksanakan Hak dan Kewajiban sebagai Konsultan Pajak; f) Tunduk pada pengawas yang mempunyai kewenangan melakukan Teguran, Pembekuan, dan Pencabutan Izin Praktik Konsultan Pajak, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014. Oleh karena Persyaratan sebagai Konsultan Pajak adalah pihak yang mempunyai standar profesi yang formal, terorganisir, dan bertanggung jawab kepada pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak serta wajib menguasai ketentuan perundang-undangan dibidang perpajakan yang diatur secara khusus, maka Konsultan Pajak dapat ditunjuk sebagai “kuasa” Wajib Pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 b. Tinjauan Yuridis Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diatur bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan, oleh karena itu, UUD 1945 merupakan norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi pembentukan Undang-Undang dibawah UUD 1945; Oleh karena itu, Undang-Undang Pajak secara umum wajib diatur berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, sedangkan norma-norma yang diatur dalam Undang-Undang Pajak tidak dapat menyimpang dari norma dasar sebagaimana diatur dalam batang tubuh dan Penjelasan UUD 1945. Secara singkat hubungan antara UUD 1945 dengan Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP dapat dilihat sebagai berikut: a) Pasal 23A UUD 1945 berbunyi: “ Pajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang ”. Ketentuan ini adalah merupakan alasan yang melatarbelakangi pembentukan UU KUP dan Undang-Undang Pajak lainnya. b) Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. c) Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa UUD 1945 adalah merupakan hukum dasar atau norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dibawah UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 Untuk menyikapi masalah kesulitan masyarakat dalam memahami hak dan kewajiban perpajakan, dan mengingat adanya Pasal 28 ayat (2) UUD 1945, maka sejak awal pembuatan Undang Undang KUP di Tahun 1983 telah diatur Pasal 32 ayat (3) beserta penjelasannya, yang mengatur tentang hak Wajib Pajak untuk mendapatkan bantuan dari pihak yang menguasai ketentuan perpajakan; Ketentuan ini mengalami perubahan untuk penyempurnaan di tahun 1994, Tahun 2000, dan Tahun 2007/2009; Dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP Tahun 1983 , diatur dengan bunyi: “Orang atau Badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan _peraturan perundang-undangan perpajakan”; _ Dengan penjelasan: “Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan orang lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya , untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan”; Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP ini adalah merupakan penegasan bahwa norma yang diatur tersebut adalah merupakan norma yang berdasarkan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945; Dalam 32 ayat (3) UU KUP Tahun 1994 , diatur dengan bunyi: “ Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ”. Dengan penjelasan: “Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan materiil serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan perpajakan”; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Perubahan ketentuan ini terutama dalam hal penggunaan istilah “Orang” menjadi “Orang Pribadi” Dengan tujuan menyesuaikan dengan istilah yang digunakan dalam Undang–Undang Pajak; Dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP Tahun 2000 , diatur dengan bunyi: “Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Dan ditambah dengan ayat (3a) yang berbunyi sebagai berikut: “Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan ”; Penambahan norma dalam batang tubuh dengan menambahkan ayat (3a) UU KUP bertujuan memberikan:
Dasar hukum kewenangan Menteri Keuangan untuk memetapkan kriteria “Kuasa”;
Kepastian hukum tentang “kuasa” Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Fleksibilitas Ketentuan perundang-undangan perpajakan agar lebih mudah dilakukan penyesuaian dengan perkembangan keadaan masyarakat; Batasan tersebut adalah merupakan pelaksanaan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945; Dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP Tahun 2007 dan Tahun 2009, diatur dengan bunyi: “Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Ayat ini tidak mengalami perubahan Ayat (3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 Perubahan dalam Pasal 32 ayat (3a) ini terutama dalam hal penggunaan istilah “ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan” menjadi “diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”, dengan tujuan agar:
Penulisan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana saat ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011;
Memberikan tambahan fleksibilitas agar apabila terdapat tata cara dan/atau prosedur yang perlu diatur menggunakan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, dapat didelegasikan oleh Menteri Keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak. Perubahan tersebut adalah merupakan pelaksanaan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945; Berdasarkan uraian dimuka, munculnya Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dimaksudkan untuk memberikan kejelasan norma yang diatur dalam batang tubuh UU KUP, dengan cara mengangkat penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP Tahun 1994 menjadi norma yang diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) batang tubuh UU KUP Tahun 2000 sehingga norma dalam batang tubuh UU KUP semakin lengkap dan mudah dipahami serta mempunyai kepastian hukum, namun masih mempunyai keluwesan yang tegas; Dengan ditambahkannya penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP menjadi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menambah kekuatan dasar hukum UU KUP karena menambah pertimbangan bahwa UU KUP juga mempertimbangkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945; Dengan demikian Pengaturan Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) tentang “kuasa” telah sesuai dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 karena bertujuan untuk:
Memberikan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna guna mencapai persamaan dan keadilan bagi masyarakat Indonesia;
Mengatur agar setiap orang tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis; dan
Agar UU KUP lebih fleksibel mengatur hak dan kewajiban masyarakat sesuai dengan perkembangan social, budaya dan perekonomian. Berdasarkan Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP maka diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2008 yang telah dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014. III. ORGANISASI PROFESI KONSULTAN PAJAK Konsultan Pajak sebagai salah satu pihak yang secara yuridis dapat ditunjuk sebagai “Kuasa” Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMNK.03/2014 secara khusus diatur dengam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111 Tahun 2014, diatur bahwa organisasi profesi konsultan pajak dapat didirikan lebih dari satu organisasi (asosiasi). Oleh karena itu, pada saat ini terdapat 2 (dua) asosiasi konsultan pajak yang terdaftar secara resmi di Direktorat Jenderal Pajak. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111 Tahun 2014 pada dasarnya mengatur hal pokok tentang Konsultan Pajak, antara lain:
Persyaratan orang perseorangan yang dapat menjadi Konsultan Pajak;
Izin Praktek Konsultan Pajak;
Sertifikat Konsultan Pajak;
Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak;
Asosiasi Konsultan Pajak;
Hak dan Kewajiban Konsultan Pajak; dan
Sanksi Konsultan Pajak. Salah satu Asosiasi Konsultan Pajak di Indonesia adalah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI); Berhubung ahli adalah salah satu anggota IKPI, selanjutnya ahli sampaikan Organisasi Profesi Konsultan Pajak “Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)”; Baik anggota maupun organisasi IKPI sampai dengan saat ini tunduk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PNK.03/2014; IKPI sebagai organisasi Asosiasi Konsultan Pajak tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014, yang berbunyi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 BAB VI ASOSIASI KONSULTAN PAJAK Pasal 18 Konsultan Pajak berhimpun dalam wadah Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak .
Untuk menjadi Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Asosiasi Konsultan Pajak harus memenuhi persyaratan dan menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak . (2) Persyaratan untuk menjadi Asosiasi Konsultan Pajak yang terdaftar pada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
berbentuk badan hukum sesuai dengan peraturan perundang- undangan;
memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ;
mempunyai susunan pengurus yang telah disahkan oleh rapat anggota;
memiliki program pengembangan profesional berkelanjutan ;
memiliki kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak;
memiliki Dewan Kehormatan yang berfungsi untuk mengawasi, memeriksa dan menyelesaikan dugaan pelanggaran kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak oleh anggota asosiasi. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dan harus dilampiri dengan:
akta notaris yang disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
susunan pengurus pusat dan cabang yang telah disahkan oleh rapat anggota;
daftar anggota dan fotokopi Kartu Izin Praktik anggota yang masih berlaku;
program pengembangan profesional berkelanjutan; dan
kode etik dan standar profesi Konsultan Pajak.
Atas permohonan yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar. (5) Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar dalam hal Asosiasi Konsultan Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e. Pasal 20 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 (1) Asosiasi Konsultan Pajak yang telah mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) berwenang:
menyelenggarakan kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan dan menerbitkan daftar realisasi kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan bagi anggotanya;
membentuk dewan kehormatan yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap Konsultan Pajak yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kode etik Konsultan Pajak dan/atau standar profesi Konsultan Pajak;
menyampaikan usulan pengenaan sanksi dalam hal Konsultan Pajak yang diperiksa dinyatakan bersalah melanggar kode etik Konsultan Pajak dan/atau standar profesi Konsultan Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak; dan
menerbitkan surat keputusan mengenai keanggotaan Asosiasi Konsultan Pajak dan kartu tanda anggota Asosiasi Konsultan Pajak.
Asosiasi Konsultan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat laporan keuangan setiap tahun .
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diaudit oleh akuntan publik dan hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya. Pasal 21 (1) Asosiasi Konsultan Pajak yang akan diberikan wewenang untuk menunjuk anggotanya untuk menjadi anggota komite pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) huruf d serta untuk mengusulkan struktur organisasi dan anggota komite pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), diusulkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Menteri Keuangan.
Dalam rangka pengusulan Asosiasi Konsultan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mempertimbangkan tata kelola organisasi yang baik dan jumlah keanggotaan dari Asosiasi Konsultan Pajak.
Atas usulan Direktur Jenderal Pajak, Menteri Keuangan menetapkan 1 (satu) Asosiasi Konsultan Pajak yang diberikan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Tata kelola organisasi yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, Asosiasi Konsultan Pajak adalah:
Sebagai wadah Konsultan Pajak yang telah mendapatkan izin praktek sesuai dengan ketentuan;
Berbadan hukum yang resmi dengan AD dan ART;
Memiliki Kode Etik dan Standar Profesi;
Bertanggungjawab atas pengawasan pelaksanaan tugas dengan penerapan Kode etik dan Standar Profesi Konsultan Pajak, dan pengusulan sanksi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 pelanggaran kepada Direktorat Jenderal Pajak (bertanggungjawab kepada Direktorat Jenderal Pajak);
Mengadministrasikan keanggotaan para anggota asosiasi;
Menerbitkan Laporan Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik. Keberadaan asosiasi/organisasi Konsultan Pajak pada prinsipnya adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dan Negara antara lain:
Masyarakat dapat memperoleh informasi tentang konsultan pajak yang berkualitas memenuhi standar sesuai dengan keperluan masyarakat;
Negara akan memperoleh calon konsultan pajak yang memenuhi kriteria kemampuan perpajakan tertentu karena ada kewajiban asosiasi untuk menyelenggarakan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak;
Negara dan Masyarakat dapat memanfaatkan Konsultan Pajak yang bertanggung jawab dan tertib melaksanakan hak dan kewajibannya;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang profesional dan mempunyai tingkat kompetensi yang selalu mengikuti perkembangan masalah perpajakan;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang bertanggung jawab atas tugasnya, merahasiakan data/informasi yang harus dirahasiakan;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang dalam pelaksanaan tugasnya bebas dari konflik kepentingan;
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang berperilaku sopan, santun, objektif, jujur dan dapat dipercaya; dan
Negara dan masyarakat dapat memperoleh Konsultan Pajak yang bekerja tanpa melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Dengan demikian, keberadaan Asosiasi Konsultan Pajak adalah agar di masyarakat tersedia Konsultan Pajak yang memenuhi standar yang diperlukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah; IV. KONSULTAN PAJAK DALAM PRAKTEK Untuk menyediakan “pihak” yang dapat membantu Wajib Pajak dan bermanfaat bagi Negara, maka dalam prakteknya dapat dicerminkan dalam:
Ruang Lingkup Pekerjaan Konsultan Pajak;
Hak dan Kewajiban Seorang Konsultan Pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 3. Tanggung Jawab Hukum seorang Konsultan Pajak;
Syarat menjadi Konsultan Pajak. Berdasarkan definisi “Konsultan Pajak” yang berbunyi: “Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan”, ruang lingkup pekerjaan Konsultan Pajak meliputi pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pendaftaran Wajib Pajak;
bimbingan dan/atau pengisian SPT;
pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam pemeriksaan pajak;
pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam proses keberatan;
pendampingan atau kuasa Wajib Pajak dalam proses Banding; dan
pemanfaatan hak dan pelaksanaan kewajiban perpajakan lainnya, seperti permohonan fasilitas perpajakan, permohonan Surat Keterangan Bebas, Permohonan Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 dan lain sebagainya; Sedangkan Hak dan Kewajiban seorang Konsultan Pajak antara lain:
Konsultan Pajak berhak untuk memberikan jasa konsultasi di bidang perpajakan sesuai dengan batasan tingkat keahliannya.
Konsultan Pajak wajib memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Konsultan Pajak wajib mematuhi kode etik Konsultan Pajak dan berpedoman pada standar profesi Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Asosiasi Konsultan Pajak;
Konsultan Pajak wajib mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan profesional berkelanjutan;
Konsultan Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan Konsultan Pajak; dan
Konsultan Pajak wajib memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama dan alamat rumah dan kantor. Tanggung Jawab Hukum seorang Konsultan Pajak dipisahkan menjadi 2 (dua), yakni sebagai Konsultan Pajak dan sebagai Kuasa Wajib Pajak. Sebagai Konsultan Pajak, wajib bertanggung jawab: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 a. memenuhi ketentuan syarat formal untuk menjadi Konsultan Pajak;
mematuhi kewajiban administratif sebagai Konsultan Pajak, seperti menyampaikan SPT tepat waktu, menyampaikan Laporan Tahunan, memperpanjang ijin praktek Konsultan Pajak dan lain sebagainya.
mematuhi ketentuan yang diatur oleh Asosiasi.
menguasai ketentuan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan tingkatan sertifikatnya; dan
Mematuhi segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai “Kuasa” Wajib Pajak:
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain;
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa hanya mempunyai hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan Wajib Pajak sesuai dengan surat kuasa khusus;
Seorang Konsultan Pajak sebagai Kuasa tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya apabila dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakannya:
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
menghalang-halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan; atau
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya. V. KESIMPULAN 1. Pasal 32 ayat (3) UU KUP adalah pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah pelaksanaan ketentuan yang diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 adalah merupakan pelaksanaan amanat Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 4. Norma sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) adalah merupakan pelaksanaan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya dalam Undang–Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 adalah merupakan ketentuan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena diperintah oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni UU KUP;
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, pada saat ini pihak yang dapat menjadi “kuasa” Wajib Pajak hanya meliputi:
Konsultan Pajak, dan b. Karyawan Wajib Pajak, yang memenuhi kriteria tertentu.
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak. Yurisdiksi pemajakan Indonesia tersurat dalam Pasal 23A UUD 1945 dan atas kuasa Pasal tersebut dibentuklah UU Perpajakan. Secara teoretis, sepanjang terdapat tax connecting factor antara subjek dan/atau objek pajak sebagaimana diatur dengan UU, kewenangan negara memajaki subjek dan objek di wilayahnya tidak terbatas, kecuali konstitusi atau hukum internasional menentukan lain (Knechtle, 1979; De Leon, 1993; dan Rohatgi, 2005). Paska booming minyak pada dekade 1980an, Indonesia mengalihkan sumber penerimaan negara dari migas yang tidak elastis dan prospektif, ke pajak yang lebih elastis, dinamis dan fleksibel terhadap kondisi ekonomi. Mengantisipasi kesulitan administrasi mengelola dan mengawasi jutaan subjek dan objek pajak seiring dengan kemajuan ekonomi negara, agar administrasi pajak lebih efektif dan efisien, pada 1984 Indonesia mengganti sistem pajak konvensional official assessment berdasar compulsory compliance ( government centered activities ) menjadi sistem pajak modern self assessment berdasar voluntary compliance ( taxpayer centered activities ). Untuk mengatasi ketidak cukupan jumlah pegawai pada saat itu, maka administrasi perpajakan harus bertransformasi dari manual konvesional menjadi computerized IT based tax administration online basis dengan daring sistem; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 Barry Larking (2005) menyebut self assessment sebagai sistem pajak yang mewajibkan WP menghitung sendiri utang pajak berdasar UU dan melaporkan dasar pengenaan pajak, melampirkan hitungan pajak terutang dan melunasinya. Secara teori sistem assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem pemungutan pajak modern paling efektif dan efisien, karena kebanyakan kegiatan pemajakan menjadi inisiasi WP. Mereka disebut patuh pajak jika melapor objek dan menghitung pajak terutang dengan benar, lengkap dan melunasi pajak tepat waktu (Alink & Kommer). Kepatuhan WP termasuk: (i) mendaftarkan diri guna peroleh NPWP/PKP, (ii) menyampaikan SPT yang diisi dengan benar dan lengkap, dan (iii) melunasi pajak tepat waktu. Fiscal Blueprints Komisi Eropa 2007 (Alink&Kommer) menyebut voluntary compliance sebagai bagian dari strategi model kepatuhan WP, dan unsur efisiensi administrasi pajak. Plumley AH (Alink & Kommer) menyebut beberapa manfaat voluntary compliance, seperti: (a) pajak dibayar tepat waktu; (b) penerimaan dari enforcement dibayar segera; (c) penerimaan terlindungi dan lebih bayar dikembalikan lewat proses efisien; dan (d) pembayaran sesuai kewajiban sebenarnya. Sistem self assessment meminta WP menghitung sendiri pajak terutang berdasar UU, membayar dan melaporkannya. Jika menemukan bukti utang pajak tidk benar dalam SPT, DJP dapat me re-assessment, dengan asumsi bawah kebanyakan WP berniat baik memenuhi kewajiban. Jika tidak terdapat bukti ketidak benaran SPT dan sampai waktu tertentu tidak ada penerbitan ketetapan pajak maka utang pajak yang dilaporkan dalam SPT dianggap benar dan demi hukum telah final. Prinsip fairness - public trust in tax administration (Thuronyi, 1996) menuntut agar proses __ re-assessment transparan sehingga temuan dalam pemeriksaan dikomunikasikan pada WP. Sementara itu, agar sistem self assessment efektif, DJP harus: (i) membuat WP memahami aturan dan mampu menghitung pajak dengan benar, sadar dan insyaf, berkemauan dan jujur serta transparan melaksanakan kewajiban, (ii) membuat sistem dan suasana WP mudah, murah mematuhi ketentuan, namun tidak ada pilihan lain kecuali patuh, (iii) mengawasi dan meningkatkan kepatuhan dengan basis IT, seperti otomasi administrasi pajak dan e-data matching dengan data pihak ketiga, (iv) memelihara dan menegakkan kesadaran, dan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan, (v) mengelola data Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 base secara valid, komprehensif dan terintegratif serta mampu mengakses data pihak ketiga secara meluas guna deteksi dini ketidakpatuhan; Secara administratif, sistem self assessment berdasar voluntary compliance merupakan sistem perpajakan modern, paling efektif dan efisien karena mempercayakan hampir semua inisiasi kegiatan pemajakan pada WP. Rochmat Soemitro (1998), Rizal Palil (2010) dan Benno Torgler (2005, dari Alink & Kommer) menyebut beberapa asumsi dasar self assessment bagi WP: (i) berpengetahuan pajak, (ii) sadar pajak, (iii) beriktikad baik dan jujur, (iv) berhasrat bayar pajak, (v) berdisiplin pajak, (vi) moral atau etika pajak, dan (vii) berkemauan membayar pajak. Inisiasi awal kegiatan perpajakan seperti perolehan NPWP dan penghitungan dan pembayaran pajak sepenuhnya berasal dari WP dengan asumsi: (i) WP pelaku transaksi dan penerima objek pajak dan basis pemajakan lainnya, (ii) menguasai data, informasi dan keterangan lengkap objek pajak, (iii) mengerti, memahami dan mampu melaksanakan ketentuan pajak, (iv) mampu menghitung pajak dengan benar dan lengkap, (v) menyadari pentingnya membayar pajak, dan (vi) dengan jujur bersedia memenuhi kewajiban pajak. Karena begitu sentralnya inisiatif WP itu, rasanya tidak mudah walaupun UU Pajak telah mewajibkan pembukuan pada WP Badan dan pengusaha orang pribadi tertentu, dan menyediakan norma penghitungan penghasilan neto bagi WP lainnya agar mereka dapat memenuhi kewajiban self assessment, tanpa hadirnya profesional pajak sebagai penunjang berfungsi efektif dan efisiennya sistem perpajakan (Thuronyi & Fanistanendael, 1996). Profesional merujuk pada seseorang yang mempunyai profesi tertentu (Fidel, 2014, Konsultan Pajak). Profesi merupakan pekerjaan profesional berlandaskan ilmu pengetahuan berdasar proses belajar mengajar, pelatihan dan penguasaan pengetahuan khusus serta pengalaman. Suatu profesi biasanya mempunyai asosiasi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi bidang profesi tersebut. Misalnya, Konsultan, Lawyer, Dokter, Akuntan, Notaris, dan Pengacara; The Encylopedia of Americana menyebut profesi sebagai suatu jabatan ( occupation ) atau pekerjaan ( vocation ) yang benar-benar dipersiapkan sungguh- sungguh melalui pendidikan spesialisasi intelektual. Beberapa ciri prinsip profesi (Fidel, 2014) termasuk: (i) suatu bidang terpelajar dari ilmu pengetahuan yang meliputi perangkat sikap yang diterapkan ketika memberikan jasa layanan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 berbayar, (ii) standar keberhasilan yang diukur dengan pelaksanaan layanan masyarakat berdasar kecakapan teknis tinggi yang didukung oleh pendidikan formal khusus, dan (iii) landasan kerja ideal, dan pengawasan pekerjaan praktisi melalui lembaga asosiasi dan kode etik. Dalam jasa penunjang sistem perpajakan, terdapat konsultan pajak. Konsultan pajak merupakan sebutan profesi bagi seseorang yang telah memenuhi persyaratan konsultan pajak sebagaimana diatur dalam PMK misalnya 111/PMK.03/2014. Penjelasan Pasal 35 ayat (1) UU KUP menyebut konsultan pajak sebagai setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jasa perpajakan yang diberikan Konsultan Pajak, menurut Fidel (2014) berupa konsultasi perpajakan, pengurusan, perwakilan, pendampingan, membela dalam penyidikan dan pengadilan pajak, jasa hukum perpajakan dan jasa perbantuan lainnya dalam ruang lingkup perpajakan; Sistem self assessment berdasar voluntary compliance , kurang berfungsi efektif efisien tanpa partisipasi aktif profesional pajak. Karena dalam dunia bisnis yang kompetitif saat ini, kebanyakan pengusaha dan investor tidak punya cukup waktu berurusan dengan perpajakan, sedangkan para karyawan kebanyakan kurang familiar dengan bahasa ketentuan perpajakan yang dinamis rentan perubahan, konsultan pajak amat diperlukan untuk menambah pengetahuan, meningkatkan kesadaran dan kejujuran, hasrat dan kemauan membayar pajak, sehingga WP mampu melaksanakan kewajiban pepajakan yang kompleks tepat waktu. Dengan memberi konsultasi, konsultan pajak telah menyelesaikan kepentingan publik yang strategis untuk kepentingan pemerintah dan publik. Karena itu, pemerintah harus melindungi dan menumbuh suburkan peranan konsultan sebagai mitra kerja kantor pajak. Dalam rangka menumbuh kembangkan profesi jasa penunjang sistem perpajakan ini, Pasal 9 PMK 111/PMK.03/2014 membuka 3 jalur sertifikasi konsultan pajak, yaitu: (i) jalur pendidikan melalui program Strata 1 Prodi Perpajakan dan dan program D-IV Perpajakan, (ii) jalur USKP, dan (iii) jalur penyetaraan sertifikasi pensiunan. Dengan demikian, siapa saja yang berminat menjadi profesioal pemberi jasa penunjang sistem perpajakan berkesempatan meraihnya. Karena mendapat imbalan dari WP, maka berbeda dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 petugas pajak yang hanya loyal kepada negara, profesional penyedia jasa penunjang sistem pajak lebih membela kepentingan WP agar hanya membayar pajak sejumlah semestinya. Karena itu, fungsi utama regulasi jasa penunjang sistem perpajakan termasuk menyeimbangkan loyalitas profesional penyedia jasa pada sistem pajak yang adil dan membela kepentingan WP. Regulasi juga harus melindungi kepentingan konsumen jasa perpajakan dari profesional yang tidak kompeten dan beritikad kurang baik. Selain itu, regulasi juga harus tidak cenderung melindungi kepentingan ekonomis profesional secara tidak proporsional atau sebaliknya justru mempersulit dan menghambat berfungsi efektif dan efisiennya profesi tersebut; Sistem self assessment berdasar voluntary compliance mempercayakan inisiatif kegiatan perpajakan bermula dari WP dan sampai sekarang merupakan hal yang tidak mudah bagi WP negara berkembang. Sistem ini mulai berlaku tahun 1984 mengganti sistem official assessment berdasar compulsary compliance dengan inisiatif kegiatan pemajakan berawal dari kantor pajak. Begitu penting peran praktisya pihak yang memahami masalah perpajakan membantu WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya sehingga sistem pajak berjalan baik dan berfungsi efektif dan efisien. Karena tidak mudah memahami bahasa UU Pajak terutama menyangkut transaksi global, maka sejak UU 6/1983 pembuat UU memberikan kelonggaran dan kesempatan kepada WP guna minta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Kelonggaran tersebut tercantum dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP, yang menyatakan bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penjelasan Pasal 32 ayat (3) menyebut bahwa kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus WP untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan WP. Bantuan yang dapat diminta pada kuasa yang memahami masalah perpajakan tersebut meliputi pelaksanan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak WP yang ditentukan dalam peraturan perpajakan; Secara umum, terdapat 3 pendekatan pengaturan profesional pajak (Victor Thuronyi, 1996): (i) full regulation (seperti Austria, China, Jerman, dan Jepang). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 Pemberlakuan monopoli praktik jasa pajak (sama sperti lawyer memonopoli jasa hukum) atau dibagi dengan lawyer dan akuntan, (ii) partial regulation (seperti Amerika dan Australia) tidak memberikan monopoli pelaku jasa perpajakan, tetapi membatasinya dengan sistem listing dan anggota perkumpulan profesi dengan kerangka pengaturan maju, dan (iii) no regulation (kebanyakan negara) tanpa pengaturan khusus memberikan kesempatan pemberi jasa perpajakan yang tidak bebas dengan profesi yang diatur seperti lawyer dan akuntan. Dari tiga pendekatan pengaturan inipun, detilnya berbeda antar negara. Model regulasi penuh (Jerman), UU Konsultan Pajak secara komprehensif mengatur pemberian jasa perpajakan. Pasal 2 menyatakan bahwa jasa perpajakan secara komersial hanya boleh dilakukan mereka yang dibolehkan UU, yaitu mereka yang kompeten melakukannya seperti Konsultan Pajak terdaftar, lawyer, akuntan dan pihak lain dalam keadaan amat terbatas dapat memberikan jasa perpajakan. Model regulasi parsial (Amerika). Ada pengaturan pemberian jasa perpajakan, namun tidak komprehensif, bahkan orang tanpa diklat profesi boleh beri jasa perpajakan seperti menyusun SPT, asal tidak terkait hukum. Setiap pemberi jasa pengisi SPT harus mengungkap identitasnya dan menandatangani serta menanggung sanksi salah ngisi. Layanan jasa berurusan ke kantor pajak terbatas oleh pengacara, kantor akuntan publik, atau konsultan pajak terdaftar. Urusan ke pengadilan pajak dapat diwakili pengacara atau profesi lain yang terdaftar di pengadilan. Australia hanya mengijinkan lawyer dan konsultan pajak untuk menyiapkan SPT berimbalan. Jika akuntan ingin memberi jasa penyiapan SPT harus menjadi konsultan pajak. Model tanpa regulasi , di berbagai negara, seperti Belgia, Italia, Portugal dan Inggris, pemberian jasa konsultasi pajak dan pengisian SPT tidak dibatasi hanya boleh dilakukan profesi tertentu. Wakil ke kantor pajak juga tidak dibatasi pada suatu profesi karena tidak ada persyaratan formal dan prosedural seperti di pengadilan; Tidak seperti negara penganut regulasi penuh atau parsial profesi penunjang sistem perpajakan, UU KUP mengikuti jalannya sendiri. Yaitu regulasi minimalis hanya menyebut bahwa WP dapat (berhak) menunjuk seorang kuasa tanpa pengaturan lebih lanjut. Dalam pengaturan lebih lanjut, Penjelasan menyebut batasan seperti kuasa itu adalah pihak yang memahami masalah perpajakan. Sementara itu, pengertian kuasa sebagai orang yang menerima kuasa khusus Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 dari WP untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari WP sesuai dengan ketentuan perpajakan baru muncul dalam Penjelasan UU 28/2007. Karena pihak yang memahami masalah perpajakan sebagai profesi penunjang sistem perpajakan hanya berfungsi membantu WP melaksanakan hak dan memenuhi kewajibannya, dalam Pasal 32 tidak disebut konsekwensi hukum dari pemanfaatan kuasa itu. Thuronyi dan Fanistendael (1996) lebih lanjut menyatakan bahwa negara berkembang penganut regulasi minimalis profesi penunjang sistem pajak, umumnya berada pada kondisi: (i) profesi penunjang perpajakan, seperti konsultan pajak jumlahnya masih sedikit, (ii) perpajakan belum menjadi program studi di berbagai fakultas di perguruan tinggi, seperti hukum, ekonomi bisnis, administrasi, dan fakultas lainnya, (iii) fakta pendidikan profesi dan vokasi perpajakan belum meluas, dan (iv) belum majunya administrasi perpajakan, seperti daring sistem, langkanya konsultan pajak, penerapan pembatasan administrasi WP melalui PTKP dan omset minimum PKP menjadikan belum waktunya mengatur profesi penunjang sistem perpajakan secara detil dalam UU yang kurang fleksibel. Akibatnya, negara penganut regulasi minimal, seperti China, Polandia, Slovakia, dan Indonesia memilih pengaturan persyaratan, dan tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban kuasa WP dalam aturan lebih rendah dari UU yang akan ditentukan berdasar perkembangan situasi dan kondisi perpajakan ; Berdasar pertimbangan tersebut maka dimunculkan ketentuan Pasal 32 ayat (3a) dalam UU 28/2007. Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menyatakan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan PMK. Sesuai dengan teori minimal regulasi tersebut, maka pengaturan dalam UU KUP cukup disebut bahwa WP berhak menunjuk kuasa, yaitu pihak lain yang menguasai masalah perpajakan. Selanjutnya regulasi rincinya akan diatur dalam peraturan di bawah UU (PMK) sesuai perkembangan situasi dan kondisi sistem perpajakan dan perkembangan profesi penunjang sistem perpajakan. Adapun berbagai jenis profesi yang dapat memberikan jasa profesional perpajakan di beberapa negara (Thuronyi dan Fanistendael, 1996) nampak sbb: No Negara Jenis profesional – kuasa WP Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 1 Australia Akuntan, Lawyer, Agen Pajak 2 Belgia Akuntan, Lawyer, Notaris, Agen Pajak 3 Canada Akuntan, Lawyer 4 Perancis Akuntan, Tax Lawyer, Notaris 5 Jerman Konsultan Pajak, Lawyer, Akuntan, Auditor 6 Nederland Akuntan, Tax Lawyer, Lawyer, Notaris, Auditor 7 Italia Tax advisor/Konsultan pajak, Lawyer, Notaris 8 Spanyol Akuntan, Lawyer, Sarjana Bisnis 9 Inggris Akuntan, Konsultan Pajak, Praktisi Pajak, Lawyer 10 Amerika Serikat Akuntan, Lawyer, Agen, Pengacara, dan lainnya 11 Jepang Akuntan Pajak 12 Indonesia Konsultan Pajak, sebelum 1984 ada Kantor Administrasi Pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mendelegasikan ketentuan tentang persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa diatur dengan atau berdasar Peraturan Menteri Keuangan, karena hal itu tidak diatur dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP. Pemohon menganggap ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan ayat (1), yaitu hak persamaan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan, serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, karena sebagai profesional advokat Pemohon tidak dapat menjalankan pekerjaan selaku Kuasa dari WP. Sebetulnya ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya memuat norma pendelegasian pengaturan lebih lanjut secara teknis mengenai persyaratan seorang penerima kuasa khusus serta pelaksanaan hak dan kewajibanWP oleh kuasa khusus dimaksud. Karena dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP pendelegasian tersebut belum diatur maka dimunculkan Pasal 32 ayat (3a) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 yang mengatur pendelegasian dimaksud. Sesuai dengan kondisi sistem perpajakan, sistem pendidikan perpajakan, dan kondisi Konsultan Pajak yang dihadapi saat ini, dari beberapa alternatif regulasi profesi jasa penunjang perpajkan ( full regulated , partial regulated , no regulation , dan minimal regulation ), UU KUP memilih yang terakhir sehingga dilakukan pendelegasian regulasi kepada Menteri Keuangan agar lebih fleksibel sesuai situasi dan kondisi; Pemahaman ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP harus dihubungkan dengan batang tubuh dan Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP. Sementara batang tubuh Pasal 32 ayat (3) menyatakan bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, Penjelasan antara lain menyebut bahwa kuasa adalah pihak yang memahami masalah perpajakan sehingga , untuk dan atas namanya, dapat membantu pelaksanaan hak dan kewajiban formal dan material WP . Jika kuasa sebagai pihak yang memahami masalah perpajakan yang mampu membantu WP dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat disamakan dengan profesional penunjang berfungsinya sistem perpajkan berdasar self assessment yang efektif dan efisien maka rambu-rambu dari pengaturan regulasinya adalah seperti yang dibahas di muka. Yaitu, antara lain regulasi jasa penunjang sistem perpajakan harus harus melindungi kepentingan konsumen jasa perpajakan dari profesional yang tidak kompeten dan beritikad kurang baik . Selain itu, regulasi juga harus tidak cenderung melindungi kepentingan ekonomis profesional secara tidak proporsional atau sebaliknya justru mempersulit dan menghambat berfungsi efektif dan efisiennya profesi tersebut; Karena Pasal 32 ayat (3a) UU KUP berisi norma pendelegasian pengaturan lebih lanjut pendekatan regulasi minimalis profesional pemberi jasa penunjang sistem perpajakan itu sudah sesuai dengan kelaziman praktik ketentuan perpajakan di beberapa negara dengan paham sejenis, keberadaan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP merupakan pendelegasian pengaturan yang adanya merupakan keharusan. Karena itu, tidak dapat secara otomatis dianggap Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (2) dan ayat (1) UUD 1945; Sebagai profesi, adalah merupakan kelaziman yang berterima umum, bahwa untuk dianggap kompeten memberikan jasa profesional di bidang perpajakan siapa saja yang berminat untuk menempuh proses sertifikasi Brevet Perpajakan, misalnya melalui jalur USKP sehingga setelah lulus yang bersangkutan dianggap kompeten untuk memberikan jasa perpajakan dan setelah mendapat ijin dapat dengan resmi dan syah menjadi kuasa Wajib Pajak. [2.4] Menimbang bahwa Pemohon dan Presiden menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah masing-masing pada tanggal 21 November 2017 dan 22 November 2017 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999), selanjutnya disebut UU KUP, terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat;
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, yang rumusannya masing-masing berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 (3a) Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan _Menteri Keuangan; _ (4)... 2. Bahwa Pemohon, Petrus Bala Pattyona, S.H., M.H., C.L.A, adalah perseorangan warga negara Indonesia dan pembayar pajak (vide bukti P-4) yang berprofesi sebagai advokat, pengacara, kurator, legal auditor , dan mediator;
Pemohon sebagai advokat dan pengacara juga memiliki sertifikasi tambahan seperti kurator, legal auditor , dan surat izin menjadi kuasa hukum di pengadilan pajak (vide bukti P-8) serta memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal pajak berdasarkan bukti sertifikat brevet A-B (vide bukti P-14);
Bahwa Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP telah merugikan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakibatkan adanya kewenangan mutlak Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa;
Bahwa Pemohon ditunjuk oleh Klien Pemohon untuk mendampingi, memberi nasihat, dan/atau mewakili Wajib Pajak, dan tetap terikat pada kewenangan Menteri Keuangan. Hal ini mengakibatkan Pemohon sebagai Kuasa Hukum tidak dapat menjalankan pekerjaan dan telah kehilangan hak untuk mendapat imbalan dan perlakuan yang adil serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan hak dan kewajiban kuasa, karena adanya kewenangan Menteri Keuangan;
Bahwa kewenangan Menteri Keuangan tersebut telah diterapkan dalam praktik bantuan hukum kepada Wajib Pajak dan Pemohon telah diijinkan untuk memberikan bantuan hukum di pengadilan pajak (vide bukti P-8), namun telah ditolak oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul Yogyakarta untuk mendampingi Klien dengan alasan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014, tanggal 18 Desember 2014 (selanjutnya disebut PMK 229/2014). Peraturan Menteri Keuangan ini terbit dengan merujuk pada Pasal 32 ayat (3a) UU KUP;
Bahwa Pasal 2 PMK 229/2014 menyatakan: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 (1) Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban mendaftarkan diri bagi Wajib Pajak orang pribadi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak harus dilaksanakan sendiri oleh Wajib Pajak;
Dalam hal pelaksanaan kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan melalui sistem administrasi yang terintegrasi dalam sistem di Direktorat Jenderal Pajak atau tempat tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dianggap telah melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan sendiri;
Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
konsultan pajak; dan
karyawan Wajib Pajak.
Bahwa penolakan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul terhadap Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukan seorang konsultan pajak menandakan petugas kantor Pelayanan Pajak Bantul tidak memahami hak-hak konstitusional Pemohon dan profesi Pemohon sebagai advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat). Penolakan tersebut didasarkan PMK 229/2014, namun dalam prakteknya banyak orang yang bukan konsultan pajak juga mengurus masalah pajak di KPP Bantul, bahkan Petugas KPP Bantul selalu menawarkan penyelesaian damai ke pihak-pihak yang mengurus pajak dengan mengiming- imingi agar jumlah pajak yang disetor ke Kas Negara dapat dikurangi agar selisih pembayaran diberikan kepada Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul;
Bahwa penolakan Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukanlah konsultan pajak dilakukan secara diskriminatif karena di lain kesempatan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul dapat menerima pihak lain yang bukan konsultan pajak untuk mengurus masalah-masalah pajak. Penolakan tersebut tidak dalam rangka menjalankan tugas profesinya tetapi semata-mata demi kepentingan dan keuntungan pribadi; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 Berdasarkan uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya sebagaimana diuraikan di atas, telah terang bagi Mahkamah bahwa terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya perihal inkonstitusionalitas Pasal 32 ayat (3a) UU KUP, Pemohon secara aktual telah ditolak oleh Petugas KPP Bantul ketika sedang menjalankan profesinya sebagai Kuasa seseorang dalam perkara perpajakan, di mana penolakan tersebut secara aktual pula didasari oleh keberlakuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP. Dengan demikian anggapan Pemohon perihal kerugian hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah benar di mana secara kausalitas hal itu terjadi karena keberadaan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP sehingga apabila permohonan a quo dikabulkan maka kerugian tersebut tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa apabila diringkas, uraian dalil Pemohon perihal inkonstitusionalnya Pasal 32 ayat (3a) UU KUP pada pokoknya adalah sebagai berikut:
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak yang bersifat memaksa, tidak dapat dipungkiri atau dihindari akan timbul permasalahan atau sengketa di bidang perpajakan. Adanya kekuasaan dan kepentingan bagi instansi yang mengeluarkan keputusan di bidang perpajakan tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, atau berpotensi menghilangkan unsur kedaulatan rakyat, sementara di sisi lain, Wajib Pajak tidak memiliki pengetahuan tentang hukum perpajakan. Sehingga potensi terjadinya rasa ketidakadilan bagi Wajib Pajak akibat tindakan pemerintah di dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan harus diselesaikan melalui suatu lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak manapun yang khusus menangani sengketa/perkara pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 2. Bahwa dalam kenyataan sehari-hari permohonan Wajib Pajak dan petugas pelaksana dari pemerintah tidak sepenuhnya mengetahui seluruh peraturan perpajakan yang mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian di pihak Wajib Pajak. Untuk mewujudkan perlindungan kedaulatan rakyat, negara perlu melindungi dan menjamin agar pelaksanaan hak dan kewajiban Pemohon/Wajib Pajak dapat terlaksana dengan baik yaitu dengan memberi hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk kuasa, didampingi atau diwakili Kuasa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. Hak untuk menunjuk Kuasa bagi Wajib Pajak dapat dilihat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang merupakan wujud pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum dan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang mengakui, menjamin, dan melindungi hak asasi manusia dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak;
Bahwa peran dan fungsi Kuasa dalam mewakili Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan memiliki peran penting untuk melindungi dan menjaga keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Kuasa juga memberikan jasa konsultasi perpajakan (konsultan pajak), sebagai salah satu usaha untuk memberdayakan masyarakat Wajib Pajak dalam memahami dan menyadarkan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, peranan dan fungsi Kuasa tersebut juga membantu Pemerintah atau Menteri Keuangan untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan pajak;
Bahwa Kuasa juga diharapkan untuk mencari dan menegakkan hak-hak Wajib Pajak, karena Kuasa yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang perpajakan diharapkan dapat mewakili dan melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa untuk mencari dan menegakkan keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga kuasa juga memiliki peran dan fungsi untuk mendampingi atau memberikan nasihat kepada Wajib Pajak atas hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga hak Wajib Pajak tidak dikurangi atau ditiadakan oleh Pemerintah atau Pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang perpajakan dan pelaksanaan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 5. Bahwa dengan adanya peranan penting dari kuasa hukum tersebut, menurut Pemohon jelaslah bahwa kuasa pajak haruslah mandiri, bebas atau independen dalam melaksanakan kuasa demi melindungi hak dan kepentingan pemberi kuasa, terhadap pihak manapun termasuk pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak sebagai pelaksana tugas penerima atau pemungutan pajak;
Bahwa ketentuan yang diuji Pemohon tersebut memberikan kewenangan mutlak/absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak;
Pemberian kewenangan yang absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon berarti, Menteri Keuangan berkedudukan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. Menteri Keuangan telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk membatasi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada Kuasa dengan cara memberi Menteri Keuangan kewenangan untuk membuat dan menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa dalam menerima dan menjalankan kedaulatan Pemohon. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut, telah mengakibatkan tidak terlaksananya kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban Pemohon melalui Kuasa;
Bahwa dalam sistem peradilan Indonesia, diakui keberadaan kuasa hukum yang memiliki profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan peran dalam pelaksanaan peradilan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. Pemohon dalam perkara a quo membandingkan kuasa hukum Wajib Pajak dengan profesi kuasa hukum yang diakui dalam sistem peradilan Indonesia, yaitu advokat yang diatur dalam UU Advokat;
Bahwa fungsi dan peran profesi advokat dengan kuasa Wajib Pajak/ Konsultan pajak dalam pelaksanaan peradilan adalah sama yaitu bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa dan memberikan nasihat hukum tentang perkara yang dihadapi. Konsultan Pajak hanya khusus untuk beracara di Pengadilan Pajak, sementara Advokat dapat melaksanakan kuasanya untuk setiap lembaga peradilan apapun termasuk sengketa atau permasalahan hukum yang belum dibawa ke badan-badan peradilan. Posisi atau kedudukan, peran, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 dan fungsi Kuasa Wajib Pajak dan Advokat di hadapan persidangan pengadilan adalah sama yaitu memberikan pendampingan, bantuan hukum atau nasehat hukum mewakili Pemberi Kuasa atas perkara yang dihadapi Wajib Pajak, serta menjalankan kuasa yang diberikan oleh Pemberi Kuasa;
Bahwa atas kesamaan fungsi dan peran profesi Advokat dengan Konsultan Pajak selaku Kuasa Hukum dalam pelaksanaan profesinya baik di dalam maupun di luar peradilan, maka kedudukan Kuasa atau profesi Konsultan Pajak haruslah sama dengan kedudukan Advokat dalam sistem hukum Indonesia. Dengan memperhatikan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Advokat dalam peradilan, berbeda dengan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU Advokat, sehingga tidak terdapat suatu unsur atau norma yang memberikan kewenangan kepada pihak manapun atau instansi pemerintahan seperti Menteri Hukum dan HAM, instansi penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian untuk menentukan persyaratan menjadi Kuasa Hukum/Advokat. Hal ini berbanding terbalik dengan profesi Konsultan Pajak/Kuasa Hukum Wajib Pajak, karena undang-undang yang dimohonkan untuk diuji materiil ini memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan sebagai Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Padahal Kuasa Hukum/Konsultan Pajak dan Menteri Keuangan adalah para pihak yang berperkara atau bersengketa di Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Pengadilan Pajak. [3.8] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-16b tanpa P-9, serta 1 (satu) orang ahli yang telah didengar keterangannya dalam persidangan dan/atau telah dibaca keterangan tertulisnya (sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara). Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 21 November 2017. [3.9] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 Kepaniteraan pada tanggal 16 Oktober 2017, serta 3 (tiga) orang ahli yang telah didengar keterangannya dalam persidangan dan/atau telah dibaca keterangan tertulisnya (sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara). Presiden juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 November 2017. [3.10] Menimbang bahwa setelah membaca dengan cermat permohonan Pemohon dan keterangan Pemohon dalam persidangan, serta memeriksa bukti- bukti yang diajukan, terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.10.1] Bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak secara spesifik memberikan argumentasi tentang pertentangan norma yang termuat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan secara panjang lebar mengenai hak Wajib Pajak untuk menunjuk kuasa serta kaitannya dengan profesi Pemohon sebagai advokat yang oleh UU Advokat diberi kewenangan untuk memberi bantuan hukum, termasuk menjadi kuasa dalam sengketa perpajakan. Pemohon hanya secara sumir mendalilkan bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dengan PMK 229/2014 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak memberikan argumentasi yang secara spesifik berkenaan dengan dalil ini (Perbaikan permohonan hal. 12). Dengan memperhatikan secara saksama uraian Pemohon tampak jelas bahwa yang menjadi pokok keberatan Pemohon sesungguhnya adalah keberadaan dan keberlakuan PMK 229/2014 yang merupakan delegasi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang telah menyebabkan Pemohon ditolak menjadi kuasa wajib pajak oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul padahal Pemohon telah memiliki sertifikat Brevet A-B. Atas dasar itu, Pemohon kemudian tiba pada penalaran bahwa Menteri Keuangan memiliki kewenangan absolut sehingga seolah-olah berada di atas kedaulatan rakyat. Lagi pula, Pemohon sendiri menyatakan dalam permohonannya bahwa ada pihak lain yang bukan konsultan pajak namun dapat mengurus masalah-masalah pajak (vide perbaikan permohonan Halaman 21), sehingga memberi kesan bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon adalah persoalan penerapan undang-undang. [3.10.2] Bahwa, namun demikian, jika dibaca rasionalitas dan konteks keseluruhan dalil Pemohon, Mahkamah memahami bahwa substansi yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sesungguhnya dipersoalkan oleh Pemohon adalah masalah pendelegasian kewenangan oleh undang-undang, in casu Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Peraturan Menteri, sehingga persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, apakah pendelegasian kewenangan demikian bertentangan dengan UUD 1945, khususnya sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011). Terhadap persoalan konstitusional tersebut Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa dalam menjalankan pemerintahan negara, diperlukan pemerintahan yang berdaulat dan memiliki kewenangan secara hukum. Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan adalah diturunkan dari kewenangan tersebut. Sumber kewenangan dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar;
Bahwa, sebagaimana disinggung pada angka 1 di atas, salah satu sumber kewenangan adalah diperoleh dari pendelegasian kewenangan perundang- undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid), yaitu pendelegasian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pendelegasian demikian dibutuhkan karena walaupun dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diharapkan dapat dirumuskan ketentuan-ketentuan yang dapat langsung menyelesaikan permasalahan, namun demikian acapkali diperlukan adanya pelimpahan (pendelegasian) peraturan perundang-undangan. Hal itu disebabkan peraturan yang lebih tinggi biasanya hanya mengatur ketentuan yang sangat umum (garis besar) sehingga pengaturan yang lebih konkret didelegasikan kepada peraturan yang lebih rendah secara berjenjang sesuai hierarkinya. Pendelegasian suatu peraturan perundang-undangan pada dasarnya dilakukan secara berjenjang sesuai dengan hierarki yang berlaku, misalnya dari Undang-Undang ke Peraturan Pemerintah atau dari Peraturan Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 ke Peraturan Presiden. Pendelegasian Undang-Undang ke Peraturan Menteri seharusnya tidak terjadi dalam sistem pemerintahan Presidensial oleh karena pendelegasian tersebut meloncati dua peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang secara konstitusional seharusnya didelegasikan ke Peraturan Pemerintah sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya” . Namun, masalah pendelegasian tersebut diatur secara agak berbeda dalam UU 12/2011 yang berlaku saat ini, sebagaimana tertuang dalam Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011. Pedoman angka 211 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan, “ Pendelegasian kewenangan mengatur dari undang- undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif”. Dengan demikian, terlepas dari persoalan apakah secara doktriner dalam sistem pemerintahan Presidensial dapat dibenarkan adanya pendelegasian kewenangan mengatur langsung dari Undang-Undang kepada Peraturan Menteri, menurut hukum positif yang berlaku pada saat ini ( in casu UU 12/2011) pendelegasian kewenangan demikian dimungkinkan sepanjang hal itu berkenaan dengan pengaturan yang bersifat teknis-administratif. Dengan kata lain, secara a contrario , pendelegasian kewenangan dari Undang-Undang langsung kepada Peraturan Menteri tidak dibenarkan jika materi muatannya berkenaan dengan hal-hal yang menurut hierarki peraturan perundang-undangan bukan merupakan materi muatan Peraturan Menteri;
Bahwa substansi yang diatur dalam UU 12/2011 terkait dengan pendelegasian kewenangan merupakan bagian dari sistem peraturan perundang-undangan Indonesia yang harus selalu menjadi acuan. Kepatuhan terhadap sistem peraturan perundang-undang dimaksud merupakan bagian dari upaya untuk memastikan bahwa setiap norma yang dibentuk memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara yang dikenai aturan dimaksud. Dalam konteks ini, untuk menilai keabsahan pendelegasian wewenang dari undang-undang kepada peraturan perundang-undangan lainnya, maka sistem pendelegasian kewenangan yang terdapat dalam UU 12/2011 tidak dapat dikesampingkan, dalam arti tidak dipertimbangkan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 sepanjang norma yang relevan yang termuat di dalamnya tidak dimohonkan pengujian;
Bahwa pada saat yang sama, pembatasan delegasi kewenangan dari undang- undang kepada menteri juga berhubungan dengan materi muatan undang- undang ditentukan secara eksplisit dalam UU 12/2011. Dalam kaitan ini, terhadap hal-hal yang terkait dengan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan UUD 1945 yang merupakan pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan atau pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara harus diatur dalam undang-undang. Karena itu, hanya hal-hal yang bersifat teknis- administratif dari pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan, pencabutan, atau perluasan hak itu saja yang dapat didelegasikan pengaturannya kepada menteri atau pejabat setingkat menteri. Dalam arti demikian, hal-hal yang bersifat pembatasan hak dan kewajiban yang belum diatur dalam undang-undang tidak dapat didelegasikan melalui sebuah Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana atau peraturan teknis.
Bahwa dalam kaitannya dengan delegasi kewenangan dari UU KUP kepada menteri dalam permohonan a quo , keberadaan norma tersebut berhubungan dengan sejarah dan semangat perumusan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 6/1983). Melalui ketentuan tersebut, pembentuk undang-undang sesungguhnya membuka ruang bagi setiap orang atau badan hukum Wajib Pajak untuk dikuasakan oleh seorang kuasa dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Pada saat pertama kali dirumuskan dan dimuat dalam UU 6/1983, dalam Pasal 32 ayat (3) dinyatakan bahwa Orang atau Badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam penjelasan ketentuan tersebut diterangkan bahwa norma dimaksud adalah untuk memberikan kelonggaran dari kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan orang lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Sesuai dengan ketentuan itu, hadirnya seorang kuasa dalam rangka membantu wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban diperkenankan. Pada saat yang sama, Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang a quo secara implisit juga mengakui hak seseorang untuk menunjuk seorang kuasa guna membantunya menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Hanya saja, orang yang bertindak sebagai kuasa tersebut disyaratkan haruslah orang yang memahami masalah perpajakan. Pada saat UU 6/1983 diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 9/1994), norma Pasal 32 ayat (3) UU 9/1994 juga ikut diubah, namun substansi yang dimuat di dalamnya tetap sama dengan substansi yang terdapat dalam UU 6/1983, di mana hak dan kesempatan Wajib Pajak untuk didampingi kuasanya tetap diakui. Penambahan ayat dalam Pasal 32 terjadi saat berlakunya Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyisipkan satu ayat diantara ayat (3) dan ayat (4), yakni ayat (3a) yang menyatakan, “ Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan ”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3a) hanya menyatakan cukup jelas. Rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan.
Bahwa ketika UU 6/1983 diubah untuk ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan. Norma tersebut berbunyi, “ Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan ”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP diterangkan kembali mengenai bentuk bantuan yang dapat diberikan dan siapa yang dimaksud dengan kuasa. Di mana, orang yang dapat menjadi kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan adalah setiap orang yang memahami masalah perpajakan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 Undang-Undang a quo hanya sebatas mengatur syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak, yaitu orang yang memahami masalah perpajakan. Dalam hal ini, Undang-Undang tidak mengatur lebih jauh kriteria orang yang dapat bertindak sebagai kuasa. Undang-undang juga tidak mengatur apa standar pemahaman masalah perpajakan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak. Undang-undang juga tidak mengatur bagaimana seorang kuasa menjalankan hak dan kewajibannya sebagai kuasa. Lebih jauh, Undang-undang juga tidak mengatur status kuasa Wajib Pajak sebagai profesi yang mandiri dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Pengaturan persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa tersebut, dalam UU KUP diadopsi satu norma baru berupa delegasi pengaturan terkait persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa kepada Peraturan Menteri. Hal itu dimuat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan rumusan berbunyi, “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” yang menjadi objek permohonan dalam perkara a quo . Masalahnya, apakah pendelegasian tersebut telah memenuhi syarat bentuk hukum dan substansi kewenangan yang didelegasikan dapat dikatakan bersesuaian dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat bergantung pada maksud dengan kata “ persyaratan ” dan frasa “ pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa ”.
Bahwa dalam keterangannya, pemerintah mengemukakan, salah satu alasan sosiologis pengaturan terkait Kuasa Wajib Pajak adalah karena faktor sulitnya melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan penasehat atau konsultan perpajakan. Hal itu terjadi karena hampir sebagian besar Wajib Pajak sulit memahami seluruh peraturan perpajakan dengan tepat karena dinamis dan rumitnya peraturan perpajakan. Atas dasar itu, diperlukan seorang penasehat perpajakan/orang yang memahami masalah perpajakan menjadi Kuasa Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Dalam konteks ini, keberadaan konsultan pajak sebagai kuasa menjadi penting bagi kepentingan publik pembayar pajak. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 Lebih jauh, dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR menjelaskan pengaturan mengenai persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan ketentuan bersifat teknis sehingga didelegasikan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan. Pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan: apakah dapat diterima bahwa persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan hal yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya dapat didelegasikan kepada sebuah peraturan pelaksana, in casu Peraturan Menteri.
Bahwa dari keterangan Pemerintah dan DPR dimaksud dapat dipahami pada satu sisi pengakuan terhadap hak Wajib Pajak untuk didampingi oleh seorang kuasa merupakan perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak ( tax payer ), sedangkan di sisi lain, persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa diposisikan sebagai hal yang bersifat teknis administratif. Apabila ditelaah lebih jauh, sesungguhnya telah terdapat contradictio in terminis dari penjelasan tersebut, terutama dengan memosisikan pengaturan terkait persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa sebagai sesuatu yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya didelegasikan kepada Menteri. Dalam hal ini, apabila pengaturan tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak, semestinya materi pengaturannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada Menteri. Sebab, Menteri merupakan pihak yang melaksanakan Undang- Undang Perpajakan yang dalam praktik sangat mungkin “berhadapan” dengan Wajib Pajak dan/atau Kuasa Wajib Pajak. Bagaimana mungkin kepentingan hukum Wajib Pajak akan dapat terlindungi bilamana Kuasa Wajib Pajak diatur dan dibatasi melalui Peraturan Menteri yang tidak menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak secara bebas dan mandiri.
Bahwa selanjutnya, dibentuknya UU KUP memang merupakan perintah UUD 1945, di mana dalam Pasal 23A UUD 1945 dinyatakan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dalam konteks itu, UU KUP mengatur hal-hal yang bersifat memaksa bagi warga negara yang memenuhi syarat, dalam hal ini pajak. Pajak merupakan kewajiban yang mesti dibayarkan oleh warga negara, di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 mana apabila tidak dipenuhi, maka sanksi hukum dapat dikenakan kepada yang bersangkutan. Sekalipun pajak merupakan sesuatu yang bersifat memaksa, di mana negara melalui Kementerian Keuangan dapat memaksa agar warga negara yang memenuhi kewajibannya, namun sifat memaksa pajak tidak serta-merta menghilangkan hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum, kejelasan proses pemungutan pajak, dan hak untuk dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami perpajakan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Hak untuk didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan merupakan salah satu sarana bagi Wajib Pajak untuk dapat melaksanakan kewajiban dan hak perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhindar dari potensi penyalahgunaan wewenang. Hak tersebut akan betul-betul dapat dilindungi apabila orang atau pihak yang menjadi kuasa untuk mewakili atau mendampingi Wajib Pajak adalah orang yang bebas dan mandiri dalam menjalankan profesinya sebagai Kuasa Wajib Pajak, bukan orang yang berada di bawah tekanan atau dalam posisi tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kuasa.
Bahwa oleh karena kewajiban membayar pajak tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk dapat dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan, maka pengaturan mengenai Kuasa Wajib Pajak haruslah dapat menjamin bahwa yang bertindak sebagai kuasa adalah orang yang memahami perpajakan dan dapat menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak. Demi untuk menjamin agar hak dan kewajiban Wajib Pajak terlaksana secara baik dan dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasa yang menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak, maka hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak tidak dapat diposisikan hanya sekedar hal yang bersifat teknis administratif. Persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Terlaksana atau tidaknya hak dan kewajiban sesuai aturan serta adanya kepastian hukum yang adil bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya akan sangat bergantung pada bagaimana pengaturan terkait dengan hak Wajib Pajak untuk dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasanya. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 Oleh karena itu, hal tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat teknis administratif, melainkan lebih bersifat substantif karena berhubungan dengan pembatasan hak seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sehingga seharusnya materi tersebut diatur dalam undang- undang. Dalam hal ini, Undang-Undang harus mengatur secara jelas mengenai persyaratan bagi orang yang akan bertindak sebagai Kuasa Wajib Pajak, baik syarat administratif maupun syarat kompetensi. Pada saat yang sama, undang-undang juga harus mengatur dan menjamin bahwa Kuasa Wajib Pajak harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara bebas dan mandiri. Pengaturan tersebut akan menjadi instrumen hukum untuk melindungi dan menjamin bahwa hak dan kewajiban Wajib Pajak dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhindar dari kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dan ketidakpastian hukum. [3.11] Menimbang bahwa pertimbangan Mahkamah yang bertumpu pada UU 12/2011, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.10] di atas, adalah dikarenakan undang-undang itulah yang memuat pengaturan lebih lanjut tentang pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan dan tidak menjadi objek permohonan a quo . Sehingga, sesuai dengan prinsip presumption of constitutionality yang berlaku dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang dan prinsip bahwa hakim atau pengadilan adalah zittende magistratur, maka UU 12/2011 khususnya Lampiran II Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 harus dianggap konstitusional sampai terbukti bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijatuhkan atas dasar adanya permohonan untuk itu. Prinsip zittende magistratur menghalangi Mahkamah untuk secara aktif menguji konstitusionalitas suatu undang-undang jika undang-undang yang bersangkutan tidak dimohonkan pengujian. Namun demikian, prinsip zittende magistratur tidak menghalangi Mahkamah untuk mengesampingkan keberlakuan suatu Undang-Undang apabila ternyata norma undang-undang yang bersangkutan telah ternyata menghalangi kewenangan Mahkamah dalam menjalankan fungsi constitutional review- nya. Pengesampingan demikian dibenarkan berdasarkan doktrin hukum tata negara dan tidak bertentangan dengan ajaran pemisahan kekuasaan, sebab Mahkamah tidak menguji konstitusionalitas norma undang- undang yang tidak dimohonkan pengujiannya, melainkan Mahkamah hanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 memutuskan untuk tidak menerapkannya. Artinya, norma Undang-Undang tersebut, baik teks maupun isi atau materi muatannya, tetap ada dan berlaku selama belum ada permohonan yang menguji konstitusionalitasnya dan belum ada Putusan Mahkamah berkenaan dengan hal itu. Hal ini pernah dipraktikkan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004. [3.12] Menimbang bahwa kendatipun Pemohon tidak memohonkan pengujian UU 12/2011 (terutama dalam hal ini Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011) dan kendatipun titik berat Permohonan Pemohon adalah terletak pada substansi pendelegasian dari undang-undang kepada Peraturan Menteri, in casu PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa, sesuai dengan sistem Pemerintahan Presidensial yang dianut oleh UUD 1945, pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah secara doktriner tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya menjadi substansi materi muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan tingkatan atau hierarkinya. Dengan demikian, dalam konteks Permohonan a quo , sesuai dengan pertimbangan pada sub-paragraf [3.10.2] di atas, tanpa perlu mengesampingkan keberlakuan Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011 dan tanpa harus menilai kasus konkret yang dialami Pemohon khususnya berkenaan dengan pemberlakuan PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa memang terdapat kebutuhan untuk mengatur lebih tegas pendelegasian wewenang teknis-administratif “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Menteri Keuangan. Sesuai dengan sifatnya sebagai delegasi yang bersifat teknis-administratif maka, di satu pihak, pengaturan demikian tidak boleh mengandung materi muatan yang merugikan hak wajib pajak dalam memberi kuasa kepada pihak manapun yang dinilainya mampu memperjuangkan hak- haknya sebagai wajib pajak dan menurut undang-undang absah untuk menerima kuasa demikian serta, di lain pihak, tidak menghambat atau mengurangi kewenangan negara untuk memungut pajak yang diturunkan dari UUD 1945. Pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis-administratif bukan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih ( over capacity of Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 power ) kepada Menteri Keuangan melainkan hanya untuk mengatur lebih lanjut mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa”. Artinya, pengaturan itu tidak boleh berisikan materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan peraturan yang lebih tinggi, lebih-lebih materi muatan undang-undang. Oleh karena itu, ada atau tidak ada kasus konkret sebagaimana dialami Pemohon, pendelegasian kewenangan mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya dapat dinyatakan konstitusional jika materi muatannya semata-mata bersifat teknis-administratif. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah ternyata bahwa dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas materi muatan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, yaitu sepanjang frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis- administratif, yaitu sepanjang tidak membatasi hak konstitusional warga negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
Menyatakan frasa “ pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa ” dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara.
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Maria Farida Indrati, Suhartoyo, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua belas, bulan April, tahun dua ribu delapan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh enam, bulan April, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 tahun dua ribu delapan belas , selesai diucapkan pukul 15.21 WIB , oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Anak Agung Dian Onita sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Arief Hidayat ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Anak Agung Dian Onita Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa. 26. Bahwa dengan adanya ketentuan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tanggal 14 Desember 2014 telah menimbulkan Kerugian konstitusional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 21 Pemohon yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) UUD 1945;
Bahwa rangkaian pelanggaran hak-hak konstitusional Pemohon yaitu menolak Pemohon untuk mendampingi, mewakili, memberikan bantuan hukum dan pembelaan kepada klien Pemohon dalam pemeriksaan di Kantor Pelayanan Pajak Bantul, mencerminkan bahwa Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul, tidak profesional, berlaku diskriminatif, arogan, angkuh, bertindak berlebihan, tidak taat dan paham hak-hak konstitusional dan hak- hak hukum khususnya profesi Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum dan penolakan Pemohon untuk mendampingi klien Pemohon bukan dalam rangka penegakan hukum tetapi demi kepentingan pribadi, mencari keuntungan atau tambahan rejeki bahkan lebih terkesan memeras Wajib Pajak, menawarkan penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Wajib Pajak yang tidak paham hukum; Penolakan Pemohon dengan dalil bahwa Pemohon bukan Konsultan Pajak dilakukan secara diskriminatif karena di lain kesempatan Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul dapat menerima pihak lain yang bukan Konsultan Pajak untuk mengurus msalah-masalah pajak; Penolakan oleh Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan, tidak dalam rangka menjalankan tugas profesinya tetapi semat-mata demi kepentingan dan keuntungan pribadi sehingga Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul harus bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan yang arogan, angkuh, tidak profesional, dan diskriminatif terhadap Pemohon, apalagi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang gagal memahami peraturan Perundang-Undangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Undang-Undang Advokat dan Undang-Undang Bantuan Hukum; Dengan demikian, berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, Pemohon memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing) untuk mengajukan permohonan uji materil ini ke Mahkamah Konstitusi karena telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan _konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 22 _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan _Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara. III. DALIL-DALIL PERMOHONAN 1. Bahwa negara hukum merupakan negara dimana penguasa atau pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraannya terikat atau dibatasi pada peraturan/hukum yang berlaku. Pembatasan pelaksanaan kekuasaan ini merupakan perinsip utama dalam negara hukum. Adapun tujuannya yaitu untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari penguasa/pemerintahan. Ciri-ciri Negara hukum yaitu: adanya pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan, pemerintahan berdasarkan Undang-Undang, dan adanya peradilan administrasi. Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi (P-1): “ Negara Indonesia adalah negara hukum.” Negara Indonesia sebagai wujud pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum mengakui, menjamin dan melindungi hak asasi manusia. Salah satu bentuk pengakuan, jaminan dan perlindungan hak asasi manusia yaitu menjamin persamaan atau sederajat bagi setiap orang di hadapan hukum ( Equality Before The Law ) sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi, “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” , Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (P-1) yang berbunyi, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “ Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ” ; Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan _kerja”; _ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 23 2. Bahwa dalam rangka usaha mewujudkan perinsip-perinsip Negara Hukum dan kedaulatan rakyat dalam pelaksanaan Perpajakan, konstitusi mengamanatkan dalam Pasal 23A UUD 1945 (P-1) yang berbunyi, “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa berdasarkan ketentuan ini, Perpajakan sebagai sumber pendapatan negara yang vital diatur oleh Undang-Undang. Hal ini bertujuan untuk menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban baik Pemerintah maupun Wajib Pajak dalam melaksanakan Perpajakan. Karena sifat pungutan pajak yang memaksa tersebut, dapat menimbulkan penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah dalam pelaksanaan pemungutan pajak, sehingga harus diatur dalam ketentuan atau Undang- Undang khusus Perpajakan, tanpa menghilangkan unsur kedaulatan rakyat atau hak-hak konstitusional warga negara;
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak yang bersifat memaksa, tidak dapat dipungkiri atau dihindari akan timbul permasalahan atau sengketa di bidang Perpajakan. Adanya kekuasaan dan kepentingan bagi instansi yang mengeluarkan keputusan di bidang Perpajakan tersebut rawan atau berpotensi terjadi konflik kepentingan ( konflik interest ), rawan atau berpotensi timbulnya penyalahgunaan kewenangan, atau berpotensi menghilangkan unsure kedaulatan rakyat. Sementara di sisi lain Wajib Pajak kurang memiliki pengetahuan tentang hukum Perpajakan. Sehingga potensi terjadinya rasa ketidakadilan bagi Wajib Pajak akibat tindakan pemerintah di dalam pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan harus diselesaikan melalui suatu Lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak manapun yang khusus menangani perkara/sengketa pajak. Bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP menyatakan: “ Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.” adalah bersifat diskriminatif, tidak memberikan jaminan, pengakuan, perlindungan yang layak bagi kemanusiaan, tidak memberi jaminan untuk bekerja dan mendapatkan imbalan yang kesemuanya tersebut melanggar Konstitusi khsususnya Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 24 4. Bahwa dalam kenyataan sehari-hari Permohonan Wajib Pajak dan petugas pelaksana dari pemerintah tidak sepenuhnya mengetahui seluruh peraturan Perpajakan yang mengatur hak dan kewajibannya Wajib Pajak sehingga berpotensi menimbulkan kerugian di pihak Wajib Pajak. Untuk mewujudkan perlindungan kedaulatan rakyat, negara perlu melindungi dan menjamin, agar pelaksanaan hak dan kewajiban Pemohon/Wajib Pajak dapat terlaksana dengan baik yaitu dengan memberi hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk Kuasa, didampingi atau diwakili kuasa dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang Perpajakan. Hak menunjuk Kuasa bagi Wajib Pajak dapat dilihat pada Pasal 32 ayat (3) UU KUP yang menyebutkan, “ Orang Pribadi atau Badan dapat menunjuk Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan”. Dan dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan, “ Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan surat Kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.” Hal ini merupakan wujud pelaksanaan prinsip-prinsip Negara hukum dan pelaksanaan kedaulatan rakyat yang mengakui, menjamin, dan melindungi hak asasi manusia dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak;
Bahwa peran dan fungsi kuasa dalam mewakili Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban Perpajakan memiliki peran penting untuk melindungi dan menjaga keseimbangan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak sesuai peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Kuasa juga memberikan jasa konsultasi Perpajakan (Konsultan Pajak), sebagai salah satu usaha untuk memberdayakan masyarakat Wajib Pajak dalam memahami dan menyadarkan hak-hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, peranan dan fungsi Kuasa tersebut juga membantu pemerintah atau Menteri Keuangan untuk memperlancar pelaksanaan pemungutan pajak. Di sisi lain, bahwa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 25 Kuasa juga diharapkan untuk mencari dan menegakkan hak-hak Wajib Pajak, karena Kuasa yang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang Perpajakan diharapkan dapat mewakili dan melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa untuk mencari dan menegakkan keadilan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Sehingga Kuasa juga memiliki peran dan fungsi untuk mendampingi atau memberikan nasihat kepada Wajib Pajak atas hak dan kewajiban Wajib Pajak, sehingga hak-hak Wajib Pajak tidak dikurangi atau ditiadakan oleh pemerintah atau pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang Perpajakan dan pelaksanaan kewajiban Perpajakan yang sesuai dengan ketentuan peraturan Perpajakan. Dengan adanya peranan penting dari Kuasa hukum tersebut, menurut Pemohon jelaslah bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah mandiri, bebas atau independen dalam melaksanakan Kuasa demi melindungi hak dan kepentingan Pemberi Kuasa, terhadap pihak manapun termasuk pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Pajak sebagai pelaksana tugas penerima atau pemungutan pajak;
Bahwa di balik adanya kepastian hukum atas penyelesaian sengketa pajak dan hak bagi Wajib Pajak untuk menunjuk Kuasa, didampingi, atau diwakili Kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Perpajakannya atau kedaulatannya, timbul permasalahan bagi Pemohon yaitu adanya kewenangan Menteri Keuangan dalam menentukan Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa. Menurut Pemohon, ketentuan yang diuji material Pemohon yaitu Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Pemohon atau Wajib Pajak sesuai dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip Negara hukum yang melindungi hak-hak asasi manusia; Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP Perpajakan berbunyi: “Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan”, Kuasa yang dimaksud yaitu Pasal 32 ayat (3) UU KUP (P-2) berbunyi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 26 “Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan Surat Kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan” 7. Bahwa menurut penafsiran Pemohon, ketentuan yang diuji Pemohon tersebut memberikan kewenangan mutlak/absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon/Wajib Pajak. Pemberian kewenangan yang absolut kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa untuk melaksanakan kedaulatan Pemohon berarti Menteri Keuangan berkedudukan lebih tinggi dari kedaulatan rakyat. Menteri Keuangan telah diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk membatasi pelaksanaan kedaulatan rakyat kepada Kuasa dengan cara Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk membuat dan menentukan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa dalam menerima dan menjalankan kedaulatan Pemohon. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan tersebut, telah mengakibatkan tidak terlaksananya kedulatan Pemohon/Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban Pemohon melalui Kuasa;
Bahwa mencermati Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut membuktikan betapa absolutnya kewenangan Menteri Keuangan. Jika ditelaah lagi pasal per pasal, Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengatur segala ketentuan yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa, baik dari segi syarat-syarat, ujian dan sertifikasi, menegur, membekukan ijin, mencabut izin Kuasa/ Konsultan Pajak, izin beracara di pengadilan (menolak, menerima dan mencabut Izin). Hal ini memperlihatkan kekuasaan dan kewenangan absolut yang jelas-jelas mengakibatkan Kuasa tidak memiliki kebebasan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya untuk kepentingan hak-hak Pemohon/Wajib Pajak. Karena kedudukan Menteri Keuangan memilki kekuasaan/kewenangan yang superior dibanding dengan Kuasa Hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban Perpajakan termasuk peradilan pajak. Sebagai contoh bukti bentuk kewenangan absolut Menteri Keuangan cq Direktorat Jenderal Pajak yaitu tentang Pencabutan izin Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 27 Praktek sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 111/PMK. 03/2014, Pasal 26 tentang Teguran, Pembekuan, dan Pencabutan Izin Praktik yang berbunyi: Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang memberikan teguran tertulis, menetapkan pembekuan Izin Praktik, dan menetapkan pencabutan Izin Praktik" Pasa1 29 ayat (1) huruf j: "pencabutan Izin Praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ditetapkan dalam hal j. Konsultan Pajak memberikan Jasa Konsultasi di bidang Perpajakan tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, Pasal 23 huruf a: "Konsultan Pajak:
memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban Perpajakan sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan Perpajakan". Melihat pengaturan ketentuan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak diberi kewenangan untuk mencabut Izin Konsultan Pajak, dalam hal Konsultan Pajak, tidak memberikan jasa konsultasi yang tidak sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan. Pengaturan ini bersifat multitafsir dan cakupannya luas, dan tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak yang menentukan sesuai atau tidaknya jasa konsultasi pajak yang diberikan. Bahwa yang bewenang menentukan sesuai atau tidaknya suatu tindakan atau perbuatan yang melanggar peraturan Perundang-Undang adalah lembaga peradilan karena perbuatan yang dianggap tidak sesuai tersebut haruslah dibuktikan terlebih dahulu. Hukum pembuktian hanya dapat dilaksanakan dalam suatu mekanisme atau sistem peradilan. Sementara dalam hal ini, Menteri Keuangan c.q . Direktorat Jenderal Pajak dapat dengan leluasa menyatakan suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan Perundang-Undangan Perpajakan tanpa didasari suatu pembuktian. Sehingga menurut Pemohon hal ini berpotensi disalahgunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mengintervensi Kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya dan yang paling dirugikan adalah Pemohon/Wajib Pajak yang menunjuk dan mempercayakan kepada Kuasa dalam melaksanakan hak dan Kewajiban Perpajakannya;
Bahwa dalam sistem peradilan Indonesia, diakui keberadaan Kuasa Hukum yang memiliki profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan peran dalam pelaksanaan peradilan yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 28 Undangan. Pemohon dalam perkara a quo membandingkan Kuasa Hukum Wajib Pajak dengan Profesi Kuasa Hukum yang diakui dalam sistem peradilan Indonesia, yaitu Advokat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
Bahwa fungsi dan peran Profesi Advokat dengan Kuasa Wajib Pajak/Konsultan Pajak dalam pelaksanaan peradilan adalah sama yaitu bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa dan memberikan nasehat hukum tentang perkara yang dihadapi. Bahwa profesi Konsultan Pajak hanya khusus untuk beracara di Pengadilan Pajak, sementara Advokat dapat melaksanakan Kuasanya untuk setiap lembaga peradilan apapun termasuk setiap sengketa atau permasalahan hukum yang belum dibawa ke badan-badan peradilan. Posisi atau kedudukan, peran, dan fungsi Kuasa Wajib Pajak dan Advokat di hadapan persidangan pengadilan adalah sama yaitu memberikan pendampingan, bantuan hukum atau nasehat hukum mewakili Pemberi Kuasa atas perkara yang dihadapi Wajib Pajak, serta menjalankan Kuasa yang diberikan oleh Pemberi Kuasa;
Bahwa atas kesamaan fungsi dan peran profesi Advokat dengan Konsultan Pajak selaku Kuasa Hukum dalam pelaksanaan profesinya baik di dalam maupun di luar peradilan, maka kedudukan Kuasa atau profesi Konsultan Pajak haruslah sama dengan kedudukan Advokat dalam Sistem hukum Indonesia. Dengan memperhatikan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Advokat dalam peradilan, berbeda dengan pengaturan persyaratan untuk dapat menjadi Kuasa Hukum atau Konsultan Pajak. Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3 dan, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (P-28). Dengan memperhatikan ketentuan tersebut, tidak terdapat suatu unsur atau norma yang memberikan kewenangan kepada pihak manapun atau instansi pemerintahan seperti Menteri Hukum dan HAM, instansi penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian untuk menentukan persyaratan menjadi Kuasa Hukum/Advokat. Hal ini berbanding terbalik dengan profesi Konsultan Pajak/Kuasa Hukum Wajib Pajak, karena Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji materiil ini memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan sebagai Kuasa Hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 29 atau, Konsultan Pajak. Padahal Kuasa Hukum/Konsultan Pajak dan Menteri Keuangan adalah para pihak yang berperkara/bersengketa di Direktorat Jenderal Pajak dan/atau Pengadilan Pajak;
Bahwa Advokat sebagaimana disebutkan dalam Konsideran Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan: " Menimban g : b) memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia "; dan c) bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum”. Profesi Advokat ditempatkan sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan Pemohon tersebut Pengujian Pasal 32 ayat (3a) UU KUP mengenai kewenangan Menteri Keuangan berdasarkan pasal-pasal yang diajukan uji materiil oleh Pemohon, yaitu kewenangan Menteri Keuangan untuk mengatur dan menentukan persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa, Pemohon merasa hak Pemohon sebagai Kuasa atau Advokat untuk menjalankan profesi sebagai Kuasa Hukum yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam mewakili kepentingan Pemohon telah terciderai, karena kewenangan Menteri Keuangan tersebut adalah intervensi dan menempatkan kedudukan Menteri Keuangan yang lebih tinggi atau superior dibandingkan dengan Wajib Pajak/Kuasa. Sehingga menurut penalaran yang wajar dan masuk akal pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak dapat atau berpotensi menjadi tidak netral. Oleh karena itu, Ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang diuji materiil oleh Pemohon mengenai kewenangan Menteri Keuangan untuk menentukan Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa, dalam rangka mewakili kepentingan Pemohon telah bertentangan dengan konstitusi yaitu norma Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 30 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa dengan dikabulkannya permohonan ini, potensi kerugian Pemohon tidak akan terjadi dan semua orang yang menyandang profesi Advokat tidak dilanggar hak-hak konstitusionalnya;
Konklusi:
Pemohon memiliki Legal Standing selaku warga negara dan Wajib Pajak untuk mengajukan Uji Materi terhadap Pasal 32 ayat (3a) UU KUP khusus yang berbunyi, “Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan”, padahal sebelumnya dalam Pasal 3, disebutkan bahwa: Orang atau Badan dapat menunjuk seorang Kuasa dengan Surat Kuasa Khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban menurut Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan;
Telah terbukti adanya kerugian konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam:
Bahwa ketentuan dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP jelas telah merugikan Pemohon; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 IV. Petitum Berdasarkan alasan-alasan hukum yang konstitusionalitas yang telah diuraikan tersebut di atas, maka Pemohon memohon agar Maielis Hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan seluruh Permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan oleh Pemohon;
Menyatakan Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mengikat;
Memerintahkan Amar Putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 32 ayat (3a) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) untuk dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya – ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-16b, tanpa bukti P-9 yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 2 Oktober 2017, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (2);
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pasal 32 ayat (3a), yang berbunyi: “ Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan, “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh _sebuah Mahmakah Konstitusi; _ 4. Bukti P-4 : Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak/NPWP atas nama Pemohon dengan Nomor 07.283.5382-017.000;
Bukti P-5 : Fotokopi Keputusan Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor PTJ.PANKUM 143.671-1990;
Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Kehakiman Nomor D- 29.KP.04.13-Tahun 1993 tanggal 11 Agustus 1993 tentang Pengangkatan sebagai Penasihat Hukum; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 7. Bukti P-7 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU.AH.04.03-85 sebagai Kurator dan Pengurus;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Keputusan Nomor KEP-302/PP/IKH/2009 tanggal 30 Juni 2009 sebagai Kuasa Hukum Pengadilan Pajak;
Bukti P-10 : Fotokopi Keputusan Certified Legal Auditor tanggal 2 Juli 2014 sebagai Legal Auditor ;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Kuasa yang diberikan oleh Klien Pemohon, Ny. Dra. Hj. Delia Murwihartini kepada Pemohon untuk mewakili/ mendampingi Klien tersebut sehubungan dengan proses hukum yang dihadapi oleh Klien Pemohon;
Bukti P-12 : Fotokopi Surat yang diajukan oleh Pemohon selaku Kuasa Hukum kepada Pejabat-pejabat/Petugas Pajak pada 28 Februari 2015 yang pada pokoknya menyampaikan keberatan dengan cara kerja KPP Bantul, dalam hal ini Pejabat- pejabat/Petugas Pajak yang memperlakukan Klien Pemohon dengan tidak adil;
Bukti P-13 : Fotokopi Tanggapan ke Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak tanggal 8 April 2015 dengan Nomor 008/THS/PBP/IV/2015 yang menanggapi Surat Petugas Kantor Pelayanan Pajak Bantul;
Bukti P-14 : Fotokopi Sertifikat Perpajakan Setara Brevet A-B yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 10 Januari 2009-25 April 2009 dengan Nomor Sertifikat 032/LPLIH Perpajakan/IV/2009;
Bukti P-15 : Fotokopi Surat Perjanjian Penggunaan Jasa Hukum untuk mendampingi dan mengurus permasalahan Klien Pemohon dengan nilai kontrak sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);
Bukti P-16 :
Fotokopi Akta Permohonan Banding Nomor 28/Pdt.G/2015/ PN.Btl tanggal 8 Desember 2015;
Fotokopi Akta Pencabutan Permohonan Banding Nomor 28/Pdt.G/2015/PN.Btl tanggal 17 Mei 2016; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 Selain itu, untuk menguatkan dalilnya, Pemohon dalam persidangan tanggal 14 November 2017, mengajukan satu orang ahli yakni DR.(Yuris), DR.(Mp), H. Teguh Samudera, S.H., M.H. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 10 November 2017, pada pokoknya sebagai berikut:
PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa “ negara Indonesia adalah negara hukum ” [vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 -perubahan ketiga- disahkan MPR 10-11- 2001]. Prinsip negara hukum menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum ( equality before the law ). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; Guna memahami secara substansial terhadap pembahasan fungsi dan peran Advokat, maka ahli memandang perlu mengemukakan pengertian dari tiap-tiap kata pada bahasan ini sebagaimana dalam KBBI: 1997 yaitu: yang dimaksud dengan Fungsi : kegunaan suatu hal; berfungsi: berguna dalam menjalankan tugasnya; berfungsi sosial: berguna bagi kehidupan masyarakat; Peran : tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan/ berprofesi dalam masyarakat; Profesi : organisasi yang anggota-anggotanya adalah orang-orang yang mempunyai profesi sama; Advokat : orang yang berpraktik memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, pengacara, penasehat hukum, pengacara praktik ataupun sebagai konsultan hukum;
PERAN DAN FUNGSI ADVOKAT Ahli berpendapat, bahwa dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggungjawab adalah merupakan hal yang sangat penting , di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Advokat, melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar peradilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada masa saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kahidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa di seluruh dunia. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian di luar pengadilan. Sebagai landasan kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam kehidupan masyarakat itu dibentuklah Undang-undang Advokat sebagaimana diamanatkan pula dalam pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, mengatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat [ fungsinya ]: seperti dalam (1) pengangkatan, (2) pengawasan, dan (3) penindakan serta ketentuan bagi (4) pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu juga diatur berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam (1) menegakkan keadilan serta (2) terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya. Menurut pendapat ahli, tidak dapat kita pungkiri, bahwa saat ini profesi Advokat yang bebas dan mandiri serta bertanggung jawab itu sangat diperlukan untuk menjaga kekuasaan kehakiman yang bebas dari:
segala campur tangan dan (2) pengaruh dari luar. Karena kekuasaan kehakiman yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 independen itu semata-mata demi terselengaranya peradilan yang jujur, adil dan bersih demi kepastian hukum bagai semua pihak agar:
keadilan, (2) kebenaran dan (3) hak asasi manusia itu terwujud dengan kokoh dan tegak sebagaimana yang semestinya bagi kehidupan manusia; Advokat selain berperan:
memberi jasa hukum (baik di dalam maupun di luar pengadilan), juga wajib (2) memberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tidak mampu. Dengan demikian menurut ahli, Advokat itu:
tidak boleh melakukan diskriminasi, (2) tidak boleh mata duitan, (3) tidak boleh memegang jabatan lain yang bertentangan dengan tugas dan martabat profesinya maupun jabatan yang meminta pengabdian yang merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya. Sehingga Advokat yang menjadi pejabat negara, dilarang melaksanakan tugas profesinya alias cuti dengan menanggalkan segala atribut profesi keAdvokatannya; Tujuan utama UU Advokat adalah: perlindungan terhadap profesi Advokat, agar (1) bebas dan (2) mandiri serta (3) bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya, sesuai dengan:
kode etik maupun (2) peraturan perundang-undangan. Menurut Ahli, materi muatan pokok yang terpenting dalam Undang-undang Advokat adalah: tentang pengakuan bahwa Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri dan dijamin oleh hukum dan perUndang- undangan [vide Pasal 5 ayat (1)]. Untuk menjaga kemandiriaannya, maka Advokat mengatur dan mengurus sendiri profesinya dalam satu organisasi profesi Advokat ( self governing body ), tanpa campur tangan atau kontrol dari kekuasaan pemerintah. Hal itu tercermin dari ketentuan bahwa organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dengan maksud dan tujuan meningkatkan kualitas profesi Advokat [Pasal 28 ayat (1)]; Mengenai organisasi Advokat itu pun ditetapkan oleh para Advokat sendiri dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga [Pasal 28 ayat (2)]; Kemandirian tersebut dapat dilihat pada:
proses pendidikan khusus profesi;
ujian calon Advokat, (3) magang;
pengangkatan Advokat, (5) pengawasan, (6) penindakan sampai pemberhentian Advokat, semuanya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 diatur dan diurus sendiri oleh organisasi Advokat [vide Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 9 ayat (1)]; Proses rekruitmen itu sendiri yang diberi kewajiban menerima calon–calon Advokat yang akan melakukan magang [Pasal 29 ayat (5)], dengan kewajiban memberikan bimbingan, pelatihan dan kesempatan praktek terhadap para calon Advokat [Pasal 29 ayat (6)] adalah para Advokat yang menjadi anggota organisasi profesinya; Dengan demikian menurut ahli, ada 2 (dua) prinsip (1) kebebasan dan kemandirian profesi Advokat dan (2) organisasi Advokat yang mengurus dirinya sendiri ( self governing body ) yang menjadi roh (jiwa) ataupun semangat (spirit) dari Undang-undang Advokat; yang notabene dua prinsip tersebut telah 39 tahun diperjuangkan tetapi tidak pernah dapat diterima oleh pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru; Undang-undang Advokat itu merupakan hasil era reformasi di bidang hukum, berkat dukungan dari pembentuk Undang-undang dan pemerintah, termasuk para Advokat serta organisasi profesi Advokat. Dalam rangka perlindungan terhadap profesi Advokat yang bebas dalam menjalankan tugas profesi yang menjadi tanggung jawabnya (Pasal 15) dan khusus di muka pengadilan , Advokat bebas mengeluarkan pendapat dan pernyataan dengan tetap berpegang pada kode etik dan peraturan perUndang- undangan (Pasal 14), maka Advokat pun tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya, asalkan dengan itikad baik untuk kepentingan klien dalam persidangan (Pasal 16). Advokat juga mempunyai hak untuk memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan klien sesuai dengan peraturan perUndang-undangan (Pasal 17); Advokat juga berhak, bahwa dirinya wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang– undang. Dalam hubungan ini Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas dokumen terhadap penyitaan atau pemeriksaan. Begitu pula perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat (Pasal 19). Undang–undang menjamin pula, bahwa Advokat dalam menjalankan profesinya tidak dapat diidentikkan (baca: disamakan) dengan klienya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang maupun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 masyarakat [Pasal 19 ayat (2)]. Karenanya menurut ahli, hal ini teramat penting dijaga, karena masih adanya kecenderungan disebagian penguasa maupun sebagian masyarakat yang menyamakakan Advokat atau sipembela sama dengan pihak yang dibelanya, baik klien perorangan, golongan ataupun pemerintah; Jikalau kecenderungan tersebut terjadi, akan sangat merugikan kebebasan profesi, karena Advokat akan ragu-ragu, bahkan takut membela kliennya dengan alasan khawatir akan diintimidasi, diteror dan lain-lainnya dari pihak yang merasa dirugikan atau pun pihak yang tidak senang; Padahal sebenarnya, hak membela diri adalah merupakan hak asasi dari seseorang dan juga merupakan hak hukumnya yang wajib dilindungi demi tegaknya proses peradilan yang objektif, jujur, dan adil ( fair trial ); Menurut Ahli, Advokat dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya adalah merupakan sikap dan panggilan dalam profesi yang diyakini sebagai tugas yang mulia, luhur dan manusiawi ( officium nobiele ) yang telah melekat dan mendarah daging pada jiwanya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan demi nama baiknya; Di dalam Undang- Undang Advokat juga telah menentukan bahwa dalam menjalankan tugas profesinya, Advokat dilarang membedakan perlakuan terhadap kliennya berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, ataupun latar belakang sosial dan budaya [Pasal 19 ayat (1)]; Adanya aturan yang bersifat larangan memegang jabatan yang bertentangan dengan kepentingan, tugas dan martabat profesinya [Pasal 20 ayat (1)] ataupun memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa hingga merugikan profesi Advokat atau merugikan kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan profesinya [Pasal 20 ayat (2)] adalah untuk menjaga kemurnian profesi Advokat [yang bebas dan mandiri serta bertanggung jawab] dari pengaruh kekuasaan ataupun pekerjaan lain yang bertentangan dengan kebebasan profesi ataupun yang merendahkan martabat profesi Advokat, yang nanti pada akhirnya dapat terjadi keadaan yang merugikan kepentingan klien maupun dirinya dalam menjalankan tugas profesinya sebagai Advokat; Jadi, sekalipun Advokat kemudian menjadi pejabat Negara, tetap saja Advokat tersebut tidak boleh melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan dimaksud [Pasal 20 ayat (3)]. Adanya larangan dalam hal ini Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 adalah semata menjaga agar dapat menghindari penyalahgunaan jabatan negara bagi pribadi si Advokat atau bagi kepentingan kliennya; Sesuai dengan asas hukum, asas keseimbangan, maka menurut ahli, hak-hak yang diberikan kepada profesi Advokat diimbangi pula dengan diberikan kewajiban hukum yaitu kewajiban untuk tunduk dan taat pada etika profesi maupun terhadap peraturan perundang-undangan demi melindungi masyarakat khususnya para pencari keadilan atau pengguna jasa Advokat;
PRINSIP-PRINSIP DASAR TENTANG PERAN ADVOKAT Sepengetahuan Ahli telah ada prinsip-prinsip dasar tentang perana advokat yang telah “disahkan” oleh KONGRES PERSERIKATAN BANGSA- BANGSA, Kedelapan tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Havana, Kuba, 27 Agustus - 7 September 1990; Prinsip- prinsip tersebut telah diakui secara universal dan menjadi pedoman atau landasan berpikir dalam pembentukan hukum dan perilaku pemerintah dalam menjalankan wewenangnya yang menurut Ahli dipandang relevan dikutip dan dikemukakan disini yakni sebagai berikut: Akses kepada Advokat dan pelayanan hukum:
Semua orang berhak untuk minta bantuan seorang Advokat mengenai pilihan mereka untuk melindungi dan menetapkan hak-hak mereka dan untuk melindungi mereka pada semua dalam proses pengadilan pidana;
Pemerintah-pemerintah harus memastikan bahwa prosedur yang efisien mekanisme yang responsif untuk akses yang efektif dan setara kepada Advokat disediakan kepada semua orang di wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksinya, tanpa pembedaan dalam hal apapun, seperti misalnya diskriminasi yang berdasarkan pada ras, warna kulit, asal-usul etnis, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lain-lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, status ekonomi atau lainnya;
Pemerintah-pemerintah harus memastikan bersedianya dana dan sumber daya lainnya yang cukup untuk pelayanan hukum bagi orang-orang miskin dan, kalau perlu, kepada orang-orang lain yang kurang beruntung. Perhimpunan Advokat profesional harus bekerjasama dalam organisasi dan penyediaan pelayanan, fasilitas dan sumber daya lainnya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 4. Pemerintah dan perhimpunan Advokat profesional akan memajukan program untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka berdasarkan hukum dan peranan penting Advokat dalam melindungi kebebasan-kebebasan fundamental mereka. Perhatian khusus harus ditujukan kepada bantuan kepada orang-orang miskin dan orang- orang yang kurang mampu sehingga memungkinkan mereka untuk menyatakan hak-hak mereka dan untuk minta bantuan Advokat;
Pemerintah-pemerintah harus menjamin bahwa aparat yang berwenang akan memberitahukan hak Terdakwa untuk didampingi Advokat pada saat ditangkap atau ditahan atau apabila dituduh dengan pelanggaran pidana;
Orang yang tidak mempunyai Advokat, dalam hal bagaimanapun juga di mana kepentingan keadilan membutuhkan, berhak untuk mempunyai seorang Advokat yang mempunyai pengalaman dan kompetensi yang sesuai dengan sifat pelanggaran yang ditugaskan kepada mereka untuk memberikan bantuan hukum secara efektif, tanpa bayaran oleh mereka kalau kekurangan sarana yang cukup untuk membayar pelayanan tersebut;
Pemerintah-pemerintah selanjutnya harus memastikan bahwa semua orang yang ditangkap atau ditahan, dengan atau tanpa tujuan pidana, harus mempunyai akses dengan segera kepada seorang Advokat, dan dalam keadaan apapun tidak lebih lambat dari empatpuluh delapan jam dari waktu penangkapan atau penahanan;
Semua orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjarakan harus diberi kesempatan, waktu dan fasilitas yang cukup untuk dikunjungi oleh Advokatnya untuk berkomunikasi dan berkonsultasi, tanpa penyadapan atau penyensoran dan dalam kerahasiaan sepenuhnya. Konsultasi tersebut dapat diawasi, tetapi tidak boleh didengar oleh para pejabat penegak hukum; Kualifikasi dan Latihan:
Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus memastikan bahwa para Advokat mendapat pendidikan dan latihan yang layak dan memperoleh kesadaran mengenai cita-cita dan kewajiban etis Advokat dan hak asasi manusia serta kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan internasional; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 10. Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus menjamin bahwa tidak ada diskriminasi terhadap seseorang berkenaan dengan pemasukan atau kelanjutan praktek dalam rangka profesi hukum atas dasar ras, warna kulit, jenis atau sosial, kekayaan, kelahiran, status ekonomi atau lainnya, kecuali adanya suatu persyaratan, bahwa seorang Advokat haruslah warga negara dari negara yang bersangkutan, harus tidak dianggap diskriminatif;
Di negara-negara di mana ada kelompok, masyarakat atau daerah yang kebutuhannya akan pelayanan hukum tidak terpenuhi, terutama di mana kelompok-kelompok tersebut mempunyai kebudayaan, tradisi atau bahasa yang berbeda atau telah menjadi korban diskriminasi masa lalu. Pemerintah, perhimpunan Advokat profesional dan lembaga pendidikan harus mengambil tindakan khusus untuk memberi kesempatan kepada para calon dari kelompok-kelompok ini untuk memasuki profesi hukum dan harus memastikan bahwa mereka menerima latihan yang memadai bagi kebutuhan kelompok mereka; Kewajiban dan tanggung jawab:
Para Advokat setiap saat harus mempertahankan kehormatan dan martabat profesi mereka sebagai bagian yang amat penting dari pelaksanaan keadilan;
Kewajiban para Advokat terhadap klien-klien mereka harus mencakup: (a) Memberi nasehat kepada para klien mengenai hak dan kewajiban hukum mereka dan mengenai fungsi dari sistem hukum sejauh bahwa hal itu relevan dengan berfungsinya sistem hukum dan sejauh bahwa hal itu berkaitan dengan hak dan kewajiban hukum para klien; (b) Membantu para klien dengan setiap cara yang tepat, dan mengambil tindakan hukum untuk melindungi kepentingannya; (c) Membantu para klien di depan pengadilan, majelis atau pejabat pemerintahan, di mana sesuai.
Para Advokat dalam melindungi hak klien-klien mereka dan dalam memajukan kepentingan keadilan, akan berusaha untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui oleh hukum nasional dan internasional dan setiap akan bertindak bebas dan tekun sesuai dengan hukum dan standar serta etika profesi hukum yang diakui; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 15. Para Advokat harus selalu menghormati dengan loyal kepentingan para klien. Jaminan-jaminan untuk berfungsinya para Advokat:
Pemerintah-pemerintah harus menjamin bahwa para Advokat: (a) Dapat melaksanakan semua fungsi profesional mereka tanpa intimidasi hambatan, gangguan atau campur tangan yang tidak selayaknya; (b) Dapat bepergian dan berkonsultasi dengan klien mereka secara bebas di negara mereka sendiri dan di luar negeri; (c) Tidak akan mengalami, atau diancam dengan penuntutan atau sanksi administratif, ekonomi atau lainnya untuk setiap tindakan yang diambil sesuai dengan kewajiban, standar dan etika profesional.
Apabila keselamatan para Advokat terancam sebagai akibat dari pelaksanaan fungsinya, mereka harus mendapat penjagaan secukupnya oleh para penguasa;
Para Advokat harus tidak diidentifikasi dengan klien atau perkara klien mereka sebagai akibat dari pelaksanaan fungsi mereka;
Tidak ada pengadilan atau pejabat pemerintah di mana hak untuk memberi nasehat hukum di mana hak untuk memberi nasehat itu diakui di hadapannya yang akan menolak untuk mengakui hak seorang Advokat untuk hadir di hadapannya untuk kliennya kecuali kalau Advokat itu telah didiskualifikasi sesuai dengan hukum dan kebiasaan nasional dan sesuai dengan prinsip-prinsip ini;
Para Advokat harus menikmati kekebalan perdata dan pidana untuk pernyataan-pernyataan terkait yang dikemukakan dengan niat baik dalam pembelaan secara tertulis atau lisan atau dalam penampilan profesionalnya di depan pengadilan, majelis atau pejabat hukum atau pemerintahan lainnya;
Merupakan tugas dari para pejabat yang berwenang untuk memastikan akses para Advokat kepada informasi, arsip dan dokumen yang layak yang dimiliki atau dikuasai dalam waktu yang cukup untuk memungkinkan para Advokat, memberikan bantuan hukum yang efektif kepada kliennya. Akses tersebut harus diberikan sedini mungkin; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 22. Pemerintah-pemerintah harus mengakui dan menghormati bahwa semua komunikasi dan konsultasi antara para Advokat dan klien mereka dalam rangka hubungan profesi mereka bersifat rahasia; Kebebasan berekspresi dan berserikat:
Para Advokat seperti warga negara lainnya berhak atas kebebasan berekspresi, mempunyai kepercayaan, berserikat dan berkumpul. Secara khusus, mereka harus mempunyai hak untuk ikut serta dalam diskusi umum mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan hukum, pemerintahan dan keadilan dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia dan memasuki atau membentuk organisasi lokal, nasional atau internasional dan menghadiri rapat-rapatnya, tanpa mengalami pembatasan profesional dengan dalih tindakan mereka yang sah atau keanggotaan mereka dalam suatu organisasi yang sah. Dalam melaksanakan hak-hak ini, para Advokat akan selalu mengendalikan dirinya sesuai dengan hukum dan standar serta etika yang diakui mengenai profesi hukum; Perhimpunan profesional Advokat:
Para Advokat berhak untuk membentuk dan bergabung dengan himpunan profesional yang berdiri sendiri untuk mewakili kepentingan-kepentingannya, memajukan kelanjutan pendidikan dan latihan mereka dan melindungi integritas profesional mereka. Badan eksekutif dari perhimpunan profesi itu dipilih oleh para anggota;
Perhimpunan profesional Advokat akan bekerja sama dengan Pemerintah untuk memastikan bahwa setiap orang mempunyai akses yang efektif dan setara kepada pelayanan hukum dan bahwa para Advokat dapat, tanpa campur tangan yang tak semestinya, untuk memberi nasehat dan membantu klien mereka sesuai dengan hukum dan standar dan etika profesional yang diakui; Proses persidangan disiplin:
Kode prilaku profesional bagi para Advokat akan ditetapkan oleh profesi hukum melalui badan yang layak, atau dengan perundangan, sesuai dengan hukum dan kebiasaan nasional dan standar dan norma internasional yang diakui; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 27. Tuduhan atau keluhan yang diajukan terhadap para Advokat dalam kapasitas profesionalnya akan diproses dengan segera dan adil berdasarkan prosedur yang benar. Para Advokat mempunyai hak atas pemeriksaan yang adil, termasuk hak untuk dibantu oleh seorang Advokat yang dipilihnya;
Proses persidangan disiplin terhadap Advokat akan dibawa ke depan komite disiplin tidak memihak yang dibentuk oleh profesi hukum, di depan suatu kewenangan yang mandiri berdasarkan undang-undang, atau di depan suatu pengadilan, dan tunduk pada suatu tinjauan yudisial mandiri;
Semua proses persidangan disipliner akan ditentukan sesuai dengan kode prilaku profesional dan standar serta etika yang diakui lainnya dari profesi hukum dan dengan mengingat prinsip-prinsip ini; Ditilik dari keberadaan Advokat dimasa romawi kuno yang berfungsi sosial karena kepedulian para bangsawan terhadap nasib kaum papa, maka sifat berbudi luhur yang harus diteladani hingga kini, adalah sebagaimana dimanifestasikan dari pergerakan pemberi bantuan hukum kepada rakyat miskin yang kemudian dilegalisasikan ke dalam Undang-Undang dengan “mewajibkan Advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu” [Pasal 22 ayat (1)]. Dalam konteks ini relevan dikemukakan, bahwa para adavokat juga wajib : tunduk serta mematuhi kode etik Advokat yang sama yang dibuat oleh organisasi Advokat itu sendiri [vide Pasal 26 ayat (2)]; Kode etik Advokat adalah merupakan standar tingkah laku profesi yang menjadi parameter untuk mengukur dan menilai Advokat dalam perannya: menjalankan tugas dan tanggung jawab profesinya [Pasal 26 ayat (1)] hal ini juga berlaku bagi Advokat asing yang bekerja di indonesia (Pasal 24); Jika ada Advokat melangar kode etik, misalnya menelantarkan klien, berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya, ataupun bersikap, bertingkah laku, bertutur kata ataupun mengeluarkan peryataan yang menunjukkan sikap tidak hormat terhadap hukum ataupun peraturan perUndang-undangan atau pengadilan, bahkan lebih luas lagi berbagi hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan atau harkat dan martabat profesinya dapat dikenai tindakan (Pasal 6 huruf a sampai dengan huruf d) selain itu Advokat juga tetap dapat sangsi hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan perUndang-undangan atau perbuatan tercela (Pasal 6 huruf c); Ada 2 (dua) lembaga yang dapat dijadikan sarana untuk melindungi kehormatan profesi Advokat dan kepentingan masyarakat, khususnya para pencari keadilan atau pengguna jasa Advokat, yaitu:
wewenang untuk mengawasi dan (2) mengambil tindakan terhadap Advokat yang melanggar kode etik profesi, yakni:
komisi pengawas dan (2) dewan kehormatan; Komisi pengawas dibentuk dengan tujuan agar Advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi Advokat dan peraturan perundangan [Pasal 12 ayat (2)]; komisi pengawas menjalankan tugas pengawasan sehari- hari kepada para Advokat, susunan anggota komisi terdiri dari unsur:
Advokat senor, (2) para ahli atau akademisi dan (3) tokoh masyarakat; Dewan Kehormatan , sebagai lembaga independen dalam struktur organisasi Advokat, memiliki tugas dan wewenang:
menerima pengaduan;
memeriksa dan (3) mengadili para Advokat yang diadukan telah melanggar kode etik Advokat [Pasal 26 ayat (5)]; Susunan Dewan Kehormatan terdiri dari unsur Advokat sendiri [Pasal 27 ayat (3)], karena Advokat sendirilah yang dianggap paling memahami dunia profesi Advokat, hal itu sesuai pula dengan jiwa atau semangat kebebasan profesi, hanya saja untuk keperluan memeriksa dan mengadili Advokat, secara khusus dewan kehormatan akan membentuk Majelis Kehormatan , yang susunan anggotanya terdiri dari:
pakar di bidang hukum dan (2) tokoh masyarakat [Pasal 27 ayat (4)] agar dapat dijaga nilai-nilai objektivitas, kejujuran dan keadilan (fairness) serta transparansi maupun akuntabel; Dalam proses menggunakan wewenangnya tersebut, dewan kehormatan harus memperhatikan adanya ketentuan yang menunjukkan penghormatan bagi profesi Advokat yaitu adanya kesempatan bagi Advokat yang diadili oleh Dewan Kehormatan untuk membela diri, sebelum akhirnya Dewan Kehormatan akan menjatuhkan sanksi [Pasal 7 ayat (3)]; Sanksi yang dimiliki dan dapat dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan adalah hukuman yang dapat berupa:
teguran lisan, (2) teguran tertulis, (3) pemberhentian sementara 3 sampai 12 bulan, dan (4) pemberhentian tetap [Pasal 7 ayat (1)]; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 Jadi hanya dewan kehormatan yang dapat menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap, salinan putusan hukuman pemberhentian sementara tersebut disampaikan pula kepada Mahkamah Agung, akan tetapi apabila sangsinya berupa pemberhentian tetap, salinan putusannya selain disampaikan kepada Mahkamah Agung, juga disampaikan ke Pengadilan Tinggi dan lembaga penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa dan Pengadilan); [Sebagai catatan untuk melawan lupa, perlu diingat dan menjadi catatan sejarah perjuangan Advokat Indonesia dimasa mendatang, bahwa kini tidak ada lagi jaminan hukum bagi profesi Advokat, karena walaupun semula Undang-undang memberikan perlindungan berupa sanksi kepada setiap orang yang dengan sengaja menjalankan profesi Advokat dan bertindak seolah–olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang– undang ini , dipidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah (Pasal 31), akan tetapi kemudian berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-II/2004 tgl 13-12-2004 , ketentuan dimaksud dinyatakan tidak berkekuatan hukum karena dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28F; Padahal sebenarnya dalam proses persidangannya, penulis sebagai salah satu wakil dari organisasi profesi telah menjelaskan dengan gamblang tentang maksud dan makna ketentuan tersebut diatur (lihat pertimbangan hukum putusan a quo )];
TIDAK SEPATUTNYA ADA TINDAKAN PEJABAT PEMERINTAH MAUPUN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENOLAK PERAN ADVOKAT DALAM MENJALANKAN PROFESINYA Menurut Ahli, sekalipun pada mulanya profesi Advokat dimarjinalkan oleh penguasa atau pemerintah waktu itu, sehingga para Advokat perlu berjuang sampai setidaknya 39 tahun baru mendapatkan pengakuan dari Negara dengan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, namun secara jujur, adil dan harus diterima pada kenyataannya, bahwa keberadaan dan peran profesi Advokat sangat diperlukan oleh semua kalangan baik warga Negara Indonesia, bahkan Negara atau pemerintah termasuk pejabatnya, dari Presiden, Menteri, Jenderal, Hakim, Jaksa, Polisi, pengusaha konglomerat sampai rakyat jelata, bahkan politikus maupun lembaga-lembaga negara ataupun lembaga swasta nasional maupun internasional, serta orang asing/WNA maupun perusahaan asing, saat ini banyak yang memerlukan jasa Advokat, terlepas dengan honorarium ataupun prodeo. Semua itu karena kebutuhan hidup dan tingkat kesadaran hukum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 mereka yang tinggi serta pemahaman tentang hak-haknya yang dilindungi oleh hukum karena pergaulan hidup dalam Negara hukum; Oleh karena itu Ahli berpendapat, dengan mengkaji permohonan Pemohon yang nyata dalam realitanya mengalami sendiri adanya sikap tindak atau tindakan pejabat pemerintah menolak kehadiran Advokat yang mendampingi kliennya dengan dasar adanya surat kuasa [kuasa lisan pun sebenarnya sah dan dibenarkan di mata hukum], adalah suatu hal yang sangat menyakitkan dan mencederai demokrasi dan melanggar hak asasi manusia serta merobek asas persamaan didepan hukum. Ketidakpahaman pejabat yang hanya mampu berpegang pada aturan yang tidak adil dan bahkan diskriminatif tersebut adalah sangat tidak mencerminkan bahwa pejabat pemerintah adalah abdi Negara yang bertugas melayani kepada masyarakat warga negara, dan atas pelayanannya pun mendapat gaji dari uang negara yang didapat dari rakyat yang antara lain adalah Advokat dan kliennya yang menghadap dan ditolak oleh pejabat pemerintah dimaksud; Pejabat maupun aturan yang melarang atau berakibat meniadakan peran profesi Advokat adalah sangat kejam dan tidak manusiawi yang cenderung arogan dan piawai menunjukan otoritas kekuasaanya semata, hal tersebut patut dipahami sebagai adanya rasa takut akan diketahui perbuatan yang tidak baik pada dirinya atau setidaknya terbayang rasa takut yang amat dalam yang ada pada diri pejabat pemerintah, karena tidak bisa berbuat lain selain harus mengikuti dan taat pada aturan hukum yang tentu dikuasai dan dipahami oleh Advokat yang menghadap didepannya. Pejabat yang menolak tersebut patut diduga takut diketahui adanya kecenderungan kebiasaan berbuat tidak baik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, dan lupa bahwa dirinya jika terkena atau mendapat atau terlibat masalah hukum pun akan minta atau setidaknya memerlukan bantuan atau peran Advokat untuk mendampingi atau mewakilinya; Sebagaimana telah dikemukakan ahli di atas, baik berdasarkan Undang- undang maupun prinsip-prinsip peran Advokat yang diakui secara universal, peran Advokat hanyalah memberi advise sesuai dengan hukum, tidak dapat menentukan kebijaksanaan, yang secara umum dapat dikatakan hanya bisa memohon atau mengajukan keberatan atau protes, itupun atas dasar apabila ada hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan hukum. Hal itu semua, semata Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 adalah supaya segala sesuatunya yang dihadapi adalah benar, sah serta sesuai dan secara atau menurut hukum, bukan menurut maunya sang pejabat/penguasa. Jadi singkatnya, peran Advokat adalah hanya sebagai penjaga hukum, penjaga konstitusi dan penjaga agar keadilan dapat tegak sekalipun langit akan runtuh; Karenanya tidak berlebihan apabila Ahli berpendapat, tidaklah berdasar pada rasa kemanusiaan yang beradab, transparansi, akuntabel dan asas kesetaraan maupun asas kesamaan di depan hukum, apabila seseorang yang mengalami masalah hukum pajak, dipanggil/diundang petugas/pejabat pajak, kemudian saat memenuhi panggilan/undangan didampingi dan/atau diwakili oleh Advokat, pejabat/petugas pajak menolak dan tidak mau menerima serta mengesampingkan peran dan fungsi profesi Advokat, baik dengan alasan formil karena adanya peraturan maupun Undang-undang atau Peraturan Menteri yang ditafsirkan menyimpang dari Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, perlunya Wajib Pajak memberikan Kuasa kepada seorang Kuasa untuk mewakili atau mendampingi dalam menghadapi atau menyelesaikan kasusnya; Maka menurut pendapat ahli, alasan adanya peraturan maupun Undang- undang yang melarang peran Advokat mendampingi dan/atau mewakili kliennya di depan pejabat/petugas dan/atau Kantor Pelayanan Pajak, selain melanggar Undang-Undang Advokat, adalah juga melanggar prinsip-prinsip peran Advokat yang telah disahkan PBB dan berlaku universal, serta melanggar hak asasi manusia [hak asasi diri Advokat maupun kliennya], karena terbukti sah bahwa Undang-undang yang dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo yakni Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 ayat (1) “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; Pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”; Pasal 28D ayat (2) “Setiap orang berhak untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”, dan Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah dan dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 16 Oktober 2017, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP) yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak menurut Pemohon berpotensi merugikan hak konstitusi Pemohon karena bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu hak atas pekerjaan penghidupan yang layak, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum karena Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat tidak dapat menjalankan pekerjaan selaku Kuasa dari Wajib Pajak;
Bahwa dalam kedudukannya sebagai Advokat, Pemohon merasa tidak dapat menjalankan pekerjaan, telah kehilangan hak untuk mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil serta hak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai penerima kuasa, karena adanya kewenangan mutlak dari Menteri Keuangan untuk menentukan persyaratan serta pelaksanaan sebagai penerima kuasa;
Bahwa Pemohon menganggap berlakunya ketentuan a quo juga melanggar Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat) dimana dalam Pasal 1 ayat (1) dinyatakan Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang ini (UU Advokat). Persyaratan sebagai Advokat telah dipenuhi oleh Pemohon; II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) dari Pemohon, Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa dalam permohonannya, Pemohon bertindak dalam kedudukannya sebagai seorang Advokat dan Pembayar Pajak yang menganggap berlakunya ketentuan a quo menimbulkan kerugian bagi Pemohon karena tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagai Kuasa Wajib Pajak dimana hal tersebut disebabkan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang mendelegasikan ketentuan mengenai persyaratan menjadi Kuasa Wajib Pajak dalam Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa menurut Pemerintah, tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara keberlakuan ketentuan a quo dengan kerugian yang didalilkan dialami oleh Pemohon, karena:
Bahwa dalam memahami ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dimana dalam Penjelasannya menyatakan bahwa: “Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak ….” Sehingga secara keseluruhan dapat diartikan bahwa UU KUP telah menetapkan bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah memahami masalah perpajakan;
Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon merupakan norma tambahan pasca perubahan UU KUP yang memuat pendelegasian pengaturan lebih lanjut secara teknis mengenai persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak yang sekaligus juga menegaskan bahwa ketentuan Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP masih memerlukan pengaturan lebih lanjut secara teknis; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 c. Bahwa berdasarkan pendelegasian tersebut, Menteri Keuangan kemudian menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/ 2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa (selanjutnya disebut PMK 229/2014).
Bahwa keberatan Pemohon atas berlakunya ketentuan a quo karena dalam praktek yang dialaminya, Pemohon ditolak menjadi Kuasa Wajib Pajak karena bukan Konsultan Pajak berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) PMK 229/2014 dimana hal tersebut tidaklah secara langsung disebabkan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang hanya memuat norma pendelegasian saja.
Bahwa ketentuan-ketentuan dalam PMK 229/2014 semata-mata melaksanakan amanat Pasal 32 ayat (3) UU KUP yang menghendaki bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah mampu membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak, sehingga tidak justru merugikan si Wajib Pajak itu sendiri. Oleh karena itu, muncullah open legal policy Pemerintah untuk mengatur bahwa Kuasa Wajib Pajak haruslah memahami masalah perpajakan dan menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Bahwa permasalahan yang dikemukakan oleh Pemohon bukanlah isu konstitusionalitas melainkan isu penerapan norma dimana Pemohon sebagai seorang Advokat tidak dapat mewakili Wajib Pajak karena belum memenuhi persyaratan selaku Konsultan Pajak yang diatur lebih lanjut secara teknis dalam PMK 229/2014.
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas, berlakunya ketentuan a quo sama sekali tidak mengakibatkan kerugian konstitusional bagi siapapun termasuk Pemohon, karena Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak memuat persyaratan yang membatasi seseorang untuk mendapat pekerjaan, melainkan hanya memuat norma pendelegasian saja. Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard/N.O. ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. LANDASAN FILOSOFIS PENGATURAN BAGI PENERIMA KUASA 1. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUD 1945, ditegaskan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang;
Bahwa sifat memaksa dari pelaksanaan pungutan pajak tersebut, dituangkan dalam undang-undang di bidang perpajakan, antara lain adanya kewajiban dari Wajib Pajak untuk:
Mendaftarkan diri dan melaporkan usahanya [vide Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU KUP];
Menghitung dan membayar pajak terhutang [vide Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 10 UU KUP];
Melaporkan pembayaran pajak [vide Pasal 3 ayat (1) UU KUP];
Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya juga akan dikenakan sanksi mulai dari sanksi adminitrasi [vide Pasal 13 ayat (2)] (3) dan (7) UU KUP] sampai dengan sanksi pidana [vide Pasal 38-41c UU KUP].
Bahwa selain bersifat memaksa, pelaksanaan pemungutan pajak juga bersifat mengedepankan prinsip keseimbangan, yakni pembayar pajak mendapat perlindungan hak-haknya melalui undang-undang juga; __ 4. Oleh karena itu di dalam undang-undang di bidang perpajakan, selain dibebani kewajiban, Wajib Pajak juga diberikan hak antara lain:
Menerima pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak (vide Pasal 11 UU KUP);
Menerima imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak [vide Pasal 11 ayat (3) UU KUP];
Mengajukan gugatan (vide Pasal 23 UU KUP);
Mengajukan keberatan dan banding atas surat ketetapan pajak (vide Pasal 25 UU KUP);
Mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Keberatan (vide Pasal 27 UU KUP).
Bahwa hukum pajak juga bersifat imperatif , yakni pelaksanaanya tidak dapat ditunda, misalnya pelaksanaan penagihan pajak tidak tertunda Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 meskipun ada gugatan, atau adanya pembatasan waktu dalam hal pengajuan keberatan atas surat ketetapan pajak [vide Pasal 25 ayat (3) UU KUP];
Bahwa dari beberapa karakteristik atas pelaksanaan pemungutan pajak tersebut di atas, dapat disimpulkan dalam pemenuhan kewajiban dan pelaksanaan hak dibidang perpajakan, Warga Negara dalam hal ini Wajib Pajak perlu diberikan pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang hukum pajak, karena apabila tidak, akan dapat berakibat hukum sebagaimana telah disebutkan di atas;
Bahwa dalam rangka memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan, maka pembuat UU dalam hal ini UU KUP memandang perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai persyaratan/kriteria serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa yang akan mewakili Wajib Pajak, agar tidak merugikan Wajib Pajak;
Secara filosofis, pengaturan mengenai persyaratan/kriteria serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa yang akan mewakili seseorang di bidang tertentu hakekatnya agar penerima jasa dapat terlindungi hak-haknya. Hal ini juga tercermin dari berbagai ikatan profesi yang juga mewajibkan anggotanya untuk memiliki keahlian khusus;
Dengan demikian tidak berlebihan apabila terdapat pengaturan yang mewajibkan bagi Kuasa Wajib Pajak untuk memenuhi syarat tertentu; B. LANDASAN SOSIOLOGIS PENGATURAN BAGI PENERIMA KUASA __ 1. Bahwa berdasarkan pendapat Victor Thuronyi selaku Senior Councel Taxation IMF dan Frans Vanistendael selaku Head of European Tax Collage (Tax Law Design and Drafting,1996: Regulation of Tax Professionals), menyatakan bahwa sangat sulit untuk melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan penasihat perpajakan. Hal ini disebabkan karena hampir sebagian besar Wajib Pajak sulit untuk memahami seluruh peraturan perpajakan dengan tepat karena dinamis dan rumitnya peraturan perpajakan tersebut. Dalam konteks ini diperlukan seorang penasihat perpajakan ( tax advisor) untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 menjadi Kuasa Wajib Pajak agar Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannnya dengan baik dan benar;
Dengan memberikan layanan konsultasi kepada Wajib Pajak agar pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan maka keberadaan tax advisor menjadi bagian penting dari kepentingan publik. Oleh karena itu Victor Thuronyi dan Frans Vanistendael (1996) menyatakan negara memiliki kepentingan untuk memberikan perlindungan dan pengaturan atas keberadaan dan kegiatan tax advisor . Negara memiliki kewajiban untuk melindungi Wajib Pajak dari tax advisor yang tidak kompeten atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal ini, kepentingan negara untuk melindungi Wajib Pajak sama dengan perlindungan atas kepentingan publik lainnya, seperti contohnya perlindungan atas konsumen;
Dengan mempertimbangkan kepentingan negara dan publik sebagaimana dimaksud pada angka 2, Pemerintah dan DPR melalui Pasal 32 ayat (3a) UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai persyaratan menjadi Kuasa Wajib Pajak dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengaturan lebih lanjut dimaksud tentunya masih dalam koridor kepentingan negara untuk melindungi kepentingan Wajib Pajak, diantaranya untuk menentukan kualifikasi atau persyaratan yang diperlukan untuk menjadi kuasa sehingga setiap orang memiliki hak yang sama untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak, hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak serta pengaturan lebih lanjut dalam rangka profesionalisme dan akuntabilitas Kuasa Wajib Pajak; C. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN UJI MATERIIL KETENTUAN PASAL 32 AYAT (3a) UU KUP TERHADAP UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 __ Sehubungan dengan dalil dan anggapan Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 1. Bahwa pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon selengkapnya menyatakan: Pasal 32 ayat (3a) UU KUP: “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau _berdasarkan peraturan Menteri Keuangan”; _ 2. Bahwa Pasal 32 ayat (3a) UU KUP yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon __ memberikan pendelegasian dalam Peraturan Menteri Keuangan __ untuk mengatur persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak. Oleh karena itu Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (vide Pasal 2 ayat (1) PMK 229/2014);
Bahwa hierarki dan pendelegasian peraturan perundang-undangan diperlukan karena ketentuan yang lebih tinggi hanya mengatur ketentuan yang bersifat umum, sedangkan ketentuan yang bersifat teknis didelegasikan ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pendelegasian tersebut diatur dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang menyatakan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri , pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif;
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya, antara lain Putusan Nomor 128/PUU-VII/2009, tanggal 11 Maret 2010 dan Putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, tanggal 19 Maret 2015, pernah memutus konstitusionalitas mengenai pendelegasian wewenang undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dalam beberapa putusannya tersebut Mahkamah Konstitusi, antara lain, mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk undang-undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, disamping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi __ (vide __ paragraf __ 3.15.1 Putusan Nomor 128/PUU- VII/2009, tanggal 11 Maret 2010 pada halaman 160);
Bahwa pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang dapat dibenarkan (konstitusional) apabila memenuhi syarat, yaitu delegasi kewenangan tersebut berasal dari undang-undang dan pengaturan dengan peraturan di bawah undang-undang tidak bersifat mutlak, melainkan hanya terbatas merinci dari hal-hal yang telah diatur oleh undang-undang __ (vide __ paragraf __ 3.14.2 __ Putusan Nomor 12/PUU-XII/2014, tanggal 19 Maret 2015 pada halaman 137);
Bahwa berdasarkan kewenangan tersebut, Menteri Keuangan menetapkan PMK 229/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa yang mengatur mengenai Wajib Pajak yang dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mana kuasa dimaksud meliputi Konsultan Pajak dan Karyawan Wajib Pajak [vide Pasal 2 ayat (4) PMK 229/2014];
Bahwa seorang kuasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
Memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
Telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (vide Pasal 4 PMK 229/2014).
Bahwa untuk menjadi kuasa dari Wajib Pajak, sangat wajar apabila dipersyaratkan Kuasa Wajib Pajak menguasai ketentuan antara lain peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yang ditunjukkan dengan memiliki izin praktik konsultan pajak. Mengenai kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagai pejabat yang memberi izin praktek, hal itu logis dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan conflict of interest yang dikait-kaitkan dengan aspek pemeriksaan pajak (vide Pasal 5 ayat (1) PMK 229/2014);
Bahwa ketentuan a quo tidak hanya berlaku bagi Pemohon, namun berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, yakni seluruh Wajib Pajak yang menunjuk kuasa haruslah seorang yang memahami masalah perpajakan dan menguasai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan atau disebut dengan Konsultan Pajak;
Penguasaan atas hukum dan teknis perpajakan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 PMK 229/2014 juga harus dipenuhi bukan hanya oleh Konsultan Pajak yang menjadi Kuasa Wajib Pajak namun juga bagi karyawan yang menjadi Kuasa Wajib Pajak. Bahwa Karyawan Wajib Pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, apabila memiliki:
sertifikat brevet di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan kursus brevet pajak;
ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, sekurang- kurangnya tingkat Diploma III, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta dengan status terakreditasi A; atau
sertifikat konsultan pajak yang diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak. [vide Pasal 5 ayat (2) PMK 229/2014] Dengan demikian, sangat jelas bahwa pengaturan terkait Kuasa Wajib Pajak untuk memiliki kredibilitas keilmuan perpajakan berlaku bagi siapa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 saja yang ingin menjadi Kuasa Wajib Pajak baik Konsultan maupun karyawan, yang dimaksudkan justru untuk menjaga kepentingan Wajib Pajak dengan benar;
Bahwa dengan menjalankan kewenangan tersebut, berarti Kementerian Keuangan telah melaksanakan asas umum pemerintahan yang baik yakni memberi kepastian hukum kepada Wajib Pajak;
Bahwa pengaturan persyaratan dalam ketentuan tersebut sama sekali tidak melanggar hak konstitusi Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat. Pengaturan persyaratan bagi Kuasa Wajib Pajak dalam ketentuan a quo hanyalah persyaratan teknis yang dimaksudkan agar apabila Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban dan melaksanakan haknya di bidang perpajakan diwakili oleh pihak yang benar-benar kompeten di bidang perpajakan , sehingga Wajib Pajak tidak dirugikan, mengingat segala tindakan penerima kuasa akibat hukumnya menjadi tanggung jawab Wajib Pajak yang bersangkutan;
Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan, maksud dan tujuan pembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut salah satu persyaratan untuk menjadai Kuasa Wajib Pajak yang telah dimuat secara umum dalam penjelasan Pasal 31 UU KUP. Dengan demikian sangat jelas bahwa pengaturan yang ditetapkan dalm PMK 229/2014 telah sejalan dengan Pasal 32 ayat (3) UU KUP dan dimaksudkan sebagai salah satu wujud perlindungan kepada Wajib Pajak. Apabila tidak dipersyaratkan yang demikian, maka dikhawatirkan penerima kuasa sama sekali tidak memiliki keahlian di bidang perpajakan, sehingga pada akhirnya yang dirugikan adalah Wajib Pajak;
Bahwa dapat Pemerintah sampaikan, ketentuan dalam PMK 229/2014 sebagai penjabaran dari Pasal 32 ayat (3) UU KUP memberi kesempatan yang sama kepada siapapun untuk dapat menjadi Konsultan Pajak asalkan telah memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan. Tidak ada pembatasan bagi siapapun untuk berprofesi sebagai Konsultan Pajak, tidak terkecuali pula Pemohon;
Bahwa apabila ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dinyatakan tidak berlaku sebagian atau seluruhnya, maka tujuan menambahkan ayat 3 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 (a) dalam Pasal 32 menjadi tidak tercapai, sehingga pelaksanaan kesempatan Wajib Pajak menunjuk Kuasa tidak mempunyai aturan teknis yang sesungguhnya sangat diperlukan untuk memudahkan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak; IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) ketentuan a quo terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan ketentuan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Presiden melengkapi keterangan tertulisnya dengan keterangan tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2017 yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. POKOK-POKOK KETERANGAN TAMBAHAN PRESIDEN A. Bahwa pada persidangan hari Senin tanggal 16 Oktober 2017, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah agar memberikan tambahan keterangan yang isinya menjelaskan Memorie van Toelichting (MvT) terkait dengan:
Pemberian kuasa yang merupakan hak individu baik bagi Pemberi maupun Penerima Kuasa, dalam perubahan UU KUP a quo pengaturannya didelegasikan kepada Menteri Keuangan.
Mengapa Warga Negara yang memiliki kemampuan dan kecakapan dalam ilmu perpajakan, hanya karena ia bukan karyawan Wajib Pajak atau bukan Konsultan Pajak, tidak dapat menjadi kuasa Wajib Pajak? Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 3. Mengapa seorang advokat yang memiliki sertifikat brevet a dan brevet b perpajakan tidak dapat serta merta menjadi Kuasa Wajib Pajak? 4. Perbandingan pengaturan terkait atribusi kewenangan pengaturan Kuasa Wajib Pajak dan syarat-syarat menjadi Kuasa Wajib Pajak antara di Indonesia dengan beberapa negara lain. B. Guna memenuhi hal sebagaimana tersebut di atas, pada bagian II Tambahan Keterangan Pemerintah ini akan menjelaskan pokok-pokok permasalahan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. II. TAMBAHAN KETERANGAN PEMERINTAH A. LANDASAN TEORITIS PENGATURAN PEMBERIAN KUASA 1. Bahwa Menurut M. Solly Lubis, yang dimaksud dengan peraturan negara ( staatsregelings ) adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitkan oleh instansi resmi, baik dalam pengertian lembaga maupun dalam pengertian pejabat tertentu. Peraturan yang dimaksud meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, Instruksi, Surat Edaran, Pengumuman, Surat Keputusan, dan lain-lain;
Bahwa sejalan dengan ajaran Rousseau, apabila dilihat dari kewenangan asalnya, pada hakikatnya pembentukan peraturan negara, yang mengikat warga negara dan penduduk secara umum, berasal dari fungsi legislatif;
Bahwa dalam perkembangan selanjutnya, ketika badan legislatif sering terlambat mengikuti perkembangan masyarakat, badan legislatif melimpahkan sebagian dari kewenangan legislatifnya kepada badan eksekutif, sehingga badan eksekutif ikut pula membentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan perkembangan revolusioner dari teori Trias Politica Montesquieu yang menempatkan pemerintah hanya sebagai pelaksana (perintah) undang-undang; B. PENGATURAN PEMBERIAN KUASA DARI SISI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Bahwa pemberian kuasa dapat dilihat dari adanya pengaturan hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) dapat dilihat bahwa jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif juga diakui keberadaannya;
Bahwa pendelegasian kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dari lembaga legislatif (dalam hal ini DPR) kepada lembaga eksekutif (dalam hal ini Menteri), dimungkinkan dalam hal pendelegasian tersebut diperintahkan oleh undang-undang atau dibentuk berdasarkan kewenangan;
Bahwa UU No. 12 Tahun 2011 membatasi wilayah pendelegasian kewenangan mengatur dari undang-undang kepada Menteri dan/atau Kepala Lembaga yaitu hanya untuk peraturan yang bersifat teknis administratif;
Bahwa ruang lingkup pengaturan yang dapat dilakukan oleh Menteri dan/atau Kepala Lembaga yang sifatnya teknis adminsitratif terdiri dari: ketentuan terkait pemenuhan syarat dan kriteria tertentu; pedoman pengelolaan; tata cara pelaksanaan suatu tindakan; standardisasi pelaksanaan suatu kegiatan, prosedur penyelenggaraan dan hal-hal lainnya yang bersifat teknis administratif;
Bahwa contoh pengaturan yang dilakukan oleh Menteri dan/atau Kepala lembaga sebagaimana berlaku di Indonesia di antaranya:
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.Hh.01.Ah.02.12 Tahun 2010 tentang Persyaratan Menjalankan Jabatan Notaris dalam Bentuk Perserikatan Perdata. Bahwa kemerdekaan berserikat merupakan hak asasi yang dijamin melalui Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan terkait hal tersebut melalui Pasal 28 UUD 1945 memerintahkan pengaturannya ke dalam bentuk undang-undang. Atas dasar hal tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2017, namun pengaturan khusus terkait persyaratan teknis adminsitratif yang harus dipenuhi seorang notaris untuk menjadi teman serikat dalam perserikatan dapat dilakukan melalui Peraturan Menteri; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 b. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.2.Pk.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Bahwa kebebasan hidup/kemerdekaan seseorang merupakan hak asasi yang dijamin berdasarkan Pasal 28, Pasal 28A, dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, namun pengaturan khusus terkait persyaratan teknis atas pelaksanaan asimilasi dan pembebasan bersyarat seorang narapidana yang sangat erat kaitannya dengan pemberian kembali hak asasi manusia berupa kebebasan atas pengekangan sementara waktu, dapat dilakukan melalui Peraturan Menteri;
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum; Bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang dijamin berdasarkan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan terkait hal tersebut melalui Pasal 28 UUD 1945 memerintahkan pengaturannya ke dalam bentuk undang-undang. Atas dasar hal tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, namun pelaksanaan teknis penyelenggaraannya termasuk pengaturan hak, kewajiban, dan larangan warga negara dalam pelaksanaan kegiatan penyampaian pendapat tersebut diatur melalui Peraturan Kepala Kepolisian;
Bahwa begitu juga dengan pengaturan terkait persyaratan yang harus dipenuhi seseorang untuk menjadi kuasa Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Peratuan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa (selanjutnya disebut PMK 229/2014) masih termasuk ke dalam wilayah pengaturan administratif yang dapat dilakukan oleh Menteri; C. SUBSTANSI YANG DIATUR TERKAIT DENGAN PEMBERIAN KUASA KEPADA WAJIB PAJAK Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1. Bahwa aturan umum terkait pemberian kuasa perpajakan masih mengacu kepada ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), misalnya:
ketentuan Pasal 1797 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa tidak boleh melakukan apapun yang melampaui kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak;
ketentuan Pasal 1800 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib melaksanakan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak;
ketentuan Pasal 1801 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penerima kuasa tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan- perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, melainkan juga atas kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya, berlaku juga bagi kuasa Wajib Pajak; dan
ketentuan umum lainnya terkait kuasa sebagaimana diatur dalam KUHPerdata.
Bahwa dalam pelaksanaan pemberian kuasa perpajakan walaupun secara umum mengacu pada ketentuan KUHPerdata, namun tentunya perlu diatur ketentuan khusus terkait persyaratan yang bersifat administratif yang harus dipenuhi oleh penerima kuasa, seperti sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PMK 229/2014 yakni:
menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir, kecuali terhadap seorang kuasa yang Tahun Pajak terakhirnya belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 3. Bahwa pengaturan yang bersifat administratif tersebut merupakan kewenangan pengaturan yang dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan;
Bahwa pembuat Undang-undang menyadari bahwa memberikan kuasa merupakan hak privat yang dilindungi oleh konstitusi. Namun Negara oleh konstitusi juga diberi kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Wajib Pajak merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang juga memerlukan perlindungan dari Negara. Oleh karena itu tanpa bermaksud untuk membatasi profesi tertentu untuk mendapatkan hak-haknya secara ekonomis, pendelegasian kepada Menteri Keuangan dalam ketentuan a quo merupakan salah satu perwujudan dari kewajiban negara untuk melindungi bangsanya;
Bahwa perlindungan yang diberikan oleh Negara tersebut diimplementasikan oleh Menteri Keuangan dalam bentuk pemberian persyaratan-persyaratan yang secara nalar objektif dapat dipenuhi oleh seluruh warga negara Indonesia;
Bahwa pembuat undang-undang juga menyadari dalam suatu perikatan dalam hal ini perjanjian pemberian kuasa juga terdapat perselisihan yang kadangkala penyelesaiannya/pelanggarannya diluar ranah hukum tetapi lebih kepada pelanggaran etika. Oleh karena itu, salah satu syarat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan agar dapat menjadi Kuasa Wajib Pajak harus tergabung dalam suatu asosiasi dengan tujuan agar mereka memiliki etika profesi;
Bahwa etika profesi merupakan bagian terpenting bagi suatu profesi tertentu karena didalamnya akan mengatur etika ketika yang bersangkutan menjalankan pekerjaannya, yang apabila etika tersebut dilanggar maka akan diberikan sanksi;
Bahwa etika profesi hanya ditemukan apabila suatu profesi tertentu menggabungkan diri dan membentuk suatu ikatan. Oleh karena itu, bagi yang bukan Karyawan Wajib Pajak dan bukan Konsultan Pajak dimana keduanya tidak memiliki induk organisasi maka tidak juga terikat dengan etika profesi. Apabila tidak diatur sedemikian rupa (oleh Menteri Keuangan), maka seandainya terdapat penyimpangan yang di luar ranah hukum oleh penerima kuasa, tidak ada sanksi yang dapat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 diberikan kepada penerima kuasa sehingga yang dirugikan adalah Wajib Pajak itu sendiri. Pelanggaran atas kode etik tersebut akan memberikan efek jera bagi pelanggarnya;
Bahwa dengan demikian, mengingat pentingnya pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak, maka Pemerintah berpendapat kecakapan/ kompetensi belum cukup tetapi juga harus ditambah dengan adanya etika profesi; D. TERKAIT DENGAN PENGATURAN BAGI KONSULTAN PAJAK DAN KARYAWAN WAJIB PAJAK SEBAGAI KUASA WAJIB PAJAK 1. Bahwa Konsultan Pajak merupakan orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Bahwa dalam melaksanakan profesinya, seorang konsultan pajak terikat pada kewajiban-kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 23 PMK Nomor 111/2014 yakni:
memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
mematuhi kode etik Konsultan Pajak dan berpedoman pada standar profesi Konsultan Pajak yang diterbitkan oleh Asosiasi Konsultan Pajak;
mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan profesional berkelanjutan;
menyampaikan laporan tahunan Konsultan Pajak; dan
memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama, alamat rumah dan kantor dengan melampirkan bukti perubahan dimaksud. Persyaratan-persyaratan tersebut gunanya adalah untuk menjamin kualitas, memberikan parameter standar praktek konsultan pajak yang baik dan benar, yang pada akhirnya akan memberikan perlindungan hukum bagi pengguna jasa konsultan tersebut yaitu Wajib Pajak; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 3. Bahwa seorang Konsultan Pajak juga harus menjadi anggota pada satu Asosiasi Konsultan Pajak. Asosiasi Konsultan Pajak ini menjalani fungsi kontrol/pengawasan atas pemenuhan kode etik dan standar profesi konsultan pajak. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etik dan standar profesi konsultan pajak, maka Asosiasi Konsultan Pajak melakukan pemeriksaan dan penyelesaian atas dugaan pelanggaran tersebut;
Bahwa dalam hal penerima kuasa adalah karyawan Wajib Pajak, maka yang menjalankan fungsi kontrol terhadap karyawan Wajib Pajak yang menerima kuasa tersebut terletak pada Wajib Pajak itu sendiri. Wajib Pajak dalam kedudukannya sebagai pemberi kuasa tetap dapat mengendalikan karyawannya dalam kedudukan sebagai penerima kuasa. Karyawan dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang kuasa tetap memiliki batasan-batasan kode etik dan aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan tersebut. Dalam hal karyawan penerima kuasa tersebut melakukan tindakan di luar batas kewenangan atau melakukan tindakan lainnya yang merugikan Wajib Pajak, maka Wajib Pajak itu sendiri secara langsung dapat mengontrol dan menindak tegas karyawan tersebut, misalnya dengan memberikan sanksi sesuai dengan norma yang berlaku pada perusahaan tersebut;
Bahwa pengaturan terkait pemberian kuasa perpajakan dapat diserahkan kepada karyawan Wajib Pajak, tanpa mengharusnya menjadi seorang konsultan pajak, adalah dengan pertimbangan bahwa karyawan Wajib Pajak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Wajib Pajak selaku Pemberi Kerja, yang paling mengetahui seluruh kondisi dan proses bisnis Wajib Pajak termasuk keadaan terkait pembukuan dan masalah perpajakan yang terdapat di perusahaan tersebut sehingga karyawan Wajib Pajak dimaksud merupakan pihak yang memiliki kualifikasi untuk mewakili Wajib Pajak;
Bahwa pembatasan terhadap pemberian kuasa yang hanya dapat diberikan kepada Konsultan Pajak dan karyawan Wajib Pajak semata- mata bertujuan untuk melindungi kepentingan Wajib Pajak. Apabila kuasa untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dapat diberikan kepada orang lain (bukan karyawan Wajib Pajak) dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 juga bukan Konsultan Wajib Pajak, maka pelaksanaan hal tersebut sangat rentan menimbulkan akibat-akibat yang merugikan Wajib Pajak, karena tidak adanya fungsi kontrol atau pihak/lembaga yang dapat mengendalikan dan mengawasi orang-orang tersebut;
Bahwa apabila orang lain (bukan karyawan Wajib Pajak) dan juga bukan Konsultan Wajib Pajak, diperbolehkan menjadi kuasa perpajakan hanya karena memiliki sertifikat brevet di bidang perpajakan yang dapat diperoleh dengan mudah pada lembaga pendidikan kursus brevet, maka di kemudian hari sangat rentan timbul hal-hal yang dapat merugikan Wajib Pajak, apalagi dengan tidak adanya fungsi kontrol untuk memberikan sanksi berupa teguran atau mencabut ijin praktik atas kejadian tersebut, sehingga untuk selanjutnya sangat rentan terulang kembali kejadian yang sama untuk Wajib Pajak yang berbeda; E. TERKAIT DENGAN PENGATURAN BAGI ADVOKAT SEBAGAI KUASA WAJIB PAJAK 1. Bahwa terkait dengan advokat sebagai kuasa wajib pajak, secara umum dapat disampaikan bahwa pengaturan terhadap profesi advokat dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Undang-Undang Advokat);
Bahwa advokat merupakan orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan tertentu berdasarkan ketentuan dalam undang-undang advokat (vide Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Advokat);
Bahwa ruang lingkup atau cakupan atas jasa hukum yang dapat diberikan oleh seorang Advokat adalah berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (vide Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Advokat);
Bahwa terdapat perbedaan latar belakang keilmuan yang harus dipenuhi antara Konsultan Pajak dengan Advokat. Untuk dapat diangkat sebagai Advokat harus berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum (vide Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Advokat); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 5. Bahwa perbedaan latar belakang keilmuan tersebut juga mengakibatkan adanya perbedaan objek pemberian jasa yang dilakukan antara profesi Advokat dengan profesi Konsultan Pajak. Advokat dalam menjalankan profesinya memberikan bantuan jasa hukum, sedangkan Konsultan Pajak dalam menjalankan profesinya memberikan bantuan berupa konsultasi perpajakan dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya yang aspeknya bukan hanya peraturan atau hukum terkait pajak, namun juga ada aspek keilmuan lain seperti misalnya akuntansi;
Bahwa perbedaan objek pemberian jasa dengan latar belakang keilmuan yang berbeda antara Konsultan Pajak dengan Advokat, menjadikan peranan kedua profesi tersebut tidak dapat saling menggantikan. Profesi Konsultan Pajak tidak dapat menggantikan peranan Advokat sebagai kuasa kliennya dalam beracara di Pengadilan, begitu juga dengan profesi Konsultan Pajak yang tidak dapat digantikan oleh Advokat dalam memberikan bantuan konsultasi dan sebagai penerima kuasa untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Hal ini tentunya berbeda, tetapi dimungkinkan serta lazim ditemui, bagi mereka yang dapat memenuhi persyaratan di kedua profesi tersebut, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menjalankan praktek sebagai advokat maupun sebagai konsultan pajak;
Bahwa peran adanya organisasi yang menjaga kualitas sebuah profesi adalah sesuatu hal yang sangat penting. Kualitas disini bukan hanya dari aspek keilmuan, namun juga dari aspek etika. Nama baik profesi adalah nilai jual dari sebuah profesi. Dapat dibayangkan bilamana sebuah profesi, baik advokat, konsultan pajak dan atau profesi lainnya misalnya dokter, tidak memiliki organisasi profesi yang dapat menegakkan nilai etika kepada anggotanya dalam berpraktek dengan cara memberikan resiko dalam bentuk hukuman berupa pencabutan izin misalnya. Maka sangat dimungkinkan akan muncul oknum-oknum pencari keuntungan yang rela melakukan apa saja, selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, demi keuntungan pribadi. Hal tersebut dapat memupuskan kepercayaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 masyarakat bukan hanya kepada oknumnya, namun juga kepada keseluruhan orang yang berprofesi tersebut;
Bahwa pembatasan, berupa kualifikasi keilmuan dan juga keharusan menjadi anggota pada suatu organisasi profesi, juga terjadi pada profesi advokat, dimana hanya orang yang merupakan Sarjana Hukum, telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, lulus ujian profesi advokat serta menjadi anggota organisasi advokatlah yang dapat berprofesi sebagai Advokat, sehingga bisa menjadi kuasa hukum dalam beracara di dalam maupun di luar pengadilan, sementara orang yang misalnya hanya menguasai ilmu hukum, namun tidak mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat, tidak lulus ujian profesi advokat dan/atau tidak menjadi anggota organisasi advokat tentunya tidak diizinkan untuk mewakili seseorang di hadapan persidangan. Namun mengapa adanya ketentuan tersebut tidak menjadi terjadinya pelanggaran atas hak konstitusional warga negara? Seharusnya logika yang sama pun bisa diterapkan pada profesi konsultan pajak yang menjadi Kuasa Wajib Pajak;
Bahwa berlandaskan pemikiran yang sama, sesungguhnya adanya pembatasan dalam memasuki sebuah profesi, tidak menyebabkan pelanggaran hak konstitusional warga negara, karena pada hakikatnya setiap warga negara diberi kesempatan yang sama untuk berprofesi tertentu selama warga negara tersebut mau dan mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan;
Bahwa dengan demikian, perlu juga kita sadari bersama bahwa sebenarnya tidak ada pembatasan kepada seorang advokat untuk menjadi Kuasa Wajib Pajak, yang diperlukan oleh seorang advokat untuk juga bisa menjadi Kuasa Wajib Pajak adalah memenuhi segala persyaratan menjadi konsultan pajak sebagaimana dijelaskan di atas. Secara a contrario , sebenarnya tidak ada pembatasan bagi konsultan pajak untuk dapat menjadi advokat selama konsultan pajak yang bersangkutan telah memenuhi semua syarat-syarat untuk menjadi advokat sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan tentang itu; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 F. TUJUAN PENDELEGASIAN PENGATURAN PEMBERIAN KUASA KEPADA MENTERI KEUANGAN 1. Bahwa sejak reformasi perpajakan tahun 1983, sistem perpajakan di Indonesia didasarkan atas sistem self assessment , dimana sistem tersebut memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan;
Keberhasilan sistem self assessment sangat bergantung pada kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan pengawasan yang optimal dari aparat pajak. Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajaknya sendiri, dan pajak yang dibayarkan tersebut dianggap benar sampai pemerintah dapat membuktikan sebaliknya;
Melalui sistem self assessment, Wajib Pajak ditempatkan sebagai pihak yang secara aktif melakukan berbagai kewajiban perpajakannya sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan, dengan menempatkan pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban memberikan pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang- undangan perpajakan;
Sistem self assessment dimaksud, selanjutnya dirumuskan dalam beberapa ketentuan perpajakan antara lain dalam Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU KUP:
Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus.
Relevan terhadap 5 lainnya
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENETAPAN PENAMBAHAN JANGKA WAifl'U KOMPENSASI KERUGIAN BAGI WAJIB PAJAK YANG MENDAPATKAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN. Menetapkan penambahan jangka waktu kompensasi kerugian berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Lapangan Nomor........ . . (7)........ . . tanggal........ . . (8).... . ....., dari: Nama Wajib Pajak........ .. (2)........ . . NPWP........ .. (9)........ . . Alamat........ .. (10).... . ..... selama........ . . (1 1)........ . . tahun sehingga masa kompensasi kerugian seluruh ny a menjacli.... . .....(12)........ . . tahun atas nilai kemgian yang dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (8) clan/ atau ayat (9) Peraturan Menteri Keuangan Nomor........ .. / PMK.0 10/201 6 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, Dan Cukai Di Kawasan Ekonomi Khusus karena telah/ticlak*) memenuhi persyaratan**): D D D D D D D D Melakukan Penanaman Modal clengan nilai lebih clari Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupial1) ; Mempekerjakan paling seclikit 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) talmn bertumt-tumt; Mempekerjakan paling sedikit 1000 (seribu) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-tun1t; Penanaman Modal ban1 mengeluarkan biaya untuk infrastmktur ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling seclikit sebesar Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupial1); Mengeluarkan biaya penelitian clan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) clari jumlal1 Penanaman Modal clalam jangka waktu 5 (lima) tahun; Menggunakan bahan baku clan/ atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun ke-4 (keempat); Penanȁnan Modal berupa perluasan dari usal1a yang telah ada di KE K sebagian sumber pembi ay aannya berasal dari laba setelah pajak (earning after tax) Wajib Pajak pacla satu Tahun Pajak sebelum tahun diterbitkannya izin prinsip perluasan Penanaman Modal; Melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen) clari nilai total penjualan. Kompensasi kerugian selama........ . . (12)........ . . tahun dapat climanfaatkan atas kerugian Tahun Pajak........ . . (13)........ .. . Keputusan Direktur Jenderal ini berlaku pada tanggal clitetapkan. Apabila di kemudian hari ditemukan kekeliruan dalam Keputusan Direktur Jenderal ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya. Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini, clisampaikan kepada:
Direktur Peraturan Perpajakan II, Direktorat J encleral Pajak;
Kepala Kantor Wilayal1 Direktorat Jencleral Pajak........ . . (14)...........;
Kepala Kantor Pelayanan Pajak........ . . (15)...........;
Wajib Pajak yang Bersangkutan. DIRE ifl'UR JENDERAL, Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (1 1) Nomor (12) *) - 91 - PETUNJUK PENGISIAN Diisi dengan nomor Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Diisi dengan nama Wajib Pajak. Diisi dengan nomor surat permohonan Wajib Pajak. Diisi dengan tanggal surat permohonan Wajib Pajak. Diisi dengan nomor Keputusan Menteri Keuangan mengenai persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan. Diisi dengan tanggal Keputusan Menteri Keuangan mengenai persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan. Diisi dengan nomor Laporan Hasil Pemeriksaan Lapangan atas permohonan Wajib Pajak. Diisi dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan Lapangan. Diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak Wajib Pajak. Diisi dengan alamat Wajib Pajak. Diisi dengan tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sesuai laporan hasil pemeriksaan lapangan atas permohonan Wajib Pajak (dalam angka dan huruf). Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan tambahan jangka waktu kompensasi kerugian, maka diisi dengan "O (nol)" Diisi dengan jangka waktu kompensasi kerugian keseluruhan setelah mendapatkan tambahan jangka waktu kompensasi berdasarkan laporan hasil pemeriksaan lapangan atas permohonan Wajib Pajak (dalam angka dan huruf). Dalam hal permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan tambahan jangka waktu kompensasi kerugian, maka diisi dengan "5 (lima)" Pilih "telah" apabila Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan tambahan jangka waktu kompensasi kerugian berdasarkan laporan hasil pemeriksaan lapangan atau pilih "tidak" apabila berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan permohonan Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk memperoleh tambahan jangka waktu kompensasi kerugian. ** ^) Nomor (13) Nomor (14) Nomor (15) Nomor (16) Nomor (17) Dalam hal Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan tambahan jangka waktu kompensasi kerugian, beri tanda X pada kotak yang memenuhi persyaratan serta ditampilkan dalam Surat Keputusan sesuai memenuhi persyaratan saja. Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan tambahan jangka waktu kompensasi kerugian, maka pilihan kotak yang kosong tidak perlu ditampilkan dalam Surat Keputusan ini. Diisi dengan Tahun Pajak yang dimintakan untuk mendapatkan tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sesuai laporan hasil pemeriksaan lapangan. Diisi dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Diisi dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Diisi dengan tanggal Keputusan Direktur Jenderal. Diisi dengan nama Direktur Jenderal Pajak. B. FORMAT SURAT PERMOHONAN PENETAPAN PENAMBAHAN JANGKA WAKTU KOMPENSASI KERUGIAN SU RAT PE RMOHONAN PE NETAPAN PENAMBAHAN JANGI<A "\VAKTUKOMPENSASI KERUGIAN Non,or........ . . ^( 1 ^)........ . . Tanggal :
....... . . (2)........ . . Yth . Direktur Jenderal Pa jak c.q. Direktur Pemeriksaan da.n Penagihan Direktorat Jenderal Pa jak Jalan Gatot Subroto 40 -42 Jakar ta 1 2 1 90 Yang bertanda tangan di bawal'.l ini: Nan>a........ . . (3)........ . . NPWP........ . . (4)........ . . Alan,at........ . . (5)........ . . Jabatan........ . . (6)........ . . dala.n1. hal ini ber-tin.da.k. a.tas nama clan untu.k kepen.tingan: "') Nama WͰjib Pa jak........ . . (7)........ . . NPWP........ . . (8)........ . . Alarnat........ . . (9)........ . . Telepon / Fax........ . . (10)........ . . bersa.rna i11i menga. juka..n permohona.n penetapan pena.xnbaha.n. jru1gka waktu kornpensasi kerugian sela..rna.
........ . ( 1 1)........ . . tal,un agar c!in,anfaatkan untuk kerugian Tahun Pajak........ .. (12) . . :
......sesuai clengan Peratura.n Menteri Keuangan. Non1.or.... . ...../Pl.1K.O 10 /20 1 6 ten tang Perla..ku.a.n Perpa. ja.kan, Kepa.beana.n Dan Cukai Di Ka.wa.san Ekon.on.U IG1usus. Sebagai bal1a.n perti1nbangan Baͱ bersa.ina ini kaini lanipirka.n dokun1en terkait pemenl...th.an persyarata.n berikut: "'} D [-.J D n D D D D n Keputusan Persetqjuan Pemberia.n Fasilita. ,; Pa jak Penghasilan Non1or........ . . ( 1 6).......Ta.ngga.l........ . . ( 1 7)........ . . tentang Persetujuan Pemberian Fasilitas Pa jak Penghasilan . M ela.kt..tka.n Pena.narna.n. Modal dengan nilai lebih dari Rp20 0.000 .000 .000,00 (dua ra.tus 1nilia.r rupiah) . M en : lpekerjakan sekl.1rang-kura..ngnya. 500 (li111a ratus) orang ten.a.ga. kerja Indonesia selama 5 (litna.) tahun berturut-h ... lrl.1.t. Men: 1pekerjakan sekura.ng-ku.ra.ngnya 1000 (seribu) orang tena.ga ker ja Indonesia. sela.rna. 5 (li1na) t a.hun bertu.n ... 1.t-h .. 1.n....1.t .. Penanatnan Modal ban..1 n1ei1.geluarkan biaya untuk i.nfrastruktur ekononi.i dan / ata.1..1 sosial d i lok.asi usal'.la palinp; seclilcit sebesar Rp l 0 .000. 000 .000,00 (sepuluh ,niliar rupiah) . M engeluarkan biaya penelitia.u. da...n pengen1.banga.n di da.la.rn negeri dale.in ra.ngka pengernOOngan produk a.tau efisiensi produksi paling sedikit 5% (Ii.ma persen) dari juntlal'.l Penanan,an Modal dalam jangka v.raktu 5 (luna) tahun. M enggunaka.n bahan baku dan/atau ko111pon.en hasil produksi dala..in. negeri paling sedikit 70: Vi, (tu juh puluh persen) sejak tahun ke-4 (keempal) . Pena.naxna..n Modal berupa. perluasan dari usah.a yang telah ada. di KEK sebagian sumber pe1nbia. ya.a..nn.ya bera.sa.l dari la.ha setela.h pa jak (earning after ta.x i Wa. jib Pajak pada satu Tahun Pajak sebeh .. un tah'-.m diterbitkannya izi.n prinsip perh .. J.asan Pet.1.a.na.n-ian Modal .. Melakukan eks po r paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari nilai total penjualan. D enUk.ian ka..,:
ni. sa..inpaika...n un.tuk di pe rti1nbangka..n .. Peznohon. Cap per1..1sal,aan Nama Jabatan Diteri1na. ta.nggal Na.ina Penerima Tanda Tangan ......... . (13)........ . . •• ^) Beri tancla (x) pada kotak apabila permohonan dilakukan oleh kuasa Wa jib Pajak -- Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor (10) Nomor (11) Nomor (12) Nomor (13) Nomor (14) Nomor (15) Nomor (16) Nomor (17) - 94 PETUNJUK PENGISIAN Diisi dengan nomor surat permohonan Wajib Pajak. Diisi dengan tanggal surat permohonan Wajib Pajak. Diisi dengan nama pengurus/kuasa Wajib Pajak. Di֡si dengan NPWP pengurus/kuasa Wajib Pajak. Diisi dengan alamat pengurus/kuasa Wajib Pajak. Diisi dengan jabatan pengurus/kuasa Wajib Pajak. Diisi dengan nama Wajib Pajak. Diisi dengan NPWP Wajib Pajak. Diisi dengan alamat Wajib Pajak. Diisi dengan nomor telepon/faksimili Wajib Pajak. Diisi sesuai tambahan jangka waktu kompensasi kerugian menurut perhitungan Wajib Pajak. Diisi dengan Tahun Pajak yang dimintakan untuk mendapatkan tambahan jangka waktu kompensasi kerugian. Diisi oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan tanggal disampaikannya surat permohonan Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak. Diisi oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan nama penerima surat permohonan Wajib Pajak. Diisi dengan tanda tangan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang menerima surat permohonan Wajib Pajak. Diisi dengan nomor Sur_at Keputusan Persetujuan Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Diisi dengan tanggal Surat Keputusan pada Nomor (17). MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG P. S. BRODJONEGORO LAMPIRAN IV PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 0 4 / PMK . 0 1 0 / 2 0 1 6 TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN, KEPABEANAN DAN CUKAI PADA KAWASAN EKONOMI KHUSUS A. FORMAT KEPUTUSAN PERSETUJUAN PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN Menimbang Mengingat Menetapkan KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR........ . . (1)........ . . TENTANG PERSETUJ UAN PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa berdasarkan surat Kepala Badan Koorclinasi Penanaman Modal Nomor........ . . (2)........ . . tanggal........ . . (3)........ .. hal........ . . (4)........ . . , Kepala Badan Koorclinasi Penanaman M oclal mengusulkan PT . . ...... . . (5)........ . . (NPWP:
....... . . (6)........ . . ) untuk dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan dan diterima di Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal.................... ;
bal1\va Staf Ahli Menteri Keua11gan Bidang Kebijakan Penerimaan Negara melalui surat Nomor.... . .....tanggal.................... hal.................... , menyampaikru1 rekomenclasi untuk clapat memberikan fasilitas Pajak Penghasilan kepada PT........ . . (5)........ . . ;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud clalam huruf a clan huruf b, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor.................... /PMK.0 10/20 1 6 ten.tang Perlakuan Perpajakan. Kepabeanan, Dan Cukai Di Kawasru1 Ekonomi Khusus, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan ten.tang Persetujuan Pemberiru1 Fasilitas Pajak Penghasilru1;
Un.dang-Un.dang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Unclang Undang Nomor 1 6 Tahun 2009 (Lembarru1 Negara Republ i k Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Trunbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
Un.dang-Un.dang Nomor 7 Tahun 1983 ten.tang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagairnana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Talmn 2008 Nomor 133, Tambahr ^u 1 ·Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
Undru1g-Undru1g Nomor 39 Tal1un 2009 tentang Kawasan Ekonom..i Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147. Trunbahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066) ;
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 20 15 ten.tang Fasilitas dan Kemuclahan cli Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201 5 Nomor 309, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5783);
Peraturan Menteri Keuangru1 Nomor........ . . /PMK.0 10/20 16 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, Dan Cukai Di Kawasan Ekonomi Khusus;
KE PUTUSAN MENTER! KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN. PERSETUJUAN PERI'AMA KEDUA Menyetujui pemberian fasilitas Pajak Penghasilan kepada: Wajib Pajak........ .. (7)........ . . NPWP........ .. (8)........ . . Ala.mat........ .. (9)........ . . Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pacla cliktum PERI'AMA adalah sebagai berikut: 1 . pengurangan penghasilan netto sebesar 30% (tiga puluh persen) clari jumlah Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujucl tennasuk tanah yang digunakan W1tuk kegiatan utama usal1a. dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5o/ o (lima persen) per tahun yang dihitung sejak saat mulai berproduksi/ beroperasi•) secara komersial;
penyusutan yang clipercepat atas aktiva berwujucl clan amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak benvu.jud yang cliperoleh dalam rangka Penanaman Modal ban1 clan/ atau perluasan usaha, dengan masa manfaat clan tarif penyusutan serta tarif amortisasi clitetapkan sebagai berikut:
Untuk penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujucl Tarif Penyusutan Masa Kelompok Aktiva Manfaat Berclasarkan Metode Berwujud Menjacli Garis Saldo Lun1s MentrrW1 I. Bukan Ban1nman 100% Kelompok I 2 tahun 50% (dibebankan sekaligus) Kelompok II 4 talmn 25% 50% Kelompok Ill 8 tahun 12,5% 25% Kelompok IV 10 1 0% 20% tal1U11 II. Ban1 ^n 1nan Pern1anen 10 tahun 10% - Tidak Permanen S tahun 20% - b. Untuk amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud: Tarif Amortisasi Masa Kelompok Harta Manfaat Berdasarkan Metode Tak Berwujud Menjadi Garis Saldo Lun1s Mentrrtu1 1 00% Kelompok I 2 tahW1 SO% (dibebankan sekaligus) Kelompok II 4 tal1tm 2S% SO% Kelon1Pok III 8 tahtm 12,5% 25% Kelompok IV 10 tahtm 1 0 ^° / o 20% 3. Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepacla Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarifyang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku; clan 4. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahU11 tetapi tidak lebih clari 10 (sepuluh) tahW1 dengan ketentuan sebagai berikut:
tambahan 1 tahun : apabila melakukan Penanaman Modal clengan nilai lebih dari Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah) ;
tambahan 1 tahun apabila Wajib Pajak yang melakukan Penanaman Modal baru mengeluarkan biaya untuk infrastruktur ekonomi clan/ atau sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) ;
tambahan 1 tahun apabila menggunakan balmn baku clan/ a tau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahtm ke 4 (empat);
cl. tambahan 1 tal1un atau 2 tal1un tambahan 1 (satu) talmn apabila mempekerjakan paling sedikit SOO (Ii.ma ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tal1un bertun1t-turut atau tambahan 2 (dua) tahun apabila mempekerjakan paling sedikit 1000 (seribu) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut tun1t; KETIGA KEEMPAT KELIMA KEENAM KETUJUH KEDELAPAN KESEMBILAN Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pacla cliktum KEDUA hanya diberikan untuk aktiva yang diperoleh dalam rangka Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam........ . . (10).......... sesuai dengan Larnpiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini. Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana di.rnaksud pada diktum KEDUA butir 1 mulai berlaku sejak saat mulai berproduksi/ beroperasi*) secara komersial yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajal{ tentang Penetapan Saat Dimulainya Berproduksi/Beroperasi*) Secara Komersial. Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pacla cliktum KEDUA butir 2 clan butir 3 mulai berlaku sejak clitetapkannya Keputusan Menteri 101. Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksucl pada diktum KEDUA butir 4 mulai berlal<: u setelah ditetapkan clengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Penambahan Jangka Waktu Kompensasi Kerugian. Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksucl pada diktum KEDUA butir 4 berlal<: u ketentuan Pasal 26 ayat (6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor........ . . /PMK.010/2016 tentang Perlakuan Perpajalran, Kepabeanan Dan Cul<: ai Di Kawasan Ekonomi Khusus. Apabila di kemudian hari ditemukan kekeliruan clalam Keputusan Menteri ini maka akan diaclakan perbaikan sebagaimana mestinya. Keputusan Menteri ini mulai berlaku pacla tanggal ditetapkan. Salinan Keputusan Menteri ini, disampaikan kepacla:
Menteri Keuangan Republik Indonesia;
Kepala Ba clan Koordinasi Penanaman M oclal;
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jencleral Pajak........ . . (1 1 )........ .. ;
Kepala Administrator KEK;
Kepala Kantor Pelayanan Pajak.... . .....(12)........ . . ;
Wajib Pajak yang bersangkutan.
n. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREh.. "'TUR JENDERAL PAJAK, PENJELASAN ATAS PERSETUJUAN PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASIIAN 1 . Bidang usaha Wajib Pajak yaitu........ . . ( 1 5).......... merupakan Kegiatan Utama di KE K yang tidak mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana climaksud dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor........ . . tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, Dan Cukai Pada Kawasan Ekonomi Khusus atau bidang usaha yang merupakan Kegiatan Lainnya di luar Kegiatan Utama KEK dengan KBLI........ . . (16)........ . . dengan cakupan produk........ . . ( 1 7)........ .. . 2 . Berdasarkan Berita Acara Rapat Trilateral persetujuan pemberian fasilitas Pajal< Penghasilan yang dilaksanakan pada tanggal.......... (30)........ . . yang diselenggarakan di Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang ditandatangani oleh:
Pejabat Eselon I Kementerian Keuangan yaitu Staf Ahli Bidang Kebijakan Penerimaan Negara;
Pejabat Eselon I Badan Koordinasi Penanaman Modal yaitu Deputi Biclang Pelayanan Penanaman Modal; dan
Pejabat Eselon I Kementerian Perindustrian yaitu Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, telah disepakati bahwa:
........ . . , b......... . . , C...•.... . . • , cl. Dalam Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas agar clicantumkan kondisi yang harus dipatuhi oleh........ . . (5)........ . . terkait dengan pemenuhan kepatuhan perpajakan.
Berdasarkan surat Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijalran Penerimaan Negara Nomor.... . .....tanggal........ . . hal........ . . (29)........ . . , disampaikan bahwa Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Penerimaan Negara merekomendasikan........ . . (5).......... NPWP.... . .....(6).... . .....untuk dapat diberil<an fasilitas T m _: _ Allowance Pajak Penghasilan.
Penanaman modal Wajib Pajak berdasarkan........ . . (18)........ . . Penanaman Modal clari Administrator KE K Nomor........ .. ( 1 9)........ . . tanggal........ .. (20).... . .....jo. No........ . .. (2 1)........ . . tanggal........ .. (22)........... 5 . Lokasi usaha/proyek di........ . . (23)...........
Berdasarkan surat sebagaimana dimaksud dalam butir 4 dan Surat Permohonan Wajib Pajak Nomor........ .. (24)........ . . tanggal........ . . (25)........ . . , Wajib Pajak memiliki rencana Penanaman Modal senilai........ . . (26)........ .. , dengan rincian sebagai berikut:
M odal Tetap: Jumlah 1 . Pembelian clan Pematangan Tanal1.... . .....(27)........ . . 2 . Bangunan/ Gedung . ,........ (27)........ . .
Mesin/Peralatan clan Suku Cadang.... . .....(27)........ . . 4 . Lain-lain........ . . (27)........ . . Sub Jumlah........ . . (27)........ . .
M odal Kerja (untuk 1 kali tum oved.... . .....(27)........ . . Total.... . .....(27)........ . .
Dari rincian Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada butir 6 di atas, nilai Penanaman Modal yang mendapat Fasilitas Pajak Penghasilan adalah sebesar........ . . (28)........ .. , clengan perincian sebagai berikut: Keterangan Jumlah (Rp/US$) Modal Tetap:
Fasilitas Pajak Penghasilan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan M enteri Keuangan ini hanya dapat cligunakan untuk Penanaman Modal baru/perluasan usaha. 9 . Wajib Pajak dilarang untuk melakukan pemindahtanganan atau pengalil1an k ep em.ilikan untuk tujuan apapun atas aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan kecuali d.iganti dengan aktiva tetap yang baru, sebelum berakhirnya jangka waktu yang lebih lama antara:
jangka waktu 6 tahun sejalc saat mulai berproduksi/beroperasi*) secara komersial; atau
masa manfaat aktiva yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak cWarang untuk menyalahgunalcan fasilitas Pajak Penghasilan clalam rangka penghindaran atau pengelakan pajak, antara lain melakukan praktik transfer pricing yang tidak sesuai clengan nonna kewajaran. *) coret yang ticlak perlu.
n. MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Nomor (1) Nomor (2) Nomor (3) Nomor (4) Nomor (5) Nomor (6) Nomor (7) Nomor (8) Nomor (9) Nomor ( 1 0) Nomor ( 1 1) Nomor ( 1 2) Nomor ( 1 3) Nomor ( 1 4) Nomor ( 1 5) Nomor ( 1 6) Nomor ( 1 7) Nomor ( 1 8) Nomor ( 1 9) - 1 00 - PETUNJUK PENGISIAN Diisi dengan nomor Keputusan Menteri Keuangan tentang Persetujuan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan. Diisi dengan nomor surat usulan pemberian fasilitas dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal yang disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak. Diisi dengan tanggal surat usulan pada Nomor (2) . Diisi dengan hal surat usulan pada Nomor (2) . Diisi dengan nama Wajib Pajak yang diusulkan dalam surat usulan pada Nomor (2) . Diisi dengan NPWP Wajib Pajak yang diusulkan dalam surat usulan pada Nomor (2) . Diisi dengan nama Wajib Pajak yang diberikan fasilitas. Diisi dengan NPWP Wajib Pajak yang diberikan fasilitas. Diisi dengan alamat Wajib Pajak yang diberikan fasilitas. Diisi dengan jenis, nomor, dan tanggal izin Penanaman Modal/ izin perluasan Penanaman Modal yang menjadi dasar pemberian fasilitas. Diisi dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Diisi dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Diisi dengan tanggal Keputusan Menteri Keuangan. Diisi dengan nama Direktur Jenderal Pajak. Diisi dengan bidang usaha Wajib Pajak Diisi dengan KBLI yang mendapatkan fasilitas berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. Diisi dengan cakupan produk yang mendapatkan fasilitas berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. · Diisi dengan "Izin Prinsip" apabila merupakan Penanaman Modal Baru atau diisi dengan "Izin Prinsip Perluasan" apabila merupakan Perluasan Penanaman Modal. Diisi dengan nomor Izin Prinsip/Izin Prinsip Perluasan dari Administrator KEK yang dijadikan dasar pengajuan fasilitas. f www.jdih.kemenkeu.go.id Nomor (20) Nomor (2 1) Nomor (22) Nomor (23) Nomor (24) Nomor (25) Nomor (26) Nomor (27) Nomor (28) Nomor (29) Nomor (30) - 1 0 1 - Diisi dengan tanggal Izin Prinsip/Izin Prinsip Perluasan dari Administrator KEK yang dijadikan dasar pengajuan fasilitas. Diisi dengan nomor Izin Prinsip dalam hal terdapat Perubahan Izih Prinsip yang terakhir dari Administrator KEK yang dijadikan dasar pengajuan fasilitas. Diisi dengan tanggal Izin Prinsip Perubahan dari Administrator KEK yang dijadikan dasar pengajuan fasilitas. Diisi dengan Lokasi U saha/ Proyek Penanaman Modal yang dimin takan fasili tas. Diisi dengan nomor Surat Permohonan Fasilitas yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Kepala Administrator KEK. Diisi dengan · tanggal Surat Permohonan Fasilitas yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Diisi dengan Nilai Rencana Investasi/ Penanaman Modal sesuai dengan Izin Prinsip/Izin Prinsip Perluasan/ Izin Prinsip Perubahan yang menjadi dasar pengajuan fasilitas. Diisi sesuai dengan nilai yang tercantum dalam Izin Prinsip/ Izin Prinsip Perluasan/Izin Prinsip Perubahan yang menjadi dasar pengajuan fasilitas. Diisi dengan nilai Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas berdasarkan hasil penelitian. Diisi dengan nomor, tanggal, dan hal surat rekomendasi Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Penerimaan Negara. Diisi dengan tanggal dilaksanakannya rapat trilateral. B . FORMAT KEPUTUSAN PENOLAKAN PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN Menimbang Mengingat Menetapkan KEPUTUSAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR........ .. (1).......... . TENTANG PENOLAKAN PEMBERIAN FASILITAS PAJAK PENGHASILAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Kepala Baclan Koordinasi Penanaman Modal melalui surat Nomor........ . . (2).... . ...... tanggal........ . . (3)...........hal........ .. (4)........ ... , mengusulkan PT........ . . (5)...........(NPWP:
... . .....(6)...........) untuk clapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan clan diterima di Direktorat Jenderal Pajak pacla tanggal........ . . ;
bahwa Staf Ahli Menteri Keuangan Biclang Kebijakan Penerimaan Negara melalui surat Nomor tanggal hal........ . . (15)..........., memberikan rekomenclasi untuk ticlak memberikan fasilitas Pajak Penghasilan kepada PT........ . . (5)........... (NPWP:
....... . . (6)...........);
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a clan huruf b, serta clalam rangka melaksanakan ketentua.n Pasal 30 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor........ . . /PMK.010/20 1 6 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabea.nan, Dan Cukai Di Kawasan Ekonomi Khusus, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Penolakan Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan;
Undang-Undang No.mar 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum clan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir clenga.n Unclang Undang Nomor 1 6 Talmn 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No.mar 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahm1 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Unclang-Undang Nomor 36 Tahm1 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893) ;
Unclang-Unclang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah1.m 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066) ;
Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 20 15 tentang Fasilitas clan Kemuclahan di Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 201 5 Nomor 309, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5783);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor........ . . /PMK.0 10/20 16 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan Dan Cukai Di Kawasa.n Ekonomi Khusus;