Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap
17 Edisi #6/ 2020 Warta Fiskal memasuki usia pensiun. Implementasi pengaturan saat ini menimbulkan dampak yang justru lebih buruk daripada pengaturan sebelumnya. Saat ini tidak lagi ada masa kepesertaan minimal atau masa tunggu bagi pekerja untuk mencairkan manfaat JHT. Sejak September 2015, peserta menjadi terlalu mudah menarik dana JHT sebelum memasuki usia pensiun ( early withdrawal ). Nilai klaim JHT karena pengunduran diri pun meningkat dari Rp107 juta/ tahun menjadi Rp13,9 triliun/ tahun. Bagi pengelolaan aset yang dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan, pengaturan ini juga memunculkan hambatan. Strategi pengelolaan aset JHT yang seharusnya lebih dominan pada investasi jangka panjang menjadi tidak dapat optimal diimplementasikan. Pengelola merasa harus mencadangkan dana untuk early withdrawal yang dilakukan oleh peserta. Pada akhirnya, pengaturan ini juga berdampak pada pendalaman pasar keuangan yang salah satu faktornya yakni tersedianya sumber pembiayaan jangka panjang pada pasar keuangan. Untuk memperbaiki kondisi yang terjadi sekarang, beberapa rekomendasi perbaikan yang dapat dipertimbangkan sebagai berikut. Pertama, mengembalikan pengaturan manfaat JHT sebagian sebagaimana pada UU SJSN. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2015 secara prinsip sesungguhnya bertentangan dengan aturan di atasnya, yakni UU SJSN. Dengan mengembalikan pengaturan manfaat JHT sesuai dengan UU SJSN, yakni hanya dapat diambil sebagian setelah masa kepesertaan 10 tahun, manfaat JHT akan dikembalikan sesuai dengan prinsip peruntukkannya, yakni untuk memberikan perlindungan hari tua. Namun demikian, pengaturan ini mengesampingkan fakta bahwa pekerja juga memiliki kebutuhan-kebutuhan jangka pendek yang mendesak selain kebutuhan jangka panjang/hari tua. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, peserta JHT didominasi oleh pekerja dengan penghasilan hingga Rp 4 juta/ bulan. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar pekerja masih memiliki kesulitan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek mereka. Selain itu, resistensi dan penolakan serikat pekerja perlu diantisipasi. Jika rekomendasi ini diambil, diperlukan sosialisasi yang intensif kepada pekerja mengenai pentingnya mengembalikan manfaat JHT sesuai dengan peruntukannya. Kedua, menggunakan kembali pengaturan masa kepesertaan paling sedikit 5 tahun dan masa tunggu 1 bulan. Pengaturan ini mungkin tidak akan menimbulkan gejolak reaksi yang kuat dari pekerja. Namun demikian, pengaturan ini tidak mengembalikan manfaat JHT sesuai dengan peruntukkannya untuk memberikan perlindungan di hari tua, karena saldo JHT pekerja akan tetap menjadi minim karena kelonggaran yang diberikan. Ketiga, mengenalkan 2 akun JHT. Pengaturan mengenai manfaat JHT sebaiknya tetap mempertimbangkan bahwa pekerja seharusnya tetap diberikan askes pengambilan manfaat untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek dan mendesak dengan tidak mengesampingkan tujuan utama jangka panjang untuk memberikan perlindungan hari tua. Di Malaysia, total kontribusi atas iuran program sejenis akan dibagi menjadi dua akun yaitu Akun 1 dan Akun 2. Akun 1, sebesar 70% dari total kontribusi, hanya dapat ditarik pada usia pensiun atau ketika orang tersebut meninggal atau jika orang tersebut meninggalkan negara secara permanen. Akun 2, sebesar 30%, dapat ditarik kapan saja untuk tujuan tertentu (perumahan, sakit kritis, pendidikan,dan haji/ ibadah keagamaan lain). Skema ini memungkinkan pekerja untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek yang mendesak sembari tetap memastikan pekerja memiliki tabungan hari tua. Skema 2 akun JHT dapat direkomendasikan untuk juga diimplementasikan di Indonesia. Akun 1, sebesar 60- 80% dari total kontribusi, hanya dapat ditarik pada usia pensiun. Akun 2, sebesar 20-40%, dapat ditarik kapan saja untuk tujuan jangka pendek dan mendesak tertentu. Skema alternatif ini paling direkomendasikan karena tidak serta merta idealis namun juga humanis dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan hidup manusia sepanjang hayat.