Pengelolaan Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2024 untuk Penghargaan Kinerja Tahun Sebelumnya
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN INSENTIF FISKAL TAHUN ANGGARAN 2024 UNTUK PENGHARGAAN KINERJA TAHUN SEBELUMNYA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 4. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota. 5. Daerah Tertinggal adalah Daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan Daerah lain dalam skala nasional. 6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang. selanjutnya disingkat APED adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 8. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan jdih.kemenkeu.go.id mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 9. Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada Daerah atas pencapaian Kinerja berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian Kinerja pemerintahan daerah antara lain pengelolaan keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar, dukungan terhadap kebijakan strategis nasional, dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional. 10. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 11. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 12. Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari BUN yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran BUN, yang disusun menurut BA BUN. 13. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 14. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor Daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 15. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. 16. Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana TKD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKD. 17. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. 18. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan. 19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat J enderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 21. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 22. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 23. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 24. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan dan kesesuaian formil dokumen persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. 25. Administrator Pusat adalah pegawai negeri sipil yang bertugas untuk melakukan penelitian terhadap persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. 26. Administrator Daerah adalah aparatur sipil negara Daerah yang ditugaskan untuk mengelola, menyusun, dan menyampaikan persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. Pasal 2 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi pengelolaan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya. BAB II PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLAAN INSENTIF FISKAL Pasal 3 (1) Dalam rangka pengelolaan Insentif Fiskal, Menteri selaku Pengguna Anggaran BUN Pengelola TKD menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pemimpin PPA BUN Pengelola TKD;
Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan;
Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan; dan
Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. (2) Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi Insentif Fiskal. jdih.kemenkeu.go.id (3) Dalam ha! pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri menunjuk Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (4) Dalam ha! pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri menunjuk pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (5) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitifyang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c:
tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan. b. masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN tidak dapat melaksanakan tugas. (6) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Pejabat pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA definitif. (7) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dalam ha! Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif atau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPABUN. (8) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (9) Penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) Pasal 4 KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung;
menyusun RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;
menyampaikan RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;
menandatangani RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD; menyusun DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal; dan menyusun dan menyampaikan rekomendasi penyaluran dan/atau penundaan Insentif Fiskal e. f. kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;
menyusun proyeksi penyaluran dan rencana penarikan dana TKD untuk Insentif Fiskal;
mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan penyaluran Insentif Fiskal;
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
melakukan verifikasi terhadap rekomendasi BUN Pengelola Khusus, dan f. penyaluran Insentif Fiskal dari KPA Dana Desa, Insentif, Otonomi Keistimewaan; melaksanakan penyaluran InsentifFiskal berdasarkan rekomendasi penyaluran dari KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD jdih.kemenkeu.go.id menggunakan aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan dan anggaran negara; dan
melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran Insentif Fiskal melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu BUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan dan anggaran negara;
menyusun proyeksi penyaluran Insentif Fiskal sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui aplikasi cash planning _information network; _ dan c. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelola TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD, KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, serta koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak bertanggung jawab atas penggunaan Insentif Fiskal oleh Pemerintah Daerah. BAB III PENGANGGARAN Pasal 6 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan mengusulkan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD. (2) Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
perkembangan dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
arah kebijakan Insentif Fiskal; dan/atau
kemampuan keuangan negara. (3) Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal. (4) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat jdih.kemenkeu.go.id (2) kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya. (5) Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berdasarkan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (6) Menteri menetapkan pagu indikatif Insentif Fiskal dengan mempertimbangkan Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB IV PENGALOKASIAN Pasal 7 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya berdasarkan pagu indikatif Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). (2) Penghitungan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan penilaian kinerja Daerah. (3) Penilaian kinerja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada:
nilai peningkatan kinerja; dan / a tau b. nilai capaian kinerja tahun terakhir. (4) Alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagikan kepada Daerah yang berkinerja baik. Pasal 8 Pengalokasian Insentif Fiskal setiap Daerah untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) berdasarkan:
klaster Daerah;
kriteria utama; dan
kategori kinerja. Pasal 9 (1) Klaster Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a terdiri atas:
klaster A, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal sangat tinggi dan tinggi menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal;
klaster B, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal sedang menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal;
klaster C, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan sangat rendah menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal; dan jdih.kemenkeu.go.id d. klaster D, merupakan Daerah dengan kategori Daerah Tertinggal. (2) Kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c sesuai Peraturan Menteri mengenai kapasitas fiskal Daerah. (3) Daerah Tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sesuai Peraturan Presiden mengenai Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Pasal 10 (1) Kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b diatur dengan ketentuan:
klaster A menggunakan indikator:
opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah 5 (lima) tahun terakhir; dan
ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD dalam 1 (satu) tahun terakhir. b. klaster B menggunakan indikator:
opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah untuk 2 (dua) tahun terakhir; dan
ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD, dalam 1 (satu) tahun terakhir. c. klaster C menggunakan indikator ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD, dalam 1 (satu) tahun terakhir. d. klaster D tidak menggunakan kriteria utama. (2) Ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Pasal 11 (1) Kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c terdiri atas:
kinerja pengelolaan keuangan pemerintah;
kinerja pelayanan dasar;
kinerja dukungan terhadap fokus kebijakan nasional; dan
kinerja sinergi kebijakan pemerintah. (2) Kategori kinerja pengelolaan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas variabel:
tingkat kemandirian Daerah yang didasarkan pada perbandingan realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap produk domestik regional bruto non minyak dan gas bumi;
interkoneksi sistem informasi keuangan daerah; dan
sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan. (3) Kategori kinerja pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas variabel: jdih.kemenkeu.go.id a. bayi dibawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap;
indeks standar pelayanan minimal pendidikan;
akses sanitasi layak;
pengelolaan air minum;
penurunan tingkat pengangguran terbuka; dan
indeks pembangunan manusia. (4) Kategori kinerja dukungan terhadap fokus kebijakan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas variabel:
penurunan prevalensi _stunting; _ b. penurunan presentase penduduk miskin; dan
pengendalian inflasi daerah. (5) Kategori kinerja sinergi kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas:
kelompok inovasi, meliputi variabel:
inovasi Daerah;
inovasi pelayanan publik; dan
pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan;
kelompok pelayanan, meliputi variabel:
penghargaan pembangunan daerah;
pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha; dan
percepatan dan perluasan digitalisasi daerah; dan
kelompok integritas meliputi variabel tingkat persepsi korupsi. Pasal 12 (1) Data indikator opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 1 dan huruf b angka 1 bersumber dari Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Data:
indikator penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD tepat waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c; dan
realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a bersumber dari Kementerian Keuangan. (3) Data interkoneksi sistem informasi keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b merupakan hasil penilaian dari Kementerian Keuangan. (4) Data:
produk domestik regional bruto non minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a;
akses sanitasi layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf c;
penurunan tingkat pengangguran terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf e;
indeks pembangunan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf f; dan jdih.kemenkeu.go.id e. penurunan persentase penduduk miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf b, bersumber dari Badan Pusat Statistik. (5) Data sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) buruf c dan data inovasi pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 2 merupakan basil penilaian dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (6) Data bayi di bawah 2 (dua) tabun yang mendapat imunisasi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf a dan penurunan prevalensi stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf a bersumber dari Kementerian Kesebatan. (7) Data indeks standar pelayanan minimal pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf b merupakan basil penilaian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (8) Data pengelolaan air minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf d merupakan basil penilaian dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (9) Data pengendalian inflasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf c merupakan basil penilaian Tim Pengendali Inflasi Daerab dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (10) Data inovasi Daerab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 1 merupakan basil penilaian dari Kementerian Dalam Negeri. (11) Data pengelolaan lingkungan bidup dan kebutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 3 merupakan basil penilaian dari Kementerian Kebutanan dan Lingkungan Hidup. (12) Data pengbargaan pembangunan Daerab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf b angka 1 merupakan basil penilaian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (13) Data pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf b angka 2 merupakan basil penilaian dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. (14) Data tingkat persepsi korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf c merupakan basil survei penilaian integritas dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pengelolaan Dana Desa
Relevan terhadap
Pemerintah Desa menganggarkan dan melaksanakan kegiatan prioritas yang bersumber dari Dana Desa, diutamakan penggunaannya untuk:
program pemulihan ekonomi, berupa perlindungan sosial dan penanganan kemiskinan ekstrem dalam bentuk BLT Desa paling sedikit 10% (sepuluh persen) dan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari anggaran Dana Desa;
dana operasional pemerintah Desa paling banyak 3% (tiga persen) dari anggaran Dana Desa;
program ketahanan pangan dan hewani paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari anggaran Dana Desa termasuk pembangunan lumbung pangan Desa; dan
dukungan program sektor prioritas di Desa berupa bantuan permodalan kepada Badan Usaha Milik Desa, program kesehatan termasuk penanganan stunting , dan pariwisata skala desa sesuai dengan potensi dan karakteristik desa, serta program atau kegiatan lain.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuang ...
Relevan terhadap 1 lainnya
dokumentasi, dan statistik tentang telekomunikasi. • Pemberian hibah, pinjaman atau insentif untuk mengembangkan kebijakan dan Program telekomunikasi. Termasuk Kegiatan pengembangan teknologi telematika. Tidak termasuk Kegiatan yang berhubungan dengan radio dan satelit navigasi untuk transportasi air (04.08) dan penyiaran radio dan televisi (08.03).
• Pemberian hibah atau insentif dalam rangka mendukung penelitian terapan yang berhubungan dengan hukum, ketertiban, dan keamanan yang dilaksanakan oleh lembaga- lembaga nonpemerintah, seperti lembaga penelitian dan perguruan tinggi swasta. Tidak termasuk penelitian dasar dan pengembangan IPTEK (01.04).
01.03 Pelayanan Umum • Pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat yang tidak dilakukan oleh fungsi tertentu, antara lain administrasi kepegawaian nasional, bidang perencanaan nasional, ekonomi nasional, statistik, dan administrasi kependudukan secara nasional. Tidak termasuk: • Kegiatan administrasi kepegawaian yang terkait dengan fungsi-fungsi tertentu. • Kegiatan administrasi perencanaan, ekonomi, statistik nasional, yang terkait dengan fungsi-fungsi tertentu.
Tata Cara Pengelolaan Dana Cadangan Penjaminan untuk Pelaksanaan Kewajiban Penjaminan Pemerintah
Relevan terhadap
Dana Cadangan Penjaminan digunakan untuk pembayaran klaim penjaminan atas program penjaminan Pemerintah.
Program penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
Jaminan Pemerintah untuk percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan Batubara;
Jaminan dan subsidi bunga oleh Pemerintah untuk percepatan penyediaan air minum;
Penjaminan Infrastruktur dalam proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha yang dilakukan melalui BUPI;
Jaminan Pemerintah atas pembiayaan infrastruktur melalui pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional kepada badan usaha milik negara; jdih.kemenkeu.go.id e. Jaminan Pemerintah untuk percepatan proyek pembangunan jalan tol di Sumatera;
Jaminan Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan;
Jaminan Pemerintah untuk percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional;
Jaminan Pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan kereta api ringan/light rail transit terintegrasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi;
Jaminan Pemerintah untuk pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional untuk pelaku usaha usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, usaha besar, dan koperasi, pelaku usaha korporasi, dan badan usaha milik negara;
Jaminan Pemerintah untuk penyelenggaraan cadangan pangan Pemerintah; dan
Jaminan Pemerintah lainnya yang diterbitkan oleh Menteri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Penggunaan Dana Cadangan Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf g, tidak berlaku dalam hal penanggung jawab proyek merupakan kementerian/lembaga.
Pemberian Jaminan Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dibatasi hanya pada jaminan pinjaman.
Investasi Pemerintah dalam rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional
Relevan terhadap
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 15A ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Investasi Pemerintah dalam rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang selanjutnya disebut Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
Investasi Pemerintah dalam rangka Program PEN yang selanjutnya disebut Investasi Pemerintah PEN adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah yang ditetapkan dengan undang- undang.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Lembaga adalah badan selain BUMN yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk menjalankan kegiatan usaha.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Menteri Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut Menteri BUMN adalah menteri yang membidangi urusan BUMN.
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi pengelolaan kekayaan negara.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari pengguna anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Penerima Investasi adalah pelaku usaha di sektor riil dan sektor keuangan yang meliputi usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, usaha besar, dan koperasi yang kegiatan usahanya terdampak oleh pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Pelaksana Investasi adalah BUMN atau LPEI yang ditugaskan oleh Menteri untuk melaksanakan Investasi Pemerintah PEN.
Perjanjian Pelaksanaan Investasi adalah kesepakatan tertulis untuk melaksanakan Investasi Pemerintah PEN antara Menteri atau pejabat yang yang diberi kuasa dengan Direksi BUMN atau Direktur Eksekutif/Direktur Pelaksana LPEI selaku Pelaksana Investasi.
Komite Pemantauan yang selanjutnya disebut Komite adalah organ yang dibentuk untuk melaksanakan fungsi pemantauan dan evaluasi dalam pelaksanaan Investasi Pemerintah PEN.
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang- Undang. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87);
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 186);
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217 /PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);
Tata Cara Penundaan dan/atau Pemotongan Penyaluran Dana Transfer ke Daerah atas Pemenuhan Belanja Wajib dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ...
Relevan terhadap
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d meliputi:
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB paling rendah 10% (sepuluh persen);
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik paling rendah 10% (sepuluh persen);
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak Rokok bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota paling rendah 50% (lima puluh persen); dan
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PAT paling rendah 10% (sepuluh persen), yang dianggarkan dalam APBD dan/atau perubahan APBD tahun anggaran berkenaan.
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk mendanai pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk mendanai penyediaan penerangan jalan umum yang meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara Pemerintah Daerah dan badan usaha.
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Rokok.
Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d digunakan untuk mendanai pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah kabupaten/kota yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
penanaman pohon;
pembuatan lubang atau sumur serapan;
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
pengelolaan limbah.
Pengesahan Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) ...
Relevan terhadap
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, memerintatrkan Undang-Undang ini dengan dalam Lembaran Negara Republik Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Seplember 2022 ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 September 2022 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 190 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24TAHUN 2022 TENTANG PENGESAHAN REGIO]VAT COMPREHENSIVE ECONOMIC PARflVERS}I]P AGREEMENT (PERSETUJUAN KEMITRAAN EKONOMI KOMPREHENSIF REGIONAL) I. UMUM Kegiatan perdagangan merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian nasional dan pendukung pembangunan ekonomi nasional dalam rangka memajukan kesejahteraan umum sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional, Indonesia dapat melakukan kerja sama perdagangan melalui perjanjian perdagangan internasional dengan negara mitra dagang serta memanfaatkan keanggotaan dalam forum kerja sama regional dan multilateral guna mendapatkan manfaat berupa akses pasar barang, jasa dan modal, promosi dan pelindungan penanaman modal, pengembalgan sumber daya manusia, dan program kerja sama ekonomi. Perjanjian perdagangan internasional tersebut merupakan konsekuensi globalisasi terhadap kegiatan perdagangan, baik perdagangan barang, perdagangan jasa maupun penanaman modal melewati batas negara. Indonesia. sebagai salah satu negara anggota Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara (Association of Soutlaast Asian Nationsl, berupaya untuk mewujudkan pembangunan ekonomi nasional sekaligus meningkatkan integrasi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of SoutLeast Asian Nationsl ke dalam ekonomi global sebagaimana tercantum dalam Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN 2025 dengan mencetuskan ide pembentukan kerja sarna Regional Comprehensiue Economic Parinership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional), pada masa keketuaan Indonesia di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nationsl tahun 2011. Konsep tersebut menitikberatkan pada sentralitas Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggar a (Association of Santheast Asian Nationsl di kawasan dan bertujuan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi di kawasan melalui perjanjian yang modem, kofnprehensif, berkualitas tinggi, dan saling menguntungkan dengan terciptanya kawasan perdagangan dan penanaman modal'yang terbuka, sekaligus meningkatkan rantai pasok regional, serta berkontribusi positif terhadap perekonomian dunia. ' Konsep Regional Compretensiue Economic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) diadopsi oleh Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara (Association of Soutlrcast Asian .iYalions) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KT'f) Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Soutleast Asian Nationsl ke-19 di Baii tahun 2011. Pada tahun 2012,'tepatnya di sela-sela KTT Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nationsl ke-21 di Kamboja, konsep Regional Comprehensiue Economic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) beserta " Guiding Principles and Objediues for Negotiating the Regional Comprehensiue Economic Partnershif disepakati oleh 16 (enam belas) Negara Peserta Regional Comprehensiue Economic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional), yaitu 10 (sepuluh) Negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of Soutteast Asian Nations) dan 6 (enam) Negara Mitra Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara (Association of Soutteast Asian Nationsl+l Free Trade Agreernents (Republik Rakyat Tiongkok, Republik Korea, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India). Pada bulan Mei 2013 di Brunei Darussalam, Komite Perundingan Perdagangan Regional Comprehensiue Economic Partnership (Regional Compretensiue Eanomic Partnership Trade Negotiating Committee), memulai perundingannya yang pertama, Indonesia ditunjuk sebagai Negara Koordinator Regianal Comprelen siue Economic Partnership Trade Negotiating Committee sekaligus sebagai Ketua Regional Comprehensiue Economic Partnership Trade Negotiating Committee. Setelah.melalui 31 (tiga puluh satu) putaran perundingan, dengan didukung sejumlah perundingan intersesi tingkat utorking grutp, lead.s-onlg, dan tingkat menteri, pada saat KT-l Regional Comprehensiue Eanomic Partnership ke-4 yang diselenggarakan secara dalam jaringan pada tanggal 15 November 2O2O, 15 (lima belas) Negara Peserta Regional Comprelensiue Economic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) menandatangani Persetujuan Regional Comprelrcn siue Economic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) di negara masing-masing. Penandatansanan Persetuju an Regional Comprehensiue Eonomic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) ini tidak diikuti oleh India, yang pada tahun 2019 menyatakan mundur dari RCEP mengingat tantangai-r ekonomi domestik yang dihadapinya. Regional Comprelrcnsiue Eonomic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) disebut sebagai Mega-Regional F'ree Tlade Agreement terbesar di dunia karena ke-15 Negara Penandatangan Regional Comprehensiue Economic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) secara kumulatif mewakili 29,60/o penduduk dunia; 30,27o Gross Domestic Product dttnia; 27,4o/o perdagangan dunia; dan 29,8o/o Foreign Direct Inueshnent dwnia. Persetujuan Regional Comprehensiue Economic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) terdiri atas 2O (dua puluh) Bab, 17 (tujuh belas) Lampiran, dan 54 (lima puluh empat) ^jadwal komitmen, Secara garis besar, Persetqjuar: Regional Comprelensiue Economic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) terdiri atas 3 (tiga) bagran utama yang terdiri atas akses pasar, aturan dan keda sama. Terdapat 2 (dua) elemen baru, yaitu pengadaan barang/jasa pemerintah dan usaha kecil dan menengah yang termuat dalam Persetqiuan Regbnal Comprehensiue Eanomic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) yang sebelumnya tidak ada di dalam kerangka Persetujuan Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara (Association of Southeast Asian Nationsl+7 hee Tlade Agreements, sehingga Persetujuan Regional Comprelensiue Eanomic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) memiliki nilai tambah yang lebih sesuai dengan perkembangan dan situasi perekonomian dunia saat ini. Implementasi Persetqiuan Regional Comprelensiue Emnomic Partnership (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian Indonesia melalui peningkatan akses pasar barang, jasa, penanaman modal, dan fasilitasi perdagangan, serta kerja sama ekonomi bagi Indonesia sehingga diharapkan dapat mendorong upaya pemulihan dan penguatan perekonomian Indonesia.
il. PASALDEMI PASAL Pasal 1 Cukup ^jelas. Pasal 2 Cukup ^jelas.
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.04/2017 Tentang Pembayaran Cukai Secara Berkala Untuk Pengusaha Pabrik Yang Melaksanakan Peluna ...
Relevan terhadap
bahwa ketentuan mengenai pembayaran cukai secara berkala untuk pengusaha pabrik yang melaksanakan pelunasan dengan cara pembayaran telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.04/2017 tentang Pembayaran Cukai secara Berkala untuk Pengusaha Pabrik yang Melaksanakan Pelunasan dengan Cara Pembayaran;
bahwa untuk mendukung program percepatan pemulihan ekonomi nasional serta untuk menjaga arus kas dan produktivitas pengusaha pabrik barang kena cukai di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), perlu memberikan relaksasi pembayaran cukai secara berkala untuk pengusaha pabrik yang melaksanakan pelunasan dengan cara pembayaran;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.04/2017 tentang Pembayaran Cukai secara Berkala untuk Pengusaha Pabrik yang Melaksanakan Pelunasan dengan Cara Pembayaran;
Perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak ...
Relevan terhadap
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), Pengusaha Kena Pajak mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui portal Wajib Pajak.
(1a) Dalam hal permohonan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah tidak dapat disampaikan secara elektronik melalui portal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat menyampaikan permohonan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah:
secara langsung; atau
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir, ke KPP, kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan kelengkapan dokumen sebagai berikut:
untuk Pengusaha Kena Pajak Mitra Utama Kepabeanan, dilampiri surat penetapan sebagai Mitra Utama Kepabeanan;
untuk Pengusaha Kena Pajak Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) , dilampiri surat penetapan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) ;
untuk pabrikan atau produsen, dilampiri surat pernyataan mengenai keberadaan tempat untuk melakukan kegiatan produksi;
untuk Pedagang Besar Farmasi, dilampiri Sertifikat Distribusi Farmasi atau Izin Pedagang Besar Farmasi, dan Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik;
untuk Distributor Alat Kesehatan, dilampiri Sertifikat Distribusi Alat Kesehatan atau Izin Penyalur Alat Kesehatan, dan Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik; atau
untuk perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, dilampiri Laporan Keuangan Konsolidasi Badan Usaha Milik Negara induk yang telah diaudit oleh auditor independen untuk tahun pajak terakhir sebelum permohonan diajukan.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4).
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan berupa:
menerima permohonan Pengusaha Kena Pajak dengan menerbitkan keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 13 ayat (4); atau
menolak permohonan Pengusaha Kena Pajak dengan menerbitkan pemberitahuan penolakan dimaksud, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 13 ayat (4).
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
Apabila sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan; dan
Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
Berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak menetapkan Pengusaha Kena Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah secara jabatan dengan menerbitkan keputusan penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi ketentuan Wajib Pajak Persyaratan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf f merupakan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pengusaha Kena Pajak dimaksud tidak perlu menyampaikan permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan keputusan penetapan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c yang melakukan kegiatan tertentu, diberikan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pada setiap Masa Pajak.
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Mitra Utama Kepabeanan;
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat ( Authorized Economic Operator ) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Operator Ekonomi Bersertifikat ( Authorized Economic Operator );
pabrikan atau produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, yang memiliki tempat untuk melakukan kegiatan produksi;
Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d;
Pedagang Besar Farmasi yang memiliki:
Sertifikat Distribusi Farmasi atau Izin Pedagang Besar Farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang besar farmasi; dan
Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi obat yang baik;
Distributor Alat Kesehatan yang memiliki:
Sertifikat Distribusi Alat Kesehatan atau Izin Penyalur Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyalur alat kesehatan; dan
Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi alat kesehatan yang baik; atau i. perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara dengan kepemilikan saham lebih dari 50% (lima puluh persen) yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara induk sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
ekspor Jasa Kena Pajak.
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Pengusaha Kena Pajak merupakan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f;
Pengusaha Kena Pajak telah menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai selama 12 (dua belas) bulan terakhir;
Pengusaha Kena Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
Pengusaha Kena Pajak tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1784, staf ahli menyelenggarakan fungsi:
pengolahan dan penelaahan masalah-masalah terkait dengan bidang peraturan dan penegakan hukum penerimaan pajak, kepatuhan penerimaan pajak, pengawasan penerimaan pajak, penerimaan negara, penerimaan negara bukan pajak, pengeluaran negara, ekonomi makro dan keuangan internasional, jasa keuangan dan pasar modal, dan hukum dan hubungan kelembagaan, serta penyiapan penalaran secara konsepsional;
penalaran konsepsional suatu masalah terkait dengan bidang keahliannya atas inisiatif sendiri dan pemecahan persoalan secara mendasar dan terpadu untuk bahan kebijakan Menteri sebagai penelaahan staf;
pemberian bantuan kepada Menteri dalam penyiapan bahan untuk keperluan rapat, seminar, dan lain-lain yang dihadiri oleh Menteri; dan
pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 670, Subdirektorat Intelijen Penggalian Potensi menyelenggarakan fungsi:
penyiapan rencana kegiatan intelijen dan penyajian bahan analisis intelijen dalam rangka penggalian potensi perpajakan;
penyiapan bahan penelaahan, perancangan, perencanaan dan pelaksanaan pemantauan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi kegiatan intelijen perpajakan dalam rangka penggalian potensi perpajakan;
pelaksanaan koordinasi dan bimbingan teknis operasional kegiatan intelijen perpajakan dalam rangka penggalian potensi perpajakan;
pengelolaan, pengoordinasian, dan pengawalan kegiatan extra effort penggalian potensi penerimaan pajak;
pelaksanaan analisis kegiatan intelijen dalam rangka penggalian potensi pajak termasuk analisis data ekonomi secara makro maupun mikro, proses bisnis, dan modus ketidakpatuhan wajib pajak sektoral dan individual;
pelaksanaan analisis proses bisnis dan modus ketidakpatuhan wajib pajak;
pelaksanaan kegiatan intelijen dalam rangka penggalian potensi validasi dan optimalisasi pemanfaatan data perpajakan internal dan eksternal Direktorat Jenderal dalam rangka penggalian potensi perpajakan;
pelaksanaan koordinasi perolehan data dan optimalisasi pemanfaatan data serta pemberian rekomendasi untuk peningkatan kualitas data perpajakan internal dan eksternal Direktorat Jenderal;
penatausahaan dan pengelolaan dokumen dan data terkait kegiatan intelijen perpajakan dalam rangka penggalian potensi;
pelaksanaan evaluasi atas penggalian potensi perpajakan; dan
penyiapan bahan dan penelaahan usulan kegiatan intelijen di lapangan dalam rangka pengawasan kepatuhan wajib pajak, analisis ekonomi, proses bisnis, dan modus ketidakpatuhan wajib pajak.
Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara, Direktur Perpajakan Internasional, dan Direktur Strategi Perpajakan ditetapkan sebagai competent authority di bidang perpajakan.
Competent authority di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara, dan/atau Direktur Strategi Perpajakan dengan didukung oleh Direktur Perpajakan Internasional dalam hal pembentukan dan/atau perubahan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan kesepakatan terkait Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara dalam hal penyelesaian permasalahan terkait dengan perpajakan internasional, selain permasalahan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan dan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B); dan
Direktur Jenderal Pajak dan/atau Direktur Perpajakan Internasional dalam hal:
pembentukan dan/atau perubahan perjanjian internasional di bidang pertukaran informasi dan bantuan administratif lainnya di bidang perpajakan; dan
pelaksanaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B), Persetujuan untuk Pertukaran Informasi Berkenaan dengan Keperluan Perpajakan (Tax Information Exchange Agreement) , konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters), dan perjanjian internasional lainnya di bidang perpajakan.
Menteri dapat menetapkan pihak dan/atau ruang lingkup competent authority di bidang perpajakan selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (2).