Perlakuan Perpajakan dalam Rangka Kegiatan Konstruksi dan Kegiatan Operasi Pembangunan Proyek Pengembangan Pulau Bintan dan Pulau Karimun. ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka mewujudkan kerjasama ekonomi antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura, serta untuk mendorong penanaman modal dalam rangka kegiatan konstruksi dan kegiatan operasi pembangunan proyek pengembangan di Pulau Bintan dan Pulau Karimun, dipandang perlu memberikan kemudahan di bidang perpajakan;
bahwa kemudahan di bidang perpajakan dimaksud berupa penetapan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut seluruhnya untuk sementara waktu atas perolehan dalam negeri Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak dan impor Barang Kena Pajak maupun pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean Indonesia dalam rangka kegiatan konstruksi dan kegiatan operasi pembangunan proyek pengembangan di Pulau Bintan dan Pulau Karimun;
bahwa… c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 16 B Undang-undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, dipandang perlu mengatur pemberian kemudahan di bidang perpajakan tersebut dengan Peraturan Pemerintah;
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
Relevan terhadap
Sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Bertitik tolak dari isi ketentuan tersebut, maka pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Huruf a Berdasarkan prinsip tersebut di atas, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang merupakan Objek Pajak. Huruf b dan huruf c Selaras dengan prinsip tersebut di atas, biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri dan penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan dengan menggunakan tarif umum. Huruf d… Huruf d Pada dasarnya Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak luar negeri yang dipotong berdasarkan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak dapat dibebankan sebagai biaya oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang bersangkutan. Namun karena berdasarkan pertimbangan ekonomi masih diperlukan modal, teknologi, dan jasa dari luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali dividen, yang ditanggung oleh pemberi penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut. Contoh: PT. ABC membayar bunga kepada Bank di luar negeri sebesar Rp 100.000.000,00 yang Pajak Penghasilannya ditanggung oleh PT. ABC, dengan tarif pemotongan sebesar 20%. - Jumlah yang dijadikan dasar pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 = 100 ----- xRp 100.000.000,00 = Rp 125.000.000,00 80 - Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp 125.000.000,00 = Rp 25.000.000,00 - Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT.ABC. = Rp 125.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 + Rp 25.000.000,00)
Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Bagi Investasi di Wilayah Tertentu
Relevan terhadap
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan bagi Wajib Pajak yang me l a kukan investasi /penanaman ir\ oda 1 b a r u dan perl uasan, yang di l akukan di wi 1 ayah wi l ayah :
Propinsi Kalimantan Barat;
Propinsi Kalimantan Timur;
Propinsi Kalimantan Selatan;
Propinsi Kalimantan Tengah;
Propinsi Su lawesi Utara;
Propinsi S ulawesi Selatan;
Propinsi Su lawesi Tengah;
Propinsi Sulawesi · Tenggara;
Propinsi Nusa Tenggara Timur;
Propins i Nusa Tenggara Barat;
Propinsi Timar Timur;
Propinsi Maluku;
Prop ^˚ nsi Irian Jaya; V- , ^:
' terhitung sejak tanggal Januari 1990, di ber-i kan pengurangan se besar 50% ( 1 i ma pul uh persen) dari Pajak Bumi dan Bangunan yang VVI/8/90 75X !U 4-8.3/88 www.jdih.kemenkeu.go.id I ., '• !' \ " I .. , r ^· ^. '1 .- ·' /' f MENTER! KEUANGAN 2 - Keputusan Menteri Keuangan Nomor 748 /KMK.04/1990 Tanggal : 28 Juni- 1990 ·: · _. . .: · .. . : : - ^:
... . . L ... -- terutang, selama 8 ( d e l a p an ) tahun sejak diperolehnya izin peruntukan tanah.
Pengenaan pajak sebagaimana d ^i maksud dalam ayat (1) hanya b e r l a k u untuk investasi di bidang a. Pertanian;
Perkebunan;
Peternakan;
Perikana n;
Pertambangan;
Keh utanan;
Peri nd ustrian;
Real Estate/Industrial Estate;
Perhotelan dan jasa pengembangan kepariwi sataan;
Prasarana dan sarana ekonomi ser ^t a jasa ang˛ kutan darat, laut dan udara.
Bagi perusahaan yang melakukan perluasan, pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlak u dalam hal besarnya perluasan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari investasi yang s u dah di.laku kan sampai dengan akhir tahun pajak sebetum tahun pajak di mana perl uasan tersebut di 1 aku kan, di wilayah-wil ayah dan di bidang-bidang se bagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memcrintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA UMUM Pembangunan sektor ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya pembangunan sumberdaya manusia merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur baik materiil maupun spiritual. Peranserta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraannya, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitias nasional. Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong-royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada dasarnya program ini menekankan pada perlindungan bagi tenaga kerja yang relatif mempunyai kedudukan yang lebih lemah. Oleh karena itu pengusaha memikul tanggung jawab utama, dan secara moral pengusaha mempunyai kewajiban untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja. Di samping itu, sudah sewajarnya apabila tenaga kerja juga berperan aktif dan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja demi terwujudnya perlindungan tenaga kerja dan keluarganya dengan baik. Sudah menjadi kodrat, bahwa manusia itu berkeluarga dan berkewajiban menanggung kebutuhan keluarganya. Oleh karenanya, kesejahteraan yang perlu dikembangkan bukan hanya bagi tenaga kerja sendiri, tetapi juga bagi keluarganya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas, yang harus tetap terpelihara termasuk pada saat tenaga kerja kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko sosial antara lain kecelakaan kerja, sakit, meninggal dunia, dan hari tua. Dalam rangka menciptakan landasan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja, Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja sebagai perwujudan pertanggungan sosial sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Pada hakekatnya program jaminan sosial tenaga kerja ini memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan yang hilang. Jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek, antara lain:
memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal bagi tenaga kerja beserta keluarganya;
merupakan penghargaan kepada tenaga kerja yang telah menyumbangkan tenaga (dan pikirannya kepada perusahaan tempat mereka bekerja. Penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja dimaksudkan dalam Undang-undang ini sebagai pelaksanaan Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang meliputi Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Akan tetapi mengingat objek yang mendapat jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang-undang ini diprioritaskan bagi tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan, perorangan dengan menerima upah, maka kepada tenaga kerja di luar hubungan kerja atau dengan kata lain tidak bekerja pada perusahaan, pengaturan tentang jaminan sosial tenaga kerjanya akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Adapun ruang lingkup yang diatur di dalam Undang-undang ini meliputi:
Jaminan Kecelakaan Kerja. Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja merupakan risiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacad karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya jaminan Kecelakaan Kerja. Mengingat gangguan mental akibat kecelakaan kerja sifatnya sangat relatif sehingga sulit ditetapkan derajat cacadnya, maka jaminan atau santunan hanya diberikan dalam hal terjadinya cacad mental tetap yang mengakibatkan tenaga kerja yang bersangkutan tidak bisa bekerja lagi.
Jaminan Kematian. Tenaga Kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan Jaminan Kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang.
Jaminan Hari Tua. Hari tua dapat mengakibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mampu bekerja. Akibat terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi ketenangan kerja sewaktu mereka masih bekerja, terutama bagi mereka yang penghasilannya rendah. Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun atau memenuhi persyaratan tertentu.
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan di bidang penyembuhan (kuratif). Oleh karena, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penanggulangan kemampuan masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja. Di samping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja yang meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Dengan demikian diharapkan tercapainya derajat kesehatan tenaga kerja yang optimal sebagai potensi yang produktif bagi pembangunan. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan selain untuk tenaga kerja yang bersangkutan juga untuk keluarganya. Mengingat Jaminan sosial tenaga kerja merupakan program lintas sektoral yang saling mempengaruhi dengan usaha peningkatan kesejahteraan sosial lainnya, maka program jaminan sosial tenaga kerja dilaksanakan secara bertahap dan saling menunjang dengan usaha-usaha pelayanan masyarakat dalam bidang kesehatan, kesempatan kerja, keselamatan dan kesehatan kerja. Pengawasan terhadap Undang-undang ini, dan peraturan pelaksanaannya dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan Angka 12 Cukup jelas Pasal 2 Yang dimaksud dengan usaha sosial dan usaha-usaha lain yang diperlakukan sama dengan perusahaan adalah yayasan, badan-badan, lembaga-lembaga ilmiah serta badan usaha lainnya dengan nama apapun yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan tenaga kerja. Pasal 3 Ayat (1) Dalam penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja ini dapat digunakan mekanisme asuransi untuk menjamin solvabilitas dan kecukupan dana guna memenuhi hak-hak peserta dan kewajiban lain dari Badan Penyelenggara dengan tidak meninggalkan watak sosialnya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja adalah orang yang bekerja pada setiap bentuk usaha (perusahaan ) atau perorangan dengan menerima upah termasuk tenaga harian lepas, borongan, dan kontrak. Mengingat jaminan sosial tenaga kerja merupakan hak dari tenaga kerja, maka ketentuan ini menegaskan bahwa setiap perusahaan atau perorangan wajib menyelenggarakannya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Lihat Penjelasan Umum Ayat (2) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur jaminan sosial tenaga kerja lainnya yang dapat diberikan kepada tenaga kerja dalam rangka meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan tenaga kerja itu sendiri, beserta keluarganya antara lain program jaminan pesangon sebagai akibat pemutusan hubungan kerja. Pasal 7 Ayat (1) Tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, setiap saat menghadapi risiko sosial berupa peristiwa yang dapat mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya penghasilan. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan perlindungan tenaga kerja dalam program jaminan sosial tenaga kerja yang bertujuan untuk memberikan ketenangan bekerja dan menjamin kesejahteraan tenaga kerja berserta keluarganya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Magang merupakan tenaga kerja yang secara nyata belum penuh menjadi tenaga kerja atau karyawan suatu perusahaan, tetapi telah melakukan pekerjaan di perusahaan. Demikian pula murid atau siswa yang melakukan pekerjaan dalam rangka kerja praktek, berhak atas Jaminan Kecelakaan Kerja apabila tertimpa kecelakaan kerja. Huruf b Pemborong yang bukan pengusaha dianggap bekerja pada pengusaha yang memborongkan pekerjaan. Huruf c Narapidana yang dipekerjakan pada perusahaan perlu diberi perlindungan berupa jaminan Kecelakaan Kerja, jika tertimpa kecelakaan kerja. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Santunan berupa uang diberikan kepada tenaga kerja atau keluarganya. Pembayaran santunan ini pada prinsipnya diberikan secara berkala dengan maksud agar tenaga kerja atau keluarganya dapat memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya secara terus menerus. Selain pembayaran santunan secara berkala dapat juga diberikan sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong ke arah kegiatan yang bersifat produktif dalam upaya meningkatkan kesejahteraannya. Pasal 10 Ayat (1) Di samping pengusaha wajib melaporkan kejadian kecelakaan, maka keluarga, Serikat Pekerja, kawan-kawan sekerja serta masyarakat dibenarkan memberitahukan kejadian kecelakaan tersebut kepada Kantor Departemen Tenaga Kerja dan Badan Penyelenggara. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas
Pajak Bumi dan Bangunan.
Relevan terhadap
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak.
Besarnya Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.
Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah- rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari Nilai Jual Obyek Pajak.
Besarnya persentase Nilai Jual Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam` ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Investasi Di Wilayah Tertentu
Relevan terhadap
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang melakukan investasi/penanaman modal baru dan perluasan, yang dilakukan diwilayah :
Propinsi Kalimantan Timur;
Propinsi Kalimantan Barat;
Propinsi Kalimantan Selatan;
Propinsi Kalimantan Tengah;
Propinsi Sulawesi Utara;
Propinsi Sulawesi Selatan;
Propinsi Sulawesi Tengah;
Propinsi Sulawesi Tenggara;
Propinsi Nusa Tenggara Timur;
Propinsi Nusa Tenggara Barat;
Propinsi Timor Timur;
Propinsi Maluku;
Propinsi Irian Jaya; Terhitung sejak Tahun Pajak 1980, dapat melakukan kompensasi kerugian tidak lebih dari 8 (delapan) tahun terhitung mulai tahun pertama kerugian tersebut diderita. Keputusan Menteri Keuangan 747/KMK.04/1990 tgl 28 Juni 1990 Keputusan Menteri Keuangan 747/KMK.04/1990 - DJP Tax Knowledge Base (2) Perlakuan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku untuk investasi baru dan perluasan di bidang :
Pertanian;
Perkebunan;
Peternakan;
Perikanan;
Pertambangan;
Kehutanan;
Perindustrian;
Real Estate/Industrial Estate;
Perhotelan dan jasa pengembangan kepariwisataan;
Prasarana dan sarana ekonomi serta jasa angkutan darat, laut dan udara.
Bagi perusahaan yang melakukan perluasan, kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku dalam hal besarnya perluasan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari investasi yang sudah dilakukan sampai dengan akhir tahun pajak sebelum tahun pajak dimana perluasan tersebut dilakukan, diwilayah-wilayah dan di bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Besarnya Peredaran Usaha Atau Penerimaan Bruto Pekerjaan Bebas Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menggunakan Norma Penghitungan ...
Relevan terhadap
bahwa besarnya peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 perlu disesuaikan dengan perkembangan ekonomi;
bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk meninjau kembali besarnya peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas tersebut dengan Keputusan Menteri Keuangan;