Pengujian UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan [Pasal 113 ayat (2)]
Relevan terhadap
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanan pasal ini dalam undang- undang. Menurut Soeharsono Sagir, perekonomian setiap negara pasti berjalan menurut sistem tertentu. Jenis sistem ekonomi yang dianut Indonesia sebagai landasan pembangunan dari waktu ke waktu adalah Sistem Ekonomi Kerakyatan (SEK). Dalam sistem ini, kedaulatan di bidang ekonomi ada di tangan rakyat dan karena itu ekonomi kerakyatan itu terkait erat dengan gagasan demokrasi ekonomi yang tidak lain ialah paham kedaulatan di bidang ekonomi. Sasaran dari Sistem Ekonomi Kerakyatan itu adalah pembebasan kehidupan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, ketergantungan, perlakuan tidak adil, kerusakan lingkungan dan rasa was-was dalam menatap masa depan. Karena itu, kebijakan pembangunan nasional sudah seharusnya tidak keluar dari asas ekonomi kerakyatan yang, menurut Soeharsono Sagir, tercermin dalam prinsip triple track development, yaitu pro-poor, pro-job, dan pro-growth . 22 Dalam mengimplementasikan ketiga prinsip itu, ada enam tolok ukur yang dapat dipakai untuk menilai berhasil-tidaknya suatu proses pembangunan itu, yaitu: (i) Rakyat bebas dari kemiskinan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. (ii) Rakyat bebas dari kebodohan dan terbedayakan menjadi sumber daya insani ( human capital ) yang produktif; (iii) Rakyat bebas dari pengangguran dengan kerja kreatif dan produktif untuk meningkatkan penghasilan sendiri dan orang lain; (iv) Negara bebas dari ketergantungan kepada utang luar negeri; (v) Negara bebas dari kekurangan devisa karena nilai ekspor melebihi impor; dan (vi) Negara bebas dari kerusakan ekosistem sehingga pembangunan dapat dikembangkan secara berkelanjutan. (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.,”Konstitusi Ekonomi”). Menurut pendapat pakar ahli yang Pemohon sampaikan tersebut di atas, menunjukkan betapa kuatnya konstitusi melindungi rakyat dalam berbagai kehidupan yang pada akhirnya untuk mencapai kesejahteraan rakyat suatu negara. Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk pertanian di mana salah satu penghasil tembakau terbaik dunia adalah Tembakau Temanggung yang disebut Tembakau Srintil dan Tembakau Madura yang perlu dilestarikan dan dipertahankan kelestariannya, kelangsungannya karena merupakan lauk bagi rokok kretek yang merupakan ciri khas Indonesia termasuk bahan cerutu. Industri rokok yang menyerap keseluruhan tembakau Indonesia termasuk Tembakau Temanggung, Tembakau Madura, dan tembakau dari daerah lain serta cengkeh Indonesia, dan juga menyerap tenaga kerja Indonesia kurang lebih 30 juta orang, yaitu petani tembakau, buruh pabrik, pengrajin tembakau, pembuat keranjang tembakau, pembuat rigen, penjual asongan rokok, dan pihak terkait lainnya. Bahwa perusahaan kertas, yang memproduksi mulai kertas untuk cigarete , kertas untuk perpak, opm film untuk bungkus gula, kertas aluminium 23 foil, dan colt foil untuk bungkus dalamnya, kertas untuk bungkus press rokok, kertas untuk ball rokok serta karton box. Industri rokok yang merupakan ciri khas Indonesia pasti menggunakan Tembakau Temanggung dan Tembakau Madura yang mempunyai ciri dan spesifik khas yang aromatis merupakan lauk bagi rokok kretek yang sulit dicari penggantinya dan didukung oleh tembakau dari daerah lain serta menggunakan cengkeh seluruh Indonesia. Seperti apa yang Pemohon sampaikan tersebut di atas menunjukkan bahwa UUD 1945 melindungi kelangsungan hidup rakyat Indonesia khususnya tentang keberlangsungan ekonomi kerakyatan dan terkait dengan proses penanaman jenis tanaman tembakau perlu untuk mendapatkan kepastian hukum agar keberlangsungan kehidupan petani tembakau dan cengkeh Indonesia dapat lestari untuk memenuhi kehidupannya dalam rangka mencapai kesejahteraan hidup. Maka Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang merupakan pasal khusus untuk menghambat dan mengurangi produk jenis tanaman tembakau yang mengakibatkan kerugian materiil petani tembakau dan cengkeh Indonesia karena rokok kretek pasti menggunakan tembakau dan cengkeh Indonesia dan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. E. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 25. Pemohon sampaikan bahwa jenis tanaman pertanian dilindungi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman ( vide bukti P-7), pasal terkait sebagai berikut:
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Sehubungan dengan hal tersebut di atas jelas petani tembakau dan tenaga kerja/buruh mendapat perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dengan pasal-pasal yang ada dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. IV. Kesimpulan 1. UUD 1945, menjamin adanya keadilan (justice), kepastian (Certainty atau __ zekerheid) dan kebergunaan atau kebermanfaatan (utility). 2. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada tanggal 13 Oktober 2009, maka akan berdampak psikologis 29 dan akan mengakibatkan kerugian materiil serta tidak adanya kepastian hukum dalam kelangsungan kehidupan bagi petani tembakau dan cengkeh Indonesia, berarti menanam tembakau dan cengkeh di Indonesia akan berhadapan dengan berbagai kepentingan yang sudah dilndungi oleh Undang -Undang. Sesuai dengan tujuan dan hakekat konstitusi yang mana menjamin adanya keadilan ( justice ), kepastian ( certainty atau zekerhaid ) dan kebergunaan atau kebermanfaatan ( utility ), maka jelas bahwa Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945;
Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi dengan undang-undang lainnya (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. V. Petitum Berdasarkan uraian-uraian di atas, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Pemohon.
Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik dalam pembukaan ( preambule ), Pasal 27, Pasal 28A dan Pasal 28 I , yang berarti melanggar hak asasi manusia. 30 3. Menyatakan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka Pemohon memohon Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat .
Memerintahkan amar putusan Majelis Hakim dari Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk dimuat dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan bukti surat dari bukti P-1 sampai dengan bukti P-9 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Bukti P-6 : Fotokopi Buku “Konstitusi Ekonomi” karangan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman;
Bukti P-8 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Bukti P-9 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 31 Bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, selain mengajukan alat bukti tertulis, Pemohon juga mengajukan 10 (sepuluh) orang Saksi dan 7 (tujuh) orang Ahli yang telah disumpah dan didengar keterangannya pada persidangan hari Selasa 20 Mei 2010, Kamis 2 Juni 2010, Selasa 14 Desember 2010, dan Selasa, 8 Februari 2011 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Saksi Pemohon 1. H. Parmuji y Bahwa Saksi terkejut dan prihatin dengan adanya Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan karena membatasi industri tembakau; __ y Tembakau telah menjadi tumpuan dari nenek moyang dan merupakan sumber pencaharian utama (tembakau disebut juga ”emas hijau”); __ y Tembakau dilindungi dengan Undang-Undang yang mengenai tanaman yang dilindungi; __ y Budidaya tembakau melibatkan banyak pihak, tidak hanya petani tembakau; __ 2. H. Mulyono y Saksi merasa prihatin karena mata pencaharian utama sebagai petani tembakau terancam; __ 3. Tri Yuwono y Mayoritas penduduk di Desa Kledung sebagai petani tembakau akan terancam kehilangan mata pencaharian; __ y Jika menanam tembakau dilarang bertentangan dengan program pengentasan kemiskinan pemerintah; __ 4. Karyanto y Di Kabupaten Pamekasan 35.000 hektar penanam tembakau, Di Kabupaten Sumenep 28.000 hektar penanam tembakau, dan di Kabupaten Sampang 18.000 hektar penanam tembakau; y Di Kabupaten Pamekasan, Sumenep, dan Sampang tembakau adalah suatu tanaman komoditi yang sudah lama dan juga tanaman turun temurun yang tidak dapat dipisahkan dengan hati petani yang mana mati, hidup, tetap menanam tembakau; 32 y Petani tembakau dapat menyekolahkan anaknya dan mencukupi kehidupannya; y Apabila petani tembakau tidak dapat atau tidak boleh menanam tembakau akan membuat lebih buruk lagi; y Saksi dipesan Petani Pamekasan dengan mengatakan, ”Tolong perjuangkan hak-hak petani termasuk tembakau”;
Sumadi Danartono (Kepala Desa Wonolelo Sawangan Magelang) y Di desa Saksi, 95% adalah petani dan pada waktu musim kering, tanaman yang dapat hidup adalah tanaman tembakau yang merupakan tanaman tulang punggung ekonomi masyarakat;
Udi Wahyu (Kepala Desa Pagerejo Wonosobo) y Di Kabupaten Wonosobo tembakau merupakan komoditi unggulan yang mana 50% masuk ke pabrikan dan 50% merupakan kerajinan dalam bentuk tembakau garangan atau tembakau asapan;
Subakir y Seluruh warga desa Saksi adalah petani tembakau yang mana luas areal lebih kurang 400 hektar; y Tanaman tembakau menghasilkan mutu tembakau terbaik di dunia yang dinamakan Tembakau Serintil. Tembakau Serintil sangat dibutuhkan oleh pabrik-pabrik rokok kretek asli Indonesia.
Agus Setyawan (Kepala Desa Tretep) y Saksi lahir dan dibesarkan dari hasil tembakau yang kebetulan bapaknya petani tembakau; y Saksi merasa dipojokan ketika Pasal 113 Undang-Undang Kesehatan hanya tembakau yang disebutkan.
dr.Subagyo y Yang bersangkutan menderita benjolan di rahang bawah yang dioperasi dengan hasil suatu limfoma maligna atau kanker kelenjar limfe; y Yang bersangkutan mendengar, menangkap adanya informasi penanganan atau pengobatan yaitu balur nano terapi dengan define cigarette ; 33 y Bahwa dengan memodifikasi atau memproses dari rokok yang ada, di sana mempunyai nilai penanganan atau penyembuhan yang dalam paket, dalam klinik dilaksanakan dengan balur nano terapi modifine cigarette .
Allan Sulistiono y Saksi diagnosa menderita kanker hati stadium 3; y Saksi melakukan terapi balur dengan memakai tembakau dan hasilnya telah normal. Ahli Pemohon 1. Josi Ali Arifandi y Bahwa penanaman tembakau di Indonesia telah berlangsung di areal yang lokasinya spesifik dan sangat sedikit berkembang ke lokasi lahan lainnya, oleh karena produk tembakau yang sudah ada sejak penanamannya memiliki ciri kualitas spesifik yang dikenal pasar dan konsumennya, sehingga tidak bisa digantikan dengan produk tembakau dari hasil penanaman di lokasi lahan lainnya; y Bahwa tembakau merupakan sumber pendapatan yang sangat besar bagi petani/pekebun di lahan marginal yaitu ketika pada musim tanam tertentu (musim kemarau) tanaman lain sudah tidak dapat berproduksi atau nilai ekonomisnya berada di bawah tembakau; y Bahwa bagi negara, industri tembakau memiliki kontribusi cukai, pajak dan devisa yang meningkat terus dari tahun ke tahun, pada tahun 2008 mencapai kisaran Rp. 57 Triliun;
Mukti Ali Imran y Bahwa zat adiktif diklasifikasikan atau dikelompokkan ke dalam jenis narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya atau yang sering disebut napza; y Bahwa berdasarkan kerja biologis atau efek yang ditimbulkan napza digolongkan menjadi tiga yaitu:
Stimulan Adalah zat yang merangsang sistem syarat pusat sehingga mempercepat proses-proses dalam tubuh, seperti meningkatnya detak jantung, pernafasan dan tekanan darah. Stimulan membuat 34 orang menjadi lebih siaga dan menyembunyikan kelelahan. Zat adiktif yang tergolong stimulan antara lain adalah kafein, nikotin, kokain, dan amfetamin;
Depresant Depresant menghasilkan aksi yang berkebalikan dengan stimulan. Depresan menurunkan kesadaran terhadap dunia luar dan menidurkan. Depresan memperlambat proses tubuh dan otak, seperti menurunkan tekanan darah, suhu tubuh, detak jantung dan kontraksi otot. Depresan digunakan dalam bidang kedokteran untuk terapi insomnia (sulit tidur) dan ketengangan contoh alkohol dan obat-obat penenang seperti babbiturat, opiada (morfin, heroin, kodein);
Halusinogen Halusinogen adalah zat yang dapat mempengarugi sistem syaraf dan menyebabkan halunisasi (berkhayal). Pengguna zat ini mendengar atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak nyata; y Bahwa Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 mengenai pengaman zat Adiktif secara tidak langsung telah mereduksi makna zat adiktif yang terbatas hanya pada tembakau semata dan produk turunannya dalam semua fasa (padat, cair, dan gas). Padahal tembakau bukanlah satu-satunya zat yang memiliki sifat adiktif. Dengan kata lain tembakau (mengandung senyawa alkaloid nikotin) atau produk yang mengandung tembakau dalam semua fasa (padat, cair, dan gas) merupakan salah satu zat dari sekian banyak zat yang juga bersifat adiktif; y Bahwa bahan yang bersifat adiktif tidak hanya terbatas pada tembakau; y Pembatasan istilah zat adiktif hanya pada tembakau saja secara tidak langsung telah mereduksi makna zat adiktif, dan hal ini memberikan pengertian yang bias; y Bahwa untuk mengetahui pengaruh atau perbandingan adiksi suatu bahan terhadap bahan adiksi bahan lainnya, harus melalui studi empiris yang mengagabungkan pendekatan data faktual-kualitatif-kuantitatif; y Penggunaan kata ”zat adiktif” pada suatu bahan, sebaiknya atau seharusnya disertai dengan klsifikasi terhadap jenis adiktif tersebut, 35 apakah stimulan, depressant, halusinogen, dan lain-lainnya sehingga jelas bagi konsumen;
Gabriel Mahal y Berbicara soal peraturan perundang-undangan pengendalian tembakau atau pengamanan tembakau sebagai zat adiktif di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari agenda global pengontrolan tembakau atau yang populer disebut agenda anti tembakau. Sebab salah satu strategi penting dalam menyukseskan agenda anti tembakau global adalah lewat kebijakan regulasi nasional pengontrolan/pengamanan tembakau; y Nikotin dari tembakau tidak dapat dipatenkan karena berasal dari alam. Yang dapat dipatenkan adalah alat pengantar nikotin ( nicotine delivery device ) dan senyawa terapi yang mengandung nikotin sebagai bahan utama yang dihasilkan oleh korporasi-korporasi farmasi multinasional. Di sinilah letaknya salah satu kepentingan untuk mengontrol atau mematikan tembakau dan rokok itu; y Kampanye agenda anti tembakau di Indonesia tidaklah terlepas dari agenda global. Hal ini dapat dilihat dari dukungan dana-dana luar negeri untuk menyukseskan agenda anti tembakau. Pengucuran dana kepada setiap pihak penerima dana diperuntukan bagi pelaksanaan agenda dari masing-masing pihak penerima dana; y Ketentuan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan Proyek Prakarsa Bebas Tembakau dengan agenda anti tembakau global dalam hukum nasional Indonesia; y Pada saat petani tembakau, petani cengkeh, jutaan rakyat yang hidupnya bergantung pada industri tembakau dan industri terkait lainnya, merasa terancam kehilangan sumber nafkah kehidupannya, akibat pelaksanaan agenda anti tembakau dengan segala regulasinya, pada saat negara terancam pula kehilangan sumber penerimaan negara dari industri tembakau, yang kesemuanya tidak ditanggung dan tidak pula digantikan oleh Proyek Prakarsa bebas Tembakau dengan segala agenda anti tembakaunya, korporasi-korporasi farmasi multinasional, yang tidak 36 menyerap tenaga kerja dan tidak memberikan keuntungan bagi penerimaan negara, sibuk menghitung keuntungan dari perdagangan obat-obat NRT, dan sibuk menghitung peluang-peluang pasar untuk mengekspor obat-obat NRT; y Membunuh tembakau dengan segala industrinya di Indonesia, termasuk industri terkait lainnya, akan menyebabkan naiknya angka pengangguran rakyat Indonesia. Setiap 10% kenaikan penganggur menyebabkan kematian naik jadi 1,2%, serangan jantung 1,7% dan harapan hidup berkurang 7 tahun. __ 4. Rinaldo Prima y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dapat memberikan pemahaman yang ”menyesatkan”, karena secara tendensius dapat membentuk opini dan sekaligus memberikan stigma bahwa hanya tembakau yang mengandung zat adiktif, padahal masih sangat banyak jenis-jenis tanaman dan produk yang mengandung zat adiktif; y Bahwa pasal a quo menjadi bersifat diskriminatif dan sekaligus dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan asas keadilan dan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; y Pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah berpedoman atau mengacu kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sangat besar kemungkinan ketentuan pasal a quo bertentangan atau setidak-tidaknya kurang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004; y Bahwa Pasal 113 Undang-Undang a quo yang sangat ”tendensius” menyebutkan hanya jenis tanaman tembakau saja yang mengandung zat adiktif telah pula berisikan rumusan yang sama sekali tidak memberikan ”perlindungan hukum” bagi petani tembakau. Sebaliknya secara diskriminatif telah memberikan memberikan perlindungan hukum kepada petani yang menanam jenis tanaman lain yang mengandung zat adiktif; 37 y Bahwa ketentuan Pasal 113 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F, dan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945; y Bahwa ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo sangat jelas sekali merupakan satu kesatuan norma hukum dengan ketentuan Pasal 113 ayat (2) sebagaimana yang dikehendaki oleh ketentuan angka 58 dan angka 62 Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dengan kata lain jenis tanaman yang mengandung zat adiktif hanyalah jenis tanaman yang disebutkan pada ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang a quo ; y Selain itu, ahli juga mengajukan keterangan tertulis (terlampir).
Prof. dr. Moch Aris Widodo MS., SpFK., PH.D y Bahwa fenomena penyakit disebabkan faktor genetik yang berinteraksi dengan lingkungan sel; y Bahwa kebanyakan penyakit degenetik penyebabnya adalah multi- faktorial. Apabila faktor genetik ada sedang faktor lingkungan yang merugikan tidak ada atau dihilangkan maka tidak akan terjadi fenomena penyakit sebaliknya apabila ada faktor genetik, ditambah dengan faktor atau banyak faktor lingkungan sel yang merugikan maka akan muncul fenomena penyakit tersebut. Merokok berdasarkan bukti ekperimental dan bukti klinik tidak dapat dituduh sebagai penyebab tunggal penyebab kesakitan oleh karena tidak semua perokok menderita penyakit kanker paru atau jantung koroner sedang yang tidak merokokpun dapat terkena kedua penyakit tersebut; y Tembakau dalam beberapa hal mirip dengan alkohol kedua bahan tersebut boleh beredar bebas di pasaran. Yang berbeda adalah efek alkohol dapat menimbulkan kerancunan akut yang sering mematikan bahkan kematian dapat terjadi bukan karena alkoholnya tetapi oleh karena kecelakaan lalu lintas; y Pembakaran daun tembakau pada rokok menghasilkan 4000 bahan kimia termasuk nikotin. Nikotin ini yang menyebabkan efek pada neuron sehingga seorang mendapatkan efek seperti meningkatkan konsentrasi, 38 menghilangkan kebosanan dan kecemasan efek ini berlangsung sangat cepat kurang lebih 30 menit. Efek pada neuron atau saraf otak yang menyebabkan seseorang ingin menghisap rokok kembali yang dikenal sebagai adiksi. Nikotin dalam sirkulasi menyebabkan efek pada saraf periper berupa peningkatan kontraksi dan frekuensi jantung dan peningkatan tekanan darah; y Selain memberikan keterangan secara lisan, ahli juga mengajukan keterangan tertulis.
Sutiman B. Sumitro y Banyak orang bertanya, akankah isu rokok kretek juga merupakan bagian dari skenario perusahaan multinasional, ahli pun memiliki pendapat yang serupa. Ahli kwatir hal ini sudah merupakan bagian dari strategi jangka panjang industri rokok asing. Saat ini aktivitas jangka pendek adalah fokus mencaplok industri rokok lokal yang mulai ancang-ancang pindah ” core business ” (Sampoerna sudah dilepas ke Philip Morris dan PT. Bentoel pindah tangan ke BAT, sementara PT Gudang Garam sudah mulai ancang-ancang dengan memperkuat sektor bisnisnya ke bidang energi demikian juga PT. Jarum). y Ahli sangat berharap bangsa ini memiliki strategi yang baik dan bersifat komprehensif dalam permasalahan rokok kretek ini dan mengusulkan sebagai berikut:
Melakukan penelitian sungguh-sungguh untuk menakar dampak rokok khususnya kretek. Ahli memandang penelitian yang selama ini dilakukan masih terlalu parsial dan masih terlalu mendasarkan pada hasil studi di negara barat/asing. Perlu punya data dan simpulan yang merupakan gambaran riil dampak rokok di masyarakat. Kegiatan survey dan uji klinis harus dilakukan dengan sampel (responden) ukuran puluhan ribu orang dengan sebaran yang mencakup sebagian besar etnik di Indonesia. Sifat masalahnya yang sangat kompleks dan sarat dengan banyak sekali kepentingan, dan melibatkan nasib puluhan juta orang serta asset ratusan triliun rupiah mengharuskan adanya program penelitian berskala nasional, yang dilakukan secara 39 saksama, sungguh-sungguh, komprehensif meliputi semua aspek kehidupan baik kesehatan, pendidikan, sosial, budaya, psikologi maupun ekonomi dengan keberpihakan yang jelas kepada kepentingan bangsa;
Industri rokok harus didorong memiliki unit penelitian dan pengembangan yang memadai dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi rokok kretek yang lebih sehat dan menyehatkan. Dapat melibatkan setra-sentra sumber daya peneliti di perguruan tinggi maupun Lembaga Riset yang ada. Penelitian yang dilakukan dapat dengan menggunakan pendekatan baru yang berbeda dengan pendekatan keilmuan yang sekarang dilakukan yaitu pendekatan Nano Science atau Nano Teknologi. Bila hal ini dilakukan dengan sungguh- sungguh sangat mungkin akan menjadi sumber inspirasi dunia.
Dr. dr. Jack Roebijoso, MSc y Tembakau dan nikotin dikelompokkan pada bahan yang dapat menimbulkan efek adiktif, namun dampak adiktif terhadap kesehatan (medis, psikologik dan sosial), tergolong masih mudah diatasi dan tidak menimbulkan efek ”kecanduan” seperti zat narkotika. Sehingga dengan model pelayanan kesehatan dokter keluarga yang memberdayakan maka masalah kesehatan dan adiksi akibat merokok dapat dikendalikan lebih proporsional. Hal ini tidak akan terjadi pada model pelayanan kesehatan yang liberalistik maupun sosialistik seperti saat ini terjadi di Indonesia dan negara lain, sehingga mereka merasa perlu membatasi perlu membatasi rokok dengan berbagai cara; y Teknologi industri rokok sudah dan akan mampu dikembangkan oleh para ahli Indonesia, sehingga dampak adiksi dan kesehatan dapat diminimalisasi. Penemuan dan kemajuan teknologi pengendalian dampak kesehatan dari rokok (nano teknologi pada filter rokok) dan model pelayanan kesehatan yang memberdayakan masyarakat (dokter keluarga ala Indonesia), akan menjadi komiditi yang berharga bagi kemajuan pembangunan teknologi fabrikasi rokok, kedokteran dan kesehatan di 40 masa depan bagi kepentingan ekonomi dan pembangunan kesehatan/kedokteran di Indonesia; y Faktor risiko kesehatan tidak pernah tunggal dan selalu multi faktor, sehingga memberi ”vonis” tembakau atau merokok merupakan penyebab utama ( causal factor ) bagi timbulnya berbagai penyakit dan kematian; y Peran faktor risiko kesehatan secara bersama atau sendiri-sendiri untuk dapat menimbulkan gangguan kesehatan diperlukan waktu yang cukup lama, sehingga masih ada kesempatan melakukan edukasi dan advokasi kesehatan untuk mengurangi atau meniadakan dampak faktor risiko kesehatan untuk tujuan mencegah kejadian sakit dan kematian dari suatu penyakit tertentu; y Kegagalan sistem organisasi dan manajemen pelayanan kesehatan bagi perorangan dan keluarga pada era SKN lama (2004), telah mendorong muncul dan tumbuhnya model pelayanan kesehatan bagi perorangan yang lebih liberalistik (kuratif, mahal, eksploitatif) dan sosialistis (kuratif, murah, obscurantisme) di Indonesia; y Model penelitian eksperimental pada binatang percobaan mengenai risiko merokok, tidak serta merta analogis terjadi pada manusia, karena berbeda dosis dan lama paparan asap rokok dan multi faktor lainnya; y Kebijakan memasukan dalam Undang-Undang Kesehatan fasal tembakau merupakan barang adiktif (dengan klasifikasi dampak adiksi ringan) dan dugaan rokok menjadi sumber ( factor causal ) dari berbagai penyakit dan kematian di dunia dan Indonesia, sebagai dasar kebijakan menghapus komiditi tembakau dan rokok, tampaknya masih belum tepat sasaran untuk Indonesia saat ini; y Kebijakan pemerintah melakukan eliminasi komiditi tembakau dan rokok dengan alasan zat adiktif dan rokok telah memberi kontribusi terhadap timbulnya penyakit dan kematian adalah kebijakan yang masih ”parsial”, tidak komprehensif dalam kebijakan bidang kesehatan, sehingga hasilnya tidak akan sesuai dengan harapan dan bahkan akan muncul masalah sosial, ekonomi yang berdampak pada kesehatan (morbiditas, mortalitas), karena berbagai sebab (faktor risiko) kesehatan lain yang akan muncul 41 dalam penelitian kesehatan juga harus diakomodasi dalam Undang- Undang dan peraturan; y Tembakau, rokok, dan teknologi pengendalian dampak kesehatan justru akan menjadi andalan ekspor Indonesia, dikemudian hari. [2.3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 20 Mei 2010 Mahkamah telah mendengar keterangan Pemerintah yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: POKOK PERMOHONAN PEMOHON a. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, telah merugikan hak konstitusional Pemohon dan berpotensi merugikan para petani tembakau, petani cengkeh dan para pekerja pabrik rokok, karena ketentuan a quo telah menimbulkan adanya ketidakpastian hukum dan merasa was-was untuk menanam tembakau dan cengkeh di Indonesia, yang pada gilirannya dapat menimbulkan kerugian materiil apabila tidak menanam tembakau, jika dibandingkan dengan menanam jenis tanaman pertanian lainnya.
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan a quo, menimbulkan ketidakadilan karena hanya mencantumkan satu jenis tanaman pertanian jenis tanaman tembakau saja yang dianggap merugikan bagi pemakaiannya maupun masyarakat sekelilingnya (disebut sebagai zat adiktif), sedangkan tanaman seperti ganja, kopi dan Iain-Iain (yang juga mengandung zat adiktif) tidak dicantumkan/ dimasukkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan a quo, pemuatannya sangat dipaksakan oleh pembuat Undang-Undang, khususnya oleh Pemerintah, lebih-lebih ketentuan a quo akan dijadikan payung hukum/landasan hukum oleh Pemerintah untuk melahirkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.
Singkatnya menurut Pemohon ketentuan a quo, telah memberikan pembedaan, perlakuan yang bersifat tidak adil terhadap setiap orang termasuk Pemohon 42 selaku petani tembakau maupun petani cengkeh di Indonesia, hal demikian tidak sesuai dengan tujuan dan hakikat konstitusi yang menjamin adanya keadilan ( justice ), __ kepastian ( certainty atau zekerheid ) __ dan kebergunaan atau kebermanfaatan ( utility ), __ karena itu menurut Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28 I serta Pembukaan ( preambule ) __ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) __ PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga Negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan " hak konstitusional ” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang- Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. 43 Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang- Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Atas hal-hal tersebut di atas, maka menurut Pemerintah perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) __ dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. Menurut Pemerintah, permohonan Pemohon tidak jelas dan salah alamat karena ketentuan yang dimohonkan untuk diuji adalah berkaitan dengan pengamanan zat adiktif, lingkup zat adiktif maupun pengaturan tentang produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif, dengan perkataan lain ketentuan a quo tidak terkait atau setidak-tidaknya bukan dimaksudkan untuk mengurangi, mengganggu atau menghalang-halangi Pemohon untuk memanfaatkan lahan pertaniannya guna ditanami tembakau. Dari uraian tersebut di atas, menurut Pemerintah permohonan 44 Pemohon tidak jelas dan kabur ( obscuur libels ) , khususnya dalam mengonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut di atas, karena itu menurut Pemerintah, kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu ( vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Anggota Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya, apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2007 TENTANG KESEHATAN Sehubungan permohonan pengujian ketentuan Pasal 113 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan:
Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api.
Relevan terhadap
Jaringan pelayanan perkeretaapian merupakan kumpulan lintas pelayanan yang tersambung satu dengan yang lain menghubungkan lintas pelayanan perkeretaapian dengan pusat kegiatan, pusat logistik, dan antar moda Bagian Kedua Jaringan Pelayanan Perkeretaapian Antarkota Pasal 6 Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a merupakan pelayanan yang menghubungkan:
antarkota antarnegara;
antarkota antarprovinsi;
antarkota dalam provinsi; dan
antarkota dalam kabupaten/kota. Pasal 7 (1) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota antarnegara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a ditetapkan oleh Menteri berdasarkan perjanjian antarnegara. (2) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota antarprovinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api nasional ditetapkan oleh Menteri. (3) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api provinsi ditetapkan oleh gubernur. (4) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota. Pasal 8 (1) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api nasional ditetapkan oleh Menteri. (2) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api provinsi ditetapkan oleh gubernur. Pasal 9 Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota diselenggarakan dengan ciri-ciri pelayanan:
menghubungkan beberapa stasiun antarkota;
tidak menyediakan layanan penumpang berdiri;
melayani penumpang tidak tetap;
memiliki jarak dan/atau waktu tempuh panjang;
memiliki frekuensi kereta api sedang atau rendah; dan
melayani kebutuhan angkutan penumpang dan/atau barang antarkota. Bagian Ketiga Jaringan Pelayanan Perkeretaapian Perkotaan Pasal 10 Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b yang berada dalam suatu wilayah perkotaan dapat:
melampaui 1 (satu) provinsi;
melampaui 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; dan
berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota. Pasal 11 (1) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang melampaui 1 (satu) provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api nasional ditetapkan oleh Menteri. (2) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang melampaui 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api provinsi ditetapkan oleh gubernur. (3) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota. Pasal 12 (1) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang melampaui 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi dan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api nasional ditetapkan oleh Menteri. (2) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan lintas pelayanan kereta api yang berada pada jaringan jalur kereta api provinsi ditetapkan oleh gubernur. Pasal 13 (1) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangannya menetapkan lintas pelayanan atas permohonan penyelenggara sarana perkeretaapian. (2) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai kewenangannya dapat menolak permohonan penetapan lintas pelayanan dalam hal lintas pelayanan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 14 Dalam hal adanya kebutuhan angkutan pada suatu lintas pelayanan tertentu dan tidak terdapat permohonan dari penyelenggara sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat menetapkan lintas pelayanan. __ Pasal 15 Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan diselenggarakan dengan kriteria pelayanan:
menghubungkan beberapa stasiun di wilayah perkotaan;
melayani banyak penumpang berdiri;
memiliki sifat perjalanan ulang alik/komuter;
melayani penumpang tetap;
memiliki jarak dan/atau waktu tempuh pendek; dan
melayani kebutuhan angkutan penumpang di dalam kota dan dari daerah sub-urban menuju pusat kota atau sebaliknya. Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan jaringan pelayanan dan lintas pelayanan perkeretaapian antarkota dan perkotaan diatur dengan Peraturan Menteri. __ BAB III LALU LINTAS KERETA API Bagian Kesatu Prinsip Lalu Lintas Kereta Api Pasal 17 (1) Jalur kereta api untuk kepentingan perjalanan kereta api dibagi dalam beberapa petak blok. (2) Petak blok dibatasi oleh dua sinyal berurutan sesuai dengan arah perjalanan yang terdiri atas :
sinyal masuk dan sinyal keluar pada 1 (satu) stasiun;
sinyal keluar dan sinyal blok;
sinyal keluar dan sinyal masuk di stasiun berikutnya;
sinyal blok dan sinyal blok berikutnya; atau
sinyal blok dan sinyal masuk. (3) Dalam 1 (satu) petak blok pada jalur kereta api hanya diizinkan dilewati oleh 1 (satu) kereta api. (4) Dalam keadaan tertentu pada 1 (satu) petak blok pada jalur kereta api dapat dilewati lebih dari 1 (satu) kereta api berdasarkan izin yang diberikan oleh Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api . (5) Perjalanan kereta api yang memasuki petak blok yang didalamnya terdapat kereta api atau sarana perkeretaapian dilakukan dengan kecepatan terbatas dan pengamanan khusus. Pasal 18 (1) Pengoperasian kereta api pada jalur ganda atau lebih harus menggunakan jalur kanan. (2) Dalam keadaan tertentu, pengoperasian kereta api pada jalur ganda atau lebih dapat menggunakan jalur kiri. (3) Penggunaan jalur kiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
setelah mendapat perintah dari petugas pengatur perjalanan kereta api; atau
terdapat sinyal jalur kiri (sinyal berjalan jalur tunggal sementara) yang mengizinkan kereta api untuk berjalan pada jalur kiri dengan kecepatan terbatas. Pasal 19 (1) Kereta api yang berjalan langsung di stasiun dilewatkan pada jalur kereta api lurus, kecuali di stasiun persimpangan untuk ke jalur tertentu, di peralihan jalur kereta api dari jalur ganda ke jalur tunggal dan sebaliknya, atau stasiun yang tidak memiliki jalur lurus sesuai dengan peraturan pengamanan setempat. (2) Dalam hal jalur kereta api lurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilewati karena adanya gangguan operasi, kereta api yang berjalan langsung dilewatkan melalui jalur kereta api belok dengan kecepatan terbatas dan pengamanan khusus. Pasal 20 Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip lalu lintas kereta api diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Kecepatan dan Frekuensi Kereta Api Pasal 21 Kecepatan maksimum kereta api ditentukan berdasarkan:
kecepatan maksimum yang paling rendah antara kecepatan maksimum kemampuan jalur dan kecepatan maksimum sarana perkeretaapian; dan
sifat barang yang diangkut. Pasal 22 (1) Untuk kepentingan pengoperasian kereta api dan menjamin keselamatan perjalanan kereta api, pada setiap lintas pelayanan ditentukan frekuensi kereta api yang didasarkan pada:
kemampuan jalur kereta api yang dapat dilewati kereta api sesuai dengan kecepatan sarana perkeretaapian;
jarak antar dua stasiun atau petak blok; dan
fasilitas operasi. (2) Frekuensi perjalanan kereta api dapat digolongkan dalam:
frekuensi rendah;
frekuensi sedang; dan
frekuensi tinggi. Pasal 23 Ketentuan lebih lanjut mengenai kecepatan dan frekuensi kereta api diatur dengan Peraturan Menteri __ Bagian Ketiga Gapeka Pasal 24 (1) Pelaksanaan perjalanan kereta api yang dimulai dari stasiun keberangkatan, bersilang, bersusulan, dan berhenti di stasiun tujuan diatur berdasarkan Gapeka . (2) Gapeka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh pemilik prasarana perkeretaapian didasarkan pada pelayanan angkutan kereta api yang akan dilaksanakan. (3) Pembuatan Gapeka oleh pemilik prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus memperhatikan :
masukan dari penyelenggara sarana perkeretaapian;
kebutuhan angkutan kereta api; dan
sarana perkeretaapian yang ada. __ (4) Gapeka dapat berupa :
Gapeka pada jaringan jalur kereta api nasional ;
Gapeka pada jaringan jalur kereta api provinsi; dan
Gapeka pada jaringan jalur kereta api kabupaten/ kota . Pasal 25 Gapeka dapat diubah apabila terdapat perubahan pada:
kebutuhan angkutan b. jumlah sarana perkeretaapian;
kecepatan kereta api;
prasarana perkeretaapian;
keadaan memaksa. Pasal 26 (1) Penyelenggara sarana perkeretaapian harus mengumumkan jadwal perjalanan kereta api yang termuat dalam Gapeka kepada masyarakat. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui media massa dan ditempel di stasiun, sebelum pemberlakuan Gapeka. Pasal 27 (1) Penyelenggara prasarana perkeretaapian melaporkan pelaksanaan Gapeka secara berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Gapeka. (3) Dalam hal terdapat pelanggaran dalam pelaksanaan Gapeka, penyelenggara prasarana perkeretaapian dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin operasi, dan/atau pencabutan izin. Pasal 28 (1) Perjalanan kereta api luar biasa dapat dilaksanakan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian atau penyelenggara sarana perkeretaapian. (2) Dalam hal perjalanan kereta api luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian, harus mendapat persetujuan dari penyelenggara prasarana perkeretaapian. Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan standar pembuatan Gapeka diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Keempat Pengaturan Perjalanan Kereta Api Pasal 30 (1) Pengaturan perjalanan kereta api terdiri atas wilayah pengaturan:
setempat;
daerah; dan
terpusat. (2) Pengaturan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api sesuai Gapeka. (3) Petugas pengatur perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab terhadap keselamatan urusan perjalanan kereta api di wilayah pengaturannya. Pasal 31 Pengaturan perjalanan kereta api setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun yang bersangkutan. Pasal 32 Pengaturan perjalanan kereta api daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun yang ditetapkan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian untuk pengaturan perjalanan kereta api pada 2 (dua) stasiun atau lebih. Pasal 33 Pengaturan perjalanan kereta api terpusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api di suatu tempat tertentu untuk pengaturan perjalanan kereta api dalam 1 (satu) wilayah pengaturan. Pasal 34 (1) Dalam hal perjalanan kereta api tidak sesuai Gapeka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), pengaturan perjalanan kereta api dilakukan oleh petugas pengendali perjalanan kereta api dan pelaksanaannya oleh petugas pengatur perjalanan kereta api. (2) Pengaturan oleh petugas pengendali perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui alat komunikasi yang direkam. (3) Pengaturan perjalanan kereta api yang dilakukan oleh petugas pengendali perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab petugas pengatur perjalanan kereta api. Pasal 35 Pengaturan perjalanan kereta api dilakukan dengan semboyan berupa:
isyarat dari petugas pengatur perjalanan kereta api;
sinyal;
tanda; atau
marka. Pasal 36 (1) Sinyal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b terdiri atas:
sinyal utama;
sinyal pembantu;
sinyal pelengkap. (2) Sinyal utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
sinyal masuk;
sinyal keluar;
sinyal blok;
sinyal darurat; dan/atau
sinyal langsir. (3) Sinyal pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
sinyal muka;
sinyal pendahulu; dan/atau
sinyal pengulang. (4) Sinyal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
sinyal penunjuk arah;
sinyal pembatas kecepatan; dan/atau
sinyal berjalan jalur tunggal sementara. Pasal 37 Tanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c berfungsi untuk memberi peringatan atau petunjuk yang harus dipatuhi oleh masinis . Pasal 38 Marka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d berfungsi sebagai peringatan, petunjuk, batas, atau pembeda kepada masinis mengenai kondisi tertentu pada suatu tempat tertentu yang terkait dengan perjalanan kereta api. Pasal 39 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan perjalanan kereta api diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelima Persiapan Perjalanan Kereta Api Paragraf 1 Umum Pasal 40 (1) Penyelenggara sarana perkeretaapian harus mempersiapkan perjalanan kereta api. (2) Persiapan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
menyiapkan sarana dengan atau tanpa rangkaiannya;
menyiapkan awak sarana perkeretaapian;
memeriksa sarana perkeretaapian;
menyediakan waktu kereta api sesuai dengan jalur yang terjadwal di stasiun awal;
memasang tanda; dan
menyiapkan dokumen perjalanan kereta api. Pasal 41 Penyiapan sarana dan rangkaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a, meliputi kegiatan:
menyiapkan lokomotif, kereta atau gerbong, kereta dengan penggerak sendiri, atau peralatan khusus, untuk didinaskan dalam perjalanan kereta api; dan
menentukan susunan rangkaian sarana perkeretaapian untuk dirangkai oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian menjadi rangkaian kereta api yang akan berangkat sesuai dengan persyaratan teknis operasi untuk keselamatan perjalanan kereta api. Pasal 42 Penyiapan awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b, paling sedikit meliputi kegiatan:
memeriksa sertifikat kecakapan;
memeriksa kesehatan; dan
memberi surat tugas. Pasal 43 (1) Pemeriksaan rangkaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf c, paling sedikit meliputi pemeriksaan terhadap:
perangkat pengereman;
peralatan keselamatan;
peralatan perangkai; dan
kelistrikan. (2) Pemeriksaan rangkaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baik untuk kereta api antarkota maupun perkotaan, dilakukan pada saat awal pengoperasian di stasiun awal. Pasal 44 Penyediaan waktu kereta api di stasiun awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf d, dilaksanakan untuk pelayanan kepada pengguna jasa kereta api dengan kegiatan:
memeriksa dokumen perjalanan kereta api;
mencocokkan jam yang digunakan masinis dan kondektur dengan jam induk di stasiun;
mengawasi naiknya penumpang; dan
memuat barang bawaan dan barang kiriman di kereta bagasi. Pasal 45 Pemasangan tanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf e dilakukan pada:
ujung belakang kereta api; dan
tempat lain di kereta api sesuai dengan kebutuhan. Pasal 46 Penyiapan dokumen perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf f, meliputi:
keterangan kelaikan sarana perkeretaapian;
keterangan tentang rangkaian kereta api, jadwal perjalanan, termasuk tempat bersilang atau penyusulan kereta api;
dokumen untuk mencatat kejadian selama perjalanan kereta api; dan
dokumen yang diperlukan untuk masinis. Pasal 47 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan perjalanan kereta api diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2 Penempatan Lokomotif dalam Rangkaian Pasal 48 (1) Untuk menjamin keselamatan dan dengan memperhatikan daya tarik rangkaian, lokomotif ditempatkan pada bagian depan rangkaian kereta api.
Pada tanjakan dengan gradien tertentu dan/atau kondisi yang mengharuskan, lokomotif dapat ditempatkan di bagian belakang rangkaian sebagai lokomotif pendorong. Pasal 49 (1) Rangkaian kereta api dapat menggunakan 2 (dua) lokomotif atau lebih. (2) Rangkaian kereta api dengan 2 (dua) lokomotif atau lebih, lokomotif kedua atau selebihnya dengan pertimbangan teknis dapat ditempatkan di tengah atau di belakang rangkaian kereta api. (3) Dalam hal pada 1 (satu) rangkaian kereta api memerlukan 2 (dua) lokomotif atau lebih, masinis yang berada pada lokomotif paling depan mengendalikan jalannya kereta api. Pasal 50 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penempatan lokomotif dalam rangkaian diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Pemeriksaan Jalur Pasal 51 (1) Untuk keselamatan perjalanan kereta api, jalur kereta api harus diadakan pemeriksaan secara berkala, paling sedikit 2 (dua) kali dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam. (2) Pemeriksaan jalur dilakukan oleh petugas pemeriksa jalur dengan membawa peralatan yang diperlukan. (3) Petugas pemeriksa jalur harus melaporkan kondisi jalur kereta api di wilayah tugasnya kepada petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun akhir tugasnya. (4) Pelaksanaan dan waktu pemeriksaan jalur diatur oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian. Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan jalur kereta api diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keenam Hubungan Blok Pasal 53 (1) Hubungan blok dalam petak blok antar 2 (dua) stasiun untuk perjalanan kereta api terdiri atas:
hubungan manual; dan
hubungan otomatis. (2) Hubungan manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
telegraf;
blok elektromekanis; dan
blok elektris. (3) Hubungan otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
otomatis tertutup; dan
otomatis terbuka. Pasal 54 (1) Hubungan telegraf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a dilakukan dalam memberi warta kereta api. (2) Hubungan blok elektromekanis dan blok elektris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan dengan mengoperasikan peralatan sesuai dengan peraturan pengamanan setempat. Pasal 55 (1) Pertukaran warta kereta api harus dilaksanakan antar petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun terdekat yang bersebelahan yang memiliki faslitas untuk warta kereta api.
Warta kereta api harus terekam/tercatat untuk keperluan pembuktian. Pasal 56 Apabila terdapat gangguan hubungan blok, hubungan dilakukan dengan hubungan blok darurat setelah petugas pengatur perjalanan kereta api menjamin:
wesel dalam kondisi aman;
petak blok dalam kondisi aman; dan
dari arah berlawanan tidak akan atau sedang menjalankan kereta api. Pasal 57 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara hubungan blok diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketujuh Pemberangkatan Kereta Api Pasal 58 Penyiapan dan pelaksanaan pemberangkatan kereta api dilakukan melalui tahapan:
penyiapan pegawai stasiun;
penyiapan rute kereta api berangkat;
penyiapan kereta api untuk berangkat;
pemberian perintah berangkat;
pengawasan pemberangkatan kereta api;
mengembalikan kedudukan persinyalan pada posisi awal; dan
pemberian warta berangkat kepada stasiun berikutnya. Pasal 59 Penyiapan pegawai stasiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dilakukan untuk pengoperasian kereta api. Pasal 60 Penyiapan rute kereta api untuk berangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b merupakan kegiatan mengatur kedudukan wesel dan sinyal yang menunjukkan indikasi aman untuk dilalui kereta api yang akan berangkat. Pasal 61 Penyiapan kereta api berangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf c meliputi:
masinis sudah berada di kabin masinis;
kondektur di samping kereta api;
penumpang dan/atau barang berada di kereta atau gerbong; dan
pengatur perjalanan kereta api berada di tempatnya. Pasal 62 Pemberian perintah berangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf d dilakukan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api melalui sinyal dan tanda indikasi aman. Pasal 63 (1) Pengawasan pemberangkatan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf e dilakukan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api atau didelegasikan kepada petugas lain yang ditugaskan untuk itu. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai kereta api melewati wesel terjauh. Pasal 64 Mengembalikan kedudukan persinyalan pada posisi awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf f, dilakukan setelah kereta api melewati wesel terjauh di stasiun. Pasal 65 (1) Pemberian warta berangkat kepada stasiun berikutnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 huruf g, dilakukan dalam waktu secepatnya setelah kereta api berangkat oleh petugas pengatur perjalanan kereta api dengan memberi warta berangkat kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun terdekat berikutnya yang memiliki fasilitas warta kereta api. (2) Pemberian warta berangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk hubungan blok manual. Pasal 66 (1) Pada saat kereta api akan melewati wesel terjauh di stasiun, masinis harus memperhatikan tanda akhir belakang rangkaian kereta api untuk memastikan tidak terdapat bagian belakang rangkaian kereta api tertinggal atau terlepas.
Dalam hal terdapat rangkaian kereta api yang tertinggal atau terlepas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masinis harus menghentikan kereta api. (3) Apabila di stasiun dilengkapi dengan sinyal mekanis atau elektro-mekanis untuk jalur tunggal, masinis harus memperhatikan sinyal masuk untuk kereta api yang berlawanan arah. (4) Dalam hal sinyal masuk untuk kereta api yang berlawanan arah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menunjukkan indikasi jalur tidak aman, masinis harus memberhentikan kereta api dan menunggu perintah petugas pengatur perjalanan kereta api. Pasal 67 Dalam hal tidak memungkinkan masinis memastikan bagian belakang rangkaian kereta api tidak terlihat sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat (1), maka masinis dibebaskan atas tanggung jawab memperhatikan tanda ujung belakang rangkaian kereta api. Pasal 68 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberangkatan kereta api diatur dengan Peraturan Menteri Bagian Kedelapan Kereta Api dalam Perjalanan Pasal 69 Perjalanan kereta api pada petak blok merupakan perjalanan kereta api dari:
sinyal keluar sampai sinyal blok;
sinyal blok sampai sinyal blok berikutnya;
sinyal blok sampai sinyal masuk; atau
sinyal keluar pada suatu stasiun sampai sinyal masuk di stasiun berikutnya. Pasal 70 (1) Perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 pada jalur yang menggunakan sinyal blok, dalam hal sinyal blok mengindikasikan tidak aman, masinis harus mengikuti peraturan yang berlaku. (2) Pengaturan tentang memasuki sinyal blok tidak aman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri. Pasal 71 (1) Pada jalur kereta api menurun dengan gradien/derajat tertentu, kereta api yang akan menurun harus berhenti di stasiun terdekat sebelum turunan untuk dilakukan pemeriksaan sistem pengereman dan fasilitas lainnya. (2) Gradien/derajat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan keselamatan perjalanan kereta api. (3) Stasiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditetapkan dalam Gapeka. Pasal 72 (1) Masinis yang bertugas dalam perjalanan kereta api harus melaporkan kepada petugas pengendali perjalanan kereta api pada stasiun keberangkatan dan pada saat perpindahan wilayah pengendalian melalui peralatan telekomunikasi yang direkam. (2) Dalam hal masinis menemukan kejanggalan pada jalur yang telah dilewati, masinis harus segera melaporkan kepada petugas pengendali perjalanan kereta api mengenai kejanggalan jalur tersebut disertai laporan mengenai kondisi jalur kereta api, sinyal, perlintasan, dan kondisi catu daya yang telah dilewati, melalui peralatan telekomunikasi. Pasal 73 (1) Pada jalur kereta api bergigi, lebih dari 1 (satu) rangkaian kereta api dapat berjalan beriringan dalam 1 (satu) kelompok dalam satu petak blok. (2) Perjalanan kereta api dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan jarak dan tenggat waktu yang aman antarkereta api. (3) Apabila salah satu kereta api dalam kelompok terlambat, petugas pengatur perjalanan kereta api harus memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api yang berada di stasiun sebelumnya dan di stasiun berikutnya. Pasal 74 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kereta api dalam perjalanan dan perjalanan kereta api di jalur bergigi diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kesembilan Kedatangan Kereta Api di Stasiun Paragraf 1 Kereta Api Memasuki Stasiun Pasal 75 (1) Pada waktu kereta api akan masuk stasiun operasi, masinis wajib mematuhi indikasi sinyal masuk, indikasi sinyal muka atau indikasi sinyal pendahulu.
Masinis menjalankan kereta api memasuki stasiun sesuai dengan kecepatan yang diizinkan apabila sinyal masuk, sinyal muka atau sinyal pendahulu menunjukkan indikasi aman. (3) Masinis wajib mengurangi kecepatan untuk mempersiapkan kereta api berhenti di muka sinyal masuk apabila sinyal muka menunjukkan indikasi hati-hati. (4) Masinis wajib memberhentikan kereta api di muka sinyal masuk apabila sinyal masuk menunjukkan indikasi tidak aman. (5) Dalam hal sinyal masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menunjukkan indikasi hati-hati, kereta api dapat berjalan terus memasuki stasiun untuk berhenti. Pasal 76 Kereta api yang berhenti di muka sinyal masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (4) dapat berjalan kembali setelah sinyal masuk mengindikasikan aman. Pasal 77 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kereta api memasuki stasiun diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2 Menerima Kedatangan Kereta Api Berhenti Pasal 78 (1) Petugas pengatur perjalanan kereta api setempat yang akan menerima kedatangan kereta api sebelum memberi warta aman, wajib melakukan persiapan menerima kedatangan kereta api berhenti. (2) Persiapan menerima kedatangan kereta api berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
menyiapkan pegawai stasiun; dan
menyiapkan rute kereta api datang.
Setelah melakukan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) petugas pengatur perjalanan kereta api memberi warta aman kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun pemberangkatan dan menerima warta berangkat dari petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun pemberangkatan. (4) Menjelang kereta api masuk stasiun sampai kereta api keluar stasiun, petugas pengatur perjalanan kereta api harus mengawasi kedatangan kereta api dan kedudukan wesel. Pasal 79 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menerima kedatangan kereta api berhenti diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Kereta Api Berhenti dan Berjalan Langsung di Stasiun Pasal 80 (1) Kereta api berhenti dan berjalan langsung di stasiun sesuai dengan Gapeka. (2) Kereta api berhenti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berjalan kembali setelah mendapat perintah berangkat dari petugas pengatur perjalanan kereta api. (3) Kereta api berjalan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila sinyal masuk dan sinyal keluar menunjukkan indikasi aman. Pasal 81 Petugas pengatur perjalanan kereta api setempat harus melaporkan setiap kedatangan dan keberangkatan kereta api kepada petugas pengendali perjalanan kereta api. Pasal 82 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kereta api berhenti dan berjalan langsung di stasiun diatur dengan Peraturan Menteri Paragraf 4 Kereta Api Berhenti di Stasiun Akhir Pasal 83 (1) Setelah kereta api berhenti di stasiun tujuan akhir harus dilakukan kegiatan penghapusan pendinasan kereta api. (2) Kegiatan penghapusan pendinasan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
melapor dan menyerahkan dokumen perjalanan kereta api kepada petugas pengatur perjalanan kereta api atau pembantu petugas pengatur perjalanan kereta api oleh awak sarana perkeretaapian;
melepas tanda akhiran kereta api di ujung belakang rangkaian kereta api oleh teknisi;
melepas alat perangkai dan saluran rem di antara lokomotif dan rangkaian gerbong dan/atau kereta oleh teknisi;
melangsir rangkaian kereta api menjadi beberapa bagian untuk proses pembongkaran, pemuatan, pemeliharaan, dan kegiatan lainnya oleh teknisi apabila diperlukan;
menempatkan kereta atau gerbong di jalan rel yang ditentukan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api; dan
menempatkan rangkaian di jalur yang aman untuk persiapan perjalanan kereta api selanjutnya oleh petugas pengatur perjalanan kereta api. Pasal 84 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kereta api berhenti di stasiun akhir diatur dengan Paraturan Menteri. Bagian Kesepuluh Keterlambatan Kereta Api Pasal 85 (1) Perjalanan kereta api harus sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dalam Gapeka. (2) Dalam hal terjadi keterlambatan jadwal perjalanan kereta api yang melebihi batas toleransi waktu operasi yang diizinkan, penyelenggara prasarana perkeretaapian mengambil langkah-langkah untuk mengurangi keterlambatan perjalanan kereta api. (3) Pedoman pelaksanaan untuk mengurangi keterlambatan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi karakterisitik dan jenis fasilitas operasi pada jaringan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Bagian Kesebelas Persilangan dan Penyusulan serta Penutupan dan Pembukaan Stasiun Pasal 86 (1) Persilangan atau penyusulan antarkereta api dilakukan di stasiun operasi atau tempat yang ada fasilitas untuk itu yang telah ditentukan sesuai dengan Gapeka. (2) Dalam hal terjadi keterlambatan kereta api, persilangan atau penyusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahkan ke stasiun operasi lain atau tempat yang ada fasilitas untuk itu oleh petugas pengendali perjalanan kereta api dan dilaksanakan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api. Pasal 87 (1) Stasiun operasi dapat dibuka atau ditutup sesuai kebutuhan pelayanan perjalanan kereta api berdasarkan Gapeka.
Pembukaan atau penutupan stasiun operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
kebutuhan operasional pada saat itu tidak dibutuhkan;
untuk efisiensi. Pasal 88 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persilangan dan penyusulan serta penutupan dan pembukaan stasiun operasi diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keduabelas Kereta Api Berhenti Luar Biasa Pasal 89 (1) Kereta api berhenti luar biasa apabila kereta api yang menurut Gapeka berjalan langsung di stasiun operasi karena sesuatu hal harus berhenti. (2) Hal yang menyebabkan kereta api berhenti luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diantaranya adalah:
perpindahan persilangan dan penyusulan;
kerusakan pada prasarana atau sarana perkeretaapian;
perawatan prasarana perkeretaapian atau perbaikan sarana perkeretaapian;
keadaan yang akan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api;
indikasi sabotase;
bencana alam;
huru-hara; dan
adanya sarana perkeretaapian yang tertinggal pada petak blok. Pasal 90 Dalam hal masinis meyakini adanya keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h atau terdapat benda yang menghalangi perjalanan kereta api, masinis harus menghentikan kereta api di luar stasiun tanpa harus menunggu perintah dari petugas pengatur perjalanan kereta api. Pasal 91 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kereta api berhenti luar biasa diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketigabelas Penundaan Keberangkatan Kereta Api Pasal 92 (1) Keberangkatan kereta api dari stasiun dapat ditunda apabila:
terjadi kerusakan sarana kereta api; atau
alasan teknis operasi (2) Dalam hal penundaan perjalanan kereta api penumpang antar kota yang memiliki waktu tempuh melebihi dari 6 jam, terjadi penundaan berangkat yang diperkirakan akan berlangsung 3 (tiga) jam atau lebih, penyelenggara sarana perkeretaapian harus menyediakan kompensasi. (3) Tata cara penundaan keberangkatan kereta api diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pasal 93 Penyelenggara prasarana perkeretaapian dan/atau penyelenggara sarana perkeretaapian harus mengumumkan penundaan kereta api kepada pengguna jasa sebelum jadwal pemberangkatan kereta api. Bagian Keempatbelas Pembatalan Keberangkatan Kereta Api Pasal 94 (1) Pembatalan keberangkatan kereta api dapat dilakukan apabila:
tidak ada angkutan;
alasan teknis operasi; atau
terjadi penundaan keberangkatan paling banyak 2 (dua) kali. (2) Dalam hal pembatalan keberangkatan kereta api penumpang antar kota yang memiliki waktu tempuh melebihi dari 6 jam, penyelenggara sarana perkeretaapian harus menyediakan kereta api atau moda angkutan darat lainnya sebagai pengganti dengan kelas pelayanan yang sama. Pasal 95 Penyelenggara sarana perkeretaapian harus mengumumkan pembatalan kereta api kepada masyarakat atau pengguna jasa sebelum jadwal pemberangkatan kereta api. Pasal 96 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan perjalanan kereta api diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kelimabelas Pengalihan Perjalanan Kereta Api Pasal 97 Perjalanan kereta api dapat dialihkan apabila terjadi rintang jalan pada jalur kereta api yang akan dilalui dan diperkirakan waktu yang diperlukan untuk mengatasi rintang jalan melebihi atau sama dengan waktu tempuh perjalanan kereta api pada jalur kereta api yang akan dialihkan. Pasal 98 Penyelenggara sarana perkeretaapian harus mengumumkan pengalihan perjalanan kereta api kepada pengguna jasa. Bagian Keenambelas Bagian Kereta Api yang Terputus Pasal 99 (1) Masinis kereta api yang mengetahui rangkaian bagian belakang terputus dalam perjalanan harus merangkaikan kembali kereta api dengan memperhatikan keselamatan dan keamanan perjalanan kereta api. (2) Masinis wajib melaporkan kejadian terputusnya rangkaian dalam perjalanan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun operasi berikutnya untuk dilakukan pemeriksaan atau tindakan lain yang diperlukan. Pasal 100 (1) Dalam keadaan tertentu masinis dapat meninggalkan bagian rangkaian kereta api pada satu petak blok. (2) Pada bagian rangkaian kereta api yang ditinggalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipasang tanda tidak aman dan tanda bahaya di ujung belakang dan depan bagian rangkaian kereta api yang diletakkan pada jarak aman sehingga mudah terlihat oleh masinis lokomotif penolong. (3) Masinis melanjutkan perjalanan kereta api tanpa tanda akhiran rangkaian dan membunyikan tanda bahaya berulang-ulang sampai kereta api berhenti di stasiun operasi berikutnya. Pasal 101 (1) Petugas pengatur perjalanan kereta api yang menerima laporan masinis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) harus:
menyatakan dan memberitahukan petak blok tidak aman kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun operasi pemberangkatan sebelumnya; dan
meminta bantuan kepada petugas pengendali perjalanan kereta api untuk menarik bagian rangkaian kereta api yang ditinggal di petak blok.
Setelah petak blok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan aman, petugas pengatur perjalanan kereta api memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun operasi pemberangkatan sebelumnya. Pasal 102 Kereta api dengan rangkaian terputus bagian belakang selama dalam perjalanan dan tidak diketahui oleh masinis, pengamanannya dibedakan dalam:
sistem persinyalan mekanis; dan
sistem persinyalan elektris. Pasal 103 (1) Petugas pengatur perjalanan kereta api yang mengetahui kereta api yang melintas tanpa tanda akhiran dalam sistem persinyalan mekanis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 huruf a yang tidak diketahui oleh masinis, harus:
memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api pada stasiun operasi berikutnya yang akan dilewati agar kereta api diberhentikan luar biasa;
memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun operasi sebelumnya agar mengambil tindakan pengamanan terhadap kemungkinan bagian rangkaian kereta api yang terputus;
berusaha menghentikan bagian rangkaian kereta api yang terputus apabila terdapat bagian rangkaian kereta api yang terputus berjalan terus memasuki wilayah stasiun operasi; dan
membunyikan genta tanda bahaya yang berada pada perlintasan atau menginformasikan kepada petugas penjaga perlintasan untuk menutup pintu perlintasan sampai bagian rangkaian kereta api yang terputus melewati perlintasan. (2) Apabila tindakan pengamanan yang dilakukan petugas pengatur perjalanan kereta api sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berhasil, petugas pengatur perjalanan kereta api pada stasiun tersebut memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun operasi sebelumnya untuk mengambil tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d. (3) Apabila usaha menghentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berhasil, pengatur perjalanan kereta api harus memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api stasiun operasi berikutnya agar berusaha menghentikannya. Pasal 104 (1) Bagian rangkaian kereta api yang terputus dan tidak diketahui masinis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 huruf b, setelah kereta api melewati petak blok dan dalam indikator petak blok masih menunjukkan indikasi terisi, petugas pengatur perjalanan kereta api di stasiun operasi berikutnya harus menghentikan kereta api dan memberitahukan kepada masinis mengenai ketidakutuhan rangkaian. (2) Dalam hal petugas pengatur perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menghentikan kereta api, petugas pengatur perjalanan kereta api yang bersangkutan harus memberitahukan kepada petugas pengatur perjalanan kereta api pada stasiun kereta api sebelumnya untuk melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf c dan huruf d. Pasal 105 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan bagian kereta api yang terputus diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketujuhbelas Rintang Jalan Pasal 106 (1) Penyelenggara prasarana perkeretaapian harus menjaga petak blok dari rintang jalan. (2) Rintang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh:
peristiwa alam;
kecelakaan;
gangguan prasarana perkeretaapian; dan/atau
sebab lain yang mengancam keselamatan perjalanan kereta api. (3) Dalam hal terjadi rintang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus segera dilakukan tindakan:
penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib mengumumkan kepada masyarakat dan pengguna jasa;
penyelenggara sarana perkeretaapian memindahkan penumpang, bagasi, dan barang hantaran ke kereta api lain atau moda angkutan lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar perjalanan penumpang dan/atau barang tetap lancar; dan
petugas petugas pengatur perjalanan kereta api menghentikan semua kereta api di stasiun terdekat. (4) Dalam hal rintang jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi pada salah satu jalur pada jalur ganda penyelenggara prasarana perkeretaapian dan penyelenggara sarana perkeretaapian dapat menggunakan jalur sebelahnya yang tidak terkena rintang jalan. Pasal 107 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian rintang jalan diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedelapanbelas Langsiran Pasal 108 (1) Kegiatan langsiran dilakukan untuk:
menyusun rangkaian kereta api;
menambah atau mengurangi rangkaian;
menghapuskan pendinasan kereta api; atau
keperluan bongkar muat. (2) Langsiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di stasiun atau di tempat lain dengan ketentuan tidak mengganggu perjalanan kereta api. (3) Langsiran dilakukan oleh petugas langsir setelah mendapat perintah petugas pengatur perjalanan kereta api. (4) Pelaksanaan langsiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dipandu dan dibantu oleh petugas langsir serta dikendalikan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api. Pasal 109 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara langsiran diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kesembilanbelas Kewajiban Mendahulukan Perjalanan Kereta Api Pasal 110 (1) Pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dengan jalan yang selanjutnya disebut dengan perpotongan sebidang yang digunakan untuk lalu lintas umum atau lalu lintas khusus, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api. (2) Pemakai jalan wajib mematuhi semua rambu-rambu jalan di perpotongan sebidang. (3) Dalam hal pelanggaran yang terjadi terhadap ayat (1) dan ayat (2) pasal ini yang menyebabkan kecelakaan, maka ini bukan merupakan kecelakaan perkeretaapian.
Pintu perlintasan pada perpotongan sebidang berfungsi untuk mengamankan perjalanan kereta api. BAB IV ANGKUTAN KERETA API Bagian Kesatu Awak Sarana Perkeretaapian Pasal 111 (1) Pengoperasian kereta api antarkota dan kereta api perkotaan dilakukan oleh awak sarana perkeretaapian. (2) Awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengoperasikan sarana perkeretaapian berdasarkan surat perintah tugas dari penyelenggara sarana perkeretaapian. (3) Awak sarana perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api yang tidak memiliki surat perintah tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan sertifikat kecakapan, atau pencabutan sertifikat kecakapan. (4) Pembekuan sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah dilakukan teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali atau mengakibatkan kecelakaan yang tidak menimbulkan korban jiwa. (5) Pencabutan sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila awak sarana perkeretaapian pernah dibekukan sertifikatnya sebanyak 3 (tiga) kali atau mengakibatkan kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa. Pasal 112 (1) Awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 terdiri atas:
masinis;
asisten masinis. (2) Pengoperasian kereta api antarkota, masinis dibantu oleh asisten masinis. (3) Pengoperasian kereta api perkotaan, masinis dapat dibantu oleh asisten masinis. Pasal 113 Masinis bertindak sebagai pemimpin selama dalam perjalanan kereta api. Pasal 114 (1) Masinis dalam mengoperasikan kereta api antarkota atau kereta api perkotaan, harus berdasarkan Gapeka. (2) Masinis dalam mengoperasikan kereta api antarkota dan kereta api perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mematuhi perintah atau larangan pengatur perjalanan kereta api, sinyal, tanda, dan marka. (3) Apabila terdapat lebih dari satu perintah atau larangan dalam waktu yang bersamaan, masinis dan asisten masinis wajib mematuhi perintah atau larangan yang diberikan berdasarkan prioritas sebagai berikut:
pengatur perjalanan kereta api;
sinyal; dan
tanda dan marka. (4) Masinis bertanggung jawab terhadap perjalanan kereta api. Pasal 115 (1) Awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (1), dapat dibantu kondektur, teknisi dan/atau petugas lain. (2) Kondektur, teknisi dan/atau petugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan tugasnya berdasarkan penugasan dari penyelenggara sarana perkeretaapian. Pasal 116 Kondektur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) bertugas:
menyiapkan dan membuat dokumen perjalanan kereta api;
memeriksa dan menertibkan penumpang dan barang;
membantu awak sarana perkeretaapian dalam pemberangkatan kereta api;
memandu jalannya kereta api dengan kecepatan terbatas apabila terjadi gangguan pada prasarana dan/atau sarana kereta api; dan
mengkoordinasikan pelaksanaan tugas petugas lain yang bekerja di kereta api. Pasal 117 Teknisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1) bertugas:
melakukan perbaikan ringan peralatan atau fasilitas sarana perkeretaapian dan/atau sarana perkeretaapian; dan
mengoperasikan fasilitas sarana perkeretaapian. Pasal 118 Kondektur dan teknisi selain bertugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dan 117 juga harus membantu masinis dalam perjalanan kereta api. Pasal 119 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaturan awak sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Angkutan Paragraf 1 Umum Pasal 120 Jenis angkutan dengan kereta api terdiri atas:
angkutan orang; dan
angkutan barang Paragraf 2 Angkutan Orang Pasal 121 (1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis. (2) Orang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih. (3) Karcis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang. Pasal 122 Karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (1) paling sedikit memuat informasi:
kelas pelayanan;
nama stasiun pemberangkatan dan stasiun tujuan;
tanggal dan waktu pemberangkatan serta kedatangan; dan
harga karcis. Pasal 123 Penumpang anak yang berumur kurang dari 3 (tiga) tahun tidak dikenai biaya apabila tidak mengambil tempat duduk. Pasal 124 Setiap orang dilarang masuk ke dalam peron stasiun, kecuali petugas, penumpang yang memiliki karcis, dan pengantar/penjemput yang memiliki karcis peron. Pasal 125 (1) Penumpang yang membawa barang harus meletakkan barang bawaannya di tempat yang ditentukan untuk meletakkan barang. (2) Dalam hal barang bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diletakkan dalam kereta bagasi, barang bawaan dikenai biaya angkutan. (3) Biaya angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian. Pasal 126 (1) Atas persetujuan penyelenggara sarana perkeretaapian, penumpang diperbolehkan membawa binatang peliharaan dengan syarat:
bebas penyakit;
tidak memakan tempat;
tidak mengganggu kenyamanan penumpang lain; dan
dimasukkan dalam tempat khusus. (2) Tanggung jawab terhadap binatang peliharaan yang dibawa penumpang sepenuhnya menjadi tanggung jawab penumpang yang bersangkutan. Pasal 127 (1) Setiap orang naik atau berada di dalam kereta api dilarang:
dalam keadaan mabuk;
membawa barang berbahaya;
membawa barang terlarang;
berperilaku yang dapat membahayakan keselamatan dan atau mengganggu penumpang lain; atau
berjudi atau melakukan perbuatan asusila f. membahayakan perjalanan kereta api. (2) Orang yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diturunkan di stasiun terdekat berikutnya. Pasal 128 (1) Orang yang tidak memiliki karcis dilarang naik kereta api kecuali orang yang ditugaskan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian. (2) Penyelenggara sarana perkeretaapian dapat menurunkan orang yang tidak memiliki karcis di stasiun terdekat dan/atau mengenakan denda paling banyak sebesar:
500% (lima ratus per seratus) dari harga karcis untuk angkutan kereta api perkotaan; atau
200% (dua ratus per seratus) dari harga karcis untuk angkutan kereta api antarkota. Pasal 129 (1) Penumpang yang memiliki karcis dengan kelas pelayanan yang lebih rendah dari kereta api yang dinaiki, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat mengenakan sanksi berupa denda dengan membayar harga karcis dari stasiun pemberangkatan awal ke stasiun tujuan akhir atau menurunkan di stasiun terdekat. (2) Penumpang yang memiliki karcis tidak sesuai dengan jurusan kereta api yang dinaiki, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat mengenakan sanksi sebagaimana Pasal 128 ayat (2) atau menurunkan di stasiun terdekat. (3) Penumpang yang memiliki karcis dengan kelas pelayanan yang lebih rendah dalam 1 (satu) rangkaian kereta api, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat mengenakan sanksi berupa denda dengan membayar kekurangan harga karcis atau menurunkan di stasiun terdekat. Pasal 130 (1) Pengangkutan orang dengan kereta api harus dilakukan dengan menggunakan kereta. (2) Dalam keadaan tertentu penyelenggara sarana perkeretaapian dapat melakukan pengangkutan orang dengan menggunakan gerbong dan/atau kereta bagasi yang bersifat sementara dengan ketentuan:
kereta pada jalur yang bersangkutan tidak tersedia atau tidak mencukupi;
adanya permintaan angkutan yang mendesak; atau
keadaan darurat. (3) Gerbong dan/atau kereta bagasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus tertutup dan memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penumpang serta paling sedikit dilengkapi dengan fasilitas berupa:
pintu masuk/keluar;
ventilasi udara;
alas untuk duduk yang bersih; dan
penerangan. Pasal 131 (1) Penggunaan gerbong dan/atau kereta bagasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2) dapat dilakukan atas persetujuan dari Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. (2) Penggunaan gerbong dan/atau kereta bagasi untuk keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2) huruf c dilaporkan segera setelah penggunaan gerbong dan/atau kereta bagasi untuk mengangkut orang. Pasal 132 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara angkutan orang diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Standar Pelayanan Minimum Angkutan Orang Pasal 133 (1) Pengoperasian kereta api harus memenuhi standar pelayanan minimum. (2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
standar pelayanan minimum di stasiun kereta api; dan
standar pelayanan minimum dalam perjalanan. Pasal 134 (1) Standar pelayanan minimum di stasiun kereta api kelas besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) huruf a paling sedikit terdapat:
informasi yang jelas dan mudah dibaca mengenai:
nama dan nomor kereta api;
jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api;
tarif kereta api;
stasiun kereta api pemberangkatan, stasiun kereta api pemberhentian dan stasiun kereta api tujuan;
kelas pelayanan; dan
peta jaringan jalur kereta api. b. loket;
ruang tunggu, tempat ibadah, toilet, dan tempat parkir;
kemudahan naik turun penumpang;
fasilitas penyandang cacat dan kesehatan; dan
fasilitas keselamatan dan keamanan. (2) Standar pelayanan minimum dalam perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) huruf b terdiri atas:
untuk kereta api antarkota, paling sedikit meliputi:
pintu dan jendela;
tempat duduk dengan konstruksi tetap yang mempunyai sandaran dan nomor tempat duduk;
toilet dilengkapi dengan air sesuai dengan kebutuhan;
lampu penerangan;
kipas angin;
rak bagasi;
restorasi;
informasi stasiun yang dilewati/ disinggahi secara berurutan;
fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia;
fasilitas kesehatan, keselamatan dan keamanan;
nama dan nomor urut kereta;
informasi gangguan perjalanan kereta api; dan
ketepatan jadwal perjalanan kereta api. b. untuk kereta api perkotaan, paling sedikit meliputi:
pintu dan jendela;
tempat duduk dengan konstruksi tetap yang mempunyai sandaran;
lampu penerangan;
penyejuk udara;
rak bagasi;
fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia;
fasilitas pegangan untuk penumpang berdiri;
fasilitas kesehatan, keselamatan dan keamanan;
informasi gangguan perjalanan kereta api; dan
ketepatan jadwal perjalanan kereta api. Pasal 135 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara standar pelayanan minimum angkutan orang diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Angkutan Barang Pasal 136 (1) Angkutan barang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan gerbong atau kereta bagasi. (2) Angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
angkutan barang umum;
angkutan barang khusus;
angkutan bahan berbahaya dan beracun; dan
angkutan limbah bahan berbahaya dan beracun. (3) Angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
pemuatan, pembongkaran dan penyusunan barang pada tempat-tempat yang ditetapkan sesuai dengan klasifikasinya; dan
keselamatan dan keamanan barang yang diangkut. Pasal 137 (1) Angkutan barang umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) huruf a diklasifikasikan atas:
barang aneka;
kiriman pos; dan
jenazah. (2) Pengangkutan barang aneka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menggunakan gerbong tertutup. (3) Pengangkutan kiriman pos dan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat menggunakan kereta bagasi. Pasal 138 (1) Angkutan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) huruf b diklasifikasikan atas:
barang curah;
barang cair;
muatan yang diletakkan di atas palet;
kaca lembaran;
barang yang memerlukan fasilitas pendingin;
tumbuhan dan hewan hidup;
kendaraan;
alat berat;
barang dengan berat tertentu; dan
peti kemas. (2) Pengangkutan barang curah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menggunakan gerbong terbuka atau gerbong tertutup. (3) Pengangkutan barang cair sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan gerbong tangki sesuai dengan jenis barangnya, kecuali barang cair dalam kemasan dapat menggunakan gerbong tertutup atau kereta bagasi. (4) Pengangkutan muatan yang diletakkan di atas palet dan kaca lembaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d menggunakan gerbong tertutup. (5) Pengangkutan barang yang memerlukan fasilitas pendingin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e menggunakan gerbong atau kereta bagasi khusus yang dilengkapi dengan alat pendingin. (6) Pengangkutan tumbuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f menggunakan kereta bagasi atau gerbong terbuka dan harus disediakan air. (7) Pengangkutan hewan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f menggunakan gerbong hewan harus disediakan air dan makanan hewan, harus diikat dan/atau disekat serta dilengkapi seorang atau lebih pemelihara hewan. (8) Pengangkutan kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g menggunakan gerbong datar atau kereta bagasi. (9) Pengangkutan alat berat, barang dengan berat tertentu, peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, huruf i, dan huruf j dapat menggunakan gerbong datar, gerbong lekuk, atau gerbong terbuka. Pasal 139 (1) Angkutan bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) huruf c, diklasifikasikan atas:
mudah meledak;
gas mampat, gas cair, gas terlarut pada tekanan atau pendinginan tertentu;
cairan mudah terbakar;
padatan mudah terbakar;
oksidator, peroksida organik;
racun dan bahan yang mudah menular;
radio aktif;
korosif;
berbahaya dan beracun lainnya. (2) Angkutan bahan berbahaya dan beracun dapat menggunakan gerbong terbuka, gerbong tertutup, atau gerbong khusus setelah dikemas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 140 Angkutan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) huruf d, dapat menggunakan gerbong terbuka, gerbong tertutup, atau gerbong khusus setelah dikemas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 141 (1) Pengangkutan bahan berbahaya dan beracun, dan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) dan Pasal 140 harus memenuhi syarat :
pengirim merupakan instansi yang berwenang atau pengguna jasa yang telah mendapat izin tertulis dari Menteri setelah mendapat rekomendasi dari instansi yang terkait;
bongkar muat dilakukan pada tempat dan/atau stasiun tertentu yang mempunyai fasilitas bongkar muat sesuai dengan kekhususan bahan yang diangkut;
diangkut dengan gerbong sesuai dengan jenis bahan yang diangkut dan diberikan tanda khusus;
dilakukan pengawalan dan/atau menyertakan petugas yang memiliki keterampilan dan kualifikasi tertentu sesuai sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut;
petugas pengawal harus mengambil tindakan apabila terjadi hal-hal yang membahayakan keamanan dan keselamatan barang yang dibawa;
antara 2 (dua) gerbong yang berisi harus ditempatkan gerbong kosong sebagai penyekat; dan
perjalanan kereta api menggunakan kecepatan sesuai dengan kecepatan yang ditetapkan. (2) Awak sarana perkeretaapian yang ditugaskan mengangkut bahan berbahaya dan beracun, serta limbah bahan berbahaya dan beracun harus mengetahui sifat dan karakteristik barang yang diangkut. Pasal 142 Pemuatan dan penyusunan barang harus memenuhi persyaratan:
berat barang yang dimuat tidak melebihi beban gandar untuk masing-masing gandar gerbong; dan
beban gandar gerbong yang dimuat barang tidak melebihi beban gandar jalur kereta api. Pasal 143 Pemuatan dan pembongkaran barang dapat dilakukan di:
stasiun kereta api; atau
tempat lain diluar stasiun kereta api yang diperuntukkan untuk bongkar dan muat barang yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 144 (1) Pengangkutan barang dengan kereta api dilaksanakan berdasarkan perjanjian angkutan antara penyelenggara sarana perkeretaapian dan pengguna jasa angkutan kereta api. (2) Isi perjanjian angkutan barang paling sedikit memuat:
nama dan alamat pengguna jasa angkutan kereta api;
nama stasiun pemberangkatan dan stasiun tujuan;
tanggal dan waktu keberangkatan dan kedatangan;
jenis barang yang diangkut; dan
tarif yang disepakati. __ Pasal 145 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemuatan, penyusunan, pengangkutan dan pembongkaran barang diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Ketiga Tarif Paragraf 1 Umum Pasal 146 (1) Tarif angkutan kereta api terdiri atas tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang. (2) Pedoman tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. (3) Pedoman penetapan tarif angkutan berdasarkan perhitungan modal, biaya operasi, biaya perawatan, dan keuntungan. Paragraf 2 Tarif Angkutan Orang Pasal 147 (1) Tarif angkutan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) merupakan besaran biaya yang dinyatakan dalam biaya per penumpang per kilometer. (2) Tarif angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian.
Tarif angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum diberlakukan. (4) Pengumuman tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan di stasiun dan/atau media cetak/elektronik. Pasal 148 (1) Penyelenggara sarana perkeretaapian melaporkan tarif yang ditetapkan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota yang mengeluarkan izin operasi. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan evaluasi penetapan dan pelaksanaan tarif. (3) Dalam hal penetapan dan pelaksanaan tarif oleh penyelenggara sarana perkeretaapian tidak sesuai dengan Pedoman Penetapan Tarif yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (2), Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat mengenakan sanksi administratif berupa:
teguran tertulis;
pembekuan izin operasi;
pencabutan izin operasi. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 149 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat menetapkan tarif angkutan apabila:
masyarakat belum mampu membayar tarif yang ditetapkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian untuk angkutan pelayanan kelas ekonomi; atau
dalam rangka pertumbuhan daerah baru atau dalam rangka pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas pembangunan nasional yang secara ekonomis belum menguntungkan untuk angkutan perintis.
Dalam hal tarif yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a lebih rendah dari tarif yang ditetapkan penyelenggara sarana perkeretaapian, selisih tarif menjadi tanggung jawab Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dalam bentuk kewajiban pelayanan publik . (3) Dalam hal Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menugaskan kepada penyelenggara sarana perkeretaapian untuk menyelenggarakan angkutan perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan biaya yang dikeluarkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian lebih tinggi dari pendapatan yang diperoleh berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, maka selisihnya menjadi tanggung jawab Menteri, gubernur, atau bupati/walikota, dalam bentuk subsidi angkutan perintis. Pasal 150 Angkutan pelayanan kelas ekonomi dan angkutan perintis paling sedikit harus memenuhi standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (2). Pasal 151 Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya:
menetapkan lintas pelayanan untuk angkutan pelayanan kelas ekonomi dan angkutan perintis; dan
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan dan tarif yang dilaksanakan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian. Pasal 152 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan dan penetapan tarif angkutan orang diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Tarif Angkutan Barang Pasal 153 Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) merupakan besaran biaya yang dinyatakan dalam biaya per ton per kilometer. Pasal 154 (1) Dalam hal barang yang diangkut memiliki sifat dan karakteristik tertentu, besaran biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyelenggara sarana perkeretaapian sesuai Pedoman Penetapan Tarif yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
kesepakatan yang didahului dengan negosiasi; atau
kesepakatan atas tarif yang telah ditetapkan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian. Pasal 155 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan dan penetapan tarif angkutan barang diatur dengan Peraturan Menteri Paragraf 4 Pembatalan Perjalanan Pasal 156 (1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengembalikan jumlah biaya yang telah dibayar oleh penumpang atau pengirim barang apabila terjadi pembatalan pemberangkatan perjalanan kereta api oleh penyelenggara sarana perkeretaapian.
Apabila pembatalan dilakukan di awal perjalanan, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengembalikan seluruh biaya angkutan. Pasal 157 (1) Penumpang dapat membatalkan keberangkatan atas keinginan sendiri. (2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilaporkan kepada penyelenggara sarana perkeretaapian paling lama 30 (tiga puluh) menit sebelum jadwal keberangkatan. (3) Dalam hal pembatalan dilakukan 30 (tiga puluh) menit sebelum jadwal keberangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penumpang mendapat pengembalian sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari harga karcis. (4) Dalam hal pembatalan dilakukan kurang dari 30 (tiga puluh) menit sebelum jadwal keberangkatan, penumpang tidak mendapat pengembalian harga karcis. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatalan keberangkatan diatur oleh penyelenggara sarana perkeretaapian Pasal 158 (1) Pengguna jasa angkutan barang dapat membatalkan pengiriman atas keinginan sendiri. (2) Ketentuan mengenai pembatalan pengiriman barang diatur oleh penyelenggara sarana perkeretaapan. Paragraf 5 Biaya Penggunaan Prasarana Pasal 159 (1) Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian menggunakan prasarana perkeretaapian yang dimiliki atau dioperasikan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian, penyelenggara sarana perkeretaapian harus membayar biaya penggunaan prasarana perkeretaapian. (2) Besarnya biaya penggunaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan pedoman penetapan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian yang ditetapkan oleh Menteri. (3) Pedoman penetapan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan beban penggunaan prasarana yang berdampak pada biaya perawatan, biaya pengoperasian, dan penyusutan prasarana dengan memperhitungkan prioritas penggunaan prasarana perkeretaapian. Pasal 160 Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penggunaan prasarana diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Keempat Angkutan Kereta Api Khusus Pasal 161 (1) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus hanya digunakan untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tertentu. (2) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diintegrasikan dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian umum dan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian khusus lainnya. (3) Dalam hal terjadi integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka berlaku ketentuan pelayanan perkeretaapian umum (4) Dalam hal pelayanan angkutan perkeretaapian khusus diintegrasikan dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus mendapat persetujuan dari:
Menteri, pada jaringan jalur perkeretaapian nasional;
gubernur, pada jaringan jalur perkeretaapian provinsi; atau
bupati/walikota, pada jaringan jalur perkeretaapian kabupaten/kota. (5) Dalam hal pelayanan angkutan perkeretaapian khusus diintegrasikan dengan jaringan pelayanan perkeretaapian khusus lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus mendapat persetujuan dari:
Menteri, untuk pengintegrasian dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian khusus lainnya yang menghubungkan antarprovinsi;
gubernur, untuk pengintegrasian dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian khusus lainnya yang menghubungkan antara kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; atau
bupati/walikota, untuk pengintegrasian dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian khusus lainnya yang menghubungkan pelayanan dalam 1 (satu) kabupaten/kota. Pasal 162 Pengintegrasian pelayanan angkutan kereta api khusus dengan jaringan pelayanan angkutan perkeretaapian umum dan/atau jaringan perkeretaapian khusus lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 dilaksanakan melalui kerja sama antara badan usaha perkeretaapian khusus dan penyelenggara prasarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha perkeretaapian khusus lainnya. Pasal 163 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan pengintegrasian pelayanan angkutan perkeretaapian khusus diatur dalam Peraturan Menteri. BAB V PELAPORAN PENYELENGGARAAN ANGKUTAN KERETA API Pasal 164 (1) Penyelenggara sarana perkeretaapian dan penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan angkutan perkeretaapian setiap triwulan kepada:
Menteri, untuk perkeretaapian nasional;
gubernur, untuk perkeretaapian provinsi; atau
bupati/walikota, untuk perkeretaapian kabupaten/ kota. (2) Laporan penyelenggara sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
jumlah kereta api;
frekuensi perjalanan kereta api;
jumlah penumpang;
jumlah lintas yang dilayani;
data gangguan operasi;
data kecelakaan;
keterlambatan keberangkatan dan kedatangan;
pembatalan perjalanan kereta api;
kondisi sarana; dan
laporan keuangan. (3) Laporan penyelenggara prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
jumlah kereta api;
kapasitas lintas;
frekuensi;
jumlah lintas yang dilayani;
data gangguan operasi;
data kecelakaan;
keterlambatan keberangkatan dan kedatangan;
perubahan Gapeka;
kondisi prasarana;
pembatasan kecepatan; dan
laporan keuangan. Pasal 165 (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota melakukan evaluasi terhadap laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1). (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sebagai dasar melakukan penilaian penyelenggaraan pelayanan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian dan/atau penyelenggara prasarana perkeretaapian serta untuk menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan perkeretaapian. Pasal 166 Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian dan/atau penyelenggara prasarana perkeretaapian tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 dikenai sanksi administrasi berupa:
teguran tertulis;
pembekuan izin operasi; dan
pencabutan izin operasi. Pasal 167 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan dan pengenaan sanksi administratif penyelenggaraan angkutan kereta api diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VI TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA SARANA PERKERETAAPIAN Bagian Kesatu Tanggung Jawab Terhadap Penumpang yang Diangkut Pasal 168 (1) Penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggung jawab terhadap penumpang yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api. (2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
pemberian ganti kerugian dan biaya pengobatan bagi penumpang yang luka-luka; dan
santunan bagi penumpang yang meninggal dunia. (3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimulai sejak penumpang diangkut dari stasiun asal sampai dengan stasiun tujuan yang tercantum dalam karcis. Pasal 169 (1) Penumpang yang mengalami kerugian, luka-luka, dan keluarga dari penumpang yang meninggal dunia sebagai akibat pengoperasian angkutan kereta api harus memberitahukan kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian paling lama 12 (dua belas) jam terhitung sejak kejadian. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada penyelenggara sarana melalui awak sarana perkeretaapian atau petugas pengatur perjalanan kereta api pada stasiun terdekat dengan menunjukkan karcis. Pasal 170 (1) Dalam hal penumpang yang mengalami kerugian, luka-luka, dan keluarga dari penumpang yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) tidak dapat memberitahukan kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib memberitahukan kepada keluarga dari penumpang yang mengalami kerugian, luka-luka atau meninggal dunia sebagai akibat pengoperasian angkutan kereta api. (2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian segera memberikan ganti kerugian dan biaya pengobatan bagi penumpang yang luka-luka atau santunan penumpang yang meninggal dunia.
Ganti kerugian dan biaya pengobatan bagi penumpang yang luka-luka atau santunan penumpang yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh penyelenggara sarana perkeretaapian paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak kejadian. Pasal 171 (1) Penyelenggara sarana perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh kesalahan penyelenggara sarana perkeretaapian atau orang yang dipekerjakan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian di atas kereta api. (2) Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian. Pasal 172 Penyelenggara sarana perkeretaapian ikut bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang merugikan penumpang yang dilakukan oleh orang yang dipekerjakan secara sah selama pengoperasian kereta api. Pasal 173 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian santunan, pengobatan dan besarnya ganti kerugian terhadap penumpang dan pihak ketiga diatur dengan Peraturan Menteri. Bagian Kedua Tanggung Jawab terhadap Barang yang Diangkut Pasal 174 (1) Penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggung jawab mengganti kerugian yang ditimbulkan karena kelalaian penyelenggara sarana perkeretaapian dalam pengoperasian angkutan kereta api. (2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
barang hilang sebagian atau seluruhnya;
rusak sebagian atau seluruhnya;
musnah;
salah kirim; dan/atau
jumlah dan/atau jenis kiriman barang diserahkan dalam keadaan tidak sesuai dengan surat angkutan. (3) Besarnya ganti kerugian dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami, tidak termasuk keuntungan yang akan diperoleh dan biaya jasa yang telah digunakan. Pasal 175 (1) Pada saat barang tiba di tempat tujuan, penyelenggara sarana perkeretaapian segera memberitahukan kepada penerima barang bahwa barang telah tiba dan dapat segera diambil. (2) Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender terhitung sejak barang tiba di tempat tujuan penyelenggara sarana perkeretaapian tidak memberitahukan kepada penerima barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengguna jasa atau penerima barang berhak mengajukan klaim ganti kerugian. (3) Pengajuan klaim ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada penyelenggara sarana perkeretaapian dimulai sejak 7 (tujuh) hari kalender sejak diberikannya hak pengajuan klaim ganti kerugian. (4) Apabila penerima barang tidak mengajukan klaim ganti kerugian dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), hak untuk mengajukan klaim ganti kerugian kepada penyelenggara sarana perkeretaapian menjadi gugur. Pasal 176 Pihak penerima barang yang tidak menyampaikan keberatan pada saat menerima barang dari penyelenggara sarana perkeretaapian, dianggap telah menerima barang dalam keadaan baik. Pasal 177 Penyelenggara sarana perkeretaapian dibebaskan dari tanggung jawab mengganti kerugian apabila:
penerima barang terlambat dan/atau lalai mengambil barang setelah diberitahukan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian;
kerugian tidak disebabkan kelalaian dalam pengoperasian angkutan kereta api oleh penyelenggara sarana perkeretaapian; dan
kerugian yang disebabkan oleh keterangan yang tidak benar dalam surat angkutan barang. Pasal 178 Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab terhadap barang yang diangkut diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII ASURANSI Pasal 179 Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengasuransikan:
tanggung jawabnya terhadap pengguna jasa;
awak sarana perkeretaapian dan orang yang dipekerjakan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian di atas kereta api;
sarana perkeretaapian; dan
kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Pasal 180 (1) Asuransi tanggung jawab terhadap pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 huruf a meliputi:
asuransi penumpang yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1); dan
asuransi barang terhadap kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (2). (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 181 (1) Asuransi awak sarana perkeretaapian dan orang yang dipekerjakan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian di atas kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 huruf b meliputi asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan kerja.
Besarnya nilai pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 182 (1) Asuransi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 huruf c meliputi risiko kerusakan sarana perkeretaapian. (2) Besarnya nilai pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan nilai pertanggungan paling sedikit senilai sarana perkeretaapian. Pasal 183 (1) Asuransi kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 huruf d meliputi luka-luka, cacat, meninggal dunia, dan kerugian harta benda.
Besarnya nilai pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang asuransi. BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 184 Ketentuan mengenai lalu lintas dan angkutan kereta api untuk kereta api kecepatan tinggi, monorel, motor induksi linier, gerak udara, levitasi magnetis, trem, kereta gantung, sesuai dengan karakteristiknya diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 185 (1) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur lalu lintas dan angkutan kereta api yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. (2) Peralihan Masinis menjadi pemimpin perjalanan kereta api dilaksanakan paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 186 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1998 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3777) dinyatakan masih tetap berlaku
Pengujian UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan [Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), (7), Pasal 17 ayat (2), huruf a, c, d ...
Relevan terhadap
ayat (1) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840,000,00 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dgn penghasilan suami 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840.000,00 4 Tambahan untuk setiap tanggungan 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 Dengan memperhatikan data pada tabel tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan 88 amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan delegasi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan permasalahan implementasi suatu Undang-Undang (dalam hal ini Undang-Undang a quo ), yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu konstitusionalitas. Bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Pasal 14 ayat (1) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak dibutuhkan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Oleh karena itu perlu diberikan kemudahan melalui mekanisme lain yang tidak didasarkan pada pembukuan yaitu melalui penerapan norma penghitungan penghasilan netto. Pasal 14 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 mengamanatkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuat Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan. Dalam menentukan besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Direktur Jenderal Pajak harus mendasarkan pada hasil penelitian, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Untuk lebih mencerminkan tingkat kewajaran dari kondisi usaha Wajib Pajak, besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Netto perlu dilakukan penyempurnaan secara terus menerus. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 14 ayat (1) adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000. (Bukti Pemt.42) 4. Pasal 14 ayat (7) Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 89 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. (Bukti Pemt. 2e) Berdasarkan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008 Menteri Keuangan dapat melakukan penyesuaian batasan peredaran bruto sebesar Rp 4.800.000.000,00 di atas dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 17 ayat (2) Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebesar 30% (tiga puluh persen) dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penurunan tarif ini dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan DPR pada saat pembahasan dalam rangka menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 17 ayat (2) huruf a Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 28% mulai tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25% yang telah diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a UU PPh Tahun 2008. Bahwa norma Pasal 17 ayat (2) huruf a sama sekali tidak mengatur mengenai pelimpahan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai besarnya tarif ataupun hal lain terkait dengan pasal tersebut. Oleh karena itu sudah sepatutnya Majelis mengesampingkan pengujian terhadap pasal dimaksud.
Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d Pengenaan pajak atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanat Pasal 17 ayat (2) huruf c besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen tersebut diberikan batasan paling tinggi 10% dan bersifat final. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tersebut telah mengatur besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen sebesar 10% (Bukti Pemt.43) . Tarif sebesar 10% tersebut tidak melebihi batas tarif tertinggi yang ditentukan oleh Undang- Undang. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa peraturan pemerintah tersebut tidak menambah berat beban Wajib Pajak.
Pasal 17 ayat (3) 90 Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 adalah sebesar sebagai berikut: Tabel 4 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif s.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp 250.000.000,00 s.d.Rp 500.000.000,00 25% Di atas Rp 500.000.000,00 30% (Untuk Wajib Pajak Badan tidak terdapat adanya lapisan penghasilan kena pajak) Bahwa besarnya lapisan penghasilan kena pajak tersebut berdasarkan Pasal 17 ayat (3) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan disesuaikan dengan faktor penyesuaian yang didasarkan pada kondisi perkembangan perekonomian antara lain tingkat inflasi.
Pasal 17 ayat (7) Penetapan tarif tersendiri atas jenis-jenis penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dibatasi tidak melebihi tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yaitu sebesar 30% dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan yaitu sebesar 28%. Dalam ketentuan Pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menetapkan besarnya tarif tersendiri berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2). Meskipun demikian Pemerintah dalam melaksanakan kewenangan menetapkan besarnya tarif tersendiri untuk Pasal 4 ayat (2) harus memenuhi syarat sebagai berikut: 91 1. Tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Dengan mempertimbangkan aspek kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Pasal 19 ayat (2) Menteri Keuangan berdasarkan Pasal ini diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) dengan mempertimbangkan:
Perkembangan harga yang mencolok; atau
Perubahan kebijakan di bidang moneter, yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan, sehingga mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Namun demikian, Menteri Keuangan dalam menetapkan besarnya tarif pajak tersendiri atas penilaian kembali aktiva tetap dibatasi yaitu tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Pasal 21 ayat (5) Pada prinsipnya pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dipotong pajak berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh Tahun 2008. Namun demikian dalam rangka kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang-Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas 92 Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. • Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994. (Bukti Pemt. 44) b. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. • Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009. (Bukti Pemt. 45) 12. Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, sudah sewajarnya terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih tinggi dikenakan pajak lebih dibandingkan dengan yang mempunyai kemampuan ekonomis lebih rendah. Dengan dasar pemikiran tersebut, berdasarkan Pasal ini Menteri Keuangan diberikan wewenang:
Menetapkan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah, baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.
Menetapkan dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak dari penjualan barang sebagaimana dimaksud pada angka 1. Namun demikian, dalam melaksanakan wewenang tersebut Menteri Keuangan harus mempertimbangkan, antara lain:
Penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan
Prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) adalah sebagai berikut: • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 (Bukti Pemt. 46) ; dan • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 stdtd Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008. (Bukti Pemt.47 ) 13. Pasal 25 ayat (8) 93 Berdasarkan pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengatur pengenaan pajak atas orang pribadi yang bertolak ke luar negeri. Pengenaan pajak tersebut adalah dalam rangka mendorong partisipasi setiap Warga Negara untuk ikut membiayai pembangunan melalui pembayaran pajak. Dengan demikian sudah selayaknya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak. Walaupun demikian dengan Peraturan Pemerintah diatur mengenai Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri yang dikecualikan dari kewajiban membayar pajak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan antara lain pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri dan pekerja yang akan berangkat ke luar negeri. Pemungutan Fiskal Luar Negeri bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang yang memenuhi ketentuan akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 25 ayat (8) adalah sebagai berikut: • Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 (Bukti Pemt.48 ) ; • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-51/PJ/2008 (Bukti Pemt.49 ) ; dan • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2008 stdtd PER-14/PJ/2009. (Bukti Pemt. 50) VII. Penjelasan Mengenai Pokok Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Bahwa terhadap ketentuan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, pemerintah berpendapat sebagai berikut:
Pemohon dalam positanya mendalilkan, bahwa pasal-pasal dalam undang- undang a quo bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun dalam petitumnya Pemohon meminta agar pasal-pasal dalam undang-undang a quo dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Disitu terlihat 94 adanya inkonsistensi antara posita dengan petitum yang tertuang dalam surat permohonan Pemohon. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal-pasal dalam undang-undang a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum yang adil kepada setiap Wajib Pajak. Pasal-Pasal a quo justru dimaksudkan untuk memberi kejelasan dan kepastian hukum sehingga setiap Wajib Pajak akan terhindar dari perlakuan sewenang-wenang. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dalam surat Permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa pasal-pasal aquo dapat mengancam kehormatan, martabat, dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal aquo memberikan pendelegasian wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR. Pasal-Pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada tiap Wajib Pajak. Itu berarti perlindungan tiap Wajib Pajak dari perlakuan sewenang- wenang dari aparat Pemerintah. Itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Dalam bagian posita surat permohonannya Pemohon menyatakan, bahwa Peraturan Pemerintah 131 Tahun 2000 tidak adil dan tidak sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila,“ karena andaikata yang membayar bunga tersebut “orang kaya” maka seharusnya (sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008) dikenakan dengan tarif pajak 35 %, tetapi kenyataannya tetap dikenakan pajak dengan tarif 20 %.” (Lihat Surat Permohonan halaman 11). Pernyataan Pemohon ini menjadi tidak jelas, apakah Pemohon sedang mengajukan 95 pengujian peraturan pemerintah terhadap UUD 1945 atau peraturan pemerintah terhadap Undang-Undang, yang keduanya jelas diluar kompetensi Mahkamah Konstitusi. Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 itu melanggar Pasal 28G ayat 1. Padahal sebagaimana di atas telah dikemukakan, bahwa pasal- pasal a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap Wajib Pajak, yaitu kepastian hukum yang adil sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Itu berarti tidak melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan pula, bahwa pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28H ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang- wenang oleh siapapun.” Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan, dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pasal-pasal dalam undang-undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang Wajib Pajak mempunyai hak milik, atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang-wenang. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo sekali lagi, justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh UUD 1945 yang merupakan dasar hukum bagi negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada Wajib Pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada Wajib Pajak yang didasarkan kepada Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik Wajib Pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo, justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap Wajib Pajak. Karena itu pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. 96 2. Terhadap pengujian Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 4 ayat (2) _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh _koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian; _ c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima _oleh perusahaan modal ventura; _ d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah _dan/atau bangunan; dan _ e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” Pasal 17 ayat (7) “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” . Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan pengenaan pajak secara final terhadap penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, karena menurut Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan sebagai berikut: _“Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ _a) UUD 1945; _ _b) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; _ 97 _c) Peraturan Pemerintah; _ _d) Peraturan Presiden; dan _ e) Peraturan Daerah.” __ Sebagaimana diketahui bahwa dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, peraturan tertinggi di bawah UUD 1945 selalu berbentuk Undang-Undang, dimana yang berwenang membentuk Undang-Undang adalah DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden. Apabila ketentuan dalam Undang-Undang masih belum cukup dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternatif syarat, yaitu:
Adanya perintah yang tegas mengenai subyek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau
Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari Undang- Undang atau lembaga pembentuk Undang-Undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi; Ketiga persyaratan tersebut bersifat alternatif dan salah satunya harus ada dalam rangka pemberian delegasi kewenangan pengaturan (rule-making power). Lembaga pelaksana Undang-Undang, baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh Undang-Undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu (Bukti Pemt.
13d) . Di Indonesia sendiri, dewasa ini, ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Juga ada Peraturan Menteri dan bahkan masih banyak Peraturan Direktur Jenderal yang masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat umum yang masih disebut sebagai Surat Keputusan, seperti Keputusan Dirjen Bea Cukai, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan sebagainya. Sudah menjadi konvensi ketatanegaraan di Indonesia bahwa berbagai Undang- Undang yang mengatur pajak dan pungutan lain itu memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut, seperti: 98 1. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang a quo yang memberi delegasi kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah, berkaitan dengan pajak bersifat final atas a.penghasilan berupa deposito;
Penghasilan berupa hadiah undian;
Penghasilan dari transaksi saham;
..dst;
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 14 ayat (7); dst, sebagaimana didalilkan Pemohon. Pendelegasian wewenang oleh Undang-Undang kepada pemerintah, yakni Presiden, Menteri-Menteri dari suatu departemen untuk membuat suatu peraturan atau norma umum adalah suatu praktek pemerintahan yang sudah lazim dan diterima sebagai sebuah konvensi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal itu, ahli hukum Tata Negara Hans Kelsen menyatakan pendapatnya sebagai berikut : “ Kadang-kadang pembentukan norma-norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih. Sejumlah konstitusi memberikan wewenang pembuatan norma-norma umum kepada otoritas adminstratif tertentu, seperti kepala negara (presiden) atau menteri kabinet, guna menjabarkan ketentuan Undang-Undang. Norma-norma umum semacam ini, yang tidak dikeluarkan oleh organ legislatif melainkan oleh organ lain atas dasar norma-norma umum yang dikeluarkan oleh legislatif disebut peraturan atau ordonansi. Menurut sejumlah konstitusi, organ-organ administratif tertentu----- terutama kepala negara (presiden) atau menteri kabinet sebagai pimpinan departemen pemerintahan tertentu----- di bawah keadaan-keadaan luar biasa, diberi wewenang membuat norma-norma umum untuk mengatur masalah- masalah yang biasanya diatur oleh organ legislatif melalui Undang-Undang .” Sejalan dengan pemikiran itu maka norma hukum yang lebih tinggi dapat menentukan:
Organ dan prosedur pembuatan norma hukum yang lebih rendah;
Substansi norma hukum yang lebih rendah. Dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi dengan proses pembuatan Undang-Undang, ahli konstitusi CF. Strong menyatakan sebagai berikut: “Bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi 99 proses Undang-Undang biasa untuk mengembangkan konstitusi itu dalam aturan- aturan yang sudah disiapkan.” (Bukti Pemt. 52) Dengan demikian sebuah konstitusi menggariskan prinsip umum yang mendasari hubungan hak dan kewajiban antara negara, yaitu pemerintah, dengan rakyat, berkenaan dengan pajak dan pungutan lain. Prinsip umum ini kemudian dikembangkan melalui proses pembuatan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya. Pasal 23A UUD 1945, sesungguhnya meletakkan prinsip umum, yaitu “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang .” Itu bermakna, bahwa pemerintah selaku pihak yang mewakili negara dapat mengenakan pajak dan pungutan lain kepada rakyat atas dasar Undang-Undang. Atas dasar prinsip umum itulah Pemerintah dan DPR menyetujui berbagai Undang-Undang Pajak dan pungutan lainnya. Selanjutnya atas dasar Undang-Undang tersebut dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan untuk tujuan menjalankan amanah yang tertuang dalam norma Undang-Undang Pajak dan pungutan lain itu. Bahwa norma hukum yang tertuang dalam Undang-Undang dapat didelegasikan pelaksanaannya kepada peraturan-peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada Undang-Undang, baik secara implisit maupun eksplisit dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatur sebagai berikut: “ _Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ a. _UUD 1945; _ b. _Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; _ c. _Peraturan Pemerintah; _ d. _Peraturan Presiden; _ e. Peraturan Daerah.” Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, 100 lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7), kedua ketentuan tersebut memuat secara tegas bentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan muatan materi yang diatur sehingga memenuhi syarat pendelegasian. Berkaitan dengan muatan materi yang didelegasikan berupa penentuan tarif termasuk tarif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000, Pemerintah berpendapat bahwa, penentuan tarif tersebut tidak terlepas dan berdiri sendiri dari pengaturan dalam Undang-Undang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, tarif yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tersebut terikat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) yaitu tidak diperkenankan lebih tinggi dari tarif tertinggi yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1). Berdasarkan penjelasan di atas, sudah jelas bahwa Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap pengujian Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang berbunyi “ Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR ” Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pelimpahan kewenangan menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR merupakan amanat/perintah yang tegas dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 itu sendiri merupakan produk bersama antara Presiden dan DPR sebagai wakil rakyat, sehingga Pelimpahan kewenangan untuk menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan adalah sudah sepengetahuan dan sudah mendapat persetujuan DPR. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga kedudukan Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dilaksanakan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan 101 harga kebutuhan pokok setiap tahunnya yang dinamis. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepatnya. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, apabila sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan bagi Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak. Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut dimaksudkan untuk memberikan keringanan bagi Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Baik UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 maupun UU PPh Tahun 2008 menetapkan batasan jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak atau dikenal dengan istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagai pengurang penghasilan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar. Adapun ketentuan mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam Pasal 7 baik dalam Pasal 7 UU PPh Tahun 1983, Pasal 7 UU PPh Tahun 2000 maupun Pasal 7 UU PPh Tahun 2008. Untuk memperoleh gambaran yang objektif mengenai ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dalam rumusan Pasal 7 baik dalam UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008, di bawah ini disajikan tabel: Tabel 5 Perbandingan Rumusan Pasal 7 UU PPh Tahun1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 102 (1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan sebesar:
Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri. Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan . Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pada tabel tersebut di atas, materi yang diatur dalam ketiga rumusan tersebut pada prinsipnya adalah mengatur hal yang sama, yaitu mengatur mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak ( vide ayat (1)) , ketentuan bahwa penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah kondisi pada awal tahun pajak ( vide ayat (2)) , dan ketentuan bahwa besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak pada dasarnya dapat disesuaikan dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan ( vide ayat (3)) . Dapat disampaikan pula bahwa Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan telah 2 (dua) kali mengubah besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk 103 disesuaikan dengan perkembangan kehidupan sosial, politik dan ekonomi serta sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, yaitu melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Menurut Pemerintah, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 lebih besar dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 2000, baik secara sendiri- sendiri maupun secara keseluruhan. Hal ini dapat digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 6 Penghasilan Tidak Kena Pajak Berdasarkan UU PPh Tahun 2000 Dan UU PPh Tahun 2008 No Keterangan UU PPh 2000 UU PPh 2008 Pasal 7 ayat (1) KMK No. 564/KMK.03/ 2004 %) PMK No. 137/PMK.03/ 2005 %) Pasal 7 ayat (1) %) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2 4.320.000 13.200.000 206 14.400.000 9 17.160.000 19 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami 2.880.000 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 Jumlah 1+2+3 7.200.000 25.200.000 250 27.600.000 10 33.000.000 20 4 Tambahan untuk setiap tanggungan (paling banyak 3 orang) 1.440.000 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2+3+4 8.640.000 26.400.000 205 28.800.000 9 34.320.000 19 Keterangan: *) kenaikan (kolom 4:
**) kenaikan (kolom 6:
***) kenaikan (kolom 8:
104 Menurut tabel tersebut di atas, dapat dilihat adanya kenaikan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak sejak diberlakukannya UU PPh Tahun 2000 sampai dengan UU PPh Tahun 2008, dengan uraian sebagai berikut:
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp 2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp 12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/ 2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin meningkat menjadi Rp1.320.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 per orang, berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 per orang, dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 105 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang meningkat menjadi Rp1.320.000,00 per orang. Dengan memperhatikan fakta-fakta tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan kewenangan atributif kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Perlu kami sampaikan pula bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Terhadap Pasal 14 Ayat (1) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan netto dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ” dan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, diperlukan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi tersebut, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Bagi Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. 106 Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Netto sangat membantu bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan Netto. Norma Penghitungan disusun berdasarkan hasil penelitian, kondisi ekonomi, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Sebagaimana diketahui bahwa perubahan perekonomian global pada saat ini begitu cepat, seperti krisis ekonomi dan moneter yang melanda negara-negara maju yang dampaknya juga dirasakan oleh negara-negara berkembang. Untuk merespon perkembangan perekonomian yang begitu cepat diperlukan pengaturan sesegera mungkin. Sebagai contoh, apabila terjadi perubahan ekonomi yang begitu cepat, sedangkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan batas peredaran bruto yang ada sudah tidak sesuai dengan keadaan perekonomian dan kemampuan Wajib Pajak, maka diperlukan pengaturan sesegera mungkin agar pembebanan pajak kepada masyarakat tidak turut menambah kesulitan hidup rakyat banyak khususnya Wajib Pajak. Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas bukan merupakan kewajiban, hal ini hanya suatu pilihan. Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi merasa dirugikan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto maka dapat memilih alternatif lain yaitu dengan menyelenggarakan pembukuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi untuk menentukan penghasilan Netto. Pelimpahan kewenangan untuk menyesuaikan Norma Penghitungan Penghasilan Netto oleh Direktur Jenderal Pajak dan penyesuaian besarnya batas peredaran bruto dengan Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat dan perintah tegas UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 17 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ”; 107 Pasal 17 Ayat (2a) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun 2010 ”; Pasal 17 Ayat (2c) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final ’; dan Pasal 17 Ayat (2d) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 bertujuan untuk mengurangi beban pajak yang harus ditanggung masyarakat. Menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, pembahasan perubahan tarif tersebut dikemukakan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam rangka penyusunan RAPBN. Jadi walaupun perubahan tarif tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah, DPR sebagai wakil rakyat tetap ikut serta untuk membahasnya. Pelimpahan wewenang pengaturan perubahan atau penurunan tarif kepada Peraturan Pemerintah diperbolehkan karena hal tersebut merupakan amanat/perintah dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga ketentuan dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ”, Pemerintah berpendapat bahwa penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan tingkat inflasi setiap tahunnya. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepat. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, perlu kiranya respon yang cepat dari pemerintah untuk pengaturan pajak agar bisa dihindari potensi kerugian pajak. Oleh karena itu sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk 108 mengatur lebih lanjut penyesuaian lapisan Penghasilan Kena Pajak. Kebijakan pemerintah mengenai lapisan Penghasilan Kena Pajak, selama ini memberikan banyak kemudahan-kemudahan bagi Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tarif tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menghapus lapisan tarif 10%, sehingga lapisan tarif berkurang dari 5 (lima) menjadi menjadi 4 (empat) lapisan serta memperluas lapisan penghasilan kena pajak ( income bracket ) yang semula lapisan tertinggi di atas Rp 200.000.000,00 menjadi di atas Rp 500.000.000,00, untuk lapisan terendah yang semula Rp 0,00 s.d. Rp 25.000.000,00 menjadi Rp 0,00 s.d. Rp 50.000.000,00. Lebih rinci mengenai perubahan tarif tersebut tampak pada tabel sebagai berikut: Tabel 7 Perbandingan Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi antara UU PPh Tahun 2000 dengan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang PPh Tahun 2000 Undang-Undang PPh Tahun 2008 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif S.d Rp 25.000.000,00 5% S.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp25.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00 10% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 15% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp100.000.000,00 s.d.Rp200.000.000,00 25% Di atas Rp250.000.000,00 s.d.Rp500.000.000,00 25% Di atas Rp200.000.000,00 35% Di atas Rp500.000.000,00 30% Dari tabel tersebut di atas, perubahan lapisan penghasilan kena pajak dan tarif dalam UU PPh Tahun 2008 banyak memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak. Hal ini baru ditinjau dari sudut tarif dan lapisan penghasilan kena pajak, masih banyak lagi kemudahan bagi Wajib Pajak, antara lain:
Kenaikan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak;
Penurunan Tarif Dividen;
Penambahan batasan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan;
Pembebasan pembayaran Fiskal Luar Negeri; dan
Penetapan angsuran untuk pengusaha tertentu. 109 Pelimpahan kewenangan pengaturan penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak kepada Keputusan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sedangkan UU PPh Tahun 2008 merupakan amanat atau perintah langsung dari UUD 1945. Jadi Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan untuk menetapkan tarif pajak tersendiri atas selisih penilaian aktiva tetap ini bertujuan untuk mengantisipasi perubahan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter yang dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban biaya yang kurang wajar. Jadi penerbitan Peraturan Menteri Keuangan ini bertujuan untuk melindungi Wajib Pajak dari beban pajak yang melebihi kemampuan Wajib Pajak dan Pelimpahan kewenangan pengaturan tarif tersendiri terhadap selisih revaluasi aset kepada Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008 yang sudah melalui pembahasan dengan DPR sebagai representasi warga negara. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksana atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Oleh karena itu Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 21 Ayat (5) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud 110 pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah bertujuan untuk kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang- Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. Dengan pertimbangan bahwa pemotongan tersebut akan mengurangi gaji, upah, uang pensiun, dan sebagainya yang diterima atau diperoleh para Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya, sedangkan pada umumnya penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah tersebut belum mencapai suatu tingkat yang memadai, maka pemerintah selaku pemberi kerja memandang perlu untuk menanggung Pajak Penghasilan yang terutang oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan pensiunan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau pensiunan yang diterima secara tetap yang dananya dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Oleh karena itu Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif pajak penghasilan agar manfaat yang diperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum. 111 Jadi pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Lembaga pelaksana undang-undang baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh undang-undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Terhadap Pasal 22 Ayat (1) huruf c UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah ” dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Pelimpahan kewenangan pengaturan pemungutan pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat sebagai pembayaran di muka, yang diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan di akhir tahun. Jadi bukan bukan PPh final. Ini hanya metode how to collect taxes through others (withholding system) . Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sehingga Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 112 10.Terhadap Pasal 25 Ayat (8) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “ Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak keluar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pengenaan Fiskal Luar Negeri terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Fiskal Luar Negeri tersebut, diatur juga pengecualian pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang bertolak ke luar negeri diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang memiliki NPWP dibebaskan dari kewajiban membayar Fiskal Luar Negeri demikian pula pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri tidak diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan. Hal tersebut berlaku pula bagi pekerja yang akan berangkat ke luar negeri juga dibebaskan dari Fiskal Luar Negeri asalkan memenuhi syarat- syarat yang ditentukan. Pemungutan Fiskal Luar Negeri juga bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Fiskal luar negeri bukan jenis pajak bersifat final. Perlu disampaikan juga bahwa menurut Pasal 25 ayat (8) huruf a UU PPh Tahun 2008, pengenaan Fiskal Luar Negeri hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Secara keseluruhan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji adalah mengenai pelimpahan wewenang pengaturan kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan 113 Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pada prinsipnya pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut diperbolehkan karena merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Selain itu Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Jadi Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . Selanjutnya mengenai pokok permohonan pengujian materiil terhadap 15 norma UU PPh Tahun 2008 mengenai pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya. Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pemungutan pajak yang berlandaskan peraturan perundang-undangan, serta sesuai dengan kemampuan Wajib Pajak dan keadaan perekonomian bangsa Indonesia, diperlukan pembuatan pengaturan pemungutan pajak yang cepat dan sesederhana mungkin. Pembuatan pengaturan melalui Undang-Undang dirasa akan memakan waktu lama sehingga diperlukan fleksibilitas pengaturan yang tinggi agar dapat mengakomodir kepentingan pengamanan penerimaan negara dari pajak. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk menerapkan prinsip efisiensi dalam pembuatan aturan-aturan yang menjadi landasan pemungutan pajak. Efisiensi dalam pembuatan aturan di bidang perpajakan menyangkut beberapa aspek antara lain aspek prosedur, biaya, sumber daya, dan kegunaan.
Prosedur Pembuatan Untuk membuat suatu Undang-Undang dibutuhkan prosedur yang panjang dan melalui proses yang melibatkan berbagai pihak baik dari eksekutif maupun legislatif. Proses yang panjang dari pembuatan suatu Undang-Undang yang tidak mampu mengakomodir perubahan dalam masyarakat tentu berdampak negatif pada banyak hal termasuk rasa keadilan dalam masyarakat terkait pembebanan pajak. Di sisi Pemerintah, ketidakselarasan tersebut berdampak pada kepentingan penerimaan negara yang pada akhirnya mempengaruhi kepentingan nasional dalam hal 114 pembiayaan belanja negara. Tidak demikian halnya dengan pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang tidak terlalu membutuhkan proses yang panjang dan tidak terlalu menuntut keterlibatan banyak pihak. Pemilihan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan terlepas dari muatan atau isi pengaturan, dapat dikatakan mengedepankan efisiensi dalam prosedur pembuatannya dan terpenuhinya rasa keadilan bagi Wajib Pajak. Namun demikian, pertimbangan efisiensi tidak diharapkan berubah bentuk menjadi kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, untuk dapat menjalankan prinsip efisiensi ini, diperlukan koridor dari Undang-Undang itu sendiri sebagai batasan terhadap kewenangan yang diberikan.
Biaya Pengukuran pada biaya biasanya berbanding lurus dengan prosedur pembuatan. Semakin pendek prosedur yang dilewati maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan sehingga efisiensi dari biaya akan dapat diperoleh. Biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dapat dikatakan akan lebih sedikit dibanding biaya yang diperlukan dalam pembuatan sebuah Undang-Undang.
Sumber Daya Prinsip efisiensi mengedepankan pemanfataan sumber daya minimal dengan pencapaian tujuan yang optimal. Dalam pembuatan peraturan perpajakan dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak kebutuhan sumber daya diharapkan tidak sebesar kebutuhan dalam pembuatan Undang-Undang.
Kegunaan Suatu peraturan perundang-undangan haruslah memiliki kegunaan atau manfaat. Salah satu kegunaan suatu peraturan pemungutan pajak adalah memberikan legitimasi secara hukum kepada otoritas perpajakan dalam melakukan pemungutan pajak. Jenis atau bentuk pengaturan tidak menjadi masalah sepanjang peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterapkan dan memiliki manfaat yang diharapkan. Perkembangan aktivitas ekonomi yang sangat cepat, dapat menimbulkan potensi kehilangan sumber penerimaan pajak. Untuk itu diperlukan pengaturan secepat mungkin yang akan mengakomodasi perkembangan ekonomi, menutup celah 115 penghindaran pemajakan, dan yang terpenting mengamankan penerimaan negara yang menampung kepentingan rakyat banyak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gustav Radbruch yang menguraikan adanya tiga unsur dalam pembentukan hukum yaitu: filosofi (keadilan), sosiologis (kemanfaatan), dan yuridis (kepastian hukum). Radbruch berpendapat bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi lagi suatu peraturan hukum memiliki validitas. Selain prinsip efisiensi di atas, prinsip lain yang mendukung pendelegasian wewenang dalam pengaturan pemungutan pajak adalah diterapkannya asas kesederhanaan, baik dari struktur tarif maupun tata cara pemungutannya. Melalui penerapan prinsip efisiensi dan kesederhaan maka biaya pemungutan bagi administrasi perpajakan dan juga biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak dapat ditekan. Hal ini berdampak positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dan pada akhirnya kepada penerimaan dari pajak itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah, pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya diperbolehkan dengan alasan fleksibilitas dengan memperhatikan efisiensi dan kesederhaan sepanjang pengaturan tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir dan tidak secara nyata dilarang oleh UUD 1945 . VIII.Dampak Seandainya Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Dikabulkan. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas Pemerintah kembali menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, sebab tidak benar telah ada ketidakpastian hukum sehubungan dengan pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan lebih lanjut UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang tersebut merupakan persetujuan bersama pembuat undang-undang yaitu DPR sebagai wakil rakyat dan Pemerintah, melalui Undang-Undang yang secara 116 tegas mengamanatkan untuk membuat peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008. Sebaliknya, apabila permohonan pengujian pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan Pemohon dikabulkan dengan menyatakan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka hal tersebut justru akan menimbulkan dampak buruk berupa:
Bila pasal-asal a quo dalam UU PPh Tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas, yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi peraturan pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak untuk mengenakan pajak kepada para Wajib Pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan essensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia, utamanya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” b. Pasal 28A : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” c. Pasal 28C ayat (1) : “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. ” d. Pasal 28D ayat (2) : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” e. Pasal 28H ayat (1) : 117 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3) : “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” g. Pasal 28 I ayat (3) : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28 I ayat (4) : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” __ Selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: (Bukti Pemt. 53) 1. Pasal 6 : Hak atas pekerjaan;
Pasal 7 : Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan;
Pasal 8 : Hak-hak serikat pekerja;
Pasal 9 : Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial;
Pasal 10 : Hak-hak keluarga;
Pasal 11 : Hak atas standar kehidupan yang layak;
Pasal 12 : Hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental;
Pasal 13-14 : Hak atas Pendidikan;
Pasal 15 : Hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Pasal 15 KIHESB tersebut di atas, negara, yakni pemerintah, merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, melaksanakan penegakan dan 118 pemenuhan Hak Asasi Manusia, yaitu dalam hal ini adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum, seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya. Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat. Uraian panjang tersebut di atas membawa kita pada suatu pengertian, bahwa pasal- pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Lebih dari 30 (tiga puluh) peraturan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008, ratusan peraturan pelaksanaan perundang-undangan pajak lainnya (PPN dan PPn BM, PBB, BPHTB dan Bea Meterai) dan ratusan peraturan daerah yang mengatur pungutan yang bersifat memaksa, harus dicabut dan diatur kembali dalam bentuk pasal-pasal di dalam Undang-Undang, hanya untuk memenuhi keinginan Pemohon, agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Berdasarkan analisa perhitungan penerimaan negara, apabila permohonan pengujian materiil UU PPh Tahun 2008 dikabulkan, maka diperkirakan negara akan berpotensi kehilangan penerimaan kurang lebih sebesar Rp 69 Triliun (Enam Puluh Sembilan Triliun Rupiah) untuk Tahun Pajak 2010 (Bukti Pemt. 54) hanya untuk Pajak Penghasilan saja. Hal ini akan menghambat laju pembangunan dan menghalangi terwujudnya tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dana sebesar Rp 69 Triliun apabila dipergunakan untuk kepentingan rakyat dapat dipergunakan:
Untuk membangun sekolah dasar inpres sebanyak 53.076 sekolah dasar inpres, b. Untuk membangun jalan beraspal sepanjang 138.000 km, c. Untuk membangun Puskesmas didaerah terpencil sebanyak 92.000 puskesmas. (Bukti Pemt. 55) 119 IX. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dan untuk selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, (legal standing). 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1),Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). __ [2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalinya, Pemerintah telah mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-55 sebagai berikut:
Bukti Pemt-1 : Fotokopi UUD 1945 beserta Amandemen;
Pasal 23;
Pasal 23A;
Pasal 23B;
Pasal 23C;
Pasal 23D;
Pasal 24A ayat (1);
Pasal 24C ayat (1);
Pasal 28D ayat (1);
Pasal 28G ayat (1);
Pasal 28 H ayat (4).
Bukti Pemt-2 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 120 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Pasal 2 ayat (1);
Pasal 4 ayat (2) c. Pasal 7 ayat (3), d. Pasal 14 ayat (1), d. Pasal 14 ayat (2), e. Pasal 14 ayat (7), f. Pasal 17 ayat (2), g. Pasal 17 ayat (2) huruf a, h. Pasal 17 ayat (2) huruf c, i. Pasal 17 ayat (2) huruf d, j. Pasal 17 ayat (3), k. Pasal 17 ayat (7), l. Pasal 19 ayat (2), m. Pasal 20 ayat (2), n. Pasal 21 ayat (5), o. Pasal 22 ayat (1c), p. Pasal 22 ayat (2), q. Pasal 25 ayat (8) 3. Bukti Pemt-3 :
Pasal 10 ayat (1);
Pasal 51 ayat (1) 4. Bukti Pemt-4 : Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009:
Pasal 1, angka 1;
Pasal 38;
Pasal 39A;
Pasal 39;
Pasal 40;
Pasal 41 A;
Pasal 41 B;
Pasal 41 C;
Pasal 43.
Bukti Pemt-5 : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 6. Bukti Pemt-6 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 7. Bukti Pemt-7 : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 1994 8. Bukti Pemt-8 : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 9. Bukti Pemt-9 : Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 121 10. Bukti Pemt-10 : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai 11. ^Bukti Pemt-11 : Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia 12. ^Bukti Pemt-12 : Prof.Dr.Maria Farida Indrati S.,S.H.,M.H., dalam bukunya “Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan”, Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-5, Tahun 2007:
Hal 18 “Norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya atau lingkungannya.”;
Hal 20 Hans kelsen dalam bukunya “ General Theory Of Law and States ”, New York, Russel and Russel, menyatakan bahwa ada dua system norma yaitu norma yang static ( nomostatics ) dan norma yang dinamik ( nomodynamics );
Hal 35-37 DWP Ruiter dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, peraturan perundang undangan atau wet in materiele zin mengandung tiga unsur… d. Hal 215-232 Fungsi dari pelaksanaan peraturan perundang- undangan… 13. Bukti Pemt-13 : Prof.Dr.Jimly Asshidiqie, buku perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekjen & kepaniteraan MK Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama Tahun 2006:
Hal 32 Jeremy Bentham dan John Austin, misalnya Hal 33 122 b. Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., dalam buku “Perihal Undang-Undang Di Indonesia”, c. hal 377 “kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada....” d. hal 381 ”Apabila Undang-Undang dirasakan belum cukup mengatur, dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan dengan memperhatikan tiga syarat alternativ yaitu: …” e. hal 396 “…pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternativ syarat: …” 14. ^Bukti Pemt-14 : Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
Pasal 7 ayat 1, b. Pasal 7 ayat 4 15. ^Bukti Pemt-15 : Nasakah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2000, Buku VII, Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Tahun 2008. Hal 39- 113 16. ^Bukti Pemt-16 : Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat (ed), Kebijakan Fiskal, Pemikiran, konsep dan Implementasi, (Kompas, 2004) hal 130 17. Bukti Pemt-17 : Kebijakan Ekonomi Publik Di Indonesia Subtansi dan Urgensi, kumpulan Tulisan Dr. Guritno Mangkoesoebroto, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1994 Hal 107 18. Bukti Pemt-18 : Nota Keuangan dan APBN 2000, Departemen Keuangan RI 19. Bukti Pemt-19 : Laporan Penerimaan Pajak DJPBn dan APBN-P Tahun 123 20. ^Bukti Pemt-20 : R.santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, Refika Aditama, Bandung, 2003:
Hal 2, “pengertian pajak menurut Prof.DR.PJA.Adriani sebagaimana dikutip oleh R.Santoso Brotodihardjo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara........” b. Hal 3 “ Leroy Baeulieu, dalam bukunya traite de la science des Finances . Tahun 1906... “ c. Hal 5 “Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak berdasarkan asas gotong royong,Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964, sebagaimana dikutip oleh R.santoso Brotodihardjo, “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang........” d. hal 212 “Pajak mempunyai dua fungsi yaitu.... “ 21. ^Bukti Pemt-21 : IBFD international Tax Glossary yang diterbitkan oleh IBFD tahun 2005 Hal 393 “pajak didefinisikan sebagai “a government levy which is not....” 22. Bukti Pemt-22 : H.Bohari,S.H., Pengantar Hukum Pajak. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2001 :
Hal 41 ”Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations b. Hal 42 ”W.J de langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda .......yang menyebutkan 7 asas pokok perpajakan sebagai berikut : 124 c. Hal 43 ”Dalam literatur yang sama Adolf Wagner mempunyai dimensi yang lain dalam memandang asas pemungutan pajak.......empat postulat untuk terpenuhinya prinsip pemungutan pajak yang ideal yaitu....“ 23. ^Bukti Pemt-23 : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara :
Pasal 1 angka 1;
Pasal 2 huruf a;
Pasal 3 ayat (1);
Pasal 6;
Pasal 8;
Pasal 11 ayat (3);
^Bukti Pemt-24 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank .Indonesia;
Bukti Pemt-25 : Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
^Bukti Pemt-26 : Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa Bunga Obligasi;
Bukti Pemt-27 : Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas hadiah undian;
Bukti Pemt-28 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 395/PJ/2001 tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah dan penghargaan;
Bukti Pemt-29 : Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-30 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-31 : Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang 125 Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di Bursa;
^Bukti Pemt-32 : Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 stdd PP Nomor 71 Tahun 2008 (perubahan ketiga) tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
^Bukti Pemt-33 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 (perubahan kedua) tentang pelaksanaan pembayaran dan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-34 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/ 2009 tentang pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-35 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/ 2009 tentang tata cara pemberian pengecualian dari kewajiban pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas .penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan 36. ^Bukti Pemt-36 : Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2008 stdd PP No 40 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 37. Bukti Pemt-37 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 126 38. Bukti Pemt-38 : Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 tentang pembayaran pajak atas penghasilan dari persewaan Tanah dan/atau Bangunan 39. ^Bukti Pemt-39 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebgaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 tentang pelaksanaan pembayaran dan pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan 40. ^Bukti Pemt-40 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 41. ^Bukti Pemt-41 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 42. ^Bukti Pemt-42 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang dapat menghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Norma Penghitungan 43. Bukti Pemt-43 : Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas deviden yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri 44. Bukti Pemt-44 : Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah 45. Bukti Pemt-45 : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus 46. Bukti Pemt-46 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 127 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah 47. ^Bukti Pemt-47 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya 48. ^Bukti Pemt-48 : Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri Yang bertolak ke luar negeri 49. ^Bukti Pemt-49 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 51/PJ/2008 tentang tata cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Anggota Keluarga 50. ^Bukti Pemt-50 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 53/PJ/2008 sebagaimana telah diubah dengan PER-14/PJ/2009 tentang tata cara pembayaran, pengecualian pembayaran dan pengelolaan administrasi Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan bertolak ke Luar Negeri 51. Bukti Pemt-51 : Hans Kelsen, teori umum tentang hukum dan negara. Nusamedia dan nuansa, Bandung,2006 Hal 187-191 : “Kadang kadang pembentukan norma norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih....” 52. Bukti Pemt-52 : CF Strong, Konstitusi konstitusi politik modern kajian tentang sejarah dan bentuk bentuk konstitusi Dunia, Nusamedia dan nuansa, Bandung, 2004,Hal 91 : “dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi.......menyatakan sebagai berikut : bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi 53. Bukti Pemt-53 : Kovenan Internasional Hak – Hak ekonomi, sosial, dan 128 budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on economic Social and Cultural Rights :
Pasal 6 ;
Pasal 7;
Pasal 8;
Pasal 9;
Pasal 10;
Pasal 11;
Pasal 12;
Pasal 13;
Pasal 14;
Pasal 15.
^Bukti Pemt-54 : Realisasi Penerimaan Tahun 2007-2008, Estimasi Penerimaan Tahun 2009, dan Potensial Loss Penerimaan Pajak Tahun 2010 Terkait Permohonan Uji Materiil Undang-Undang PPh Tahun 2008 55. ^Bukti Pemt-55 : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang pedoman teknis pembangunan gedung Negara Selain itu, untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan 5 (lima) orang ahli yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 12 Januari 2010 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis sebagai berikut: Keterangan Ahli Pemerintah 1. Ahli Pemerintah Prof.DR. Philipus. M. Hadjon, S.H., LL.M. Ø Bahwa intinya adalah pajak dan semua pungutan yang sifatnya memaksa oleh negara harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai pendelegasian itu ada dua istilah hukum yang digunakan; “dengan” atau “berdasarkan”; Ø Bahwa rumusan yang ada di dalam Pasal 23A itu mengenai pajak; Ø Bahwa dari sudut pandang hukum tata negara pajak di situ pertama-tama adalah menyangkut objek pajak; Ø Bahwa apa saja yang bisa dikenakan pajak oleh negara, intinya dari Pasal 23A tadi; Ø Bahwa titik tolak dari sana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar untuk diatur dengan Undang-Undang ialah objek pajak; 129 Ø Bahwa mengenai objek pajak itu sendiri sejak awal termasuk Undang-Undang taat apa yang bisa dipungut pajak itu ditetapkan oleh Undang-Undang termasuk pajak daerah pun harus ditetapkan dengan Undang-Undang tidak bisa daerah menentukan sendiri apa yang menjadi pajak daerah; Ø Bahwa perlu dicermati dulu dari ketentuan Pasal 23A mengenai pendelegasian wewenang; Ø Bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila kaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) pendelegasian di sini ini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1); Ø Bahwa yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam hukum tata negara dan hukum administrasi kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan disreksi; Ø Bahwa bagi yang berwenang dalam bidang ini punya pilihan untuk berkaitan dengan tarif. Tapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD; Ø Bahwa yang dipermasalahkan oleh Pemohon juga PP Nomor 131 Tahun 2000; Ø Bahwa yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UUD adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Kalau persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD; Ø Bahwa menyangkut Pasal 7 ayat (3), apakah penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak tidak dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak berada dalam ranah teknik, dan di sisi lain bukan delegasi blanko karena harus dikonsultasikan dengan DPR ini satu yang sifatnya imperatif mengenai kewenangan; Ø Bahwa menyangkut Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 14 ayat (7) rasio legis delegasi kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) adalah Pendelegasian kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) di satu sisi merupakan hal teknis dan di sisi lain mengantisipasi kondisi yang berubah-ubah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (2), ayat (2) huruf a, ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d. Pertanyaannya apakah pendelegasian kewenangan penurunan tarif itu 130 inkonstitusional? Rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang adalah pajak adalah perampasan atas kekayaan pribadi. Kekayaan pribadi merupakan hak kodrat jadi sifatnya _nalienable right; _ Ø Bahwa untuk kepentingan publik hak bisa kodrat dirampas hanya dengan persetujuan rakyat. Instrumen hukum dalam hukum tata negara adalah Undang- Undang. Dalam pasal-pasal ini tarif tertinggi telah ditetapkan oleh Undang-Undang sehingga delegasi kepada peraturan pemerintah untuk penurunan tarif pajak ini tidak bertentangan dengan rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang, dan Pasal 23A itu sebetulnya mengenai objek pajaknya yang paling utama; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (3) ketentuan Pasal 17 ayat (3) bertentangan rasio legis pengaturan pajak harus dengan Undang-Undang besarnya penghasilan kena pajak hal teknis, oleh karena itu delegasi kewenangan tidaklah inkonstitusional; Ø Bahwa Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (5) menyangkut pasal ini perkecualian adalah penetapan tarif pajak inkonstitusional? Ini juga prinsipnya sama pendelegasian kewenangan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5) bukan delegasi blanko karena dibatasi dengan ketentuan, dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (2) “sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi,” Pasal 21 ayat (5) kecuali ditetapkan lain dengan peraturan pemerintah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (2) adalah karakteristik wewenang tersebut dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e; Ø Bahwa Pasal 22 ayat (1), dari ketentuan ini dapat mencirikan adanya wewenang diskresi. Diskresi mengandung makna ada pilihan choice dalam penggunaan wewenang; Ø Bahwa rasio legis ketentuan a quo adalah peran serta masyarakat dalam mengumpulkan pajak dan bukan menyangkut PPh final; Ø Bahwa kewenangan adalah konsep hukum publik, kewenangan DPR lahir secara atribusi, wewenang DPR itu diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Ø Bahwa DPR itu wakil rakyat tapi janganlah dirumuskan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat, ini analogis sesat. Rakyat itu mempunyai hak dan kewajiban bukan kewenangan sehingga kalau bicara soal wewenang memutus tidak pada rakyat dalam konteks pajak, Undang-Undang Pajak. Wewenang memutus itu ada pada DPR jadi tidak bisa dikatakan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat; Ø Bahwa Pasal 25 ayat (8) apa rasio legis pasal ini? Pasal ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya; 131 Ø Bahwa berdasarkan analisi yang dilakukan materi muatan pasal-pasal Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang diajukan permohonan uji materil Perkara Nomor 128/PUU-VII/2009 tidaklah inkonstitusional;
Ahli Pemerintah Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø Bahwa pelimpahan wewenang melalui Undang-Undang kepada pemerintah, Menteri Keuangan dan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam menentukan tarif, menentukan lapisan penghasilan kena pajak untuk dikenakan tarif dan penetuan pajak fiskal bagi orang yang tidak memiliki NPWP dan penentuan norma yang ditugaskan kepada Direktorat Jenderal Pajak; Ø Bahwa tinjauan hukum dalam rangka konsepsional sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan adalah tinjauan terhadap ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal yang diajukan pengujian; Ø Bahwa terhadap tindakan hukum sebagai sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia itu mengacu kepada TAP MPRS Nomor 20 Tahun 1966 yang kemudian dikukuhkan dengan TAP MPR Nomor 5 Tahun 1973 pada waktu itu masih ditentukan mulai dari Undang-Undang Dasar, undang-undang, Keputusan MPR, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah baru peraturan pelaksanaan termasuk instruksi Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan lainnya; Ø Bahwa hal itu kemudian diperbaiki beberapa kali dengan Putusan MPR sehingga terakhir dengan Keputusan MPR Nomor 3 Tahun 2000 dimana urutannya menjadi Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR, undang-undang dan atau setara dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah; Ø Bahwa dengan direvisi Undang-Undang Dasar 1945 khusunya Pasal 2 dimana struktur, fungsi dan kewenangan MPR berubah maka Ketetapan MPR tidak menjadi sumber hukum lagi sehingga urutannya Undang-Undang Dasar, undang-undang sekaligus memang dengan Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang baru Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah; Ø Bahwa tata urutan tersebut kalau dikaji atau ditinjau dengan pendekatan hukum ini secara teori berjenjang yang dikemukakan oleh Kelsen dan ditindak lanjuti oleh Hansnafiaski {sic} dimana menyebut sebagai urutan itu adalah sebagai staat fundamental norm sebagai dasar-dasar pokok, dimana oleh Kelsen sebenarnya 132 grundnorm sebagai asas yang disebut sebenarnya Hamid Atamimi adalah Pancasila itu sebagai grund fundamental staat grundnorm tetapi oleh Hans Kelsen dipisahkan antara staat fundamental norm dengan staat grund gescheit sebagai Undang- Undang Dasar; Ø Bahwa kalau dikaitkan dengan staat fundamental norm sebagai pembukaan UUD 1945 staat gescheit sebagai UUD baru formale gescheit sebagai Undang-Undang dan sebagai peraturan pelaksanaannya ini yang berlaku, yang disebutnya sebagai urutan yang berjenjang yang berlaku ketentuan yang lebih rendah harus mengacu dan tidak bertentangan dengan ketentuan atau Undang-Undang yang lebih tinggi; Ø Bahwa dengan demikian yang diatur dalam tata norma hukum, sumber hukum dan tata perundang-undangan sudah sejalan dengan teori yang berlaku tersebut; Ø Bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR, Pasal 20 UUD 1945 mengatakan DPR sebagai hak budgetnya sebagai legislator sebagai pembuat Undang-Undang, maka kewenangan DPR untuk membuat dan menetapkan Undang-Undang tentu sudah mengkaji segala dampak dan segala kemungkinan, sehingga ditetapkan ada pendelegasian tersebut, ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2); Ø Bahwa oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dalam Undang-Undang kepada pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah kepada Menteri Keuangan sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia; Ø Bahwa pelimpahan wewenang diberikan kepada pemerintah melalui peraturan pemerintah atau Menteri Keuangan atau Direktur Pajak dikatakan bertentangan dengan Pasal 23A; Ø Bahwa Pasal 23A bagian dari pada hal-hal mengenai keuangan yang diatur dalam UUD. Hal-hal yang mengenai UUD itu ada 5 pasal, Pasal 23 mengenai APBN dan Pasal 23A mengenai Pajak untuk negara sedangkan Pasal 23B dalam macam harga dan mata uang ditetapkan dalam Undang-Undang, lalu Pasal 23C hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, lalu Pasal 23D mengenai negara memiliki bank sesuai kedudukannya diatur dengan Undang- Undang; Ø Bahwa dari seluruh hal-hal yang mengenai keuangan yang diatur dengan UUD seluruhnya diatur dengan Undang-Undang; 133 Ø Bahwa dalam pelaksanaanya Pasal 23 tersebut dan Pasal 73 juga ada pelimpahan kepada Menteri Keuangan atau kepada pemerintah. Pasal 23 yaitu mengenai APBN disebutkan Pasal 8 ayat (2) dalam Undang-Undang APBN Tahun 2005. Rincian lebih lanjut dalam anggaran belanja pemerintah pusat sebagaimana Pasal 7 diatur dengan Keputusan Presiden. Dalam APBN 2010 Nomor 40 tahun 2009 Pasal 10 ayat (3) juga pengaturan lebih lanjut dari di DIPA sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh presiden. Pasal 9 ayat (2) menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian dan perimbangan DAU diatur oleh Menteri Keuangan. Jadi dalam hal ini dalam Pasal 23 juga semua ada pendelegasian yang diatur melalui Undang-Undang; Ø Bahwa Pasal 23B dan Pasal 23D mengenai mata uang juga di situ disebutkan mata uang itu harus bagaimana nominalnya atau bagaimana materilnya, bagaimana nilainya intrisiknya; Ø Bahwa dengan demikian maka pengaturan pada Pasal 23A yaitu pajak diatur dengan Undang-Undang adalah juga sejalan dengan pasal Undang-Undang yang diatur dalam tata urutan tersebut; Ø Bahwa pelaksanaan Pasal 23C, jelas di situ adalah hal-hal lain untuk mengatur mengenai keuangan negara diatur Undang-Undang. Mengenai keuangan negara termasuk pemungutan pajak semuanya dan sebagainya, dimana dalam Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Keuangan Negara, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 mengenai Keuangan Negara menyebut presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolanya dan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dan kekuasaan yang dimaksud dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan negara; Ø Bahwa Pasal 8 disebut dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pengelolaan fiskal tersebut Menteri Keuangan melakukan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang dan Pasal 9, Menteri pemimpin lembaga sebagai pengguna anggaran atau kementrian negara dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke kas negara. Jadi di situ juga ada pendelegasian baik kepada pemerintah, baik kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 17 UUD 1945 menyebut Pasal 4 ayat (1) Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 dan Pasal 5 ayat 134 (2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dan Pasal 17 ayat (1) Presiden dibantu oleh Menteri Keuangan; Ø Bahwa pengeluaran Peraturan Pemerintah dalam mengatur melaksanakan Undang- Undang adalah sejalan dengan Pasal 4, Pasal 5 UUD 1945 tersebut, dengan demikian tentu tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dimaksud oleh Pemohon; Ø Bahwa terkait dengan Pasal 23A, pasal-pasal yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon, khusunya mengenai penentuan tarif final atau tarif pajak; Ø Bahwa pada dasarnya tarif pajak itu ditentukan dengan Undang-Undang, yaitu Pasal 17 ayat (1) sudah jelas menurut kelipatan pajaknya, hanya memang dalam pengurangan ditentukan pajak itu akan diturunkan pajaknya yang sekarang maksimum 30% menjadi 25%. Penurunan itu yang didelegasikan kepada pemerintah sehingga tarif yang diharapkan bukan semakin naik pasti semakin turun, jadi semakin rendah, artinya beban pajak yang ditentukan kepada masyarakat akibat kewenangan yang diberikan kepada pemerintah tidak akan menambah beban pajak. Jadi kerugian nyata atau kerugian aktual tidak akan terjadi atas kewenangan dari pemerintah tersebut; Ø Bahwa Penentuan lapisan tarif juga sama di berikan kewenangan kepada pemerintah pusat lapisan tarif, dalam arti menikmati tarif yang lebih rendah dengan PKB yang lebih besar. Artinya akan mengurangi pajak bagi wajib pajak bukan menambah beban pajak; Ø Bahwa pajak fiskal luar negeri atau bagi orang pergi keluar negeri yang tidak memiliki nomor pokok diberikan pajak, itu adalah alternatif artinya apabila masyarakat menganggap dengan kena fiskal itu karena kewajiban maka sebenarnya sesuai ketentuan semua orang harus mendaftarkan diri,dengan mendaftarkan diri otomatis memang tidak akan kena fiskal luar negeri; Ø Bahwa sedangkan pemberian wewenang norma juga itu adalah alternatif, artinya bagi orang yang memilih alternatif tidak menyelenggarakan pembukuan maka tidak bisa dihitung penghasilan Nettonya, maka harus dibuatkan norma. Oleh karena itu apabila dengan diberikan kewenangan kepada pemerintah atau Dirjen Pajak menentukan norma Pemohon atau wajib pajak merasa dirugikan, maka akan mengikuti alternatif melaksanakan, menyelenggarakan pembukuan. Dimana pada prinsipnya Pasal 28 mengatakan seluruh wajib menyelenggarakan pembukuan, 135 tetapi karena memang bagi wajib pajak yang golongan kecil dianggap melaksanakan pembukuan dengan membutuhkan biaya maka diberikan alternatif boleh tidak menyelenggarakan pembukuan maka ditetapkan norma; Ø Bahwa norma tersebut bermacam-macam banyak sekali, untuk jenis pajak antara dokter spesialis dengan yang bukan spesialis normanya berbeda. Izin usaha yang satu dengan yang lain normanya berbeda. Berbeda harga pokok berbeda bahan mentah, berbeda pemilikan modal, berbeda treatment- nya maka normanya akan berbeda; Ø Bahwa kalau norma itu diatur dengan Undang-Undang bisa dikatakan bagaimana Undang-Undang harus berubah. Dengan pertimbangan itu maka diberikan pendelegasian kepada pemerintah tetapi apabila dengan wewenang yang diberikan didelegasikan norma itu kepada Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak atau Pemohon merasa dirugikan maka bisa mengambil alternatif dengan cara menyelenggarakan pembukuan. Karena pada prinsipnya seluruh wajib pajak menyelenggarakan pembukuan. Dengan menyelenggarakan pembukuan tentu tidak ada kerugian materil, tentu ada kerugian norma;
Ahli Pemerintah Prof. DR. Gunadi, M.SC. Ak. Ø Bahwa yuridiksi itu merupakan atribut dari kedaulatan, dan negara yang berdaulat mempunyai yusdiksi termasuk juridiksi pemajakan sehubungan dengan orang atau objek yang berada di wilayahnya; Ø Bahwa di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Indonesia menyuratkan yuridiksi pemajakan dalam konstitusinya. Sedangkan beberapa negara lain termasuk Inggris tidak. Walaupun demikian ketentuan pajak di Inggris juga mendasarkan pada prinsip legalitas dengan berpedoman pada yuridiksi no tax _without representation; _ Ø Bahwa sesuai dengan asas legalitas tersebut maka tidak ada pembayaran pajak atau beban lainnya tanpa adanya persetujuan berupa Undang-Undang oleh parlemen; Ø Bahwa prinsip tersebut merupakan salah satu pilar mekanisme sistem demokrasi dalam arti persetujuan yang diberikan para wakil pembayar pajak dalam parlemen dianggap sebagai garansi demokrasi atas pemajakan yang dipungut pemerintah; Ø Bahwa Undang-Undang Perpajakan merupakan peraturan yang sering mengalami perubahan karena mengikuti realita kehidupan ekonomi dan sosial serta lingkungan 136 termasuk sistem dan metode serta kebijakan pemajakan yang dinamis dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Walaupun dalam negara demokrasi ada doktrin pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan sesuai dengan asas legalitas, perpajakan harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa salah satu hal yang paling membingungkan yang dihadapi eksekutif dan legislatif adalah seberapa detail ketentuan yang harus diatur dalam Undang-Undang dan bagaimana distribusi kewenangan penyusunan perpajakan antara legislatif dan eksekutif; Ø Bahwa penerapan atas pertanyaan ini dapat berbeda untuk tiap negara tergantung kepada tradisi, kebiasaan, konstitusi, hukum administrasi praktik hukum tiap negara dan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak yang telah disetujui lembaga legislatif negara dimaksud. Kadangkala ketentuan dasar pengatur legalitas delegasi kewenangan, menyusun ketentuan perpajakan dapat bersifat elastis; Ø Bahwa membuat peraturan berbagai masalah yang memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak. Walaupun pada umumnya Undang-Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat memberikan peraturan pelaksanaan; Ø Bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dantata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø Bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukan adanya suatu ketidakpastian atau indefiniteness atau kekurang lengkapan dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intensive policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang. Dan proses demikian disebut flying in the general cost. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø Bahwa yurisdiksi pemajakan Indonesia disuratkan pada Pasal 23A UUD 1945 yagn berbunyi “p ajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara _diatur dengan undang-undang.”; _ Ø Bahwa __ dengan merujuk pada asas legalitas dalam UUD 1945 tersebut, disusunlah Undang-Undang Perpajakan termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai dasar hukum pemungutan pajak penghasilan 137 yang sampai sekarang sudah empat kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; Ø Bahwa sebagaimana terjadi di semua hampir negara pemungut pajak dan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 serta beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan itu sendiri atau praktik ketatanegaran dan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun semangat flying in the general cost terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak dalam masalah-masalah yang mungkin timbul, maka terdapat delegasi pengaturan dalam Undang-Undang kepada peraturan pemerintah Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak; Ø Bahwa secara konstitusional berdasarkan Pasal 5 ayat (2) untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, pemerintah diberi wewenang untuk membuat peraturan berdasarkan perintah dalam Undang-Undang. Karena itu pelimpahan wewenang pengaturan lebih lanjut pelaksanaan pajak penghasilan dalam UU PPh 2008 adalah pengaturan yang merupakan kebijakan delegasi kewenangan yang diinginkan atau intentional policy oleh para pembentuk Undang- Undang melalui prosedur dan proses yang valid dan _legitimate; _ Ø Bahwa melalui prosedur dan proses legislatif yang valid dan legitimate karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD 1945 Undang-Undang telah dibahas dan dapat persetujuan dari Pemerintah dan DPR sebagai representasi dari rakyat termasuk para pembayar pajak, walaupun dari segi materi suatu pengaturan pendelegasian tidak dapat mengubah materi yang ada dalam Undang-Undang, yang dijalankannya peraturan pemerintah adalah sarana yang disediakan UUD 1945 untuk menjalankan atau mengatur lebih lanjut atas satu atau beberapa ketentuan Undang-Undang; Ø Bahwa garis-garis besar ketentuan tersebut diatur di dalam Undang-Undang yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Namun, rinciannya atau garis kecilnya dibentuk oleh Pemerintah berdasar garis besar tanpa memerlukan persetujuan DPR lagi, yang telah menyetujui garis besarnya; Ø Bahwa dalam bahasa Pasal 23 UUD 1945 DPR sebagai representasi rakyat termasuk para pembayar pajak yang semua di sini terutama yang membayar PBB bersama Pemerintah telah melaksanakan ketentuan Pasal 23 UUD 1945 yaitu yang mengatur pungutan pajak penghasilan dengan Undang-Undang, yang antara lain telah terjadi pengaturan mengenai subjek, objek, tarif, sanksi, dan pungutan pajak 138 paling kurang dalam garis-garis besar, termasuk pelimpahan pengaturan pelaksanaan garis-garis besar tersebut di dalam peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa pengaturan berdasarkan pendelegasian demikian sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan dalam praktik ketatanegaraan maupun Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan; Ø Bahwa pendelegasian peraturan tersebut dapat dibenarkan berdasarkan pemikiran dalam menjalankan tata pemerintahan negara pengaturan tidak cukup hanya dengan Undang-Undang saja namun Undang-Undang dapat mendelegasikan kewenangan pengaturan kepada peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7) Undang-undang merupakan kebijakan tertulis dan bersifat makro, umum, dan mendasar karena itu UU PPh dapat mewujudkan arah dan pelaksanaan kebijakan pemajakan atas suatu kategori penghasilan di Indonesia. Berdasar strukturnya terdapat tiga tipe pemajakan atas penghasilan yaitu global, unitary atau synthetic income tax systems yaitu memajaki semua kategori penghasilan dari berbagai sumber dari satu formula tarif dengan schedular atau analytical income tax systems yaitu memajaki berbagai kategori penghasilan dari berbagai sumber dengan berbagai formula tarif yang berbeda dengan maksud pembedaan beban pemajakan atas capital atau passive income yang umumnya lebih berat dibandingkan dengan active income termasuk penghasilan dari kekaryaan dan dual sticks atau composite audit income tax _systems; _ Ø Bahwa definisi objek pajak atau penghasilan secara umum paling kurang terdapat dua konsep yaitu recent concept , konsep pertambahan kemampuan ekonomis yang komprehensif sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Yang kedua adalah source concept , ini konsep kanalisasi kategori penghasilan. Menurut beberapa sumber secara limitatif sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 huruf b ayat (1) Ordonansi Pajak Penghasilan 1944; Ø Bahwa di dalam UU PPh ini sekaligus ingin menerapkan dua konsep tadi, yaitu pemajakan secara global dan pemajakan secara scheduler , yaitu jenis-jenis penghasilan dikenakan satu formula tarif. Karena di dalam UU PPh ini dimunculkan Pasal 4 ayat (2) sehingga dengan demikian Pasal 4 ayat (2) ini merupakan suatu legal policy dan sekaligus internal policy daripada pembuat Undang-Undang untuk merumuskan sistem perpajakan tersebut; 139 Ø Bahwa aplikasi dari semangat flying the general cost ini terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak atas beberapa kategori objek pajak dan masalah lain besaran tarif pajak maka dimunculkan sekaligus delegasi peraturan kepada Peraturan Pemerintah dalam Pasal 17 ayat (7) yang garis-garis besarnya tarif ini ada dirumuskan di situ dengan ketentuan maksimal adalah sebesar tarif menurut Pasal 31 yaitu 30% orang pribadi dan 20% wajib pajak badan; Ø Bahwa sehubungan dengan validitas hukum terdapat tiga elemen yang harus dijelaskan. Yang pertama adalah justice atau keadilan, yang kedua legal , yang ketiga adalah ekspediansi atau kegunaan atau kemanfaatan; Ø Bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk peraturan pemerintah ini sekurang-kurangnya, berdasarkan prinsip ekspediensi yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid. Walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan; Ø Bahwa dikatakan belum sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan karena di dalam teori ada dua keadilan yaitu horisontal dan vertikal, walupun secara vertical lequited dapat diperdebatkan karena schedule tax system memang tujuannya adalah untuk memberikan sesuatu pembedaan pemajakan antara capital income termasuk bunga deposito dengan active income termasuk penghasilan dari jasa kekayaan; Ø Bahwa system final tax system pemajakakan dengan tarif tunggal sepadan dan final agar mudah dan sederhana memang sengaja mengesampingkan kompleksitas tarif progresif sebagai pewujudan dari prinsip vertical equaty , namun dari sisi horisontal equaty dan efisiensi of tax system ini schedule dengan tax system bagaimana diperkenalkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh,secara rasional dapat diterima; Ø Bahwa sehubungan dengan ketentuan di Pasal 4 ayat (2) huruf e yang menyebutkan penghasilan tertentu itu lainnya nampak pendelegasian itu bukannya tanpa batas; Ø Bahwa sebetulnya kepastian hukum dan terbatasnya ketentuan flying in the general cost dalam ayat tersebut dapat pada kata tertentu yang harus dibaca merujuk pada beberapa kriteria kategori penghasilan, yang dapat menjadi sasaran scheduler final _income tax system; _ 140 Ø Bahwa __ beberapa kriteria yang merupakan garis-garis besar ini ada di dalam penjelasan mengenai pajak penghasilan dapat mendorong investasi atas masyarakat; Ø Bahwa kesederhanaan pemungutan pajak atas penghasilan; Ø Bahwa efisiensi pemungutan pajak yaitu murahnya biaya administrasi dan kepatuhan pajak; Ø Bahwa pemerataan dalam pemungutan pajak dari semua wajib pajak penghasilan; Ø Bahwa terdapat pengaruh perkembangan ekonomi dan moneter dari pemajakan sebagaimana dimaksud. Dengan demikian hanya kategori penghasilan yang paling kurang memenuhi kelima syarat tersebut yang dibenarkan untuk dijadikan kategori penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh; Ø Bahwa kategori penghasilan selain yang memenuhi persyaratan 5 tadi harus dimasukan dalam kelompok kategori penghasilan komprehensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang menjadi sasaran dari _unitary tax system; _ Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) pemberian kelonggaran personal berupa pembebasan sejumlah penghasilan dari pengenaan pajak yang dihubungkan dengan wajib pajak dalam Pasal 7 UU PPh, yang dalam disebut sebagai penghasilan tidak kena pajak ini menunjukan karakteristik daripada penghasilan orang pribadi sebagai pajak obyektif personal; Ø Bahwa ada beberapa fungsi daripada P3P yang pertama adalah membebaskan kelompok small hard to tax income dari __ sistem PPh secara tidak langsung. Yang kedua efisiensi perpajakan dengan mengecualikan mereka dari pengenaan PPh dan NPWP serta serta menyampaikan SPT dan yang ketiga sistem pajak penghasilan membebaskan sebagian penghasilan sebesar dari semua wajib pajak orang pribadi dengan dari pengenaan pajak. Karena besaran PTKP akan mempengaruhi jumlah pajak yang terhutang bagi sebagian dan mengurangi penerimaan dan anggaran belanja negara sebesar penerimaan pajak dari sebagian yang lain, maka untuk kepastian hukum besaran nominal jumlah inisial TKP diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh; Ø Bahwa sedangkan perubahannya ini karena menyangkut bidang tugas dari Menteri Keuangan ini maka didelegasikan pada Menteri keuangan dan sekaligus dasar policy dari pembuat Undang-Undang untuk kesalahan tersebut. Namun garis-garis besarnya juga diatur di dalam Undang-Undang yaitu; yang pertama setelah konsultasi dengan DPR karena akan mempengaruhi jumlah penerimaan pajak dan 141 penerimaannegara, yang kedua mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter dan ketiga perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya; Ø Bahwa istilah perkembangan harga setiap tahunnya. Sepertinya membuka peluang besaran PTKP yang terjadi adalah perubahan kenaikan PTKP. Kenaikan PTKP ini akan mengurangi beban pajak, bukan menambah beban pajak masyarakat sehingga pengaturan kepada Menteri Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa mengenai Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) ini menyangkut norma penghasilan dapat disampaikan norma penghasilan ini adalah merupakan standar assesment {sic} yaitu tuntunan pada wajib pajak yang belum mampu untuk melaksanakan kewajiban pembukuan untuk melakukan kewajiban perpajakan dengan baik sesuai dengan prinsip self assesment. Dan ini karena namanya standar self assesment terkait. Jadi kemudahan kepada wajib pajak untuk tidak menggunakan pembukuan tapi harus menyelenggarakan catatan; Ø Bahwa dari catatan ini dirasa belum cukup memberikan suatu data dan informasi untuk menghitung penghasilan Netto kena pajak. Oleh karena itu penghasilan Netto kena pajaknya dihitung berdasarkan norma penghasilan, jadi sifatnya norma penghasilan ini memberikan satu kemudahan kepada wajib pajak; Ø Bahwa apa yang berlaku di sini adalah bukannya suatu pemajakan yang optimal tapi suatu adalah the theory of the second best . Jadi kalau tidak bisa terjadi pemajakan yang optimal maka dicarikan suatu kebijakan yang sub optimal, yaitu dengan pemberian norma penghitungan. Sehingga dengan demikian prinsip keadilan ini akan dikesampingkan. Jadi kalau wajib pajak ingin dapatkan keadilan yang penuh maka jangan memakai norma tetapi kembali kepada sistem yang pokok pada main row yaitu mengadakan pembukuan dan menghitung penghasilan kena pajaknya berdasarkan actual income menurut pembukuan. Dengan demikian akan tercapai adalah adanya suatu kesepakatan; Ø Bahwa karena norma ini setiap tahun perlu ada suatu perubahan sesuai dengan perubahan dan sebagainya, ini agak bersifat teknis maka kewenangan untuk mengadakan perubahan didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak dan ini juga sudah sesuai dengan kaidah pembuatan Undang-Undang karena sudah secara bersama-sama disetujui antara Pemerintah dan DPR dalam membuat Undang- Undang; 142 Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 19 ayat (2) ini merupakan suatu policy yang akan ditempuh oleh perpajakan apabila terjadi suatu devaluasi atau suatu summary. Jadi suatu inflasi yang jumlahnya cukup besar. Untuk menghadapai hal yang sebenarnya ini didelegasikan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan bidang pemerintahannya. Ini yang dilakukan sesuai dengan derevaluasi perketat dan indeksasi bea dan penghasilan; Ø Bahwa tarifnya sekaligus diberikan kepada wewenang kepada Menteri Keuangan, ini merupakan suatu intens policy dari para legislator dan di sini diberikan suatu garis-garis besar atau suatu kriteria yaitu tarifnya tersendiri tidak melebihi pajak tertinggi sebagaimana di maksud Pasal 19; Ø Bahwa di dalam teori ini akan terdapat suatu gejala tingkat inflasi ini akan menyebabkan keuntungan dari guidance ini __ akan menyebabkan suatu pembuncitan atau bouncing effect ini maka harus dihilangkan pembuncitan ini dengan suatu indeksasi; Ø Bahwa pendelegasian yang diberikan Menteri Keuangan itu kecenderungannya akan mengurangi jumlah penghasilan kena pajak sekaligus tarifnya juga dikurangkan untuk mengurangi over take action dari adanya suatu inflasi; Ø Bahwa delegasi pengaturan dalam Pasal 19 ayat (2) UU PPh ini sejalan dengan memberikan garis-garis besar yang jelas dan berpotensi pajak masyarakat; Ø Bahwa selain pengaturan tersebut legitimate juga dapat dikatakan tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena justru akan meringankan beban pajak masyarakat; Ø Bahwa dalam Pasal 25 ayat (8) ini sifatnya sanksi policy karena ini berlaku sampai dengan akhir tahun 2010 dan ini merupakan cara lain di dalam sistem perpajakan; Ø Bahwa pajak atas penghasilan berdasarkan prinsip ability to pay bisa diukur juga selain dari penghasilan juga dari expediture. Jadi di sini Pasal 25 ayat (8) itu memperkenalkan suatu sistem pemajakan berdasarkan _expediture; _ Ø Bahwa hakekatnya pajak ini bersifat optional karena dapat dihindari apabila yang berpergian dimaksud mendaftarkan diri untuk ber-NPWP. Dengan demikian ketentuan ini berpotensi tidak menimbulkan beban pajak sehingga bukan kompetensi Pasal 23A UUD 1945; Ø Bahwa seandainya yang bersangkutan dengan berbagai alasan kurang suka berurusan dengan NPWP sehingga suka membayar beban pajak secara sistematis menurut Pasal 24 ayat (1) mengenai Pajak ini bukan merupakan beban final tetapi 143 sebagai angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan,yang menurut Pasal 28 ayat (1) huruf e dapat dikreditkan dengan utang pajak yang bersangkutan dalam tahun pajak tersebut; Ø Bahwa dengan demikian pembayaran pajak menurut Pasal 25 ayat (8) merupakan bagian dari pungutan pajak penghasilan yang diatur dalam UU PPh Tahun 2008 atas kuasa Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa betapa kurang mudahnya untuk mengalami peraturan perundang-undang pajak sehingga sedikit orang dapat memahami peraturan perpajakan tetapi banyak orang mengetahui apa yang kurang benar dengan peraturan perpajakan;
Ahli Pemerintah Abdul Hakim Garuda Nusantara. S.H., LL.M. Ø Bahwa dalam surat permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa, pasal-pasal a quo dapat mengancam kehormatan, martabat dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1), padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal a quo memberikan delegasi wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR-RI; Ø Bahwa pasal-pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada setiap wajib pajak, itu berarti perlindungan tiap wajib pajak dari perlakuan sewenang-wenang dari aparat pemerintah, itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28D ayat (1). Dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; Ø Bahwa Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa hak-hak Pemohon sebagaimana tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) dilanggar; Ø Bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang wajib pajak mempunyai hak milik atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang- wenang. Pasal-Pasal a quo sekali lagi justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo , yang merupakan dasar hukum bagi 144 negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada wajib pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada wajib pajak yang didasarkan kepada undang- undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik wajib pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap wajib pajak. Karena itu Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan oleh MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Dirjen Pajak untuk mengenakan pajak kepada para wajib pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti, jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan esensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia utamanya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; Ø Bahwa berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” b. Pasal 28C ayat (1): “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” c. Pasal 28D ayat (2): “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” d. Pasal 27 (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” 145 e. Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3): “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.” g. Pasal 28I ayat (3): “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28I ayat (4): “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”; Ø Bahwa selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005; Ø Bahwa berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: - Hak atas pekerjaan, hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, hak-hak serikat pekerjaan, hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial, hak-hak keluarga, hak atas standar kehidupan yang layak, hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental, hak atas Pendidikan, hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Ø Bahwa dalam kutipan Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, negara, yakni pemerintah merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakan dan pemenuhan HAM, yaitu dalam hal ini hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; Ø Bahwa pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya; Ø Bahwa Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat; 146 Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak yang hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Pemerintah Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø Bahwa Pemohon mengajukan empat pasal dari UUD 1945, yaitu Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4); Ø Bahwa berkenaan dengan Pasal 23A teori-teori pajak sangat menunjang pasal ini karena pada intinya pajak itu sumber pembangunan untuk Pemerintah. Jadi dengan upaya paksa pemerintah dibolehkan untuk memungut pajak karena tanpa pajak tidak akan ada finance untuk public goods dan service seperti penerangan jalan maupun kebersihan secara umum; Ø Bahwa pemungutan pajak pada intinya bergantung pada pendapatan, jadi tidak mungkin orang yang tidak punya pendapatan akan dipajaki dan orang yang mempunyai pendapatan dengan tingkat pendapatan tertentu baru bisa dipajaki. Sedangkan Pasal 28D ayat (1) itu mengenai jaminan perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Perpajakan itu sudah ada jaminan perlindungan hukum bagi setiap warga negara; Ø Bahwa Pasal 28G ayat (1) itu intinya adalah hak atas rasa aman. Kalau ditelusuri hak atas aman itu sangat erat kaitannya dengan konsep-konsep yang tercantum dalam Undang-Undang Pidana khususnya KUHP dan sepuluh hak atas rasa aman yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Jadi di situ kaitannya adalah ketentuan-ketentuan pidana bagaimana seseorang rasa amannya terganggu karena ada ancaman pembunuhan, ada ancaman penganiayaan, ada ancaman kesusilaan, ada pencemaran nama baik, dan seterusnya. Jadi tidak ada kaitannya dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perpajakan; Ø Bahwa pajak itu masuk dalam kaitannya dengan hukum publik. Yang sangat menarik di situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif dan eksekutif selalu bekerja sama, dalam arti tidak 147 ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang bisa dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif menerbitkan undang-undang dengan materi dengan membentuk Undang-Undang dengan penciptaan hukum sedangkan eksekutif bisa menteri dengan materi dan menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; Ø Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 memberikan delegasi untuk mengatur lebih lanjut Undang-Undang Perpajakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktur Dirjen Pajak. Dari 15 pasal-pasal itu baru tujuh ada peraturan pelaksanaannya. Kemudian dari 15 itu juga, dua seharusnya tidak dimasukan dalam pengujian yaitu Pasal 17 ayat (2a) karena tidak mengatur lebih lanjut. Sedangkan Pasal 7 ayat (3) pernah dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada 20 Mei 2009; Ø Bahwa delegasi peraturan ada 19 (sembilan belas) ketentuan ternyata dari 19 (sembilan belas) ketentuan baru 4 (empat) PP yang terbit. Dan selanjutnya dapat mencermati Pasal 4 ayat (2), karena dari 15 pasal yang diajukan pengujian ini yang paling penting adalah Pasal 4 ayat (2) karena ini erat kaitannya dengan legal standing Pemohon. Apakah Pemohon melampirkan;
Penghasilan berupa bunga deposito tabungan, obligasi dan b. Surat utang negara, penghasilan berupa hadiah undian, c. Penghasilan dari transaksi saham dan seterusnya sampai d. Jadi legal standing Pemohon dapat terlihat titik tumpunya pada Pasal 4 ayat (2); Ø Bahwa delegasi peraturan berikutnya adalah melalui Peraturan Menteri Keuangan meliputi 31 ketentuan dan baru diterbitkan dua. Sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (2); Ø Bahwa pemerintah sebetulnya masih malas mengatur lebih lanjut, demikian juga delegasi peraturan menyebut Direktur Jenderal Pajak meliputi delapan ketentuan, baru terbit satu yaitu berdasarkan Pasal 14 ayat (1); Ø Bahwa dari seluruh peraturan pelaksana yang terbit, itu pun setelah dicermati lagi separuh atau sebagian besar terbit bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, artinya peraturan yang lahir lebih lama lagi; Ø Bahwa delegasi kewenangan itu memang penting sekali dalam pelaksanaan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan; 148 Ø Bahwa ada pleksibiliti, peraturan yang dibuat pemerintah lebih luwes dibanding peraturan yang dibuat badan legislatif. Kemudian juga ada time Phrasal {sic} pemerintah perlu segera melaksanakan berbagai urusan pemerintahan; Ø Bahwa dalam hukum pajak inilah sebenarnya diantara berbagai cabang hukum administrasi negara, maka hukum pajak adalah keterwakilan yang paling ke depan karena dia mencerminkan un an codified branch and civil law system. Karena akan terasa sekali dalam hukum pajak itu kebertingkatan atau hierarkis peraturan itu bisa diterapkan; [2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.6] Menimbang bahwa Pemerintah telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi dipersidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini. 149 3 . PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo ialah menguji konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893, selanjutnya disebut UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83) terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut; Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; 150 [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) UU 36/2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) [3.5] Menimbang bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia (Bukti P-3) yang juga adalah seorang akademikus (Bukti P-4) yang dikenakan beban kewajiban membayar pajak penghasilan sebagaimana yang diatur dalam UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83 Pemohon merasa sangat berkepentingan dan dirugikan hak konstitusionalnya oleh sejumlah materi/muatan dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo karena: • Pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk deposito yang diatur dalam PP Nomor 131 Tahun 2000; • Pemohon merasa berdosa telah mengajarkan sesuatu yang salah karena UU Pajak Penghasilan bertentangan dengan UUD 1945; • Pelimpahan pengaturan itu menyebabkan Pemohon tidak dapat menentukan atau mengatur sendiri (melalui DPR) mengenai pajak; • Jika ini dikabulkan maka warga negara tidak akan dirugikan; [3.6] Bahwa pasal-pasal a quo karena didelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka sangat merugikan Pemohon, yaitu hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 telah dilanggar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ). 151 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon: a. Pasal 4 ayat (2) _”Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ _a. penghasilan berupa bunga deposito ...; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian ...; _ _c. penghasilan dari transaksi saham ...; _ _d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta ...; dan _ _e. penghasilan tertentu lainnya; _ yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” __ b. Pasal 17 ayat (7) __ ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” c. Pasal 7 ayat (3) __ ”Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.” d. Pasal 14 ayat (1) __ ”Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan Netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” e. Pasal 14 ayat (7) __ ”Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.” f. Pasal 17 ayat (2) __ ”Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” __ __ 152 g. Pasal 17 ayat (2) huruf a __ ”Menurunkan tarif pajak tertinggi menjadi paling rendah 25% dengan Peraturan Pemerintah.” h. Pasal 17 ayat (2) huruf c __ ”Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.” i. Pasal 17 ayat (2) huruf d: __ ”Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.” j. Pasal 17 ayat (3): ”Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.” k. Pasal 19 ayat (2): ”Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).” l. Pasal 21 ayat (5): ”Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.” m. Pasal 22 ayat (1) huruf c: ”Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.” n. Pasal 22 ayat (2): ”Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.” __ __ __ 153 o. Pasal 25 ayat (8): ”Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal-pasal tersebut di atas telah menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon karena: • Penetapan pajak harus dengan Undang-Undang bukan dengan peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak); • Tidak memenuhi unsur materi pajak, karena peraturan di bawah Undang- Undang tidak dapat menetapkan subjek, objek, beban dan sanksi pajak; • Pengenaan pajak tanpa persetujuan DPR adalah perampokan, karenanya harus diatur dalam Undang-Undang; • PP 131/2000 tidak adil karena tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin; • Pangaturan tarif pajak dengan PP tidak menjamin kepastian hukum yang adil; Pasal-pasal tersebut di atas bertentangan dengan UUD 1945: • Pasal 23A __ ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur _dengan Undang-Undang”; _ • Pasal 28D ayat (1) ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” ; • Pasal 28G ayat (1) __ ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat _sesuatu yang merupakan hak asasi”; _ • Pasal 28H ayat (4) __ ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak _boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”; _ __ 154 [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-5) dan dua orang ahli, yaitu Drs. Abi Kusno, M.M. dan Prof. Dr. Mohammad Zein yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Ahli Drs. Abi Kusno, MM. Ø bahwa berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-Undang. Tetapi memang secara eksplisit tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara penetapannya. Masalah yang dihadapi sekarang, Undang-Undang Pajak yang berlaku adalah Undang- Undang yang terbaru tahun 2008 yang memberikan pendelegasian wewenang yang sangat besar kepada Pemerintah untuk menetapkan tarif pajak, subjek pajak dan objek pajak, karena kewenangan ini sangat luas diberikan kepada Pemerintah, inilah yang dapat menimbulkan kerugian seperti yang disebutkan oleh Pemohon;
Ahli Prof. Dr. Mohammad Zein Ø bahwa keadilan dalam perpajakan itu adalah masalah pertimbangan nilai (value judgement), sehingga tidaklah mungkin untuk melakukan suatu scientific validity terhadap keadilan. Dalam Undang-Undang Perpajakan terlihat lebih banyak diatur oleh Pemerintah, karena DPR seolah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur segala sesuatunya. Pengaturan itu, karena keadaan, tidak disertai rambu- rambu yang jelas. Hal yang dianggap kurang adil adalah pajak penghasilan yang final, seolah-olah wajib pajak hilang haknya untuk menghitung pajak berdasarkan pembukuannya. Hal ini tidak dipersoalkan apakah wajib pajak memperoleh laba atau rugi, tetap saja harus bayar pajak. Bahwa wajib pajak kehilangan haknya untuk melakukan pengkreditan pajak-pajak yang dibayarkan terlebih dahulu; [3.9] Menimbang bahwa Pemerintah menyadari bahwa yang akan diuji adalah terbatas pada apakah suatu Undang-Undang, sebagian atau seluruhnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak; khususnya apabila pengujian yang dimohonkan adalah pengujian isi atau muatan Undang-Undang, atau yang disebut sebagai pengujian materiil, seperti permohonan pengujian yang sedang diajukan oleh Pemohon. 155 Rumusan Undang-Undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka dan garis besar kebijakan yang bersifat mendasar dalam menjalankan roda dan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pengaturan yang lebih lanjut dari suatu kebijakan dalam Undang-Undang diatur oleh Pemerintah atau lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya dalam bentuk peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Namun karena kewenangan legislatif itu pada intinya ada di tangan rakyat yang berdaulat maka kewenangan untuk membentuk peraturan pelaksana Undang-Undang juga harus dipahami berasal dari rakyat. Untuk itu Pemerintah dan lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya tidak menetapkan sesuatu peraturan perundang-undangan apapun kecuali atas dasar perintah atau delegasi kewenangan mengatur yang diberikan oleh DPR melalui Undang-Undang. Dapat dipahami bersama UU 36/2008 juga dibuat oleh DPR yang merupakan representasi dari seluruh warga negara bersama dengan Pemerintah yang telah menyepakati adanya pendelegasian kewenangan atributif kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang termasuk melalui pasal-pasal yang saat ini diajukan pengujian materinya; UU 36/2008 juga sama sekali tidak memuat suatu larangan ataupun pengurangan hak dari wakil-wakil Pemohon di DPR untuk mengatur mengenai pajak. Oleh karena itu sangat tidak beralasan apabila Pemohon menyatakan bahwa pasal- pasal UU 36/2008 yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu pelimpahan wewenang lebih lanjut oleh UU 36/2008 in casu tentang pengaturan perpajakan adalah norma yang merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang yang tidak dapat diuji kecuali dalam pembahasannya terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku atau semena-mena ( detournement de pouvoir ); [3.10] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemerintah mengajukan Ahli yang memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut: 156 1. Ahli Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. Ø bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan diskresi. Bagi yang berwenang dalam bidang ini mempunyai pilihan untuk menentukan isi yang berkaitan dengan tarif, akan tetapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945, sedangkan yang dipermasalahkan oleh Pemohon terhadap PP Nomor 131 Tahun 2000, dalam hal ini yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD 1945;
Ahli Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR. Pasal 20 UUD 1945 menyatakan bahwa DPR mempunyai hak budget dan mempunyai hak legislasi, atau sebagai pembentuk Undang-Undang. Pelaksanaan kewenangan DPR untuk membentuk Undang-Undang tentu sudah didasarkan pada kajian atas segala dampak dan kemungkinan, sehingga dilaksanakanlah pendelegasian tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ( sic ). Oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dari Undang-Undang kepada Pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;
Ahli Prof. Dr. Gunadi, M.Sc. Ak. Ø bahwa pembuatan peraturan untuk berbagai masalah memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak, walaupun pada umumnya Undang- 157 Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat membuat peraturan pelaksanaan; Ø bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dan tata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukkan adanya suatu ketidakpastian ( indefiniteness ) atau kekuranglengkapan ( incompleteness ) dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intentional policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang dan proses demikian disebut flying in the general clause. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk Peraturan Pemerintah ini sekurang-kurangnya berdasarkan prinsip ekspediensi, yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan, serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid, walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan;
Ahli Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M. Ø bahwa bila pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak, dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak. Hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia, yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø bahwa hukum pajak itu masuk dalam kelompok hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal yang sangat menarik, di 158 situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) selalu bekerja sama, dalam arti tidak ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang dapat dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif membentuk Undang-Undang dengan menciptakan hukum baru, sedangkan eksekutif, misalnya menteri, dapat menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; [3.11] Menimbang bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukan menguji Peraturan Pemerintah. Oleh karena permohonan Pemohon adalah keberatan terhadap Peraturan Pemerintah maka permohonan Pemohon yang berkenaan dengan Peraturan Pemerintah tidak termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi; Pendapat Mahkamah [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa dan menilai bukti-bukti surat serta keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah serta kesimpulan Pemohon dan Pemerintah yang diterima Mahkamah, maka Mahkamah akan mempertimbangkan dua isu hukum yaitu: • Apakah pendelegasian wewenang penetapan pajak oleh Undang-Undang kepada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan hukum; • Apakah kerugian konstitusional Pemohon diakibatkan oleh bentuk peraturannya yang bukan Undang-Undang ataukah karena substansi peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang; [3.13] Menimbang bahwa sebelum menjawab dua isu pokok tersebut di atas Mahkamah akan mengemukakan tugas dan kewajiban negara kesejahteraan ( welfare state ) atau negara hukum materiil serta dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat. Bahwa fungsi hukum dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umum telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 159 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ”; Terdapat dua hal penting dalam kutipan tersebut di atas, yaitu prinsip ‘ the rule of law ’ dan prinsip ‘fungsi hukum’ ( legal function ). Masalahnya adalah bagaimana dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, kedua prinsip tersebut dapat berjalan seimbang, artinya dalam masyarakat yang serba kompleks ini prinsip the rule of law tetap menjadi landasan dalam upaya mencapai tujuan negara yang harus memenuhi kepentingan umum secara efisien, cepat dan pantas ( sensibly ). The welfare and regulatory state is state commited to programs, government is a problem solver, as well as the guardian of law. Kenyataannya, semakin negara dapat memenuhi tuntutan ( demands) masyarakat semakin bertambah pula tuntutan masyarakat yang acap kali tidak seimbang dengan kemampuan negara untuk memenuhinya ( state action creates expectation, demands increase faster than the systems’s ability to meet them ). Harapan masyarakat tumbuh secara konstan. Pola pertumbuhan ekspektasi masyarakat seperti halnya pola pertumbuhan kepentingan sangat sulit berubah, hal ini seringkali menuju pada situasi keadaan kritis sehingga ‘ modern welfare state is ungovernable’ . Meningkatnya harapan masyarakat secara eksesif tidak selalu dapat dipenuhi oleh negara, seiring pula dengan tidak selalu tersedianya kebutuhan negara akan peraturan perundang-undangan sebagai sarana dan landasan pemenuhan tuntutan masyarakat tersebut. Seringkali lahir suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah mendahului lahirnya Undang-Undang, misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah lahir lebih dahulu dari Undang-Undang tentang Hak Milik. Padahal baik ketentuan pembebasan tanah maupun pengadaan tanah seringkali menyangkut hak milik atas tanah yang seharusnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria. Hal itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah ( delegated regulations ), maka tercapainya tujuan ( doelmatigheid ) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan 160 dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum; [3.14] Menimbang bahwa ketentuan hukum dalam Peraturan Pemerintah harus tetap memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, antara lain tidak boleh melanggar asas keterbukaan, kepastian hukum, dan keadilan. Bahwa kerugian yang Pemohon alami dengan diberikannya kewenangan oleh UU 36/2008 kepada Pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak adalah karena Pemohon sebagai warga negara (melalui DPR) tidak dapat menentukan pengaturan atas pajak sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945 tidak beralasan hukum. Pembuatan Peraturan Pemerintah pun tidak lepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemohon sendiri sebagai warga negara tidak dapat langsung menentukan pajaknya, karena yang mempunyai wewenang legislasi adalah Dewan Perwakilan Rakyat; [3.15] Menimbang bahwa atas dasar pemikiran demikian, maka Mahkamah menilai: __ [3.15.1] Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum. [3.15.2] Bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada 161 suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh ketentuan yang lebih rendah yang otoriter ( nucleus of norms, be surrounded by corona of highly oppressive norms, imposed upon the people as a whole). Misalnya, kebebasan pers seperti yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat diberangus dengan Keputusan Menteri jika kepentingan penguasa terganggu ( press censorship ). Namun di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review , sehingga seandainya pun terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil ( judicial review ) kepada Mahkamah Agung; [3.16] Menimbang pula bahwa Mahkamah sependapat dengan ahli Philipus M Hadjon yang menyatakan bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang wajar apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan adalah suatu diskresi. Bagi Pemerintah yang memperoleh kewenangan untuk memilih kebijakan yang berkaitan dengan tarif melalui delegasi, akan tetapi bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945. Dengan demikian pasal-pasal yang diujikan konstitusionalitasnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28G ayat (1) sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan penilaian hukum pada paragraf [3.12] dan paragraf [3.15] , maka menurut Mahkamah dalil Pemohon tidak beralasan hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) ; 162 [4.3] Dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, M. Arsyad Sanusi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota pada hari Rabu tanggal tiga bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal sebelas bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ina Zuchriyah Tjando sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan tanpa dihadiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd M. Akil Mochtar 163 ttd. Maria Farida Indrati ttd Muhammad Alim ttd Harjono ttd tt Ahmad Fadlil Sumadi ttd Hamdan Zoelva Panitera Pengganti ttd Ina Zuchriyah Tjando
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Penerusan Pinjaman.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
Sistem Akuntansi dan Pelaporan Penerusan Pinjaman, selanjutnya disingkat SA-PPP, adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pengakuan, pencatatan, pengikhtisaran, serta pelaporan penerusan pinjaman Pemerintah. 2. Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama. 3. Arsip Data Komputer, selanjutnya disingkat ADK, adalah arsip data berupa disket atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya.
Bagan Akun Standar, selanjutnya disingkat BAS, adalah daftar perkiraan buku besar yang ditetapkan dan disusun secara sistematis untuk memudahkan perencanaan dan pelaksanaan anggaran serta pembukuan dan pelaporan keuangan Pemerintah.
Pembiayaan ( financing ) adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun anggaran berikutnya, yang dimaksudkan untuk menutup defisit atau memanfaatkan surplus anggaran.
Piutang Penerusan Pinjaman adalah aset yang dimiliki Pemerintah sehubungan dengan adanya penerusan pinjaman dan/atau hibah yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri kepada Pemerintah Daerah (Pemda)/Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)/penerima penerusan pinjaman lainnya yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran masuk sumber daya ekonomi Pemerintah.
Nilai Tercatat ( carrying amount ) Piutang adalah nilai buku piutang dikurangi atau ditambah dengan pelunasan piutang atau penambahan piutang.
Nilai Bersih Yang Dapat Direalisasikan ( net realizable value ) adalah nilai buku piutang setelah dikurangi alokasi penyisihan piutang tak tertagih.
Selisih Kurs adalah selisih yang timbul karena penjabaran mata uang asing ke dalam mata uang rupiah pada kurs yang berbeda.
Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.
Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/ pengguna barang yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan penyusunan laporan keuangan.
Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih Entitas Akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.
Laporan Realisasi Anggaran, selanjutnya disingkat LRA, adalah laporan yang menyajikan informasi realisasi pendapatan, belanja, transfer, surplus/defisit dan pembiayaan, dan sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran yang masing-masing dibandingkan dengan anggaran dalam satu periode.
Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan Pemerintah yaitu aset, utang, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.
Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
Unit Akuntansi Bendahara Umum Negara, selanjutnya disingkat UABUN, adalah unit akuntansi pada Kementerian Keuangan yang melakukan koordinasi dan pembinaan atas kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara dan melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara, selanjutnya disingkat UA-PBUN, adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara, selanjutnya disingkat UAKPA-BUN, adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan tingkat satuan kerja di lingkup Bendahara Umum Negara.
Daftar Umur Piutang adalah daftar piutang penerusan pinjaman yang dibuat berdasarkan rencana penerimaan pengembalian pokok pinjaman dan diklasifikasikan per tahun yang akan diterima.
Naskah Perjanjian Penerusan Pinjaman, selanjutnya disingkat NPPP, adalah naskah perjanjian untuk penerusan pinjaman yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri antara Pemerintah dan penerima penerusan pinjaman.
Notice of Disbursement, selanjutnya disingkat NOD, adalah dokumen realisasi penarikan pinjaman dan/atau hibah yang diterima dari pemberi pinjaman luar negeri.
Debt Swap to Investment adalah penghapusan tunggakan non pokok pada penerusan pinjaman melalui pertukaran sebagian tunggakan non pokok dengan kewajiban untuk mendanai kegiatan sarana dan prasarana yang dibiayai dengan dana belanja modal yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Penghapusan Bersyarat adalah penghapustagihan sebagian atau seluruh tagihan non pokok kepada BUMD/Pemda selama 2 (dua) tahun.
Write-Off adalah proses penghapusan hak tagih atau upaya tagih secara perdata atas suatu piutang.
Write-Down adalah penghapusbukuan nilai piutang dari catatan akuntansi.
Dana Perimbangan
Relevan terhadap
Ayat (1) Kebutuhan fiskal dihitung dengan menggunakan rumus: X Total Belanja Daerah Rata-rata α 1 indeks jumlah penduduk + α 2 indeks luas wilayah + α 3 indeks kemahalan konstruksi + α 4 indeks pembangunan manusia + α 5 indeks PDRB per kapita Ayat (2)... α 1 , α 2 , α 3 , α 4 , dan α 5 merupakan bobot masing-masing indeks yang ditentukan berdasarkan hasil uji statistik. Kedua parameter dimaksud dipergunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kesenjangan kemampuan keuangan antardaerah dalam rangka pendanaan pelaksanaan Desentralisasi. Semakin kecil nilai indeks, semakin baik tingkat pemerataan kemampuan keuangan antardaerah. Total Belanja Daerah Rata- Rata Belanja Pegawai + Belanja Barang+ Belanja Modal = Jumlah provinsi atau kabupaten/kota Dalam penghitungan Total Belanja Daerah Rata-rata tidak dimasukkan data belanja daerah yang jauh di atas dan/atau di bawah rata-rata ( outlier ), agar lebih mencerminkan tingkat kewajaran total belanja rata- rata daerah. Indeks jumlah penduduk dihitung dengan rumus: Indeks jumlah penduduk daerah i Jml penduduk daerah i Rata-rata jml penduduk secara Nasional = Indeks luas wilayah dihitung dengan rumus: Indeks luas wilayah daerah i Luas wilayah daerah i Rata-rata luas wilayah secara Nasional = Indeks kemahalan konstruksi dihitung dengan rumus: Indeks kemahalan konstruksi daerah i Indeks kemahalan kons. daerah i Rata-rata kemahalan kons. secara Nasional = Indeks pembangunan manusia dihitung dengan rumus: Indeks IPM daerah i Rata-rata IPM secara Nasional Indeks pemb. man daerah i = Indeks PDRB per kapita dihitung dengan rumus: Indeks PDRB per kapita daerah i PDRB per kapita daerah i Rata-rata PDRB per kapita Nasional = yat (2) penghitungan kapasitas fiskal: Asli daerah + Dana Bagi Hasil Pasal 45 (1) utuhan Fiskal = Rp150miliar iskal – Kapasitas Fiskal r AU AU Ayat toh perhitungan: Kebutuhan Fiskal sama dengan Kapasitas Fiskal iskal – Kapasitas Fiskal AU AU Ayat (3) m hal celah fiskal negatif maka jumlah DAU yang diterima iskal – Kapasitas Fiskal iliar AU Ayat (4) toh perhitungan: Celah Fiskal (negatif) melebihi Alokasi Dasar Alokasi... A Cara Kapasitas Fiskal = Pendapatan Ayat Keb Kapasitas Fiskal = Rp100miliar Alokasi Dasar = Rp50miliar Celah Fiskal = Kebutuhan F = Rp150miliar – Rp100miliar = 50 milia D = Alokasi Dasar + Celah Fiskal Total D = Rp50miliar + Rp50miliar = Rp100miliar (2) Con Kebutuhan Fiskal = Rp100miliar Kapasitas Fiskal = Rp100miliar Alokasi Dasar = Rp50miliar Celah Fiskal = Kebutuhan F = Rp100miliar – Rp100miliar = 0 D = Alokasi Dasar + Celah Fiskal Total D = Rp50miliar + Rp0miliar = Rp50miliar Dala Daerah adalah sebesar Alokasi Dasar setelah diperhitungkan dengan celah fiskalnya. Contoh perhitungan: Kebutuhan Fiskal = Rp100miliar Kapasitas Fiskal = Rp125miliar Alokasi Dasar = Rp50miliar Celah Fiskal = Kebutuhan F = Rp100miliar – Rp125miliar = Rp-25m (negatif) DAU = Alokasi Dasar + Celah Fiskal Total D = Rp50miliar + (- Rp25miliar) = Rp25miliar Con Kebutuhan Fiskal = Rp100miliar Kapasitas Fiskal = Rp175miliar AU n menjadi Rp0 (nol) pabila dalam proses pengalokasian DAU ada daerah yang CF-nya Pasal 46 up jelas. Pasal 47 (1) up jelas. Ayat galokasian DAU tambahan menggunakan formula DAU dan data Pasal 48 p jelas. Pasal 49 p jelas. Pasal 50 p Jelas Pasal 51 (1) iatan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah mengutamakan Ayat (2)... A Celah Fiskal = Kebutuhan F = Rp100miliar – Rp175miliar = -Rp75m (negatif) DAU = Alokasi Dasar + Celah Fiskal Total D = Rp50miliar + (-Rp75miliar) = -Rp25miliar atau disesuaika A negatif dan nilai negatif tersebut lebih besar dari AD, dilakukan penyesuaian sehingga daerah tersebut akan menerima DAU sama dengan nol atau tidak mendapatkan DAU. Dengan penyesuaian tersebut, maka total DAU yang dialokasikan secara nasional akan melebihi pagu yang ditetapkan. Untuk menyamakan dengan pagunya, selisih tersebut akan dkurangkan secara proporsional terhadap DAU yang sudah dialokasikan ke daerah. Cuk Ayat Cuk (2) Pen penghitungan DAU tahun anggaran berjalan. Cuku Cuku Cuku Ayat Keg kegiatan pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang. Pasal 52 (1) cana Kerja Pemerintah merupakan hasil Musyawarah Ayat up jelas. Ayat up jelas. Pasal 53 up jelas. Pasal 54 p jelas. Pasal 55 (1) Ayat ks fiskal netto dirumuskan: N i = (PU i, t-2 - BP i, t-2 ) = 1, 2,..., N al Netto daerah i t-2 m (PAD+(DBH-DBH DR)+DAU) daerah i, BP i , t-2 = Belanja Pegawai (Gaji PNSD) daerah i, pada waktu t-2... mampuan keuangan daerah = Penerimaan umum APBD – Belanja PNSD Cuk (3) Cuk Ayat Ren Perencanaan Pembangunan Nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional tersebut diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintah (Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota). (2) Cuk (3) Cuk Cuk Cuku Ayat Ke Penerimaan umum APBD = PAD + DAU + (DBH – DBHDR) (2) Inde FN FN i i ∑ FN N FN IFN i i = × = F i IFN i = Indeks Fisk FN i = Fiskal Netto daerah i N = Jumlah Daerah PU i , = Penerimaan Umu pada waktu t-2 Ayat (3) yat (3) up jelas. Ayat up jelas. Pasal 56 (1) f a lnya UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Huru oh karakteristik daerah antara lain adalah daerah pesisir Ayat (2) s kewilayahan dirumuskan: N = jumlah daerah ristik wilayah daerah i epulauan khusus ini ditetapkan setiap tahun oleh pemerintah sesuai Pasal 57 p jelas. Pasal 58 uran Menteri Keuangan mengenai alokasi DAK per daerah ditetapkan Pasal 59 1) up jelas. Ayat (2)... A Cuk (4) Cuk Ayat Huru Misa Provinsi Papua dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. f b Cont dan kepulauan, daerah perbatasan darat dengan negara lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yang termasuk rawan banjir dan longsor, serta daerah yang termasuk daerah ketahanan pangan. Indek KW KW N ) ) X .... X X ( IKW i i N 2 1 = × + + + = ) X .... X X ( i 2 1 i N + + + ∑ IKWi = Indeks Kharake X 1 = daerah perbatasan X 2 = daerah pesisir dan k Kriteria dengan kebijakan pembangunan nasional pada tahun anggaran bersangkutan. Cuku Perat paling lambat 2 (dua) minggu setelah UU APBN ditetapkan. Ayat ( Cuk yat (2) unjuk Teknis Penggunaan DAK ditetapkan paling lambat 2 (dua) Pasal 60 p jelas. Pasal 61 (1) ajiban penyediaan Dana Pendamping menunjukkan komitmen Ayat g dimaksud kegiatan fisik adalah kegiatan diluar kegiatan Ayat g dimaksud daerah dengan kemampuan keuangan tertentu Pasal 62 p jelas. Pasal 63 (1) mat laporan diatur lebih lanjut oleh menteri terkait. Ayat up jelas. Ayat kanisme penundaan penyaluran DAK diatur lebih lanjut dalam Ayat up jelas. Pasal 64 p jelas. asal 65 p jelas. Pasal 66... A Pet minggu setelah penetapan alokasi DAK oleh Menteri Keuangan. Cuku Ayat Kew daerah terhadap bidang kegiatan yang didanai dari DAK yang merupakan kewenangan daerah. (2) Yan administrasi proyek, kegiatan penyiapan proyek fisik, kegiatan penelitian, kegiatan pelatihan, kegiatan perjalanan pegawai daerah, dan kegiatan umum lain yang sejenis. (3) Yan adalah daerah yang selisih antara penerimaan umum APBD dan Belanja Pegawainya sama dengan 0 (nol) atau negatif. Cuku Ayat For (2) Cuk (3) Me Peraturan Menteri Keuangan. (4) Cuk Cuku P Cuku Pasal 67 p jelas. Pasal 68 p jelas. Pasal 69 ) up jelas. Ayat mula DAU digunakan mulai tahun anggaran 2006, tetapi sampai tahun anggaran 2007 apabila DAU untuk provinsi Pasal 70 jelas. Pasal 71 jelas. Pasal 72 jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4575 Cuku Cuku Cuku Ayat (1 Cuk (2) For dengan tahun anggaran 2007 alokasi DAU yang diberlakukan untuk masing-masing daerah ditetapkan tidak lebih kecil dari tahun anggaran 2005. Sampai dengan tertentu lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada provinsi yang bersangkutan dialokasikan Dana Penyesuaian yang besarnya sesuai dengan kemampuan dan perekonomian negara. Cukup Cukup Cukup
Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usah Milik Negara.
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kesehatan.