Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengujian UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang [Pasal 16 ayat (1)] ...
Relevan terhadap
Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali; 27 (2) Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat debitor. Pasal 69 ayat (2) Dalam melaksanakan tugasnya, kurator a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu organ Debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan;
Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Pemerintah dapat menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa pada dasarnya pengaturan tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang dimaksudkan:
untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang bersamaan terdapat beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;
untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;
untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor;
Bahwa sejak tanggal diucapkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, maka debitor demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus seluruh aset harta kekayaannya, disisi lain tuntutan hukum yang diajukan oleh kreditor terhadap debitor guna memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta debitor juga gugur [ vide Pasal 21, Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang], walaupun terhadap harta kekayaan debitor sejak didaftarkan pailit oleh kreditor 28 dapat dilakukan penyitaan ( vide Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang);
Bahwa dalam keadaan seperti tersebut di atas, maka diperlukan sarana/lembaga untuk melindungi kepentingan debitor dan kreditor, Undang-Undang aquo menyediakan sarana dimaksud yaitu Kurator, yang bertugas untuk melakukan pengurusan/pemberesan seluruh harta kekayaan debitor, tindakan demikian dimaksudkan untuk melindungi kepentingan hukum debitor maupun kreditor, dengan demikian ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, menurut Pemerintah justru berfungsi sebagal penyeimbang kepentingan berbagai pihak, yaitu dengan tujuan agar tidak menimbulkan kerugian terhadap debitor dan tidak memberikan perlakuan yang tidak semestinya kepada para kreditor;
Bahwa pengurusan/pemberesan harta kekayaan debitor oleh Kurator sejak diucapkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian akan terpenuhinya hak-hak kreditor atas harta kekayaan debitor, menurut Pemerintah jika pengurusan/pemberesan harta pailit tersebut dilakukan setelah putusan pailit tersebut telah mempunyai kekuataan hukum mengikat (inkracht van gewijsde) maka kepentingan kreditor untuk memperoleh hak-haknya tidak akan terlindungi, karena selama proses upaya hukum (kasasi maupun peninjauan kembali) yang dimohonkan oleh debitor pailit, dapat saja terjadi tindakan-tindakan curang yang dapat merugikan kepentingan kreditor. Misalnya debitor mengalihkan tagihannya kepada afiliasinya, melakukan pembayaran hutang kepada kreditor yang merupakan afiliasinya atau mengalihkan harta kekayaannya kepada pihak afiliasinya dengan harga yang relatif lebih murah, dan lain sebagainya; Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Pemerintah berpendapat bahwa dalil- dalil yang dikemukakan oleh Pemohon yang menyatakan telah timbul kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah nyata-nyata tidak terjadi balk secara faktuai maupun potenslal. Jikalaupun anggapan Pemohon tersebut benar adanya, maka kerugian yang didalilkan oleh Pemohon semata-mata berkaitan dengan implementasi norma dalam tatanan praktik, yaitu dalam proses penegakan hukum dan pelaksanaan putusan pailit yang dilakukan oleh Kurator yaitu dalam rangka melaksanakan pengurusan/pemberesan harta debitor pailit guna memenuhi hak- hak para kreditor, karena itu menurut Pemerintah ketentuan aquo justru bertujuan untuk memberikan keseimbangan dan keadilan, baik terhadap debitor maupun 29 kreditor (stabili ty of interest), juga ketentuan aquo telah mewujudkan adanya kepastian hukum terhadap pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit, sehingga menurut Pemerintah ketentuan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesimpulan Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagal berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing ) __ 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet _ontvankelijk verklaard); _ 3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa DPR RI pada tanggal 15 Maret 2010 memberikan keterangan tertulis yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Ketentuan Pasal UU Kepailitan yang dimohonkan uji materiil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemohon dalam Permohonan a quo mengajukan uji materiil Ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan, yang berbunyi: 30 ‐ Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2): (1) Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali _; _ (2) Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya Kasasi dan Peninjauan Kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana dimaksud _dalam Pasal 17 tetap sah dan mengikat debitur; _ ‐ Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b: _(2) Dalam hal melakukan tugasnya, kurator: _ a. tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan. b. dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: Pasal 28D ayat (1): (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28H ayat (4) UUD 1945: “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun” B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 16 AYAT (1) DAN AYAT (2), PASAL 69 HURUF A DAN HURUF B UU KEPAILITAN 31 Pemohon dalam permohonan a quo , mengemukakan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 huruf a dan huruf b, yaitu sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 10 angka 1 berpendapat, “dengan dijatuhkannya Putusan Perkara Pailit Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST. tanggal 14 Oktober 2009, sekalipun Putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap, namun karena luasnya kewenangan Kurator yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan sehingga berpotensi penyalahgunaan wewenang oleh kurator, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian besar dan hilangnya hak-hak dasar debitor pailit, seluruh karyawan dan pihak terkait lainnya, keadaan mana merupakan pelanggaran hak konstitusional pemohon”. 2. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 10 angka 4 berpendapat, “kedudukan Debitor Pailit dengan adanya Pasal 16 ayat (1) sangat lemah, karena meskipun debitor pailit mengajukan kasasi atau peninjauan kembali terhadap putusan pailit, kurator tetap dapat melaksanakan pemberesan harta pailit, sehingga tidak ada kepastian _hukum hal mana bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945”; _ 3. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 11 angka 6 berpendapat, “Kurator sangat berpotensi menyalahgunakan kewenangannya dalam Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan, di mana kurator bebas menentukan kehendaknya sendiri dan tidak terbatas dalam hal menjual, menyewakan, melelang, menjaminkan harta pailit, dan menentukan harga atas harta debitor pailit, hal ini bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun” ; C. Keterangan DPR-RI. Terhadap dalil-dalil Para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo dapat dijelaskan sebagai berikut :
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 32 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan _Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara.” Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “ yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak- hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak konstitusional”. Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Batasan mengenai kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 33 (lima) syarat ( vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon. Menanggapi permohonan Pemohon a quo , DPR RI berpandangan bahwa meskipun Pemohon memiliki kualifikasi sebagai subjek hukum dalam permohonan a quo sesuai Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun merujuk ukuran kerugian konstitusional yang dibatasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007), Pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktikan secara aktual kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak terdapat causal verband kerugian yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan Pasal Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. Adapun pandangan DPR terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon yaitu:
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan korator berpotensi menyalahgunakan kewenangannya , karena memliki kewenangan yang luas sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 huruf a dan huruf b UU Kepailitan, sehingga mengakibatkan kerugian konstitusional Pemohon , DPR berpandangan, 34 hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan penerapan norma dalam pelaksanaan UU Kepailitan;
Bahwa dalam penerapan norma UU Kepailitan, masing-masing pihak baik kreditor, debitor, maupun kurator memiliki potensi untuk melakukan penyelahgunaan kewenangannya (tidak beritikad baik). Oleh karena itu untuk meniadakan atau paling tidak meminimalkan penyalahgunaan kewenangan khususnya yang dilakukan oleh Kurator yang beritikad tidak baik, UU Kepailtan mengatur hal-hal sebagai berikut:
Hakim pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit oleh Kurator ( vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 65 UU Kepailitan);
Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit ( vide Pasal 72 UU Kepailitan);
Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan [ vide Pasal 74 ayat (1)];
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma. [ vide Pasal 74 ayat (2)];
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan kewenangan kurator dalam melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepalitan bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang- wenang oleh siapa pun” , DPR berpandangan bahwa esensi/prinsip dasar dari Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini ( vide Pasal 1 angka 1 UU Kepailitan). Oleh karena itu pengambilan alihan kepemilikan harta debitor pailit (Pemohon) melalui Sita Umum bukan suatu pengambilalihan hak kepemilikan secara sewenang-wenang melainkan berdasarkan putusan pernyataan 35 pailit oleh pengadilan niaga dan pengurusan serta pemberesannya pun dilakukan dibawah pengawasan hakim pengawas dan berdasarkan UU Kepalitan, sehingga dengan demikian justru sangat sejalan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Berdasarkan uraian-uraian diatas maka DPR RI berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi batasan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007, karena itu sudah sepatutnya apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk verklaard). Namun demikian jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, selanjutnya bersama ini disampaikan Keterangan DPR RI atas Pengujian Materiil Undang-Undang a quo 2. Pengujian Materiil atas Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan Terhadap pandangan-pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR RI ingin menyampaikan penjelasan/keterangan sebagai berikut :
Bahwa Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mengandung beberapa asas, yaitu:
Asas Keseimbangan mengandung pengertian bahwa Undang- Undang ini memuat ketentuan mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan baik oleh Kreditor maupun Debitor yang tidak beritikad baik.
Asas Kelangsungan Usaha mengandung pengertian bahwa Undang- Undang ini memuat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.
Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini juga ditujukan untuk mencegah 36 terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor yang lainnya.
Asas Integrasi mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Bahwa prinsip atau substansi yuridis dari putusan pernyataan pailit adalah mengubah status hukum seseorang (debitor) menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan. Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seorang Debitor mempunyai paling sedikit 2 (dua) Kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu. Dalam pengaturan pembayaran ini, tersangkut baik kepentingan debitor sendiri, maupun kepentingan para kreditornya. Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut, diharapkan agar harta pailit debitor dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang debitor secara adil dan merata serta berimbang;
Bahwa untuk kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap kepentingan kreditor dan debitor, maka Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan secara tegas mengatur bahwa Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak Putusan pernyataan Pailit diucapkan meskipun ada upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali . Hal tersebut sangat logis dan berdasar, mengingat secara yuridis sejak dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitor pailit status hukumnya menjadi tidak cakap melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus budel pailit. Oleh karena itu berdasarkan Undang-Undang kewenangannya dialihkan/dilakukan kepada Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dan hal tersebut juga sebagai upaya untuk mencegah tindakan debitor pailit yang beritikad tidak baik untuk mengalihkan atau memindahtangankan budel pailit atau melakukan perbuatan hukum yang dapat mengurangi nilai budel pailit, misalnya adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor. 37 4. Bahwa di samping hal tersebut di atas, dalam hukum acara perdata dikenal putusan dapat dilaksanakan meskipun ada upaya hukum lainnya seperti diatur dalam ketentuan Pasal 54 Reglement acara perdata (S. 1908 – 522) yang berbunyi: “Pelaksanaan sementara putusan-putusan hakim meskipun ada banding atau perlawanan dapat diperintahkan bila:
Putusan didasarkan atas suatu alasan hak otentik;
Putusan didasarkan atas surat di bawah tangan yang diakui oleh pihak terhadap siapa dapat dipakai sebagai dasar, atau yang dianggap diakui menurut hukum, juga dianggap diakui jika perkara diputus tanpa kehadiran Tergugat ( verstek );
Dalam hal telah ada penghukuman dengan keputusan hakim yang mendahuluinya yang terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan atau tidak dapat dimintakan banding. 5. Kewenangan yang diberikan kepada kurator antara lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan diimbangi dengan tanggung jawab yang juga dibebankan kepada Kurator sebagaimana yang diatur dalam Pasal 72 UU Kepailitan yang menyebutkan ” Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian _terhadap harta pailit”; _ 6. Kewenangan dan tanggung jawab kurator tersebut merupakan implementasi dari asas keseimbangan dan asas keadilan yang dianut dalam UU Kepailitan. Dalam wujud asas keseimbangan bahwa terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. Demikian pula sebagai implementasi Asas Keadilan bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak mempedulikan Kreditor lainnya; 38 7. Dengan demikian, kewenangan yang diberikan kepada kurator juga diimbangi tanggung jawab yang berat kepadanya. Pengurusan dan pemberesan harta pailit merupakan tugas berat bagi kurator. Di samping itu pula bentuk tanggung jawab Kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit antara lain dilakukan melalui penyampaian laporan-laporan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 74 UU Kepailitan, di mana dalam Pasal tersebut mengharuskan Kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan. Laporan tersebut bersifat terbuka untuk umum dan dapat dilihat oleh setiap orang dengan cuma-cuma.
Peranan Kurator sebagaimana yang diatur dalam UU Kepailitan oleh kalangan dunia usaha diharapkan bisa menjadi bagian pedoman untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang secara efektif. Diharapkan pula bahwa kurator dapat bersifat lebih teliti dan hati-hati untuk menghindari kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi misalnya adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya atau juga kecurangan- kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor yang berusaha melarikan harta kekayaan diri sendiri atau menguntungkan salah satu kreditor;
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan bertentngan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “ Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambilalih secara sewenang-wenang oleh siapa pun ”, DPR berpandangan yang dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 adalah pengambilalihan hak milik secara sewenang-wenang, sedangkan prinsip dasar/substansi yuridis dari lembaga kepailitan adalah pengambil-alihan kepemilikan harta debitur pailit melalui Sita Umum yang pengurusan dan/atau pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan hakim pengawas, hal tersebut bukanlah suatu pengambilalihan hak kepemilikan secara sewenang-wenang melainkan 39 berdasarkan suatu proses hukum melalui prosedur putusan pernyataan pailit oleh pengadilan niaga dan pengurusannya pun dilakukan dibawah pengawasan hakim pengawas dan berdasarkan UU Kepailitan, sehingga dengan demikian justru sangat sejalan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945; Bahwa berdasarkan keterangan DPR RI di atas, maka dapat disimpulkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan tidak bertentangan dengan 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, DPR RI memohon kiranya Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan Para Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak–tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.5] Menimbang bahwa Pihak Terkait pada tanggal 22 Januari 2010 memberikan keterangan tertulis dan pada tanggal 18 Maret 2010 memberikan keterangan lisan yang pada pokoknya sebagai berikut: I. Kewenangan Mahkamah Konstitusi a. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, berbunyi: "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, 40 lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusf'. b. Bahwa ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, menyatakan: "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum". c. Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU No. 24 Tahun 2003, Bukti PT-3), yang berbunyi : "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan _terakhir yang putusannya bersifat final untuk: _ 1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara _Republik Indonesia Tahun 1945; _ 2. memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945; _ 3. memutus _pembubaran partai politik; dan _ 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. d. Bahwa karena objek permohonan pengujian ini adalah materi muatan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 terhadap UUD 1945, maka secara hukum, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan pengujian atas materi muatan Undang-Undang _a quo; _ II. Kedudukan Hukum ( legal standing ) Pihak Terkait 1. Bahwa Pihak Terkait adalah perseorangan yang bergabung di dalam wadah Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia dan menjadi Pengurus Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia, dengan tujuan memperjuangkan kepentingan buruh sebagaimana diperlihatkan dalam Anggaran Dasar Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (Bukti PT-4); Pengakuan Mahkamah Konstitusi atas kedudukan hukum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (tercatat sebagai Serikat Pekerja/Serikat Buruh di kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Barat 41 melalui surat Nomor 258/077-73 tertanggal 8 Februari 2006, dengan Nomor Bukti Pencatatan Nomor 299/III/S.P/II/2006, Bukti PT-5), dalam beracara dihadapan Mahkamah Konstitusi, setidaknya diperlihatkan melalui Putusan Perkara Nomor 2/PUU-VI/2008, yang telah memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia dengan kualifikasi sebagai perseorangan atau kumpulan perseorangan sebagaimana dimaksud Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003;
Bahwa dengan merujuk pada Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pihak Terkait memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memperjuangkan kepentingan buruh dalam hal jaminan pemberian upah dan hak-hak finansial lainnya terkait dengan status pailit dari perusahaan yang mempekerjakan mereka. Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menyatakan : "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan _haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara"; _ 3. Bahwa Pihak Terkait merupakan pihak yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yaitu sebagai kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama di dalam sebuah serikat buruh Federasi Ikatan __ Serikat Buruh Indonesia, serta Pihak Terkait juga memiliki hubungan sebab dan akibat ( causal verband) antara __ kerugian konstitusional dengan akibat hukum dari pernyataan tidak berlakunya ketentuan undang-undang a quo yang dimohonkan untuk diuji; Bahwa dalam perkara ini, Pihak Terkait adalah kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama di dalam sebuah serikat buruh Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia, sebuah serikat buruh yang telah dijamin dalam bingkai konstitusi pada Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang tumbuh dan berkembang secara swadaya dan dapat dikualifikasikan sebagai kelompok orang (dalam hal ini buruh) , yang selama ini mempunyai kepedulian serta menjalankan aktifitasnya dalam perlindungan dan penegakkan hak-hak buruh di Indonesia, yang tugas dan peranan Pihak Terkait dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan perlindungan, pembelaan, dan penegakkan keadilan terhadap hak-hak buruh di Indonesia, tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa, ras, dan agama, sebagaimana tercermin dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 9 Anggaran Dasar Pihak Terkait; 42 Sehingga dengan demikian, Pihak Terkait dalam kedudukannya sebagai pimpinan kelompok buruh dapat dikatakan sebagai kumpulan perorangan yang mempunyai kepentingan sama, sehingga telah memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait pengujian materiil atas materi muatan suatu Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi;
Bahwa merujuk Pasal 14 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang- Undang, berbunyi: _Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah: _ a. pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar _keterangannya; atau _ b. pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud. 5. Bahwa dasar Permohonan Pemohon adalah adanya Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyebabkan putusan pengadilan niaga dapat dijalankan terlebih dahulu (uit voerbar bij voraard). Sehingga, Pihak Terkait berkepentingan secara tidak langsung, apabila permohonan Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena, Pihak Terkait sebagai organisasi perburuhan yang melakukan advokasi-advokasi terhadap masalah-masalah perburuhan, termasuk masalah kepailitan yang terjadi pada sebuah perusahaan, akan mengalami dampak terhadap ketentuan a quo, apabila ketentuan tersebut tidak dibatalkan;
Bahwa Pihak Terkait berkepentingan secara tidak langsung, apabila permohonan Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karena, Pihak Terkait sebagai organisasi perburuhan yang melakukan advokasi- advokasi terhadap masalah-masalah perburuhan, termasuk masalah kepailitan yang terjadi pada sebuah perusahaan, akan bersentuhan dengan Kurator yang segala kewenangannya; Buruh sebagai pihak yang bekerja pada orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri atau bukan miliknya atau mewakili perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan 43 membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain, akan menjadi Kreditor ketika putusan pailit diucapkan; Dalam Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, diatur mengenai adanya hak Kurator untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya; Dengan demikian, Kurator berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang putusannya dapat dijalankan terlebih dahulu, dapat sewaktu-waktu memutuskan hubungan kerja buruh yang bekerja pada Debitor Pailit dalam tenggang waktu 45 hari sebelumnya, dan buruh tidak dapat menolak pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh Kurator, dikarenakan Pasal 29 dan Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menggugurkan seluruh tuntutan hukum di Pengadilan (termasuk Pengadilan Hubungan Industrial) terhadap Debitor bahkan sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan;
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Pihak Terkait sebagai organisasi perburuhan yang mengabdi untuk memperjuangkan hak dan kepentingan kaum buruh juga memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak Terkait sesuai dengan maksud di dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor O6/PMK/2005 menyatakan: "Pihak Terkait yang dimaksud Pasal 13 ayat (1) huruf g adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan". Dengan demikian, Pihak Terkait berpendapat bahwa Pihak Terkait memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pihak Terkait dalam permohonan pengujian Undang-Undang a quo terhadap UUD 1945; III. Argumentasi Pihak Terkait 1. Bahwa dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang a quo dinyatakan: "Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan _kembali”; _ 2. Bahwa Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang a quo tersebut di atas, menunjukkan bahwa sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, maka 44 putusan tersebut dapat dijalankan walaupun ada upaya hukum biasa dan luar biasa;
Bahwa pelaksanaan putusan pemyataan pailit berwujud suatu pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit oleh Kurator, yang salah satu kewenangan Kurator dalam pemberesan harta pailit adalah tindakan terhadap kelanjutan hubungan kerja/hubungan hukum kreditor preferens buruh dengan debitor pailit. Kewenangan Kurator sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, dapat berakibat pada putusnya hubungan kerja yang tidak dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial, karena Pasal 29 dan Pasal 31 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU telah menggugurkan seluruh tuntutan hukum di Pengadilan, bahkan sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan;
Bahwa menurut Imran Nating, S.H., M.H., dalam bukunya berjudul "Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Paililt", halaman 95, bahwa Debitor Pailit berkewajiban menyerahkan seluruh kewenangan pengurusan harta pailit dan usahanya pada Kurator dan tidak lagi menjalankan sendiri, serta Debitor tidak dapat menghalangi, baik sengaja maupun tidak, pelaksanaan tugas Kurator; Bahwa Kewenangan Kurator yang demikian luas dalam pengurusan harta pailit setelah putusan pernyataan pailit, juga dapat menimbulkan tindakan pemutusan hubungan kerja terhadap buruh Debitor dan akan menyebabkan kekhawatiran buruh yang bekerja pada Debitor Pailit serta hanya akan berakibat membuat rasa nyaman dalam bekerja menjadi hilang, sehingga keterpurukan perusahaan yang sudah dinyatakan pailit dapat semakin terpuruk dan tidak mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan urusan utang piutangnya; Bahwa pada hakikatnya, setiap perusahaan akan mempertahankan dirinya untuk tidak pailit atau bangkrut, karena hal ini selain dapat menyebabkan berhentinya usaha dan pelunasan segala utang piutangnya, juga dapat menyebabkan putusnya hubungan kerja buruh yang bekerja, sehingga dapat mengakibatkan pertambahan pengangguran; Dengan demikian, upaya Debitor Pailit untuk mempertahankan usahanya dengan mengajukan upaya hukum biasa dan luar biasa adalah suatu upaya 45 yang patut untuk dipertimbangkan. Serta, penyelesaian perkara kepailitan dalam UU Kepailitan dan PKPU tidaklah memakan waktu yang terlalu lama, namun demikian bagi Debitor Pailit dengan adanya tenggang waktu bagi dirinya untuk tetap bertahan, maka Debitor Pailit dapat bekerja bersama- sama dengan buruh, untuk mencari jalan keluar guna melunasi utang piutang Debitor Pailit. Dalam kasus kepailitan yang sedang dialami Pemohon, betapa Pemohon sangat kesulitan dalam mencari klien/ order untuk tetap dapat bertahan dan mempertahankan buruhnya lebih dari 1.000 orang, karena tanggung jawab perusahaan telah dialihkan kepada Kurator oleh Pengadilan Niaga berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU; Bahkan, kecemasan buruh Pemohon, dapat kita jumpai dalam aksi-aksi unjuk rasa yang mereka lakukan, karena khawatir adanya tindakan Kurator dalam memutuskan hubungan kerja dengan mereka (buruh), dan bukan tidak mungkin hal tersebut dilakukan oleh Kurator, karena Kurator diberikan kewenangan berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU. Dan, segala perbuatan yang dilakukan oleh Kurator (termasuk tindakan melakukan pemutusan hubungan kerja dengan buruh) tetap sah dan mengikat Debitor Pailit, walaupun putusan pernyataan pailit dibatalkan dalam tingkatan kasasi atau peninjauan kembali, sebagaimana tersebut di dalam Pasal 16 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU; Bahwa oleh karena, demi pertimbangan upaya hukum Debitor Pailit dalam tindakannya mempertahankan dirinya melalui tingkatan kasasi dan peninjauan kembali, serta sebagai penghati-hati agar dikemudian hari tidak sulit bila putusan __ pernyataan pailit diubah atau bila Debitor Pailit mampu untuk melunasi perkara utang piutangnya, maka permohonan Pemohon dalam pembatalan Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU patut untuk dikabulkan.
Bahwa dalam ketentuan Pasal 180 HIR/Pasal 191 RBg, telah ditentukan mengenai syarat-syarat dan ketentuan putusan yang bersifat dapat dijalankan terlebih dahulu (uit voerbar voraard) dan ketentuan tersebut berlaku di seluruh tingkatan pengadilan tingkat pertama, termasuk seharusnya juga berlaku pada Pengadilan Niaga sebagai pengadilan tingkat pertama. Sehingga, ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU 7 46 sepanjang frasa "meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali", telah diskriminatif, dan tidak memenuhi rasa kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka telah terbukti adanya kerugian konstitusional Pemohon, sehingga ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang a quo sepanjang frasa "meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali", harus dapat dinyatakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; IV. Petitum Berdasarkan uraian tersebut, Pihak Terkait memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara permohonan hak uji materiil Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan amar Putusan sebagai berikut:
Menerima Permohonan Pihak Terkait sebagai Pihak Terkait;
Menyatakan materi muatan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sepanjang frasa "meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali", bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tabun 1945; 3. Menyatakan materi muatan Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tabun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sepanjang frasa "meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali", harus dimaknai "setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van _gewijsde); _ 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau, bila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, Pihak Terkait memohon putusan seadil-adilnya. 47 [2.6] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalilnya, Pihak Terkait mengajukan Bukti Surat/Tulisan yang diberi tanda Bukti PT-1 sampai dengan Bukti PT-5 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
Bukti PT-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesaia Tahun 1945;
Bukti PT-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Bukti PT-4 : Fotokopi Anggaran Dasar Federasai Ikatan Serikat Buruh Indonesia;
Bukti PT-5 : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia tercatat sebagai Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Kantor Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Jakarta Barat melalui Surat Nomor 258/077-73 tertanggal 8 Februari 2006, dengan Nomor Bukti Pencatatan Nomor 299/III/S.P/II/2006; [2.7] Menimbang bahwa Pemohon dan Pihak Terkait menyampaikan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Maret 2010 dan tanggal 25 Maret 2010 , yang pada pokoknya para pihak tetap dengan pendiriannya; [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingakat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa permasalahan utama dari permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Rupublik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443, selanjutnya disebut UU Kepailitan) terhadap Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); 48 [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ dan b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 ; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas norma Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan terhadap UUD 1945 sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; 49 c. badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang bahwa Pemohon adalah badan hukum privat yakni PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia yang didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor C2-6475.HT.01.01.TH.90, tanggal 13 Desember 1990 dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 18 Mei 1993, Nomor 40, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 2183 ( vide Bukti P-3 ); [3.7] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta Putusan- Putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 50 [3.8] Menimbang bahwa Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan karena Pasal a quo telah memberikan kewenangan yang sangat luas kepada kurator sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi Pemohon selaku debitor pailit yang akan mengancam dinegasikannya hak-hak dasar Pemohon beserta seluruh pihak yang terkait antara lain hak kelangsungan hidup karyawan, mitra kerja Pemohon dan pihak lainnya yang notabene jumlahnya ribuan jiwa atas keputusan pailit yang pada kenyataannya masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde ) dalam perkara pailit Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST tanggal 14 Oktober 2009. [3.9] Menimbang bahwa dengan dijatuhkannya putusan Perkara Pailit Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST tanggal 14 Oktober 2009, Pemohon mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung RI, namun selama proses hukum berjalan sampai didapatnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum mengikat, secara de facto telah terjadi tindakan Kurator yang melampaui kewenangannya yang bukan hanya disebabkan oleh pemberian kewenangan yang terlalu luas oleh UU Kepailitan melainkan lebih dari itu terjadi penafsiran oleh Kurator dan Hakim Pengawas yang semuanya bersumber dari rumusan Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan telah mengabaikan prinsip-prinsip keseimbangan, kepastian hukum, dan keadilan; [3.10] Menimbang bahwa melalui pandangan inilah, Pemohon memiliki hubungan sebab akibat ( causal verband ) serta potensi untuk dapat dirugikan hak konstitusionalnya sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; [3.11] Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pemohon prima facie mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal-pasal a quo ; [3.12] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo , dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) , selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok Permohonan; 51 Pendapat Mahkamah [3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon beserta alat bukti surat/tulisan dan keterangan ahli yang diajukan, keterangan Pemerintah dan keterangan DPR serta kesimpulan Pemohon dan kesimpulan Pihak Terkait sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Dalam Provisi [3.14] Menimbang bahwa dalam permohonan provisinya tentang keberlakuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal a quo dapat menimbulkan potensi yang menjadikan Pemohon menjadi suatu perusahaan yang betul-betul pailit sehingga tidak dapat lagi menjalankan usahanya ( vide Perbaikan Permohonan halaman 16). Berdasarkan dalilnya tersebut, Pemohon kemudian memohon putusan provisi kepada Mahkamah untuk memerintahkan penghentian sementara penggunaan kewenangan kurator dalam menjalankan kewenangannya dalam Perkara Pailit Nomor 52/Pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PST tanggal 14 Oktober 2009 sampai adanya putusan akhir dari Mahkamah dalam perkara a quo . Atas dalil Pemohon tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: • Bahwa kewenangan penghentian sementara penggunaan kewenangan kurator dalam menjalankan kewenangannya pada perkara pailit bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sudah diatur secara tegas dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang kemudian diulang kembali dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk 1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, 2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 3) Memutus pembubaran partai politik, dan 4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Sejalan dengan itu, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 52 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) menegaskan juga kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas; • Bahwa selain itu, permohonan provisi yang diajukan Pemohon tidak terkait langsung dengan pokok permohonan a quo. Pertama , dalam Pengujian Undang-Undang (judicial review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti penghentian sementara kewenangan kurator dalam perkara pailit yang menimpa Pemohon sehingga oleh karena permohonan provisi Pemohon sudah masuk ke kasus konkret maka Mahkamah tidak dapat mengabulkannya. Kedua , sejalan dengan alasan yang pertama maka Mahkamah harus menolak permohonan putusan provisi terkait penghentian sementara penggunaan kewenangan kurator dalam perkara pailit karena putusan Mahkamah tentang norma dalam kasus Pengujian Undang-Undang (judicial review) bersifat erga omnes . Artinya, putusan Mahkamah berlaku umum dan mengikat untuk semua kasus di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, Mahkamah tidak dapat memutus kasus konkret yang tertuju hanya terhadap satu kasus seperti dalam permohonan a quo karena kalau hal itu dilakukan berarti bertentangan dengan sifat erga omnes tersebut. Ketiga , putusan Mahkamah bersifat prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, sehingga apa pun amar putusan Mahkamah dalam perkara a quo tidak berlaku surut terhadap perkara konkret yang sudah berlangsung; Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Mahkamah menolak permohonan provisi yang dimohonkan Pemohon; Dalam Pokok Permohonan [3.15] Menimbang bahwa adapun pokok permohonan yang diajukan oleh Pemohon, pada dasarnya menguji konstitusionalitas Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan sepanjang frasa “ meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali ” yang menurut Pemohon harus dimaknai “ sejak putusan 53 pailit dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap ”. Pemohon beralasan sebagai berikut: Bahwa pemaknaan atau penafsiran tersebut berkaitan dengan kewenangan kurator in casu Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Kepailitan sehingga secara mutatis mutandis harus ditunda keberlakuannya dan dilakukan pembatasan kewenangan kurator sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; Bahwa dengan adanya frasa “ meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali ” dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang a quo berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh kurator yang pada akhirnya berakibat menimbulkan kerugian besar dan hilangnya hak-hak dasar dari debitor. Hal ini mengakibatkan kedudukan debitor pailit menjadi lemah di mana kurator tetap dapat melaksanakan pemberesan harta pailit sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan hilangnya proporsionalitas atau keseimbangan hak antara kurator dan debitor serta tidak sejalan dengan asas praduga tak bersalah. Selain itu, frasa dalam Pasal a quo berpotensi atau dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) oleh kurator, karena kurator bebas menentukan kehendaknya sendiri dan tidak terbatas dalam hal menjual, menyewakan, melelang, dan menjaminkan harta pailit termasuk menentukan harganya sehingga hal ini berakibat merugikan dan melanggar hak-hak dasar Pemohon. Berdasarkan hal tersebut, Pemohon menganggap frasa “ meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali ” dalam Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H UUD 1945; [3.16] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar dan membaca keterangan Pemerintah yang menyatakan kerugian yang didalilkan oleh Pemohon semata-mata berkaitan dengan implementasi norma, yaitu dalam proses penegakan hukum dan pelaksanaan putusan pailit guna memenuhi hak kreditor sehingga menurut Pemerintah ketentuan a quo justru bertujuan untuk memberikan keseimbangan dan keadilan baik terhadap debitor maupun kreditor ( stability of interest ). Selain itu, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan a quo telah 54 mewujudkan adanya kepastian hukum terhadap pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit; [3.17] Menimbang bahwa Mahkamah telah pula mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang menerangkan kerugian konstitusional Pemohon karena penyalahgunaan kewenangan oleh kurator yang memiliki kewenangan luas sebagaimana diatur dalam Pasal a quo bukanlah persoalan konstitusonalitas, melainkan persoalan penerapan norma dalam pelaksanaan UU Kepailitan. Oleh karena itu, untuk meniadakan atau meminimalkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oleh kurator yang tidak beritikad baik, menurut DPR dalam UU Kepailitan terdapat pembatasan- pembatasan terhadap kewenangan kurator. Bahwa esensi/prinsip dasar dari kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas; [3.18] Menimbang bahwa pembentukan UU Kepailitan dilatarbelakangi untuk menghindari beberapa faktor. Pertama , perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor. Kedua , kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya. Ketiga , kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri; [3.19] Menimbang bahwa pada prinsipnya tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan terhadap harta pailit sejak adanya putusan pailit Pengadilan Niaga sebagai konsekuensi dari sifat serta merta ( uitvoorbaar bij voorraad ) putusan pernyataan pailit [ vide Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang a quo ]. Namun demikian tidak berarti kurator secara sewenang-wenang dapat melaksanakan kewenanganya karena harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut; i) apakah kurator berwenang melakukannya?; ii) apakah saat pengurusan dan/atau pemberesan tersebut merupakan waktu yang tepat terutama dari segi ekonomi dan bisnis untuk melakukannya?; iii) apakah dalam rangka pengurusan dan/atau pemberesan kurator terlebih dahulu memerlukan persetujuan/izin/keikutsertaan dari pihak-pihak tertentu, seperti dari hakim 55 pengawas, pengadilan niaga, panitia kreditor, debitor dan sebagainya?; iv) apakah pengurusan dan/atau pemberesan tersebut kurator memerlukan prosedur tertentu, seperti melalui sidang yang dihadiri/dipimpin oleh hakim pengawas?; v) bagaimana cara yang layak dari segi hukum, kebiasaan, dan sosial bagi kurator dalam menjalankan kewenangannya?; [3.20] Menimbang bahwa kewenangan yang melekat pada kurator tidak bebas dari pertanggungjawaban hukum perdata jika akibat kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pihak-pihak yang berkepentingan terhadap harta pailit. Bahkan tidak hanya debitor, namun kreditor juga dapat menggugat secara perdata terhadap kurator ( vide Pasal 72 UU Kepailitan). Selain itu terdapat upaya perlawanan kepada hakim pengawas jika keberatan terhadap kegiatan yang dilakukan kurator [ vide Pasal 77 ayat (1) UU Kepailitan], bahkan keberatan terhadap ketetapan hakim pengawas dapat naik banding ke pengadilan niaga [ vide Pasal 68 ayat (1) UU Kepailitan]. [3.21] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal a quo melanggar prinsip perlakuan, perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil serta diperkuat oleh pendapat ahli (Kurnia Thoha) yang berpendapat bahwa Pasal a quo lebih menekankan perlindungan kepada kreditor karena begitu luasnya kewenangan dari kurator. Mahkamah berpendapat, Pasal a quo justru bertujuan untuk memberikan keseimbangan, keadilan, dan kepastian hukum dalam pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit baik terhadap debitor maupun kreditor. Keberadaan Pasal a quo tidak menutup hak debitor untuk melakukan upaya hukum kasasi atau PK, sebaliknya tidak pula menutup hak kreditor untuk mendapatkan pemenuhan piutangnya. Bahwa dengan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga maka status hukum debitor tidak cakap melakukan perbuatan hukum, seperti menguasai dan mengurusi harta sehingga sejak adanya putusan pailit dari Pengadilan Niaga secara serta merta hak menguasai dan mengurusi hartanya dialihkan dan/atau dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Bahwa dengan keberadaan Pasal a quo dengan demikian diharapkan dapat mencegah tindakan debitor yang beritikad buruk untuk mengalihkan atau memindahtangankan hartanya atau melakukan perbuatan hukum yang dapat 56 mengurangi nilai hartanya, sebaliknya harta tersebut dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang debitor secara adil, merata, dan berimbang kepada kreditor. [3.22] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a quo berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh kurator dengan mengambil alih secara sewenang-wewenang hak milik Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal 28H UUD 1945 dan diperkuat oleh pendapat ahli (Darminto Hartono) yang menerangkan bahwa Pasal a quo memberikan kewenangan yang demikian penuh kepada kurator sehingga tujuan dari UU Kepailitan dapat disalahgunakan dan tidak akan tercapai. Menurut Mahkamah kerugian yang dialami Pemohon in casu TPI tidak berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas norma, melainkan permasalahan penerapan norma. Dalam rangka mencegah penyalahgunaan wewenang atas harta pailit yang dilakukan oleh kurator telah tersedia upaya hukum yang dimuat dalam UU Kepailitan, yaitu Pemohon dapat mengajukan keberatan atas tindakan yang dilakukan oleh kurator, baik melalui penggantian kurator maupun permintaan pertanggungjawaban secara perdata kepada pengadilan. Dalam hal kepailitan, baik pihak debitor, kreditor maupun kurator memiliki potensi untuk melakukan penyalahgunaan kewenangannya atau bertindak dengan itikad buruk. Oleh karena itu, untuk menghindarkan atau meminimalkan hal tersebut tersedia upaya-upaya hukum dalam UU Kepailitan yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan. Dengan demikian Mahkamah berpendapat dalil-dalil Pemohon dalam pokok permohonan merupakan pelaksanaan Undang-Undang dan tidak berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum;
KONKLUSI Berdasarkan seluruh penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; 57 [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan provisi Pemohon tidak tepat dan tidak beralasan hukum; [4.4] Dalil-dalil Pemohon dalam pokok permohonan tidak terbukti; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dengan mengingat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076) 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan, Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi Pemohon; Dalam Pokok Permohon: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada hari Selasa tanggal satu bulan Februari tahun dua ribu sebelas oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, Harjono, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal dua puluh dua bulan Maret tahun dua ribu sebelas oleh kami delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, 58 Harjono, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait/Kuasanya. KETUA, ttd Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd Muhammad Alim ttd Harjono ttd Maria Farida Indrati ttd M. Akil Mochtar ttd Ahmad Fadlil Sumadi ttd Hamdan Zoelva PANITERA PENGGANTI ttd Saiful Anwar
Dana Perimbangan
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kepala daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disebut DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Dana Bagi Hasil, selanjutnya disebut DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
DBH Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan Pajak Penghasilan Pasal 21.
Pajak Bumi dan Bangunan, selanjutnya disebut PBB adalah pajak yang dikenakan atas bumi dan bangunan.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, selanjutnya disebut BPHTB, adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan 13. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, selanjutnya disebut PPh WPOPDN adalah Pajak Penghasilan terutang oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan Pasal 29 Undang-undang tentang Pajak Penghasilan yang berlaku kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8).
Pajak Penghasilan Pasal 21, selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21 undang-undang tentang Pajak Penghasilan yang berlaku.
DBH Sumber Daya Alam adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
Dana Reboisasi, selanjutnya disebut DR, adalah dana yang dipungut dari pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
Provisi Sumber Daya Hutan, selanjutnya disebut PSDH, adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara.
Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, selanjutnya disebut IIUPH, adalah pungutan yang dikenakan kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan.
Pungutan Pengusahaan Perikanan adalah pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang memperoleh Izin Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha perikanan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia.
Pungutan Hasil Perikanan adalah pungutan hasil perikanan yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang diperoleh.
Iuran Tetap ( Land-rent ) adalah iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu wilayah kerja.
Iuran Ekplorasi dan Eksploitasi ( royalty ) adalah iuran produksi pemegang kuasa usaha pertambangan atas hasil dari kesempatan eksplorasi/eksploitasi.
Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Menteri teknis adalah menteri yang bertugas dan bertanggungjawab di bidang teknis tertentu.
Pedoman Penataan Organisasi di Lingkungan Departemen Keuangan.
Minyak dan Gas Bumi
Relevan terhadap
bahwa pembangunan nasional harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat dengan melakukan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan;
bahwa Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1962 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi;
bahwa dengan tetap mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan tentang pertambangan minyak dan gas bumi yang dapat menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e tersebut di atas serta untuk memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan minyak dan gas bumi, maka perlu membentuk Undang-Undang tentang Minyak dan Gas Bumi;
Ayat (1) Karena ketentuan yang dimaksud dalam Pasal ini didasarkan atas pengertian bahwa Kegiatan Usaha Hulu yang berupa Eksplorasi dan Eksploitasi adalah kegiatan pengambilan sumber daya alam tak terbarukan yang merupakan kekayaan negara, maka disamping kewajiban membayar pajak, bea masuk, dan kewajiban lainnya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap diwajibkan menyerahkan Ppenerimaan Negara Nukan Pajak yang terdiri dari bagian negara, pungutan negara, dan bonus. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Di samping membayar pajak daerah, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap diwajibkan pula membayar retribusi daerah. Ayat (3) Huruf a Bagian negara merupakan bagian produksi yang diserahkan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap kepada negara sebagai pemilik sumber daya Minyak dan Gas Bumi. Huruf b Ketentuan ini didasarkan pada pengertian bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap diwajibkan membayar iuran tetap sesuai luas Wilayah Kerja sebagai imbalan atas "kesempatan" untuk melakukan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi. Iuran Eksplorasi... Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi dikenakan pada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, sebagai kompensasi atas pengambilan kekayaan alam Minyak dan Gas Bumi yang tak terbarukan. Pungutan negara yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Huruf c Yang dimaksud dengan bonus dalam ketentuan ini adalah bonus data, bonus tanda tangan, dan bonus produksi yang didasarkan pada pencapaian tingkat produksi kumulatif tertentu. Ayat (4) Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan agar Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat memilih alternatif aturan perpajakan yang akan diberlakukan dalam Kontrak Kerja Sama. Dibukanya kesempatan tersebut merupakan keleluasaan bagi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap untuk memilih ketentuan perpajakan yang sesuai dengan kelayakan usahanya, mengingat kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi sifat usahanya berjangka panjang, memerlukan modal besar dan berisiko tinggi. Ayat (5) Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan ini antara lain memuat substansi pokok: pengaturan besarnya bagian negara berdasarkan prosentase produksi bersih; dan pungutan negara yang terdiri dari iuran tetap per satuan luas Wilayah Kerja, iuran Eksplorasi dan Eksploitasi per satuan volume produksi; bonus dan pengaturan persyaratan tertentu dalam Kontrak Kerja Sama. Ayat (6) Yang dimaksud dengan "pembagiannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku" dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pasal 32...
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi;
Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi;
Minyak dan...
Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi;
Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi;
Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi;
Survei Umum adalah kegiatan lapangan yang meliputi pengumpulan, analisis, dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi untuk memperkirakan letak dan potensi sumber daya Minyak dan Gas Bumi di luar Wilayah Kerja;
Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi;
Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan;
Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya;
Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga;
Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan;
Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi;
Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi;
Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa;
Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia adalah seluruh wilayah daratan, perairan, dan landas kontinen Indonesia;
Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi;
Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Bentuk Usaha...
Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia;
Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba;
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri;
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah;
Badan Pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi;
Badan Pengatur adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi pada Kegiatan Usaha Hilir;
Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Relevan terhadap
Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi:
pendapatan asli Provinsi, Kabupaten/Kota;
dana perimbangan;
penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi Khusus;
pinjaman Daerah; dan
lain-lain penerimaan yang sah.
Sumber pendapatan...
Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
pajak Daerah;
retribusi Daerah;
hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan; dan
lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus dengan perincian sebagai berikut:
Bagi hasil pajak:
Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen);
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen).
Bagi hasil sumber daya alam:
Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen);
Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).
Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua;
Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan; dan
Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun;
Mulai tahun...
Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas alam;
Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e berlaku selama 20 (dua puluh) tahun.
Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5), dan huruf e antara Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal.
Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. ...
Dokumen Perusahaan
Relevan terhadap
Ayat (1) Penggunaan kata "wajib" dalam ayat ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan adanya kewajiban perusahaan membuat catatan, agar setiap saat dapat diketahui keadaan kekayaan, utang, modal hak dan kewajiban perusahaan, untuk melindungi baik kepentingan perusahaan, kepentingan Pemerintah maupun kepentingan pihak ketiga. Kewajiban tersebut bersifat keperdataan, sehingga risiko yang timbul karena tidak dilaksanakannya kewajiban tersebut menjadi tanggung jawab perusahaan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan "sesuai dengan kebutuhan perusahaan" adalah bahwa walaupun setiap perusahaan diwajibkan membuat catatan, tetapi mengenai bentuk dan kedalaman isi catatan yang dibuat, dilakukan sesuai dengan sifat perusahaan. Ayat (2)… Ayat (2) Penggunaan kata "wajib" dalam ayat ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan bahwa catatan tersebut dibuat sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini, misalnya harus menggunakan huruf Latin dan disusun dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian apabila tidak dibuat dengan menggunakan huruf Latin dan tidak disusun dalam bahasa Indonesia, maka secara hukum, perusahaan tersebut dianggap belum membuat catatan, dan kelalaian tersebut menjadi tanggungjawab perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Pada dasarnya catatan harus disusun dalam bahasa Indonesia, kecuali baik karena sifat perusahaan maupun untuk kepentingan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dengan izin Menteri Keuangan catatan dapat disusun dalam bahasa asing.
bahwa upaya untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan kemakmuran rakyat yang bersendikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan bagian integral cita-cita kemerdekaan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 19945;
bahwa usaha untuk menjamin penyelenggaraan perusahaan secara efektif dan efisien merupakan salah satu dasar kebijaksanaan Pembangunan Nasional di bidang ekonomi, yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan dunia usaha untuk mempergunakan peluang dan berkiprah secara sehat dalam dunia internasional yang penuh persaingan sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat;
bahwa salah satu faktor yang mengurangi efektifitas dan efisiensi perusahaan adalah ketentuan yang mewajibkan penyimpanan buku, catatan dan neraca selama 30 (tiga puluh) tahun dan penyimpanan surat, surat kawat beserta tembusannya selama 10 (sepuluh) tahun sebagaimana diatur antara lain dalam Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie, Staatsblad 1847:
, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan;
bahwa ketentuan yang mewajibkan penyimpanan dokumen sebagaimana tersebut dalam huruf c dan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara penyimpanan, pemindahan, pemusnahan dan penyerahan arsip yang selama ini berlaku, menimbulkan beban ekonomis dan administratif yang memberatkan perusahaan;
bahwa… e. bahwa pembuatan dan penyimpanan dokumen, tetap diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi kepentingan para pihak dalam suatu hubungan hukum, karena itu kewajiban membuat dan menyimpan dokumen harus tetap dijalankan dengan mengupayakan tidak menimbulkan beban ekonomis dan administratif yang memberatkan, untuk itu perlu diadakan pembaharuan mengenai media yang membuat dokumen dan pengurangan jangka waktu penyimpanannya;
bahwa kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam media elektronik;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, dan f dipandang perlu membentuk Undang-undang tentang Dokumen Perusahaan.