Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4890 DAFTAR UJI PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH PENDAHULUAN Dalam rangka pencapaian visi, misi, dan tujuan serta pertanggungjawaban kegiatan Instansi Pemerintah, pimpinan Instansi Pemerintah wajib menerapkan setiap unsur dari Sistem Pengendalian Intern. Untuk memastikan bahwa Sistem Pengendalian Intern tersebut sudah dirancang dan diimplementasikan dengan baik, dan secara memadai diperbaharui untuk memenuhi keadaan yang terus berubah perlu dilakukan pemantauan secara terus-menerus. Secara khusus, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah ini, pimpinan Instansi Pemerintah melakukan pemantauan antara lain melalui evaluasi terpisah atas Sistem Pengendalian Internnya masing- masing untuk mengetahui kinerja dan efektivitas Sistem Pengendalian Intern serta cara meningkatkannya. Pemantauan juga berguna untuk mengidentifikasi dan mengatasi risiko utama seperti penggelapan, pemborosan, penyalahgunaan, dan salah-kelola ( mismanagement ). Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah dimaksudkan untuk membantu pimpinan Instansi Pemerintah dan evaluator dalam menentukan sampai seberapa jauh pengendalian intern suatu Instansi Pemerintah dirancang dan berfungsi serta, jika perlu, untuk membantu menentukan apa, bagian mana, dan bagaimana penyempurnaan dilakukan. Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah terdiri dari lima bagian sesuai dengan unsur Sistem Pengendalian Intern: lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan. Masing-masing bagian berisi suatu daftar faktor utama yang harus dipertimbangkan saat mengevaluasi Sistem Pengendalian Intern terkait dengan masing-masing unsurnya. Faktor-faktor ini LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 60 TAHUN 2008 TANGGAL : 28 AGUSTUS 2008 menggambarkan isu atau hal penting dari setiap unsur Sistem Pengendalian Intern. Termasuk dalam masing-masing faktor tersebut adalah butir-butir yang harus dipertimbangkan oleh pengguna pada saat melakukan evaluasi. Butir-butir tersebut dimaksudkan untuk membantu pengguna mempertimbangkan hal-hal spesifik yang menunjukkan seberapa jauh Sistem Pengendalian Intern berfungsi. Pengguna harus mempertimbangkan butir-butir tersebut untuk menentukan:
kesesuaian penerapan butir tersebut dalam situasi tertentu, (2) kemampuan Instansi Pemerintah dalam menerapkan butir tersebut, (3) kelemahan pengendalian yang mungkin terjadi, dan (4) pengaruh butir tersebut terhadap kemampuan Instansi Pemerintah dalam mencapai visi, misi, dan tujuannya. Pada setiap butir diberikan ruang kosong untuk mencatat komentar atau catatan mengenai situasi terkait butir tersebut. Komentar dan catatan biasanya tidak berupa ‘ya’ atau ‘tidak’, tetapi umumnya meliputi informasi mengenai bagaimana Instansi Pemerintah menangani masalah tersebut. Pengguna juga boleh menggunakan ruang kosong ini untuk mengindikasikan masalah yang ditemukan sebagai kelemahan pengendalian. Daftar uji ini juga dimaksudkan untuk membantu pengguna mengambil kesimpulan mengenai implementasi unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah. Untuk itu, ruang kosong disediakan pada akhir setiap bagian untuk mencatat penilaian keseluruhan dan mengidentifikasi tindakan yang harus diambil atau dipertimbangkan. Ruang kosong tambahan juga disediakan untuk penilaian ringkas keseluruhan pada akhir daftar uji ini. Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah dapat dijadikan panduan bagi pimpinan Instansi Pemerintah dan evaluator. Daftar uji ini hanya merupakan referensi awal serta dapat disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan risiko masing-masing Instansi Pemerintah. Dalam menerapkan daftar uji ini perlu dipertimbangkan tujuan Instansi Pemerintah dan aspek biaya-manfaat. Pengguna harus mempertimbangkan butir-butir yang relevan serta menghilangkan atau menambah butir lainnya jika perlu sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Instansi Pemerintah. Selain itu, pengguna dapat mengatur ulang atau menyusun kembali butir-butir tersebut untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap mengikuti format unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern. Daftar Uji Pengendalian Intern ini dikembangkan dengan menggunakan banyak sumber informasi dan ide-ide yang berbeda-beda. Sumber utamanya adalah Internal Control Management and Evaluation Tool dari General Accounting Office (GAO), ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal-pasal dan penjelasan Peraturan Pemerintah ini, serta peraturan perundang-undangan lainnya. BAGIAN I LINGKUNGAN PENGENDALIAN Unsur sistem pengendalian intern yang pertama adalah lingkungan pengendalian. Lingkungan pengendalian diwujudkan melalui:
penegakan integritas dan nilai etika;
komitmen terhadap kompetensi;
kepemimpinan yang kondusif;
pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia;
perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan h. hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai tercapai tidaknya suatu lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. A. PENEGAKAN INTEGRITAS DAN NILAI ETIKA KOMENTAR/CATATAN 1. Instansi Pemerintah telah menyusun dan menerapkan aturan perilaku serta kebijakan lain yang berisi tentang standar perilaku etis, praktik yang dapat diterima, dan praktik yang tidak dapat diterima termasuk benturan kepentingan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Aturan perilaku tersebut sifatnya menyeluruh dan langsung berkenaan dengan hal-hal seperti pembayaran yang tidak wajar, kelayakan penggunaan sumber daya, benturan kepentingan, kegiatan politik pegawai, gratifikasi, dan penerapan kecermatan profesional.
Secara berkala pegawai menandatangani pernyataan komitmen untuk menerapkan aturan perilaku tersebut.
Pegawai memperlihatkan bahwa yang bersangkutan mengetahui perilaku yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, hukuman yang akan dikenakan terhadap perilaku yang tidak dapat diterima dan tindakan yang harus dilakukan jika yang bersangkutan mengetahui adanya sikap perilaku yang tidak dapat diterima.
Suasana etis dibangun pada setiap tingkat pimpinan Instansi Pemerintah dan dikomunikasikan di lingkungan Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah membina serta mendorong terciptanya budaya yang menekankan pentingnya nilai-nilai integritas dan etika. Hal ini bisa dicapai melalui komunikasi lisan dalam rapat, diskusi, dan melalui keteladanan dalam kegiatan sehari- hari.
Pegawai memperlihatkan adanya dorongan sejawat untuk menerapkan sikap perilaku dan etika yang baik.
Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan tindakan yang cepat dan tepat segera setelah timbulnya gejala masalah.
Pekerjaan yang terkait dengan masyarakat, anggota badan legislatif, pegawai, rekanan, auditor, dan pihak lainnya dilaksanakan dengan tingkat etika yang tinggi. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Laporan keuangan, anggaran, dan pelaksanaan program yang disampaikan kepada badan legislatif, Intansi Pemerintah, dan pihak yang berkepentingan disajikan dengan wajar dan akurat.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengungkapkan masalah dalam instansi yang bersangkutan serta menerima komentar dan rekomendasi pada saat auditor dan evaluator melakukan tugasnya.
Atas kekurangan tagihan dari rekanan atau kelebihan pembayaran dari pengguna jasa segera dilakukan perbaikan.
Instansi Pemerintah memiliki proses penanganan tuntutan dan kepentingan pegawai secara cepat dan tepat.
Tindakan disiplin yang tepat dilakukan terhadap penyimpangan atas kebijakan dan prosedur atau atas pelanggaran aturan perilaku. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah mengambil tindakan atas pelanggaran kebijakan, prosedur, atau aturan perilaku.
Jenis sanksi dikomunikasikan kepada seluruh pegawai di lingkungan Instansi Pemerintah sehingga pegawai mengetahui konsekuensi dari penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menjelaskan dan mempertanggungjawabkan adanya intervensi atau pengabaian atas pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Terdapat pedoman yang mengatur situasi, frekuensi, dan tingkat pimpinan yang diperkenankan melakukan intervensi dan pengabaian.
Intervensi atau pengabaian terhadap pengendalian intern didokumentasikan secara lengkap termasuk alasan dan tindakan khusus yang diambil.
Pengabaian pengendalian intern tidak boleh dilakukan oleh pimpinan Instansi Pemerintah tingkat bawah kecuali dalam keadaan darurat dan segera dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang lebih tinggi, serta didokumentasikan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menghapus kebijakan atau penugasan yang dapat mendorong perilaku tidak etis. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan yang realistis dan dapat dicapai dan tidak menekan pegawai untuk mencapai tujuan lain yang tidak realistis.
Pimpinan Instansi Pemerintah sesuai dengan kewenangannya memberikan penghargaan untuk meningkatkan penegakan integritas dan kepatuhan terhadap nilai-nilai etika.
Kompensasi dan kenaikan jabatan atau promosi didasarkan pada prestasi dan kinerja. B. KOMITMEN TERHADAP KOMPETENSI KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi dan menetapkan kegiatan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah menganalisis tugas yang perlu dilaksanakan atas suatu pekerjaan dan memberikan pertimbangan serta pengawasan yang diperlukan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan dan memutakhirkan uraian jabatan atau perangkat lain untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan tugas khusus.
Instansi Pemerintah menyusun standar kompetensi untuk setiap tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang diperlukan untuk setiap jabatan diidentifikasi dan diberitahukan kepada pegawai.
Terdapat proses untuk memastikan bahwa pegawai yang terpilih untuk menduduki suatu jabatan telah memiliki pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang diperlukan.
Instansi Pemerintah menyelenggarakan pelatihan dan pembimbingan untuk membantu pegawai mempertahankan dan meningkatkan kompetensi pekerjaannya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Terdapat program pelatihan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pegawai.
Instansi Pemerintah sudah menekankan perlunya pelatihan berkesinambungan dan memiliki mekanisme pengendalian untuk membantu memastikan bahwa seluruh pegawai sudah menerima pelatihan yang tepat.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki keahlian manajemen yang diperlukan dan sudah dilatih untuk memberikan pembimbingan yang efektif bagi peningkatan kinerja.
Penilaian kinerja didasarkan pada penilaian atas faktor penting pekerjaan dan dengan jelas mengidentifikasi pekerjaaan yang telah dilaksanakan dengan baik dan yang masih memerlukan peningkatan.
Pegawai mendapat pembimbingan yang obyektif dan konstruktif untuk peningkatan kinerja.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki kemampuan manajerial dan pengalaman teknis yang luas dalam pengelolaan Instansi Pemerintah. C. KEPEMIMPINAN YANG KONDUSIF KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki sikap yang selalu mempertimbangkan risiko dalam pengambilan keputusan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan manajemen berbasis kinerja.
Pimpinan Instansi Pemerintah mendukung fungsi tertentu dalam penerapan SPIP, antara lain pencatatan dan pelaporan keuangan, sistem manajemen informasi, pengelolaan pegawai, dan pengawasan baik intern maupun ekstern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah menyelenggarakan akuntansi dan anggaran untuk pengendalian kegiatan dan evaluasi kinerja.
penyelenggara akuntansi yang didesentralisasi memiliki tanggung jawab membuat laporan kepada pejabat keuangan pusat.
penyelenggaraan manajemen keuangan, akuntansi dan anggaran dikendalikan oleh pejabat pengelola keuangan sehingga terdapat sinkronisasi dengan barang milik negara.
Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan fungsi manajemen informasi untuk mendapatkan data operasional yang penting dan mendukung upaya penyempurnaan sistem informasi sesuai perkembangan teknologi informasi.
Pimpinan Instansi Pemerintah memberi perhatian yang besar pada pegawai operasional dan menekankan pentingnya pembinaan sumber daya manusia yang baik.
Pimpinan Instansi Pemerintah memandang penting dan merespon informasi hasil pengawasan.
Perlindungan atas aset dan informasi dari akses dan penggunaan yang tidak sah.
Interaksi yang intensif dengan pimpinan pada tingkatan yang lebih rendah.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki sikap yang positif dan responsif terhadap pelaporan yang berkaitan dengan keuangan, penganggaran, program, dan kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah mengetahui dan ikut berperan dalam isu penting pada laporan keuangan serta mendukung penerapan prinsip- prinsip dan estimasi akuntansi yang konservatif.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengungkapkan semua informasi keuangan, anggaran, dan program yang diperlukan agar kondisi kegiatan dan keuangan Instansi Pemerintah tersebut dapat dipahami sepenuhnya.
Pimpinan Instansi Pemerintah menghindari penekanan pada pencapaian hasil-hasil jangka pendek.
Pegawai tidak menyampaikan laporan pencapaian target yang tidak tepat atau tidak akurat.
Fakta tidak dibesar-besarkan dan estimasi anggaran tidak ditinggikan sehingga menjadi tidak wajar.
Tidak ada mutasi pegawai yang berlebihan di fungsi-fungsi kunci, seperti pengelolaan kegiatan operasional dan program, akuntansi atau pemeriksaan intern, yang mungkin menunjukkan adanya masalah dengan perhatian Instansi Pemerintah terhadap pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
tidak adanya mutasi pimpinan Instansi Pemerintah yang berlebihan yang berkaitan dengan masalah-masalah pengendalian intern.
pegawai yang menduduki posisi penting tidak keluar (mengundurkan diri) dengan alasan yang tidak terduga.
adanya tingkat perputaran ( turnover ) pegawai yang tinggi yang dapat melemahkan pengendalian intern.
perputaran pegawai yang tidak berpola yang mengindikasikan kurangnya perhatian pimpinan Instansi Pemerintah terhadap pengendalian intern. D. STRUKTUR ORGANISASI KOMENTAR/CATATAN 1. Struktur organisasi Instansi Pemerintah disesuaikan dengan ukuran dan sifat kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Struktur organisasi mampu memfasilitasi arus informasi di dalam Instansi Pemerintah yang bersangkutan secara menyeluruh.
Pimpinan Instansi Pemerintah secara jelas menyatakan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan tingkat sentralisasi atau desentralisasi organisasi.
Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan kejelasan wewenang dan tanggung jawab. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab atas kegiatan atau fungsi utama sepenuhnya menyadari tugas dan tanggung jawabnya.
Bagan organisasi yang tepat dan terbaru yang menunjukkan bidang tanggung jawab utama disampaikan kepada semua pegawai.
Pimpinan Instansi Pemerintah memahami pengendalian intern yang menjadi tanggung jawabnya dan memastikan bahwa pegawainya juga memahami tanggung jawab masing- masing.
Kejelasan hubungan dan jenjang pelaporan intern dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Hubungan dan jenjang pelaporan ditetapkan serta secara efektif memberikan informasi yang dibutuhkan pimpinan Instansi Pemerintah untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Pegawai memahami hubungan dan jenjang pelaporan yang telah ditetapkan.
Pimpinan Instansi Pemerintah dapat dengan mudah saling berkomunikasi.
Pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan evaluasi dan penyesuaian secara periodik terhadap struktur organisasi sehubungan dengan perubahan lingkungan strategis.
Instansi Pemerintah menetapkan jumlah pegawai yang sesuai, terutama untuk posisi pimpinan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Pegawai tidak boleh bekerja lembur secara berlebihan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
Pimpinan Instansi Pemerintah tidak merangkap tugas dan tanggung jawab bawahannya lebih dari satu orang. E. PENDELEGASIAN WEWENANG DAN KOMENTAR/CATATAN TANGGUNG JAWAB 1. Wewenang diberikan kepada pegawai yang tepat sesuai dengan tingkat tanggung jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
wewenang dan tanggung jawab ditetapkan dengan jelas di dalam Instansi Pemerintah dan dikomunikasikan kepada semua pegawai.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki tanggung jawab sesuai kewenangannya dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki prosedur yang efektif untuk memantau hasil kewenangan dan tanggung jawab yang didelegasikan.
Pegawai yang diberi wewenang memahami bahwa wewenang dan tanggung jawab yang diterimanya terkait dengan pihak lain dalam Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
uraian tugas secara jelas menunjukkan tingkat wewenang dan tanggung jawab yang didelegasikan pada jabatan yang bersangkutan.
uraian tugas dan evaluasi kinerja merujuk pada pengendalian intern terkait tugas, tanggung jawab, dan akuntabilitas.
Pegawai yang diberi wewenang memahami bahwa pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab terkait dengan penerapan SPIP. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pegawai, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, diberdayakan untuk mengatasi masalah atau melakukan perbaikan.
Untuk penyelesaian pekerjaan, terdapat keseimbangan antara pendelegasian kewenangan yang diterima dengan keterlibatan pimpinan yang lebih tinggi. F. KEBIJAKAN DAN PRAKTIK PEMBINAAN KOMENTAR/CATATAN SUMBER DAYA MANUSIA 1. Penetapan kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan pemberhentian pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah mengkomunikasikan kepada pengelola pegawai mengenai kompetensi pegawai baru yang diperlukan atau berperan serta dalam proses penerimaan pegawai.
Instansi Pemerintah sudah memiliki standar atau kriteria rekrutmen dengan penekanan pada pendidikan, pengalaman, prestasi, dan perilaku etika.
uraian dan persyaratan jabatan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
terdapat program orientasi bagi pegawai baru dan program pelatihan berkesinambungan untuk semua pegawai.
promosi, remunerasi, dan pemindahan pegawai didasarkan pada penilaian kinerja.
penilaian kinerja didasarkan pada tujuan dan sasaran dalam rencana strategis Instansi Pemerintah bersangkutan.
nilai integritas dan etika termasuk kriteria dalam penilaian kinerja.
pegawai diberikan umpan balik dan pembimbingan untuk meningkatkan kinerja serta diberikan saran perbaikan.
sanksi disiplin atau tindakan pembimbingan diberikan atas pelanggaran kebijakan atau kode etik.
pemberhentian pegawai dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.
Penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
calon pegawai yang sering berpindah pekerjaan diberi perhatian khusus.
standar penerimaan pegawai harus mensyaratkan adanya investigasi atas catatan kriminal calon pegawai.
referensi dan atasan calon pegawai di tempat kerja sebelumnya harus dikonfirmasi.
ijazah pendidikan dan sertifikasi profesi harus dikonfirmasi.
Supervisi periodik yang memadai terhadap pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan panduan, penilaian, dan pelatihan di tempat kerja kepada pegawai untuk memastikan ketepatan pelaksanaan pekerjaan, mengurangi kesalahpahaman, serta mendorong berkurangnya tindakan pelanggaran.
Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa pegawai memahami dengan baik tugas, tanggung jawab, dan harapan pimpinan Instansi Pemerintah. G. PERWUJUDAN PERAN APARAT KOMENTAR/CATATAN PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH YANG EFEKTIF 1. Di dalam Instansi Pemerintah, terdapat mekanisme untuk memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
aparat pengawasan intern pemerintah, yang independen, melakukan pengawasan atas kegiatan Instansi Pemerintah.
aparat pengawasan intern pemerintah membuat laporan hasil pengawasan setelah melaksanakan tugas pengawasan.
untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, secara berkala dilaksanakan telaahan sejawat.
Di dalam Instansi Pemerintah terdapat mekanisme peringatan dini dan peningkatan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. __ 3. Di dalam Instansi Pemerintah, terdapat upaya memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan ( good governance ) tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.
Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah yang mengelola anggaran, akuntansi dan perbendaharaan sehingga tercipta mekanisme saling uji. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan Intansi Pemerintah yang mengelola anggaran, akuntansi dan perbendaharaan, serta melakukan pembahasan secara berkala tentang pelaporan keuangan dan anggaran, pengendalian intern serta kinerja.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah yang melaksanakan tanggung jawab pengendalian yang bersifat lintas instansi. Bagian Ikhtisar Lingkungan Pengendalian Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN II PENILAIAN RISIKO Unsur pengendalian intern yang kedua adalah penilaian risiko. Penilaian risiko diawali dengan penetapan maksud dan tujuan Instansi Pemerintah yang jelas dan konsisten baik pada tingkat instansi maupun pada tingkat kegiatan. Selanjutnya Instansi Pemerintah mengidentifikasi secara efisien dan efektif risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan tersebut, baik yang bersumber dari dalam maupun luar instansi. Terhadap risiko yang telah diidentifikasi dianalisis untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan. Pimpinan Instansi Pemerintah merumuskan pendekatan manajemen risiko dan kegiatan pengendalian risiko yang diperlukan untuk memperkecil risiko. Pimpinan Instansi Pemerintah atau evaluator harus berkonsentrasi pada penetapan tujuan instansi, pengidentifikasian dan analisis risiko serta pengelolaan risiko pada saat terjadi perubahan. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai efektivitas penilaian risiko yang dilaksanakan oleh pimpinan Instansi Pemerintah dalam rangka penerapan Sistem Pengendalian Intern. A. PENETAPAN TUJUAN INSTANSI SECARA KOMENTAR/CATATAN KESELURUHAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan Instansi Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan dalam bentuk misi, tujuan dan sasaran, sebagaimana dituangkan dalam rencana strategis dan rencana kinerja tahunan.
Tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan disusun sesuai dengan persyaratan program yang ditetapkan dengan peraturan perundang- undangan.
Tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan harus cukup spesifik, terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu.
Seluruh tujuan Instansi Pemerintah secara jelas dikomunikasikan pada semua pegawai sehingga pimpinan Instansi Pemerintah mendapatkan umpan balik, yang menandakan bahwa komunikasi tersebut berjalan secara efektif.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan strategi operasional yang konsisten dengan rencana strategis Instansi Pemerintah dan rencana penilaian risiko. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Rencana strategis mendukung tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan.
Rencana strategis mencakup alokasi dan prioritas penggunaan sumber daya.
Rencana strategis dan anggaran dirancang secara rinci sesuai dengan tingkatan Instansi Pemerintah.
Asumsi yang mendasari rencana strategis dan anggaran Instansi Pemerintah, konsisten dengan kondisi yang terjadi sebelumnya dan kondisi saat ini.
Instansi Pemerintah memiliki rencana strategis yang terpadu dan penilaian risiko, yang mempertimbangkan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan dan risiko yang berasal dari faktor intern dan ekstern, serta menetapkan suatu struktur pengendalian penanganan risiko. B. PENETAPAN TUJUAN PADA TINGKATAN KOMENTAR/CATATAN KEGIATAN 1. Penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan harus berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Semua kegiatan penting didasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah secara keseluruhan.
Tujuan pada tingkatan kegiatan dikaji ulang secara berkala untuk memastikan bahwa tujuan tersebut masih relevan dan berkesinambungan.
Tujuan pada tingkatan kegiatan saling melengkapi, saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Tujuan pada tingkatan kegiatan relevan dengan seluruh kegiatan utama Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Tujuan pada tingkatan kegiatan ditetapkan untuk semua kegiatan operasional penting dan kegiatan pendukung.
Tujuan pada tingkatan kegiatan konsisten dengan praktik dan kinerja sebelumnya yang efektif serta kinerja industri/bisnis yang mungkin dapat diterapkan pada kegiatan Instansi Pemerintah.
Tujuan pada tingkatan kegiatan mempunyai unsur kriteria pengukuran.
Tujuan pada tingkatan kegiatan didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang cukup. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan sudah diidentifikasi.
Jika tidak tersedia sumber daya yang cukup, pimpinan Instansi Pemerintah harus memiliki rencana untuk mendapatkannya.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi tujuan pada tingkatan kegiatan yang penting terhadap keberhasilan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi hal yang harus ada atau dilakukan agar tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan tercapai.
Tujuan pada tingkatan kegiatan yang penting harus mendapat perhatian dan direviu secara khusus serta capaian kinerjanya dipantau secara teratur oleh pimpinan Instansi Pemerintah.
Semua tingkatan pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam proses penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan dan berkomitmen untuk mencapainya. C. IDENTIFIKASI RISIKO KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan metodologi identifikasi risiko yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Metode kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk mengidentifikasi risiko dan menentukan peringkat risiko relatif secara terjadwal dan berkala.
Cara suatu risiko diidentifikasi, diperingkat, dianalisis, dan diatasi telah dikomunikasikan kepada pegawai yang berkepentingan.
Pembahasan identifikasi risiko dilakukan pada rapat tingkat pimpinan Instansi Pemerintah.
Identifikasi risiko merupakan bagian dari prakiraan rencana jangka pendek dan jangka panjang, serta rencana strategis.
Identifikasi risiko merupakan hasil dari pertimbangan atas temuan audit, hasil evaluasi, dan penilaian lainnya.
Risiko yang diidentifikasi pada tingkat pegawai dan pimpinan tingkat menengah menjadi perhatian pimpinan Instansi Pemerintah yang lebih tinggi.
Risiko dari faktor eksternal dan internal diidentifikasi dengan menggunakan mekanisme yang memadai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Instansi Pemerintah mempertimbangkan risiko dari perkembangan teknologi.
Risiko yang timbul dari perubahan kebutuhan atau harapan badan legislatif, pimpinan Instansi Pemerintah, dan masyarakat sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari peraturan perundang-undangan baru sudah diidentifikasi.
Risiko yang timbul dari bencana alam, tindakan kejahatan, atau tindakan terorisme sudah dipertimbangkan.
Identifikasi risiko yang timbul dari perubahan kondisi usaha, politik, dan ekonomi sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari rekanan utama sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari interaksi dengan Instansi Pemerintah lainnya dan pihak di luar pemerintahan sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari pengurangan kegiatan dan pengurangan pegawai Instansi Pemerintah sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari rekayasa ulang proses bisnis ( business process reengineering ) atau perancangan ulang proses operasional sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari gangguan pemrosesan sistem informasi dan tidak tersedianya sistem cadangan sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari pelaksanaan program yang didesentralisasi sudah diidentifikasi.
Risiko yang timbul dari tidak terpenuhinya kualifikasi pegawai dan tidak adanya pelatihan pegawai sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari ketergantungan terhadap rekanan atau pihak lain dalam pelaksanaan kegiatan penting Instansi Pemerintah sudah diidentifikasi.
Risiko yang timbul dari perubahan besar dalam tanggung jawab pimpinan Instansi Pemerintah sudah diidentifikasi.
Risiko yang timbul dari akses pegawai yang tidak berwenang terhadap aset yang rawan sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari kelemahan pengelolaan pegawai.
Risiko yang timbul dari ketidaktersediaan dana untuk pembiayaan program baru atau program lanjutan sudah dipertimbangkan.
Penilaian atas faktor lain yang dapat meningkatkan risiko telah dilaksanakan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Risiko yang timbul dari kegagalan pencapaian misi, tujuan, dan sasaran masa lalu atau keterbatasan anggaran sudah dipertimbangkan.
Risiko yang timbul dari pembiayaan yang tidak memadai, pelanggaran penggunaan dana, atau ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di masa lalu sudah dipertimbangkan.
Risiko melekat pada misi Instansi Pemerintah, program yang komplek dan penting, serta kegiatan khusus lainnya sudah diidentifikasi.
Risiko Instansi Pemerintah secara keseluruhan dan pada setiap tingkatan kegiatan penting sudah diidentifikasi. D. ANALISIS RISIKO KOMENTAR/CATATAN 1. Analisis risiko dilaksanakan untuk menentukan dampak risiko terhadap pencapaian tujuan Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan proses formal dan informal untuk menganalisis risiko berdasarkan kegiatan sehari-hari.
Kriteria klasifikasi risiko rendah, menengah atau tinggi sudah ditetapkan.
Pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah yang berkepentingan diikutsertakan dalam kegiatan analisis risiko.
Risiko yang diidentifikasi dan dianalisis relevan dengan tujuan kegiatan.
Analisis risiko mencakup perkiraan seberapa penting risiko bersangkutan.
Analisis risiko mencakup perkiraan kemungkinan terjadinya setiap risiko dan menentukan tingkatannya.
Cara terbaik mengelola atau mengurangi risiko dan tindakan khusus yang harus dilaksanakan sudah ditetapkan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menentukan tingkat risiko yang dapat diterima. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pendekatan penentuan tingkat risiko yang dapat diterima bervariasi antar Instansi Pemerintah tergantung dari varian dan toleransi risiko.
Pendekatan yang diterapkan dirancang agar tingkat risiko yang dapat diterima tetap wajar dan pimpinan Instansi Pemerintah bertanggung jawab atas penetapannya.
Kegiatan pengendalian khusus untuk mengelola serta mengurangi risiko secara keseluruhan dan di setiap tingkatan kegiatan, sudah ditetapkan dan penerapannya selalu dipantau. E. MENGELOLA RISIKO SELAMA PERUBAHAN KOMENTAR/CATATAN 1. Instansi Pemerintah memiliki mekanisme untuk mengantisipasi, mengidentifikasi, dan bereaksi terhadap risiko yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam pemerintahan, ekonomi, industri, peraturan, operasional atau kondisi lain yang dapat mempengaruhi tercapainya maksud dan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan atau maksud dan tujuan suatu kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Semua kegiatan di dalam Instansi Pemerintah yang mungkin akan sangat terpengaruh oleh perubahan sudah dipertimbangkan dalam prosesnya.
Perubahan rutin sudah ditangani melalui identifikasi risiko dan proses analisis yang ditetapkan.
Risiko yang diakibatkan oleh kondisi yang berubah-ubah secara signifikan sudah ditangani pada tingkat yang cukup tinggi di dalam Instansi Pemerintah sehingga dampaknya terhadap organisasi sudah dipertimbangkan dan tindakan yang layak sudah diambil.
Instansi Pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap risiko yang ditimbulkan oleh perubahan yang mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap Instansi Pemerintah dan yang menuntut perhatian pimpinan tingkat atas. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Instansi Pemerintah secara khusus sudah memberikan perhatian terhadap risiko yang ditimbulkan akibat menerima pegawai baru untuk menempati posisi kunci atau akibat tingginya keluar-masuk pegawai di suatu bidang.
Sudah ada mekanisme untuk menentukan risiko yang terkandung akibat diperkenalkannya sistem informasi baru atau berubahnya sistem informasi dan risiko yang terlibat dalam pelatihan pegawai dalam menggunakan sistem baru ini dan menerima perubahan.
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah memberikan pertimbangan khusus terhadap risiko yang diakibatkan oleh perkembangan dan ekspansi yang cepat atau penciutan yang cepat serta pengaruhnya terhadap kemampuan sistem dan perubahan rencana, maksud, dan tujuan strategis.
Sudah diberikan pertimbangan terhadap risiko yang terlibat saat memperkenalkan perkembangan dan penerapan teknologi baru yang penting serta pemanfaatannya dalam proses operasional.
Risiko sudah dianalisis secara menyeluruh saat Instansi Pemerintah akan memulai kegiatan untuk menyediakan suatu keluaran atau jasa baru.
Risiko yang diakibatkan oleh pelaksanaan kegiatan di suatu area geografis baru sudah ditetapkan. Bagian Ikhtisar Penilaian Risiko Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN III KEGIATAN PENGENDALIAN Unsur sistem pengendalian intern yang ketiga adalah kegiatan pengendalian. Kegiatan pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang dapat membantu memastikan dilaksanakannya arahan pimpinan Instansi Pemerintah untuk mengurangi risiko yang telah diidentifikasi selama proses penilaian risiko. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai tercapai tidaknya suatu lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. Kegiatan pengendalian yang diterapkan dalam suatu Instansi Pemerintah dapat berbeda dengan yang diterapkan pada Instansi Pemerintah lain. Perbedaan penerapan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan:
visi, misi, dan tujuan;
lingkungan dan cara beroperasi;
tingkat kerumitan organisasi;
sejarah atau latar belakang serta budaya; dan
risiko yang dihadapi. Kegiatan pengendalian terdiri atas:
reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
pembinaan sumber daya manusia;
pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
pengendalian fisik atas aset;
penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
pemisahan fungsi;
otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah kegiatan pengendalian intern pada suatu Instansi Pemerintah sudah memadai. A. PENERAPAN UMUM KOMENTAR/CATATAN 1. Kebijakan dan prosedur yang ada berkaitan dengan kegiatan Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Semua tujuan yang relevan dan risikonya untuk masing-masing kegiatan penting sudah diidentifikasi pada saat pelaksanaan penilaian risiko.
Pimpinan Instansi Pemerintah telah mengidentifikasi tindakan dan kegiatan pengendalian yang diperlukan untuk menangani risiko tersebut dan memberikan arahan penerapannya.
Kegiatan pengendalian yang diidentifikasi sebagai hal yang diperlukan sudah diterapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Kegiatan pengendalian yang diatur dalam pedoman pelaksanaan kebijakan dan prosedur sudah diterapkan dengan tepat dan memadai.
Pegawai dan atasannya memahami tujuan dari kegiatan pengendalian tersebut.
Petugas pengawas mereviu ber- fungsinya kegiatan pengendalian yang sudah ditetapkan dan selalu waspada terhadap adanya kegiatan pengendalian yang berlebihan.
Terhadap penyimpangan, masalah dalam penerapan, atau informasi yang membutuhkan tindak lanjut, telah diambil tindakan secara tepat waktu.
Kegiatan pengendalian secara berkala dievaluasi untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi sebagaimana diharapkan. B. REVIU ATAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH YANG BERSANGKUTAN __ 1. Reviu pada Tingkat Puncak – Pimpinan Instansi Pemerintah memantau pencapaian kinerja Instansi Pemerintah tersebut dibandingkan rencana sebagai tolok ukur kinerja. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam penyusunan rencana strategis dan rencana kerja tahunan.
Pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam pengukuran dan pelaporan hasil yang dicapai.
Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala mereviu kinerja dibandingkan rencana.
Inisiatif signifikan dari Instansi Pemerintah dipantau pencapaian targetnya dan tindak lanjut yang telah diambil.
Reviu Manajemen pada Tingkat Kegiatan – Pimpinan Instansi Pemerintah mereviu kinerja dibandingkan tolok ukur kinerja. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah pada setiap tingkatan kegiatan mereviu laporan kinerja, menganalisis kecenderungan, dan mengukur hasil dibandingkan target, anggaran, prakiraan, dan kinerja periode yang lalu.
Pejabat pengelola keuangan dan pejabat pelaksana tugas operasional mereviu serta membandingkan kinerja keuangan, anggaran, dan operasional dengan hasil yang direncanakan atau diharapkan.
Kegiatan pengendalian yang tepat telah dilaksanakan, antara lain seperti rekonsiliasi dan pengecekan ketepatan informasi. C. PEMBINAAN SUMBER DAYA MANUSIA __ __ KOMENTAR/CATATAN 1. Pemahaman bersama atas visi, misi, tujuan, nilai, dan strategi Instansi Pemerintah telah tercermin dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan pedoman panduan kerja lainnya dan telah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten kepada seluruh pegawai.
Instansi Pemerintah memiliki strategi pembinaan sumber daya manusia yang utuh dalam bentuk rencana strategis, rencana kerja tahunan, dan dokumen perencanaan sumber daya manusia lainnya yang meliputi kebijakan, program, dan praktek pengelolaan pegawai yang akan menjadi panduan bagi Instansi Pemerintah tersebut.
Instansi Pemerintah memiliki strategi perencanaan sumber daya manusia yang spesifik dan eksplisit, yang dikaitkan dengan keseluruhan rencana strategis, dan yang memungkinkan dilakukannya identifikasi kebutuhan pegawai baik pada saat ini maupun di masa mendatang.
Instansi Pemerintah telah memiliki persyaratan jabatan dan menetapkan kinerja yang diharapkan untuk setiap posisi pimpinan.
Pimpinan Instansi Pemerintah membangun kerja sama tim, mendorong penerapan visi Instansi Pemerintah, dan mendorong adanya umpan balik dari pegawai.
Sistem manajemen kinerja Instansi Pemerintah mendapat prioritas tertinggi dari pimpinan Instansi Pemerintah yang dirancang sebagai panduan bagi pegawai dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.
Instansi Pemerintah telah memiliki prosedur untuk memastikan bahwa pegawai dengan kompetensi yang tepat yang direkrut dan dipertahankan.
Pegawai telah diberikan orientasi, pelatihan dan kelengkapan kerja untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab, meningkatkan kinerja, meningkatkan kemampuan, serta memenuhi tuntutan kebutuhan organisasi yang berubah-ubah.
Sistem kompensasi cukup memadai untuk mendapatkan, memotivasi, dan mempertahankan pegawai serta insentif dan penghargaan disediakan untuk mendorong pegawai melakukan tugas dengan kemampuan maksimal.
Instansi Pemerintah memiliki program kesejahteraan dan fasilitas untuk meningkatkan kepuasan dan komitmen pegawai.
Pengawasan atasan dilakukan secara berkesinambungan untuk memastikan bahwa tujuan pengendalian intern bisa dicapai.
Pegawai diberikan evaluasi kinerja dan umpan balik yang bermakna, jujur, dan konstruktif untuk membantu pegawai memahami hubungan antara kinerjanya dan pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.
Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan kaderisasi untuk memastikan tersedianya pegawai dengan kompetensi yang diperlukan. D. PENGENDALIAN ATAS PENGELOLAAN KOMENTAR/CATATAN SISTEM INFORMASI Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi dilakukan untuk memastikan akurasi dan kelengkapan informasi. Pengendalian dilakukan melalui pengendalian umum dan pengendalian aplikasi.
Pengendalian Umum a. Pengamanan Sistem Informasi 1) Instansi Pemerintah secara berkala melaksanakan penilaian risiko secara periodik yang komprehensif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Penilaian risiko dilaksanakan dan didokumentasikan secara teratur dan pada saat sistem, fasilitas, atau kondisi lainnya berubah. b) Penilaian risiko tersebut sudah mempertimbangkan sensitivitas dan keandalan data. c) Penetapan risiko akhir dan persetujuan pimpinan Instansi Pemerintah didokumentasikan.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengembangkan rencana yang secara jelas menggambarkan program pengamanan serta kebijakan dan prosedur yang mendukungnya.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan organisasi untuk mengimplementasikan dan mengelola program pengamanan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan uraian tanggung jawab pengamanan secara jelas.
Instansi Pemerintah mengimplementasikan kebijakan yang efektif atas pegawai yang terkait dengan program pengamanan.
Instansi Pemerintah memantau efektivitas program pengamanan dan melakukan perubahan program pengamanan jika diperlukan. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala menilai kelayakan kebijakan pengamanan dan kepatuhan terhadap kebijakan tersebut. b) Tindakan korektif diterapkan dan diuji dengan segera dan efektif serta dipantau secara terus- menerus.
Pengendalian atas Akses 1) Instansi Pemerintah mengklasifikasikan sumber daya sistem informasi berdasarkan kepentingan dan sensitivitasnya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Klasifikasi sumber daya dan kriteria terkait sudah ditetapkan dan dikomunikasikan kepada pemilik sumber daya. b) Pemilik sumber daya memilah- milah sumber daya informasi berdasarkan klasifikasi dan kriteria yang sudah ditetapkan dengan memperhatikan penetapan dan penilaian risiko serta mendokumentasikannya.
Pemilik sumber daya mengidentifikasi pengguna yang berhak dan otorisasi akses ke informasi secara formal.
Instansi Pemerintah menetapkan pengendalian fisik dan pengendalian logik untuk mencegah dan mendeteksi akses yang tidak diotorisasi.
Instansi Pemerintah memantau akses ke sistem informasi, melakukan investigasi atas pelanggaran, dan mengambil tindakan perbaikan dan penegakan disiplin.
Pengendalian atas Pengembangan dan Perubahan Perangkat Lunak Aplikasi 1) Fitur pemrosesan sistem informasi dan modifikasi program diotorisasi.
Seluruh perangkat lunak yang baru dan yang dimutakhirkan sudah diuji dan disetujui.
Instansi Pemerintah telah menetapkan prosedur untuk memastikan terselenggaranya pengendalian atas kepustakaan perangkat lunak ( software libraries ) termasuk pemberian label, pembatasan akses, dan penggunaan kepustakaan perangkat lunak yang terpisah.
Pengendalian atas Perangkat Lunak Sistem 1) Instansi Pemerintah membatasi akses ke perangkat lunak sistem berdasarkan tanggung jawab pekerjaan dan otorisasi akses tersebut didokumentasikan.
Akses ke dan penggunaan perangkat lunak sistem dikendalikan dan dipantau.
Instansi Pemerintah mengendalikan perubahan yang dilakukan terhadap perangkat lunak sistem.
Pemisahan Tugas 1) Tugas yang tidak dapat digabungkan sudah diidentifikasi dan kebijakan untuk memisahkan tugas tersebut sudah ditetapkan.
Pengendalian atas akses sudah ditetapkan untuk pelaksanaan pemisahan tugas.
Instansi Pemerintah melakukan pengendalian atas kegiatan pegawai melalui penggunaan prosedur, supervisi, dan reviu.
Kontinuitas pelayanan 1) Instansi Pemerintah melakukan penilaian, pemberian prioritas, dan pengidentifikasian sumber daya pendukung atas kegiatan komputerisasi yang kritis dan sensitif.
Instansi Pemerintah sudah mengambil langkah-langkah pencegahan dan minimalisasi potensi kerusakan dan terhentinya operasi komputer antara lain melalui penggunaan prosedur back- up data dan program, penyimpanan back-up data di tempat lain, pengendalian atas lingkungan, pelatihan staf, serta pengelolaan dan pemeliharaan perangkat keras.
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah mengembangkan dan mendokumentasikan rencana komprehensif untuk mengatasi kejadian tidak terduga ( contingency plan ), misalnya langkah pengamanan apabila terjadi bencana alam, sabotase, dan terorisme.
Instansi Pemerintah secara berkala menguji rencana untuk mengatasi kejadian tidak terduga dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Pengendalian Aplikasi a. Pengendalian Otorisasi 1) Instansi Pemerintah mengendalikan dokumen sumber. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Akses ke dokumen sumber yang masih kosong dibatasi. b) Dokumen sumber diberikan nomor urut tercetak ( prenumbered ).
Atas dokumen sumber dilakukan pengesahan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut: a) Dokumen sumber yang penting memerlukan tanda tangan otorisasi. b) Untuk sistem aplikasi batch , harus digunakan lembar kendali batch yang menyediakan informasi seperti tanggal, nomor kendali, jumlah dokumen, dan jumlah kendali ( control totals ) dari field kunci. c) Reviu independen terhadap data dilakukan sebelum data dientri ke dalam sistem aplikasi.
Akses ke terminal entri data dibatasi.
File induk dan laporan khusus digunakan untuk memastikan bahwa seluruh data yang diproses telah diotorisasi.
Pengendalian Kelengkapan 1) Transaksi yang dientri dan diproses ke dalam komputer adalah seluruh transaksi yang telah diotorisasi.
Rekonsiliasi data dilaksanakan untuk memverifikasi kelengkapan data.
Pengendalian Akurasi 1) Desain entri data digunakan untuk mendukung akurasi data.
Validasi data dan editing dilaksanakan untuk mengidentifikasi data yang salah.
Data yang salah dengan segera dicatat, dilaporkan, diinvestigasi, dan diperbaiki.
Laporan keluaran direviu untuk mempertahankan akurasi dan validitas data.
Pengendalian terhadap Keandalan Pemrosesan dan File Data 1) Terdapat prosedur untuk memastikan bahwa hanya program dan file data versi terkini yang digunakan selama pemrosesan.
Terdapat program yang memiliki prosedur untuk memverifikasi bahwa versi file komputer yang sesuai yang digunakan selama pemrosesan.
Terdapat program yang memiliki prosedur untuk mengecek internal file header labels sebelum pemrosesan.
Terdapat aplikasi yang mencegah perubahan file secara bersamaan. E. PENGENDALIAN FISIK ATAS ASET KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan, mengimplementasikan, dan mengkomunikasikan rencana identifikasi, kebijakan, dan prosedur pengamanan fisik kepada seluruh pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Kebijakan dan prosedur pengamanan fisik telah ditetapkan, diimplementasikan, dan dikomunikasikan ke seluruh pegawai.
Instansi pemerintah telah mengembangkan rencana untuk identifikasi dan pengamanan aset infrastruktur.
Aset yang berisiko hilang, dicuri, rusak, digunakan tanpa hak seperti uang tunai, surat berharga, perlengkapan, persediaan, dan peralatan, secara fisik diamankan dan akses ke aset tersebut dikendalikan.
Aset seperti uang tunai, surat berharga, perlengkapan, persediaan, dan peralatan secara periodik dihitung dan dibandingkan dengan catatan pengendalian; setiap perbedaan diperiksa secara teliti.
Uang tunai dan surat berharga yang dapat diuangkan dijaga dalam tempat terkunci dan akses ke aset tersebut secara ketat dikendalikan.
Formulir seperti blangko cek dan Surat Perintah Membayar, diberi nomor urut tercetak ( prenumbered ), secara fisik diamankan, dan akses ke formulir tersebut dikendalikan.
Penanda tangan cek mekanik dan stempel tanda tangan secara fisik dilindungi dan aksesnya dikendalikan dengan ketat.
Peralatan yang berisiko dicuri diamankan dengan dilekatkan atau dilindungi dengan cara lainnya.
Identitas aset dilekatkan pada meubelair, peralatan, dan inventaris kantor lainnya.
persediaan dan perlengkapan disimpan di tempat yang diamankan secara fisik dan dilindungi dari kerusakan.
Seluruh fasilitas dilindungi dari api dengan menggunakan alarm kebakaran dan sistem pemadaman kebakaran.
Akses ke gedung dan fasilitas dikendalikan dengan pagar, penjaga, atau pengendalian fisik lainnya.
Akses ke fasilitas di luar jam kerja dibatasi dan dikendalikan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan, mengimplementasikan, dan mengkomunikasikan rencana pemulihan setelah bencana ( disaster recovery plan ) kepada seluruh pegawai. F. PENETAPAN DAN REVIU INDIKATOR DAN KOMENTAR/CATATAN UKURAN KINERJA 1. Ukuran dan indikator kinerja ditetapkan untuk tingkat Instansi Pemerintah, kegiatan, dan pegawai.
Instansi Pemerintah mereviu dan melakukan validasi secara periodik atas ketetapan dan keandalan ukuran dan indikator kinerja.
Faktor penilaian pengukuran kinerja dievaluasi untuk meyakinkan bahwa faktor tersebut seimbang dan terkait dengan misi, sasaran, dan tujuan serta mengatur insentif yang pantas untuk mencapai tujuan dengan tetap memperhatikan peraturan perundang- undangan.
Data capaian kinerja dibandingkan secara terus-menerus dengan sasaran yang ditetapkan dan selisihnya dianalisis lebih lanjut. G. PEMISAHAN FUNGSI KOMENTAR/CATATAN Pimpinan Instansi Pemerintah menjamin bahwa seluruh aspek utama transaksi atau kejadian tidak dikendalikan oleh 1 (satu) orang. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Tidak seorangpun diperbolehkan mengendalikan seluruh aspek utama transaksi atau kejadian.
Tanggung jawab dan tugas atas transaksi atau kejadian dipisahkan di antara pegawai berbeda yang terkait dengan otorisasi, persetujuan, pemrosesan dan pencatatan, pembayaran atau pemerimaan dana, reviu dan audit, serta fungsi-fungsi penyimpanan dan penanganan aset.
Tugas dilimpahkan secara sistematik ke sejumlah orang untuk memberikan keyakinan adanya checks and balances .
Jika memungkinkan, tidak seorangpun diperbolehkan menangani sendiri uang tunai, surat berharga, dan aset berisiko tinggi lainnya.
Saldo bank direkonsiliasi oleh pegawai yang tidak memiliki tanggung jawab atas penerimaan, pengeluaran, dan penyimpanan kas.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengurangi kesempatan terjadinya kolusi karena adanya kesadaran bahwa kolusi mengakibatkan ketidakefektifan pemisahan fungsi. H. OTORISASI ATAS TRANSAKSI DAN KOMENTAR/CATATAN KEJADIAN YANG PENTING Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan dan mengkomunikasikan syarat dan ketentuan otorisasi kepada pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Terdapat pengendalian untuk memberikan keyakinan bahwa hanya transaksi dan kejadian yang valid diproses dan dientri, sesuai dengan keputusan dan arahan pimpinan Instansi Pemerintah.
Terdapat pengendalian untuk memastikan bahwa hanya transaksi dan kejadian signifikan yang dientri adalah yang telah diotorisasi dan dilaksanakan hanya oleh pegawai sesuai lingkup otoritasnya.
Otorisasi yang secara spesifik memuat kondisi dan syarat otorisasi dikomunikasikan secara jelas kepada pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah.
Terdapat persyaratan otorisasi yang sejalan dengan arahan dan dalam batasan yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan pimpinan Instansi Pemerintah. I. PENCATATAN YANG AKURAT DAN TEPAT KOMENTAR/CATATAN WAKTU ATAS TRANSAKSI DAN KEJADIAN 1. Transaksi dan kejadian diklasifikasikan dengan tepat dan dicatat dengan segera sehingga tetap relevan, bernilai, dan berguna bagi pimpinan Instansi Pemerintah dalam mengendalikan kegiatan dan dalam pengambilan keputusan.
Klasifikasi dan pencatatan yang tepat dilaksanakan untuk seluruh siklus transaksi atau kejadian yang mencakup otorisasi, pelaksanaan, pemrosesan, dan klasifikasi akhir dalam pencatatan ikhtisar. J. PEMBATASAN AKSES ATAS SUMBER DAYA KOMENTAR/CATATAN DAN PENCATATANNYA Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan akses hanya kepada pegawai yang berwenang dan melakukan reviu atas pembatasan tersebut secara berkala. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Risiko penggunaan secara tidak sah atau kehilangan dikendalikan dengan membatasi akses ke sumber daya dan pencatatannya hanya kepada pegawai yang berwenang. __ 2. Penetapan pembatasan akses untuk penyimpanan secara periodik direviu dan dipelihara.
Pimpinan Instansi Pemerintah mempertimbangkan faktor-faktor seperti nilai aset, kemudahan dipindahkan, kemudahan ditukarkan ketika menentukan tingkat pembatasan akses yang tepat. K. AKUNTABILITAS TERHADAP SUMBER KOMENTAR/CATATAN DAYA DAN PENCATATANNYA Pimpinan Instansi Pemerintah menugaskan pegawai yang bertanggung jawab terhadap penyimpanan sumber daya dan pencatatannya serta melakukan reviu atas penugasan tersebut secara berkala. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pertanggungjawaban atas penyimpanan, penggunaan, dan pencatatan sumber daya ditugaskan pegawai khusus.
Penetapan pertanggungjawaban akses untuk penyimpanan sumber daya secara periodik direviu dan dipelihara.
Pembandingan berkala antara sumber daya dengan pencatatan akuntabilitas dilakukan untuk menentukan kesesuaiannya dan, jika tidak sesuai, dilakukan audit.
Pimpinan Instansi Pemerintah menginformasikan dan mengkomunikasikan tanggung jawab atas akuntabilitas sumber daya dan catatan kepada pegawai dalam organisasi dan meyakinkan bahwa petugas tersebut memahami tanggung jawabnya. L. DOKUMENTASI YANG BAIK ATAS SISTEM KOMENTAR/CATATAN PENGENDALIAN INTERN SERTA TRANSAKSI DAN KEJADIAN PENTING Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki, mengelola, memelihara, dan secara berkala memutakhirkan dokumentasi yang mencakup seluruh Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Terdapat dokumentasi tertulis yang mencakup Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah dan seluruh transaksi dan kejadian penting.
Dokumentasi tersedia setiap saat untuk diperiksa.
Dokumentasi atas Sistem Pengendalian Intern mencakup identifikasi, penerapan, dan evaluasi atas tujuan dan fungsi Instansi Pemerintah pada tingkatan kegiatan serta pengendaliannya yang tercermin dalam kebijakan administratif, pedoman akuntansi, dan pedoman lainnya.
Dokumentasi atas Sistem Pengendalian Intern mencakup dokumentasi yang menggambarkan sistem informasi otomatis, pengumpulan dan penanganan data, serta pengendalian umum dan pengendalian aplikasi.
Terdapat dokumentasi atas transaksi dan kejadian penting yang lengkap dan akurat sehingga memudahkan penelusuran transaksi dan kejadian penting sejak otorisasi, inisiasi, pemrosesan, hingga penyelesaian.
Terdapat dokumentasi, baik dalam bentuk cetakan maupun elektronis, yang berguna bagi pimpinan Instansi Pemerintah dalam mengendalikan kegiatannya dan bagi pihak lain yang terlibat dalam evaluasi dan analisis kegiatan.
Seluruh dokumentasi dan catatan dikelola dan dipelihara secara baik serta dimutakhirkan secara berkala. Bagian Ikhtisar Kegiatan Pengendalian Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN IV INFORMASI DAN KOMUNIKASI Unsur pengendalian intern keempat adalah informasi dan komunikasi. Instansi Pemerintah harus memiliki informasi yang relevan dan dapat diandalkan baik informasi keuangan maupun nonkeuangan, yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa eksternal serta internal. Informasi tersebut harus direkam dan dikomunikasikan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan lainnya di seluruh Instansi Pemerintah yang memerlukannya dalam bentuk serta dalam kerangka waktu, yang memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan pengendalian intern dan tanggung jawab operasional. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah Instansi Pemerintah telah menerapkan unsur informasi yang tepat dan komunikasi secara baik sehingga menunjang Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. A. INFORMASI KOMENTAR/CATATAN 1. Informasi dari sumber internal dan eksternal didapat dan disampaikan kepada pimpinan Instansi Pemerintah sebagai bagian dari pelaporan Instansi Pemerintah sehubungan dengan pencapaian kinerja operasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Informasi internal yang penting dalam mencapai tujuan Instansi Pemerintah, termasuk informasi yang berkaitan dengan faktor-faktor keberhasilan yang kritis, sudah diidentifikasi dan secara teratur dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah.
Instansi Pemerintah sudah mendapatkan dan melaporkan kepada pimpinan semua informasi eksternal relevan, yang dapat mempengaruhi tercapainya misi, maksud, dan tujuan Instansi Pemerintah, terutama yang berkaitan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan serta perubahan politik dan ekonomis.
Pimpinan Instansi Pemerintah di semua tingkatan telah memperoleh informasi internal dan eksternal yang diperlukan.
Informasi terkait sudah diidentifikasi, diperoleh dan didistribusikan kepada pihak yang berhak dengan rincian yang memadai, bentuk, dan waktu yang tepat, sehingga memungkinkan mereka dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efisien dan efektif. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menerima informasi hasil analisis yang dapat membantu dalam mengidentifikasi tindakan khusus yang perlu dilaksanakan.
Informasi sudah disiapkan dalam bentuk rincian yang tepat sesuai dengan tingkatan pimpinan Instansi Pemerintah.
Informasi yang relevan diringkas dan disajikan secara memadai sehingga memungkinkan dilakukannya pengecekan secara rinci sesuai keperluan.
Informasi disediakan tepat waktu agar dapat dilaksanakannya pemantauan kejadian, kegiatan, dan transaksi sehingga memungkinkan dilakukannya tindakan korektif secara cepat.
Pimpinan yang bertanggung jawab terhadap suatu program sudah menerima informasi operasional dan keuangan untuk membantu mengukur dan menentukan pencapaian rencana kinerja strategis, tahunan dan target Instansi Pemerintah sehubungan dengan pertanggungjawaban penggunaan sumber daya.
Informasi operasional sudah disediakan bagi pimpinan Instansi Pemerintah sehingga mereka dapat menentukan apakah pelaksanaan program sudah sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Informasi keuangan dan anggaran yang memadai sudah disediakan guna mendukung penyusunan pelaporan keuangan internal dan eksternal. B. KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah harus memastikan terjalinnya komunikasi internal yang efektif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah memberikan arahan yang jelas kepada seluruh tingkatan organisasi bahwa tanggung jawab pengendalian intern adalah masalah penting dan harus diperhatikan secara serius.
Tugas yang dibebankan kepada pegawai sudah dikomunikasikan dengan jelas dan sudah dimengerti aspek pengendalian internnya, peranan masing-masing pegawai, dan hubungan pekerjaan antar pegawai.
Pegawai sudah diinformasikan bahwa, jika ada hal yang tidak diharapkan terjadi dalam pelaksanaan tugas, perhatian harus diberikan bukan hanya kepada kejadian tersebut, tetapi juga pada penyebabnya, sehingga kelemahan potensial pengendalian intern bisa diidentifikasi dan diperbaiki sebelum kelemahan tersebut menimbulkan kerugian lebih lanjut terhadap Instansi Pemerintah.
Sikap perilaku yang bisa dan tidak bisa diterima serta konsekuensinya sudah dikomunikasikan secara jelas kepada pegawai.
Pegawai memiliki saluran komunikasi informasi ke atas selain melalui atasan langsungnya, dan ada keinginan yang tulus dari pimpinan Instansi Pemerintah untuk mendengar keluhan sebagai bagian dari proses manajemen.
Adanya mekanisme yang memungkinkan informasi mengalir ke seluruh bagian dengan lancar dan menjamin adanya komunikasi yang lancar antar kegiatan fungsional.
Pegawai mengetahui adanya saluran komunikasi informal atau terpisah yang bisa berfungsi apabila jalur informasi normal gagal digunakan.
Pegawai mengetahui adanya jaminan tidak akan ada tindakan ‘balas dendam’ ( reprisal ) jika melaporkan informasi yang negatif, perilaku yang tidak benar, atau penyimpangan.
Adanya mekanisme yang memungkinkan pegawai menyampaikan rekomendasi penyempurnaan kegiatan, dan pimpinan Instansi Pemerintah memberikan penghargaan terhadap rekomendasi yang baik berupa hadiah langsung atau bentuk penghargaan lainnya.
Pimpinan Instansi Pemerintah sering berkomunikasi dengan aparat pengawasan intern pemerintah, dan terus melaporkan kepada aparat pengawasan intern pemerintah mengenai kinerja, risiko, inisiatif penting, dan kejadian penting lainnya.
Pimpinan Instansi Pemerintah harus memastikan bahwa sudah terjalin komunikasi eksternal yang efektif yang memiliki dampak signifikan terhadap program, proyek, operasi dan kegiatan lain termasuk penganggaran dan pendanaannya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Adanya saluran komunikasi yang terbuka dan efektif dengan masyarakat, rekanan, konsultan, dan aparat pengawasan intern pemerintah serta kelompok lainnya yang bisa memberikan masukan yang signifikan terhadap kualitas pelayanan Instansi Pemerintah.
Semua pihak eksternal yang berhubungan dengan Instansi Pemerintah sudah diinformasikan mengenai kode etik yang berlaku dan juga sudah mengerti bahwa tindakan yang tidak benar, seperti pemberian komisi, tidak diperkenankan.
Komunikasi dengan eksternal sangat didorong untuk dapat mengetahui berfungsinya pengendalian intern.
Pengaduan, keluhan, dan pertanyaan mengenai layanan instansi pemerintah, ditindaklanjuti dengan baik karena dapat menunjukkan adanya permasalahan dalam pengendalian.
Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa saran dan rekomendasi aparat pengawasan intern pemerintah, auditor, dan evaluator lainnya sudah dipertimbangkan sepenuhnya dan ditindaklanjuti dengan memperbaiki masalah atau kelemahan yang diidentifikasi.
Komunikasi dengan badan legislatif, Instansi Pemerintah pengelola anggaran dan perbendaharaan, Instansi Pemerintah lain, media, dan masyarakat harus berisi informasi sehingga misi, tujuan, risiko yang dihadapi Instansi Pemerintah lebih dapat dipahami. C. BENTUK DAN SARANA KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan berbagai bentuk dan sarana dalam mengkomunikasikan informasi penting kepada pegawai dan lainnya. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menggunakan bentuk dan sarana komunikasi efektif, berupa buku pedoman kebijakan dan prosedur, surat edaran, memorandum, papan pengumuman, situs internet dan intranet, rekaman video, e-mail, dan arahan lisan.
Pimpinan telah melakukan komunikasi dalam bentuk tindakan positif saat berhubungan dengan pegawai di seluruh organisasi dan memperlihatkan dukungan terhadap pengendalian intern.
Instansi Pemerintah mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi untuk meningkatkan kegunaan dan keandalan komunikasi informasi secara terus menerus. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Manajemen sistem informasi dilaksanakan berdasarkan suatu rencana strategis sistem informasi yang merupakan bagian dari rencana strategis Instansi Pemerintah secara keseluruhan.
Adanya mekanisme untuk mengidentifikasi berkembangnya kebutuhan informasi.
Sebagai bagian dari manajemen informasi, Instansi Pemerintah telah memantau, menganalisis, mengevaluasi, dan memanfaatkan perkembangan dan kemajuan teknologi untuk dapat memberikan pelayanan lebih cepat dan efisien.
Pimpinan Instansi Pemerintah secara terus menerus memantau mutu informasi yang dikelola, diukur dari segi kelayakan isi, ketepatan waktu, keakuratan, dan kemudahan aksesnya.
Dukungan pimpinan Instansi Pemerintah terhadap pengembangan teknologi informasi ditunjukkan dengan komitmennya dalam menyediakan pegawai dan pendanaan yang memadai terhadap upaya pengembangan tersebut. Bagian Ikhtisar Informasi dan Komunikasi Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN V PEMANTAUAN Pemantauan merupakan unsur pengendalian intern yang kelima atau terakhir. Pemantauan Sistem Pengendalian Intern dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya. Pemantauan berkelanjutan diselenggarakan melalui kegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian Intern yang dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal pemerintah dengan menggunakan daftar uji pengendalian intern. Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan. Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah Instansi Pemerintah telah menerapkan unsur pemantauan secara baik sehingga dapat menunjang Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat. A. PEMANTAUAN BERKELANJUTAN KOMENTAR/CATATAN 1. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki strategi untuk meyakinkan bahwa pemantauan berkelanjutan efektif dan dapat memicu evaluasi terpisah pada saat persoalan teridentifikasi atau pada saat sistem berada dalam keadaan kritis, serta pada saat pengujian secara berkala diperlukan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Strategi pimpinan Instansi Pemerintah menyediakan umpan balik rutin, pemantauan kinerja, dan mengendalikan pencapaian tujuan.
Adanya strategi pemantauan yang meliputi metode untuk menekankan pimpinan program atau operasional bahwa mereka bertanggung jawab atas pengendalian intern dan pemantauan efektivitas kegiatan pengendalian sebagai bagian dari tugas mereka secara teratur dan setiap hari.
Adanya strategi pemantauan yang meliputi metode untuk menekankan pimpinan program bahwa mereka bertanggung jawab atas pengendalian intern dan bahwa tugas mereka adalah untuk memantau efektivitas kegiatan pengendalian secara teratur.
Adanya strategi pemantauan yang mencakup identifikasi kegiatan operasi penting dan sistem pendukung pencapaian misi yang memerlukan reviu dan evaluasi khusus.
Adanya strategi yang meliputi rencana untuk mengevaluasi secara berkala kegiatan pengendalian atas kegiatan operasi penting dan sistem pendukung pencapaian misi.
Dalam proses melaksanakan kegiatan rutin, pegawai Instansi Pemerintah mendapatkan informasi berfungsinya pengendalian intern secara efektif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Laporan operasional sudah terintegrasi atau direkonsiliasi dengan data laporan keuangan dan anggaran dan digunakan untuk mengelola operasional berkelanjutan, serta pimpinan Instansi Pemerintah memperhatikan adanya ketidakakuratan atau penyimpangan yang bisa mengindikasikan adanya masalah pengendalian intern.
Pimpinan yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional membandingkan informasi kegiatan atau informasi operasional lainnya yang didapat dari kegiatan sehari-hari dengan informasi yang didapat dari sistem informasi dan menindaklanjuti semua ketidakakuratan atau masalah lain yang ditemukan.
Pegawai operasional harus menjamin keakuratan laporan keuangan unit dan bertanggung jawab jika ditemukan kesalahan.
Komunikasi dengan pihak eksternal harus dapat menguatkan data yang dihasilkan secara internal atau harus dapat mengindikasikan adanya masalah dalam pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pengaduan rekanan mengenai praktik tidak adil oleh Instansi Pemerintah harus diselidiki.
Badan legislatif dan badan pengawas mengkomunikasikan informasi kepada Instansi Pemerintah mengenai kepatuhan atau hal lain yang mencerminkan berfungsinya pengendalian intern dan pimpinan Instansi Pemerintah menindaklanjuti semua masalah yang ditemukan.
Kegiatan pengendalian yang gagal mencegah atau mendeteksi adanya masalah yang timbul harus direviu.
Struktur organisasi dan supervisi yang memadai dapat membantu mengawasi fungsi pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pengeditan dan pengecekan otomatis serta kegiatan penatausahaan digunakan untuk membantu dalam mengontrol keakuratan dan kelengkapan pemrosesan transaksi.
Pemisahan tugas dan tanggung jawab digunakan untuk membantu mencegah penyelewengan.
Aparat pengawasan intern pemerintah harus independen dan memiliki wewenang untuk melapor langsung ke pimpinan Instansi Pemerintah dan tidak melakukan tugas operasional apapun bagi kepentingan pimpinan Instansi Pemerintah.
Data yang tercatat dalam sistem informasi dan keuangan secara berkala dibandingkan dengan aset fisiknya dan, jika ada selisih, harus telusuri. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Tingkat persediaan barang, perlengkapan, dan aset lainnya sudah dicek secara berkala; selisih antara jumlah yang tercatat dengan jumlah aktual harus dikoreksi dan penyebab selisih tersebut harus dijelaskan.
Frekuensi pembandingan antara pencatatan dan fisik aktual didasarkan atas tingkat kerawanan aset.
Tanggung jawab untuk menyimpan, menjaga, dan melindungi aset dan sumber daya lain dibebankan kepada orang yang ditugaskan.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengambil langkah untuk menindaklanjuti rekomendasi penyempurnaan pengendalian internal yang secara teratur diberikan oleh aparat pengawasan intern pemerintah, auditor, dan evaluator lainnya.
Rapat dengan pegawai digunakan untuk meminta masukan tentang efektivitas pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Masalah, informasi, dan masukan yang relevan berkaitan dengan pengendalian intern yang muncul pada saat pelatihan, seminar, rapat perencanaan, dan rapat lainnya diterima dan digunakan oleh pimpinan untuk mengatasi masalah atau untuk memperkuat sistem pengendalian intern.
Saran dari pegawai mengenai pengendalian intern harus dipertimbangkan dan ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
Pimpinan Instansi Pemerintah mendorong pegawai untuk mengidentifikasi kelemahan pengendalian intern dan melaporkannya ke atasan langsungnya.
Pegawai secara berkala diminta untuk menyatakan secara tegas apakah mereka sudah mematuhi kode etik atau peraturan sejenis mengenai perilaku yang diharapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pegawai secara berkala menyatakan kepatuhan mereka terhadap kode etik.
Tanda tangan diperlukan untuk membuktikan dilaksanakannya fungsi pengendalian intern penting, misalnya rekonsiliasi. B. EVALUASI TERPISAH KOMENTAR/CATATAN 1. Ruang lingkup dan frekuensi evaluasi pengendalian intern secara terpisah telah memadai bagi Instansi Pemerintah. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Hasil penilaian risiko dan efektivitas pemantauan yang berkelanjutan dipertimbangkan saat menentukan lingkup dan frekuensi evaluasi terpisah.
Kegiatan evaluasi terpisah seringkali diperlukan pada saat adanya kejadian misalnya perubahan besar dalam rencana atau strategi manajemen, pemekaran atau penciutan Instansi Pemerintah, atau perubahan operasional atau pemrosesan informasi keuangan dan anggaran.
Evaluasi secara berkala dilakukan terhadap bagian dari pengendalian intern secara memadai.
Evaluasi terpisah dilakukan oleh pegawai yang mempunyai keahlian tertentu yang disyaratkan dan dapat melibatkan aparat pengawasan intern pemerintah atau auditor eksternal.
Metodologi evaluasi pengendalian intern Instansi Pemerintah haruslah logis dan memadai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Metodologi yang dipergunakan telah mencakup self assessment dengan menggunakan daftar periksa ( check list ), daftar kuesioner, atau perangkat lainnya.
Evaluasi terpisah tersebut meliputi suatu reviu terhadap rancangan pengendalian intern dan pengujian langsung ( direct testing ) atas kegiatan pengendalian intern.
Dalam Instansi Pemerintah yang menggunakan sistem informasi berbasis komputer, evaluasi terpisah dilakukan dengan menggunakan teknik audit berbantuan komputer untuk mengidentifikasi indikator inefisiensi, pemborosan, atau penyalahgunaan.
Tim evaluasi terpisah menyusun suatu rencana evaluasi untuk meyakinkan terlaksananya kegiatan tersebut secara terkoordinasi.
Jika proses evaluasi terpisah dilakukan oleh pegawai Instansi Pemerintah, maka harus dipimpin oleh seorang pejabat dengan kewewenangan, kemampuan, dan pengalaman memadai.
Tim evaluasi terpisah harus memahami secara memadai mengenai visi, misi, dan tujuan Instansi Pemerintah serta kegiatannya.
Tim evaluasi terpisah sudah memahami bagaimana pengendalian intern Instansi Pemerintah seharusnya berkerja dan bagaimana implementasinya.
Tim evaluasi terpisah menganalisis hasil evaluasi dibandingkan dengan kriteria yang sudah ditetapkan.
Proses evaluasi didokumentasikan sebagaimana mestinya.
Jika evaluasi terpisah dilaksanakan oleh aparat pengawasan intern pemerintah, maka aparat pengawasan intern pemerintah tersebut harus memiliki sumber daya, kemampuan, dan independensi yang memadai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Aparat pengawasan intern pemerintah memiliki staf dengan tingkat kompetensi dan pengalaman yang cukup.
Aparat pengawasan intern pemerintah secara organisasi independen dan melapor langsung ke pimpinan tertinggi di dalam Instansi Pemerintah.
Tanggung jawab, lingkup kerja, dan rencana pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah yang bersangkutan.
Kelemahan yang ditemukan selama evaluasi terpisah segera diselesaikan. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Kelemahan yang ditemukan segera dikomunikasikan kepada orang yang bertanggung jawab atas fungsi tersebut dan atasan langsungnya.
Kelemahan dan masalah pengendalian intern yang serius segera dilaporkan ke pimpinan tertinggi Instansi Pemerintah. C. PENYELESAIAN AUDIT KOMENTAR/CATATAN 1. Instansi Pemerintah sudah memiliki mekanisme untuk meyakinkan ditindaklanjutinya temuan audit atau reviu lainnya dengan segera. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah segera mereviu dan mengevaluasi temuan audit, hasil penilaian, dan reviu lainnya yang menunjukkan adanya kelemahan dan yang mengidentifikasi perlunya perbaikan.
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tindakan yang memadai untuk menindaklanjuti temuan dan rekomendasi.
Tindakan korektif untuk menyelesaikan masalah yang menarik perhatian pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan dalam jangka waktu yang ditetapkan.
Dalam hal terdapat ketidaksepakatan dengan temuan atau rekomendasi, pimpinan Instansi Pemerintah menyatakan bahwa temuan atau rekomendasi tersebut tidak tepat atau tidak perlu ditindaklanjuti.
Pimpinan Instansi Pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan konsultasi dengan auditor (seperti BPK, aparat pengawasan intern pemerintah, dan auditor eksternal lainnya) dan pereviu jika diyakini akan membantu dalam proses penyelesaian audit.
Pimpinan Instansi Pemerintah tanggap terhadap temuan dan rekomendasi audit dan reviu lainnya guna memperkuat pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Pimpinan Instansi Pemerintah yang berwenang mengevaluasi temuan dan rekomendasi dan memutuskan tindakan yang layak untuk memperbaiki atau meningkatkan pengendalian.
Tindakan pengendalian intern yang diperlukan, diikuti untuk memastikan penerapannya.
Instansi Pemerintah menindaklanjuti temuan dan rekomendasi audit dan reviu lainnya dengan tepat. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
Masalah yang berkaitan dengan transaksi atau kejadian tertentu dikoreksi dengan segera.
Penyebab yang diungkapkan dalam temuan atau rekomendasi diteliti oleh pimpinan Instansi Pemerintah.
Tindakan diambil untuk memperbaiki kondisi atau mengatasi penyebab terjadinya temuan.
Pimpinan Instansi Pemerintah dan auditor memantau temuan audit dan reviu serta rekomendasinya untuk meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan telah dilaksanakan.
Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala mendapat laporan status penyelesaian audit dan reviu sehingga pimpinan dapat meyakinkan kualitas dan ketepatan waktu penyelesaian setiap rekomendasi. Bagian Ikhtisar Pemantauan Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini: BAGIAN VI IKHTISAR PENGENDALIAN INTERN SECARA KESELURUHAN A. LINGKUNGAN PENGENDALIAN KOMENTAR/CATATAN Pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah memiliki sikap perilaku yang positif dan mendukung pengendalian intern dan manajemen bersih. Pimpinan Instansi Pemerintah harus menyampaikan pesan bahwa nilai-nilai integritas dan etis tidak boleh dikompromikan. Pimpinan Instansi Pemerintah menunjukkan suatu komitmen terhadap kompetensi / kemampuan pegawainya dan menggunakan kebijakan dan praktik pembinaan sumber daya manusia yang baik. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki kepemimpinan yang kondusif yang mendukung pengendalian intern yang efektif. Struktur organisasi Instansi Pemerintah dan metode pendelegasian wewenang dan tanggung jawab memberikan kontribusi terhadap efektivitas pengendalian intern. Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan badan legislatif serta auditor internal dan eksternal. B. PENILAIAN RISIKO KOMENTAR/CATATAN Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menetapkan tujuan keseluruhan Instansi Pemerintah yang jelas dan konsisten serta tujuan tingkatan kegiatan yang mendukungnya. Pimpinan Instansi Pemerintah sudah melakukan identifikasi risiko secara menyeluruh, mulai dari sumber internal maupun eksternal, yang dapat mempengaruhi kemampuan Instansi Pemerintah dalam mencapai tujuannya. Analisis risiko sudah dilaksanakan, dan Instansi Pemerintah sudah mengembangkan pendekatan yang memadai untuk mengelola risiko. Selain itu, sudah ada mekanisme untuk mengidentifikasi perubahan yang dapat mempengaruhi kemampuan Instansi Pemerintah tersebut dalam mencapai visi, misi, dan tujuannya. C. KEGIATAN PENGENDALIAN KOMENTAR/CATATAN Kebijakan, prosedur, teknik, dan mekanisme pengendalian yang memadai sudah dikembangkan dan sudah diterapkan untuk memastikan adanya kepatuhan terhadap arahan yang sudah ditetapkan. Kegiatan pengendalian yang tepat sudah dikembangkan untuk setiap kegiatan Instansi Pemerintah dan diterapkan sebagaimana mestinya. D. INFORMASI DAN KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN Sistem informasi untuk mengidentifikasi dan mencatat informasi operasional dan keuangan yang penting yang berhubungan dengan peristiwa internal dan eksternal telah ada dan diimplementasikan. Informasi tersebut dikomunikasikan kepada pimpinan dan pihak lain di lingkungan Instansi Pemerintah dalam bentuk yang memungkinkan pihak tersebut melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efisien dan efektif. Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa komunikasi internal telah terjalin dengan efektif. Pimpinan Instansi Pemerintah juga harus memastikan bahwa komunikasi eksternal yang efektif juga terjalin dengan kelompok- kelompok yang dapat mempengaruhi pencapaian visi, misi, dan tujuan Instansi Pemerintah. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan berbagai bentuk komunikasi yang sesuai dengan kebutuhannya serta mengelola, mengembangkan, dan memperbaiki sistem informasinya dalam upaya meningkatkan komunikasi secara berkesinambungan. E. PEMANTAUAN KOMENTAR/CATATAN Pemantauan pengendalian intern menilai kualitas kinerja pengendalian intern Instansi Pemerintah secara terus-menerus sebagai bagian dari proses pelaksanaan kegiatan sehari-hari. Selain itu, evaluasi terpisah terhadap pengendalian intern dilakukan secara berkala dan kelemahan yang ditemukan diteliti lebih lanjut. Sudah ada prosedur untuk memastikan bahwa seluruh temuan audit dan reviu lainnya segera dievaluasi, ditentukan tanggapan yang tepat, dan dilaksanakan tindakan perbaikannya. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usah Milik Negara.
Surat Utang Negara
Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4614 LAMPIRAN I.A.1 PERATURAN PEMERINTAH RI NOMOR: 8 TAHUN 2006 TANGGAL : 3 APRIL 2006 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PUSAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PUSAT UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 PENDAPATAN 2 PENDAPATAN PERPAJAKAN 3 Pendapatan Pajak Penghasilan xxx xxx xx xxx 4 Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah xxx xxx xx xxx 5 Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan xxx xxx xx xxx 6 Pendapatan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan xxx xxx xx xxx 7 Pendapatan Cukai xxx xxx xx xxx 8 Pendapatan Bea Masuk xxx xxx xx xxx 9 Pendapatan Pajak Ekspor xxx xxx xx xxx 10 Pendapatan Pajak Lainnya xxx xxx xx xxx 11 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Perpajakan (3 s/d xxxx xxxx xx xxxx 10) ───────────────────────────────── 12 13 PENDAPATAN NEGARA BUKAN PAJAK 14 Pendapatan Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 15 Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba xxx xxx xx xxx 16 Pendapatan Negara Bukan Pajak Lainnya xxx xxx xx xxx 17 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Negara Bukan Pajak xxxx xxxx xx xxxx (14 s/d 16) ───────────────────────────────── 18 19 PENDAPATAN HIBAH 20 Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 21 Jumlah Pendapatan Hibah (20 s/d 20) xxx xxx xx xxx 22 JUMLAH PENDAPATAN ───────────────────────────────── (11 + 17 + 21) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 23 24 BELANJA 25 BELANJA OPERASI 26 Belanja Pegawai xxx xxx xx xxx 27 Belanja Barang xxx xxx xx xxx 28 Bunga xxx xxx xx xxx 29 Subsidi xxx xxx xx xxx 30 Hibah xxx xxx xx xxx 31 Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 32 Belanja Lain-lain xxx xxx xx xxx 33 Jumlah Belanja Operasi ───────────────────────────────── (26 s/d 32) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 34 35 BELANJA MODAL xxx xxx xx xxx 36 Belanja Tanah xxx xxx xx xxx 37 Belanja Peralatan dan Mesin xxx xxx xx xxx 38 Belanja Gedung dan Bangunan xxx xxx xx xxx 39 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan xxx xxx xx xxx 40 Belanja Aset Tetap Lainnya xxx xxx xx xxx 41 Belanja Aset Lainnya xxx xxx xx xxx 42 Jumlah Belanja Modal (36 s/d 41) xxx xxx xx xxx 43 JUMLAH BELANJA ───────────────────────────────── (33 + 42) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 44 45 TRANSFER 46 DANA PERIMBANGAN 47 Dana Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 48 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 49 Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 50 Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 51 Jumlah Dana Perimbangan ───────────────────────────────── (47 s/d 50) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 52 53 TRANSFER LAINNYA (disesuaikan dengan program yang ada) 54 Dana Otonomi Khusus xxx xxx xx xxx 55 Dana Penyesuaian xxx xxx xx xxx 56 Jumlah Transfer Lainnya (54 s/d 55) xxx xxx xx xxx 57 JUMLAH TRANSFER ───────────────────────────────── (51 + 56) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 58 JUMLAH BELANJA DAN ───────────────────────────────── TRANSFER (43 + 57) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 59 SURPLUS/DEFISIT ───────────────────────────────── (22 - 58) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 60 61 62 PEMBIAYAAN 63 PENERIMAAN 64 PENERIMAAN PEMBIAYAAN DALAM NEGERI 65 Penggunaan SiLPA xxx xxx xx xxx 66 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Sektor Perbankan xxx xxx xx xxx 67 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Obligasi xxx xxx xx xxx 68 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri-Lainnya xxx xxx xx xxx 69 Penerimaan dari Divestasi xxx xxx xx xxx 70 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 71 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 72 Jumlah Penerimaan ───────────────────────────────── Pembiayaan Dalam xxxx xxxx xx xxxx Negeri (65 s/d 71) ───────────────────────────────── 73 74 PENERIMAAN PEMBIAYAAN LUAR NEGERI 75 Penerimaan Pinjaman Luar Negeri xxx xxx xx xxx 76 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Lembaga Internasional xxx xxx xx xxx 77 Jumlah Pembiayaan Luar ───────────────────────────────── Negeri (75 s/d 76) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 78 JUMLAH PENERIMAAN xxxx xxxx xx xxxx PEMBIAYAAN (72 + 77) ───────────────────────────────── 79 80 PENGELUARAN 81 PENGELUARAN PEMBIAYAAN DALAM NEGERI 82 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Sektor Perbankan xxx xxx xx xxx 83 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Obligasi xxx xxx xx xxx 84 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lainnya xxx xxx xx xxx 85 Pengeluaran Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) xxx xxx xx xxx 86 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 87 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 88 Jumlah Pengeluaran ───────────────────────────────── Pembiayaan Dalam xxxx xxxx xx xxxx Negeri (82 s/d 87) ───────────────────────────────── 89 90 PENGELUARAN PEMBIAYAAN LUAR NEGERI 91 Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri xxx xxx xx xxx 92 Pemberian Pinjaman kepada Lembaga Internasional xxx xxx xx xxx 93 Jumlah Pengeluaran ───────────────────────────────── Pembiayaan Luar xxxx xxxx xx xxxx Negeri (91 s/d 92) ───────────────────────────────── 94 JUMLAH PENGELUARAN xxxx xxxx xx xxxx PEMBIAYAAN (88 + 93) ───────────────────────────────── 95 PEMBIAYAAN NETO xxxx xxxx xx xxxx 96 Sisa Lebih (Kurang) - xxxx - xxxx Pembiayaan Anggaran (59 + 95) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.2 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── I. IKHTISAR MENURUT SUMBER DANA X Uraian Sumber Dana XX Uraian Fungsi XXX XXX XX XXX XX.XX Uraian Sub Fungsi XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Program XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja Sub ──────────────────────────────── Fungsi XX.XX XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja ──────────────────────────────── Fungsi XX XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja Sumber ──────────────────────────────── Dana X XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── II. IKHTISAR MENURUT ESELON I XX Uraian Eselon I XXX XXX XX XXX XX Uraian Eselon I XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── III. IKHTISAR MENURUT PUSAT-WILAYAH XXXX Pusat XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Wilayah XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Wilayah XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── IV. IKHTISAR MENURUT JENIS BELANJA-MAK XX Uraian Jenis Belanja XXX XXX XX XXX XXXX Uraian Jenis Belanja XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja ──────────────────────────────── XXXX XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── XXXX Uraian Jenis Belanja XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX XXXXXX Uraian MAK XXX XXX XX XXX Jumlah Belanja ──────────────────────────────── XXXX XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── Jumlah Belanja XX XXX XXX XX XXX ──────────────────────────────── JUMLAH BELANJA XXX XXX XX XXX ────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.3 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN BENDAHARA UMUM NEGARA LAPORAN REALISASI ANGGARAN BENDAHARA UMUM NEGARA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH 2 I. Pendapatan Dalam Negeri 3 1. Pendapatan Perpajakan 4 a. Pajak Dalam Negeri xxx xxx xx xxx 5 b. Pajak Perdagangan Internasional xxx xxx xx xxx 6 7 2. Pendapatan Negara Bukan Pajak 8 a. Pendapatan Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 9 b. Bagian Laba BUMN xxx xxx xx xxx 10 c. PNBP Lainnya xxx xxx xx xxx 11 12 II. Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 13 14 B. BELANJA NEGARA 15 I. Belanja Pemerintah Pusat 16 1. Pembayaran Bunga Utang 17 a. Utang Dalam Negeri xxx xxx xx xxx 18 b. Utang Luar Negeri xxx xxx xx xxx 19 2. Subsidi 20 a. Subsidi BBM xxx xxx xx xxx 21 b. Subsidi Non- BBM xxx xxx xx xxx 22 c. Subsidi dalam rangka PSO xxx xxx xx xxx 23 3. Hibah xxx xxx xx xxx 24 4. Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 25 5. Belanja lain-lain xxx xxx xx xxx 26 27 II. Belanja Untuk Daerah 28 1. Dana Perimbangan 29 a. Dana Bagi Hasil xxx xxx xx xxx 30 b. Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 31 c. Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 32 33 2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian xxx xxx xx xxx 34 35 C. Keseimbangan Primer xxx xxx xx xxx 36 D. Surplus/Defisit Anggaran (A - B) xxx xxx xx xxx 37 E. Pembiayaan (E.I + E.II) 38 I. Pembiayaan Dalam Negeri - - - - 39 1. Perbankan Dalam Negeri xxx xxx xx xxx 40 2. Non-Perbankan dalam Negeri xxx xxx xx xxx 41 42 II. Pembiayaan Luar Negeri (neto) 43 1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (bruto) xxx xxx xx xxx 44 2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri xxx xxx xx xxx ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.4 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PROVINSI LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH PROVINSI UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 dan 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 PENDAPATAN 2 PENDAPATAN ASLI DAERAH 3 Pendapatan Pajak Daerah xxx xxx xx xxx 4 Pendapatan Retribusi Daerah xxx xxx xx xxx 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan xxx xxx xx xxx 6 Lain-lain PAD yang sah xxx xxx xx xxx 7 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Asli Daerah (3 s/d 6) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 8 9 PENDAPATAN TRANSFER 10 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - DANA PERIMBANGAN 11 Dana Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 12 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 13 Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 14 Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 15 Jumlah Pendapatan Transfer Dana ───────────────────────────────── Perimbangan xxxx xxxx xx xxxx (11 s/d 14) ───────────────────────────────── 16 17 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - LAINNYA 18 Dana Otonomi Khusus xxx xxx xx xxx 19 Dana Penyesuaian xxx xxx xx xxx 20 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Transfer Lainnya xxxx xxxx xx xxxx (18 s/d 19) ───────────────────────────────── 21 Total Pendapatan xxxx xxxx xx xxxx Transfer (15 + 20) ───────────────────────────────── 22 23 LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH 24 Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 25 Pendapatan Dana Darurat xxx xxx xx xxx 26 Pendapatan Lainnya xxx xxx xx xxx 27 Jumlah Pendapatan ───────────────────────────────── Lain-lain yang Sah xxx xxx xx xxx (24 s/d 26) ───────────────────────────────── 28 JUMLAH PENDAPATAN xxxx xxxx xx xxxx (7 + 21 + 27) ───────────────────────────────── 29 BELANJA 30 BELANJA OPERASI 31 Belanja Pegawai xxx xxx xx xxx 32 Belanja Barang xxx xxx xx xxx 33 Bunga xxx xxx xx xxx 34 Subsidi xxx xxx xx xxx 35 Hibah xxx xxx xx xxx 36 Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 37 Jumlah Belanja ───────────────────────────────── Operasi (31 s/d 36) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 38 39 BELANJA MODAL 40 Belanja Tanah xxx xxx xx xxx 41 Belanja Peralatan dan Mesin xxx xxx xx xxx 42 Belanja Gedung dan Bangunan xxx xxx xx xxx 43 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan xxx xxx xx xxx 44 Belanja Aset Tetap Lainnya xxx xxx xx xxx 45 Belanja Aset Lainnya xxx xxx xx xxx 46 Jumlah Belanja Modal ───────────────────────────────── (40 s/d 45) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 47 48 BELANJA TAK TERDUGA 49 Belanja Tak Terduga xxx xxx xx xxx 50 Jumlah Belanja Tak ───────────────────────────────── Terduga (49 s/d 49) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 51 Jumlah Belanja xxxx xxxx xx xxxx (37 + 46 + 50) ───────────────────────────────── 52 53 TRANSFER 54 TRANSFER/BAGI HASIL PENDAPATAN KE KABUPATEN/KOTA 55 Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota xxx xxx xx xxx 56 Bagi Hasil Retribusi ke Kabupaten/Kota xxx xxx xx xxx 57 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota xxx xxx xx xxx 58 Jumlah Transfer ───────────────────────────────── Bagi Hasil xxxx xxxx xx xxxx Pendapatan ke Kab./Kota (55 s/d 57) ───────────────────────────────── 59 JUMLAH BELANJA xxxx xxxx xx xxxx DAN TRANSFER (51 + 58) ───────────────────────────────── ───────────────────────────────── 60 SURPLUS/DEFISIT xxx xxx xx xxx (28 - 59) ───────────────────────────────── 61 62 PEMBIAYAAN 63 64 PENERIMAAN PEMBIAYAAN 65 Penggunaan SiLPA xxx xxx xx xxx 66 Pencairan Dana Cadangan xxx xxx xx xxx 67 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan xxx xxx xx xxx 68 Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Pusat xxx xxx xx xxx 69 Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 70 Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bank xxx xxx xx xxx 71 Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx xx xxx 72 Pinjaman Dalam Negeri- Obligasi xxx xxx xx xxx 73 Pinjaman Dalam Negeri- Lainnya xxx xxx xx xxx 74 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 75 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 76 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 77 Jumlah Penerimaan ───────────────────────────────── (66 s/d 77) xxxx xxxx xx xxxx ───────────────────────────────── 78 79 PENGELUARAN PEMBIAYAAN 80 Pembentukan Dana Cadangan xxx xxx xx xxx 87 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah xxx xxx xx xxx 81 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Pusat xxx xxx xx xxx 82 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 83 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bank xxx xxx xx xxx 84 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx xx xxx 85 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Obligasi xxx xxx xx xxx 86 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri- Lainnya xxx xxx xx xxx 88 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx xx xxx 89 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx xx xxx 90 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx xx xxx 91 Jumlah Pengeluaran ───────────────────────────────── (81 s/d 91) xxx xxx xx xxx ───────────────────────────────── 92 PEMBIAYAAN NETO xxxx xxxx xx xxxx 93 94 ───────────────────────────────── 95 Sisa Lebih Pembiayaan xxxx xxxx xx xxxx Anggaran (61-93) ───── ──────────────────────────── ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-A.5 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA LAPORAN REALISASI ANGGARAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR SAMPAI DENGAN 31 DESEMBER 20X1 dan 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── 20X1 20X0 No. Uraian Anggaran Realisasi % Realisasi ──────────────────────────────────────────────────────────────── 1 PENDAPATAN 2 PENDAPATAN ASLI DAERAH 3 Pendapatan Pajak Daerah xxx xxx xx xxx 4 Pendapatan Retribusi Daerah xxx xxx xx xxx 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan xxx xxx xx xxx 6 Lain-lain PAD yang sah xxx xxx xx xxx 7 Jumlah Pendapatan Asli ───── ──────────────────────────── Daerah (3 s/d 6) xxxx xxxx xx xxxx 8 ───── ──────────────────────────── 9 PENDAPATAN TRANSFER 10 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - DANA PERIMBANGAN 11 Dana Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 12 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam xxx xxx xx xxx 13 Dana Alokasi Umum xxx xxx xx xxx 14 Dana Alokasi Khusus xxx xxx xx xxx 15 Jumlah Pendapatan ───── ──────────────────────────── Transfer Dana xxxx xxxx xx xxxx Perimbangan (11 s/d 14) ───── ──────────────────────────── 16 17 TRANSFER PEMERINTAH PUSAT - LAINNYA 18 Dana Otonomi Khusus xxx xxx xx xxx 19 Dana Penyesuaian xxx xxx xx xxx 20 Jumlah Pendapatan ───── ──────────────────────────── Transfer Pemerintah xxxx xxxx xx xxxx Pusat - Lainnya (18 s/d 19) ───── ──────────────────────────── 21 22 TRANSFER PEMERINTAH PROVINSI 23 Pendapatan Bagi Hasil Pajak xxx xxx xx xxx 24 Pendapatan Bagi Hasil Lainnya xxx xxx xx xxx 25 Jumlah Transfer ───── ──────────────────────────── Pemerintah Provinsi xxxx xxxx xx xxxx (23 s/d 24) ───── ──────────────────────────── 26 Total Pendapatan xxxx xxxx xx xxxx Transfer (15 + 20 + 25) ───── ──────────────────────────── 27 28 LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SAH 29 Pendapatan Hibah xxx xxx xx xxx 30 Pendapatan Dana Darurat xxx xxx xx xxx 31 Pendapatan Lainnya xxx xxx xx xxx 32 Jumlah Lain-lain ───── ──────────────────────────── Pendapatan yang Sah xxx xxx xx xxx (29 s/d 31) ───── ──────────────────────────── 33 JUMLAH PENDAPATAN xxxx xxxx xx xxxx (7 + 26 + 32) ───── ──────────────────────────── 34 35 BELANJA 36 BELANJA OPERASI 37 Belanja Pegawai xxx xxx xx xxx 38 Belanja Barang xxx xxx xx xxx 39 Bunga xxx xxx xx xxx 40 Subsidi xxx xxx xx xxx 41 Hibah xxx xxx xx xxx 42 Bantuan Sosial xxx xxx xx xxx 43 Jumlah Belanja Operasi ───── ──────────────────────────── (37 s/d 42) xxxx xxxx xx xxxx ───── ──────────────────────────── 44 45 BELANJA MODAL 46 Belanja Tanah xxx xxx xx xxx 47 Belanja Peralatan dan Mesin xxx xxx xx xxx 48 Belanja Gedung dan Bangunan xxx xxx xx xxx 49 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan xxx xxx xx xxx 50 Belanja Aset Tetap Lainnya xxx xxx xx xxx ──────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-B.4 ILUSTRASI FORMAT NERACA PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA NERACA PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA PER 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 ASET 2 3 ASET LANCAR 4 Kas di Kas Daerah xxx xxx 5 Kas di Bendahara Pengeluaran xxx xxx 6 Kas di Bendahara Penerimaan xxx xxx 7 Investasi Jangka Pendek xxx xxx 8 Piutang Pajak xxx xxx 9 Piutang Retribusi xxx xxx 10 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx 11 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx 12 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Pusat xxx xxx 13 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 14 Bagian Lancar Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 15 Bagian lancar Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 16 Piutang Lainnya xxx xxx 17 Persediaan xxx xxx 18 Jumlah Aset Lancar ──────────────────────────── (4 s/d 17) xxx xxx 19 ──────────────────────────── 20 INVESTASI JANGKA PANJANG 21 Investasi Nonpermanen 22 Pinjaman Kepada Perusahaan Negara xxx xxx 23 Pinjaman Kepada Perusahaan Daerah xxx xxx 24 Pinjaman Kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 25 Investasi dalam Surat Utang Negara xxx xxx 26 Investasi dalam Proyek Pembangunan xxx xxx 27 Investasi Nonpermanen Lainnya xxx xxx 28 Jumlah Investasi Nonpermanen (22 s/d 27) xxx xxx 29 Investasi Permanen 30 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah xxx xxx 31 Investasi Permanen Lainnya xxx xxx 32 Jumlah Investasi Permanen ──────────────────────────── (30 s/d 31) xxx xxx ──────────────────────────── 33 Jumlah Investasi Jangka xxx xxx Panjang (28 + 32) ──────────────────────────── 34 35 ASET TETAP 36 Tanah xxx xxx 37 Peralatan dan Mesin xxx xxx 38 Gedung dan Bangunan xxx xxx 39 Jalan, Irigasi, dan Jaringan xxx xxx 40 Aset Tetap Lainnya xxx xxx 41 Konstruksi dalam Pengerjaan xxx xxx 42 Akumulasi Penyusutan (xxx) (xxx) 43 Jumlah Aset Tetap ──────────────────────────── (36 s/d 42) xxx xxx 44 ──────────────────────────── 45 DANA CADANGAN 46 Dana Cadangan xxx xxx ──────────────────────────── 47 Jumlah Dana Cadangan (46) xxx xxx 48 ──────────────────────────── 49 ASET LAINNYA 50 Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 51 Tuntutan Perbendaharaan xxx xxx 52 Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 53 Kemitraan dengan Fihak Ketiga xxx xxx 54 Aset Tak Berwujud xxx xxx 55 Aset Lain-Lain xxx xxx 56 Jumlah Aset Lainnya ──────────────────────────── (50 s/d 55) xxx xxx 57 ──────────────────────────── 58 JUMLAH ASET xxxx xxxx (18+33+43+47+56) ──────────────────────────── 59 60 KEWAJIBAN 61 62 KEWAJIBAN JANGKA PENDEK 63 Utang Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) xxx xxx 64 Utang Bunga xxx xxx 65 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Pemerintah Pusat xxx xxx 66 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 67 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank xxx xxx 68 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx 69 Bagian Lancar Utang Dalam Negeri - Obligasi xxx xxx 70 Bagian Lancar Utang Jangka Panjang Lainnya xxx xxx 71 Utang Jangka Pendek Lainnya xxx xxx 72 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Pendek (63 s/d 71) xxx xxx 73 ──────────────────────────── 74 KEWAJIBAN JANGKA PANJANG 75 Utang Dalam Negeri - Pemerintah Pusat xxx xxx 76 Utang Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 77 Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank xxx xxx 78 Utang Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank xxx xxx 79 Utang Dalam Negeri - Obligasi xxx xxx 80 Utang Jangka Panjang Lainnya xxx xxx 81 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Panjang (78 s/d 80) xxx xxx ──────────────────────────── 82 JUMLAH KEWAJIBAN xxx xxx (72+81) ──────────────────────────── 83 84 EKUITAS DANA 85 86 EKUITAS DANA LANCAR 87 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) xxx xxx 88 Pendapatan yang Ditangguhkan xxx xxx 89 Cadangan Piutang xxx xxx 90 Cadangan Persediaan xxx xxx 91 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Pendek (xxx) (xxx) 92 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Lancar (85 s/d 92) xxx xxx 93 ──────────────────────────── 94 EKUITAS DANA INVESTASI 95 Diinvestasikan dalam Investasi Jangka Panjang xxx xxx 96 Diinvestasikan dalam Aset Tetap xxx xxx 97 Diinvestasikan dalam Aset Lainnya xxx xxx 98 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Panjang (xxx) (xxx) 99 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Investasi (96 s/d 99) xxx xxx 100 ──────────────────────────── 101 EKUITAS DANA CADANGAN 102 Diinvestasikan dalam Dana Cadangan xxx xxx 103 Jumlah Ekuitas Dana Cadangan (103) xxx xxx 104 JUMLAH EKUITAS DANA ──────────────────────────── (93+100+104) xxx xxx 105 ──────────────────────────── 106 107 JUMLAH KEWAJIBAN DAN xxxx xxxx EKUITAS DANA (82+105) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-B.5 ILUSTRASI FORMAT NERACA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH NERACA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH PER 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 ASET 2 3 ASET LANCAR xxx xxx 4 Kas di Bendahara Pengeluaran xxx xxx 5 Kas di Bendahara Penerimaan xxx xxx 6 Piutang xxx xxx 7 Bagian Lancar Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 8 Bagian Lancar Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 9 Persediaan xxx xxx ──────────────────────────── 10 Jumlah Aset Lancar (4 s/d 9) xxx xxx 11 ──────────────────────────── 12 ASET TETAP 13 Tanah xxx xxx 14 Peralatan dan Mesin xxx xxx 15 Gedung dan Bangunan xxx xxx 16 Jalan, Irigasi, dan Jaringan xxx xxx 17 Aset Tetap Lainnya xxx xxx 18 Konstruksi Dalam Pengerjaan xxx xxx ──────────────────────────── 19 Jumlah Aset Tetap (13 s/d 18) xxx xxx 20 ──────────────────────────── 21 ASET LAINNYA 22 Tagihan Penjualan Angsuran xxx xxx 23 Tuntutan Ganti Rugi xxx xxx 24 Kemitraan dengan Pihak Ketiga xxx xxx 25 Aset Tak Berwujud xxx xxx 26 Aset Lain-Lain xxx xxx 27 Jumlah Aset Lainnya ──────────────────────────── (22 s/d 26) xxx xxx 28 ──────────────────────────── ──────────────────────────── 29 JUMLAH ASET (10+19+27) xxxx xxxx ──────────────────────────── 30 ──────────────────────────── 31 KEWAJIBAN 32 xxx xxx 33 KEWAJIBAN JANGKA PENDEK xxx xxx 34 Uang Muka dari Berndahara Umum Daerah xxx xxx 35 Pendapatan yang Ditangguhkan xxx xxx 36 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Pendek (34 s/d 35) xxx xxx ──────────────────────────── 37 JUMLAH KEWAJIBAN (36) xxx xxx ──────────────────────────── 38 39 EKUITAS DANA 40 41 EKUITAS DANA LANCAR xxx xxx 42 Cadangan Piutang xxx xxx 43 Cadangan Persediaan xxx xxx 44 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Lancar (42 s/d 43) xxx xxx ──────────────────────────── 45 46 EKUITAS DANA INVESTASI xxx xxx 47 Diinvestasikan dalam Aset Tetap xxx xxx 48 Diinvestasikan dalam Aset Lainnya xxx xxx 49 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Investasi (47 s/d 48) xxx xxx ──────────────────────────── 50 JUMLAH EKUITAS DANA xxx xxx (44+49) ──────────────────────────── 51 ──────────────────────────── 52 JUMLAH KEWAJIBAN DAN xxxx xxxx EKUITAS DANA (37 + 50) ──────────────────────────── 53 ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-B.6 ILUSTRASI FORMAT NERACA BENDAHARA UMUM DAERAH NERACA BENDAHARA UMUM DAERAH PER 31 DESEMBER 20X1 DAN 20X0 (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 ASET 2 3 ASET LANCAR 4 Kas di Kas Daerah xxx xxx 5 Kas di Bendahara Pengeluaran xxx xxx 6 Kas di Bendahara Penerimaan xxx xxx 7 Piutang Pajak xxx xxx 8 Piutang Retribusi xxx xxx 9 Investasi Jangka Pendek xxx xxx 10 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Negara xxx xxx 11 Bagian Lancar Pinjaman kepada Perusahaan Daerah xxx xxx 12 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Pusat xxx xxx 13 Bagian Lancar Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 14 Bagian Lancar Tuntutan Perbendaharaan xxx xxx 15 Jumlah Aset Lancar ──────────────────────────── (4 s/d 14) xxx xxx ──────────────────────────── 16 17 INVESTASI JANGKA PANJANG 18 Investasi Nonpermanen 19 Pinjaman Kepada Perusahaan Negara 20 Pinjaman Kepada Perusahaan Daerah 21 Pinjaman Kepada Pemerintah Daerah Lainnya xxx xxx 22 Investasi dalam Surat Utang Negara xxx xxx 23 Investasi dalam Proyek Pembangunan xxx xxx 24 Investasi Nonpermanen Lainnya xxx xxx 25 Jumlah Investasi Nonpermanen (19 s/d 24) xxx xxx 26 Investasi Permanen 27 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah xxx xxx 28 Investasi Permanen Lainnya xxx xxx 29 Jumlah Investasi Permanen ──────────────────────────── (27 s/d 28) xxx xxx ──────────────────────────── 30 Jumlah Investasi Jangka xxx xxx Panjang (25 + 29) ──────────────────────────── 31 32 DANA CADANGAN 33 Dana Cadangan xxx xxx 34 Jumlah Dana Cadangan ──────────────────────────── (33) xxx xxx 35 ──────────────────────────── 36 ASET LAINNYA 37 Tuntutan Perbendaharaan xxx xxx 38 Aset Lain-lain xxx xxx 39 Jumlah Aset Lainnya ──────────────────────────── (37 s/d 38) xxx xxx 40 ──────────────────────────── 41 JUMLAH ASET (15+30+34+39) xxxx xxxx 42 ──────────────────────────── 43 KEWAJIBAN 44 45 KEWAJIBAN JANGKA PENDEK 46 Utang Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) xxx xxx 47 Utang Bunga xxx xxx 48 Bagian Lancar Utang Jangka Panjang xxx xxx 49 Utang Jangka Pendek Lainnya xxx xxx 50 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Pendek (46 s/d 49) xxx xxx 51 ──────────────────────────── 52 KEWAJIBAN JANGKA PANJANG 53 Utang Dalam Negeri - Sektor Perbankan xxx xxx 54 Utang Dalam Negeri - Obligasi xxx xxx 55 Utang Jangka Panjang Lainnya xxx xxx 56 Jumlah Kewajiban Jangka ──────────────────────────── Panjang (53 s/d 55) xxx xxx 57 ──────────────────────────── 58 JUMLAH KEWAJIBAN (50+56) xxx xxx 59 ──────────────────────────── 60 EKUITAS DANA 61 62 EKUITAS DANA LANCAR xxx xxx 63 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) xxx xxx 64 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Pendek xxx xxx 65 Jumlah Ekuitas Dana Lancar ──────────────────────────── (63 s/d 64) xxx xxx 66 ──────────────────────────── 67 EKUITAS DANA INVESTASI 68 Diinvestasikan dalam Investasi Jangka Panjang xxx xxx 69 Diinvestasikan dalam Aset Tetap xxx xxx 70 Diinvestasikan dalam Aset Lainnya xxx xxx 71 Dana yang Harus Disediakan untuk Pembayaran Utang Jangka Panjang xxx xxx 72 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Investasi (68 s/d 71) xxx xxx 73 ──────────────────────────── 74 EKUITAS DANA CADANGAN 75 Diinvestasikan dalam Dana Cadangan xxx xxx 76 Jumlah Ekuitas Dana ──────────────────────────── Cadangan (75) xxx xxx 77 ──────────────────────────── 78 JUMLAH EKUITAS DANA xxx xxx (65+72+76) ──────────────────────────── 79 80 JUMLAH KEWAJIBAN DAN xxxx xxxx EKUITAS DANA (58+78) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.1 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Penghasilan XXX XXX 4 Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah XXX XXX 5 Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan XXX XXX 6 Pendapatan Pajak Lainnya XXX XXX 7 Pendapatan Bea Masuk XXX XXX 8 Pendapatan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan XXX XXX 9 Pendapatan Cukai XXX XXX 10 Pendapatan Pajak Ekspor XXX XXX 11 Pendapatan Sumber Daya Alam XXX XXX 12 Pendapatan Pendidikan XXX XXX 13 Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba XXX XXX 14 Pendapatan Negara Bukan Pajak Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Bantuan Sosial XXX XXX 23 Hibah XXX XXX 24 Belanja Lain-lain XXX XXX 25 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 26 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 27 Dana Alokasi Umum XXX XXX 28 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 29 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 30 Dana Penyesuaian 31 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 30) XXX XXX ──────────────────────────── 32 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 31) XXX XXX 33 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 34 Arus Masuk Kas 35 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 38 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 39 Pendapatan Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 40 Pendapatan Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 41 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (35 s/d 40) XXX XXX ──────────────────────────── 42 Arus Keluar Kas 43 Belanja Tanah XXX XXX 44 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 45 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 46 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 47 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 48 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 49 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (43 s/d 48) XXX XXX ──────────────────────────── 50 Arus Kas Bersih dari Akt Investasi Aset Nonkeu (41 - 49) XXX XXX 51 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 52 Arus Masuk Kas 53 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 54 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 55 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 56 Penerimaan dari Divestasi XXX XXX 57 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 59 Penerimaan Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (53 s/d 60) XXX XXX ──────────────────────────── 62 Arus Keluar Kas 63 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 64 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 66 Pengeluaran Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) XXX XXX 67 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 68 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 70 Pemberian Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 71 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (63 s/d 70) XXX XXX ──────────────────────────── 72 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 71) XXX XXX 73 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 74 Arus Masuk Kas 75 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 76 Kiriman Uang Masuk XXX XXX 77 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (75 s/d 76) XXX XXX ──────────────────────────── 78 Arus Keluar Kas 79 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 80 Kiriman Uang Keluar XXX XXX 81 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (79 s/d 80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Non anggaran (77 - 81) XXX XXX 83 Kenaikan/Penurunan Kas (32+50+72+82) XXX XXX 84 Saldo Awal Kas di BUN XXX XXX 85 Saldo Akhir Kas di BUN (83+84) XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas (85+86+87) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.2 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Penghasilan XXX XXX 4 Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai dan Penjualan Barang Mewah XXX XXX 5 Pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan XXX XXX 6 Pendapatan Pajak Lainnya XXX XXX 7 Pendapatan Bea Masuk XXX XXX 8 Pendapatan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan XXX XXX 9 Pendapatan Cukai XXX XXX 10 Pendapatan Pajak Ekspor XXX XXX 11 Pendapatan Sumber Daya Alam XXX XXX 12 Pendapatan Pendidikan XXX XXX 13 Pendapatan Bagian Pemerintah atas Laba XXX XXX 14 Pendapatan Negara Bukan Pajak Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Bantuan Sosial XXX XXX 23 Hibah XXX XXX 24 Belanja Lain-lain XXX XXX 25 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 26 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 27 Dana Alokasi Umum XXX XXX 28 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 29 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 30 Dana Penyesuaian 31 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 30) XXX XXX ──────────────────────────── 32 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 31) XXX XXX 33 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 34 Arus Masuk Kas 35 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 38 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 39 Pendapatan Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 40 Pendapatan Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 41 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (35 s/d 40) XXX XXX ──────────────────────────── 42 Arus Keluar Kas 43 Belanja Tanah XXX XXX 44 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 45 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 46 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 47 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 48 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 49 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (43 s/d 48) XXX XXX ──────────────────────────── 50 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (41 - 49) XXX XXX 51 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 52 Arus Masuk Kas 53 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 54 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 55 Penerimaan Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 56 Penerimaan dari Divestasi XXX XXX 57 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 59 Penerimaan Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas (53 s/d 60) XXX XXX 62 Arus Keluar Kas 63 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Sektor Perbankan XXX XXX 64 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 66 Pengeluaran Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) XXX XXX 67 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 68 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Luar Negeri XXX XXX 70 Pemberian Pinjaman kepada Lembaga Internasional XXX XXX 71 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (63 s/d 70) XXX XXX ──────────────────────────── 72 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 71) XXX XXX 73 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 74 Arus Masuk Kas 75 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 76 Kiriman Uang Masuk XXX XXX 77 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (75 s/d 76) XXX XXX ──────────────────────────── 78 Arus Keluar Kas 79 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 80 Kiriman Uang Keluar XXX XXX 81 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (79 s/d 80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (77 - 81) XXX XXX 83 Kenaikan/Penurunan Kas (32+50+72+82) XXX XXX 84 Saldo Awal Kas di BUN XXX XXX 85 Saldo Akhir Kas di BUN (83+84) XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas (85+86+87) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.3 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM NEGARA LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM NEGARA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Hibah XXX XXX 14 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 15 Pendapatan Lainnya XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Hibah XXX XXX 23 Bantuan Sosial XXX XXX 24 Belanja Tak Terduga XXX XXX 25 Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota XXX XXX 26 Bagi Hasil Retribusi ke Kabupaten/Kota XXX XXX 27 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota XXX XXX 28 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 27) XXX XXX ──────────────────────────── 29 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 28) XXX XXX 30 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 31 Arus Masuk Kas 32 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 33 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 34 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 36 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 37 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 38 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (32 s/d 37) XXX XXX ──────────────────────────── 39 Arus Keluar Kas 40 Belanja Tanah XXX XXX 41 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 42 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 43 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 44 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 45 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 46 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (40 s/d 45) XXX XXX ──────────────────────────── 47 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (38 - 46) XXX XXX di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 48 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 49 Arus Masuk Kas 50 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 51 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 52 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 53 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 59 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (50 s/d 60) XXX XXX ──────────────────────────── 62 Arus Keluar Kas 63 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 64 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 66 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 71 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 72 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 74 Jumlah Arus Keluar Kas (63 s/d 73) XXX XXX 75 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 74) XXX XXX 76 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 77 Arus Masuk Kas 78 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 79 Jumlah Arus Masuk Kas (78) XXX XXX 80 Arus Keluar Kas 81 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Jumlah Arus Keluar Kas (81) XXX XXX ──────────────────────────── 83 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (79 - 82) XXX XXX 84 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 85 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas di BUD (84+85) XXX XXX 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas (86+87+88) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.4 LAPORAN ARUS KAS ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Bagi Hasil Pajak XXX XXX 14 Pendapatan Bagi Hasil Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 17 Pendapatan Lainnya XXX XXX 18 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 17) XXX XXX ──────────────────────────── 19 Arus Keluar Kas 20 Belanja Pegawai XXX XXX 21 Belanja Barang XXX XXX 22 Bunga XXX XXX 23 Subsidi XXX XXX 24 Hibah XXX XXX 25 Bantuan Sosial XXX XXX 26 Belanja Tak Terduga XXX XXX 27 Bagi Hasil Pajak XXX XXX 28 Bagi Hasil Retribusi XXX XXX 29 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya XXX XXX 30 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (20 s/d 29) XXX XXX ──────────────────────────── 31 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (18 - 30) XXX XXX 32 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 33 Arus Masuk Kas 34 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 38 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap XXX XXX 39 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 40 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (34 s/d 39) XXX XXX ──────────────────────────── 41 Arus Keluar Kas 42 Belanja Tanah XXX XXX 43 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 44 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 45 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 46 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 47 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 48 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (42 s/d 47) XXX XXX ──────────────────────────── 49 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (40 -48) XXX XXX 50 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 51 Arus Masuk Kas 52 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 53 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 58 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 59 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 61 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 62 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 63 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (52 s/d 62) XXX XXX ──────────────────────────── 64 Arus Keluar Kas 65 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 66 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 71 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 72 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 74 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 75 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 76 Jumlah Arus Keluar Kas (65 s/d 75) XXX XXX 77 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (63 - 76) XXX XXX 78 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 79 Arus Masuk Kas 80 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 81 Jumlah Arus Masuk Kas (80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Keluar Kas 83 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 84 Jumlah Arus Keluar Kas (83) XXX XXX ──────────────────────────── 85 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Non anggaran (81 - 84) XXX XXX 86 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 87 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di BUD (86+87) XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 90 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 91 Saldo Akhir Kas (88+89+90) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.5 ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH PROVINSI LAPORAN ARUS KAS BENDAHARA UMUM DAERAH PROVINSI Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Hibah XXX XXX 14 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 15 Pendapatan Lainnya XXX XXX 16 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 15) XXX XXX ──────────────────────────── 17 Arus Keluar Kas 18 Belanja Pegawai XXX XXX 19 Belanja Barang XXX XXX 20 Bunga XXX XXX 21 Subsidi XXX XXX 22 Hibah XXX XXX 23 Bantuan Sosial XXX XXX 24 Belanja Tak Terduga XXX XXX 25 Bagi Hasil Pajak ke Kabupaten/Kota XXX XXX 26 Bagi Hasil Retribusi ke Kabupaten/Kota XXX XXX 27 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya ke Kabupaten/Kota XXX XXX 28 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (18 s/d 27) XXX XXX ──────────────────────────── 29 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (16 - 28) XXX XXX 30 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 31 Arus Masuk Kas 32 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 33 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 34 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 36 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap Lainnya XXX XXX 37 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 38 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (32 s/d 37) XXX XXX ──────────────────────────── 39 Arus Keluar Kas 40 Belanja Tanah XXX XXX 41 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 42 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 43 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 44 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 45 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 46 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (40 s/d 45) XXX XXX ──────────────────────────── 47 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (38 - 46) XXX XXX 48 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 49 Arus Masuk Kas 50 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 51 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 52 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 53 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 58 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 59 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 61 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (50 s/d 60) XXX XXX ──────────────────────────── 62 Arus Keluar Kas 63 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 64 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 65 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 66 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 71 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 72 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 74 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (63 s/d 73) XXX XXX ──────────────────────────── 75 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (61 - 74) XXX XXX 76 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 77 Arus Masuk Kas 78 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 79 Jumlah Arus Masuk Kas (78) XXX XXX ──────────────────────────── 80 Arus Keluar Kas 81 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Jumlah Arus Keluar Kas (81) XXX XXX ──────────────────────────── 83 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (79 - 82) XXX XXX 84 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 85 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 86 Saldo Akhir Kas di BUD (84+85) XXX XXX 87 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas (86+87+88) XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-C.6 LAPORAN ARUS KAS ILUSTRASI FORMAT LAPORAN ARUS KAS PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA BENDAHARA UMUM DAERAH KABUPATEN/KOTA Untuk Tahun Yang Berakhir Sampai Dengan 31 Desember 20X1 dan 20X0 Metode Langsung (Dalam Rupiah) ──────────────────────────────────────────────────────────────── No. Uraian 20X1 20X0 ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1 Arus Kas dari Aktivitas Operasi 2 Arus Masuk Kas 3 Pendapatan Pajak Daerah XXX XXX 4 Pendapatan Retribusi Daerah XXX XXX 5 Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 6 Lain-lain PAD yang sah XXX XXX 7 Dana Bagi Hasil Pajak XXX XXX 8 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam XXX XXX 9 Dana Alokasi Umum XXX XXX 10 Dana Alokasi Khusus XXX XXX 11 Dana Otonomi Khusus XXX XXX 12 Dana Penyesuaian XXX XXX 13 Pendapatan Bagi Hasil Pajak XXX XXX 14 Pendapatan Bagi Hasil Lainnya XXX XXX 15 Pendapatan Hibah XXX XXX 16 Pendapatan Dana Darurat XXX XXX 17 Pendapatan Lainnya XXX XXX 18 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (3 s/d 17) XXX XXX ──────────────────────────── 19 Arus Keluar Kas 20 Belanja Pegawai XXX XXX 21 Belanja Barang XXX XXX 22 Bunga XXX XXX 23 Subsidi XXX XXX 24 Hibah XXX XXX 25 Bantuan Sosial XXX XXX 26 Belanja Tak Terduga XXX XXX 27 Bagi Hasil Pajak XXX XXX 28 Bagi Hasil Retribusi XXX XXX 29 Bagi Hasil Pendapatan Lainnya XXX XXX 30 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (20 s/d 29) XXX XXX ──────────────────────────── 31 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi (18 - 30) XXX XXX 32 Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan 33 Arus Masuk Kas 34 Pendapatan Penjualan atas Tanah XXX XXX 35 Pendapatan Penjualan atas Peralatan dan Mesin XXX XXX 36 Pendapatan Penjualan atas Gedung dan Bangunan XXX XXX 37 Pendapatan Penjualan atas Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 38 Pendapatan dari Penjualan Aset Tetap XXX XXX 39 Pendapatan dari Penjualan Aset Lainnya XXX XXX 40 Jumlah Arus Masuk Kas ──────────────────────────── (34 s/d 39) XXX XXX ──────────────────────────── 41 Arus Keluar Kas 42 Belanja Tanah XXX XXX 43 Belanja Peralatan dan Mesin XXX XXX 44 Belanja Gedung dan Bangunan XXX XXX 45 Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan XXX XXX 46 Belanja Aset Tetap Lainnya XXX XXX 47 Belanja Aset Lainnya XXX XXX 48 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (42 s/d 47) XXX XXX ──────────────────────────── 49 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan (40 -48) XXX XXX 50 Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan 51 Arus Masuk Kas 52 Pencairan Dana Cadangan XXX XXX 53 Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan XXX XXX 54 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 55 Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 56 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 57 Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 58 Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 59 Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 60 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 61 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 62 Penerimaan Kembali Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 63 Jumlah Arus Masuk Kas (52 s/d 62) XXX XXX 64 Arus Keluar Kas 65 Pembentukan Dana Cadangan XXX XXX 66 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah XXX XXX 67 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Pusat XXX XXX 68 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 69 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bank XXX XXX 70 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lembaga Keuangan Bukan Bank XXX XXX 71 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Obligasi XXX XXX 72 Pembayaran Pokok Pinjaman Dalam Negeri - Lainnya XXX XXX 73 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Negara XXX XXX 74 Pemberian Pinjaman kepada Perusahaan Daerah XXX XXX 75 Pemberian Pinjaman kepada Pemerintah Daerah Lainnya XXX XXX 76 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (65 s/d 75) XXX XXX ──────────────────────────── 77 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pembiayaan (63 - 76) XXX XXX 78 Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran 79 Arus Masuk Kas 80 Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX ──────────────────────────── 81 Jumlah Arus Masuk Kas (80) XXX XXX ──────────────────────────── 82 Arus Keluar Kas 83 Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) XXX XXX 84 Jumlah Arus Keluar Kas ──────────────────────────── (83) XXX XXX ──────────────────────────── 85 Arus Kas Bersih dari Aktivitas Nonanggaran (81 - 84) XXX XXX 86 Kenaikan/Penurunan Kas XXX XXX 87 Saldo Awal Kas di BUD XXX XXX 88 Saldo Akhir Kas di BUD (86+87) XXX XXX 89 Saldo Akhir Kas di Bendahara Pengeluaran XXX XXX 90 Saldo Akhir Kas di Bendahara Penerimaan XXX XXX ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN I-D PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TANGGAL 3 APRIL 2006 CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN Catatan atas Laporan Keuangan bertujuan untuk menginformasikan pengungkapan yang diperlukan atas laporan keuangan. Sistematika penyusunan Catatan atas Laporan Keuangan adalah sebagai berikut: I. Kebijakan fiskal/keuangan, ekonomi makro, pencapaian target Undang-Undang APBN/Perda APBD. Kebijakan fiskal yang perlu diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan adalah kebijakan-kebijakan pemerintah dalam peningkatan pendapatan, efisiensi belanja dan penentuan sumber atau penggunaan pembiayaan. Misalnya penjabaran rencana strategis dalam kebijakan penyusunan APBN/APBD, sasaran, program dan prioritas anggaran, kebijakan intensifikasi/ekstensifikasi perpajakan, pengembangan pasar surat utang negara. Kondisi ekonomi makro yang pelu diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan adalah asumsi-asumsi indikator ekonomi makro yang digunakan dalam penyusunan APBN/APBD berikut tingkat capaiannya. Indikator ekonomi makro tersebut antara lain Produk Domestik Bruto/Produk Domestik Regional Bruto, pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar, harga minyak, tingkat suku bunga dan neraca pembayaran. II. Ikhtisar pencapaian kinerja keuangan. Ikhtisar pembahasan kinerja keuangan dalam Catatan atas Laporan Keuangan harus:
Menguraikan strategi dan sumber daya yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Memberikan gambaran yang jelas atas realisasi dan rencana kinerja keuangan dalam satu entitas pelaporan.
Menguraikan prosedur yang telah disusun dan dijalankan oleh manajemen untuk dapat memberikan keyakinan yang beralasan bahwa informasi kinerja keuangan yang dilaporkan adalah relevan dan andal. III. Kebijakan Akuntansi Kebijakan akuntansi memuat:
Entitas pelaporan.
Entitas akuntansi yang mendasari penyusunan laporan keuangan.
Basis pengukuran yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan.
Kesesuaian kebijakan-kebijakan akuntansi yang diterapkan dengan ketentuan-ketentuan eryataan Standar Akuntansi Pemerintahan oleh suatu entitas pelaporan.
Setiap kebijakan akuntansi tertentu yang diperlukan untuk memahami laporan keuangan. IV. Penjelasan atas perkiraan Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas A. Laporan Realisasi Anggaran 1. Pendapatan - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran pendapatan. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara pendapatan periode ini dengan pendapatan periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis pendapatan.
Belanja - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran belanja. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara belanja periode ini dengan belanja periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis belanja.
Transfer - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran transfer. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara transfer periode ini dengan transfer periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis transfer.
Pembiayaan - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih lebih/kurang antara realisasi dengan anggaran pembiayaan. - Penjelasan (dengan menyebut nilai nominal dan prosentase) atas selisih antara pembiayaan periode ini dengan pembiayaan periode yang lalu. - Penjelasan atas masing-masing jenis pembiayaan. B. Neraca Pengungkapan perkiraan-perkiraan neraca:
Aset Lancar Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos aset lancar, seperti Kas di Bendahara Pengeluaran, Kas di Bendahara Penerimaan, dan Piutang.
Investasi Jangka Panjang Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos investasi jangka panjang, seperti Penyertaan Modal Pemerintah, Investasi dalam Obligasi, dan Pinjaman kepada Perusahaan Daerah.
Aset Tetap Untuk seluruh perkiraan yang ada dalam kelompok aset tetap, diungkapkan dasar pembukuannya. Diungkapkan pula (apabila ada) perbedaan pencatatan perolehan aset tetap yang terjadi antara unit keuangan dengan unit yang mengelola/ mencatat aset tetap. Daftar aset tetap juga disertakan sebagai lampiran laporan keuangan.
Aset Lainnya Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos aset lainnya, seperti Tagihan Penjualan Angsuran, Tuntutan Ganti Rugi, dan Kemitraan dengan Fihak Ketiga.
Kewajiban Jangka Pendek Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Kewajiban Jangka Pendek, seperti Uang Muka dari Kas Umum Negara (KUN), Pendapatan yang Ditangguhkan, Bagian Lancar Utang Jangka Panjang, dan Utang Bunga.
Kewajiban Jangka Panjang Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Kewajiban Jangka Panjang, seperti Utang Dalam Negeri Obligasi, Utang Dalam Negeri Sektor Perbankan, dan Utang Luar Negeri.
Ekuitas Dana Lancar Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Ekuitas Dana Lancar, seperti Cadangan Piutang dan Cadangan Persediaan.
Ekuitas Dana Investasi Menjelaskan perkiraan-perkiraan yang terdapat pada pos Ekuitas Dana Investasi, seperti Diinvestasikan dalam Investasi Jangka Panjang dan Diinvestasikan dalam Aset Tetap. C. Laporan Arus Kas 1. Arus Kas dari Aktivitas Operasi Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas operasi, seperti Pendapatan Pajak dan Belanja Pegawai.
Arus Kas dari Aktivitas Investasi Aset Non keuangan Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas investasi aset nonkeuangan, seperti Pendapatan Penjualan Aset dan Belanja Aset.
Arus Kas dari Aktivitas Pembiayaan Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas pembiayaan, seperti Penerimaan Pinjaman dan Pembayaran Pokok Pinjaman.
Arus Kas dari Aktivitas Non anggaran Menjelaskan arus masuk kas dan arus keluar kas dari aktivitas non anggaran, seperti Penerimaan Perhitungan Fihak Ketiga dan Pengeluaran Perhitungan Fihak Ketiga. V. Pengungkapan-pengungkapan lainnya Berisi hal-hal yang mempengaruhi laporan keuangan, antara lain:
Penggantian manajemen pemerintahan selama tahun berjalan.
Kesalahan manajemen terdahulu yang telah dikoreksi oleh manajemen baru c. Kontijensi, yaitu suatu kondisi atau situasi yang belum memiliki kepastian pada tanggal neraca. Misalnya, jika ada tuntutan hukum yang substansial dan hasil akhirnya bisa diperkirakan. Kontijensi ini harus diungkapkan dalam catatan atas neraca.
Komitmen, yaitu bentuk perjanjian dengan pihak ketiga yang harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.
Penggabungan atau pemekaran entitas tahun berjalan.
Kejadian yang mempunyai dampak sosial, misalnya adanya pemogokan yang harus ditanggulangi pemerintah g. Kejadian penting setelah tanggal neraca (subsequent event) yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkiraan yang disajikan dalam neraca. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN LIHAT FISIK (8 Halaman) LAMPIRAN II-A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TANGGAL 3 APRIL 2006 PERTUNJUK PENGISIAN FORMULIR LAMPIRAN III Formulir 1.1 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Kementerian Diisi dengan nama dan kode Negara/Lembaga kementerian negara/lembaga; - Unit Organisasi Diisi dengan nama dan kode unit organisasi; - Satuan Kerja Diisi dengan nama dan kode satuan kerja; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; - Program Diisi dengan nama dan kode program; - Hasil Program Diisi dengan hasil program, yaitu uraian tentang hasil (outcome) yang menjadi sasaran program; - Lokasi Diisi dengan nama dan kode lokasi (termasuk kode provinsi dan kabupaten/kota). ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan kode kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Pembinaan Akuntansi Keuangan Negara b. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Frekuensi Pembinaan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing kegiatan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari masing- masing kegiatan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh Satuan Kerja untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh Satuan Kerja untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (yang dilayani) - Km (jalan yang yang dibangun) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── Formulir 2.1 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Kementerian Diisi dengan nama dan kode Negara/Lembaga kementerian negara/lembaga; - Unit Organisasi Diisi dengan nama dan kode unit organisasi; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan kode program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama program, kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/ lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.
Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Pembinaan Akuntansi Keuangan Negara c. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Frekuensi Pembinaan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (yang dilayani) - Km (jalan yang yang dibangun) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── Formulir 3.1 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Kementerian Diisi dengan nama dan kode Negara/Lembaga kementerian negara/lembaga; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan Kode program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama program, kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/ lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.
Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Pembinaan Akuntansi Keuangan Negara c. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Frekuensi Pembinaan ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (yang dilayani) - Km (jalan yang yang dibangun) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── Formulir 1.2 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Header: - Satuan Kerja Diisi dengan nama dan kode satuan Perangkat Daerah kerja perangkat daerah; - Fungsi Diisi dengan nama dan kode fungsi; - Sub Fungsi Diisi dengan nama dan kode sub fungsi; ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 1 Diisi dengan Kode program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 2 Diisi dengan nama program, kegiatan dan indikator kinerjanya. a. Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.
Kegiatan adalah sekumpulan tindakan pengerahan sumberdaya baik yang berupa personil (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumberdaya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa. Contoh Nama Kegiatan: - Pembangunan Jalan - Penyelenggaraan Kegiatan Dan Usaha Pendidikan Prasekolah Dan Sekolah Dasar c. Indikator Kinerja adalah sesuatu yang akan dihasilkan dari suatu kegiatan berupa barang atau jasa. Contoh Indikator Kinerja: - Panjang Jalan - Lulusan Sekolah Dasar ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (anak didik yang telah lulus sekolah) - Km (jalan yang yang diperbaiki) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 9. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan, seperti Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN LIHAT FISIK (1 Halaman) Formulir 2.2 ───────────────────────────────────────────────────────────────── No. Header/Kolom Uraian Isian ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Kolom 1 Diisi dengan kode fungsi, sub fungsi, program dan kegiatan dimaksud ───────────────────────────────────────────────────────────────── 2. Kolom 2 Diisi dengan nama fungsi, sub fungsi, program, kegiatan dan indikator kinerjanya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 3. Kolom 3 Diisi dengan jumlah anggaran pengeluaran/belanja yang dialokasikan untuk masing-masing program dan kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 4. Kolom 4 Diisi dengan jumlah realisasi pengeluaran/belanja dari program dan masing-masing kegiatannya. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 5. Kolom 5 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang direncanakan (sasaran keluaran) oleh unit organisasi untuk masing- masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 6. Kolom 6 Diisi dengan hasil dari program dan jumlah atau kuantitas keluaran yang telah dicapai oleh unit organisasi untuk masing-masing indikator kinerja. ───────────────────────────────────────────────────────────────── 7. Kolom 7 Diisi dengan satuan keluaran yang akan digunakan untuk menilai atau mengukur barang atau jasa yang dihasilkan. Contoh Satuan Keluaran: - Orang (anak didik yang telah lulus sekolah) - Km (jalan yang yang diperbaiki) - Buah (Surat ijin yang diterbitkan) ───────────────────────────────────────────────────────────────── 8. Kolom 8 Diisi dengan keterangan yang diperlukan. ───────────────────────────────────────────────────────────────── PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN LIHAT FISIK (4 Halaman) Bidang industri yang dimaksud terdiri dari : ───────────────────────────────────────────────────────────────── 1. Bidang Perbankan 20. Bidang Usaha Penerbangan 2. Bidang Asuransi 21. Bidang Dok Dan Perkapalan 3. Bidang Pembiayaan 22. Bidang Perkebunan 4. Bidang Konstruksi 23. Bidang Pertanian 5. Bidang Konsultan Konstruksi 24. Bidang Perikanan 6. Bidang Penunjang Konstruksi 25. Bidang Pupuk 7. Bidang Jasa Penilai 26. Bidang Kehutanan 8. Bidang Jasa Lainnya 27. Bidang Kertas 9. Bidang Rumah Sakit 28. Bidang Percetakan Dan Penerbitan 10. Bidang Pelabuhan 29. Bidang Pertambangan 11. Bidang Pelayaran 30. Bidang Energi 12. Bidang Kebandarudaraan 31. Bidang Industri Berbasis Teknologi 13. Bidang Angkutan Darat 32. Bidang Baja Dan Konstruksi Baja 14. Bidang Logistik 33. Bidang Telekomunikasi 15. Bidang Perdagangan 34. Bidang Industri Pertahanan 16. Bidang Pengerukan 35. Bidang Semen 17. Bidang Farmasi 36. Bidang Industri Sandang 18. Bidang Pariwisata 37. Bidang Aneka Industri 19. Bidang Kawasan Industri Masing- masing bidang industri diuraikan Perusahaan Negara/ Daerah yang ada di dalamnya ───────────────────────────────────────────────────────────────── PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO LAMPIRAN VI-A PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2006 TANGGAL 3 APRIL 2006 PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB MENTERI/PIMPINAN LEMBAGA/ GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA/KEPALA SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH ───────────────────────────────────────────────────────────────── Pernyataan Tanggung Jawab Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah/ Satuan Kerja Perangkat Daerah ... Tahun Anggaran ... sebagaimana terlampir adalah merupakan tanggung jawab kami. Laporan Keuangan tersebut telah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai, dan isinya telah menyajikan informasi pelaksanaan anggaran dan posisi keuangan secara layak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. (.....................) ───────────────────────────────────────────────────────────────── LAMPIRAN VI-B PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB MENTERI/PIMPINAN LEMBAGA/ GUBERNUR/BUPATI/WALIKOTA ATAS PENGGUNAAN ANGGARAN PEMBIAYAAN DAN PERHITUNGAN ───────────────────────────────────────────────────────────────── Pernyataan Tanggung Jawab Laporan Keuangan atas penggunaan anggaran Pembiayaan dan Perhitungan Tahun Anggaran ... sebagaimana terlampir adalah merupakan tanggung jawab kami. Laporan Keuangan tersebut telah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai, dan isinya telah menyajikan informasi pelaksanaan anggaran dan posisi keuangan secara layak sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. ─────────────────────────────────────────────────────────────────
Pengujian UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara [Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12] ...
Relevan terhadap
(1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. B. Bahwa dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1), Menteri Keuangan setelah meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dan atas nama Pemerintah Republik Indonesia telah menjaminkan aset negara senilai triliunan rupiah sebagai alas/jaminan ( underlying asset ) penerbitan SBSN Pemerintah Republik Indonesia. C. Bahwa tindakan Pemerintah c.q. Menteri Keuangan tersebut telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Republik Indonesia dan pengelola pendidikan tinggi, maupun dan juga merugikan seluruh warga negara Republik Indonesia, karena dengan diberlakukannya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, maka Negara tidak lagi mampu sepenuhnya memberikan jaminan layanan, khususnya layanan di bidang pendidikan tinggi, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang selanjutnya dituangkan secara rinci dalam pasal- pasal sebagai berikut: 9 Pasal 28H ayat (2) ”Setiap warga negara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai _persamaan dan keadilan”; _ Pasal 34 ayat (3) ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum _yang layak”; _ D. Dengan dalih bahwa pemindahtanganan Barang Milik (Aset) Negara tersebut bersifat khusus, yaitu, antara lain:
penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara;
tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan ( legal title ) Barang Milik Negara; dan (3) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan, sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Pemerintah telah menganggap tidak melakukan pelanggaran dan merasa bahwa aset yang dijadikan alas penerbitan SBSN tersebut tetap aman di tangan Pemerintah dan bebas dari ancaman (penyitaan) dari pihak lain; Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 setelah Perubahan Kedua yang disahkan pada tanggal 18 Agustus tahun 2000 Pasal 28H ayat (2).
Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b; Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Demikianlah permohonan Pemohon, kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dapat segera memeriksa dan memutus yang seadil-adilnya. 10 [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Bukti P-4 : Fotokopi Referensi Surat Kabar Harian Republika tanggal 30 Juni 2009, tanggal 16 November 2009, tanggal 28 November 2009, tanggal 2 Desember 2009;
Bukti P-5 : Fotokopi Akta Notaris Nomor 40, tanggal 16 Januari 1997 tentang Pendirian/Anggaran Dasar Yayasan Patria Artha;
Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 106/D/O/2009, tanggal 21 Juli 2009 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan Program-Program Baru dan Penggabungan STIE Patria Artha di Makassar Dengan STMIK Boalemo di Makassar Menjadi Universitas Patria Artha di Makassar Diselenggarakan Oleh Yayasan Patria Artha di Makassar;
Bukti P-7 : Surat Kuasa Pemohon kepada Kuasa Hukum bertanggal 1 November 2009;
Bukti P-8 : Fotokopi Berita Acara Pengambilan Sumpah Pengacara Praktek, tanggal 4 Januari 1997 atas nama Muh. Faisal Silenang, SH., dan Berita Acara Pengambilan Sumpah Pengacara Praktek, tanggal 19 Maret 1996 atas nama Said, SH;
Bukti P-9 : Fotokopi Kartu Anggota Peradi atas nama Muh. Faisal Silenang, SH., dan Said, SH; Selain itu, Pemohon juga telah mengajukan dua orang ahli, yaitu Prof. Dr. Muchsan dan Drs. Siswo Sujanto, DEA, yang memberi keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:
Ahli Prof. Dr. Muchsan • Bahwa kalau melihat negara sebagai penguasa, berarti tidak diperbolehkan Negara menggunakan kaidah-kaidah hukum privat/perdata di dalam 11 memperoleh benda-benda tersebut. Misalnya di dalam rangka memperoleh tanah, benda-benda yang berbentuk tanah, negara hanya disediakan empat lembaga hukum, yaitu pencabutan, pembebasan, pelepasan, dan pengadaan yang dasar hukumnya berbeda-beda. Sedangkan untuk benda non tanah, negara disediakan Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dengan pelelangan, dengan penunjukkan langsung atau pengadaan langsung. • Bahwa semangat dari Undang-Undang Dasar 1945, negara dalam hal ini diberi kedudukan sebagai lembaga publik sehingga dalam rangka memperoleh benda itu sebetulnya tertutup menggunakan hukum perdata, karena kalau negara menggunakan hukum perdata maka kedudukan yuridis negara sebagai penguasa bergeser, yaitu dapat menjadi pemilik atau penyewa, atau mungkin pengguna hak pakai dan sebagainya. Dengan demikian dengan semangat tersebut, kalau pasal atau Undang-Undang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD 1945 maka dengan sendirinya merupakan suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan semangat atau jiwa Undang-Undang Dasar 1945; • Bahwa terkait dengan Pasal 28H, yang namanya jiwa atau semangat adalah yang menghidupi seluruh pasal demi pasal, sehingga semangat tersebut harus termanifesir di dalam pasal demi pasalnya. Dengan demikian semua pasal yang ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945 harus terjiwai dengan semangat ini; • Bahwa sehubungan dengan kerugian secara in concreto , sebagai ahli tidak dapat melihat atau menjabarkannya. Artinya, kerugian secara konkret mungkin kerugian moril atau imateriil dari pihak Pemohon, tetapi segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat atau jiwa suatu Undang-Undang ataupun Undang-Undang Dasar itu sudah barang tentu merugikan, artinya mungkin merugikan seluruh bangsa Indonesia. Misalnya kalau semangat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah ekonomi kerakyatan, tetapi dalam kenyataannya ekonomi liberal maka dengan sendirinya akan merugikan seluruh bangsa Indonesia. Tidak hanya individual tetapi merupakan suatu universal dari suatu nation ; • Bahwa bertumpu pada statement saksi maka jika suatu benda negara dibebani dengan hak-hak keperdataan, yang menurut prinsip dalam publik domain tidak diperkenankan sebab ini merupakan suatu benda publik yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Padahal dengan dibebani surat 12 berharga dan sebagainya, yang dasarnya adalah perjanjian maka prinsip tersebut tidak diperkenankan dalam publik domain; • Bahwa menafsirkan Pasal 33 ayat (3) terutama mengenai tanah harus dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), sebab Undang-Undang tersebut sebagai pelaksana dari Pasal 33 ayat (3), sehingga mestinya Undang-Undang Pokok Pertanahan bukan agraria, sebab kalau agraria maka termasuk pertambangan dan sebagainya; • Bahwa khusus mengenai tanah terdapat beberapa prinsip, pertama , hak menguasai negara ada di atas segala-galanya sehingga meskipun terdapat hak milik perorangan yang penuh, namun tetap dikuasai oleh negara. Kedua , semua benda termasuk tanah itu berfungsi sosial ( vide Pasal 6 UU 5/1960). Sehingga kepentingan umum, kepentingan negara diutamakan dari pada kepentingan individu-individu; • Bahwa mengenai kemanfaatan, seharusnya dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, hal itu sudah final. Artinya, hasil dari penggunaan benda merupakan kepentingan umum yang bermanfaat bagi bangsa atau bagi negara; • Bahwa kata kepentingan umum itu juga include manfaat, kegunaannya untuk bangsa ini, sehingga kalau SBSN akhirnya atau bermuara kepada APBN atau APBD, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber keuangan negara di antaranya ada pajak dan sebagainya namun tidak ada kata-kata atau suatu ketentuan SBSN merupakan sumber pendapatan negara. Bisa jadi masuk dalam pendapatan tetapi bukan suatu prinsip sehingga tidak dapat diandalkan sebagai suatu pendapatan yang pasti; • Bahwa kerugian dalam hal ini bukan kerugian perdata, karena peradilan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik bukan peradilan perdata, sehingga masalah kerugian tidak seperti dalam perdata harus jelas moril, imateriil dan sebagainya. Kalau suatu hal yang bertentangan dengan semangat atau jiwa Undang-Undang Dasar maka merugikan seluruh bangsa, terutama untuk generasi penerus, dengan demikian apabila kerugian dijelaskan secara rinci. Hal itu merupakan kerugian dalam privat recht , namun karena Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik, maka yang digunakan adalah hukum publik; 13 2. Ahli Drs. Siswo Sujanto, DEA. • Bahwa pemikiran atau konsepsi yang dipahami oleh para pejabat pemerintahan atau oleh para politisi akan berpengaruh terhadap pemikiran/kompetensi dalam penyusunan produk hukum. Terkait dengan itu, pemahaman terhadap konsep peran negara dalam penyusunan produk hukum oleh para pejabat pemerintah maupun para politisi perlu diperjelas; • Bahwa melihat peran dan fungsi kewajiban negara terhadap warga negaranya didasarkan pada dalil atau landasan pemikiran baik filosofis, konsepsi teoritik maupun landasan konstitusional sebagai berikut:
Di dalam landasan filosofis, negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus memiliki sarana yang memadai dan terjamin agar tugas atau fungsi kewajibannya dapat terlaksana dengan baik;
Dalam konsep teoritik tentang negara, terlepas dari sistem ekonomi yang dianut suatu negara yaitu sistem kapitalis yang merupakan perwujudan falsafah liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu maupun sistem sosialis yang bersifat etatis dengan menyerahkan semua kekuasaan di bidang perekonomian di tangan Pemerintah, fungsi Pemerintah dalam menjamin terselengaranya kebebasaan maupun kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Dalam sistem perekonomian kapitalis yang memberikan kebebasaan kepada masyarakat untuk melakukan produksi, konsumsi dan distribusi diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk penyediaan barang-barang yang berupa kebutuhan dasar masyarakat yang kemudian di kenal dengan istilah public goods. Kebutuhan dasar tersebut antara lain adalah perlindungan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, keadilan, pekerjaan umum. Sementara itu, dalam sistem perekonomian sosialis Pemerintah atau negara bersifat omnipoten , artinya fungsi Pemerintah atau negara, bukan hanya terbatas pada penyediaan barang-barang kebutuhan dasar melainkan juga kebutuhan lainnya yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar;
Bahwa dalam pandangan yang lebih modern sebagaimana disampaikan oleh seorang ahli keuangan negara yaitu Richard Maskrid fungsi Pemerintah melalui kebijakan anggaran belanja negara adalah menjamin 14 keseimbangan dalam pengalokasian sumber daya, menjamin keseimbangan dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dan menjamin terselenggaranya stabilitas ekonomi nasional;
Bahwa kalau memperhatikan sistem pemerintahan Indonesia. Peran dan fungsi negara sebagai dikemukakan dalam teori di atas, dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian secara rinci dituangkan dalam berbagai pasalnya yang merupakan suatu landasan konstitusional, antara lain menyatakan, “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”, dengan demikian peran atau tugas Pemerintah Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran dan fungsi pemerintah atau negara tersebut antara lain tercermin dalam Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk setelah dilakukan perubahan; • Bahwa selanjutnya untuk merealisasikan peran dan fungsi Pemerintah, diperlukan adanya jaminan sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu Pemerintah selaku otoritas dan Pemerintah sebagai individu. Khusus Pemerintah selaku otoritas, pertama , Pemerintah yang menjamin kepentingan masyarakat atau public interest harus memiliki kewenangan secara politik dan hukum untuk dapat menjamin terwujudnya peran dan fungsinya. Kedua , Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat harus memiliki jaminan bahwa asetnya yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi Pemerintah tersebut selalu aman ditangannya dan tidak mendapat ancaman dari pihak lain; 15 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pemerintah yang diwakili oleh Patrialis Akbar, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut: Sebelum Pemerintah menanggapi permohonan pengujian Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) terhadap Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang diajukan Pemohon, maka Pemerintah perlu menyampaikan sejak awal bahwa permohonan ini sudah seharusnya ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi; Pemerintah bahkan dapat menyatakan bahwa permohonan a quo tidak layak untuk diajukan Pemohon ke Mahkamah Konstitusi, karena Pemohon tidak benar dan tidak tepat dalam menggunakan maupun menuliskan pasal-pasal penguji dalam perkara Constitutional Review ini. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang ditulis dalam permohonan Pemohon yaitu ” Setiap warga negara berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”, yang tidak sesuai dengan bunyi teks Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebenarnya yang menyatakan ” Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”; Kekeliruan Pemohon berlanjut pada penulisan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang dinyatakannya yaitu ” Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak ”, yang tidak sesuai dengan teks sebenarnya yaitu ” Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”; Pemerintah berpendapat bahwa kesalahan pengutipan bunyi pasal-pasal konstitusi oleh Pemohon ini merupakan kesalahan fatal yang sudah cukup untuk menunjukkan ketidakseriusan Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo ; Walaupun persidangan ini didasarkan pada suatu kekeliruan nyata yang dilakukan oleh Pemohon, namun sesuai dengan agenda persidangan yang telah ditetapkan oleh Mahkamah, Pemerintah tetap serius menanggapi permohonan yang diajukan Pemohon ini, terutama untuk memberikan penjelasan mengenai 16 tidak adanya pertentangan antara UU SBSN dengan UUD 1945, setidak-tidaknya untuk meluruskan kekeliruan pemikiran dan pemahaman Pemohon mengenai penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); Setelah Pemerintah membaca permohonan Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dianggap telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, atau setidak-tidaknya Pemohon mengalami kerugian yang bersifat potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, maka Pemerintah secara tegas menyatakan bahwa permohonan tersebut didasarkan pada alasan yang tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Pernyataan Pemerintah di atas didasarkan pada pertanyaan yang harus dijelaskan lebih dahulu mengenai siapa yang sebenarnya dirugikan atas keberlakuan Undang-Undang a quo , khususnya terhadap penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai underlying asset Surat Berharga Syariah Negara? Apakah hanya Pemohon saja, yayasan yang di ketuainya, dirinya selaku Pembina Universitas Patria Artha Makassar, atau Universitas Patria Artha Makassar? Hal ini perlu dipertanyakan karena Pemohon tidak menjelaskan secara tegas dalam permohonannya tentang siapa yang sebenarnya dirugikan. Dalam permohonannya, Pemohon hanya menjelaskan kedudukan Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku ketua yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan Ilmu Keuangan Negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Pemohon tidak dapat menjelaskan dalam permohonannya, underlying asset SBSN yang mana, sebagaimana kriteria berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf a dan huruf b UU SBSN, yang dipermasalahkannya. Pemohon tidak dapat menerangkan dengan jelas kriteria BMN yang mana dari aset SBSN yang dirasakan merugikan dirinya, karena tentunya harus ada penjelasan yang lebih 17 terperinci dan mendasar dari Pemohon atas adanya kriteria aset BMN berdasarkan huruf a dan huruf b tersebut, apakah mempermasalahkan huruf a dan huruf b, huruf a saja, atau huruf b saja. Namun jika melihat pada hasil sidang panel terdahulu dalam perkara ini, tampaknya Pemohon lebih memfokuskan permohonan pengujian ini pada underlying asset berupa tanah dan/atau bangunan (huruf a saja) yang digunakan sebagai aset SBSN. Seandainya benar quod non Pemohon hanya mempermasalahkan kriteria BMN berdasarkan Pasal 10 ayat (2) huruf a saja, maka permohonan terhadap Pasal 10 ayat (2) huruf b yang diajukan hanya untuk sekedar ikut diuji saja tanpa disertai alasan keberatannya, membuat Pemerintah semakin yakin bahwa permohonan ini patut untuk dinyatakan ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam menjawab permohonan ini, Pemerintah menggunakan teks sebenarnya dari pasal-pasal konstitusi yaitu Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penguji yang berbunyi: “ Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”. Kalau pun Pemohon menggunakan pasal dimaksud dan menyebutkan telah terjadi kerugian yang dialaminya terkait dengan jabatannya selaku pimpinan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tinggi, maka Pemerintah mempertanyakan maksud Pemohon menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini sebagai dasar baginya untuk mempermasalahkan digunakannya BMN sebagai underlying asset penerbitan SBSN dengan “kemudahan” dan “perlakuan khusus” untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai “persamaan dan keadilan” terhadap peristiwa yang pernah dialami atau yang berpotensi dialami oleh Pemohon terkait dengan BMN yang menjadi underlying asset SBSN. Pemerintah perlu mengutip komentar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. atas Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini yaitu bahwa pasal ini mengatur tentang hak untuk mendapatkan perlakuan yang khusus yang biasa dikenal dengan affirmative action sebagai pengecualian atas ketentuan hak asasi manusia yang antidiskriminasi dengan pertimbangan bahwa orang atau kelompok orang yang bersangkutan berada dalam keadaan yang tertinggal dari perkembangan masyarakat pada umumnya, sehingga kepadanya dibutuhkan tindakan dan kebijakan yang bersifat khusus. 18 Lebih lanjut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menyatakan bahwa perlakuan yang bersifat khusus ini sebenarnya diskriminatif juga, namun dalam makna yang positif untuk menolong agar yang bersangkutan dapat mengejar ketertinggalan. Diskriminasi dalam kategori ini disebut kategori diskriminasi positif atau biasa dinamakan affirmative action sebagai pelaksanaan affirmative policy . Hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan khusus yang demikian dipandang juga sebagai hak asasi manusia. Mahkamah Konstitusi pun telah berpendapat mengenai adanya affirmative action dalam pertimbangan putusan perkara Nomor 116/PUU-VII/2009 yang mengakui adanya perlakuan khusus bagi masyarakat asli Papua untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dengan cara diangkat, selain melalui proses pemilihan, yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang. Perlakuan khusus ini untuk melaksanakan affirmative policy yaitu pengistimewaan untuk sementara waktu yang memberikan peluang bagi masyarakat asli Papua memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan guna mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Guna memberikan tambahan penjelasan mengenai affirmative action dan __ affirmative policy , Pemerintah dapat menggambarkan usaha untuk pencapaian kesetaraan kesempatan dengan pemberian perlakuan khusus yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mewajibkan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau Perusahaan Angkutan Umum memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit. Dengan adanya aturan tersebut, Pemerintah berpendapat, sangat berlebihan jika ada orang “normal” yang tidak temasuk ke dalam kategori khusus seperti di atas yang mempermasalahkannya karena merasa haknya terkurangi atau berpotensi terkurangi akibat dibuatnya fasilitas untuk orang-orang khusus 19 tersebut misalnya jalur jalan yang khusus dibuat tidak terjal bagi penyandang cacat pengguna kursi roda. Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat, bahwa selain Pemohon tidak tepat dalam menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai pasal penguji dalam perkara ini, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan perlakuan khusus ( affirmative action ) semacam apa yang diharapkan Pemohon yang telah terkurangi atau berpotensi terkurangi akibat digunakannya BMN sebagai underlying asset SBSN berdasarkan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Begitu juga dengan penggunaan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 sebagai pasal penguji yang menyatakan “ Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”, karena justru SBSN diterbitkan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) termasuk membiayai pembangunan proyek, yang termasuk di dalamnya, langsung atau tidak langsung, untuk penyediaan fasilitas umum, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan. Mengutip komentar Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. atas Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 dapat disampaikan intinya bahwa pada pasal ini terdapat kewajiban Negara, dalam hal bukan hanya Pemerintah (eksekutif) saja, tetapi juga legislatif dan yudikatif untuk memenuhi kewajiban menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan umum yang layak. Jika dikaitkan dengan tujuan penerbitan SBSN yang telah disampaikan di atas, Pemerintah jelas telah melakukan salah satu upaya untuk dapat memenuhi kewajibannya dalam menyediakan fasilitas kesehatan, fasilitas pelayanan umum yang layak dengan cara menghimpun dana investor melalui penerbitan SBSN. Dalam kesempatan yang mulia ini, Pemerintah merasa perlu untuk menyampaikan bahwa selama beberapa tahun anggaran terakhir ini, pemenuhan pembiayaan defisit APBN dilakukan melalui penerbitan Surat Berharga Negara yang di dalamnya termasuk SBSN atau Sukuk Negara. Hal ini menunjukkan bahwa peran SBSN sebagai sumber pembiayaan APBN semakin menjadi andalan Pemerintah. Pernyataan Pemerintah ini dapat menjelaskan bahwa penerbitan SBSN dengan menggunakan BMN sebagai underlying asset sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, sehingga menjadi suatu hal yang berlebihan jika Pemohon justru merasa ada kerugian. 20 Terhadap permohonan ini, Pemerintah hanya dapat menduga-duga seandainya benar quod non Pemohon telah mengalami suatu peristiwa berkaitan dengan BMN yang menyebabkannya tidak dapat memanfaatkan BMN, maka hal itu bukanlah alasan yang tepat dan kuat untuk mengajukan permohonan pengujian UU SBSN di Mahkamah Konstitusi, karena bisa jadi peristiwa yang dialami Pemohon hanyalah masalah penerapan peraturan atau ketentuan lain, bukan UU SBSN, khususnya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Pada penjelasan ini Pemerintah dapat menyimpulkan bahwa Pemohon telah salah dan keliru dalam memahami ketentuan UU SBSN, karena Pemohon telah membaca dan memahami Undang-Undang tersebut tidak menyeluruh, tidak komprehensif, tetapi hanya sebagian-sebagian, parsial. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Walaupun Pemerintah telah berpendapat bahwa permohonan ini sebagai permohonan yang tidak jelas ( obscuur libel ), namun dalam persidangan yang mulia ini, Pemerintah berkewajiban dan sangat berkepentingan untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan UU SBSN khususnya ketentuan mengenai penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, agar dapat menjadi sarana pencerahan bagi masyarakat umum yang menyaksikan dan menghadiri persidangan ini, termasuk Pemohon. Sebagai konsep ekonomi yang berbasis syariah, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara mutlak harus menggunakan underlying transaction yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa menyewa atas “hak manfaat” BMN, jasa ( services ), pembangunan proyek atau objek pembiayaan lainnya. Penggunaan underlying transaction tersebut dimaksudkan agar terhindar dari adanya unsur-unsur (1) Riba , yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang ( money for money );
Maysir , yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
Gharar , yaitu unsur ketidakpastian terkait dengan penyerahan, kualitas, dan kuantitas. __ Barang Milik Negara (BMN) yang akan digunakan sebagai Aset SBSN dapat berupa tanah dan/atau bangunan termasuk proyek yang akan atau sedang 21 dibangun yang harus memiliki nilai ekonomis, dalam kondisi baik/layak, telah tercatat dalam Dokumen Penatausahaan BMN, bukan merupakan alat utama sistem persenjataan, tidak sedang dalam sengketa, dan tidak sedang digunakan sebagai Aset SBSN dalam penerbitan yang lain. Pembatasan penggunaan BMN yang dapat dijadikan sebagai underlying penerbitan SBSN menunjukkan bahwa Pemerintah sangat selektif dan sangat hati- hati dalam menggunakan BMN tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9 ayat (1) bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah sangat transparan dan akuntabel dalam penggunaan dan pengelolaan BMN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara Menteri Keuangan memindahtangankan Hak Manfaat atas BMN, sehingga pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pengertian Hak Manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan ( legal title), sehingga kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah. Perlu disampaikan pula dalam kesempatan ini bahwa terdapat perbedaan konsep pemindahtanganan berdasarkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara, dimana dalam hal penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, UU SBSN merupakan lex specialist dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN bahwa : “ Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. _Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: _ 22 (i) Penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang _Milik Negara; _ (ii) _Tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; _ dan (iii) Tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan .” Penjelasan Pemerintah di atas, yang membandingkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara tersebut adalah sebagai keterangan tambahan yang diharapkan dapat memberikan gambaran dan pemahaman bahwa antara kedua Undang-Undang tersebut tidak terdapat pertentangan sama sekali, khususnya mengenai penggunaan BMN sebagai underlying asset SBSN karena pemindahtanganan yang terjadi adalah pengalihan hak manfaat atas BMN saja yang hanya digunakan semata-mata untuk keperluan penerbitan SBSN, selain juga untuk meluruskan proses Constitutional Review ini karena adanya upaya Pemohon untuk menguji keberadaan UU SBSN yang dipertentangkan terhadap UU Perbendaharaan Negara pada permohonannya, yang seyogianya tidak dilakukan Pemohon di Mahkamah Konstitusi yang mulia ini. Saat ini, penerbitan SBSN terutama dilakukan dengan menggunakan struktur ijarah sale and lease back . Dalam mekanisme penerbitan SBSN dengan akad Ijarah Sale and Lease Back ini, Pemerintah wajib membeli kembali BMN yang telah dijual hak manfaatnya dan dijadikan sebagai aset SBSN, pada saat jatuh tempo atau pada saat terjadi default ( in the event of default ). Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai Aset SBSN sedang digunakan oleh Kementerian atau Lembaga selain Kementerian Keuangan, maka Menteri Keuangan terlebih dahulu memberitahukan kepada Kementerian atau Lembaga pengguna BMN dimaksud. Berdasarkan UU SBSN, Menteri Keuangan diberi kewenangan menggunakan BMN untuk dijadikan sebagai Aset SBSN. Penggunaan BMN sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna BMN untuk tetap menggunakan BMN dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan BMN ini tetap melekat pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN, oleh sebagian masyarakat sering dipahami sebagai jaminan ( collateral) atau gadai. Pemahaman tersebut sangatlah 23 tidak tepat. Pemerintah sejak awal telah dan akan menegaskan kembali bahwa penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN sama sekali tidak pernah ditujukan untuk menjaminkan atau menggadaikan BMN kepada investor. Secara hukum, jaminan adalah perjanjian tambahan yang harus didahului dengan perjanjian utang piutang antara para pihak. Dimana dalam jaminan, salah satu pihak dapat menyita objek jaminan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian para pihak. Sehingga dalam jaminan ada hak salah satu pihak untuk melakukan penyitaan atas objek penjaminan. Hal ini berbeda dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN yaitu bahwa BMN yang digunakan sebagai aset SBSN atau underlying asset bukanlah sebagai jaminan ( collateral) atau gadai. Hal tersebut sangat jelas diatur dalam perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Penerbit SBSN bahwa BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN tetap berada dalam penguasaan Pemerintah, sehingga tidak akan terjadi peralihan hak kepemilikan ( legal title ) atas BMN tersebut. Hal ini didukung dalam salah satu dokumen hukum penerbitan SBSN , dimana Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat memberikan pernyataan sepihak untuk menjual kembali aset SBSN hanya kepada Pemerintah dalam hal Pemerintah gagal bayar ( in the event of default ) atau pada saat SBSN jatuh tempo. Dari pihak Pemerintah, dibuat pula dokumen hukum dimana Pemerintah memberikan pernyataan sepihak untuk membeli kembali aset SBSN pada saat Perusahaan Penerbit menjual aset SBSN tersebut. Dengan penjelasan Pemerintah tersebut di atas, kekhawatiran Pemohon dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN dapat menjadi sebab negara tidak dapat memenuhi hak kontitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia, terutama terhadap BMN yang seandainya benar quod non digunakan oleh Pemohon atau Universitas Patria Artha Makassar dengan meminta pengujiannya terhadap Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, adalah kekhawatiran Pemohon yang berlebihan saja, tanpa didasarkan pada alasan hukum yang sah. Oleh karena itu, sekali lagi Pemerintah memohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijak menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Pemerintah perlu juga mengemukakan bahwa akibat adanya kekeliruan pemahaman terhadap penggunaan BMN sebagai aset SBSN dan adanya 24 pengajuan permohonan uji materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN akan sangat berdampak negatif terhadap kepercayaan investor, bukan hanya pada SBSN akan tetapi juga terhadap Surat Berharga Negara secara keseluruhan yang selama ini telah terbangun dengan baik. Kepercayaan investor selama ini kepada Pemerintah semakin meningkat, terbukti dari peringkat kredit rating Indonesia mengalami peningkatan. Saat ini rating Indonesia yang dikeluarkan oleh 3 (tiga) lembaga rating internasional masing-masing Moodys: Ba2, Standard &Poor: BB-, dan Fitch: BB+. Ini berarti bahwa posisi rating Indonesia hampir mencapai investment grade . Peningkatan rating tersebut antara lain merepresentasikan adanya perbaikan pengelolaan keuangan publik dan fundamental ekonomi, penurunan rasio utang terhadap PDB, pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global, dan pengelolaan APBN yang prudent dan kredibel . Lebih lanjut, dampak negatif dari kekeliruan pemahaman terhadap penggunaan BMN sebagai aset SBSN tersebut, dan apabila terjadi pencabutan atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN akan dapat berakibat sulitnya Pemerintah untuk memenuhi pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk di dalamnya biaya pendidikan, kesejahteraan, kesehatan masyarakat, reformasi birokrasi, dan pembangunan infrastruktur. Di samping itu, dengan terhambatnya penerbitan SBSN oleh Pemerintah akibat dipermasalahkannya penggunaan BMN sebagai Aset SBSN, maka akan berdampak pada upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mempercepat pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia. Hal ini mengingat SBSN merupakan instrumen investasi terutama bagi lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah, asuransi syariah dan reksadana syariah. Selain itu, SBSN merupakan sarana yang dapat digunakan untuk menarik investor dari negara- negara Timur Tengah yang sangat membutuhkan instrumen investasi yang sesuai dengan prinsip syariah. Dalam kesempatan ini kiranya Pemerintah juga perlu menyampaikan bahwa sampai saat ini Pemerintah telah menerbitkan Surat Berharga Negara senilai Rp979 triliun, diantaranya SBSN atau Sukuk Negara yang nilainya setara dengan Rp27,54 triliun (termasuk di dalamnya SBSN Valas sebesar USD650 juta), yang 25 dimiliki baik oleh investor dalam negeri maupun luar negeri termasuk investor dari negara-negara Timur Tengah. Apabila permohonan Pemohon tidak ditolak, maka kepercayaan investor akan runtuh, karena penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN dianggap tidak berdasarkan pada ketetapan hukum yang kuat, dan bahkan tidak menutup kemungkinan Pemerintah dapat dianggap default . Jatuhnya kepercayaan investor SBSN akan berimbas pada runtuhnya kepercayaan investor SUN dan pada gilirannya akan menghancurkan nilai SBN yang berjumlah RP979 triliun yang dimiliki oleh investor dalam dan luar negeri, baik investor institusi seperti bank, asuransi, dana pensiun, reksadana, maupun investor individu di tanah air. Situasi ini berpotensi menciptakan cross-default terhadap kewajiban negara lainnya berupa pinjaman luar negeri yang saat ini sekitar Rp640 triliun. Selanjutnya, hilangnya kepercayaan investor SBN dan kreditor pinjaman luar negeri tidak hanya akan menutup akses pembiayaan APBN, tetapi juga awal dari krisis ekonomi dan keuangan dengan magnitude yang sangat besar. Dengan demikian, ketidakpahaman terhadap konsep beberapa ketentuan yang diatur dalam UU SBSN, serta ketidakpekaan Pemohon terhadap situasi sosial politik dalam memunculkan permasalahan tersebut saat ini, sungguh merupakan gangguan yang sangat serius terhadap stabilitas politik dan ekonomi yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia secara keseluruhan. Bahwa kekhawatiran Pemohon akibat dijadikannya BMN sebagai underlying asset SBSN telah dan dapat berpotensi menyebabkan dirinya tidak dapat lagi menikmati atau memanfaatkan fasilitas milik Pemerintah dan Negara Republik Indonesia, seandainya benar quod non terutama yang digunakan oleh Pemohon atau Universitas Patria Artha Makassar, adalah kekhawatiran Pemohon yang berlebihan, tanpa didasarkan pada alasan hukum yang sah. Bahwa penerbitan SBSN yang menggunakan BMN sebagai underlying asset -nya, telah dituangkan dalam UU SBSN maupun berbagai bentuk perikatan (Akad) yang memproteksi beralihnya BMN secara fisik kepada investor, karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja dan itupun hanya bersifat sementara, karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Berdasarkan ketentuan dalam UU SBSN dan akad-akadnya tersebut, tidak ada kemungkinan bagi investor untuk mengklaim BMN yang 26 dijadikan aset SBSN agar beralih secara fisik kepada investor, bahkan ketika Pemerintah gagal bayar sekalipun. Bahwa berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, Pemerintah berpendapat tidak terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, karena kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. Dengan seluruh uraian yang Pemerintah sampaikan dalam Pendahuluan Keterangan Pemerintah ini, Pemerintah mengharapkan tidak perlu lagi ada alasan untuk meragukan konstitusionalitas dari Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara yang sedang diuji ini, baik secara negatif, yaitu terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun secara positif, yaitu bahwa pasal-pasal tersebut jelas bertujuan untuk menjalankan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, karena itu Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan dengan amar:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Pemerintah mengajukan tiga orang saksi, yaitu Drs. Triantoro, Ir. Hanawijaya, M.M., dan 27 M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M., serta enam orang ahli yaitu K.H. Ma’ruf Amin, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP., Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Ir. Muhammad Syakir Sula, FIS., dan Ary Zulfikar, S.H., yang memberikan keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 16 Februari 2010, sebagai berikut:
Saksi Drs. Triantoro • Bahwa dasar hukum SBSN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa peraturan yang lainnya, termasuk juga Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 4/PMK-08/2009 tentang Pengelolaan SBSN yang berasal dari barang milik negara; • Bahwa Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah meyampaikan memberi pemberitahuan atau pro notification, penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN kepada 10 kementerian lembaga, termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-2 94/MK.6 2009 tanggal 2 Oktober 2009, dan selanjutnya Direktur Jenderal Keuangan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan pemeberitahuan atau notification, penggunaan barang milik negara atau underlying asset, dalam penerbitan SBSN kepada 9 kementrian lembaga termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-19/MK 06/2010 tanggal 2 Februari 2010 antara lain menyatakan bahwa untuk penerbitan SBSN seri IFR 003 dan seri IFR 004 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22 KM 08 2009 dan Nomor 23 KMK 08/2009 tanggal 10 November 2009 telah ditetapkan barang negara pada 9 kementrian/lembaga termasuk Depdiknas sebagaimana terlampir menjadi underlying asset penerbitan SBSN. • Bahwa selama BMN dimaksud dipergunakan sebagai aset SBSN, maka pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara dimaksud, sesuai dengan penggunaan awalnya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, dan tidak dapat melakukan pemindah tanganan kepemilikan atas BMN dimaksud kecuali dikarenakan ada peundang-undangan yang mengharuskan pemindahtanganan tersebut. Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas dapat disimpulkan;
penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan pengalihan status kepemilikan dan atau status pengguanaan atas barang milik negara tersebut maupun perubahan fungsinya; 28 2. barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan permasalahan dari sisi akuntansi mengingat pemilikan milik negara tidak berpindah sehingga tetap tercantum dalam sistem informasi manajemen akuntansi barang kepemilikan negara atau SIMAK BMN atau neraca on balanced dari kementerian pendidikan nasional;
Kementrian Pendidikan Nasional selaku pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara, yang dijadikan sebagai underline asset untuk melaksanakan tugas dan fungsi kementerian pendidikan nasional;
Saksi Ir. Hanawijaya, M.M. • Bahwa saksi selaku Direktur dari Bank Syariah Mandiri yang merupakan bank syariah milik negara terbesar di Indonesia, sangat layak apabila mewakili industri keuangan syariah dan menyambut baik adanya upaya Pemerintah mempercepat peningkatan keuangan syariah di Indonesia. • Bahwa pertumbuhan instrumen sukuk __ dalam negeri yang dikeluarkan oleh perusahaan korporasi sangat lamban. Berdasarkan data olahan departemen keuangan pada tahun 2003, sukuk korporasi hanya berjumlah 6 buah atau senilai 740 miliyar. Hingga Desember 2006, sukuk __ korporasi di Indonesia yang telah diterbitkan berjumlah 17 sukuk __ yang nilainya 2,2 triliun. Sampai 1 Desember 2007, total obligasi syariah dan medium term notes yang diterbitkan sudah mencapai 32 jenis. Di sisi lain, Pemerintah untuk menerbitkan sukuk negara masih terganjal dengan belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan tersebut. Padahal sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda dengan surat utang negara biasa. Sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang merupakan pedoman bagi terbitnya sukuk negara sekaligus sebagai instrumen mendorong tumbuhnya investasi bagi investor dan lembaga keuangan syariah; • Bahwa potensi permintaan sukuk Republik Indonesia sebagai instrumen alternatif dalam berinvestasi diprediksi cukup besar. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut;
Indonesia mempunyai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, yang melakukan penawaran efek syariah masih sangat sedikit. Proporsi atau maisire produk syariah dibanding produk konvensional masih sangat kecil; 29 b. Asumsi permintaan akan instrumen sukuk negara yang masih sangat besar tersebut dibuktikan dengan peningkatan volume pembelian dengan investor. Total volume pemesanan pembelian sukuk ritel SR 001 adalah Rp. 5,556 triliun atau mencapai 313,9% dari target penjualan awal yang disampaikan agen penjual yaitu 1,77 triliun.
Adapun total jumlah pemesanan sukuk negara ritel seri SR 002 yang disampaikan oleh masyarakat melalu 18 agen penjual yang telah ditunjuk oleh Pemerintah adalah sebesar 8 triliun lebih.
Selain itu, terdapat potensi pemesanan pembelian sebesar Rp. 715 miliar. Hal ini telah melampaui kuota penjualan yang diberikan kepada seluruh agen penjual e. Berdasarkan paparan di atas tampak jelas bahwa instrumen sukuk memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia. Peran-peran tersebut adalah sebagai motor penggerak syariah di Indonesia adalah bank syariah.
Dengan adanya instrumen sukuk membuat bank syariah lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan secara agresif tanpa khawatir terbatasnya instrumen untuk placement apabila terjadi ekses _fund; _ • Bahwa dengan adanya sukuk menambah ragam produk investasi berbasis syariah bagi bank syariah. Saat ini alternatif produk investasi yang sudah ada antara lain Sertifikat Bank Indonesia Syariah atau SBIS, Sertifikat Investasi Mudharah antar bank atau SIMA, reksadana syariah, deposito antar bank syariah; • Bahwa dengan adanya sukuk memperluas dan mendiversikasi basis investor. Catatan saksi, di Bank Syariah Mandiri jumlah nasabah baru yang masuk sebesar 14 ribuan lebih, yang merupakan basis investor baru atau nasabah baru yang menyebabkan dana pihak ketiga Bank Syariah Mandiri melalui tabungan Bank Syariah Mandiri bertambah secara tidak langsung karena hasil dari return sukuk yang dibayarkan Pemerintah melalui BSM itu akan dikreditkan ke tabungan investor-investor tersebut; • Bahwa sukuk memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri. • Bahwa manfaat sukuk bagi lembaga keuangan syariah adalah sukuk merupakan alternatif instrumen kelola likuiditas, yang hanya terbatas SBIS 30 syariah dan sekarang ada tambahan baru sukuk yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Sukuk merupakan alternatif untuk portofolio Yang dimiliki Bank Syariah Mandiri, sukuk memiliki motif investasi antara lain hanya boleh dimiliki oleh bank syariah sampai dengan jangka waktunya, sehingga tidak akan ada unsur spekulatif di dalam. • Sebagai pintu masuk, sukuk bisa juga sebagai pintu masuk yang efektif dalam mempercepat pertumbuhan aset bank syariah yaitu melalui penetrasi kepada masyarakat menengah ke atas yang selama ini menempatkan sebagian dananya melalui surat berharga bank-bank konvensional, sudah ada buktinya tambahan nasabah baru kami yang sebelumnya belum memiliki rekening di bank syariah yang pertama sekitar14 ribuan orang. • Bahwa meningkatnya daya tawar dan reputasi bank syariah di mata masyarakat karena ternyata bank syariah juga memiliki instrumen yang cukup beragam dan sekelas dengan bank konvensional. • Bahwa sukuk meningkatkan fee best income bagi Bank Syariah Mandiri, yaitu Bank Syariah Mandiri sebagai agen dari sukuk ritel mendapatkan fee best income sebesar 650 juta dan terakhir sebagai agen penerbit SR 002 mendapatkan fee best sebesar 495 juta rupiah; • Bahwa Surat SPSR ritel atau sukuk negara ritel adalah salah satu investasi bagi investor atau instrumen pembiayaan APBN bagi Pemerintah. Sama halnya dengan instrumen 001 dan 002 yang diterbitkan pada 2 Agustus 2008. • Bahwa sebagai investor lembaga keuangan syariah. Bank Syariah Mandiri menyadari bahwa underlying transaction yang dilakukan oleh Pemerintah tidak menyebabkan adanya perpindahan dari adanya aset negara itu apabila terjadi Pemerintah gagal bayar.
Saksi M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M. • Bahwa selaku praktisi pengajar keuangan syariah keuangan dan juga selaku investor individu dari sukuk negara yang selama ini mengharapkan adanya instrumen investasi yang dapat memberikan tidak hanya benefit di dunia tetapi juga insya Allah benefit di akhirat, minimal semacam peace of mine atau perasaan yang menenangkan pada saat kita berinvestasi pada instrumen investasi tersebut; 31 • Bahwa keuntungan yang saksi peroleh dalam berinvestasi di sukuk negara khususnya sukuk ritel Republik Indonesia SR 001, antara lain imbal hasil yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau dalam hal ini imbal jasanya berdasarkan akad idzharah/sale berdasarkan fatwa MUI Nomor 71 dan Nomor 72 dan juga telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yaitu tentang Surat Berharga Syariah Negara; • Bahwa sukuk yang dikeluarkan oleh negara relatif aman, karena Republik Indonesia mempunyai reputasi sebagai pembayar utang yang sangat baik dan tidak mengalami default . Khusus untuk Sukuk Ritel Republik Indonesia imbal jasa yang saksi terima sebagai investor dapat diterima setiap bulan; • Bahwa sukuk menjadi instrument investasi yang sangat akuntabel karena dikeluarkan dengan underlaying asset yang transparan sehingga dalam hal pengeluaran sukuk ini menjadi kredibel dimata investor. Sebagai investor saksi sangat memahami bahwa yang dijadilan underlaying dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara adalah berupa hak manfaat dari barang milik negara, sebagai investor saksi akan mendapatkan sejumlah imbalan yang berasal dari penyewaaan kembali hak manfaat aset SBSN kepada Pemerintah yang dituangkan dalam akad ijarah, dan saksi sangat yakin bahwa dana yang diinvestasikan kepada sukuk negara akan aman, bahkan dalam hal misalnya pemerintah gagal bayar atas SBSN yang dimiliki oleh investor maka berdasarkan Undang-Undang SBSN dana tersebut akan disediakan dalam APBN dan investor melalui perusahaan penerbit SBSN sebagai wali amanat atau wakil investor hanya akan menjual aset SBSN kepada Pemerintah sesuai dengan dokumen penerbitan pada saat sukuk negara jatuh tempo; • Bahwa keuntungan dan kemanfaatan yang ada di instrument investasi sukuk negara seharusnya menjadi pendorong bagi masyarakat Republik Indonesia untuk lebih berkeinginan melakukan investasi bagi dirinya dan negaranya bukan malah mempermasalahkan keberadaan sukuk negara;
Ahli KH. Ma’ruf Amin • Bahwa penerbitan sukuk negara sudah lama diinginkan dan dicita-citakan tetapi terkendala ketika itu oleh belum adanya Undang-Undang yang menjadi landasan, yaitu Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Undang- Undang yang ada serta sesuai dengan ketentuan syariah. Akhirnya para ahli hukum nasional dan para ahli syariah berijtihad untuk mewujudkannya dalam 32 rangka membiayai APBN, kemudian lahirlah Undang-Undang SBSN yang di dalamnya tercapailah kesesuaian antara hukum negara dan hukum syariah. Menurut istilah ahli, terdapat persesuaian syara’an waqanunan . Hal tersebut merupakan satu prestasi di bidang hukum yang luar biasa; • Bahwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan menunjuk tim untuk mendampingi. Dewan Syaraiah Nasional juga menunjuk tim untuk duduk dalam Komite Syariah SBSN dan Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa-fatwa berkenaan dengan SBSN, anatara lain fatwa Nomor 69 tentang surat berharga syariah negara, fatwa Nomor 70 tentang metode penerbitan surat berharga syariah negara, fatwa Nomor 71 tentang sale and lease back , fatwa Nomor 72 tentang surat berharga syariah negara ijarah, sale and lease back , dan setiap Pemerintah menerbitkan SBSN, Dewan Syariah Nasional membentuk tim dalam mendampingi Pemerintah dalam pembuatan skema dan perjanjian yang terkait dengan penerbitan SBSN; • Bahwa Dewan Syariah Nasional juga memberikan pernyataan kesesuian syariah untuk setiap emisi SBSN, untuk memberikan pernyataan ini Dewan Syariah Nasional MUI me review ulang atas sebuah skema dan perjanjian yang telah dipandang final, yaitu melalui akad-akad dalam penerbitan SBSN, dimana barang milik negara tidak akan beralih secara fisik karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja itupun hanya bersifat sementara karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk adanya kekhawatiran hilangnya atau lepasnya barang milik negara melalui SBSN;
Ahli Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP. • Bahwa secara umum sukuk yang ada di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, adalah sukuk yang berbasis aset riil atau disebut asset base sukuk. Kedua, adalah sukuk yang melekat pada dan dijaminkan oleh asset riel yang disebut sebagai asset back sukuk. • Asset base sukuk, aset riil hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam prinsip syariah, setiap transaksi harus memenuhi tiga rukun, yaitu pertama adanya para pihak, kedua, adanya objek transaksi, dalam bahasa Arab disebut ma’kud alaih atau dalam bahasa Inggris disebut underlying asset, juga harga objek dari transaksi tersebut. 33 Ketiga, adanya kesepakatan. Oleh karenanya aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk biasanya tidak dijadikan sumber pembayaran dan tidak dijaminkan untuk pembayarannya. Secara lebih formal sukuk didefinisikan sebagai an investment sukuk is a certificate of equal value representing shares in ownership of tangible asset usufruct and services or in the ownership of the asset of particular project or special investment activity. Sedangkan untuk jenis sukuk yang kedua yang disebut sebagai asset back sukuk adalah aset riil yang dipisahkan kepemilikannya kepada special purpose vehicle juga dijadikan sumber pembayaran dan dijaminkan untuk pembayarannya. Perbedaan ini secara teoritis memberikan tingkat risiko yang berbeda. Secara lebih formal asset backed securities didefinisikan sebagai an asset backed security is a security who’s value and income payments are derived from and collateralised or backed by a specified full of underlying asset . • Bahwa dilihat dari sisi risiko investor pada jenis sukuk yang pertama yaitu asset base sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan uang tanpa jaminan aset riil atau disebut sebagai unsecured . Sedangkan investor pada jenis sukuk yang kedua yaitu asset back sukuk mempunyai jaminan atau disebut secured berupa aset riil yang dipisahkan kepemilikannya walaupun di beberapa negara jaminan itu berarti hak tagih atas aset riil bukan hak kepemilikan penuh atas aset riil itu sendiri. Sukuk yang diterbitkan oleh korporasi kadang berupa asset base sukuk dan kadang berupa asset back sukuk . Sedangkan sukuk yang diterbitkan oleh negara sampai saat ini biasanya berupa asset base sukuk.
Ahli Gahet Ascobat • Bahwa dari sisi pasar sukuk global menunjukkan perkembangan cukup signifikan dimulai tahun 2002 pada saat Pemerintah Malaysia pertama menerbitkan sukuk global dalam mata uang US dollar. Mencapai puncaknya pada tahun 2007 dan karena krisis keuangan global pada tahun 2008 mengalami penurunan dan tahun 2009 yang lalu telah mengalami peningkatan lagi yang antara lain alasan peningkatan market sukuk secara global tersebut adalah penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Indonesia selaku pioneer di tahun 2009; • Bahwa di pasar domestik Indonesia pun sukuk telah ada sejak tahun 2002 yang diterbitkan oleh korporasi, dengan berpartisipasinya Pemerintah dalam 34 menerbitkan SBSN di tahun 2008 dan tahun 2009 maka industri ini mendapatkan suplai atau persediaan instrumen syariah yang sangat dinanti- nanti oleh pelaku pasar. • Bahwa beberapa transaksi sukuk yang telah dilakukan di pasar internasional oleh pemerintahan, antara lain Pemerintah Malaysia, Qatar, Dubai, Indonesia, Bahrain, pada tahun 2009 yang lalu terjadi kelebihan permintaan cukup besar dan cukup signifikan yaitu transaksi Pemerintah kita secara global mengalami kelebihan permintaan sebesar 7 kali lipat. Penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Bahrain di tahun 2009 juga mengalami kelebihan permintaan sebanyak 5 kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi investor syariah secara global, permintaan dan kebutuhan atas instrumen ini memang sangat besar dan instrumen ini juga sangat langka tersedia di pasar. Di Indonesia sendiri dari sisi penerbitan sukuk terdapat ukuran yang semakin meningkat dan untuk memenuhi kebutuhan investor yang semakin meningkat pemerintah sudah memberi supply sedemikian besar dan ini juga berhasil diserap oleh pelaku pasar dan investor di Indonesia • Bahwa seluruh transaksi sukuk secara global yang dilakukan oleh pemerintahan di dunia selain di Indonesia yang melakukan penerbitan sukuk global di tahun 2009 yaitu pemerintahan Malaysia Negara bagian di Jerman, Pemerintah Dubay, Pakistan telah melakukan penerbitan sukuk secara global atau berkali-kali dan poin yang penting untuk dicermati disini adalah bahwa dari sisi struktur yang diterapkan oleh berbagai pemerintahan ini nyaris seluruhnya adalah berdasarkan struktur ijarah atau berdasarkan sewa menyewa atas suatu asset, merupakan struktur yang mirip dengan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbitan SBSN; • Bahwa dalam perkembangan pasar dan perkembangan regulasi, tidak hanya dialami dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia saja tetapi juga di negara- negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Mesir, Turki, Kazastan, Uni Emirat Arab, Pakistan dimana Negara-negara tersebut memang mengembangkan peraturan-peraturan yang akomodatif untuk penerbitan sukuk baik oleh pemerintahan maupun oleh korporasi tetapi di luar negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Inggris, Perancis, kemudian Hongkong, Korea, dan Jepang telah atau sedang menyusun perundang-undangan atau perangkat regulasi untuk memfasilitasi kemungkinan pemerintahan atau 35 koperasi di negara masing-masing tersebut untuk dapat menerbitkan instrumen berbasis syariah atau sukuk yang menggunakan atau memerlukan underlying _asset; _ • Bahwa __ transaksi sukuk oleh Pemerintah Indonesia sangat sukses, hal ini menunjukkan sedemikian besarnya animo dari investor seperti transaksi dalam hal mata uang rupiah di tahun 2008, tahun 2009 dan baru-baru ini tahun 2010 melalui sukuk ritel habis diserap investor dan mengalami kelebihan permintaan. Selain itu, transaksi Pemerintah Indonesia dalam mata uang US dolar pun mengalami kelebihan permintaan sebanyak 7 kali, hal ini menunjukkan transaksi tersebut sangat sukses dan diminati oleh investor; • Bahwa salah satu kunci transaksi ini diminati dan diserap habis oleh market dan investor adalah karena struktur yang diterapkan adalah struktur yang diterima secara luas dan merupakan market best practice yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit lainnya sebelum Pemerintah Indonesia, sebagai contoh, struktur sukuk global Pemerintah Indonesia dalam mata uang US dolar adalah sebesar 650 juta pada April 2009, dengan strukturnya secara gambaran umum adalah sebagai berikut:
Pemerintah mengalihkan hak manfaat atas beberapa kantor pemerintahan selaku aset sukuk kepada suatau perusahaan penerbit yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, tidak dimiliki oleh investor asing.
Pemerintah tetap menggunakan aset-aset sukuk tersebut seperti sedia kala tidak ada disruption, tidak ada perubahan karena aset itu langsung disewakan penerbit kepada Pemerintah sejak hari pertama transaksi dilangsungkan dan hal tersebut berlangsung terus sampai dengan sukuk tersebut jatuh tempo.
Sertifikat kepemilikan atau barang-barang milik Negara tersebut tidak berpindah dari Pemerintah dan tidak berpindah ketangan investor asing dalam kasus ini. Pada saat jatuh tempo atau dalam hal terjadi gagal bayar atau wanprestasi dipihak Pemerintah, aset sukuk pun hanya dapat dijual kembali oleh investor atau perusahaan penerbit kepada Pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada kondisi hak manfaatnya hilang atau kepemilikannya hilang berpindah dari tangan Pemerintah.
Bahwa pada saat penerbitan, sukuk global mendapat credit rating agency sebagai instrumen yang merefleksikan sebagai risiko kredit dan rating 36 Pemerintah yaitu BA 3 berdasarkan analisa moody’s dan BB- menurut standar S&P dan BB menurut Fitch hal tersebut sama seperti rating Pemerintah Indonesia pada saat itu; • Bahwa transaksi tersebut telah memperoleh begitu banyak penghargaan dari berbagai publikasi internasional atas peranannya dalam berhasil membuka kembali pasar sukuk secara global dan juga memberi contoh bagi negara lain yang sekarang sedang mengembangkan perangkat regulasi untuk juga mengikuti jejak Indonesia dalam mengakses likuiditas yang sangat besar dikalangan investor syariah; • Bahwa dari sisi transaksi sukuk global yang diterapkan oleh Pemerintah Indoneisa, tidak jauh berbeda dengan transaksi sukuk global yang diterapkan oleh pemerintahan lain, antara lain contohnya Pemerintah Malaysia di tahun 2002, Pemerintah Qatar di tahun 2003, Pemerintah Pakistan di tahun 2005. Struktur yang diterapkan persis sama yaitu ijarah ( sale and lease back ) dari sisi Underlying asset , Pemerintah Malaysia menggunakan tanah dan bangunan milik negara yang berlokasi di Kuala Lumpur, Pemerintah Qatar menggunakan tanah yang berlokasi di Doha Qatar, Pemerintah Pakistan menggunakan jalan raya Lahore-Islamabad Motorway, dan Pemerintah kita menggunakan gedung kantor pemerintahan. Penggunaan aset dalam ke empat transaksi sukuk ini juga sama sepenuhnya digunakan oleh kembali oleh Pemerintah, disewakan kembali kepada Pemerintah, sehingga Pemerintah negara-negara masing- masing bisa terus menggunakan, memelihara dan jika perlu mengasuransikan aset sukuk tersebut secara normal; • Bahwa yang terjadi pada saat jatuh tempo atau terjadi Dissolution Event atau gagal bayar atau Interrupted Default dalam keempat transaksi tersebut, maka akan langsung dijual kembali kepada pemerintah negara masing-masing yaitu kepada Malaysia, Qatar, Pakistan dan Indonesia karena feature tersebut tidak ada objek jaminan dan keempat transaksi ini adalah transaksi yang _unsecured; _ 7. Ahli Farouk Abdullah Alwyni • Bahwa ahli melihat dari sisi peranan sukuk negara dalam kaitannya dengan potensi untuk menarik investasi khususnya investasi dari negara Timur Tengah. Ketika berbicara tentang investor Timur Tengah biasanya terfokus pada GCC ( Gulf Cooporation Council ) yang terdiri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Negara-negara ini diperkirakan mempunyai 37 reserve sekitar 1,3 Triliun Dollar sebagai hasil dari akumulasi ketika harga minyak naik pada tahun 2003. Pada awalnya negara-negara ini mempunyai tujuan investasi tradisional di Amerika dan di Eropa karena instrumen- instrumen surat berharga di negara Amerika Serikat dan Eropa sudah sedemikian terbangunnya; • Bahwa kebanyakan investor dari Timur Tengah adalah mereka yang mempunyai investasi dalam bentuk Financial Capital , sehingga investasinya mengarah kepada surat-surat berharga. Dengan mulai berkembangnya sistem keuangan islam maka mulai terjadi diversifikasi penempatan dana bukan hanya di pasar tradisional Eropa dan Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara mereka sendiri dan terakhir di Malaysia yang cukup aktif untuk mencoba memposisikan diri menjadi Alternative Financial Destination , Alternative Investment Destination bagi negara-negara dari teluk ini. • Bahwa kalau melihat perkembangan keuangan Islam dewasa ini jumlah aset dari Top 500 bank-bank Islam ini mencapai 822 Milyar Dollar pada akhir tahun 2009. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya, pertama, fenomena akumulasi modal di teluk sebagai dampak kenaikan harga minyak yang signifikan, yang terjadi kembali sejak tahun 2003. Kedua , kesadaran keislaman diantara kaum muslimin kelas menengah atas, baik di dunia muslim sendiri ataupun di Eropa dan di Amerika Serikat, dan faktor Eleven September yang dalam beberapa hal menimbulkan kecurigaan di Amerika Serikat terhadap dana-dana yang berasal dari Timur Tengah juga turut memacu keinginan untuk mencari Alternative Investment Destination , sebagai contoh dalam kasus DP World ( Dubai Ports World ) dimana rencana investasi yang tertolak oleh kongres di Amerika Serikat. Hal-hal tersebut menumbuhkan secara bersamaan kebutuhan akan alternatif investasi yang berdampak kepada perkembangan keuangan Islam. Dalam kaitan dengan hal ini, krisis yang terjadi di Amerika dan di negara Eropa pada umumnya diawali pada tahun 2008 juga membuat para investor mencari Alternative Investment Destination bahwa sebenarnya di negara-negara seperti eropa dan Amerika menjadi kondisi-kondisi yang merugikan, sehingga terjadi proses pergerakan kapital ke negara-negara Asia, terutama Malaysia yang cukup proaktif dalam melihat potensi besar dari Sukuk; 38 • Bahwa Malaysia pada tahun 2002 mendapat insentif senilai $600.000.000 dan yang terakhir Malaysia membentuk International Islamic Financial Centre yang banyak memberikan insentif __ untuk perkembangan keuangan Islam, di lain sisi negara-negara yang sebelumnya juga telah menikmati dana dari teluk tersebut, dalam hal ini Inggris misalnya. Berusaha juga mempertahankan kapital-kapital yang telah ada di sana, dan pada satu kesempatan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyatakan ingin menjadikan London sebagai pusat keuangan Islam di Eropa, selain Inggris juga usaha-usaha dari mayoritas penduduknya bukan muslim, seperti Jerman dan Prancis, dan terakhir yang cukup aktif adalah Hongkong dan Singapura. Singapura bahkan telah membentuk Islamic Bank besar, Islamic Bank of Asia dengan modal $500.000.000, dimana Pemerintah Singapura melalui Development Bank Of Singapura menjadi pemegang saham mayoritas 50 % + 1 saham dan selebihnya ditarik Investor dari Timur Tengah diantaranya dari Bahrain, dan Saudi Arabia. • Bahwa dari uraian di atas, Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan memerlukan pendanaan yang besar, perlu juga melihat potensi ini, terlebih lagi Indonesia negara muslim yang terbesar di dunia. Mengeluarkan sukuk merupakan satu usaha penting dalam rangka menarik Investor Timur Tengah khususnya Negara-negara Teluk. Terlebih lagi model investasi dari Negara- negara Teluk umumnya adalah untuk financial capital atau investasi di pasar modal atau pasar uang. Sukuk global Indonesia pertama yang senilai Rp 650.000.000, yang di keluarkan tahun lalu sekitar 70 % nya diambil oleh Investor Timur Tengah, sehingga terlihat bahwa upaya yang telah dilakukan telah membuahkan hasil; • Bahwa ke depan dengan kebutuhan pembangunan dan lain sebagainya, ini merupakan satu strategi untuk lebih menarik capital ke dalam negeri. Preferensi investor Timur Tengah yang untuk sekarang ini lebih comfortable berhubungan dengan negara atau Badan Usaha Milik Negara dalam hubungan bisnis dengan Indonesia, membuat suatu negara menjadi suatu instrumen efektif untuk menarik dana mereka ke Indonesia. Perkembangan pasar uang dan pasar modal Syariah juga menjadi satu faktor penting dalam menarik Investasi fortfolio dari Negara-negara Teluk. Di samping itu, perlu pula dicatat bahwa pada akhirnya negara bukan hanya berpotensi menarik Investor Timur 39 Tengah, tetapi juga Investor-investor lain seperti dari Amerika sendiri dan Eropa, yang pada kenyataannya menyumbang sekitar 30% dari pembeli sukuk global yang dikeluarkan di Indonesia; • Bahwa sukuk pada hakikatnya dapat menjadi instrumen penarik investasi yang lebih luas dari Conventional Bond menginggat pasar sukuk tidak terbatas dari investor syariah tetapi juga investor konvensional karena sukuk dapat di beli oleh Conventional Investors dan Syariah Investors tetapi Conventional Bond terbatas pada Conventional Investors, jadi mengeluarkan sukuk mempunyai benefit yang berganda; • Bahwa sukuk __ negara dan perkembangan soal keuangan Syariah khusunya lembaga keuangan Syariah. Pasar uang syariah merupakan bagian integral dari berfungsinya sistem perbankan Islam. Pasar uang syariah menyediakan fasilitas pendanaan dan penyesuaian fortofolio dalam jangka pendek, disamping itu instrumen-instrumen keuangan dan investasi antar bank akan memfasilitasi mekanisme transfer dari bank-bank surplus ke bank yang defisit, yang dengan demikian menjadi pendanaan likuiditas yang baik dalam rangka menjaga stabilitas sistem. Salah satu tantangan bagi pengembangan keuangan Syariah, sebagai praktisi, ahli melihat masih terbatasnya instrumen pasar uang syariah, Islamic Money Market Instrument , yang dapat di perjual belikan di pasar sekunder. __ Adanya Sukuk Negara akan sangat bermanfaat bagi pengembangan sistem keuangan di Indonesia yang khususnya bagi lembaga- lembaga keuangan Syariah yang sering membutuhkan Liquid Instrumen untuk penempatan dana berlebih untuk jangak waktu menegah dan panjang. __ • Bahwa usaha untuk mengembangkan keuangan Syariah di Indonesia, yang saat ini masih di bawah 5 % dengan total aset sekitar 6 miliar dollar di quartal ketiga, di bandingkan dengan Malaysia yang diproyeksikan akan mencapai 20% di tahun 2010 dengan total aset mencapai 46 miliar dollar di tahun 2007, perlu disertai dengan rangka pendukung lainnya, yang diantaranya adalah dengan tersedianya instrumen pasar uang syariah yang cukup liquid. Sukuk __ negara dalam hal ini, merupakan satu faktor pendukung yang penting bagi Indonesia untuk terus mengembangkan potensi lembaga keuangan Syariah ini, fungsi penting Sukuk Negara lainnya instrumen ini merupakan salah satu acceptable instrument dapat dijadikan jaminan, untuk mendapatkan hal lain fasility untuk kebutuhan fasilitas pembiayaan perdagangan Internasional dari 40 bank-bank Internasional, sekedar perbandingan sedikit mungkin bahwa Pemerintah Singapura dalam rangka mengembangkan perbankan syariahnya juga telah mengelolakan program sukuk pertamanya senilai $ 134 juta, yang khususnya ditujukan untuk mendukung kebutuhan kelebihan likuiditas. Kesimpulannya adalah bahwa, sukuk negara mempunyai peranan penting, yaitu paling tidak, pertama , dalam menarik financial capital dari luar negeri umumnya dan negara-negara timur tengah khususnya, dalam rangka membiayai program pembangunan negara, dan kedua dalam rangka pengembangan perbankan syariah melalui mekanisme peningkatan likuiditas pasar uang syariah;
Ahli Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS. • Bahwa menurut data statistik Desember 2008, masyarakat Indonesia yang 88,22% penduduknya adalah muslim tentu membutuhkan instrumen bisnis dan produk-produk halal yang sesuai dengan syariah, karena itu menjadi kewajiban pemerintah memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat muslim tersebut. Saat ini hampir semua lembaga keuangan syariah sudah ada di Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, reksa dana, obligasi, corporate , sukuk, saham syariah, penjaminan syariah, pegadaian syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah sudah ada di Indonesia. • Bahwa perbankan syariah ada 25 unit usaha dengan 6 bank umum syariah, dengan market share kurang lebih 2,3 %, asuransi sekitar 40 perusahaan asuransi yang telah membuka unit syariah dengan 3 perusahaan penuh kurang lebih market share 2%, reksadana ada sekitar 46 unit dengan market share sekitar 2%, dan seterusnya sampai kepada lembaga keuangan mikro syariah, BPRS ada 159, kemudian baitumaal watambil yang lebih kecil lagi ada sekitar 4000 menyebar di seluruh Indonesia, dan koperasi syariah ada sekitar 300. Peran sukuk terhadap lembaga keuangan syariah ini adalah sebagai pendorong untuk mempercepat proses market share yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia; • Bahwa sebagai instrumen investasi maupun sebagai fee base income, sukuk negara diperlukan untuk instrument fortopolio investasi. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tentu akan sangat lambat kalau tidak didorong oleh instrumen- instrumen investasi seperti sukuk; 41 • Bahwa di Indonesia saat sekarang ini sebetulnya sudah ada beberapa Undang- Undang untuk syariah selain sukuk atau Undang-Undang SBSN, yaitu Undang- Undang Perbankan Syariah, Undang-Undang Pengelolaan Zakat dan Undang- Undang Wakaf yang kesemuanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan makanan produk halal dan instrument-instrumen bisnis syariah. Bahkan, umat Islam masih membutuhkan sejumlah Undang-Undang lagi yang terkait dengan instrumen syariah. Misalnya, Undang-Undang Asuransi Syariah masih Undang-Undang Penjaminan Syariah, Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro Syariah, dan sebagainya; • Bahwa seperti disebutkan oleh Bapak Adang Dorojatun dari anggota DPR, bahwa lembaga keuangan syariah sudah merupakan instrumen global, bahkan negara-negara yang ada di luar sudah begitu banyak menggunakan konsep syariah, seperti Singapura, negara-negara yang non-muslim, Inggris, Hongkong, mereka ingin menjadi pemilik ekonomi syariah. Oleh karena itu, justru Indonesia seharusnya akan menjadi negara yang terdepan, di dalam mengembangkan konsep ekonomi syariah. Dengan demikian, jika di Indonesia instrumen syariah justru ada yang mempertanyakan atau menggugat, mungkin kita perlu belajar ke negara-negara non-muslim tersebut atau kalau perlu belajar ke negara-negara lain seperti Eropa, bahkan terakhir Rusia juga sudah mulai menggunakan instrumen syariah;
Ahli Ary Zulfikar, S.H. Bahwa terdapat empat hal yang ingin ahli sampaikan, pertama, penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara sesuai dengan Undang-Undang SBSN. Kedua , BMN dalam penerbitan sukuk negara bukan sebagai collateral atau jaminan. Ketiga, dalam hal kondisi event of default oleh Pemerintah dalam pembayaran imbalan maupun nilai sukuk apakah BMN dapat dieksekusi oleh investor? Keempat , dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penerbitan sukuk negara. Terhadap keempat hal tersebut, ahli menjelaskan sebagai berikut: Penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara sesuai dengan Undang-Undang SBSN a. bahwa di dalam penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN, SBSN adalah Surat Berharga Negara yang merupakan instrumen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan bertujuan untuk membiayai APBN yang pada gilirannya 42 akan digunakan juga untuk menyediakan fasilitas yang layak sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
bahwa dasar penerbitan SBSN adalah aset SBSN, yang berupa BMN yang memiliki nilai ekonomis sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 butir 3 dan Pasal 10, Pasal 11 Undang-Undang SBSN juncto Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 69 sampai dengan 72. Artinya, nilai ekonomis atas BMN dijadikan dasar dalam menetapkan nilai nominal sukuk negara;
Bahwa atas penggunaan BMN tersebut juga wajib meperoleh persetujuan dari DPR. Pasal 9 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang SBSN. Dengan demikian, di dalam penggunaan BMN itu sendiri Pemerintah juga mendapatkan persetujuan dari DPR sebagaimana diamanatkan baik di dalam Undang-Undang SBSN maupun Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Mekanisme penggunaan BMN dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas BMN atau cara lain sesuai dengan akad yang digunakan. Penekanan dalam penjualan dan penyewaan adalah, hak manfaat, sebagaimana tadi telah disampaikan oleh Pemerintah bahwa pemindahan BMN dalam konteks aset BMN bersifat khusus. Penjualan dan atau penyewaan dilakukan, pertama , hanya atas hak manfaat, kedua , tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan legal title , ketiga , tidak dilakukan pengalihan fisik BMN sehingga sama sekali tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintah. Hal sebagaimana diatur juga di dalam Penjelasan dalam paragraf 1 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang SBSN. BMN dalam penerbitan sukuk negara bukan sebagai collateral atau jaminan Mengingat sukuk negara merupakan Surat Berharga Negara maka pembeli sukuk negara (Investor) hanya memegang bukti kepemilikan baik dalam bentuk warkat atau tanpa warkat vide Pasal 2 berikut Penjelasan Undang-Undang SBSN. Investor tidak memegang jaminan kebendaan atas BMN. Investor hanya memiliki bukti kepemilikan Surat Berharga yang pembayarannya dijamin oleh Pemerintah. Merujuk Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang SBSN. Dengan demikian, dalam struktur sukuk negara tidak ada aset SBSN atau BMN yang dijaminkan dalam bentuk jaminan kebendaan, hak tanggungan atau bentuk lainnya gadai dan lain sebagainya kepada investor; 43 Dalam hal terjadi kondisi event of default , Pemerintah wajib menyediakan pembayaran imbalan dan nilai nominal dalam APBN, hal tersebut diatur di dalam Pasal 9 ayat (3) dan Penjelasannya juncto Pasal 12 Undang-Undang SBSN. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu anggaran meliputi salah satu penerimaan yang perlu dibayar kembali baik dalam tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Artinya, Pemerintah dalam konteks penerbitan SBSN sudah mengalokasikan pembayaran terhadap imbalan maupun nilai nominal apabila jatuh tempo sukuk negara tersebut. Dalam hal terjadinya event of default pemegang sukuk tidak mempunyai hak untuk mengeksekusi asset SBSN, mengingat aset SBSN bukan objek jaminan dan investor tidak memegang hak jaminan kebendaan, sehingga investor hanya dapat menuntut pemerintah untuk membayar kewajiban atas imbalan dan nilai nominal dari sumber-sumber lain dari APBN sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang SBSN. Mekanisme dari pembayaran kembali jika jatuh tempo Pemerintah akan membeli kembali hak manfaat atas aset SBSN yang dijadikan dasar penerbitan dari sumber dana yang dialokasikan dalam APBN. Hal tersebut diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang SBSN; Dokumen-dokumen yang akan disiapkan dalam penerbitan Surat Berharga Syariat Negara. SBSN yang pernah diterbitkan oleh Pemerintah adalah SBSN ijarah sale and lease back . Terdapat tiga transaksi, yaitu:
Antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia, Perusahaan penerbit SBSN Indonesia adalah perusahaan yang didirikan berdasarkan PP Nomor 57 Tahun 2008, menandatangani suatu perjanjian jual beli akad bai’ atas hak manfaat BMN dari Pemerintah selaku penjual kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia selaku pembeli. Perusahaan penerbit SBSN adalah perusahaan yang didrikan oleh Pemerintah, dimana Pemerintah menjual hak manfaat atas BMN kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia.
Perusahaan penerbit SBSN menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara sebagai bukti atas bagian pernyataan terhadap asset SBSN. Dengan demikian dari dasar nilai ekonomis terkait dengan BMN itu dijadikan dasar dalam penerbitan sukuk nilai nominal sama dengan nilai aset BMN. Dalam transaksi kedua adalah pembayaran imbalan dan/atau nilai nominal atas SBSN kepada 44 pemegang SBSN, investor, dari pembayaran imbalan ijarah oleh Pemerintah untuk pembayaran imbalan dan pada saat jatuh tempo untuk pembayaran nilai nominal;
Pada saat yang bersamaan juga antara perusahaan penerbit SBSN dan Pemerintah menandatangani suatu perjanjian sewa meyewa, akad ijarah, dimana Pemerintah menyewa aset SBSN kepada perusahaan penerbit SBSN Indonesia untuk digunakan dalam menjalankan kegiatan umum pemerintahan dan/atau untuk kepentingan Pemerintah. Pemerintah selaku penyewa aset SBSN juga melakukan fungsi perawatan dan pengelolaan atas aset SBSN berdasarkan perjanjian pengeloalaan aset. Sehingga pada saat awalnya transaksi pertama dilakukan akad bai’ pada saat yang bersamaan juga dilakukakan perjanjian sewa menyewa, akad ijarah. Dalam transaksi yang ketiga adalah adanya satu dokumen yang memuat pernyataan untuk menjual yang dibuat oleh perusahaan penerbit SBSN dan pernyataan membeli yang dibuat oleh Pemerintah jika SBSN jatuh tempo atau buy back . Pemerintah akan membeli kembali aset SBSN dari perusahaan penerbit SBSN dan perusahaan penerbit SBSN hanya akan menjual asset tersebut kepada Pemerintah. Sehingga pada saat kemudian sukuk itu jatuh tempo otomatis aset BMN tersebut akan kembali kepada Pemerintah. Kesimpulannya adalah dalam skema sukuk, aset SBSN hanya digunakan sebagai underlying asset atau dasar penerbitan SBSN kepada investor. Artinya adalah nilai-nilai nominal sukuk yang akan diterbitkan minimal sama dengan nilai secara ekonomis atas hak manfaat aset BMN. • Kesimpulan:
Bahwa penjualan dan/atau penyewaan atas aset SBSN hanya hak atas manfaat tidak ada pemindahan hak milik legal title dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah.
Bahwa aset SBSN berupa BMN bukan merupakan objek jaminan kebendaan atau collateral k arena bentuknya bukan perjanjian utang piutang.
Bahwa pemegang pemilik SBSN atau investor tidak mempunyai hak eksekusi atas BMN karena tidak mempunyai hak jaminan kebendaan atas BMN. Sehingga dalam hal terjadi default tidak akan mempengaruhi status 45 BMN serta mengganggu fungsi penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan BMN tersebut.
Struktur skema sukuk adalah dalam bentuk jual beli atas hak manfaat dengan undertaking untuk menjual atau membeli kembali atas hak manfaat BMN antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia; [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat, menyampaikan keterangan tertulis, sebagai berikut: A. KETENTUAN PASAL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA (SBSN) YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945. Pemohon dalam Permohonan a quo mengajukan permohonan pengujian atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN, yang menyatakan: Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b: (1) Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN yang untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud sebagai aset SBSN. _(2) Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: _ _a. tanah dan/atau bangunan; _ _b. selain tanah dan/atau bangunan; _ Pasal 11 ayat (1): (1) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN. Pemohon beranggapan ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 46 B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA PASAL 10 AYAT (1) DAN AYAT (2) HURUF A DAN HURUF B, SERTA PASAL 11 AYAT (1) UU SBSN. Pemohon dalam permohonan a quo , mengemukakan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1), yaitu sebagai berikut:
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 3 beranggapan, bahwa ketentuan pasal-pasal Undang-Undang a quo nyata terlihat akan menimbulkan potensi kerugian konstitusional yaitu apabila dalam jangka waktu sebagaimana dijaminkan aset SBSN oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar (default), maka pada saat itu berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Sehingga beralihnya objek jaminan ini menimbulkan kerugian yang nyata bagi Pemohon berupa tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum tersebut yang merupakan publik domain . Oleh karena menurut Pemohon barang milik negara sebagai dasar penerbitan SBSN adalah barang yang diperuntukan untuk umum dan dimasukkan dalam publik domain, dimana tidak dapat dijadikan objek perdagangan.
Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo halaman 3 juga mengemukakan dengan digunakannya barang milik negara sebagai dasar penerbitan SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, dengan cara menjual atau menyewakan hak manfaat atas barang milik negara atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon selaku warga negara Indonesia terhadap objek jaminan barang milik negara tersebut sudah hilang untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna memperoleh persamaan dan keadilan. __ C. KETERANGAN DPR. Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo pada kesempatan ini DPR dalam penyampaian 47 pandangannya terlebih dahulu mengenai kedudukan hukum (legal standing) sebagai berikut:
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon a. Bahwa dalam permohonan halaman 2, Pemohon adalah sebagai perorangan WNI sebagai Ketua Yayasan Patria Artha yang mengkhususkan kegiatannya di bidang pendidikan, pelatihan, penerapan, dan pengembangan ilmu keuangan negara di Republik Indonesia, merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dengan berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN;
Bahwa mencermati dalil-dalil Pemohon dan permohonan a quo DPR berpandangan sesungguhnya permohonan Pemohon tidak menunjukan dan membuktikan secara konkrit dan nyata adanya kerugian konstitusional yang spesifik ataupun kerugian konstitusional yang potensial, namun yang terurai hanya anggapan dan tafsir dari Pemohon sendiri, bahwa menurut penalaran yang wajar kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon sesungguhnya belum dipastikan terjadi. Karena itu DPR berpandangan permohonan Pemohon mengenai kerugian konstitusional yang didalilkan tidak spesifik, tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur (obscuur libels) ;
Bahwa walaupun Pemohon sebagai subjek hukum berkedudukan selaku perorangan WNI sesuai dengan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun tentu terlebih dahulu perlu dipertanyakan, apakah benar Pemohon sebagai perorangan warga negara yang merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena Pemohon dalam permohonannya tidak menguraikan secara spesifik, terinci dan konkrit mengenai aset barang milik negara, apakah tanah dan/atau bangunan, ataukah selain tanah dan/atau bangunan yang merugikan diri Pemohon yang dikarenakan barang milik negara tersebut menjadi objek jaminan yang digunakan sebagai aset SBSN? d. Bahwa atas dasar permohonan yang obscuur libels tersebut, dan seandainya terjadi peristiwa sebagaimana yang didalilkan Pemohon, maka DPR berpandangan bahwa hal ini bukan persoalan 48 konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN, tetapi merupakan persoalan penerapan normanya, karena tidak terdapat causal verband yang nyata dan serta-merta oleh berlakunya ketentuan pasal-pasal Undang-Undang a quo mengakibatkan kerugian konstitusional bagi diri Pemohon;
Bahwa terhadap dalil-dalil Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa meskipun Pemohon memiliki kualifikasi sebagai subjek hukum dalam permohonan a quo sesuai Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, namun merujuk batasan kerugian konstitusional yang dibatasi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 010/PUU-V/2007), Pemohon dalam permohonan a quo tidak membuktikan secara actual kerugian konstitusional dan kerugian potensial, serta tidak terdapat causal verban d antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan pasal Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka DPR berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi batasan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu, karena itu sudah sepatutnya apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulia secara bijaksana menyatakan Permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, selanjutnya bersama ini disampaikan keterangan DPR RI atas Pengujian Materiil Undang-Undang a quo 2. Pengujian Materiil atas Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. Terhadap pandangan-pandangan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Permohonan a quo , pada kesempatan ini DPR RI ingin menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa konsep keuangan islam (Islamic finance) secara bertahap mulai diterapkan oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah pada 49 periode tahun 1960-an, yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam, yaitu International Islamic Financial Market (IIFM), Islamic Financial Services Board (IFSB), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) dan telah pula didirikan lembaga Rating Islam.
Bahwa konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan, karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur : (1) Riba yaitu unsur bunga; (2) Maysir yaitu unsur spekulasi; (3) Gharar yaitu unsur ketidakpastian. Karakteristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (undelying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan konvensional pada umumnya.
Bahwa secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Bahwa salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau dikenal secara internasional dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, 50 adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip syariah. Aset yang dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara (BMN).
Bahwa secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh Pemerintah berupa Sukuk negara mempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan.
Bahwa secara yuridis instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat (beneficial ownership) dan juga kepemilikan hukum (legal ownership) atas suatu aset yang dikenal dalam konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Bahwa dalam penerbitan SBSN, proses transaksi aset barang milik negara tersebut adalah sebagai berikut: Ø Penjualan/penyewaan BMN hanya atas hak manfaat BMN, tidak disertai dengan pemindahan hak kepemilikan _(legal title); _ 51 Ø Pemerintah akan menyewa kembali BMN dari Special Purpose Vehicle (SPV)/perusahaan penerbit; Ø Tidak terjadi pengalihan fisik BMN sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas pemerintahan; Ø Tidak terdapat permasalahan dari sisi akuntansi mengingat hak kepemilikan atas BMN tidak berpindah sehingga tetap on balance _sheet; _ Ø Pada saat jatuh tempo SBSN atau dalam hal terjadi default, aset SBSN akan tetap dikuasai oleh Pemerintah, karena dalam penerbitan SBSN ada dokumen purchase undertaking yaitu Pemerintah wajib membeli kembali, membatalkan sewa atas aset SBSN dan dokumen sale undertaking yaitu SPV wajib menjual aset SBSN kepada pemerintah sebesar nilai nominal SBSN;
Bahwa hal tersebut juga sudah diuraikan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo .
Bahwa mencermati dalil-dalil Pemohon menunjukan bahwa Pemohon perlu memahami Undang-Undang a quo secara komprehensif dan tidak hanya memahami secara parsial atau sebagian-sebagian, sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap pemahaman tentang penggunaan BMN sebagai aset SBSN, padahal dalam Undang-Undang a quo sudah diatur juga antisipasi apabila terjadi peristiwa default sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang a quo yang memberikan kewenangan kepada Menteri selaku pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo.
Bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang a quo yang terkait dengan aset SBSN tersebut telah dibahas dan disetujui dalam Rapat Panitia Kerja Ke-4 tanggal 15 Maret 2008.
Bahwa terkait dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat (beneficial title) bukan pemindahan hak kepemilikan (legal title) . Hal ini __ terdapat dalam tanggapan Fraksi-Fraksi di DPR dalam Rapat Kerja Komisi XI pada tanggal 4 Juli 2007 antara lain: 52 1. “...dalam transaksi SBSN tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain, sehingga tidak terjadi perubahan kepemilikan (legal title). Hal ini perlu dijelaskan dan dijabarkan dengan lebih terperinci dan memerlukan ketentuan yang mengatur sekuritisasi dan pengaturan sub-lease dari investor kepada pemerintah dikarenakan status pemerintah merupakan (beneficial title) penerbit (issuer) ”. 2. “…juga sepakat bahwa penggunaan BMN tersebut dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat saja, sehingga tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain“. 3. “…Penggunaan BMN sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN perlu dicarikan formula yang paling optimal, dengan rambu- rambu yang jelas dan terukur”. m. Tanggapan Fraksi sebagaimana dimaksud di atas, juga disampaikan dalam Rapat Paripurna tanggal 9 April 2008 pada saat penyampaian Pendapat Akhir Fraksi-Fraksi di DPR sebagai berikut:
“ Penggunaan BMN sebagai underlying dijelaskan dalam RUU SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat (beneficial title). __ Dengan demikian dalam transaksi SBSN tidak terjadi pemindahtanganan BMN secara fisik kepada pihak lain, sehingga tidak terjadi perubahan kepemilikan (legal title).” 2. “Terkait dengan aset yang akan dijadikan penjamin, maka perlu diperhatikan mengenai kebijakan aset yang dijaminkan tersebut. Sehingga sampai dengan masa jatuh tempo SBSN tersebut besaran aset yang dijaminkan tidak lepas dari tangan pemerintah. Untuk itu peranan perusahaan penerbit SBSN dan juga koordinasi yang kuat antara kementerian terkait dengan masalah pengelolaan tersebut, perlu diperkuat sehingga tidak menimbulkan masalah di masa yang akan datang”. Bahwa berdasarkan pada pandangan-pandangan tersebut, DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 11 ayat (1) UU SBSN tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. 53 Dengan demikian DPR memohon kiranya Ketua/Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon a quo tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak– tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menyatakan Keterangan DPR dikabulkan untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, serta Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.6] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2010, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa isu hukum utama permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil terhadap Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4852, 54 selanjutnya disebut UU 19/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon; __ Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-Undang in casu UU 19/2008 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ Kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; 55 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) __ antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) __ Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen dan Ketua Yayasan dan Pembina Universitas Patri Artha Makassar sebagaimana dibuktikan dengan fotokopi Kartu Tanda Penduduk milik Pemohon dan Akta Pendirian/Anggaran Dasar Yayasan “Patri Artha”, bertanggal 14 Januari 1997 Nomor 40, oleh Sitske Limowa, S.H., Notaris di Ujung Pandang/Makassar; 56 [3.7.2] Bahwa sebagai perorangan warga negara Indonesia, Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yaitu hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan [Pasal 28H ayat (2) UUD 1945]; [3.7.3] Bahwa hak konstitusional Pemohon dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 UU 19/2008; __ [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU MK dan syarat kerugian seperti termuat dalam paragraf [3.5] dan paragraf [3.6] , dihubungkan dengan dalil kerugian para Pemohon dalam paragraf [3.7] , Mahkamah berpendapat, prima facie Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, serta memutus permohonan a quo , dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.9] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b, dan Pasal 11 UU 19/2008 yang menyatakan: “Pasal 10 1 __ Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN, yang _untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud disebut sebagai Aset SBSN; _ 2 _Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: _ __ a. tanah dan/atau bangunan, dan __ b. selain tanah dan/atau bangunan, Pasal 11 1 Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual 57 atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang _sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN”; _ yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, __ dengan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 UU 19/2008 telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon atas tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan, untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
Apabila dikaitkan dengan tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas pelayanan umum yang layak, rumusan pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN);
Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN adalah publik domain yang diperuntukkan untuk kepentingan umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (4) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah, dan ayat (5) “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman” ; [3.10] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalilnya, Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9, dan dua orang ahli yaitu Prof. Dr. Muchsan dan Drs. Siswo Sujanto, DEA., yang didengar keterangannya di bawah sumpah, selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Prof. Dr. Muchsan • Semangat dari UUD 1945 adalah negara diberi kedudukan sebagai lembaga publik sehingga dalam rangka memperoleh benda, negara tertutup menggunakan hukum perdata, karena kalau negara menggunakan hukum perdata maka kedudukan yuridis negara sebagai penguasa bergeser, yaitu dapat menjadi pemilik atau penyewa, atau mungkin pengguna hak pakai dan 58 sebagainya, sehingga kalau pasal atau Undang-Undang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD 1945 maka dengan sendirinya merupakan suatu produk hukum yang tidak sesuai dengan semangat atau jiwa UUD 1945; • Terkait dengan Pasal 28H UUD 1945, yang disebut jiwa atau semangat adalah yang menghidupi seluruh pasal demi pasal, sehingga semangat tersebut harus termanifesir di dalam pasal demi pasalnya. Dengan demikian semua pasal yang ada di dalam UUD 1945 harus terjiwai dengan semangat ini; • Sehubungan dengan kerugian secara in concreto , sebagai ahli tidak dapat melihat atau menjabarkannya. Artinya, kerugian moril atau imateriel dari pihak Pemohon, tetapi segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat atau jiwa suatu Undang-Undang ataupun UUD sudah barang tentu merugikan dalam arti merugikan seluruh bangsa Indonesia. Misalnya kalau semangat di dalam UUD 1945 adalah ekonomi kerakyatan, tetapi dalam kenyataannya ekonomi liberal maka dengan sendirinya akan merugikan seluruh bangsa Indonesia; • Bertumpu pada statement saksi maka jika suatu benda negara dibebani dengan hak-hak keperdataan, menurut prinsip dalam publik domain adalah tidak diperkenankan karena merupakan suatu benda publik yang dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; • Menafsirkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terutama mengenai tanah harus dikaitkan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960), sebab Undang-Undang tersebut adalah sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga namanya seharusnya Undang- Undang Pokok Pertanahan bukan Undang-Undang Pokok Agraria, sebab kalau agraria maka termasuk pertambangan dan sebagainya; • Khusus mengenai tanah terdapat beberapa prinsip, pertama , hak menguasai negara ada di atas segala-galanya sehingga meskipun terdapat hak milik perorangan yang penuh, namun tetap dikuasai oleh negara. Kedua , semua benda termasuk tanah adalah berfungsi sosial ( vide Pasal 6 UU 5/1960), sehingga kepentingan umum atau kepentingan negara lebih diutamakan daripada kepentingan individu-individu; • Mengenai kemanfaatan, seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, hasil dari penggunaan benda merupakan kepentingan umum yang bermanfaat bagi bangsa atau bagi negara; 59 • Kata kepentingan umum juga include manfaat, kegunaannya untuk bangsa ini, sehingga kalau SBSN akhirnya bermuara kepada APBN atau APBD, padahal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sumber keuangan negara di antaranya ada pajak dan sebagainya namun tidak ada kata-kata atau suatu ketentuan SBSN merupakan sumber pendapatan Negara. Bisa jadi masuk dalam pendapatan negara tetapi bukan suatu prinsip sehingga tidak dapat diandalkan sebagai suatu pendapatan yang pasti; • Kerugian dalam konteks ini adalah bukan kerugian perdata, karena peradilan Mahkamah Konstitusi merupakan peradilan publik, sehingga masalah kerugian tidak seperti dalam perdata harus jelas moril, imateriel dan sebagainya. Kalau suatu hal yang bertentangan dengan semangat atau jiwa UUD maka merugikan seluruh bangsa, terutama untuk generasi penerus. Dengan demikian apabila kerugian dijelaskan secara rinci, menurut ahli, hal itu merupakan kerugian dalam privat recht ; Ahli Drs. Siswo Sujanto, DEA. • Melihat peran dan kewajiban negara terhadap warga negaranya didasarkan pada dalil atau landasan pemikiran baik filosofis, konsepsi teoritik maupun landasan konstitusional sebagai berikut:
Di dalam landasan filosofis, negara melindungi dan mensejahterakan seluruh rakyatnya. Oleh karena itu, negara harus memiliki sarana yang memadai dan terjamin agar tugas atau fungsi kewajibannya dapat terlaksana dengan baik;
Dalam konsep teoritik tentang negara, terlepas dari sistem ekonomi yang dianut suatu negara yaitu sistem kapitalis, yang merupakan perwujudan falsafah liberalisme yang mengutamakan kepentingan individu maupun sistem sosialis yang bersifat etatis dengan menyerahkan semua kekuasaan di bidang perekonomian di tangan Pemerintah, fungsi Pemerintah dalam menjamin terselenggaranya kebebasaan maupun kesejahteraan masyarakat adalah sangat penting. Dalam sistem perekonomian kapitalis yang memberikan kebebasaan kepada masyarakat untuk melakukan produksi, konsumsi dan distribusi diperlukan peran Pemerintah untuk melakukan pengaturan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk penyediaan barang-barang yang berupa kebutuhan dasar masyarakat yang 60 kemudian di kenal dengan istilah public goods. Kebutuhan dasar tersebut antara lain adalah perlindungan, pemeliharaan kesehatan, pendidikan, keadilan, pekerjaan umum. Sementara itu, dalam sistem perekonomian sosialis Pemerintah atau negara bersifat omnipoten , artinya fungsi Pemerintah atau negara, bukan hanya terbatas pada penyediaan barang- barang kebutuhan dasar melainkan juga kebutuhan lainnya yang sebenarnya dapat disediakan oleh masyarakat melalui mekanisme pasar;
Dalam pandangan yang lebih modern sebagaimana disampaikan oleh seorang ahli keuangan negara yaitu Richard Maskrid, fungsi Pemerintah melalui kebijakan anggaran belanja negara adalah menjamin keseimbangan dalam pengalokasian sumber daya, menjamin keseimbangan dalam pembagian pendapatan dan kekayaan dan menjamin terselenggaranya stabilitas ekonomi nasional;
Kalau memperhatikan sistem Pemerintahan Indonesia, peran dan fungsi negara sebagai dikemukakan dalam teori di atas, dengan jelas dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian secara rinci dituangkan dalam berbagai pasalnya yang merupakan suatu landasan konstitusional, antara lain menyatakan, “ kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ”. Dengan demikian peran atau tugas Pemerintah Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan serta dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Peran dan fungsi Pemerintah atau negara tersebut antara lain tercermin dalam Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 34 UUD 1945, termasuk setelah dilakukan perubahan;
Selanjutnya untuk merealisasikan peran dan fungsi Pemerintah sebagaimana diuraikan tersebut di atas, diperlukan adanya jaminan 61 sekurang-kurangnya dalam dua hal, yaitu Pemerintah selaku otoritas dan pemerintah sebagai individu. Khusus Pemerintah selaku otoritas, pertama , Pemerintah yang menjamin kepentingan masyarakat atau public interest harus memiliki kewenangan secara politik dan hukum untuk dapat menjamin terwujudnya peran dan fungsinya. Kedua , Pemerintah menjamin kepentingan masyarakat harus memiliki jaminan bahwa asetnya yang merupakan instrumen untuk mendukung terwujudnya peran dan fungsi pemerintah tersebut selalu aman di tangannya dan tidak mendapat ancaman dari pihak lain; [3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Pemerintah telah memberikan keterangan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: • Sebagai konsep ekonomi yang berbasis syariah, penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara mutlak harus menggunakan underlying transaction yang antara lain dapat berupa jual beli atau sewa menyewa atas “hak manfaat” BMN, jasa ( services ), pembangunan proyek atau objek pembiayaan lainnya. Penggunaan underlying transaction tersebut dimaksudkan agar terhindar dari adanya unsur-unsur (1) Riba , yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang ( money for money );
Maysir , yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan
Gharar , yaitu unsur ketidakpastian terkait dengan penyerahan, kualitas, dan kuantitas. __ • Barang Milik Negara (BMN) yang akan digunakan sebagai aset SBSN dapat berupa tanah dan/atau bangunan termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun yang harus memiliki nilai ekonomis, dalam kondisi baik/layak, telah tercatat dalam Dokumen Penatausahaan BMN, bukan merupakan alat utama sistem persenjataan, tidak sedang dalam sengketa, dan tidak sedang digunakan sebagai aset SBSN dalam penerbitan yang lain. • Pembatasan penggunaan BMN yang dapat dijadikan sebagai underlying penerbitan SBSN menunjukkan bahwa Pemerintah sangat selektif dan sangat hati-hati dalam menggunakan BMN tersebut. Di samping itu telah diatur juga dalam UU SBSN, khususnya Pasal 9 ayat (1) bahwa penggunaan BMN 62 sebagai underlying penerbitan SBSN tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari DPR. • Penggunaan BMN sebagai aset SBSN dilakukan dengan cara Menteri Keuangan memindahtangankan hak manfaat atas BMN, sehingga pemindahtanganan BMN dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan BMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. • Pengertian hak manfaat di Indonesia baru dikenal setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN. Dalam UU SBSN tersebut, Hak Manfaat didefinisikan sebagai hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut. Dengan kata lain, pada saat dilakukan jual beli atau sewa menyewa atas hak manfaat BMN untuk dijadikan aset SBSN maka tidak ada perpindahan hak kepemilikan ( legal title), sehingga kepemilikan atas BMN tersebut tetap berada pada Pemerintah. • Terdapat perbedaan konsep pemindahtanganan berdasarkan UU SBSN dengan UU Perbendaharaan Negara, dimana dalam hal penggunaan BMN sebagai underlying penerbitan SBSN, UU SBSN merupakan lex specialist dari UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN bahwa: “ Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat _pemindahtanganan dimaksud, antara lain: _ (i) Penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang _Milik Negara; _ _(ii) Tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) Barang Milik Negara; _ dan (iii) Tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan .” • Penerbitan SBSN dilakukan dengan menggunakan struktur ijarah / sale and lease back , dimana Pemerintah wajib membeli kembali BMN yang telah dijual hak manfaatnya dan dijadikan sebagai aset SBSN, pada saat jatuh tempo atau 63 pada saat terjadi default ( in the event of default ). Dalam hal BMN yang akan digunakan sebagai aset SBSN sedang digunakan oleh Kementerian atau Lembaga selain Kementerian Keuangan, maka Menteri Keuangan terlebih dahulu memberitahukan kepada Kementerian atau Lembaga pengguna BMN dimaksud. Berdasarkan UU SBSN, Menteri Keuangan diberi kewenangan menggunakan BMN untuk dijadikan sebagai aset SBSN. Penggunaan BMN sebagai aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna BMN untuk tetap menggunakan BMN dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan BMN ini tetap melekat pada instansi pengguna BMN sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. • Penggunaan BMN sebagai aset SBSN, oleh sebagian masyarakat sering dipahami sebagai jaminan ( collateral ) atau gadai. Pemahaman tersebut sangatlah tidak tepat. Secara hukum jaminan adalah perjanjian tambahan yang harus didahului dengan perjanjian utang piutang antara para pihak. Dimana dalam jaminan, salah satu pihak dapat menyita objek jaminan apabila terjadi wanprestasi dalam perjanjian para pihak, sehingga dalam jaminan ada hak salah satu pihak untuk melakukan penyitaan atas objek penjaminan. Hal ini berbeda dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN yaitu bahwa BMN yang digunakan sebagai aset SBSN atau underlying asset bukanlah sebagai jaminan ( collateral ) atau gadai. Hal tersebut sangat jelas diatur dalam perjanjian antara Pemerintah dan Perusahaan Penerbit SBSN bahwa BMN yang dijadikan sebagai aset SBSN tetap berada dalam penguasaan Pemerintah, sehingga tidak akan terjadi peralihan hak kepemilikan ( legal title ) atas BMN tersebut. Hal ini didukung dalam salah satu dokumen hukum penerbitan SBSN, dimana Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat memberikan pernyataan sepihak untuk menjual kembali aset SBSN hanya kepada Pemerintah dalam hal Pemerintah gagal bayar ( in the event of default ) atau pada saat SBSN jatuh tempo. Dari pihak Pemerintah, dibuat pula dokumen hukum dimana Pemerintah memberikan pernyataan sepihak untuk membeli kembali aset SBSN pada saat Perusahaan Penerbit menjual aset SBSN tersebut. • Rating Indonesia terkait dengan SBSN yang dikeluarkan oleh 3 (tiga) lembaga rating internasional adalah Moodys: Ba2, Standard & Poor: BB-, dan Fitch: 64 BB+, yang berarti bahwa posisi rating Indonesia hampir mencapai investment grade . Hal tersebut merepresentasikan adanya perbaikan pengelolaan keuangan publik dan fundamental ekonomi, penurunan rasio utang terhadap PDB, pertumbuhan ekonomi di tengah-tengah kondisi krisis ekonomi global, dan pengelolaan APBN yang prudent dan kredibel; [3.12] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan tiga orang saksi, yaitu Drs. Triantoro, Ir. Hanawijaya, M.M., dan M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M., serta enam orang ahli yaitu K.H. Ma’ruf Amin, Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP., Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Ir. Muhammad Syakir Sula, FIS., dan Ary Zulfikar, S.H., yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan, selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut: Saksi Drs. Triantoro • Dasar hukum SBSN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan beberapa peraturan yang lainnya, termasuk juga Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 4/PMK-08/2009 tentang Pengelolaan SBSN yang berasal dari barang milik negara; • Direktur Jenderal Kekayaan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan pro notification penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset dalam penerbitan SBSN kepada 10 kementerian lembaga, termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-2 94/MK.6 2009 tanggal 2 Oktober 2009, dan selanjutnya Direktur Jenderal Keuangan Negara atas nama Menteri Keuangan telah menyampaikan notification penggunaan barang milik negara atau underlying asset, dalam penerbitan SBSN kepada 9 kementerian lembaga termasuk Depdiknas dengan surat Nomor S-19/MK 06/2010 tanggal 2 Februari 2010, antara lain menyatakan bahwa untuk penerbitan SBSN seri IFR 003 dan seri IFR 004 dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 22 KM 08 2009 dan Nomor 23 KMK 08/2009 tanggal 10 November 2009 telah ditetapkan barang milik negara pada 9 kementerian/lembaga termasuk Depdiknas menjadi underlying asset penerbitan SBSN. • Selama BMN dimaksud dipergunakan sebagai aset SBSN, pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara dimaksud, sesuai dengan penggunaan awalnya untuk pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, dan 65 tidak dapat melakukan pemindahtanganan kepemilikan atas BMN dimaksud kecuali dikarenakan ada perundang-undangan yang mengharuskan pemindahtanganan tersebut. Dengan demikian terkait dengan SBSN dapat disimpulkan:
Penggunaan barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan pengalihan status kepemilikan dan atau status penggunaan atas barang milik negara tersebut maupun perubahan fungsinya;
Barang milik negara sebagai underlying asset tidak menyebabkan permasalahan dari sisi akuntansi mengingat pemilikan milik negara tidak berpindah sehingga tetap tercantum dalam sistem informasi manajemen akuntansi barang kepemilikan negara atau SIMAK BMN atau neraca on balanced dari kementerian pendidikan nasional;
Kementerian Pendidikan Nasional selaku pengguna barang tetap dapat menggunakan barang milik negara yang dijadikan sebagai underlying asset untuk melaksanakan tugas dan fungsi kementerian pendidikan nasional; Saksi Ir. Hanawijaya, M.M. • Pertumbuhan instrumen sukuk __ dalam negeri yang dikeluarkan oleh perusahaan korporasi sangat lamban. Berdasarkan data olahan departemen keuangan pada tahun 2003, sukuk korporasi hanya berjumlah 6 buah atau senilai 740 milyar. Hingga Desember 2006, sukuk __ korporasi di Indonesia yang telah diterbitkan berjumlah 17 sukuk __ yang nilainya 2,2 triliun. Sampai 1 Desember 2007, total obligasi syariah dan medium term notes yang diterbitkan sudah mencapai 32 jenis. Di sisi lain, untuk menerbitkan sukuk negara, Pemerintah masih terganjal karena belum adanya regulasi yang mengatur ketentuan tersebut. Padahal sebagai instrumen berbasis syariah, sukuk jelas memiliki tipikal dan aturan yang berbeda dengan surat utang negara biasa. Sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN yang merupakan pedoman bagi terbitnya sukuk negara sekaligus sebagai instrumen mendorong tumbuhnya investasi bagi investor dan lembaga keuangan syariah; • Instrumen sukuk memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan instrumen keuangan syariah di Indonesia. Peran-peran tersebut adalah sebagai motor penggerak syariah di Indonesia. Dengan adanya instrumen sukuk membuat bank syariah lebih termotivasi untuk lebih mengembangkan secara 66 agresif tanpa khawatir terbatasnya instrumen untuk placement apabila terjadi ekses _fund; _ • Sukuk dapat juga sebagai pintu masuk yang efektif dalam mempercepat pertumbuhan aset bank syariah yaitu melalui penetrasi kepada masyarakat menengah ke atas yang selama ini menempatkan sebagian dananya melalui surat berharga bank-bank konvensional. Sukuk juga meningkatkan fee base income bagi Bank Syariah Mandiri, yaitu sebagai agen dari sukuk ritel mendapatkan fee base income sebesar 650 juta dan terakhir sebagai agen penerbit SR 002 mendapatkan fee base sebesar 495 juta rupiah; • Surat SBSN ritel atau sukuk negara ritel adalah salah satu investasi bagi investor atau instrumen pembiayaan APBN bagi pemerintah. Sama halnya dengan instrumen 001 dan 002 yang diterbitkan pada 2 Agustus 2008; • Sebagai investor lembaga keuangan syariah, Bank Syariah Mandiri menyadari bahwa underlying transaction yang dilakukan oleh Pemerintah tidak menyebabkan adanya perpindahan aset negara apabila terjadi Pemerintah gagal bayar; Saksi M. Gunawan Yasni, S.E., Ak., M.M. • Selaku praktisi pengajar keuangan syariah dan juga selaku investor individu dari sukuk negara yang selama ini mengharapkan adanya instrumen investasi yang dapat memberikan tidak hanya benefit di dunia tetapi juga insya Allah benefit di akhirat, minimal semacam peace of mind atau perasaan yang menenangkan pada saat kita berinvestasi pada instrumen investasi tersebut; • Keuntungan yang saksi peroleh dalam berinvestasi di sukuk negara khususnya sukuk ritel Republik Indonesia SR 001, antara lain imbal hasil yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah atau dalam hal ini imbal jasanya berdasarkan akad ijarah berdasarkan fatwa MUI Nomor 71 dan Nomor 72 dan juga telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 yaitu tentang Surat Berharga Syariah Negara; • Sukuk yang dikeluarkan oleh negara relatif aman, karena Republik Indonesia mempunyai reputasi sebagai pembayar utang yang sangat baik dan tidak mengalami default . Khusus untuk Sukuk Ritel Republik Indonesia imbal jasa yang saksi terima sebagai investor dapat diterima setiap bulan; 67 • Sukuk menjadi instrumen investasi yang sangat akuntabel karena dikeluarkan dengan underlying asset yang transparan sehingga dalam hal pengeluaran sukuk ini menjadi kredibel di mata investor. Sebagai investor, saksi sangat memahami bahwa yang dijadilan underlying dalam penerbitan SBSN atau sukuk negara adalah berupa hak manfaat dari barang milik negara, sebagai investor saksi akan mendapatkan sejumlah imbalan yang berasal dari penyewaaan kembali hak manfaat aset SBSN kepada Pemerintah yang dituangkan dalam akad ijarah, dan saksi sangat yakin bahwa dana yang diinvestasikan kepada sukuk negara akan aman, bahkan dalam hal misalnya pemerintah gagal bayar atas SBSN yang dimiliki oleh investor maka berdasarkan Undang-Undang SBSN dana tersebut akan disediakan dalam APBN dan investor melalui perusahaan penerbit SBSN sebagai wali amanat atau wakil investor hanya akan menjual aset SBSN kepada Pemerintah sesuai dengan dokumen penerbitan pada saat sukuk negara jatuh tempo; • Keuntungan dan kemanfaatan yang ada di instrumen investasi sukuk negara seharusnya menjadi pendorong bagi masyarakat Republik Indonesia untuk lebih berkeinginan melakukan investasi bagi dirinya dan negaranya bukan justru mempermasalahkan keberadaan sukuk negara; Ahli KH. Ma’ruf Amin • Penerbitan sukuk negara sudah lama diinginkan dan dicita-citakan tetapi terkendala ketika itu belum adanya Undang-Undang yang menjadi landasan, yaitu Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang ada serta sesuai dengan ketentuan syariah. Akhirnya para ahli hukum nasional dan para ahli syariah berijtihad untuk mewujudkannya dalam rangka membiayai APBN, kemudian lahirlah Undang-Undang SBSN yang di dalamnya tercapailah kesesuaian antara hukum negara dan hukum syariah. Menurut istilah Ahli, terdapat persesuaian syaara’an waqanunan . Hal tersebut merupakan satu prestasi di bidang hukum yang luar biasa; • Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia memberikan masukan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dengan menunjuk tim untuk mendampingi. Dewan Syaraiah Nasional juga menunjuk tim untuk duduk dalam Komite Syariah SBSN dan Dewan Syariah Nasional juga mengeluarkan fatwa- fatwa berkenaan dengan SBSN, antara lain Fatwa Nomor 69 tentang surat berharga syariah negara, Fatwa Nomor 70 tentang metode penerbitan surat 68 berharga syariah negara, Fatwa Nomor 71 tentang sale and lease back , Fatwa Nomor 72 tentang surat berharga syariah negara ijarah, sale and lease back , dan setiap Pemerintah menerbitkan SBSN, Dewan Syariah Nasional membentuk tim dalam mendampingi Pemerintah dalam pembuatan skema dan perjanjian yang terkait dengan penerbitan SBSN; • Dewan Syariah Nasional juga memberikan pernyataan kesesuaian syariah untuk setiap emisi SBSN, untuk memberikan pernyataan ini Dewan Syariah Nasional MUI me review ulang atas sebuah skema dan perjanjian yang telah dipandang final, yaitu melalui akad-akad dalam penerbitan SBSN, dimana barang milik negara tidak akan beralih secara fisik karena yang beralih adalah hak manfaatnya saja itupun hanya bersifat sementara karena hak manfaat yang beralih tersebut akan kembali kepada Pemerintah ketika SBSN jatuh tempo. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk adanya kekhawatiran hilangnya atau lepasnya barang milik negara melalui SBSN; Ahli Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., MBA., MAEP. • Secara umum sukuk yang ada di dunia dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, adalah sukuk yang berbasis aset riil atau disebut asset base sukuk. Kedua, adalah sukuk yang melekat pada dan dijaminkan oleh asset riel yang disebut sebagai asset back sukuk. • Asset base sukuk/ asset riel hanya digunakan untuk membuat struktur transaksi agar sesuai dengan prinsip syariah. Dalam prinsip syariah, setiap transaksi harus memenuhi tiga rukun, yaitu pertama adanya para pihak, kedua, adanya objek transaksi, dalam bahasa Arab disebut ma’kud alaih atau dalam bahasa Inggris disebut underlying asset, juga harga objek dari transaksi tersebut. Ketiga, adanya kesepakatan. Oleh karenanya aset riil yang dijadikan dasar penerbitan sukuk biasanya tidak dijadikan sumber pembayaran dan tidak dijaminkan untuk pembayarannya. Secara lebih formal sukuk didefinisikan sebagai an investment sukuk is a certificate of equal value representing shares in ownership of tangible asset usufruct and services or in the ownership of the asset of particular project or special investment activity. Sedangkan untuk jenis sukuk yang kedua yang disebut sebagai asset back sukuk adalah aset riil yang dipisahkan kepemilikannya kepada special purpose vehicle juga dijadikan sumber pembayaran dan dijaminkan untuk pembayarannya. Perbedaan ini secara teoritis memberikan tingkat risiko yang berbeda. Secara lebih formal 69 asset backed securities didefinisikan sebagai an asset backed security is a security who’s value and income payments are derived from and collateralised or backed by a specified full of underlying asset . • Dilihat dari sisi risiko investor pada jenis sukuk yang pertama yaitu asset base sukuk sebenarnya mempunyai tingkat risiko yang sama dengan memberikan uang tanpa jaminan aset riil atau disebut sebagai unsecured . Sedangkan investor pada jenis sukuk yang kedua yaitu asset back sukuk mempunyai jaminan atau disebut secured berupa aset riil yang dipisahkan kepemilikannya walaupun di beberapa negara jaminan itu berarti hak tagih atas aset riil bukan hak kepemilikan penuh atas aset riil itu sendiri. Sukuk yang diterbitkan oleh korporasi kadang berupa asset base sukuk dan kadang berupa asset back sukuk . Sedangkan sukuk yang diterbitkan oleh negara sampai saat ini biasanya berupa asset base sukuk . Ahli Gahet Ascobat • Dari sisi pasar sukuk global menunjukkan perkembangan cukup signifikan dimulai tahun 2002 pada saat Pemerintah Malaysia pertama kali menerbitkan sukuk global dalam mata uang US dollar dan mencapai puncaknya pada tahun 2007, karena krisis keuangan global pada tahun 2008 mengalami penurunan, dan kemudian pada tahun 2009 mengalami peningkatan lagi yang disebabkan penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Indonesia selaku pioneer pada tahun 2009. Dengan berpartisipasinya pemerintah dalam menerbitkan SBSN di tahun 2008 dan tahun 2009 maka industri ini mendapatkan suplai atau persediaan instrumen syariah yang sangat dinanti-nanti oleh pelaku pasar; • Beberapa transaksi sukuk yang telah dilakukan di pasar internasional oleh pemerintahan, antara lain Pemerintah Malaysia, Qatar, Dubai, Indonesia, dan Bahrain pada tahun 2009 terjadi kelebihan permintaan cukup besar dan cukup signifikan, yaitu transaksi untuk Pemerintah Indonesia secara global mengalami kelebihan permintaan sebesar tujuh kali lipat. Penerbitan sukuk global oleh Pemerintah Bahrain juga mengalami kelebihan permintaan sebanyak lima kali lipat. Hal ini menunjukkan bahwa dari sisi investor syariah secara global, permintaan dan kebutuhan atas instrumen ini memang sangat besar dan instrumen ini juga sangat langka tersedia di pasar; • Di Indonesia dilihat dari sisi penerbitan sukuk mengalami peningkatan dan untuk memenuhi kebutuhan investor yang semakin meningkat pemerintah 70 sudah memberi supply sedemikian besar dan berhasil diserap oleh pelaku pasar dan investor di Indonesia; • Seluruh transaksi sukuk secara global yang dilakukan oleh pemerintahan di dunia selain di Indonesia, yaitu Malaysia, negara bagian di Jerman, Dubai, dan Pakistan telah melakukan penerbitan sukuk secara global dengan berdasarkan struktur ijarah atau berdasarkan sewa menyewa atas suatu aset, yang merupakan struktur yang mirip dengan yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbitan SBSN; • Dalam perkembangan pasar dan perkembangan regulasi, tidak hanya yang dialami dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dan negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim seperti Mesir, Turki, Kazakhstan, Uni Emirat Arab, dan Pakistan mengembangkan peraturan-peraturan yang akomodatif untuk penerbitan sukuk baik oleh pemerintahan maupun oleh korporasi tetapi di luar negara-negara mayoritas berpenduduk muslim seperti Inggris, Perancis, kemudian Hongkong, Korea, dan Jepang telah atau sedang menyusun perundang-undangan atau perangkat regulasi untuk memfasilitasi kemungkinan pemerintahan atau koperasi di negara masing-masing tersebut untuk dapat menerbitkan instrumen berbasis syariah atau sukuk yang menggunakan atau memerlukan _underlying asset; _ • Transaksi sukuk oleh Pemerintah Indonesia baik dalam mata uang rupiah maupun US dolar sangat sukses dan mengalami kelebihan permintaan, hal ini menunjukkan transaksi tersebut sangat sukses dan diminati oleh investor. Salah satu kunci suksesnya transaksi tersebut adalah karena struktur yang diterapkan adalah struktur yang diterima secara luas dan merupakan market best practice yang telah dilakukan oleh penerbit-penerbit lainnya sebelum Pemerintah Indonesia, adalah sebagai berikut:
Pemerintah mengalihkan hak manfaat atas beberapa kantor pemerintahan selaku aset sukuk kepada suatau perusahaan penerbit yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, tidak dimiliki oleh investor asing.
Pemerintah tetap menggunakan aset-aset sukuk tersebut seperti sedia kala tidak ada disruption, tidak ada perubahan karena aset itu langsung disewakan penerbit kepada Pemerintah sejak hari pertama transaksi dilangsungkan dan hal tersebut berlangsung terus sampai dengan sukuk tersebut jatuh tempo. 71 c. Sertifikat kepemilikan atau barang-barang milik negara tersebut tidak berpindah dari Pemerintah dan tidak berpindah ke tangan investor asing dalam kasus ini. Pada saat jatuh tempo atau dalam hal terjadi gagal bayar atau wanprestasi di pihak Pemerintah aset sukuk pun hanya dapat dijual kembali oleh investor atau perusahaan penerbit kepada Pemerintah Indonesia, sehingga tidak ada kondisi hak manfaatnya hilang atau kepemilikannya hilang berpindah dari tangan Pemerintah.
Pada saat penerbitan, sukuk global mendapat credit rating agency sebagai instrumen yang merefleksikan sebagai risiko kredit dan rating Pemerintah yaitu BA3 berdasarkan analisa Moody’s, BB- menurut standar S&P, dan BB menurut Fitch, hal tersebut sama seperti rating Pemerintah Indonesia pada saat itu; • Apabila terjadi dissolution event atau gagal bayar atau interrupted default dalam keempat transaksi pada saat jatuh tempo maka akan langsung dijual kembali kepada pemerintah negara masing-masing yaitu kepada Malaysia, Qatar, Pakistan, dan Indonesia karena feature tersebut tidak ada objek jaminan dan keempat transaksi ini adalah transaksi yang _unsecured; _ Ahli Farouk Abdullah Alwyni • Ahli melihat dari sisi peranan sukuk negara dalam kaitannya dengan potensi untuk menarik investasi, khususnya investasi dari negara Timur Tengah, karena kebanyakan investor dari Timur Tengah adalah mereka yang mempunyai investasi dalam bentuk financial capital , sehingga investasinya mengarah kepada surat-surat berharga. Dengan mulai berkembangnya sistem keuangan Islam maka mulai terjadi diversifikasi penempatan dana bukan hanya di pasar tradisional Eropa dan Amerika Serikat tetapi juga di negara-negara mereka sendiri dan terakhir di Malaysia yang cukup aktif untuk mencoba memposisikan diri menjadi alternative financial destination , alternative investment destination bagi negara-negara dari teluk tersebut. • Indonesia sebagai negara yang sedang membangun dan memerlukan pendanaan yang besar, perlu juga melihat potensi ini, terlebih lagi Indonesia negara muslim yang terbesar di dunia. Mengeluarkan sukuk merupakan satu usaha penting dalam rangka menarik investor Timur Tengah khususnya Negara-negara Teluk. Terlebih lagi model investasi dari Negara-negara Teluk umumnya adalah untuk financial capital atau investasi di pasar modal atau 72 pasar uang. Sukuk global Indonesia pertama senilai USD 650.000.000, dikeluarkan pada tahun 2009 sekitar 70%-nya diambil oleh Investor Timur Tengah, sehingga terlihat bahwa upaya yang dilakukan telah membuahkan hasil; • Ke depan sukuk negara merupakan satu strategi untuk lebih menarik capital ke dalam negeri. Preferensi investor Timur Tengah yang untuk sekarang ini lebih comfortable berhubungan dengan negara atau Badan Usaha Milik Negara dalam hubungan bisnis dengan Indonesia, membuat suatu negara menjadi suatu instrumen efektif untuk menarik dana mereka ke Indonesia. Perkembangan pasar uang dan pasar modal syariah juga menjadi satu faktor penting dalam menarik investasi portofolio dari negara-negara Teluk. Di samping itu, pada akhirnya negara bukan hanya berpotensi menarik investor Timur Tengah, tetapi juga investor-investor lain seperti Amerika dan Eropa yang pada kenyataanya menyumbang sekitar 30% dari pembeli sukuk global yang dikeluarkan di Indonesia; • Sukuk pada hakikatnya dapat menjadi instrumen penarik investasi yang lebih luas dari conventional bond mengingat pasar sukuk tidak terbatas dari investor syariah tetapi juga investor konvensional karena sukuk bisa dibeli oleh conventional investors dan syariah investors tetapi conventional bond terbatas pada conventional investors , jadi mengeluarkan sukuk mempunyai benefit yang berganda; • Menurut ahli, dapat disimpulkan bahwa sukuk negara mempunyai peranan penting, yaitu pertama , dalam menarik financial capital dari luar negeri umumnya dan negara-negara Timur Tengah khususnya dalam rangka membiayai program pembangunan negara, dan kedua dalam rangka pengembangan perbankan syariah melalui mekanisme peningkatan likuiditas pasar uang syariah; Ahli Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ., FIIS. • Menurut data statistik Desember 2008, masyarakat Indonesia yang 88,22% penduduknya adalah muslim tentu membutuhkan instrumen bisnis dan produk- produk halal yang sesuai dengan syariah, karena itu menjadi kewajiban Pemerintah memberikan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat muslim tersebut. Saat ini hampir semua lembaga keuangan syariah sudah ada di Indonesia, mulai dari perbankan, asuransi, reksadana, obligasi, 73 corporate , sukuk, saham syariah, penjaminan syariah, pegadaian syariah, dan lembaga keuangan mikro syariah sudah ada di Indonesia; • Peran sukuk terhadap lembaga keuangan syariah adalah sebagai pendorong untuk mempercepat proses market share yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai instrumen investasi maupun sebagai fee base income, sukuk negara diperlukan untuk instrument portofolio investasi. Perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut yang sangat dibutuhkan masyarakat tentu akan sangat lambat kalau tidak didorong oleh instrumen- instrumen investasi seperti sukuk; • Lembaga keuangan syariah sudah merupakan instrumen global, bahkan negara-negara lain sudah begitu banyak menggunakan konsep syariah seperti Singapura, sedangkan Inggris dan Hongkong ingin menjadi pemilik ekonomi syariah. Oleh karena itu, seharusnya Indonesia menjadi negara yang terdepan di dalam mengembangkan konsep ekonomi syariah; Ahli Ary Zulfikar, S.H. • Penjualan dan/atau penyewaan atas aset SBSN hanya hak atas manfaat tidak ada pemindahan hak milik ( legal title ) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah. • Aset SBSN berupa BMN bukan merupakan objek jaminan kebendaan atau collateral k arena bentuknya bukan perjanjian utang piutang. • Pemegang pemilik SBSN atau investor tidak mempunyai hak eksekusi atas BMN karena tidak mempunyai hak jaminan kebendaan atas BMN, sehingga dalam hal terjadi default tidak akan mempengaruhi status BMN serta mengganggu fungsi penyelenggaraan pemerintahan terkait dengan BMN tersebut. • Struktur skema sukuk adalah dalam bentuk jual beli atas hak manfaat dengan undertaking untuk menjual atau membeli kembali atas hak manfaat BMN antara Pemerintah dengan perusahaan penerbit SBSN Indonesia; [3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil dan bukti-bukti yang diajukan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memberikan keterangan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara, pada pokoknya sebagai berikut: 74 • Konsep keuangan Islam (Islamic finance) secara bertahap mulai diterapkan oleh beberapa negara di kawasan Timur Tengah pada periode tahun 1960-an, yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, melainkan juga oleh berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah. Selain itu juga telah dibentuk lembaga internasional untuk merumuskan infrastruktur sistem keuangan Islam, yaitu International Islamic Financial Market (IIFM), Islamic Financial Services Board (IFSB), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), dan telah pula didirikan lembaga rating Islam. • Konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan, karena itu instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak bersifat adil, halal, thayyib , dan maslahat . Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur:
Riba yaitu unsur bunga;
Maysir yaitu unsur spekulasi;
Gharar yaitu unsur ketidakpastian. Karakteristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan konvensional pada umumnya. • Secara filosofis pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan aset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri, juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan baik oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah, atau dikenal secara internasional dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama seperti surat berharga konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) atas sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal Sukuk yang diterbitkan dan adanya akad atau perjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-pinsip syariah. Aset yang 75 dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara (BMN). • Secara sosiologis pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh pemerintah berupa Sukuk negara mempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi, antara lain melalui penciptaan good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan Sukuk di pasar keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan. • Secara yuridis, instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). • Terkait dengan dalil Pemohon yang mengaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat (beneficial ownership) dan kepemilikan hukum (legal ownership) atas suatu aset yang dikenal dalam konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara (BMN) dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU SBSN. • UU SBSN sudah mengantisipasi apabila terjadi peristiwa default sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang a quo yang memberikan kewenangan kepada Menteri selaku Pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN, membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo; [3.14] Menimbang bahwa Pemohon telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 Februari 2010, yang pada pokoknya tetap dengan pendiriannya; 76 Pendapat Mahkamah [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan dalil-dalil Pemohon beserta alat bukti surat/tulisan (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-9), keterangan para ahli dari Pemohon, keterangan tertulis Pemerintah, keterangan para saksi dan para ahli dari Pemerintah, keterangan tertulis DPR, serta kesimpulan tertulis dari Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian in casu Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 UU 19/2008 menghilangkan hak konstitusional Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, karena dengan berlakunya kedua pasal Undang-Undang a quo , nyata terlihat bahwa kerugian yang dialami oleh Pemohon secara konstitusional merujuk pada potensi kerugian, yaitu apabila dalam jangka waktu dijaminkannya aset SBSN berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan oleh Pemerintah kepada pihak tertentu gagal bayar ( default ), berarti objek tersebut akan dikuasai oleh pihak ketiga (pemegang gadai) objek jaminan Pemerintah. Dengan beralihnya objek jaminan tersebut, pada saat itulah timbul kerugian yang nyata bagi Pemohon karena tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan tersebut. Alasan bahwa kerugian yaitu tidak dapat lagi memanfaatkan fasilitas umum berupa tanah, dan lain-lain, tidak tepat menurut hukum karena tidak terjadi peralihan hak atas aset yang dijaminkan. Eksistensi dan penerapan Undang-Undang a quo justru memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan termasuk Pemohon, terutama karena menjadi salah satu sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); Bahwa lagi pula penggunaan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu uji, menurut Mahkamah adalah tidak tepat menurut hukum karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah jaminan konstitusional terhadap mereka yang mengalami peminggiran, ketertinggalan, pengucilan, pembatasan, pembedaan, kesenjangan partisipasi dalam politik dan kehidupan publik yang bersumber dari ketimpangan struktural dan sosial-kultural masyarakat secara terus menerus (diskriminasi), baik formal maupun informal, dalam lingkup publik maupun privat atau yang dikenal dengan affirmative action, sehingga 77 diperlukan tindakan khusus sementara dengan tujuan membuka peluang dan kesempatan bagi mereka agar dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik secara adil dan seimbang; Tindakan afirmatif mengacu pada kebijakan yang berkenaan dengan ras, etnis, cacat fisik, karir militer, gender , orang-orang tua, atau kelas sosial menjadi pertimbangan dalam upaya untuk mempromosikan kesempatan yang sama atau meningkatkan kemampuan kelompok yang tertinggal atau yang kurang diuntungkan untuk mencapai keadilan. Oleh karena itu, tindakan khusus sementara ( affirmative action) bukanlah sebagai bentuk diskriminasi, melainkan suatu koreksi, asistensi, dan kompensasi terhadap perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang dialami warga negara tertentu, dengan maksud untuk mempercepat tercapainya persamaan “ de facto ” antara dirinya dengan warga negara yang lain. Tindakan khusus ini bersifat sementara, untuk mempercepat tercapainya kesetaraan substantif. Artinya, apabila sudah terjadi kesetaraan, maka tindakan khusus sementara ( affirmative action) harus dihentikan; Terkait dengan kerugian yang didalilkan Pemohon bahwa sebagai perorangan warga negara kehilangan hak konstitusionalnya atas tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan sebagai akibat diterbitkannya SBSN, tidak terdapat hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian yang didalilkan dengan pasal yang dimohonkan pengujian, karena pasal yang dimohonkan pengujian hanya berupa pengaturan penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara yang merupakan pilihan kebijakan yang bersifat terbuka ( opened legal policy ) dalam rangka pengelolaan keuangan negara untuk meningkatkan daya dukung APBN dengan menggunakan instrumen keuangan berbasis syariah yang oleh pembentuk Undang-Undang dipandang memiliki peluang besar yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk membiayai pembangunan nasional ( vide konsideran menimbang huruf b UU 19/2008); Dengan demikian, terhadap konstruksi hukum para Pemohon bahwa telah terjadi kerugian konstitusional dengan dasar Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 sebagai batu ujinya, menurut Mahkamah adalah tidak berdasar dan tidak beralasan hukum; 78 2. Bahwa oleh karena pengaturan penggunaan Barang Milik Negara dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara dipandang sebagai pilihan kebijakan yang bersifat terbuka ( opened legal policy ) dari pembentuk Undang- Undang maka mutatis mutandis pertimbangan Mahkamah juga berlaku terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pasal yang dimohonkan pengujian justru memberikan kewenangan kepada Menteri untuk menjual atau menyewakan hak manfaatnya atau cara lain yang sesuai dengan akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN;
Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Barang Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN termasuk publik domain yang diperuntukkan bagi kepentingan umum sehingga tidak dapat dijadikan objek perdagangan, menurut Mahkamah, dalil tersebut tidak benar karena BMN bukan dijadikan objek perdagangan melainkan hanya dijadikan objek tanggungan yang berupa hak mendapatkan manfaat. BMN sebagai dasar penerbitan SBSN ( underlying asset ) bukan merupakan jaminan ( collateral ) yang dapat dipindahtangankan, sedangkan yang dapat dipindahtangankan hanya SBSN-nya saja. Undang- Undang a quo memiliki kekhususan antara lain dalam hal sifat pemindahtanganannya berbeda dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 19/2008 yang menyatakan, “Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan (legal title) __ Barang Milik Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan ”;
Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah,” dan ayat (5) menyatakan, “Barang Milik Negara/Daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman”. Kedua ayat tersebut berbeda objeknya dengan BMN sebagai dasar penerbitan SBSN ( underlying asset ) sebab menurut Pasal 12 UU 19/2008 79 apabila sudah jatuh tempo Pemerintah wajib membeli kembali bahkan dapat membatalkan akad sewa secara sepihak dengan membayar nilai nominal SBSN kepada pemegang SBSN, sehingga tidak akan terjadi pemindahan atau penyerahan BMN. Adapun Pasal 12 ayat (1) UU 19/2008 tersebut menyatakan, “Menteri wajib membeli kembali Aset SBSN, membatalkan Akad sewa, dan mengakhiri Akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo” , sedangkan Pasal 12 ayat (2) UU 19/2008 menyatakan, “Dalam rangka pembelian kembali Aset SBSN, pembatalan Akad sewa dan pengakhiran Akad penerbitan SBSN lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri membayar nilai nominal SBSN atau kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN kepada pemegang SBSN” ;
Bahwa sehubungan dengan dalil Pemohon yang menyatakan tidak dapat memanfaatkan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dan selain tanah dan/atau bangunan karena dijadikan aset SBSN, menurut Mahkamah dalil tersebut adalah tidak tepat, karena Pemohon bukan selaku instansi pengguna barang milik negara, melainkan sebagai penyewa dari barang milik negara yang digunakan oleh instansi pengguna . Apabila Pemohon sebagai instansi Pemerintah selaku pengguna barang milik negara maka Pemohon tetap dapat menggunakan barang milik negara tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU 19/2008 yang menyatakan, “ Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya ...”. Jika yang dimaksud pemanfaatan barang tersebut adalah sebagai penyewa, maka penyewa tidak kehilangan haknya apabila BMN tersebut dijadikan underlying asset atas penerbitan SBSN;
Bahwa selain daripada itu, terkait dengan barang milik negara yang dijadikan aset SBSN, UU 19/2008 telah mengaturnya secara ketat dan rinci, sebagaimana termuat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9, yang menyatakan: “ Pasal 6 (1) Penerbitan SBSN dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. 80 (2) SBSN yang dapat diterbitkan baik oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua jenis SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (3) Penerbitan SBSN yang dilakukan melalui Perusahaan Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri. Pasal 7 (1) Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (2) Khusus untuk penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan proyek, Menteri berkoordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan nasional. Pasal 8 (1) Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. (2) Menteri berwenang menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam rupiah maupun valuta asing, serta menetapkan komposisi Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara maupun SBSN dan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin penerbitan Surat Berharga Negara secara hati-hati. (3) Dalam hal-hal tertentu, SBSN dapat diterbitkan melebihi Nilai Bersih Maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang selanjutnya dilaporkan sebagai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran tahun yang bersangkutan. Pasal 9 (1) Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) termasuk pembayaran semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul sebagai akibat penerbitan SBSN dimaksud serta Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. 81 (2) Pemerintah wajib membayar Imbalan dan Nilai Nominal setiap SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun Perusahaan Penerbit SBSN, sesuai dengan ketentuan dalam Akad penerbitan SBSN. (3) Dana untuk membayar Imbalan dan Nilai Nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. (4) Dalam hal pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dimaksud melebihi perkiraan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (5) Semua kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan _ayat (4) dilakukan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan”; _ [3.16] Menimbang bahwa Mahkamah sependapat dengan keterangan enam orang ahli dari Pemerintah, masing-masing KH Ma’ruf Amin, H. Adiwarman A Karim, Gahet Ascobat, Farouk Abdullah Alwyni, Muhammad Syakir Sula, dan Ary Zulfikar, bahwa pada pokoknya SBSN tidak merugikan negara tetapi justru menguntungkan negara khususnya dalam membiayai APBN, dan barang milik negara yang dijadikan underlying asset tetap dapat digunakan oleh instansi yang bersangkutan karena hanya hak atas manfaat yang dijadikan underlying asset , tidak ada pemindahan hak milik ( legal title) dan tidak dilakukan pengalihan fisik barang, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan tugas Pemerintah; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pandangan dan pendapat hukum Mahkamah sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.15] dan paragraf [3.16] di atas, menurut Mahkamah, tidak terdapat pertentangan antara norma Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) huruf a dan huruf b serta Pasal 11 ayat (1) UU 19/2008 dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Selain itu, dari fakta persidangan telah terungkap tidak terdapat adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan pasal dari Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, Mahkamah menilai Pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalil permohonannya, sehingga permohonan Pemohon harus dikesampingkan; 82 4. KONKLUSI Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan hukum; __ Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316); 5 . AMAR PUTUSAN Mengadili Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin tanggal tiga bulan Mei tahun dua ribu sepuluh dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini, Jumat tanggal tujuh bulan Mei tahun dua ribu sepuluh oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Arsyad Sanusi, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Harjono, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera 83 Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasa, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. td Achmad Sodiki ttd. M. Arsyad Sanusi ttd. M. Akil Mochtar ttd. Maria Farida Indrati ttd. Harjono ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva PANITERA PENGGANTI ttd. Cholidin Nasir
Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak Penambahan Nilai dan Pajak Penjualan, atas Bara ...
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. ...
Relevan terhadap
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan". Pasal III Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Agustus 2000 ttd ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Agustus 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd DJOHAN EFFENDI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK lNDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN UMUM 1. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang berlaku sejak 1 Januari 1984 adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 ini dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, yang di dalamnya tertuang ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang pada prinsipnya berlaku bagi undang-undang pajak materiil, kecuali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan telah mengatur sendiri mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakannya.
Dalam pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994, disadari masih terdapat hal-hal yang belum tertampung sehingga perlunya penyempurnaan sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebijaksanaan Pemerintah. Selain itu harapan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih, tetap diperhatikan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam Undang-undang ini.
Falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar Undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme tersebut menjadi ciri dan corak tersendiri dalam sistem perpajakan Indonesia karena kedudukan Undang-undang ini yang akan menjadi "ketentuan umum" bagi perundang-undangan perpajakan yang lain. Ciri... Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah :
bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
Anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak. Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri dan melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pula pelaksanaan administrasi yang terlalu membebani Wajib Pajak dan birokratis akan dapat dihindari. Sejalan dengan harapan dalam upaya peningkatan pelayanan masyarakat tersebut wewenang Direktur Jenderal Pajak yang bersifat teknis administratif dapat dilimpahkan kepada aparat bawahannya. Dalam Undang-undang ini digariskan bahwa administrasi perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pelayanan, pengawasan, dan penerapan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pembinaan masyarakat Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan penyempurnaan Undang-undang perpajakan ini mengacu pada kebijaksanaan pokok sebagai berikut :
menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak;
menunjang...
menunjang usaha pembangunan secara merata, mendorong investasi secara merata di seluruh wilayah Republik Indonesia, terutama untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil yang selama ini dirasakan terbelakang atau terlambat perkembangannya, baik dalam rangka pemerataan pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam maupun dalam rangka peningkatan penerimaan pajak dalam jangka panjang;
menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil olahan, dan jasa jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa;
menunjang usaha pengembangan usaha kecil untuk mengoptimalkan pengembangan potensinya, dan dalam rangka pengentasan sebagian masyarakat dari kemiskinan;
menunjang usaha pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi;
menunjang usaha pelestarian ekosistem, sumber daya alam, dan lingkungan hidup;
menunjang usaha meningkatkan keadilan dalam partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya; dan
menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan bersih, peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak termasuk penyederhanaan dan kemudahan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, serta peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku. PASAL DEMI PASAL
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang- ...
Relevan terhadap
bahwa penetapan Seluruh Wilayah yang meliputi Kota Sabang (Pulau Weh, Pulau Klah, Pulau Rubiah, Pulau Seulako, Pulau Rondo), Pulau Breuh, Pulau Nasi dan Pulau Teunom serta pulau-pulau kecil di sekitarnya yang terdapat di dalam batas-batas koordinat tertentu yang ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu Sabang mempunyai posisi dan lokasi yang sangat strategis baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional;
bahwa untuk lebih memaksimalkan pelaksanaan pengem-bangan serta menjamin kegiatan usaha di bidang pertam-bangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, perbankan, asuransi, pariwisata dan bidang-bidang lainnya, dipandang perlu untuk meningkatkan kawasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang;
bahwa terwujudnya pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang dalam waktu yang singkat merupakan prioritas utama untuk mengejar pembangunan dan pengembangan Daerah Istimewa Aceh sehingga mampu menjadi pendorong dan model bagi pembangunan daerah-daerah lainnya di Indonesia;
bahwa untuk mewujudkan pembentukan Kawasan Perda-gangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang dalam waktu yang singkat, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-undang;