Perencanaan Hutan
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2004 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2004 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BAMBANG KESOWO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 146 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN UMUM Perencanaan kehutanan perlu disusun secara konsepsional dan terpadu dalam satu kesatuan yang utuh dengan perencanaan kegiatan pengelolaan sumber daya lainnya. Perencanaan Kehutanan dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu serta dengan memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan memegang peranan penting, karena merupakan fungsi pertama dalam pengurusan hutan yang menentukan keberhasilan pencapaian tujuan. Perencanaan kehutanan mempunyai keterkaitan dan keterpaduan dengan sektor lain dengan memperhatikan kepentingan masyarakat lokal, regional, nasional dan global yang berwawasan lingkungan. Perencanaan kehutanan ini dimaksudkan untuk memberi pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan berupa kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, yang efektif dan efisien, dengan menjamin keberadaan hutan yang mantap dengan luasan yang cukup, mengoptimalkan aneka fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai, meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, terdiri dari pulau-pulau besar, menengah dan kecil serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung maka Menteri menetapkan luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai atau pulau sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh per seratus) dari luas daratan. Dengan penetapan luas kawasan hutan dan luas minimal kawasan hutan untuk setiap daerah aliran sungai atau pulau, Pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap Provinsi berdasarkan kondisi bio-fisik, iklim, penduduk dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Sehubungan dengan hal tersebut, bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya masih di atas 30% (tiga puluh per seratus) tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya. Luas minimum tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya bagi provinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya di bawah 30% (tiga puluh per seratus) perlu menambah luas hutannya. Untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi hutan dan kehutanan dilakukan inventarisasi hutan yang antara lain dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penyusunan rencana kehutanan dan pengembangan sistem informasi. Guna mewujudkan keberadaan kawasan hutan dalam luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional ditempuh melalui proses penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, penetapan kawasan hutan. Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan, Pemerintah melaksanakan penatagunaan hutan sesuai dengan fungsi dan penggunaannya. Fungsi pokok kawasan hutan yang dimaksud adalah fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Untuk kawasan hutan yang luas, maka pelaksanaan penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setelah penunjukan, tanpa menunggu selesainya proses pengukuhan, karena kegiatan pengukuhan kawasan hutan yang luas memerlukan waktu lama. 2 Hal tersebut perlu dilakukan, agar kegiatan perencanaan kehutanan selanjutnya, seperti pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan tidak terhambat. Berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS), sosial budaya dan ekonomi, kelembagaan masyarakat dan batas administrasi pemerintahan, hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi dan kearifan tradisional masyarakat. Berdasarkan hasil inventarisasi hutan, disusun rencana kehutanan baik menurut jangka waktu perencanaan, skala geografis maupun fungsi pokok kawasan hutan. Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa perencanaan kehutanan meliputi : inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan dan penyusunan rencana kehutanan. Sebagaimana diatur dalam Bagian Kelima Pasal 17 sampai dengan Pasal 19 bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan antara lain mengatur Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Namun demikian, mengingat materi tersebut merupakan materi tersendiri dan disamping itu sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 bahwa ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri, maka untuk perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan diatur di dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Dengan demikian perencanaan kehutanan merupakan pedoman bagi Pemerintah, pemerintah Provinsi, pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, pelaku usaha, lembaga profesi dalam penyelenggaraan kehutanan. PASAL DEMI PASAL
Usaha Kecil
Relevan terhadap
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini;
Usaha Menengah dan Usaha Besar adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar daripada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan Usaha Kecil;
Pemberdayaan… 3. Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga Usaha Kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri;
Iklim usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah berupa penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Kecil memperoleh kepastian kesempatan yang sama dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya sehingga berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri;
Pembinaan dan pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dunia usaha dan masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan Usaha Kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri;
Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melalui lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, atau melalui lembaga lain dalam rangka memperkuat permodalan Usaha Kecil;
Penjaminan adalah pemberian jaminan pinjaman Usaha Kecil oleh lembaga penjamin sebagai dukungan untuk memperbesar kesempatan memperoleh pembiayaan dalam rangka memperkuat permodalannya;
Kemitraan adalah kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. BAB II…
Angka 1 Yang dimaksud dengan Usaha Kecil tradisional adalah usaha yang menggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara turun temurun, dan/atau berkaitan dengan seni dan budaya. Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil adalah kegiatan ekonomi berskala kecil yang dimiliki dan menghidupi sebagian besar rakyat. Angka 2 Yang dimaksud dengan Usaha Menengah dan Usaha Besar meliputi usaha nasional (milik negara atau swasta), usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Angka 3 Yang dimaksud dengan usaha yang tangguh dan mandiri adalah usaha yang memiliki daya saing tinggi dan memiliki kemampuan memecahkan masalah dengan bertumpu pada kepercayaan dan kemampuan sendiri. Angka 4 Cukup jelas Angka 5… Angka 5 Pembinaan dan pengembangan yang dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dapat dilaksanakan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Angka 6 Yang dimaksud dengan dana adalah sejumlah uang, surat-surat berharga, atau aktiva lainnya. Yang dimaksud dengan permodalan adalah kekayaan usaha dalam bentuk yang atau harta lainnya, yang menjadi dasar untuk menjalankan dan mengembangkan usaha yang terdiri atas modal sendiri dan modal luar. Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Kerja sama usaha dalam kemitraan hendaknya dilakukan dengan memperhatikan tanggung jawab moral dan etika bisnis yang sehat.
Kehutanan
Relevan terhadap
Dalam pelaksanaan di lapangan, kegiatan pengukuhan kawasan hutan tidak selalu harus mendahului kegiatan penatagunaan hutan, karena pengukuhan kawasan hutan yang luas akan memerlukan waktu lama. Agar diperoleh kejelasan fungsi hutan pada salah satu bagian tertentu, maka kegiatan penatagunaan hutan dapat dilaksanakan setidak-tidaknya setelah ada penunjukan. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Inventarisasi hutan tingkat nasional menjadi acuan pelaksanaan inventarisasi tingkat yang lebih rendah. Inventarisasi untuk semua tingkat, dilaksanakan terhadap hutan negara maupun hutan hak. Ayat (4) Dimaksud dengan neraca sumber daya hutan adalah suatu informasi yang dapat menggambarkan cadangan sumber daya hutan, kehilangan dan penggunaan sumber daya hutan, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui kecenderungannya, apakah surplus atau defisit jika dibandingkan dengan waktu sebelumnya. Ayat (5) Inventarisasi hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi pengaturannya akan dirangkum dalam Peraturan Pemernitah yang mengatur tentang perencanaan kehutanan. Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
tata cara;
mekanisme pelaksanaan;
pengawasan dan pengendalian; dan
sistem informasi. Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa:
pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar;
pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas;
pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan
pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Penatagunaan hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan, sehingga materi pengaturannya dirangkum dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perencanaan kehutanan. Peraturan Pemerintah dimaksud antara lain memuat kriteria atau persyaratan hutan dan kawasan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat propinsi adalah seluruh hutan dalam wilayah propinsi yang dapat dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan wilayah pengelolaan hutan tingkat kabupaten/kota adalah seluruh hutan dalam wilayah kabupaten/kota yang dapat dikelola secara lestari. Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan pengelolaan hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS). Ayat (2) Dalam penetapan pembentukan wilayah pengelolaan tingkat unit pengelolaan, juga harus mempertimbangkan hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi, dan kearifan tradisional masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penutupan hutan (forest coverage) adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi hutan antara lain iklim mikor, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem hutan. Yang dimaksud dengan optimalisasi manfaat adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekosistem secara lestari. Ayat (2) Dengan mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air, maka ditetapkan luas kawasan hutan dalam setiap daerah aliran sungai (DSA) dan atau pulau, minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daratan. Selanjutnya Pemerintah menetapkan luas kawasan hutan untuk setiap propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan kondisi biofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya, di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu luas minimal tidak boleh dijadikan dalih untuk mengkonservasi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaiknya, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu menambah luas hutannya. Pasal 19 Ayat (1) Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin objektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga Pemerintah yang mempunyai komptensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis", adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Ayat (3) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
kriteria fungsi hutan, b. cakupan luas, c. pihak-pihak yang melaksanakan penelitian, dan d. tata cara perubahan. Pasal 20 Ayat (1) Dalam menyusun rencana kehutanan di samping mengacu pada Pasal 13 sebagai acuan pokok, harus diperhatikan juga Pasal 11, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Penyusunan rencana kehutanan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan. Peraturan Pemerintah tentang perencanaan kehutanan mamuat aturan antara lain a. jenis-jenis rencana, b. tata cara penyusunan rencana kehutanan, c. sistem perencanaan, d. proses perencanaan, e. koordinasi, dan f. penilaian. Pasal 21 Hutan merupakan amanah Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pengelolaan hutan dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian pelaksanaan setiap komponen pengelolaan hutan harus memperhatikan nilai-nilai budaya masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat, serta memperhatikan hak-hak rakyat dan oleh karena itu harus melibatkan masyarakat setempat. Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi kewenangan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah. Mengingat berbagai kekhasan daerah serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat berkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan pengelolaan hutan di wilayah tertentu dapat dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, baik berbentuk perusahaan umum (Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupun perusahaan perseroan (Persero), yang pembinaannya di bawah Menteri. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dibutuhkan lembaga-lembaga penunjang antara lain lembaga keuangan yang mendukung pembangunan kehutanan, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga pendidikan dan latihan, serta lembaga penyuluhan. Pasal 22 Ayat (1) Tata hutan merupakan kegiatan rancang bangun unit pengelolaan hutan, yang dalam pelaksanaannya memperhatikan hak-hak masyarakat setempat, yang lahir karena kesejahteraannya, dan keadaan hutan. Tata hutan mencakup kegiatan pengelompokan sumber daya hutan sesuai dengan tipe ekosistem dan potensi yang terkandung di dalamnya; dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat secara lestari. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Pembagian blok ke dalam petak dimaksudkan untuk mempermudah administrasi pengelolaan hutan dan dapat memberikan peluang usaha yang lebih besar bagi masyarakat setempat. Intensitas pengelolaan adalah tingkat keragaman pengelolaan hutan sesuai dengan fngsi dan kondisi masing-masing kawasan hutan; Efisiensi pengelolaan adalah pelaksanaan pengelolaan hutan untuk mencapai suatu sasaran yang optimal dan ekonomis dengan cara sederhana. Ayat (4) Penyusunan rencana pengelolaan hutan dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat, dan kondisi lingkungan. Ayat (5) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
pengaturan tentang tata cara penataan hutan;
penggunaan hutan;
jangka waktu, dan d. pertimbangan daerah. Pasal 23 Hutan sebagai sumber daya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang kelompok, atau golongan tertentu. Oleh karena itu pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan melalui peninggalan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya dan berkembang potensinya. Manfaat yang optimal bisa terwujud apabila kegiatan pengelolaan hutan dapat menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan lestari. Pasal 24 Hutan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan dan atau satwa serta ekosistemnya, yang perlu dilindungi dan perkembangan berlangsung secara alami. Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi alam. Kawasan taman nasional ditata ke dalam zona sebagai berikut:
zona inti adalah bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia;
zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti; dan
zona pemanfaatan adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Ayat (1) Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:
budidaya jamur, b. penangkaran satwa, dan c. budidaya tanaman obat dan tanaman hias. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:
pemanfaatan untuk wisata alam, b. pemanfaatan air, dan c. pemanfaatan keindahan dan kenyamanan. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:
mengambil rotan, b. mengambil madu, dan c. mengambil buah. Usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Izin usaha pemanfaatan kawasan yang dilaksanakan oleh perorangan, masyarakat setempat, atau koperasi dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMN, atau BUMS Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dilaksanakan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi yang optimal, misalnya budidaya tanaman di bawah tegakan hutan. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan tanaman. Usaha pemanfaatan hutan tanaman dapat berupa hutan tanaman sejenis dan atau hutan tanaman berbagai jenis. Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam. Tanaman yang dihasilkan dari usaha pemanfaatan hutan tanaman merupakan aset yang dapat dijadikan agunan. Izin pemungutan hasil hutan di hutan produksi diberikan untuk mengambil hasil hutan baik berupa kayu maupun bukan kayu, dengan batasan waktu, luas, dan atau volume tertentu, dengan tetap memperhatikan asas lestari dan berkeadilan. Kegiatan pemungutan meliputi pemanenan, penyaradan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran yang diberikan untuk jangka waktu tertentu. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas
Perlakuan Perpajakan dalam Rangka Kegiatan Konstruksi dan Kegiatan Operasi Pembangunan Proyek Pengembangan Pulau Bintan dan Pulau Karimun. ...
Relevan terhadap
bahwa dalam rangka mewujudkan kerjasama ekonomi antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura, serta untuk mendorong penanaman modal dalam rangka kegiatan konstruksi dan kegiatan operasi pembangunan proyek pengembangan di Pulau Bintan dan Pulau Karimun, dipandang perlu memberikan kemudahan di bidang perpajakan;
bahwa kemudahan di bidang perpajakan dimaksud berupa penetapan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut seluruhnya untuk sementara waktu atas perolehan dalam negeri Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak dan impor Barang Kena Pajak maupun pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean Indonesia dalam rangka kegiatan konstruksi dan kegiatan operasi pembangunan proyek pengembangan di Pulau Bintan dan Pulau Karimun;
bahwa… c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 16 B Undang-undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, dipandang perlu mengatur pemberian kemudahan di bidang perpajakan tersebut dengan Peraturan Pemerintah;
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut seluruhnya atas perolehan dalam negeri Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak dan impor Barang Kena Pajak maupun Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean Indonesia oleh pengusaha yang melakukan kegiatan konstruksi dan kegiatan operasi untuk pembangunan:
kawasan yang akan dikembangkan untuk usaha-usaha kepariwisataan termasuk sarana pendukungnya di Pulau Bintan;
kawasan industri di Pulau Bintan;
kawasan pengembangan sumber-sumber air di Pulau Bintan;
kawasan penimbunan, distribusi dan pengolahan minyak bumi, serta kawasan industri maritim (galangan kapal) dan konstruksi lepas pantai di Pulau Karimun dan pulau-pulau sekitarnya.
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak maupun perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dikreditkan.
Bank Umum
Relevan terhadap
Bank Umum selain bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 wajib menyalurkan sebagian kreditnya untuk pengembangan kegiatan koperasi dan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil.
bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak;
bahwa Bank Umum yang berfungsi sebagai badan usaha yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta memberika jasa dalam lalu lintas pembayaran, harus mampu melindungi kepentingan masyarakat dan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional;
bahwa agar mampu melindungi kepentingan masyarakat dan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, serta untukmenunjang pengembangan usaha kecil dan ekspor non migas yang memerlukan peran serta sektor perbankan, diperlukan peningkatan kesehatan Bank Umum dan arahan dari kegiatan usaha perbankan sejak pendiriannya;
bahwa berhubung dengan itu dipandang perlu untuk mengatur Bank Umum dalam Peraturan Pemerintah;
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan
Relevan terhadap
Sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Bertitik tolak dari isi ketentuan tersebut, maka pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Huruf a Berdasarkan prinsip tersebut di atas, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang merupakan Objek Pajak. Huruf b dan huruf c Selaras dengan prinsip tersebut di atas, biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri dan penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan dengan menggunakan tarif umum. Huruf d… Huruf d Pada dasarnya Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak luar negeri yang dipotong berdasarkan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak dapat dibebankan sebagai biaya oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang bersangkutan. Namun karena berdasarkan pertimbangan ekonomi masih diperlukan modal, teknologi, dan jasa dari luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali dividen, yang ditanggung oleh pemberi penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut. Contoh: PT. ABC membayar bunga kepada Bank di luar negeri sebesar Rp 100.000.000,00 yang Pajak Penghasilannya ditanggung oleh PT. ABC, dengan tarif pemotongan sebesar 20%. - Jumlah yang dijadikan dasar pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 = 100 ----- xRp 100.000.000,00 = Rp 125.000.000,00 80 - Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp 125.000.000,00 = Rp 25.000.000,00 - Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT.ABC. = Rp 125.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 + Rp 25.000.000,00)
Pengertian Daerah Terpencil dan Jenis Imbalan dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan dalam Pelaksanaan Uu No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan ...
Relevan terhadap
Dalam pasal ini diatur pengertian daerah terpencil untuk menerapkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d dan Pasal 6 ayat (1) huruf a jo. Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, yaitu bahwa pemberian penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa di daerah terpencil berupa natura dan/atau kenikmatan tertentu, bagi perusahaan merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan dan bagi karyawan atau penerima jasa bukan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak. Di samping itu dalam pasal ini diatur pula pengertian daerah terpencil untuk menerapkan ketentuan Pasal 11 ayat (15) dan ayat (16) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Ketentuan ini berlaku bagi para penanam modal (investor), baik dalam rangka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing atau Undang- undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri maupun tidak, yang melakukan investasi di daerah terpencil. Ayat (1) Dalam ayat ini diatur pengertian daerah terpencil yang berlaku baik untuk penerapan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf d, Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 9 ayat (1) huruf d maupun ketentuan Pasal 11 ayat (15) dan ayat (16) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Untuk dapat digolongkan sebagai daerah terpencil, harus memenuhi 2 (dua) persyaratan yang bersifat kumulatif, yaitu:
daerah itu sulit dijangkau karena kekurangan atau keterbatasan prasarana dan sarana angkutan umum, baik darat, laut maupun udara, dan 2. prasarana dan sarana sosial dan ekonomi tidak tersedia, atau walaupun tersedia tetapi dalam keadaan yang sangat terbatas, sehingga untuk menjalankan usahanya para penanam modal harus menyediakan sendiri prasarana dan sarana sosial dan ekonomi dimaksud. Yang dimaksud dengan prasarana ekonomi adalah pelabuhan, jalan dari pelabuhan menuju lokasi (access road), jalan lingkungan, penyediaan air bersih, penyediaan tenaga listrik, dan prasarana lain di bidang ekonomi yang diperlukan untuk memungkinkan berjalannya suatu perusahaan. Yang dimaksud dengan prasarana sosial adalah prasarana keagamaan (tempat ibadah), prasarana kesehatan, prasarana pendidikan dan prasarana olah raga yang diperlukan oleh karyawan dan keluarga. Ayat (2) Dalam ayat ini diatur daerah lain yang khusus untuk penerapan Pasal 11 ayat (15) dan ayat (16) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 diperlakukan sama dengan daerah terpencil. Oleh karena itu terhadap Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di daerah-daerah sebagaimana diatur dalam ayat ini tetapi tidak memenuhi syarat sebagai daerah terpencil menurut ketentuan ayat (1), tidak memperoleh perlakuan Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 9 ayat (1) huruf d Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Daerah terpencil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d , Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 9 ayat (1) huruf d dan Pasal 11 ayat (15) dan ayat (16) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 adalah daerah yang memiliki potensi ekonomi berupa sumber daya alam di bidang pertanian, perhutanan, pertambangan, pariwisata dan perindustrian, tetapi keadaan prasarana dan sarana ekonomi yang tersedia masih terbatas, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia menjadi kekuatan ekonomi nyata, penanam modal perlu membangun atas beban sendiri prasarana dan sarana yang dibutuhkannya seperti jalan, pelabuhan, tenaga listrik, telekomunikasi, air, perumahan karyawan, pelayanan kesehatan, sekolah, tempat peribadatan, pasar dan kebutuhan sosial lainnya, yang memerlukan biaya yang besar.
Diberikan perlakuan yang sama dengan daerah terpencil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (15) dan ayat (16) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 adalah daerah perairan laut yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral dalam kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter (deep sea deposits).