JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 965 hasil yang relevan dengan "kebijakan fiskal untuk pelaku usaha "
Dalam 0.025 detik
Thumbnail
ANGGARAN | PELAPORAN KEUANGNA
PMK 107 TAHUN 2024

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuang ...

  • Ditetapkan: 13 Des 2024
  • Diundangkan: 31 Des 2024

Relevan terhadap 25 lainnya

Halaman 361Tutup

a) Dana Alokasi Khusus Fisik yang selanjutnya disingkat DAK Fisik adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik daerah dalam rangka mencapai prioritas nasional, mempercepat pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan layanan publik, dan/atau mendorong pertumbuhan perekonomian daerah; b) Dana Alokasi Khusus Nonfisik yang selanjutnya disingkat DAK Nonfisik adalah DAK yang dialokasikan untuk membantu operasionalisasi layanan publik daerah yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat; dan c) Hibah kepada daerah adalah dana yang dialokasikan dalam APBN dan digunakan untuk mendukung pembangunan fisik dan/atau layanan publik daerah tertentu yang didasarkan pada perjanjian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 4 ) Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus. 5 ) Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai keistimewaan Yogyakarta. 6 ) Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. 7 ) Dana Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada daerah atas pencapaian kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja pemerintah daerah dapat berupa pengelolaan keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar yang mendukung kebijakan strategis nasional dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional. Subbagian anggaran BUN Subsidi (999.07) adalah subbagian anggaran BUN yang diberikan kepada perusahaan negara, Lembaga Pemerintah atau pihak ketiga lainnya yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan/atau jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat. Subsidi terdiri atas subsidi energi dan subsidi non-energi. 1 ) Subsidi energi Alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan atau lembaga yang menyediakan dan mendistribusikan Bahan Bakar Minyak Jenis BBM Tertentu (JBT), Liquefied Petroleum Gas (LPG) untuk konsumsi rumah tangga dan usaha mikro,

Halaman 133Tutup

Pengeluaran anggaran yang tidak termasuk dalam kriteria angka 1 sampai dengan angka 5. TRANSFER KE DAERAH 61 DANA BAGI HASIL Dana Bagi Hasil adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah. 62 DANA ALOKASI UMUM Dana Alokasi Umum adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah. 63 DANA ALOKASI KHUSUS FISIK Dana Alokasi Khusus Fisik adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik daerah dalam rangka mencapai prioritas nasional, mempercepat pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan layanan publik, dan/atau mendorong pertumbuhan perekonomian daerah. 64 DANA OTONOMI KHUSUS, DANA KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, DAN DANA INSENTIF FISKAL Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai keistimewaan Yogyakarta. Dana Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada daerah atas pencapaian kinerja berdasrkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja pemerintah daerah dapat berupa pengelolaan keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar yang mendukung kebijakan strategis nasional dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional. 65 DANA ALOKASI KHUSUS NONFISIK Dana Alokasi Khusus Nonfisik adalah Dana Alokasi Khusus yang dialokasikan untuk membantu operasionalisasi layanan publik daerah yang penggunaannya telah ditentukan oleh pemerintah pusat. 66 DANA DESA Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.

Halaman 155Tutup

LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107 TAHUN 2024 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 62 TAHUN 2023 TENTANG PERENCANAAN ANGGARAN, PELAKSANAAN ANGGARAN, SERTA AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENELAAHAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN/LEMBAGA DAN PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN A. PENYUSUNAN KERANGKA PENGELUARAN JANGKA MENENGAH SERTA TINJAU ULANG ANGKA DASAR DAN PRAKIRAAN MAJU 1. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) atau Medium Term Expenditure Framework (MTEF) merupakan sebuah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, yang dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam Prakiraan Maju. Secara umum KPJM yang komprehensif memerlukan 3 (tiga) unsur dalam konteks perencanaan jangka menengah, yaitu: a. Proyeksi ketersediaan sumber daya anggaran ( resource envelope) sebagai batas atas pagu belanja untuk mendanai berbagai rencana belanja pemerintah. Unsur pertama disusun dengan menggunakan pendekatan top-down yang ditetapkan oleh otoritas fiskal; b. Indikasi rencana kebutuhan pendanaan anggaran yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat kinerja yang telah ditargetkan. Unsur kedua juga dihasilkan dengan menggunakan pendekatan top-down , yaitu setiap eselon I mendistribusikan anggaran berdasarkan ketersediaan sumber daya anggaran yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan ke unit-unit kerja di bawahnya. Penyusunan Prakiraan Maju pada tingkat Program dimaksudkan agar Kementerian/Lembaga dapat fokus pada pencapaian sasaran strategis dan sasaran Program yang telah ditetapkan sebelumnya; dan c. Kerangka rekonsiliasi yang memadukan antara kedua hal tersebut pada huruf a dan huruf b, yaitu antara proyeksi ketersediaan sumber daya anggaran dengan indikasi rencana kebutuhan pendanaan anggaran untuk melaksanakan kebijakan pemerintah yang tengah berjalan ( on-going policies ). Maksud dan tujuan dilakukannya KPJM adalah untuk: a. Melakukan alokasi sumber daya yang optimal pada tingkat harga dan teknologi tertentu dalam jangka menengah ( allocative efficiency ); b. Meningkatkan kualitas perencanaan penganggaran; c. Membuat fokus yang lebih baik terhadap kebijakan prioritas; d. Meningkatkan disiplin fiskal; dan e. Menjamin adanya kesinambungan fiskal. Kerangka konseptual KPJM secara lengkap mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Penyusunan anggaran tahun yang direncanakan dan Prakiraan Maju; b. Penerapan sistem anggaran bergulir ( rolling budget ) untuk

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | BIDANG BEA CUKAI
PMK 22 TAHUN 2023

Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau

  • Ditetapkan: 13 Mar 2023
  • Diundangkan: 14 Mar 2023

Relevan terhadap

Pasal 7Tutup
(1)

Untuk mendapatkan penetapan sebagai Penyelenggara Aglomerasi Pabrik, Pelaku Usaha harus:

a.

menyampaikan permohonan; dan

b.

melakukan pemaparan proses bisnis, kepada kepala Kantor Wilayah atau kepala Kantor Pelayanan Utama.

(2)

Penetapan sebagai Penyelenggara Aglomerasi Pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kepala Kantor Wilayah atau kepala Kantor Pelayanan Utama.

(3)

Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus:

a.

mencantumkan tanggal kesiapan pemeriksaan lokasi; dan

b.

dilengkapi dengan perizinan berusaha atau penetapan dari pemerintah daerah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan pengembangan dan/atau pengelolaan tempat diselenggarakannya Aglomerasi Pabrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1.

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang.

2.

Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai yang selanjutnya disingkat dengan NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran di bidang Cukai.

3.

Orang adalah orang pribadi atau badan hukum.

4.

Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.

5.

Pabrik adalah tempat tertentu termasuk bangunan, halaman, dan lapangan yang merupakan bagian daripadanya, yang dipergunakan untuk menghasilkan barang kena cukai dan/atau untuk mengemas barang kena cukai dalam kemasan untuk penjualan eceran.

6.

Pengusaha Pabrik adalah Orang yang mengusahakan Pabrik.

7.

Aglomerasi Pabrik adalah pengumpulan atau pemusatan Pabrik dalam suatu tempat, lokasi, atau kawasan tertentu.

8.

Penyelenggara adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia serta berkedudukan di Indonesia yang menyelenggarakan tempat Aglomerasi Pabrik.

9.

Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean dan cukai sesuai dengan Undang- Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.

10.

Kantor Pelayanan Utama adalah Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean dan cukai sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.

11.

Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut dengan Kantor Pelayanan adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean dan cukai sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang- Undang Cukai.

12.

Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

13.

Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.

Pasal 16Tutup

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

1.

Permohonan untuk mendapatkan penetapan sebagai pengusaha kawasan industri hasil tembakau yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum mendapat keputusan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri ini.

2.

Permohonan pemberlakuan kembali penetapan sebagai pengusaha kawasan industri hasil tembakau yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum mendapat keputusan, dapat diberikan keputusan mengenai penetapan sebagai Penyelenggara Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 ayat (3) huruf b dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.

3.

Keputusan penetapan sebagai pengusaha kawasan industri hasil tembakau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.04/2020 tentang Kawasan Industri Hasil Tembakau (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 259) masih tetap berlaku sampai dengan diterbitkan keputusan mengenai penetapan sebagai Penyelenggara Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau.

4.

Penerbitan keputusan mengenai penetapan sebagai Penyelenggara Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau sebagaimana dimaksud pada angka 3 dilakukan tanpa didahului permohonan dari Pelaku Usaha paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Menteri ini berlaku.

Thumbnail
ASET KRIPTO | DERIVATIF KEUANGAN
PP 49 TAHUN 2024

Peralihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif Keuangan ...

  • Ditetapkan: 31 Des 2024
  • Diundangkan: 31 Des 2024

Relevan terhadap

Pasal 7Tutup

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: a, Bappebti tetap melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Iftipto serta Derivatif keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor perdagangan berjangka komoditi sampai dengan waktu bera.lihnya tugas pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. b. Bappebti dapat melakukan tindakan:

1.

memberikan dan memperpanjang perizir: an ^produk, pihak, dan kegiatan terkait dengan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan yang berada di bawah pengaturan dan pengawasannya; dan

2.

mengeluarkan regulasi yang terkait dengan kebijakan strategis terkait dengan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan ^yang c berada di bawah pengawasannya, sampai dengan waktu beralihnya tugas ^penga.turan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, setel,ah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Bank Indonesia. c Perizinan, persetujuan, produk atau instrumen serta keputusan dan/atau ^penetapan lainnya yang terkait dengan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan yang telah diterbitkan Bappebti berdasarkan ketentuan ^peraturan undangan di sektor berjangka komoditi sebelum beralihnya tugas pengaturan dan ^pengawasan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan ^peraturan ^perundang-undangan. dan/atau d.

d.

Penyelesaian perselisihan dan penyidikan atas perkara Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan yang sedang dilaksanakan Bappebti sebelum waktu beralihnya tugas pengaturan dan pengawasan dimaksud dalam Pasal 3, tetap diselesaikan Bappebti. Pasal 8 (l) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, untuk melaksanakan peralihan tugas pengaturan dan pengawas.rn Aset Keuangan Digital termasuk Aset Iftipto serta Derivatif keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappebti membentuk tim transisi. (21 Tim transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (t) bertugas:

a.

melakukan identifikasi dan penyampaian dats dan/atau informasi paling sedikit mengenai transaksi dan mekanisme transaksi, pelaku, kegiatan, dan sarana dan prasarana infrastruktur pasar atau infrastruktur transaksi atau pasar atau infrastruktur pendukung dalam pelaksanaan transaksi Aset Keuangan Digital termasuk Aset Ikipto serta Derivatif keuangan yang akan dialihkan;

b.

melakukan pemetaan dan reviu perizinan dan regulasi terkait Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan;

c.

melakukan evaluasi terhadap kesiapan dan pelaku usaha di bidang Aset Keuangan Digital termasuk Aset Iftipto serta Derivatif keuangan; d, menyiapkan sumber daya untuk menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Iftipto serta Derivatif keuangan; dan

(3)

Tim transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diketuai oleh Otoritas Jasa Keuangan. (4) Struktur dan keanggotaan tim transisi ditetapkan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Bappebti. (5) Tim transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini sampai dengan waktu beralihnya tugas dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 9 (U Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sampai dengan beralihnya tugas pengaturan dan pengawasan Aset Keuangan Drytal termasuk Aset Iftipto serta Derivatif keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, untuk kepentinga.n pengaturan, perizinan, dan pengawasan, Bappebti menyerahkan salinan dokumen dan/atau data terkait Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan yang telah diperoleh dan/atau dimiliki Bappebti kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Indonesia sesuai dengan kewenangannya. (21 Penyerahan salinan dokumen dan/atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk berita acara serah terima antara Bappebti dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia.

(1)
Thumbnail
PERJANJIAN KERJASAMA | REPUBLIK KOREA
PMK 11 TAHUN 2024

Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.04/2022 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor berdasarkan Perjanjian K ...

  • Ditetapkan: 26 Feb 2024
  • Diundangkan: 27 Feb 2024
Thumbnail
BATUBARA | MINERAL
PP 25 TAHUN 2024

Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ...

  • Ditetapkan: 30 Mei 2024
  • Diundangkan: 30 Mei 2024

Relevan terhadap

Pasal 22Tutup
(1)

Dalam pelaksanaan lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, calon peserta lelang harus memenuhi persyaratan:

a.

administratif;

b.

teknis dan pengelolaan lingkungan; dan

c.

Iinansial. (21 Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:

a.

Badan Usaha, paling sedikit meliputi:

1.

nomor induk berusaha;

2.

profil Badan Usaha; dan

3.

susunan pengurus, daftar pemegang saham, dan daftar Pemilik Manfaat dari Badan Usaha.

b.

Koperasi, paling sedikit meliputi:

1.

nomor induk berusaha;

2.

profil Koperasi; dan

3.

susunan pengurus dan daftar pemilik manfaat dari Koperasi. c. perusahaan perseorangan, paling sedikit meliputi:

1.

nomor induk berusaha;

2.

profil perusahaan perseorangan; dan

3.

susunan pengurus dan daftar ^pemilik manfaat dari perusahaan perseorangan. (3) Persyaratan teknis dan pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ^paling sedikit meliputi:

a.

pengalaman Badan Usaha, Koperasi, atau perusahaan perseorangan di bidang Pertambangan Mineral atau Batubara, atau bagi perusahaan baru harus mendapat dukungan dari perusahaan lain yang bergerak di bidang Pertambangan;

b.

mempunyai personil yang berpengalaman dalam bidang Pertambangan dan/atau geologi ^paling sedikit 3 (tiga) tahun;

c.

surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan ^pengelolaan lingkungan hidup; dan

d.

RKAB selama kegiatan Eksplorasi. (4) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

a.

laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir ^yang telah diaudit oleh akuntan publik atau surat keterangan dari akuntan publik bagi ^perusahaan baru;

b.

surat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

c.

menempatkan ^jaminan kesungguhan lelang dalam bentuk uang tunai di bank ^pemerintah sebesar lOo/o (sepuluh persen) dari nilai kompensasi data informasi; dan

d.

surat pernyataan kesanggupan membayar nilai penawaran lelang WIUP Mineral logam atau WIUP Batubara dalam ^jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah pengumuman pemenang lelang. 3 Ketentuan ayat (4) Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal IiTutup

Peraturan Pemerintah ini diundangkan. mulai berlaku pada tanggal Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam Lembaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3O Mei 2024 JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Mei 2024 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 89 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2024 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 96 TAHUN 2021 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA I. UMUM Bahwa pemberian kepastian investasi melalui deregulasi kebijakan dan debirokratisasi di sektor Mineral dan Batubara terus dilakukan dalam bentuk penyesuaian ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk debirokratisasi yang dilakukan adalah penyesuaian ketentuan batasan lingkup dan definisi dari RKAB yang diharapkan dapat mewujudkan penyederhanaan tata waktu dan pelaksanaan evaluasinya. Selain itu, sebagai bentuk komitmen Pemerintah dalam pelaksanaan program hilirisasi nasional yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan ekonomi dalam mencapai pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan diperlukan suatu instrumen yang menjamin investasi hilirisasi yang telah dilakukan dalam bentuk pemberian ^jaminan kepastian ^jangka waktu kegiatan usaha di bidang pertambangan sesuai dengan parameter evaluasi yang harus terlebih dahulu dilakukan pemenuhan kriteria dan persyaratannya. Dengan pengaturan kembali substansi mengenai RKAB serta penyesuaian ketentuan IUPK yang telah diterbitkan sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2O2O tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Peraturan Pemerintah ini, diharapkan dapat menjadi bentuk nyata upaya Pemerintah dalam penyempurnaan tata kelola di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran ralgrat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Pasal 22 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "mendapat dukungan" antara lain dalam bentuk kerja sama atau dukungan teknis/operasional dari perusahaan lain yang bergerak di bidang Pertambangan. Huruf b Cukup ^jelas Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (a) Huruf a Yang dimaksud dengan "surat keterangan dari akuntan publik" adalah surat yang menjelaskan kondisi keuangan perusahaan baru. Huruf b Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pengurus dan pemegang saham. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Angka 3 Pasal 48 Ayat (1) Konservasi Mineral dan Batubara dilakukan melalui peningkatan status keyakinan data dan informasi geologi berupa sumber daya dan/atau cadangan termasuk penemuan cadangan baru pada WIUP Operasi Produksi. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas Ayat (5) Cukup ^jelas Ayat (6) Cukup ^jelas Angka 4 Pasal 54 Cukup ^jelas. Angka 5 Pasal 56 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan "kepemilikan saham secara tidak langsung" adalah kesamaan penerima manfaat akhir (beneficial ownef dengan pemegang IUP, minimal kepemilikan pemegang IUP 3O% (tiga puluh persen). Angka 2 Cukup ^jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan "kepemilikan saham secara tidak langsung" adalah kesamaan penerima manfaat akhir (beneficial ownefl dengan pemegang IUP, minimal kepemilikan pemegang IUP 30% (tiga puluh persen). Angka 2 Cukup ^jelas. Angka 3 Cukup ^jelas Ayat (2) Cukup ^jelas Angka 6 Pasal 79 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan "mendapat dukungan" antara lain dalam bentuk kerja sa.ma atau dukungan teknis/operasional dari perrrsahaan lain yang bergerak di bidang Pertambangan. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "surat keterangan dari akuntan publik" adalah surat yang menjelaskan kondisi keuangan perusahaan baru. Huruf b Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pengurus dan pemegang saham. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Angka 7 Cukup ^jelas. Angka 8 Pasal 83A Ayat (1) Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf ^j Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2O2O tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara berwenang melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas. Penawaran WIUPK secara prioritas dimaksudkan guna memberikan kesempatan yang sama dan berkeadilan dalam pengelolaan kekayaan alam. Selain itu, implementasi kewenangan Pemerintah tersebut juga ditujukan guna pemberdayaan (empoweing) kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan. Yang dimaksud dengan "organisasi kemasyarakatan keagamaan" adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang salah satu organnya menjalankan kegiatan ekonomi serta bertujuan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/ umat. Ayat (2) Cukup ^jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan" adalah larangan untuk pemindahtanganan dalam hal izin telah diberikan. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Angka 9 Pasal 1O4 Cukup ^jelas. Angka 1O Pasal 1O9 Cukup ^jelas. Angka 11 Pasal 1 1 1 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan "kepemilikan saham secara tidak langsungl adalah kesamaan penerima manfaat akhir (beneficial ownefl dengan pemegang IUPK, minimal kepemilikan pemegang IUPK 3O% (tiga puluh persen). Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan "kepemilikan saham secara tidak langsung" adalah kesamaan penerima manfaat akhir lbeneficial ownefl dengan pemegang IUPK, minimal kepemilikan pemegang IUPK 3O% (tiga puluh persen). Angka 2 Cukup ^jelas Angka 3 Cukup ^jelas Ayat (2) Cukup ^jelas. Angka 12 Pasal 12O Cukup ^jelas. Angka 13 Pasal 162 Cukup ^jelas. Angka 14 Pasal 177 Cukup ^jelas. Angka 15 Pasal 180 Cukup ^jelas. Angka 16 Pasal 183 Cukup ^jelas. Angka 17 Angka 17 Pasal 195A Yang dimaksud dengan "IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian" mengikuti ketentuan yang tercantum dalam surat keputusan IUPK Operasi Produksi dan termasuk perubahannya. Pasal 195El Cukup ^jelas Pasal II Cukup ^jelas.

Thumbnail
KEMENTERIAN KEUANGAN
PERPRES 158 TAHUN 2024

Kementerian Keuangan

  • Ditetapkan: 05 Nov 2024
  • Diundangkan: 05 Nov 2024

Relevan terhadap

Halaman 3Tutup

Menteri dan wakil menteri merupakan satu kesatuan unsur pemimpin dalam Kementerian. Pasal 5 Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Pasal 6 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Kementerian menyelenggarakan fungsi: a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang strategi ekonomi dan fiskal, penganggaran, penerimaan negara bukan pajak, pajak, kepabeanan dan cukai, perbendaharaan negara, kekayaan negara, perimbangan keuangan, pengelolaan pembiayaan dan risiko keuangan negara, serta stabilitas dan pengembangan sektor keuangan; b. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian di daerah; c. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian; d. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung ^jawab Kementerian; e. pengawasErn atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian; f. pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi, serta pengelolaan data, informasi, dan intelijen keuangan; g. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, sertifikasi kompetensi di bidang keuangan negara, dan manajemen pengetahuan; h. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah; i. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian; dan j. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden.

Thumbnail
PMK 136 TAHUN 2024

Pengenaan Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional

  • Ditetapkan: 31 Des 2024
  • Diundangkan: 31 Des 2024

Relevan terhadap

Halaman 158Tutup

R. CONTOH PENERAPAN ALOKASI LABA ATAU RUGI DARI FLOW-THROUGH ENTITY 1. Contoh Entitas Konstituen yang Bukan Penduduk untuk Kepentingan Perpajakan dan Tidak Dikenakan Pajak Tercakup atau Pajak Minimum Tambahan Domestik yang Memenuhi Syarat berdasarkan Tempat Manajemennya, Tempat Pendiriannya, atau Kriteria Serupa yang Akan Dianggap sebagai Flow-Through Entity dan Tax Transparant Entity. C Co adalah Entitas Konstituen yang didirikan di yurisdiksi C, sebuah yurisdiksi yang tidak mengenakan pajak penghasilan badan. C Co tidak mempunyai tempat usaha di yurisdiksi tempat didirikannya dan penghasilannya tidak dapat diatribusikan pada suatu Bentuk Usaha Tetap. Kepentingan Kepemilikan C Co terbagi rata antara A Co dan B Co yang merupakan Entitas Konstituen dari Grup PMN yang sama. A Co adalah penduduk yurisdiksi A, yang memperlakukan C Co sebagai perusahaan yang transparan secara fiskal. B Co adalah penduduk yurisdiksi B, yang tidak memperlakukan C Co sebagai negara yang transparan secara fiskal. Dalam hal ini, hanya 50% dari penghasilan C Co yang dianggap berasal dari tax transparent entity yang dikenakan Pasal 28. Sisa penghasilan C Co sebesar 50% dianggap berasal dari Entitas yang bukan merupakan Flow- through Entity (tidak tunduk pada Pasal 28). 2. Contoh Pengalokasian Laba Atau Rugi Bersih Akuntansi Keuangan dari Entitas Konstituen yang Merupakan Flow-through Entity . a. Contoh Penghasilan yang dialokasikan ke Bentuk Usaha Tetap pertama kali Dalam hal, kegiatan usaha Flow-through Entity sebagian atau seluruhnya dilaksanakan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap, laba atau rugi bersih akuntansi keuangan Flow-through Entity diatribusikan pada Bentuk Usaha Tetap tersebut sesuai dengan Pasal 28. Ketentuan ini memastikan bahwa laba atau rugi bersih akuntansi keuangan dari Bentuk Usaha Tetap tersebut dikeluarkan dari laba atau rugi bersih akuntansi keuangan dari Flow-through Entity dimana laba atau rugi bersih tersebut dimasukkan. Bentuk Usaha Tetap dapat berada di yurisdiksi tempat Entitas didirikan atau di yurisdiksi ketiga. Contoh 1: A Co adalah perusahaan yang berada di yurisdiksi A dan merupakan mitra B LP, yang merupakan tax transparent entity yang didirikan sesuai dengan

Halaman 160Tutup

Contoh 3: Kepentingan Kepemilikan tax transparent entity adalah sebagai berikut: 40% dimiliki oleh pemilik Entitas Konstituen yang bukan penduduk dan 60% sisanya dibagi rata oleh dua pemilik Entitas Konstituen yang merupakan penduduk. Tax transparent entity mempunyai kantor di yurisdiksi di mana ia berada dan berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, tempat usaha tetap tersebut menimbulkan Bentuk Usaha Tetap di yurisdiksi tersebut untuk pemilik Entitas Konstituen yang bukan penduduk dan sebesar 40% dari penghasilan tax transparent entity dialokasikan kepada Bentuk Usaha Tetap. Sisanya sebesar 60% dari laba dialokasikan kepada pemilik Entitas Konstituen sesuai dengan Pasal 28 ayat (8) huruf b, masing-masing sebesar 30%. Istilah Kepentingan Kepemilikan didefinisikan sebagai setiap kepentingan ekuitas yang mempunyai hak atas keuntungan, modal atau cadangan Entitas. Dalam konteks Flow-through Entity , maka harus memperhitungkan hak atas penghasilan atau keuntungan yang melekat pada kepentingan ekuitas, termasuk setiap perjanjian atau kontrak yang berasal dari kepentingan tersebut, karena Pasal 28 merupakan aturan alokasi keuntungan dan kerugian. Namun, dalam beberapa situasi, mungkin terdapat ketidaksesuaian antara jumlah keuntungan yang dialokasikan kepada pemilik Entitas Konstituen berdasarkan peraturan terkait transparansi secara fiskal ( fiscal transparency) di yurisdiksinya dan jumlah keuntungan yang menjadi hak pemilik Entitas Konstituen sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas hak yang melekat pada kepentingan ekuitas. Pasal 28 ayat (8) huruf b berlaku sepanjang Entitas tersebut diperlakukan sebagai Flow-through Entity dan tax transparent entity . Oleh karena itu, Pasal 28 ayat (8) huruf b mengikuti perlakuan berdasarkan undang-undang perpajakan yang menyelaraskan alokasi penghasilan, beban, keuntungan atau kerugian berdasarkan GloBE dengan hasil yang ditentukan oleh undang-undang perpajakan domestik pemilik Entitas Konstituen dan Flow-through Entity . Contoh 4: A Co adalah Entitas yang berada di yurisdiksi A yang memegang 60% kepemilikan ekuitas B Co, suatu Flow-through Entity yang didirikan berdasarkan hukum domestik yurisdiksi B. A Co dan B Co merupakan Entitas Konstituen dari Grup PMN yang sama, sedangkan pemegang 40% sisa kepemilikan ekuitas bukan merupakan bagian dari Grup PMN tersebut. A Co mempunyai perjanjian dengan pemegang kepentingan ekuitas lainnya yang memberikan A Co hak tambahan yang melekat pada kepentingan ekuitasnya yang memberikan hak kepada A Co sebesar 70% dari keuntungan B Co (bukan 60%) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang dimulai setelah penggabungan B Co. Yurisdiksi A memperlakukan B Co sebagai transparan secara fiskal tetapi tidak mengakui dampak perjanjian antara A Co dan pemegang kepentingan ekuitas lainnya. Oleh karena itu, yurisdiksi A tidak menganggap perjanjian tersebut sebagai pemberian hak tambahan sebesar 10% kepada A Co atas keuntungan B Co. Artinya, berdasarkan undang-undang perpajakan dalam negeri yurisdiksi A, hanya

Halaman 161Tutup

Berdasarkan ketentuan GloBE, A Co memegang 70% Kepentingan Kepemilikan B Co selama jangka waktu 5 (lima) tahun sejak perjanjian. Berdasarkan Pasal 28 ayat (6), 30% dari laba bersih akuntansi keuangan B Co berkurang karena merupakan jumlah yang dialokasikan kepada pemilik yang bukan Entitas Grup berdasarkan Kepentingan Kepemilikannya. Sisa 70% dari penghasilan bersih dialokasikan kepada A Co berdasarkan Pasal 28 ayat (8) huruf b karena yurisdiksi A menganggap bahwa B Co sepenuhnya transparan secara fiskal sehingga seluruh keuntungan B Co diperoleh oleh pemiliknya (termasuk A Co). Fakta bahwa yurisdiksi A tidak memperlakukan perjanjian antara A Co dan pemegang kepentingan ekuitas lainnya sebagai pemberian hak tambahan kepada A Co atas 10% keuntungan B Co tidak relevan dengan alokasi penghasilan berdasarkan Pasal 28 ayat (8) huruf b selama yurisdiksi A memperlakukan B Co sepenuhnya transparan secara fiskal (yaitu tax transparent entity ). Contoh 5: Hold Co adalah sebuah Entitas yang berlokasi di negara A dan merupakan Entitas Induk Utama dari sebuah Grup PMN. Hold Co memiliki 60% Kepentingan Kepemilikan di B LP, sebuah tax transparent entity yang didirikan di Negara B. Sisa 40% Kepentingan Kepemilikan di B LP, dimiliki oleh Entitas yang bukan merupakan bagian dari Grup PMN tersebut (yang disebut sebagai "minoritas"), yang juga berlokasi di negara A. B LP memiliki sebuah toko di Negara B. Negara B menganggap bahwa toko tersebut merupakan Bentuk Usaha Tetap bagi Hold Co dan para pemilik Kepentingan Kepemilikan minoritas. Laba bersih akuntansi keuangan B LP adalah EUR200,00. Namun, hanya EUR100,00 dari laba bersih akuntansi keuangan B LP yang dapat dialokasikan ke Bentuk Usaha Tetap dan dikenakan pajak di Negara B. Berdasarkan Pasal 28 ayat (6), laba bersih akuntansi keuangan B LP dikurangi sebesar EUR80,00 karena jumlah tersebut merupakan bagian yang dapat dialokasikan kepada pemilik Kepentingan Kepemilikan minoritas (EUR200,00 x 40%). Jumlah yang tersisa (EUR120,00) dialokasikan sesuai dengan Pasal 28 ayat (8). Pertama, EUR60,00 dialokasikan ke Bentuk Usaha Tetap sesuai dengan Pasal 28 ayat (8) huruf a dan Pasal 28 ayat (10) karena, setelah dikurangi bagian Kepentingan Kepemilikan yang dimiliki oleh Entitas Grup. Sisanya, EUR60,00 dialokasikan kepada Hold Co berdasarkan Pasal 28 ayat (8) huruf b dan Pasal 28 ayat (10) karena B LP adalah tax transparent entity yang penghasilannya dialokasikan kepada Entitas Konstituen yang memilikinya. 3. Contoh Penerapan Pasal 28 ayat (8) Secara Terpisah untuk Setiap Kepentingan Kepemilikan dalam Flow-Through Entity . Pasal 28 ayat (10) mengatur bahwa Pasal 28 ayat (8) berlaku secara terpisah untuk setiap Kepentingan Kepemilikan dalam Flow-through Entity sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku. Ayat ini mengakui bahwa Flow-through Entity yang sama dapat dianggap sebagai tax transparent entity oleh beberapa pemiliknya dan sebagai reverse hybrid entity oleh beberapa pemilik lainnya. Dalam kasus tersebut, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (8) diterapkan secara terpisah dan tergantung dari sudut pandang setiap pemilik Entitas Konstituen.

Thumbnail
PEMBERITAHUAN PABEAN | PENETAPAN
7/PMK.04/2022

Tata Cara Pengajuan Permohonan Dan Penetapan Keasalan Barang Yang Akan Diimpor Sebelum Penyerahan Pemberitahuan Pabean ...

  • Ditetapkan: 02 Feb 2022
  • Diundangkan: 03 Feb 2022

Relevan terhadap

Pasal 3Tutup
(1)

Untuk mendapatkan penetapan keasalan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pemohon mengajukan permohonan PKBSI kepada Direktur Jenderal melalui Direktur.

(2)

Permohonan PKBSI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a.

pemohon memiliki nomor identitas untuk dapat melakukan kegiatan kepabeanan;

b.

pemohon tidak sedang mengajukan Pemberitahuan Pabean impor atas barang yang diajukan permohonan penetapan keasalan barangnya;

c.

barang yang diajukan permohonan penetapan keasalan barang, tidak sedang dalam pengajuan atau proses keberatan atau banding;

d.

barang yang diajukan permohonan penetapan keasalan barang tidak sedang dalam proses penelitian ulang atau audit kepabeanan; dan

e.

barang yang akan diimpor merupakan objek transaksi jual beli oleh pemohon.

(3)

Pemohon PKBSI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.

importir;

b.

eksportir;

c.

penyelenggara/pengusaha Tempat Penimbunan Berikat;

d.

penyelenggara/pengusaha Pusat Logistik Berikat;

e.

badan usaha/pelaku usaha Kawasan Ekonomi Khusus;

f.

pengusaha di Kawasan Bebas;

g.

perwakilan dari pemohon; atau

h.

pihak lain yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Thumbnail
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA | HUKUM KEUANGAN NEGARA
UU 19 TAHUN 2023

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2024

  • Ditetapkan: 16 Okt 2023
  • Diundangkan: 16 Okt 2023

Relevan terhadap 3 lainnya

Pasal 31Tutup
(1)

Dalam rangka pembayaran gaji dan DAU bulan Januari 2024 yang dananya harus disediakan pada akhir Tahun Anggaran 2023, Pemerintah dapat melakukan pinjaman SAL dan/atau menggunakan dana dari hasil penerbitan SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) pada akhir Tahun 2023.

(2)

Dalam rangka mendukung kebijakan Pemerintah dan menjaga keberlanjutan fiskal, Bendahara Umum Negara dapat mengoptimalkan dana SAL melalui penempatan dana SAL selain di Bank Indonesia. jdih.kemenkeu.go.id (3) Optimalisasi pengelolaan dana SAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk pinjaman dana SAL yang diberikan kepada Badan U saha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah/pemerintah daerah atau badan hukum lainnya yang mendapatkan penugasan Pemerintah dalam rangka melaksanakan kebijakan nasional.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan pmJaman SAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 1Tutup

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

2.

Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah.

3.

Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas pendapatan pajak dalam negeri dan pendapatan pajak perdagangan internasional.

4.

Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya.

5.

Pendapatan Pajak Perdagangan Intemasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar.

6.

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh Negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.

7.

Penerimaan Hi bah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. jdih.kemenkeu.go.id 8. Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah.

9.

Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi kepemerintahan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.

10.

Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada kementerian/lembaga dan Bendahara Umum Negara.

11.

Belanja Pemerintah Pusat Menurut Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai hasil (outcome) tertentu pada Bagian Anggaran kementerian/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.

12.

Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hid up orang banyak, dan/ a tau disalurkan langsung kepada penerima manfaat, sesuai kemampuan keuangan negara.

13.

Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

14.

Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

15.

Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. jdih.kemenkeu.go.id 16. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKO yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.

17.

Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKO yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antardaerah.

18.

Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat OAK adalah bagian dari TKO yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.

19.

Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKO yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus.

20.

Dana Tambahan lnfrastruktur Dalam Rangka Otonomi Khusus bagi provinsi-provinsi di wilayah Papua yang selanjutnya disingkat DTI adalah dana tambahan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus yang besarannya ditetapkan antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran yang ditujukan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur perhubungan, energi listrik, air bersih, telekomunikasi, dan sanitasi lingkungan.

21.

Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKO yang dialokasikan untuk mendukung urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai keistimewaan Yogyakarta.

22.

Dana Desa adalah bagian dari TKO yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. jdih.kemenkeu.go.id 23. Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada Daerah atas pencapaian kinerja berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja pemerintah daerah dapat berupa pengelolaan keuangan daerah, pelayanan um um pemerintahan, dan pelayanan dasar yang mendukung kebijakan strategis nasional dan/ a tau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional.

24.

Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran pembiayaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan pembiayaan tahun- tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

25.

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBN selama satu periode pelaporan.

26.

Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disingkat SAL adalah akumulasi neto dari SiLPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, di tam bah/ dikurangi dengan koreksi pembukuan.

27.

Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara.

28.

Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya.

29.

Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. jdih.kemenkeu.go.id 30. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

31.

Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta Lembaga/Badan Lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi.

32.

Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau aset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan/atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, dan/atau sosial, dan/atau manfaat lainnya bagi sebesar- besamya kemakmuran rakyat.

33.

Dana Bergulir adalah dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum tertentu untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi rakyat dan tujuan lainnya.

34.

Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya.

35.

Kewajiban Penjaminan adalah kewajiban yang menjadi beban Pemerintah akibat pemberian jaminan kepada kementerian/lembaga, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dalam hal kementerian/lembaga, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pelaku usaha dalam program pemulihan ekonomi nasional, dimaksud tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan/atau badan usaha sesuai perjanjian pinjaman atau perjanjian kerja sama.

36.

Pinjaman Luar Negeri Neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri.

37.

Pinjaman Tunai adalah pinjaman luar negeri dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang. jdih.kemenkeu.go.id 38. Pinjaman Kegiatan adalah pmJaman luar negeri yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan tertentu kementerian/lembaga, pinjaman yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara, dan pinjaman yang diterushibahkan kepada pemerintah daerah.

39.

Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.

40.

Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pendidikan melalui kementerian/lembaga dan nonkementerian/lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan.

41.

Persentase Anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja negara pada saat Undang-Undang mengenai APBN ditetapkan.

42.

Tahun Anggaran 2024 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal 1 Januari 2024 sampai dengan tanggal 31 Desember 2024.

Pasal 43Tutup
(1)

Pemerintah dapat melakukan penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2024 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan, untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun Anggaran 2024, jika terjadi:

a.

perkembangan indikator ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan sebagai acuan dalam APBN Tahun Anggaran 2024;

b.

perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;

c.

keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi dan/atau antarprogram; dan/atau

d.

keadaan yang menyebabkan SAL tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Perkembangan indikator ekonomi makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan perubahan pokok- pokok kebijakan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:

a.

penurunan pertumbuhan ekonomi paling sedikit 10% (sepuluh persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan;

b.

deviasi asumsi ekonomi makro lainnya paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan; dan / a tau c. penurunan penerimaan perpajakan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan.

(3)

SAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan SAL yang ada di rekening Bank Indonesia yang penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaporkan dalam laporan pertanggungjawaban pelaksanaan atas APBN.

(4)

Dalam hal dilakukan penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2024 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2024 untuk mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum Tahun Anggaran 2024 berakhir.

Thumbnail
CIPTA KERJA Cipta Kerja | CIPTA KERJA | MINERAL
PP 25 TAHUN 2021

Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral

  • Ditetapkan: 02 Feb 2021
  • Diundangkan: 02 Feb 2021

Relevan terhadap

Pasal 26Tutup
(1)

Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum meliputi ^jenis usaha:

a.

b. C. d. Pembangkitan Tenaga Listrik; Transmisi Tenaga Listrik; Distribusi Tenaga Listrik; dan l atau penjualan tenaga listrik. (2) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara terintegrasi. (3) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat ^(1) dan ayat ^(2) wajib mendapatkan izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum. (4) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum secara terintegrasi sebagaimana dimaksud ^pada ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam ^1 (satu) Wilayah Usaha. (5) Dalam hal usaha pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan dilakukan secara terintegrasi, ^usaha pembangkitan dan/atau transmisi dapat dilakukan di luar Wilayah Usahanya. (6) Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum dengan ^jenis usaha Distribusi Tenaga Listrik dan/atau penjualan tenaga listrik dilakukan oleh ^1 (satu) badan usaha dalam 1 (satu) Wilayah Usaha. (7) Penetapan Wilayah Usaha sebagaimana dimaksud ^pada ayat (4) dan ayat (6) mempertimbangkan kriteria:

a.

pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada ^tidak mampu menyediakan tenaga listrik;

b.

pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada ^tidak mampu memenuhi tingkat mutu dan keandalan;

c.

pemegang Wilayah Usaha yang sudah ^ada mengembalikan sebagian atau seluruh ^Wilayah Usahanya kepada Menteri;

d.

Wilayah d. Wilayah Usaha yang diusulkan oleh Pelaku Usaha belum terjangkau oleh pemegang Wilayah Usaha yang sudah ada; dan latau e. Wilayah Usaha yang diusulkan oleh Pelaku Usaha merupakan kawasan terpadu yang mengelola sumber daya energi secara terintegrasi sesuai pola kebutuhan Iistrik usahanya. (8) Perubahan cakupan Wilayah Usaha dapat dilakukan dalam hal:

a.

perluasan cakupan Wilayah Usaha jika pemegang Wilayah Usaha lain tidak mampu menyediakan tenaga listrik di Wilayah Usahanya;

b.

pengurangan cakupan Wilayah Usaha jika pemegang Wilayah Usaha tidak mampu menyediakan tenaga listrik pada sebagian Wilayah Usahanya; atau

c.

perubahan lainnya berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (7). (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 25Tutup
(1)

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik disusun berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional. (2) Pengesahan rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk pertama kali paling lama dilakukan bersamaan dengan pemberian Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. (3) Setiap perubahan rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik harus mendapatkan pengesahan dari Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. (4) Perubahan rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan berdasarkan:

a.

hasil evaluasi rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik secara berkala oleh badan usaha pemegang Wilayah Usaha; atau

b.

perintah Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. (5) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah terkait Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, Menteri atau gubernur sesuai kewenangannya dapat memasukkan kebijakan tersebut ke dalam rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.

(6)

Ketentuan (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pen1rusunan rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 57Tutup
(1)

Besaran denda yang dikenai untuk:

a.

Setiap orang yang melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) tanpa rzin dikenai denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b.

Setiap b. Setiap orang yang melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) tanpa izin dikenai denda paling banyak Rp750.0O0.000,00 (tujuh ratus iima puluh juta rupiah). c. Setiap orang yang melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik yang tidak memenuhi kewajiban melaporkan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (41 dikenai denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Besaran denda yang dikenai untuk:

a.

Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) sehingga mempengaruhi kelangsungan penyediaan tenaga listrik dikenai denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). b. Setiap orang yang mengoperasikan Instalasi Tenaga Listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) dikenai denda paling banyak Rp250.00O.0O0,O0 (dua ratus lima puluh juta rupiah). c. Setiap orang yang mengoperasikan Instalasi Tenaga Listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) yang mengakibatkan timbulnya korban dikenai denda paling banyak Rp5OO.0OO.O0O,OO (lima ratus juta rupiah). d. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a mengakibatkan terputusnya aliran listrik sehingga merugikan masyarakat, dikenai denda paling banyak Rp2.500.OO0.OO0,O0 (dua miliar lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang telah diberi ganti rugi dan/atau Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (21, dikenai denda:

a.

untuk objek tanaman, dikenakan denda sebesar 4 (empat) kali dari nilai pasar tanaman tersebut pada tahun berjalan; dan

b.

untuk b. untuk objek bangunan, dikenakan denda sebesar nilai jual objek pajak bangunan tersebut pada tahun berjalan. (4) Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang berpotensi masuk ke ruang bebas atau jarak bebas minimum jaringan Transmisi Tenaga Listrik, dikenai denda:

a.

untuk objek tanaman, dikenakan denda sebesar 4 (empat) kali dari nilai pasar tanaman tersebut pada tahun berjalan; dan

b.

untuk objek bangunan, dikenakan denda sebesar nilai jual objek pajak bangunan tersebut pada tahun berjalan. (5) Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang berpotensi membahayakan keselamatan dan/atau mengganggu keandalan penyediaan tenaga listrik, dikenai denda:

a.

untuk objek tanaman, dikenakan denda sebesar 4 (empat) kali dari nilai pasar tanaman tersebut pada tahun berjalan; dan

b.

untuk objek bangunan, dikenakan denda sebesar nilai jual objek pajak bangunan tersebut pada tahun berjalan. (6) Selain denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan pembongkaran bangunan dan/atau pemangkasan tanaman. (7) Besaran denda yang dikenai untuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3), untuk:

a.

Setiap badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik yang tidak memiliki Perizinan Berusaha bidang usaha jasa penunjang tenaga listrik dikenai denda sebesar 1O% (sepuluh persen) dari semua nilai kontrak. b. Setiap kantor perwakilan asing yang melaksanakan kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik yang tidak memiliki Perizinan Berusaha bidang usaha jasa penunjang tenaga listrik dikenai denda sebesar 2Ooh (dwa puluh persen) dari semua nilai kontrak.

c.

Setiap c. Setiap badan usaha jasa konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik, usaha ^jasa pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pengoperasian Instaiasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeiiharaan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan, usaha ^jasa Sertifikasi Badan Usaha jasa penunjang tenaga listrik yang melaksanakan usahanya tidak memiliki sertifikat badan usaha atau tidak memelihara masa berlaku sertifikat badan usaha sesuai dengan ruang lingkup Perizinan Berusaha, dikenai denda sebesar Rp5.0OO.000,O0 (lima juta rupiah) per subbidang untuk Pelaku Usaha dengan Kualifikasi kecil. d. Setiap badan usaha jasa konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan, usaha ^jasa Sertifikasi Badan Usaha jasa penunjang tenaga listrik yang melaksanakan usahanya tidak memiliki sertifikat badan usaha atau tidak memelihara masa berlaku sertif-rkat badan usaha sesuai dengan ruang lingkup Perizinan Berusaha, dikenai denda sebesar Rp10.00O.000,00 (sepuluh juta rupiah) per subbidang untuk Pelaku Usaha dengan Kualifikasi menengah. e. setiap badan usaha jasa konsultansi dalam bidang Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pembangunan dan pemasangan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeriksaan dan pengujian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pengoperasian Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa pemeliharaan Instalasi Tenaga Listrik, usaha jasa Sertifikasi Kompetensi Tenaga Teknik Ketenagalistrikan, usaha jasa Sertifikasi Badan Usaha jasa penunjang tenaga listrik yang melaksanakan usahanya tidak memiliki sertifikat badan usaha atau tidak memelihara masa berlaku sertifikat badan usaha sesuai dengan ruang lingkup Perrzinan Berusaha, dikenai denda sebesar Rp20.O00.000,00 (dua puluh juta rupiah) per subbidang untuk Pelaku Usaha dengan Kualifikasi besar. (S) Besaran denda yang dikenai untuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat ^(1), untuk:

a.

badan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik:

1.

Rp15.000.000,00 (lima belas ^juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik ^jenjang Kualifikasi pelaksana/operator;

2.

Rp30.0O0.000,00 (tiga puluh ^juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik ^jenjang Kualifikasi analis/teknisi;

3.

Rp45.O00.000,00 (empat puluh lima ^juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik ^jenjang Kualifikasi ahli; dan

4.

Rp9O.000.0O0,00 (sembilan puluh ^juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik ^jika merupakan warga negara asing. b. badan usaha ^jasa penunjang tenaga listrik:

1.

Rp25.000.00O,O0 (dua puluh lima ^juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik ^jenjang Kualifikasi pelaksanaf operator;

2.

Rp50.000.000,00 (lima puluh ^juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik ^jenjang Kualifikasi analis/teknisi;

3.

Rp75.000.0O0,00 (tujuh puluh lima ^juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik ^jenjang Kualifikasi ahli; dan

4.

Rp15O.000.000,00 (seratus lima puluh ^juta rupiah) untuk setiap tenaga teknik ^jika merupakan warga negara asing. (9) Lembaga sertifikasi produk yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat ^(6), dikenai denda sebesar Rp10.000.00O,O0 (sepuluh ^juta ^rupiah).

  • 1
  • ...
  • 7
  • 8
  • 9
  • ...
  • 97