Perfilman
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Maret 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN UMUM Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara ditegaskan bahwa kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta, rasa dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap kehidupan bangsa. Budaya bangsa yang merupakan pencerminan nilai-nilai luhur bangsa terus dipelihara, dibina dan dikembangkan guna. memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional, serta memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan. Film sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar, pembinaan dan pengembangannya diarahkan untuk mampu memantapkan nilai-nilai budaya bangsa, menggelorakan semangat pengabdian dan perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan, mempertebal kepribadian dan mencerdaskan bangsa, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yang pada gilirannya akan memantapkan ketahanan nasional. Dengan bertolak dari pedoman tersebut, maka pengaturan perfilman sebagai hasil dan sekaligus cerminan budaya perlu diarahkan sehingga mampu memperkuat upaya pembinaan kebudayaan nasional. Pengaturan perfilman bukan saja dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas produksi film Indonesia dalam fungsinya sebagai komoditi ekonomi, tetapi juga mengukuhkan fungsinya sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan hiburan. Masalah ini menjadi semakin penting, terutama apabila dikaitkan dengan kenyataan bahwa peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai landasan pembinaan dan pengembangan perfilman Indonesia sudah tidak memadai karena hanya mengatur segi-segi tertentu dalam kegiatan perfilman secara terpisah, yang seringkali tidak berkaitan satu dengan yang lain. Maka, berdasarkan hal tersebut, disusunlah Undang-undang tentang Perfilman. Melalui Undang-undang ini, upaya pengaturan perfilman Indonesia diusahakan agar tidak saja menjangkau seluruh aspek perfilman, tetapi juga diarahkan pada perwujudan tatanan kehidupan perfilman secara utuh. Pengaturan perfilman dalam Undang-undang ini disusun berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut :
Menegaskan secara jelas bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan filosofis dan konstitusional yang merupakan panduan dalam menumbuhkan dan mengembangkan perfilman di Indonesia sehingga sebagai salah satu sarana pengembangan budaya bangsa, film tetap mampu memperkuat kebudayaan nasional dan mencerminkan pandangan hidup bangsa serta nilai budaya bangsa.
Tersusunnya landasan yuridis dan sosiologis yang mampu menjaga keseimbangan antara aspek idiil sebagaimana diarahkan oleh GBHN dan aspek ekonomi dalam usaha perfilman yang dalam pengembangannya harus tetap sesuai dengan jiwa Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam upaya mewujudkan iklim yang sehat bagi perfilman Indonesia, pembinaan dan pengembangan perfilman dilakukan terhadap berbagai kegiatan perfilman secara menyeluruh dan terpadu sejak tahap produksi sampai dengan tahap pertunjukan atau penayangannya dalam suatu mata rantai yang berkesinambungan dengan memperhatikan berbagai kepentingan, melalui berbagai perizinan sehingga tercapai hasil yang optimal sejalan dengan dasar, arah, dan tujuan penyelenggaraan perfilman. Termasuk dalam pembinaan dan pengembangan ini adalah upaya menciptakan iklim yang dapat memacu pertumbuhan produksi film Indonesia serta bimbingan dan perlindungan agar penyelenggaraan usaha dapat berlangsung secara harmonis, saling mengisi, dan mencegah adanya tindakan yang menjurus pada persaingan yang tidak sehat ataupun pemusatan pada satu tangan atau satu kelompok.
Untuk menjaga agar kehidupan dan pertumbuhan perfilman dapat tetap berjalan seiring dengan pandangan hidup dan kebudayaan bangsa, serta melindungi masyarakat akan dampak negatif yang diakibatkan, maka setiap film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan/atau ditayangkan harus disensor terlebih dahulu.
Mengingat dampak yang dapat diakibatkan oleh film, maka tindak pidana di bidang perfilman diberi sanksi yang cukup berat. Dengan latar belakang pemikiran tadi, Filmordonnantie 1940 (Staatsblad Tahun 1940 Nomor 507) dan Undang-undang Nomor 1 Pnps Tahun 1964 tentang Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2622) dinyatakan tidak berlaku lagi. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Yang termasuk film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar (audio-visual) dalam Undang-undang ini ialah :
yang dibuat dengan bahan baku pita seluloid melalui proses kimiawi, yang lazim disebut film;
yang dibuat dengan bahan pita video atau piringan video melalui proses elektronik, yang lazim disebut rekaman video;
yang dibuat dengan bahan baku lainnya atau melalui proses lainnya sebagai hasil perkembangan teknologi, dikelompokkan sebagai media komunikasi massa pandang-dengar. Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Arah dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan agar perfilman Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan fungsinya. Dengan arah tersebut, perfilman Indonesia dibina dan dikembangkan sehingga terhindar dari ciri-ciri yang merendahkan nilai budaya, mengganggu upaya pembangunan watak dan kepribadian, memecah kesatuan dan persatuan bangsa, mengandung unsur pertentangan antar suku, agama, ras, dan asal-usul, ataupun menimbulkan gangguan terhadap ketertiban dan rasa kesusilaan pada umumnya. Dengan arah itu pula, sebaliknya diupayakan agar potensi nasional di bidang perfilman dapat berkembang dan maju dalam kerangka keserasian dan keseimbangan usaha antar unsur perfilman pada umumnya. Pasal 4 Film sebagai produk seni dan budaya mempunyai peranan yang penting bagi pengembangan budaya bangsa; untuk itu, perlu terus dipelihara, dibina, dan dikembangkan sehingga mampu menjadi salah satu sarana penunjang pembangunan nasional. Pasal 5 Undang-undang ini mengakui adanya fungsi-fungsi film tersebut sebagai kenyataan dan keperluan. Lihat pula Penjelasan Umum. Oleh karena itu, fungsi-fungsi tersebut dikembangkan secara seimbang. Pasal 6 Yang dimaksud dengan film berita adalah rekaman kejadian/peristiwa aktual yang dibuat dalam bentuk film dan ditayangkan melalui media elektronik. Pengaturan lebih lanjut mengenai film berita diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, film merupakan salah satu jenis karya rekam yang salinan rekamannya (copynya) wajib diserahkan kepada instansi/lembaga penyimpan yang ditunjuk dalam undang-undang tersebut. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Pada hakikatnya, usaha perfilman dilakukan oleh badan hukum, yaitu perseroan terbatas atau koperasi atau bentuk lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk usaha-usaha perfilman berskala kecil seperti usaha pertunjukan film secara berkeliling dan usaha penjualan dan/atau penyewaan rekaman dalam bahan pita video atau piringan video, disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) Izin usaha perfilman dimaksud adalah izin yang dikeluarkan oleh Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan perfilman. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Oleh karena banyaknya unsur yang terlibat dalam kegiatan perfilman dan eratnya keterkaitan antara satu dengan yang lain, wajarlah apabila kegiatan masyarakat perfilman itu berlandaskan kode etik yang harus ditaati bersama. Hal ini penting karena terkaitnya aspek usaha dan aspek keahlian saling melengkapi dan tidak sepenuhnya dapat dijangkau oleh ketentuan yang bersifat formal. Masyarakat perfilman adalah himpunan sekelompok warga negara Indonesia berdasarkan kesamaan profesi dan/atau kegiatan di bidang perfilman. Kode etik adalah norma dan asas yang disepakati dan diterima oleh masyarakat perfilman secara tertulis sebagai landasan dan ukuran tingkah laku yang harus dipatuhi oleh insan perfilman dalam menjalankan profesinya masing-masing.
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
Relevan terhadap
Sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Bertitik tolak dari isi ketentuan tersebut, maka pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Huruf a Berdasarkan prinsip tersebut di atas, pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang merupakan Objek Pajak. Huruf b dan huruf c Selaras dengan prinsip tersebut di atas, biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri dan penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan dengan menggunakan tarif umum. Huruf d… Huruf d Pada dasarnya Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak luar negeri yang dipotong berdasarkan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tidak dapat dibebankan sebagai biaya oleh Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang bersangkutan. Namun karena berdasarkan pertimbangan ekonomi masih diperlukan modal, teknologi, dan jasa dari luar negeri, maka Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali dividen, yang ditanggung oleh pemberi penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut. Contoh: PT. ABC membayar bunga kepada Bank di luar negeri sebesar Rp 100.000.000,00 yang Pajak Penghasilannya ditanggung oleh PT. ABC, dengan tarif pemotongan sebesar 20%. - Jumlah yang dijadikan dasar pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 = 100 ----- xRp 100.000.000,00 = Rp 125.000.000,00 80 - Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp 125.000.000,00 = Rp 25.000.000,00 - Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT.ABC. = Rp 125.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 + Rp 25.000.000,00)
Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Investasi Di Wilayah Tertentu
Relevan terhadap
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang melakukan investasi/penanaman modal baru dan perluasan, yang dilakukan diwilayah :
Propinsi Kalimantan Timur;
Propinsi Kalimantan Barat;
Propinsi Kalimantan Selatan;
Propinsi Kalimantan Tengah;
Propinsi Sulawesi Utara;
Propinsi Sulawesi Selatan;
Propinsi Sulawesi Tengah;
Propinsi Sulawesi Tenggara;
Propinsi Nusa Tenggara Timur;
Propinsi Nusa Tenggara Barat;
Propinsi Timor Timur;
Propinsi Maluku;
Propinsi Irian Jaya; Terhitung sejak Tahun Pajak 1980, dapat melakukan kompensasi kerugian tidak lebih dari 8 (delapan) tahun terhitung mulai tahun pertama kerugian tersebut diderita. Keputusan Menteri Keuangan 747/KMK.04/1990 tgl 28 Juni 1990 Keputusan Menteri Keuangan 747/KMK.04/1990 - DJP Tax Knowledge Base (2) Perlakuan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku untuk investasi baru dan perluasan di bidang :
Pertanian;
Perkebunan;
Peternakan;
Perikanan;
Pertambangan;
Kehutanan;
Perindustrian;
Real Estate/Industrial Estate;
Perhotelan dan jasa pengembangan kepariwisataan;
Prasarana dan sarana ekonomi serta jasa angkutan darat, laut dan udara.
Bagi perusahaan yang melakukan perluasan, kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku dalam hal besarnya perluasan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari investasi yang sudah dilakukan sampai dengan akhir tahun pajak sebelum tahun pajak dimana perluasan tersebut dilakukan, diwilayah-wilayah dan di bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Penataan Ruang.
Relevan terhadap
Ayat (1) Pengertian pola pengelolaan tata guna tanah, pola pengelolaan tata guna air, pola pengelolaan tata guna udara, dan pola pengelolaan tata guna sumber daya alam lainnya adalah sama dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya. Yang dimaksud dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lainnya antara lain adalah penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Dalam pemanfaatan tanah, pemanfaatan air, pemanfaatan udara, dan pemanfaatan sumber daya alam lainnya, perlu diperhatikan faktor yang mempengaruhinya seperti faktor meteorologi klimatologi, dan geofisika. Yang dimaksud dengan perangkat insentif adalah pengaturan yang bertujuan memberikan rangsangan terhadap kegiatan yang seiring dengan tujuan rencana tata ruang. Apabila dengan pengaturan akan diwujudkan insentif dalam rangka pengembangan pemanfaatan ruang, maka melalui pengaturan itu dapat diberikan kemudahan tertentu:
di bidang ekonomi melalui tata cara pemberian kompensasi, imbalan, dan tata cara penyelenggaraan sewa ruang dan urun saham; atau
di bidang fisik melalui pembangunan serta pengadaan sarana dan prasarana seperti jalan, listrik, air minum, telepon dan sebagainya untuk melayani pengembangan kawasan sesuai dengan rencana tata ruang. Yang dimaksud dengan perangkat disinsentif adalah pengaturan yang bertujuan membatasi pertumbuhan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana kawasan ruang, misalnya dalam bentuk:
pengenaan pajak yang tinggi; atau
ketidaktersediaan sarana dan prasarana. Pelaksanaan insentif dan disinsentif tidak boleh mengurangi hak penduduk sebagai warganegara. Hak penduduk sebagai warganegara meliputi pengaturan atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh, dan mempertahankan ruang hidupnya. Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (1) Termasuk dalam kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, dan kawasan rawan bencana alam. Termasuk dalam kawasan budi daya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, kawasan pertahanan keamanan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perdesaan meliputi tempat permukiman perdesaan, tempat kegiatan pertanian, kegiatan pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Susunan fungsi kawasan yang berwujud kawasan perkotaan meliputi tempat permukiman perkotaan, tempat pemusatan dan pendistribusian kegiatan bukan pertanian seperti kegiatan pelayanan jasa pemerintahan, kegiatan pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Fungsi kawasan yang berwujud kawasan tertentu meliputi tempat pengembangan kegiatan yang strategis yang ditentukan dengan kriteria antara lain:
kegiatan di bidang yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang di wilayah sekitarnya;
kegiatan di suatu bidang yang mempunyai dampak baik terhadap kegiatan lain di bidang yang sejenis maupun terhadap kegiatan di bidang lainnya;
kegiatan di bidang yang bersangkutan yang merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan dalam kawasan tertentu dapat berupa misalnya kegiatan pembangunan skala besar untuk kegiatan industri beserta sarana dan prasarananya, kegiatan pertahanan keamanan beserta sarana dan prasarananya, kegiatan pariwisata beserta sarana dan prasarananya, dan sebagainya.
Ayat (1) Strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara dirumuskan dengan mempertimbangkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, data dan informasi, serta pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 14. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional yang berupa strategi nasional pengembangan pola pemanfaatan ruang merupakan kebijaksanaan pemerintah yang menetapkan rencana struktur Dan pola pemanfaatan ruang nasional beserta kriteria dan pola penanganan kawasan yang harus dilindungi, kawasan budi daya, dan kawasan lainnya. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional meliputi antara lain arahan pengembangan sistem permukiman dalam skala nasional, jaringan prasarana yang melayani kawasan produksi dan permukiman, penentuan wilayah yang akan datang dalam skala nasional, termasuk penetapan kawasan tertentu. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional memperhatikan antara lain:
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional;
pokok permasalahan dalam lingkup global dan internasional serta pengkajian implikasi penataan ruang nasional terhadap strategi tata pengembangan internasional dan regional, c. pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas;
keselarasan aspirasi pembangunan sektoral dan pembangunan daerah;
daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penetapan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu secara nasional adalah bahwa pengaturan untuk penetapan kawasan tersebut secara makro dan menyeluruh diselenggarakan sebagai bagian dari strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara. Yang dimaksud dengan norma dan kriteria pemanfaatan ruang adalah ukuran berupa kriteria lokasi dan standar teknik pemanfaatan ruang yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan untuk terwujudnya kualitas ruang dan tertibnya pemanfaatan ruang. Ayat (3) Dengan ketentuan ini dimaksudkan bahwa Rencana Tata Ruang wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Hal ini berarti bahwa dalam pemanfaatan ruang untuk menyusun rencana pembangunan, harus selalu diperhatikan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional. Dalam rangka penyusunan Rencana Tata Ruang wilayah Nasional perlu diselenggarakan pula antara lain:
Penataan ruang bagian wilayah nasional yang masing-masing terdiri dari beberapa propinsi sebagai satu kesatuan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan mewujudkan Wawasan Nusantara sebagai satu kesatuan nasional;
Kesatuan Wawasan Nusantara melalui penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang membentuk sistem keterkaitan antar lokasi dan kawasan antara lain jaringan darat, laut, dan udara;
Penjabaran strategi ekonomi nasional terhadap strategi tata ruang yang saling terkait dan berkesinambungan. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional selain menjadi pedoman untuk pemanfaatan ruang daratan di tingkat daerah juga menjadi pedoman untuk pemanfaatan ruang lautan dan ruang udara dalam batas-batas tertentu. Ayat (4) Seiring dengan Pola Pembangunan Jangka Panjang yang berjangka waktu 25 tahun, Rencana Tata Ruang wilayah Nasional disusun untuk jangka waktu yang sama dan dengan perspektif 25 tahun ke masa depan. Meskipun demikian, rencana tata ruang wilayah Nasional dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan dalam waktu kurang dari 25 tahun apabila terjadi perubahan kebijaksanaan nasional yang mempengaruhi pemanfaatan ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang mendasar. Peninjauan kembali dan atau penyempurnaan yang diperlukan untuk mencapai strategi dan arahan kebijaksanaan yang telah ditetapkan pada 25 tahun dilakukan paling tidak 5 tahun sekali. Rencana Tata Ruang wilayah Nasional dijabarkan ke dalam program pemanfaatan ruang 5 tahunan sejalan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Selanjutnya, program pemanfaatan ruang tersebut dijabarkan lagi ke dalam kegiatan pembangunan tahunan sesuai dengan tahun anggaran. Ayat (5) Cukup jelas