Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Bagi Investasi di Wilayah Tertentu
Relevan terhadap
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan bagi Wajib Pajak yang me l a kukan investasi /penanaman ir\ oda 1 b a r u dan perl uasan, yang di l akukan di wi 1 ayah wi l ayah :
Propinsi Kalimantan Barat;
Propinsi Kalimantan Timur;
Propinsi Kalimantan Selatan;
Propinsi Kalimantan Tengah;
Propinsi Su lawesi Utara;
Propinsi S ulawesi Selatan;
Propinsi Su lawesi Tengah;
Propinsi Sulawesi · Tenggara;
Propinsi Nusa Tenggara Timur;
Propins i Nusa Tenggara Barat;
Propinsi Timar Timur;
Propinsi Maluku;
Prop ^˚ nsi Irian Jaya; V- , ^:
' terhitung sejak tanggal Januari 1990, di ber-i kan pengurangan se besar 50% ( 1 i ma pul uh persen) dari Pajak Bumi dan Bangunan yang VVI/8/90 75X !U 4-8.3/88 www.jdih.kemenkeu.go.id I ., '• !' \ " I .. , r ^· ^. '1 .- ·' /' f MENTER! KEUANGAN 2 - Keputusan Menteri Keuangan Nomor 748 /KMK.04/1990 Tanggal : 28 Juni- 1990 ·: · _. . .: · .. . : : - ^:
... . . L ... -- terutang, selama 8 ( d e l a p an ) tahun sejak diperolehnya izin peruntukan tanah.
Pengenaan pajak sebagaimana d ^i maksud dalam ayat (1) hanya b e r l a k u untuk investasi di bidang a. Pertanian;
Perkebunan;
Peternakan;
Perikana n;
Pertambangan;
Keh utanan;
Peri nd ustrian;
Real Estate/Industrial Estate;
Perhotelan dan jasa pengembangan kepariwi sataan;
Prasarana dan sarana ekonomi ser ^t a jasa ang˛ kutan darat, laut dan udara.
Bagi perusahaan yang melakukan perluasan, pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlak u dalam hal besarnya perluasan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari investasi yang s u dah di.laku kan sampai dengan akhir tahun pajak sebetum tahun pajak di mana perl uasan tersebut di 1 aku kan, di wilayah-wil ayah dan di bidang-bidang se bagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Relevan terhadap
e. bentuk lain yang disetujui oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 14 Penggantian terhadap
bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk
pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi
masyarakat setempat. Bagian Ketiga
Ganti Kerugian Pasal 15 Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian
ditetapkan atas dasar: a. harga tanah yang
didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai
jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang
persangkutan; b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh
instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan; c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh
instansi pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian. Pasal 16 Bentuk dan besarnya ganti kerugian atas
dasar cara perhitungan dimaksud dalam Pasal 15 ditetapkan dalam
musyawarah. Pasal 17 (1) Ganti kerugian diserahkan langsung kepada
: a.
Penataan Ruang.
Relevan terhadap 2 lainnya
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Dacrah Tingkat I merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I, yang meliputi :
tujuan pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan;
stuktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I berisi:
arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;
arahan pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu;
arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan kawasan lainnya;
arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan;
arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang meliputi prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan;
arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan;
arahan kebijaksanaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
Rcncana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I menjadi pedoman untuk:
perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah Propinsi Daerah Tingkat I;
mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah Propinsi Daerah Tingkat I serta keserasian antar sektor;
pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat;
penataan ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang merupakan dasar dalam pengawasan terhadap perizinan lokasi pembangunan.
Jangka waktu Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I adalah 15 tahun.
Rencana Tata Ruang wilayah Propinsi Daerah Tingkat I ditetapkan dengan peraturan daerah.
Tujuan pengaturan penataan ruang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan dengan fungsi ruang guna tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Yang dimaksud dengan pengaturan pemanfaatan kawasan lindung adalah bentuk-bentuk pengaturan pemanfaatan ruang di kawasan lindung seperti upaya konservasi, rehabilitasi, penelitian, obyek wisata lingkungan, dan lain-lain yang sejenis. Penataan ruang kawasan lindung bertujuan:
tercapainya tata ruang kawasan lindung secara optimal;
meningkatkan fungsi kawasan lindung. Yang dimaksud dengan pengaturan pemanfaatan kawasan budi daya adalah bentuk-bentuk pengaturan pemanfaatan ruang di kawasan budi daya seperti upaya eksploitasi pertambangan, budi daya kehutanan, budi daya pertanian, dan kegiatan pembangunan permukiman, industri, pariwisata, dan lain-lain yang sejenis. Penataan ruang kawasan budi daya bertujuan :
tercapainya tata ruang kawasan budi daya secara optimal;
meningkatkan fungsi kawasan budi daya. Yang dimaksud dengan mewujudkan keterpaduan adalah mencegah perbenturan kepentingan yang merugikan kegiatan pembangunan antar sektor, daerah, dan masyarakat dalam penggunaan sumber daya alam dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan sumber daya buatan melalui proses koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai. satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak.
Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi ulama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Kawasan budi daya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kawasan tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional mempunyai nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan.
Usaha Perasuransian
Relevan terhadap
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Pebruari 1992 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd MOERDIONO PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN UMUM Sasaran utama pembangunan jangka panjang sebagaimana tertera dalam Garis-garis Besar Haluan Negara adalah terciptanya landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuatannya sendiri menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan ekonomi memerlukan dukungan investasi dalam jumlah yang memadai yang pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan sendiri dan oleh karena itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana investasi, khususnya yang bersumber dari tabungan masyarakat. Usaha perasuransian sebagai salah satu lembaga keuangan menjadi penting peranannya, karena dari kegiatan usaha ini diharapkan dapat semakin meningkat lagi pengerahan dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Dalam pada itu, pembangunan tidak luput dari berbagai risiko yang dapat mengganggu hasil pembangunan yang telah dicapai. Sehubungan dengan itu dibutuhkan hadirnya usaha Perasuransian yang tangguh, yang dapat menampung kerugian yang dapat timbul oleh adanya berbagai risiko. Kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat di satu pihak terdapat berbagai risiko yang secara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, di lain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistim yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperan dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Sejauh ini kehadiran usaha perasuransian hanya didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUH Dagang) yang mengatur asuransi sebagai suatu perjanjian. Sementara itu usaha asuransi merupakan usaha yang menjanjikan perlindungan kepada pihak tertanggung dan sekaligus usaha ini juga menyangkut dana masyarakat. Dengan kedua peranan usaha asuransi tersebut, dalam perkembangan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat maka semakin terasa kebutuhan akan hadirnya industri perasuransian yang kuat dan dapat diandalkan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka usaha perasuransian merupakan bidang usaha yang memerlukan pembinaan dan pengawasan secara berkesinambungan dari Pemerintah, dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat. Untuk itu diperlukan perangkat peraturan dalam bentuk Undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang lebih kokoh, yang dapat merupakan landasan,baik bagi gerak usaha dari perusahaan-perusahaan di bidang ini maupun bagi Pemerintah dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Undang-undang ini pada dasarnya menganut azas spesialisasi usaha dalam jenis-jenis usaha di bidang perasuransian. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa usaha perasuransian merupakan usaha yang memerlukan keahlian serta ketrampilan teknis yang khusus dalam penyelenggaraannya. Undang-undang ini juga menegaskan adanya kebebasan pada tertanggung dalam memilih perusahaan asuransi. Dalam rangka perlindungan atas hak tertanggung, Undang-undang ini juga menetapkan ketentuan yang menjadi pedoman tentang penyelenggaraan usaha, dengan mengupayakan agar praktek usaha yang dapat menimbulkan konflik kepentingan sejauh mungkin dapat dihindarkan, serta mengupayakan agar jasa yang ditawarkan dapat terselenggara atas dasar pertimbangan obyektif yang tidak merugikan pemakai jasa. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal ini didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Di samping itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi, yang dalam Pasal ini kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian sebagai sesama penyedia jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan perusahaan di bidang usaha penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia. Selain pengelompokan menurut jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial. Usaha asuransi yang bersifat sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial, yang bersifat wajib berdasarkan Undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat. Pasal 4 Berdasarkan ketentuan ini setiap perusahaan perasuransian hanya dapat pula menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan. Dengan demikian tidak dimungkinkan adanya sebuah perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal ini pengertian dana pensiun terbatas pada dana pensiun lembaga keuangan. Pasal 5 Jasa yang dapat diberikan oleh Perusahaan Konsultan Akturia mencakup antara lain konsultasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan analisis dan penghitungan cadangan, penyusunan laporan akturia, penilaian kemungkinan terjadinya risiko dan perancangan produk asuransi jiwa. Pasal 6 Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas obyek yang dipertanggungkannya sehingga sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa adanya pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dapat menentukan sendiri perusahaan asuransi yang akan menjadi penanggungnya. Ayat (2) Dalam asas kebebasan untuk memilih pananggung ini terkandung maksud bahwa tertanggung bebas untuk menempatkan penutupan obyek asuransinya pada Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Kerugian yang memperoleh izin usaha di Indonesia. Ayat (3) Agar pelaksanaan dari ketentuan ini dapat disesuaikan dengan perkembangan usaha perasuransian di Indonesia, maka ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan asuransi dan atau penempatan reasuransinya diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama (Mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 8 Ayat (1) Dalam ayat ini ditentukan bahwa warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dapat menjadi pendiri perusahaan perasuransian, baik dengan pemilikan sepenuhnya maupun dengan membentuk usaha patungan dengan pihak asing. Termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha Milik Swasta. Ayat (2) Perusahaan perasuransian yang didirikan atau dimiliki oleh perusahaan perasuransian dalam negeri dan perusahaan perasuransian asing yang mempunyai kegiatan usaha sejenis dimaksudkan untuk menumbuhkan penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang lebih profesional.Selain itu kerjasama perusahaan perasuransian yang sejenis juga dimaksudkan untuk lebih memungkinkan terjadinya proses alih teknologi. Sesuai dengan tujuan dari ketentuan ini yang dimaksudkan untuk lebih menumbuhkan profesionalisme dalam pengelolaan usaha, maka kepemilikan bersama atas perusahaan perasuransian oleh Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi dalam negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi luar negeri harus tetap didasarkan pada jenis usaha masing-masing partner dalam kepemilikan tersebut. Contoh mengenai hal tersebut adalah sebegai berikut:
Perusahaan Reasuransi luar negeri dengan Perusahaan Asuransi Kerugian dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi.
Perusahaan Asuransi Kerugian luar negeri dengan Perusahaan Reasuransi dalam negeri dapat mendirikan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Khusus bagi Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini berarti bahwa Pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh Pemerintah. Dengan demikian bagi Badan Usha Milik Negara termaksud tidak diperlukan adanya izin usaha dari Menteri. Ayat (2) Untuk mendukung suatu kegiatan usaha perasuransian yang bertanggungjawab, perlu adanya anggaran dasar, susunan organisasi yang baik, Jumlah modal yang memadai, status kepemilikan yang jelas, tenaga ahli asuransi yang diperlukan sesuai dengan bidangnya, rencana kerja yang layak sesuai dengan kondisi, dan hal-hal lain yang dikemudian hari diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat. Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuaria, underwriting, manajemen risiko. penilai kerugian asuransi, dan sebagainya, sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijalankan. Ayat (3) Dalam pengertian istilah ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing, termasuk pula pengertian tentang proses Indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan industri perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Batas tingkat solvabilitas (Solvency Margin) merupakan tolok ukur kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Batas tingkat solvabilitas ini merupakan selisih antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya didasarkan pada cara perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha asuransi. Retensi sendiri dalam hal ini merupakan bagian pertanggungan yang menjadi beban atau tanggung jawab sendiri sesuai dengan tingkat kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan. Reasuransi merupakan bagian pertanggungan yang dipertanggungkan ulang pada perusahaan asuransi lain dan atau Perusahaan Reasuransi. Dalam hubungannya dengan investasi, yang akan diatur adalah kebijaksanaan investasi Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Reasuransi dalam menentukan investasinya pada jenis investasi yang aman dan produktif. Sesuai dengan sifat usaha asuransi di mana timbulnya beban kewajiban tidak menentu, maka Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi perlu membentuk dan memelihara cadangan yang diperhitungkan berdasarkan pertimbangan teknis asuransi dan dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan yang bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya kepada pemegang polis. Asuransi adalah perjanjian atau kontrak yang dituangkan dalam bentuk polis. Sebagai suatu perjanjian atau kontrak maka ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis. Untuk melindungi kepentingan masyarakat luas, penetapan tingkat premi harus tidak memberatkan tertanggung, tidak mengancam kelangsungan usaha penanggung, dan tidak bersifat diskriminatif. Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, peraturan pelaksanaan yang mencakup masalah penyelesaian klaim akan menetapkan batas waktu maksimum antara saat adanya kepastian mengenai jumlah klaim yang harus dibayar dengan saat pembayaran klaim tersebut oleh penanggung. Salah satu ketentuan yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha adalah mengenai pembayaran premi asuransi kepada penanggung atas risiko yang ditutupnya, sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Perusahaan yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosisal sebenarnya menyelenggarakan salah satu jenis asuransi, yaitu asuransi jiwa atau asuransi kerugian atau kombinasi antara keduanya. Oleh karena itu, terlepas dari peraturan perundang-undangan yang membentuknya, Menteri sebagai pembina dan pengawas usaha perasuransian berwenang dan berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi sosial tersebut, sedangkan mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap Program Asuransi Sosial dilakukan oleh Menteri teknis yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang yang mengatur Program Asuransi Sosial dimaksud. Pasal 15 Ayat (1) Pemeriksaan dimaksudkan untuk meneliti secara langsung kebenaran laporan yang disampaikan perusahaan, baik kesehatan keuangan maupun praktek penyelenggaraan usaha, sesuai dengan ketentuan Undang-undang. Pemeriksaan dimaksud dapat dilakukan secara berkala maupun setiap saat apabila dipandang perlu dengan tujuan agar perlindungan terhadap masyarakat dapat dijamin dan penyimpangan yang terjadi pada perusahaan dapat diketahui sedini mungkin. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan pencabutan izin usaha merupakan tahapan tindakan yang dapat diberlakukan pada perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini. Dalam hal tertentu Menteri dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang diperlukan. Ayat (2) Tahapan tindakan yang diperlukan merupakan urutan yang harus dilalui sebelum dilakukan pencabutan izin usaha. Namun demikian terhadap Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf b dan huruf c tidak dapat diterapkan. Hal ini mengingat bahwa apabila terjadi hal-hal yang dapat menganggu kelangsungan usaha dari Badan Usaha Milik Negara tersebut, maka tindak lanjutnya didasarkan pada peraturan perundang-undangan mengenai Program Asuransi Sosial tersebut serta peraturan perundang-undangan tentang pembentukan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan. Ayat (3) Tergantung pada tingkat dan jenis pelanggaran yang dilakukan, Menteri dapat memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk melakukan upaya pembenahan dengan memerintahkan dilakukannya tindakan yang dianggap perlu yang diikuti perkembangannya secara terus-menerus, tanpa mengorbankan perlindungan terhadap perusahaan ataupun tertanggung. Dalam peraturan pelaksanaan yang mengatur tata cara pengenaan sanksi, akan ditetapkan batas waktu maksimum yang disediakan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat ini untuk diajukan kepada Menteri. Batas waktu tersebut tidak dapat melebihi 4 bulan sejak dimulainya masa pembatasan kegiatan usaha. Rencana kerja yang telah diajukan selanjutnya akan dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan tindak lanjut pengenaan sanksi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Dalam hal Menteri mempertimbangkan bahwa upaya yang dilakukan tidak menunjukkan perbaikan atau dalam hal perusahaan tidak melakukan usaha untuk mengupayakan perbaikan, maka Menteri akan mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri diberi wewenang berdasarkan Undang-undang ini untuk meminta Pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis. Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka Menteri dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadinya kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan. Ayat (2) Hak utama dalam ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam hal kepailitan, hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lainnya, kecuali dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas
Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Investasi Di Wilayah Tertentu
Relevan terhadap
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang melakukan investasi/penanaman modal baru dan perluasan, yang dilakukan diwilayah :
Propinsi Kalimantan Timur;
Propinsi Kalimantan Barat;
Propinsi Kalimantan Selatan;
Propinsi Kalimantan Tengah;
Propinsi Sulawesi Utara;
Propinsi Sulawesi Selatan;
Propinsi Sulawesi Tengah;
Propinsi Sulawesi Tenggara;
Propinsi Nusa Tenggara Timur;
Propinsi Nusa Tenggara Barat;
Propinsi Timor Timur;
Propinsi Maluku;
Propinsi Irian Jaya; Terhitung sejak Tahun Pajak 1980, dapat melakukan kompensasi kerugian tidak lebih dari 8 (delapan) tahun terhitung mulai tahun pertama kerugian tersebut diderita. Keputusan Menteri Keuangan 747/KMK.04/1990 tgl 28 Juni 1990 Keputusan Menteri Keuangan 747/KMK.04/1990 - DJP Tax Knowledge Base (2) Perlakuan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku untuk investasi baru dan perluasan di bidang :
Pertanian;
Perkebunan;
Peternakan;
Perikanan;
Pertambangan;
Kehutanan;
Perindustrian;
Real Estate/Industrial Estate;
Perhotelan dan jasa pengembangan kepariwisataan;
Prasarana dan sarana ekonomi serta jasa angkutan darat, laut dan udara.
Bagi perusahaan yang melakukan perluasan, kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya berlaku dalam hal besarnya perluasan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) dari investasi yang sudah dilakukan sampai dengan akhir tahun pajak sebelum tahun pajak dimana perluasan tersebut dilakukan, diwilayah-wilayah dan di bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Relevan terhadap 8 lainnya
Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar:
12% (dua belas persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara;
14% (empat belas persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara;
12% (dua belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara;
14% (empat belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
tidak diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau 408 b) surat berharga negara; atau e. 18% (delapan belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi Tahun Pajak 2020.
Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan berdasarkan:
nilai nominal, untuk harta berupa kas atau setara kas; atau
harga perolehan, untuk harta selain kas atau setara kas.
Wajib Pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.
Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang diperoleh Wajib Pajak sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.
Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan sebesar:
6% (enam persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara;
8% (delapan persen) atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak diinvestasikan pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau 402 2. surat berharga negara;
6% (enam persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara;
8% (delapan persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ketentuan:
dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
tidak diinvestasikan pada: a) kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau b) surat berharga negara; atau e. 11% (sebelas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan.
Nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditentukan berdasarkan:
nilai nominal, untuk harta berupa kas atau setara kas;
nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Objek Pajak, untuk tanah dan/atau bangunan dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor, untuk kendaraan bermotor;
nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk., untuk emas dan perak;
nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia, untuk saham dan waran ( warrant ) yang diperjualbelikan di PT Bursa Efek Indonesia; dan/atau 403 e. nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia, untuk surat berharga negara dan efek bersifat utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan, sesuai kondisi dan keadaan harta pada akhir Tahun Pajak terakhir.
Dalam hal tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b sampai dengan huruf e, nilai harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik.
Menteri Keuangan dapat memberikan pengurangan pajak yang terhutang :
karena kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya;
dalam hal obyek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang diluar biasa.
Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan. Penjelasan Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan sebab- sebab tertentu lainnya, berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan yang ditempati sendiri yang dikuasai atau dimiliki oleh golongan wajib pajak tertentu, lahan yang nilai jualnya meningkat sebagai akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan serta pemanfaatannya belum sesuai dengan peruntukan lingkungan. Huruf b - Yang dimaksud dengan bencana alam adalah gempa bumi, banjir, tanah longsor. - Yang dimaksud dengan sebab lain yang luar biasa adalah seperti : - kebakaran; - kekeringan; - wabah penyakit tanaman; - hama tanaman. Ayat (2) Cukup jelas. 359 Penjelasan Pasal 20 Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untuk meminta pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Pasal 11 ayat (3), dan ayat (4), kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruh dana administrasi dimaksud.
Kewajiban Dan Tata Cara Penyetoran Pendapatan Pemerintah Dari Hasil Operasi Pertamina Sendiri Dan Kontrak Production Sharing ...
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1982 TENTANG KEWAJIBAN DAN TATA CARA PENYETORAN PENDAPATAN PEMERINTAH DARI HASIL OPERASI PERTAMINA SENDIRI DAN KONTRAK PRODUCTION SHARING I. Penjelasan Umum Dalam rangka usaha penyempurnaan administrasi di bidang perpajakan dari sektor pertambangan minyak dan gas bumi, dipandang perlu untuk memberikan penegasan mengenai kewajiban dan tata cara penyetoran pendapatan Pemerintah dari hasil Operasi Pertamina Sendiri dan Kontrak Production Sharing sebagaimana disebut dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971. Disamping itu dalam rangka pelaksanaan Kontrak Production Sharing sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, Pertamina mendapatkan fee yang dikenal dengan nama retensi. Besarnya retensi (fee) ditetapkan sebesar 5% (lima persen) Berdasarkan prinsip perpajakan yang berlaku, setiap pendapatan yang diterima perusahaan pada dasarnya merupakan obyek pajak,sehingga dengan demikian atas retensi (fee) tersebut terkena pajak yang besarnya ditetapkan sebesar 60% (enam puluh persen). II. Penjelasan Pasal demi Pasal
Pokok Pokok Perbankan.
Relevan terhadap
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 49. Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Perbankan 1967". Saat mulai berlakunya Undang- undang ini ditentukan oleh Menteri Keuangan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran- Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1967. Pejabat Presiden Republik Indonesia, ttd SOEHARTO Jenderal T.N.I. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1967. Sekretaris Kabinet Ampera, ttd LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1967 NOMOR 34 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1967 TENTANG POKOK-POKOK PERBANKAN. A. PENJELASAN UMUM.
Sesuai dengan jiwa dan makna Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966, maka usaha untuk menuju ke arah perbaikan ekonomi rakyat, adalah penilaian kembali dari pada semua landasan- landasan kebijaksanaan ekonomi, keuangan dan pembangunan, dengan maksud untuk memperoleh keseimbangan yang tepat antara upaya yang diusahakan dan tujuan yang hendak dicapai, yakni masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Panca Sila. Berhubung dengan itu maka kini telah tiba waktunya untuk menilai kembali tata perbankan yang sekarang berlaku dalam Negara Republik Indonesia sedemikian rupa, hingga dapat disesuaikan dan diserasikan dengan landasan- landasan yang telah ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tersebut di atas. Pengaturan kembali tata perbankan di Indonesia wajib dilandaskan pada pembinaan sistim ekonomi Indonesia berdasarkan Pancasila yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi dan yang bertujuan menciptakan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi, maka segala potensi, inisiatif dan daya kreasi rakyat wajib dimobilisasikan dan diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum, sehingga dengan demikian segala kekuatan ekonomi potensiil dapat dikerahkan menjadi kekuatan ekonomi riil bagi kemanfaatan peningkatan kemakmuran rakyat. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka pengaturan tata perbankan perlu dilandaskan pada hal-hal seperti berikut:
Tata-perbankan harus merupakan suatu kesatuan sistim yang menjamin adanya kesatuan pimpinan dalam mengatur seluruh perbankan di Indonesia serta mengawasi pelaksanaan kebijaksanaan moneter Pemerintah di bidang perbankan.
Memobilisasikan… b. Memobilisasikan dan memperkembangkan seluruh potensi Nasional yang bergerak di bidang perbankan berdasarkan azas-azas demokrasi ekonomi.
Membimbing dan memanfaatkan segala potensi tersebut huruf b bagi kepentingan perbaikan ekonomi rakyat. II. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka tata-perbankan di Indonesia, baik mengenai organisasi maupun strukturnya dibentuk sedemikian rupa, hingga Bank Indonesia sebagai Bank Sentral membimbing pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan mengkoordinir, membina serta mengawasi semua perbankan. Bank-bank, baik milik negara ataupun swasta/koperasi, membantu Bank Sentral dalam melaksanakan tugasnya di bidang moneter. Dalam hubungan ini, maka tugas pokok dari pada perbankan di bawah bimbingan Bank Indonesia ialah untuk menghimpun segala dana-dana dari masyarrakat guna diarahkan ke bidang-bidang yang mempertinggi taraf hidup rakyat. Sesuai dengan skala/prioritas nasional sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966, maka khususnya bagi Bank-bank Pemerintah perlu ditetapkan prioritas-prioritas yang harus diutamakan dalam pengarahan penggunaan perkreditannya, agar supaya dengan demikian usaha-usaha ke arah peningkatan kapasitas produksi dapat dilaksanakan, termasuk penyediaan kredit untuk melayani kebutuhan masyarakat tani, nelayan dan industri kecil/kerajinan, di mana kredit tersebut sejauh mungkin akan disalurkan melalui koperasi-koperasi. Mengingat bahwa masyarakat tersebut diliputi golongan yang lemah ekonominya, tetapi merupakan dasar bagi ekonomi kita yang harus diperkuat dan dibina, maka suatu kebijaksanaan ter- tentu/tersendiri harus digariskan oleh Pemerintah, di mana Pemerintah kalau perlu akan memikul beban-beban tertentu sebagai akibat dari kebijaksanaan tersebut. Untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, maka perlu dihindarkan hambatan-hambatan dan birokrasi, yaitu dengan jalan dikonsentrasi management ke daerah-daerah dengan memperhatikan kondisi-kondisi daerah, guna menjamin kesatuan ekonomi dan kesatuan politik nasional. Dengan berlakunya Undang-undang tentang Pokok-pokok Perbankan ini, maka tidak ada lagi kegiatan di bidang perbankan yang menimpang dari ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. B. PENJELASAN… B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Ayat (1) :
dan (3) : Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksudkan ialah kantor cabang dan perwakilan, baik di dalam maupun di luar negeri. Pasal 6. Ayat (1) . (2) dan (3) : Cukup jelas. Ayat (4) : Sebelum memangku jabatannya, para anggota Direksi harus mengucapkan sumpah jabatan menurut peraturan yang berlaku. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Direksi, harus dipenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini:
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
Setia kepada Pancasila;
Berwibawa;
Jujur;
Cakap/ahli;
Adil;
Tidak terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dalam gerakan kontra Revolusi G-30S/PKI atau organisasi-organisasi terlarang lainnya. Dalam…. Dalam mengangkat seseorang menjadi Direktur, harus diperhatikan pula, agar jangan sampai ia mempunyai kepentingan-kepentingan lain di luar bank yang dapat berlawanan dengan atau merugikan kepentingan bank. Pasal 7. Ayat (1);
;
dan (4) : Cukup jelas. Pasal 8. Ayat (1) Mengingat pentingnya peranan bank dalam bidang ekonomi dan keuangan dan mengingat pula pentingnya fungsi modal dalam bank, maka untuk dapat mendirikan suatu bank diharuskan adanya modal dibayar yang cukup besar sehingga untuk biaya-biaya pembuatan/penyediaan gedung dan peralatan bank tidak dipergunakan uang simpanan para nasabah. Khususnya mengenai permodalan bank, maka syarat-syarat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan hanya berlaku bagi pendirian bank-bank baru, hingga tidak mempunyai daya surut dan tidak diberlakukan terhadap bank-bank yang sudah ada. Perizinan-perizinan sebagai yang dimaksudkan, diberikan dengan mendengar pertimbangan Bank Indonesia. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Disamping syarat-syarat mengenai permodalan, pemilikan saham dan pimpinan/pegawai bank, Menteri Keuangan mempunyai wewenang untuk jika perlu menetapkan syarat-syarat tambahan, antara lain dalam hubungannya dengan kehendak yang riil dan urgensi dari pendirian suatu bank pada suatu tempat/daerah menurut kondisi sosial-ekonomis dari tempat/daerah yang bersangkutan. Syarat tambahan tersebut diperlukan guna menjuruskan perbankan kepada norma- norma penyelenggaraan usaha bank secara sehat dan guna menyesuaikannya dengan kebijaksanaan moneter Pemerintah. Pasal 9. Ayat (1) : Penjelasan dalam pasal 8 berlaku pula bagi bank yang berbentuk hukum koperasi. Perbedaannya terletak terutama pada kebijaksanaan yang diambil oleh Pemerintah berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 yang menghendaki agar supaya kegorong-royongan yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk koperasi, dijadikan suatu wahana yang esensiil dalam kegiatan Rakyat di bidang ekonomi dan keuangan. Dalam hubungan dengan kebutuhan modal, kepada bank diberikan fasilitas dalam bentuk kesempatan untuk mengangsur kekurangan modalnya dalam waktu 1 (satu) tahun, sebagaimana ditetapkan dalam pasal ini. Dalam… Dalam melaksanakan ketentuan tersebut di atas seyogyanya pendirian bank umum berbentuk hukum koperasi itu dilakukan oleh badan-badan hukum koperasi. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi sektor koperasi untuk mendirikan bank umum, karena sebagaimana kita maklum, pendirian bank umum yang berbentuk hukum koperasi oleh individu-individu kecil sekali kemungkinannya, disebabkan karena memang sifatnya koperasi itu ialah usaha bersama dari anggota-anggota yang pada umumnya terdiri dari fihak yang lemah keuangannya. Ayat (2);
dan (4) : Cukup jelas. Pasal 10. Cukup jelas. Pasal 11. Cukup jelas. Pasal 12. Ayat (l) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 13. Ayat (l) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 14. Cukup jelas. Pasal 15. Cukup jelas. Pasal 16. Ayat (1) :
dan (3) : Cukup jelas. Pasal 17. Ayat (1) dan (2) Cukup jelas. Pasal 18… Pasal 18. Ayat (1) dan (2) Cukup jelas. Pasal 19. Ayat (1) : Macam bank asing yang dimungkinkan melakukan usaha di Indonesia hanya ada dua, yaitu bank umum dan bank pembangunan. Bank koperasi, bank tabungan, bank pasar dan segala macam perbankan yang lain, tertutup bagi usaha bank asing. Dengan demikian jelas bahwa bank asing diperkenankan membuka usaha di Indonesia di dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia yang sangat membutuhkan saluran untuk modal asing, baik untuk keperluan pembiayaan biasa, maupun untuk pembiayaan investasi berjangka panjang. Ayat (2) : Cukup jelas. Pasal 20.
Bank asing itu dapat didirikan sebagai badan hukum Indonesia atau hanya sebagai cabang dari suatu bank asing yang berkedudukan di luar negeri.
Sebagai badan hukum Indonesia bank asing hanya dapat berbentuk suatu usaha bersama (joint venture) antara bank nasional dan suatu bank di luar negeri. Termasuk dalam pengertian bank adalah lembaga-lembaga keuangan lainnya menurut pertimbangan Menteri Keuangan setelah mendengar pendapatan Bank Indonesia. Pasal 21. Cukup jelas. Pasal 22. Pengaturan-pengaturan lebih lanjut tentang bank asing akan ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri, dengan memperhatikan pasal 46 Undang-undang ini. Pasal 23. Ayat (1);
;
;
;
;
;
;
dan (9) : Cukup jelas. Pasal 24… Pasal 24. Ayat (1) : Yang dimaksud dengan jaminan dalam ayat (1) ini adalah jaminan dalam arti luas, yaitu jaminan yang bersifat materiil maupun yang bersifat immaterial. Dalam hubungan ini perlu kiranya dikemukakan, bahwa bank-bank dalam menilai suatu permintaan kredit biasanya berpedoman kepada faktor-faktor antara lain watak, kemampuan, modal, jaminan dan kondisi-kondisi ekonomi. Ayat (2) : Cukup jelas. Pasal 25. Ayat (1) : Cukup jelas. Ayat (2) : Bank umum pada azasnya tidak memberikan kredit jangka panjang dan tidak mengadakan penyertaan dalam perusahaan manapun juga. Sungguhpun demikian kita wajib pula memperhatikan perkembangan ekonomi pada waktu yang akan datang, yaitu kemungkinan bahwa pada suatu saat kredit jangka panjang dan penyertaan dari bank umum dalam kegiatan produksi memang diperlukan sebagaimana pula kita lihat dalam perkembangan negara-negara lain yang sudah maju. Oleh karena itulah maka dalam ayat ini masih dibuka kemungkinan untuk memberikan kredit jangka panjang dan mengadakan penyertaan yang tidak bersifat menetap dengan persetujuan Bank Indonesia. Pasal 26. Ayat (1) : Mengingat bahwa simpanan bank berasal dari penabung-penabung kecil dengan jumlah simpanan yang kecil pula,maka kebijaksanaan penanamannya terutama dilakukan dalam kertas-kertas berharga yang oleh bank dengan mudah dan tanpa risiko (atau dengan risiko yang kecil sekali) dapat diuangkan kembali, bilamana dibutuhkan. Ayat (2) : Apabila Bank Indonesia, setelah mendengar bank-bank tabungan yang bersangkutan menganggap perlu membuka kemungkinan bagi bank-bank tersebut untuk memberikan kredit maka pemberian kredit tersebut diatur oleh Bank Indonesia. Pasal 27. Agar bank tidak terlalu dibebani risiko yang besar mengenai penggunaan uang tabungan untuk pinjaman yang diberikan,maka jumlah kredit yang dapat diberikan dibatasi sampai pada suatu jumlah menurut perbandingan tertentu dengan seluruh simpanan. Pasal 28… Pasal 28. Ayat (1) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 29. Ayat (1) : Cukup jelas. Ayat (2) : Berbeda dengan keadaan pada waktu sekarang maka bank pembangunan berdasarkan Undang-undang ini diperkenankan menjalankan usaha-usaha bank umum seperti termaksud dalam ayat ini, dengan ketentuan bahwa bank tersebut hanya diperkenankan mempergunakan simpanan gironya untuk pemberian kredit jangka pendek. Dalam memberi kredit jangka pendek bank tidak boleh melupakan tujuannya sebagai bank pembangunan. Jumlah kredit yang diberikan dengan mempergunakan simpanan jangka pendek dibatasi sampai suatu jumlah menurut perbandingan dengan kewajibannya yang segera dapat ditagih. Besarnya perbandingan ini ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 30. Ayat (1). Sebagai suatu lembaga keuangan yang terutama bekerja dengan uang dari masyarakat yang dititipkan kepadanya atas dasar kepercayaan, maka bank wajib memelihara dan membina kepercayaan tersebut. Berhubung dengan itu direksi dan dewan pengawas/dewan komisaris yang diserahi pemimpin/ mengurus bank mempunyai tanggung jawab yang berat atas segala usaha yang dilakukan oleh banknya. Mereka tidak dapat begitu saja menyerahkan pengurusan bank kepada orang lain dan melepaskan segala tanggung jawab, sehingga pada hakekatnya direksi dan dewan pengawas/dewan komisaris tidak melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh para pemegang saham dan oleh Masyarakat. Kepada Bank Indonesia diberikan wewenang, untuk menetapkan kewajiban dari direksi dan dewan pengawas/dewan komisaris bank dan menetapkan pula sanksi- sanksinya. Ayat (2) : Sudah dijelaskan di atas. Pasal 31… Pasal 31. Ayat (1) : Dalam menjalankan kebijaksanaan moneter dan menjaga simpanan- simpanan masyarakat yang dipercayakan kepada bank-bank, maka Bank Indonesia untuk kepentingan likwiditas dan solvabilitas dapat mewajibkan bank-bank menurut bentuk Hukum bank itu masing-masing untuk memelihara suatu perbandingan tertentu antara alat-alat likwiditas yang dikuasainya dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya. Kewajiban bank untuk memelihara likwiditas sebagaimana dimaksud dalam pasal ini ialah yang secara umum dikenal dengan nama "cash ratio", "reserve requirement" atau "prosentase likwiditas" yang merupakan suatu alat kebijaksanaan di bidang moneter guna mempengaruhi kemampuan bank untuk memberikan kredit dari dana- dananya yang tersedia. Di samping itu dengan adanya kewajiban memelihara alat-alat likwiditas dimaksudkan juga untuk menjamin bahwa bank mempunyai dana-dana untuk memenuhi penarikan-penarikan yang dilakukan oleh para nasabahnya. Cash ratio tersebut ditetapkan berdasarkan suatu perbandingan tertentu antara alat- alat likwiditas yang dikuasai bank dan giro, deposito, tabungan serta kewajiban- kewajiban lainnya yang segera dapat ditagih. Kepada Bank Indonesia diberikan wewenang untuk menetapkan dan merubah cash ratio tersebut sesuai dengan kebijaksanaan Moneter yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (2) : Cukup jelas. Pasal 32. Ayat (l), (2), (3) dan (4) : Cukup jelas. Pasal 33. Cukup jelas. Pasal 34. Cukup jelas. Pasal 35. Maksud daripada ketentuan ini ialah agar supaya masyarakat mengetahui keadaan keuangan dan kegiatan usaha setiap bank dalam rangka membimbing dan mempertinggi kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank. Pasal 36… Pasal 36. Pasal 36 ini dan demikian pula pasal 37, mengatur persoalan rahasia bank. Yang dimaksudkan dengan rahasia bank ialah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan perlu dirahasiakan. Kerasahasiaan ini diperlukan untuk kepentingan bank sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat, yang menyimpan uangnya di bank. Orang hanya akan mempercayakan uangnya pada bank, apabila dari bank ada jaminan, bahwa pengetahuan bank tentang simpanan yang ada di bawah pengawasannya tidak akan disalah gunakan. Dengan adanya pasal tersebut diberi ketegasan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Walaupun demikian, untuk kepentingan umum dan negara dapat diadakan pengecualian terhadap ketentuan tersebut, tanpa mengurangi kepercayaan masyarakat, bahwa pengetahuan tentang simpanannya di bank akan disalah gunakan. Pasal 37. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini tidak mengurangi tugas dan kewajiban Bank Indonesia tentang pengawasan dan pembinaan perbankan dan kelaziman dunia perbankan dalam tukar-menukar informasi. Ayat (1) : Sudah selayaknya bahwa untuk keperluan penetapan pajak, bank wajib memberi keterangan pula kepada pejabat dari Jawatan Pajak dengan izin dari Menteri Keuangan, asal dicantumkan nama wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. Ayat (2) : Demikian pula sudah selayaknya apabila untuk keperluan peradilan, bank dapat diwajibkan memberi keterangan kepada Hakim/Jaksa dengan izin dari Menteri Keuangan dengan syarat-syarat tersebut dalam ketentuan ini. Pasal 38. Cukup jelas. Pasal 39. Ayat (1);
;
dan (4): Cukup jelas. Pasal 40. Ayat (1) dan (2) : Cukup jelas. Pasal 41. Ayat (1);
;
dan (4) : Cukup jelas. Pasal 42… Pasal 42. Ayat (1);
dan (3) : Cukup jelas. Pasal 43. Ayat (1) dan (2) dan : Cukup jelas. Pasal 44. Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan agar bank-bank yang telah didirikan dengan Undang-undang, yaitu antara lain Bank Pembangunan Indonesia dan Bank Pembangunan Swasta tetap menjalankan tugasnya sambil menunggu pengaturannya lebih lanjut berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini. Pasal 45. Mulai saat berlakunya Undang-undang ini tidak ada suatu bank yang ada di luar sistim perbankan yang dimaksud dalam Undang- undang ini. Disamping itu dalam pasal ini ditegaskan, bahwa tidak seorang atau badanpun diperkenankan mengadakan pengumpulan uang dari masyarakat ramai guna kemudian dipinjamkan lagi kepada fihak ketiga dengan memungut bunga jikalau tidak mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan atas dasar syarat-syarat sebagai ditetapkan dalam Undang-undang ini. Dalam ketentuan ini tidak termasuk Koperasi Kredit/simpan- pinjam yang telah diatur berdasarkan Undang-undang Koperasi yang berlaku. Pasal 46. Cukup jelas. Pasal 47. Cukup jelas. Pasal 48. Cukup jelas. Pasal 49. Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2842