Kebijakan Dasar Pembiayaan Ekspor Nasional
Relevan terhadap 4 lainnya
Aspek pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (l) merupakan Pelaku Ekspor yang meliputi:
usaha mikro, kecil, dan menengah;
usaha menengah berorientasi Ekspor;
koperasi; dan
pelaku usaha lainnya. Pasal 6 (1) PEN mendorong pengembangan usaha Pelaku Ekspor yang ada dan menghasilkan Pelaku Ekspor yang baru. (2) Prinsip mengenal nasabah diterapkan kepada Pelaku Ekspor yang akan menggunakan PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 7 (1) Usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a rnerupakan usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Usaha (2) Usaha menengah berorientasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah pelaku usaha yang memiliki penjualan tahunan lebih besar dari Rp5O.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) sampai dengan Rp500.0O0.OOO.OOO,0O (lima ratus miliar rupiah). (3) Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c merupakan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perkoperasian. (4) Pelaku usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d merupakan pelaku usaha yang memiliki penjualan tahunan lebih besar dari Rp50O.O00.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) selain koperasi. (5) Nilai nominal penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dan ayat (4) dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian. (6) Ketentuan mengenai perubahan nilai nominal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 8 PEN yang ditujukan kepada Pelaku Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, huruf b, dan huruf c dapat dilaksanakan melalui:
pembiayaan langsung;
pembiayaan inti plasma;
pembiayaan kepada Lembaga Jasa Keuangan yang memberikan pembiayaan kepada Pelaku Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, huruf b, dan huruf c;
pembiayaan xepada jaringan rantai suplai/pasok (supply chain financing) ; dan/atau
skema pembiayaan, penjaminan, dan asuransi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Pembiayaan Ekspor Nasional pada Aspek Produk Pasal 9 (1) Aspek produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berupa barang danlertzru jasa.
Produk (21 Produk berupa barang sebagaimana dirnaksud pada ayat (1) meliputi barang konsumsi dan barang produksi. (3) Produk berupa jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disuplai dengan cara:
pasokan lintas batas (cross border supplg);
konsumsi di luar negeri (consumption abroad);
keberadaan komersial (commercial presence); atau
perpindahan manusia /mouement of natural persons). Pasal 10 (1) PEN mendorong Ekspor produk industri prioritas dan industri potensial. (21 Kriteria produk industri prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Kriteria produk industri potensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan koordinasi dengan kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang industri. Paragraf 3 Pembiayaan Ekspor Nasional pada Aspek Pasar Pasal 1 1 (1) Aspek pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat berupa pasar tradisional dan pasar nontradisional. (2) Kriteria pasar tradisional dan pasar nontradisional ditentukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. Bagian Ketiga Pembiayaan Ekspor Nasional Dalam Rangka Menghemat Devisa Pasal 12 PEN dalam rangka menghemat devisa dilakukan melalui pembiayaan, penjaminan, dan asuransi serta kebijakan lain bagi industri dan penyedia ^jasa lrang menghasllkan bahan baku dan ^jasa yang scbelumnya ciiimpor. Ragian Bagian Keempat Pembiayaan Ekspor Nasional Dalam Rangka Meningkatkan Kapasitas Produksi Nasional Pasal 13 PEN dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi nasional dilakukan melalui pembiayaan, penjaminan. dan asuransi serta kebijakan lain dalam pengembangan industri pengolahan dan penyedia jasa di dalam negeri untuk menghasilkan barang dan/atau ^jasa berorientasi Ekspor. Bagian Kelima Pelaksanaan Arah Strategi Pembiayaan Ekspor Nasional Pasal 14 Dalam melaksanakan arah strategi PEN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
Menteri melakukan monitoring dan evaluasi serta dapat berkoordinasi dengan pemangku kepentingan;
LPEI melaksanakan langkah mitigasi risiko dan prinsip tata kelola yang baik.
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: Pembiayaan Ekspor Nasional yang selanjutnya disingkat PEN adalah fasilitas yang diberikan kepada badan usaha termasuk perorangan dalam rangka mendorong Ekspor nasional. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Rencana Jangka Panjang yang selanjutnya disingkat RJP adalah rencana strategis yang mencakup rumusan mengenai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai oleh LPEI dalam periode 5 (lima) tahun. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean Indonesia danlatau jasa dari wilayah Negara Republik Indonesia. Pelaku Ekspor adalah badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, termasuk perorangan yang melakukan Ekspor. Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga ^jasa keuangan lainnya. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Pasal 2 (1) Kebijakan dasar PEN bertujuan:
mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagr peningkatan Ekspor nasional;
mempercepat peningkatan Ekspor nasional; c memba.ntu pcningkalan kemampuan produksi nasional yang bcrciaya saing tinggi dan memiliki keunggulan untuk F)kspor; dan 5 6 I d. mendorong a. penerapan kombinasi strategi PEN pada aspek pelaku, aspek produk, dan aspek pasar;
pelaksanaan PEN untuk mendukung hilirisasi produk Ekspor, diversifikasi produk dan pasar Ekspor, serta meningkatkan volume dan nilai Ekspor; dan latau c. sinergi dengan pemangku kepentingan.
Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Jalan Tol
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah m1 dengan dalam Lembaran Negara Republik Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Fe bruari 2021 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 ttd. JOKOWIDODO MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 27 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG JALAN TOL I. UMUM Pembangunan Jalan Tol berperan dalam meningkatkan ekonomi lokal melalui peningkatan kepesertaan produk usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah pada ruang usaha tempat istirahat dan pelayanan Jalan Tol. Dalam rangka mengakomodasi penyediaan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah tersebut, tempat istirahat dan pelayanan Jalan Tol dapat dikembangkan dengan menambah fasilitas penunjang yang salah satunya berupa penambahan area promosi usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah yang dapat dihubungkan dengan akses terbatas ke luar Jalan Tol. Untuk memberikan kepastian dan kemudahan berusaha bagi pelaku usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah, Badan U saha harus mengalokasikan lahan paling sedikit 30 % (tiga puluh persen) dari total luas lahan area komersial untuk usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah, baik untuk Jalan Tol yang telah beroperasi maupun untuk Jalan Toi yang masih dalam tahap perencanaan dan konstruksi. Berdasarkan hal tersebut, perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. II. PASAL DEMI PASAL Pasall Angka 1
Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Nomor 19 Pengaturan Bersama
Relevan terhadap
atau entitas A dan entitas C, atau entitas B dan entitas C) juga tidak 2 dapat mengambil keputusan sendiri akibat ketentuan 80 persen 3 tersebut. Dengan demikian, tidak hanya salah satu pihak saja yang 4 memiliki pengendalian namun terdapat pengendalian bersama di 5 dalam perjanjian. 6 CI 15. Entitas Z merupakan entitas atau kendaraan terpisah dari entitas A, 7 B, dan C dengan badan hukum yang terpisah. Entitas A, B, dan C 8 mengakui hak atas aset neto entitas Z secara proporsional sebesar 9 persentase kepemilikan saham masing-masing dengan menggunakan 10 metode ekuitas. Dengan demikian, pengaturan tersebut adalah 11 ventura bersama ( joint venture ). Pada perolehan awal, entitas A 12 mengakui investasi pada ventura bersama sebesar Rp400 di neraca. 13 Pada akhir tahun pertama pengoperasian kawasan ekonomi khusus, 14 entitas A mengakui penambahan investasi pada ventura bersama dan 15 bagian laba ventura bersama sebesar Rp8 (40 persen x Rp20). 16 Contoh Ilustrasi 3 – Kerja sama operasional pengolahan limbah biomassa 17 menjadi energi listrik 18 CI 16. Entitas A adalah entitas Pemerintah yang memiliki tugas pengelolaan 19 sampah. Entitas A berkeinginan untuk memperoleh nilai tambah dari 20 sampah yang dikelola. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, entitas 21 A bekerja sama dengan entitas B, sebuah badan usaha swasta yang 22 bergerak pada bidang pengolahan biomassa menjadi energi listrik. 23 Kerja sama antara entitas A dan entitas B dituangkan dalam 24 perjanjian kerja sama dengan aktivitas utama untuk memproduksi 25 energi listrik dari input berupa biomassa. 26 CI 17. Perjanjian kerja sama antara entitas A dan entitas B mengatur hal 27 sebagai berikut: 28 (a) Entitas A beroperasi untuk mengumpulkan sampah dan memilah 29 sampah yang dikumpulkan yang memenuhi kriteria biomassa. 30 (b) Entitas A menyuplai biomassa ke dalam pembangkit biomassa 31 milik entitas B dengan menggunakan sampah yang diangkut dan 32 dipilah menggunakan peralatan dan mesin senilai Rp400. 33 (c) Entitas B mengoperasikan pembangkit hingga menghasilkan 34 energi listrik. 35 (d) Energi listrik yang dihasilkan dijual ke perusahaan listrik milik 36 negara dan beberapa pabrik. 37 (e) Hasil penjualan dibagi antara entitas A dan entitas B dengan 38 mekanisme bagi hasil penjualan ( revenue sharing ) dengan 39 persentase berturut-turut sebesar 20 persen dan 80 persen. 40 CI 18. Pada tahun pertama kerja sama diketahui bahwa entitas A 41 mengeluarkan biaya untuk menyuplai biomassa sebesar Rp600 yang 42 terdiri dari biaya pemilahan biomassa dari sampah yang diangkut dan 43 biaya pengangkutan. Entitas B mengeluarkan biaya untuk mengolah 44
Penyelenggaraan Rumah Susun
Relevan terhadap
Pasal 134 (1) Pelaku Pembangunan yang tidak melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenai sanksi adminstratif berupa:
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan ;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan izin usaha. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja;
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha selama 14 (empat belas) hari;
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebanyak 1 (satu) kali dengan ^jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja; Pelaku Pembangunan yang mengabaikan penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); Pelaku Pembangunan yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d wajib melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum paling lambat 1 (satu) tahun; dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d dan tidak melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum paling lambat 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada huruf e dikenai pencabutan izin usaha dan wajib menyelesaikan pembiayaan untuk melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum melalui kerja sama dengan Pelaku Pembangunan lain. Pasal 135 (1) Setiap Orang yang tidak memanfaatkan Sarusun sesuai dengan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dikenai sanksi adminstratif berupa:
peringatan tertulis;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan SHM Sarusun atau SKBG Sarusun. (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: d e f a. peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; Pemilik dan/atau Penghuni yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah); Pemilik dan/atau Penghuni yang mengabaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenai sanksi administratif berupa pencabutan SHM Sarusun atau SKBG Sarusun. Pasal 136 (1) Pihak yang melakukan perubahan fungsi Rumah Susun dengan tidak menjamin hak kepemilikan Sarusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan izin usaha. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka r,vaktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; b c b. pihak yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha selama 14 (empat belas) hari;
pihak yang mengabaikan pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebanyak 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja;
pihak yang mengabaikan penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
Pelaku Pembangunan yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d wajib mengganti hak kepemilikan Sarusun paling lambat 2 (dua) tahun; dan
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d dan tidak mengganti hak kepemilikan Sarusun paling lambat 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada huruf e dikenai pencabutan izin usaha dan wajib menyelesaikan pembiayaan untuk mengganti sejumlah Rumah Susun dan/atau memukimkan kembali Pemilik melalui kerja sama dengan Pelaku Pembangunan lain.
PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 137 (1) Pelaku Pembangunan Rumah Susun Komersial yang tidak menyediakan Rumah Susun Umum paling sedikit 2Ooh (dua puluh persen) dari total luas lantai Rumah Susun Komersial yang dibangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha;
penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan ;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan izin usaha. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja;
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha selama 14 (empat belas) hari;
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pembatasan kegiatan pembangunan dan/atau kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebanyak 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja; Pelaku Pembangunan yang mengabaikan perintah penghentian sementara pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); Pelaku Pembangunan yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d wajib menyediakan Rumah Susun Umum sesuai dengan perencanaan pembangunan; dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf d dan tidak menyediakan Rumah Susun Umum sebagaimana dimaksud pada huruf e dikenai pencabutan izin usaha dan wajib menyelesaikan pembiayaan untuk penyediaan Rumah Susun Umum melalui kerja sama dengan Pelaku Pembangunan lain. Pasal 138 (1) Pelaku Pembangunan yang tidak menyelesaikan pembangunan Rumah Susun secara bertahap dari mulai perencanaan sampai pada penyelesaian pembangunan Rumah Susun paling lama 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (21 dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
pengenaair denda administratif; dan
pencabut.an izin usaha. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: d e f. a peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); Pelaku Pembangunan yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b wajib menyelesaikan pembangunan Rumah Susun paling lambat 2 (dua) tahun; dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b dan tidak menyelesaikan pembangunan Rumah Susun paling lambat 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenai pencabutan izin usaha dan wajib menyelesaikan pembiayaan pembangunan Rumah Susun melalui kerja sama dengan Pelaku Pembangunan lain. b c d Pasal 139 (1) Pelaku Pembangunan yang tidak menyelesaikan status hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum atau Rumah Susun Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan izin usaha. (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); Pelaku Pembangunan yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b wajib menyelesaikan status hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum atau Rumah Susun Komersial; dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b dan tidak menyelesaikan status hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum atau Rumah Susun Komersial sebagaimana dimaksud pada huruf c dikenai pencabutan izin usaha. b c d Pasal 140 (1) Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik dan Rumah Susun Komersial milik yang tidak memisahkan Rumah Susun atas Sarusun, Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara disewa, yang tidak memisahkan Rumah Susun atas Sarusun, Bagian Bersama, dan Benda Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis; pengenaan denda administratif; dan pencabutan PBG. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja;
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.O00.0OO,00 (lima ratus juta rupiah); dan
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b dalam ^jangka waktu 7 (tujuh) hari dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PBG. Pasal 141 (1) Pelaku Pembangunan yang tidak menuangkan dalam bentuk gambar dan uraian pada saat membuat pemisahan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
pengenaan denda administratif; dan
pencabutan PBG. (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan . b C a PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf b dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PBG. b c Pasal 142 (1) Pelaku Pembangunan yang tidak memiliki permohonan sertilikat laik fungsi kepada bupati/wali kota, khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta kepada gubernur setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan Rumah Susun sepanjang tidak bertentangan dengan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis; dan
pembatasan kegiatan usaha. (21 Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan ^jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; dan Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha berupa tidak dapat melaksanakan serah terima Sarusun dan wajib mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi. Pasal 143 (1) Pelaku Pembangunan yang membangun Rumah Susun Umum milik dan Rumah Susun Komersial milik yang tidak mengelola Rumah Susun dalam masa transisi sebelum terbentuknya PPPSRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis; dan
pembatasan kegiatan usaha. (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud ^pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; dan
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha berupa tidak dapat melaksanakan Pemasaran dan ^jual beli Sarusun. Pasal 144 (1) Pemilik yang tidak membentuk PPPSRS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dikenai ^sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
penghentian sementara atau ^penghentian tetap pada pengelolaan Rumah Susun; dan
pengenaan denda administratif.
Tata cara . b (2) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja;
Pemilik yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan Rumah Susun;
Pemilik yang mengabaikan penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada huruf b dikenai sanksi administratif berupa denda administratif paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah); dan
Pemilik yang telah menyelesaikan denda administratif sebagaimana dimaksud pada huruf c wajib membentuk PPPSRS paling lambat 1 (satu) tahun. Pasal 145 (1) Pemilik yang tidak melakukan peningkatan kualitas terhadap Rumah Susun yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki dan/atau dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatan bangunan Rumah Susun dan/atau lingkungan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: peringatan tertulis; dan perintah pembongkaran bangunan Rumah Susun.
Tata cara .
Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: a peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; dan Pemilik yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai sanksi administratif berupa perintah pembongkaran bangunan Rumah Susun dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Pasal 146 (1) Pemrakarsa peningkatan kualitas Rumah Susun yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (21 Tata cara pengellaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu tiap peringatan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja; dan
Pelaku Pembangunan yang mengabaikan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, tidak dapat melaksanakan peningkatan kualitas.
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Penyelenggaraan Rumah Susun adalah kegiatan perencanaan, pembangurlan, penguasaan dan pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan, pengendalian, kelembagaan, penclanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang dilaksanakan secara sistematis, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung ^jawab. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara Iungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satrtan yang masing- rnasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, temtama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, da 'tanah bersama. Rumah Susun U um adalah Rumah Susurn yalig diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Rurnah Susun Khusus adalah Rurrlah Susun yang diselenggarakan untuk mernenuhi kebutuhan khusus. Rumah Susun Negara adalah Rumah Susun yang climiiiki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atarr hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri. Rumah Susrrn I(omersial adalah Rumah-Susun yang diselenggaral: a^r untuk mendapatkan keuntungan. Sl( No 0928 t4 A 7. Satuan 7. Satuan Rumah Susun ^yang selanjutnya ^disebut Sarusun adalah unit Rumah ^Susun yang ^tujuan utamanya digunakan secara terpisah ^dengan ^fungsi utama sebagai tempat hunian dan ^mempunyai sarana penghubung ke ^jalan umum. 8. Tanah Bersama adalah sebidang ^tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan ^yang digunakan ^atas ^dasar ^hak bersama secara tidak terpisah ^yang ^di ^atasnya ^berdiri Rumah Susun dan ditetapkan batasnya ^dalam persyaratan persetujuan bangunan ^gedung. 9. Bagian Bersama adalah ^bagian ^Rumah Susun ^yang dimiliki secara tidak terpisah untuk ^pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi ^dengan ^satuan- satuan Rumah Susun. 10. Benda Bersama adalah benda ^yang ^bukan ^merupakan bagian Rumah Susun melainkan ^bagian yang ^dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk ^pemakaian bersama. 11. Sertifikat Hak Milik Sarusun ^yang selanjutnya ^disebut SHM Sarusun adalah tanda ^bukti ^kepemilikan ^atas Sarusun di atas tanah hak milik, ^hak ^guna bangunan atau hak pakai di atas tanah ^negara, ^serta ^hak ^guna bangunan atau hak ^pakai di ^atas tanah ^hak pengelolaan. 12. Sertifikat Kepemilikan Bangunan ^Gedung ^Sarusun yang selanjutnya disebut SKBG Sarusun ^adalah tanda bukti kepemilikan atas Sarusun di ^atas barang ^milik negara/daerah berupa tanah atau ^tanah wakaf ^dengan cara sewa. 13. Nilai Perbandingan Proporsional ^yang ^selanjutnya disingkat NPP adalah angka ^yang ^menunjukkan perbandingan antara Sarusun terhadap ^hak ^atas Bagian Bersama, Benda Bersama, ^dan ^Tanah ^Bersama yang dihitung berdasarkan nilai Sarusun ^yang bersangkutan terhadap ^jumlah nilai ^Rumah ^Susun secara keseluruhan ^pada waktu ^pelaku pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunannya secara keseluruhan untuk menentukan harga ^jualnya A. Dana . . ^.
Ditna Konversi adalah dana yang ber,rpa dana kelola atau dana hibah yang diperoleh dari pelakrr pembangunan sebagai alternatif kervajiban pembangunan rumah sederhana bersubsidi dalam pembanguo&r1 p€rumahan dengan hunian berimbang yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan konversi. 15. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya Cisingkat IVIBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli schingga p.'rlu mendapat dukungan pemerintah untuk mernperoleh Sarusun umum. 16. Pelaku Pembangunan Rumah Susun yang selanjutnya disebut Pelaku Pembangunan adalah setiap orang dan/atau pemerlntah yr.ng melakukan pembangLlnan bidang perumahan da,, ka'uvasan permukirnan. 17. Setiap Orang adalah orang perseorangan atatr badan hukum. 18. Berdan Hrrkum adalah badan hukurn yang didirikan oteli ^tr',r.rga negara Indonesie ^.yang ,kegiatannya di bidang penyelenggaraan perurlahan dan kawasan permukiman. 19. Pemiiik adalah Setiap Orang yang memiliki Sarusun. 20. Penghuni aCalah orang yang menempati Sarusrrn, baik sebagai Pemilil< maLrprir, bukan Pemilik. 21. Pengelola adalah str adan Hukum yang bertugas untuk mengelola Rurqah Susun. 22. Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun yang selanjutnya'disingkat PPPSRS adalah Badan'Hukum yang beran3gotakan para Pemilik atau Penghuni. 2g. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankarr usaha dan/atau kegiatannva.
Percetujuarn 24. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah persetujuan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah luasan, fungsi dan klasifikasi bangunan gedung serta perubahan lainnya yang membutuhkan perencanaan teknis. 25. Pertelaan adalah pernyataan dalam bentuk gambar dan uraian yang dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan Rumah Susun yang disahkan oleh pemerintah daerah yang menunjukkan batas yang jelas dari setiap Sarusun, Bagian Bersama, Benda Bersama, dan Tanah Bersama beserta uraian NPP. 26. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 27. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 28. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.
Tata Cara Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Badan Usaha Milik Negara dalam rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional ...
Relevan terhadap
Kebijakan Penjaminan Program PEN berpedoman pada hasil rumusan dan ketetapan kebijakan dan strategi pelaksanaan Program PEN oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Menteri, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional dalam rangka mendukung kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan serta penyelamatan ekonomi nasional.
Berdasarkan permohonan Penjaminan Pemerintah atas Obligasi/Sukuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan melakukan evaluasi atas permohonan penjaminan.
Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan dapat melakukan evaluasi atas permohonan Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bersama dengan Badan Usaha Penjaminan.
Dalam melakukan evaluasi bersama dengan Badan Usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan dapat meminta pula konfirmasi kapasitas penjaminan Badan Usaha Penjaminan.
Evaluasi dimulai sejak permohonan Penjaminan Pemerintah atas Obligasi/Sukuk dan seluruh lampiran yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) telah diterima secara lengkap dan benar oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
Dalam hal permohonan Penjaminan Pemerintah atas Obligasi/Sukuk telah diterima namun dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) tidak tersedia lengkap dan benar, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara menyampaikan pemberitahuan kepada Pemohon Jaminan dan meminta Pemohon Jaminan untuk melengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permohonan penjaminan atas Obligasi/Sukuk.
Pemohon Jaminan menyampaikan kelengkapan persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak pemberitahuan permintaan kelengkapan persyaratan dimaksud diterima oleh Pemohon Jaminan.
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
memeriksa kelengkapan dokumen yang tersedia dalam permohonan Penjaminan Pemerintah atas Obligasi/Sukuk;
memeriksa informasi terkait kemampuan Pemohon Jaminan untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang Obligasi/Sukuk dan indikasi kisaran kupon/imbalan Obligasi/Sukuk yang diterbitkan oleh Pemohon Jaminan; dan
melakukan verifikasi terhadap ketentuan dan persyaratan di dalam rancangan final perjanjian perwaliamanatan atau dokumen yang dipersamakan.
Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan mempertimbangkan Batas Maksimal Penjaminan.
Dalam rangka pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dapat meminta keterangan atau penjelasan dari Pemohon Jaminan.
Dalam pelaksanaan evaluasi, Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara dan Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan menggunakan tingkat bunga surat berharga negara sebagai pembanding untuk menilai tingkat kewajaran ketentuan ketentuan dan persyaratan Obligasi/Sukuk yang dijamin.
Hasil pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dituangkan dalam berita acara evaluasi dan dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
Dalam hal permohonan Penjaminan Pemerintah atas Obligasi/Sukuk tidak dilengkapi dan disampaikan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, permohonan Penjaminan Pemerintah atas Obligasi/Sukuk dianggap tidak pernah diajukan.
Badan Usaha Penjaminan menyampaikan laporan triwulanan dan tahunan atas pelaksanaan penugasan penjaminan kepada Menteri ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
informasi umum:
perkembangan kegiatan penjaminan;
strategi; dan
kebijakan terkait penugasan penjaminan;
capaian target;
informasi keuangan;
profil risiko dan mitigasi risiko; dan
informasi lain yang dianggap penting.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat:
30 (tiga puluh) hari kalender setelah periode pelaporan dimaksud berakhir, untuk laporan triwulan; dan
pada akhir triwulan pertama setelah periode pelaporan dimaksud berakhir, untuk laporan tahunan.
Kewenangan Khusus Otorita Ibu Kota Nusantara
Relevan terhadap
Cukup ^jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6876 LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2023 TENTANG KEWENANGAN KHUSUS OTORITA IBU KOTA NUSANTARA KEUIENANGAN KIIUSUS OTORITA IBU KOTA NUSANTARA A. BIDANG PENDIDIKAN 1 Manajemen Pendidikan a. Pengelolaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus, dan pendidikan nonformal. b. Fasilitasi pendidikan tinggi. 2 Kurikulum Penetapan kurikulum muatan lokal pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus, dan pendidikan nonformal. 3 Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan. 4 Penzinan Pendidikan Perizinan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan khusus, dan pendidikan nonformal serta program studi di luar kampus utama perguruan tinggi Indonesia dan perguruan tinggi asing peringkat 100 (seratus) terbaik dunia. 5 Bahasa dan Sastra Pembinaan bahasa dan sastra yang penuturnya dalam wilayah Ibu Kota Nusantara B. BIDANG KESEHATAN 1 Upaya Kesehatan a. Pengelolaan upaya kesehatan perseor€rngan (UKP) rujukan secara terintegrasi. b. Pengelolaan upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan rujukan secara terintegrasi. c. Penyelenggaraan standardisasi khusus fasilitas pelayanan kesehatan publik dan swasta. d. Penerbitan perizinan berusaha untuk fasilitas pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit kelas A, B, C, dan D serta penanaman modal asing (PMA). 2 Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan termasuk Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing a. Perencanaan dan pengembangan tenaga kesehatan dan tenaga pendukung/penunjang kesehatan untuk UKM dan UKP. b. Penyelenggaraan skema penghargaan dan pemberian insentif bagi tenaga kesehatan dan tenaga pendukung/penunjang kesehatan untuk UKM dan UKP. c. Penempatan dan pendayagunaan tenaga kesehatan dan tenaga pendukung/ penunj ang kesehatan. d. Penerbitan izin praktik tenaga kesehatan.
Sediaan Farmasi, Alat, Kesehatan, dan Makanan Minuman a. Pengawasan dan pemantauan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan. b. Pengawasan post-markef produk makanan minuman industri rumah tangga dan pangan olahan siap saji. c. Penyediaan obat pelayanan kesehatan dasar. d. Penerbitan perizinan berusaha usaha kecil obat tradisional (UKOT). e. Penerbitan perizinan berrrsaha apotek, toko obat, dan toko alat kesehatan. f. Penerbitan pedzinan berusaha usaha mikro obat tradisional (UMOT). g. Penerbitan perizinan berusaha produksi makanan dan minuman pada industri rumah tangga.
Penerbitan izin pedagang besar farmasi (PBF) cabang dan cabang distributor alat kesehatan (DAK). i. Penerbitan sertifikat produksi alat kesehatan dan alat kesehatan diagnostic in uitro (DIY) kelas A/ 1 (satu) tertentu serta perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) kelas 1 (satu) tertentu perusahaan rumah tangga.
Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat Bidang Pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi dengan pendekatan edukatif partisipatif dengan memperhatikan potensi dan sosial budaya setempat. C. BIDANG PEKER.IAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG 1 Perencanaan Tata Ruang Men5rusun dan menetapkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Ibu Kota Nusantara. 2 Pemanfaatan Ruang Penzinan terkait penataan ruang yang meliputi:
Persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan rurang (PKKPR) untuk kegiatan berusaha;
Konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKKPR) untuk kegiatan nonberusaha; dan
Persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (PKKPR) untuk kegiatan nonberusaha.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang. 4 Pengawasan Penataan Ruang Pelaksanaan pengawasan penataan ruzrng.
Air Minum a. Penetapan pengembangan sistem penyediaan air minum (SPAM). b. Pengelolaan dan pengembangan SPAM.
Persampahan a. Penetapan pengembangan sistem pengelolaan persampahan. b. Pengelolaan dan pengembangan sistem pengelolaarl pers€rmpahan. 7 Air Limbah a. Penetapan pengembangan sistem pengelolaan air limbah domestik. b. Pengelolaan dan pengembangan sistem pengelolaan air limbah domestik. 8 Drainase a. Penetapan pengembangan sistem drainase. b. Pengelolaan dan pengembangan sistem drainase. 9 Infrastruktur Hijau Kota Spons a. Pengembangan kota spons. b. Pengelolaan dan pengembangan infrastruktur konservasi air kota spons. c. Penetapan dan penegakan peraturan kota spons. 10 Permukiman a. Penetapan sistem pengembangan infrastruktur permukiman. b. Penyelenggaraan infrastruktur pada permukiman.
Bangunan Gedung a. Penetapan bangunan gedung untuk kepentingan strategis nasional. b. Penyelenggaraan bangunan gedung untuk kepentingan strategis nasional dan penyelenggaraan bangunan gedung fungsi khusus. c. Penerbitan persetujuan bangunan gedung (PBG) dan sertifikat laik fungsi bangunan gedung. t2. Penataan Bangunan dan Lingkungannya a. Penetapan pengembangan sistem penataan bangunan dan lingkungannya. b. Penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungannya.
Jalan a. Pengembangan sistem jaringan jalan. b. Penyelenggaraan jalan. l4 Jasa Konstruksi a. Penyelenggaraan pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan, tenaga ahli konstruksi, dan tenaga terampil konstruksi. b. Pengembangan dan penyelenggaraan sistem informasi jasa konstruksi cakupan. c. Pengawasan tertib usaha, tertib penyelenggaraan, dan tertib pemanfaatan jasa konstruksi. d. Pengembangan standar kompetensi kerja dan pelatihan jasa konstruksi. e. Pengembangan kontrak kerja konstrr.rksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara pengguna jasa dan penyedia jasa konstruksi. f. Pengemb€rngan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi. g. Penyelenggaraan pengawasan penerapan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan jasa konstruksi oleh badan usaha jasa konstruksi. h. Pengembangan standar material dan peralatan konstruksi, serta inovasi teknologi konstruksi.
Irigasi Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi sebagai satu kesatuan sistem pada daerah irigasi. D. BIDANG PERUMAIIAN DAN I(AWASAN PERIUUKIMAN 1 Perumahan a. Pengembangan sistem penyelengg€rraan perumahan secara terpadu. b. Penyediaan perumahan bagi Aparatur Sipil Negara, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia. c. Fasilitasi dan/atau penyediaan pemmahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). d. Fasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat yang terkena relokasi sebagai dampak kebijakan pemerintah. e. Penyediaan dan rehabilitasi perumahan korban bencana. f. Pengembangan sistem pembiayaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. g. Penerbitan sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG).
Perizinan terkait pembangunan dan pengembangan perumahan. i. Penetapan pelaksanaan pemenuhan kewajiban hunian berimbang sesuai prioritas pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di wilayah Ibu Kota Nusantara. 2 Kawasan Permukiman dan Kawasan Permukiman Kumuh a. Penetapan sistem kawasan permukiman. b. Penataan dan peningkatan kualitas kawasan pennukiman kumuh. c. Pencegahan perumahan dan kawasan permukiman kumuh. d. Perizinan terkait pembangunan dan pengembangan kawasan permukiman. 3 Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU) Penetapan kebijakan dan penyelenggaraan prasarana sarana umum di lingkungan hunian, kawasan permukiman, dan perumahan. E. BIDANG KETENTERAMAN DAN KETERTIBAN UMUM SERTA PERLINDUNGAN MASYARAKAT 1 Ketenteraman dan Ketertiban Umum a. Penegakan produk hukum Otorita Ibu Kota Nusantara. b. Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ibu Kota Nusantara. c. Penanganan gangguan ketenteraman dan ketertiban umum. 2 Bencana a. Penyelenggaraan penanggulangan bencana. b. Penyelenggaraan pencegahan, tanggap darurat, dan pascabencana alam dan nonalam.
Kebakaran a. Standardisasi sarana dan prasarana pemadam kebakaran. b. Standardisasi kompetensi dan sertifikasi pemadam kebakaran. c. Penyelenggaraan sistem informasi kebakaran. d. Penyelenggaraan pemetaan rawan kebakaran. e. Pencegahan, pengendalian, pemadaman, penyelamatan, dan penanganan bahan berbahaya dan beracun kebakaran. f. Inspeksi peralatan proteksi kebakaran. g. Investigasi kejadian kebakaran. h. Pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan kebakaran. F. BIDANG SOSIAL 1 Pemberd ayaar: Sosial a. Penetapan lokasi dan pemberdayaan sosial komunitas adat terpencil (KAT). b. Pembinaan sumber kesejahteraan sosial. c. Pembinaan lembaga konsultasi kesejahteraan keluarga (LK3). d. Pengembangan potensi sumber kesejahteraan sosial. e. Penerbitan izin pengumpulan sumbangan. 2 Penanganan Warga Negara Migran Korban Tindak Kekerasan Penanganan warga negara migran korban tindak kekerasan dari titik debarkasi untuk dipulangkan hingga daerah asal. 3 Rehabilitasi Sosial Rehabilitasi sosial bukan/tidak termasuk bekas korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA), orzrng dengan Human Immunodeficiencg Vints / Acquire d Immuno Deficiencg Sg ndrome y ar: g memerlukan rehabilitasi pada panti dan tidak memerlukan rehabilitasi pada panti, dan rehabilitasi anak yang berhadapan dengan hukum. 4 Perlindungan dan Jaminan Sosial a. Pengelolaan data fakir miskin. b. Pemeliharaan anak-anak telantar. c. Penerbitan izin orang tua angkat untuk pengangkatan anak antar warga negara Indonesia dan pengangkatan anak oleh orang tua tunggal warga negara Indonesia. 5 Penanganan Bencana a. Penyediaan kebutuhan dasar dan pemulihan trauma bagi korban bencana. b. Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat terhadap kesiapsiagaan bencana. c. Penyelenggaraan penanganan bencana berdasarkan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara, dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara. 6 Taman Makam Pahlawan Pembangunan dan pemeliharaan taman makam pahlawan nasional. 7 Penanganan Konflik Sosial Penanganan konflik sosial yang meliputi:
pencegahan konflik;
penghentian konflik; dan
pemulihan pascakonflik. G. BIDANG TENAGA KER.IA 1 Perencanaan Tenaga Kerja (Manpower Ptanning) dan Penyediaan Layanan Informasi Pasar Kerja a. Pen5rusunan perencanaan tenaga kerja (manpower planning). b. Penyediaan informasi ketenagakerjaan meliputi penduduk dan tenaga kerja, kesempatan kerja, pelatihan kerja termasuk kompetensi keda, produktivitas tenaga kerja, hubungan industrial, kondisi lingkungan kerja, pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja, jaminan sosial tenaga kerja. 2 Pelatihan Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja a. Pelaksanaan pelatihan untuk kejuruan yang bersifat strategis. b. Pelaksanaan pelatihan kerja. c. Pelaksanaan akreditasi lembaga pelatihan kerja. d. Konsultansi peningkatan produktivitas tenaga kerja pada perusahaan menengah dan kecil. e. Pembinaan lembaga pelatihan kerja swasta. f. Pengukuran produktivitas tenaga keda dan perusahaan. g. Penyediaan instruktur dan tenaga pelatihan yang kompeten serta sarana dan prasarana pelatihan. 3 Penempatan Tenaga Kerja a. Pelayanan antarkerja. b. Pengelolaan informasi pasar kerja. c. Pelindungan pekerja migran Indonesia sebelum bekerja dan setelah bekerja. d. Pelaksanaan perluasan kesempatan kerja. e. Pengesahan rencana penggunaan tenaga kerl'a asing melalui dashboard khusus pada sistem online pelayanan penggunaan tenaga kerja asing. f. Penetapan jangka waktu tertentu untuk pembebasan dari kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing. 4 Hubungan Industrial a. Pengesahan peraturan perusahaan dan pendaftaran perjanjian kerja bersama untuk perusahaan yang hanya beroperasi di wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra. b. Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perrrsahaan yang berakibat/berdampak pada kepentingan di Ibu Kota Nusantara. c. Penetapan upah minimum. d. Pencatatan perjanjian kerja untuk perusahaan yang beroperasi di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra.
Pencatatan serikat pekerja/serikat buruh yang berdomisili di wilayah Ibu Kota Nusantara.
Pengawasan Ketenagakerj aan Penyelenggaraan pen gawasan ke tenagakerj aan. H. BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PELINDUNGAN ANAK 1 Kualitas Hidup Perempuan a. Pelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) pada lembaga pemerintah. b. Pemberdayaan perempuan bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi pada organisasi kemasyarakatan. c. Standardisasi lembaga penyedia layanan pemberdayaan perempuan. d. Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan pemberdayaan perempuan.
Perlindungan Perempuan a. Pencegahan kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan para pihak. b. Penyediaan layanan rujukan lanjutan bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi. c. Standardisasi lembaga penyedia layanan perlindungan perempuan. d. Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan perlindungan perempuan.
Kualitas Keluarga a. Peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan kesetaraan gender (KG) dan hak anak. b. Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan KG dan hak anak. c. Standardisasi lembaga penyediaan layanan peningkatan kualitas keluarga dalam mewujudkan KG dan hak anak. d. Penyediaan layanan bagi keluarga dalam mewujudkan KG dan hak anak. 4 Sistem Data Gender dan Anak Pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data gender dan anak dalam kelembagaan data.
Pemenuhan Hak Anak (PHA) a. Pelembagaan PHA pada lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan dunia usaha. b. Standardisasi lembaga penyediaan layanan peningkatan kualitas hidup anak. c. Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan peningkatan kualitas hidup anak.
Perlindungan Khusus Anak a. Pencegahan kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya terhadap anak yang melibatkan para pihak. b. Penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus yang memerlukan koordinasi. c. Standardisasi lembaga penyediaan layanan bagi anak yang memerlukan perlindunga.n khusus. d. Penguatan dan pengembangan lembaga penyedia layanan bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus. I. BIDANG PANGAN 1 Penyelenggaraan Pangan Berdasarkan Kedaulatan dan Kemandirian a. Pen5rusunan strategi kedaulatan pangan di Ibu Kota Nusantara. b. Penyediaan infrastruktur dan seluruh pendukung kemandirian pangan pada berbagai sektor. 2 Penyelenggaraan Ketahanan Pangan a. Penyediaan dan penyaluran pangan pokok dan/atau pangan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam rangka stabilisasi pasokan dan harga pangan. b. Pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan dan menjaga keseimbangan cadangan pangan. c. Penentuan harga minimum untuk pangan lokal yang tidak ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. d. Promosi dan edukasi penganekaraganlran konsumsi pangan dalam pencapaian target konsumsi pangan per kapita/tahun sesuai dengan angka kecukupan gizi. e. Pelaksanaan pencapaian target konsumsi pangan per kapita/tahun sesuai dengan angka kecukupan gizi. f. Pelaksanaan kerl'a sama dengan Daerah Mitra untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan. 3 Penanganan Kerawanan Pangan a. Penetapan kriteria dan status krisis pangan. b. Penyusunan peta ketahanan dan kerentanan pangan. c. Pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran cadangan pangan pada kerawanan pangan. d. Penanganan kerawanan pangan. e. Fasilitasi pengembangan cadangan pangErn masyarakat. 4 Keamanan Pangan a. Pelaksanaan pengawasan keamanan panga.n segar. b. Registrasi pangan segar produksi dalam negeri dari pelaku usaha menengah dan besar, baik dengan klaim maupun tidak, serta pelaku usaha mikro dan kecil. c. Pembinaan keamanan pangan bagi pelaku usaha kecil pangan seg€rr. J. BIDANG PERTANAIIAN 1 Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum a. Pelaksanaan tahap perencanaan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. b. Pelaksanaan tahap persiapan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. 2 Perencanaan Penggunaan Tanah Penetapan perencanaan penggunaan tanah. 3 Penatagunaan Tanah (Land Use Planning) a. Pelaksanaan pendataan tata guna tanah. b. Pembuatan sistem informasi tata guna tanah. c. Penetapan kebijakan pengawasan, pemantauan, dan pengendalian neraca persediaan, peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. d. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penatagunaan tanah. e. Penerbitan surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT). 4 Ganti Kerrrgian dan Santunan Tanah untuk Pembangunan Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan. 5 Sengketa Tanah Garapan Penyelesaian sengketa tanah garapan. 6 Izin Membuka Tanah Penerbitan izin membuka tanah. 7 Tanah Kosong a. Penyelesaian masalah tanah kosong. b. Inventarisasi dan pemanfaatan tanah kosong. 8 Pemanfaatan Tanah di atas Tanah Hak Pengelolaan a. Pen5rusunan rencana peramtukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara serta Perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. b. Penggunaan dan pemanfaatan seluruh atau sebagian tanah hak pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak lain. c. Melakukan perjanjian pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan. d. Kewenangan lainnya terkait pemanfaatan tanah di atas tanah hak pengelolaan. 9 Penetapan Tarif Pemanfaatan Hak Pengelolaan Penetapan tarif dan latau uang wajib tahunan pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan. K. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1 Pelindungan dan Lingkungan Hidup Pengelolaan Pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk:
penetapan kawasan hijau yang mendukung keseimbangan lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati;
penerapan energi terbarukan dan efisiensi energi;
pengelolaan wilayah fungsional perkotaan yang berorientasi pada lingkungan hidup; dan
penerapan pengolahan sampah dan limbah dengan prinsip ekonomi sirkuler. 2 Perencanaan Lingkungan Hidup Pen5rusunan dan penetapan rencana pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH). 3 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pen5rusunan dan penjaminan kualitas KLHS untuk kebijakan, rencana, dan/atau program Ibu Kota Nusantara. 4 Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup Pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran danfatau kerusakan lingkungan hidup. 5 Keanekaragaman Hayati (Kehati) Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (Kehati) 6. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah E}3) a. Pengelolaan 83. b. Pengelolaan Limbah 83. 7 Pembinaan dan Pengawasan terhadap lzin Lingkungan dart lzin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) a. Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang persetujuan lingkungan dan izin PPLH yang diterbitkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. b. Perizinan terkait lingkungan hidup dan PPLH. 8 Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA), Kearifan Lokal dan Hak MHA yang terkait dengan PPLH a. Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal, atau pengetahuan tradisional yang terkait dengan PPLH. b. Peningkatan kapasitas MHA yang terkait dengan PPLH. 9 Pendidikan, Pelatihan, dan Pen5ruluhan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan pen5ruluhan lingkungan hidup untuk lembaga kemasyarakatan.
Penghargaan Lingkungan Hidup untuk Masyarakat Pemberian penghargaan lingkungan hidup untuk masyarakat.
Pengaduan Lingkungzrn Hidup Penyelesaian pengaduan masyarakat di bidang PPLH terhadap:
usaha dan/atau kegiatan yang persetujuan lingkungan dan/atau izin PPLH yang diterbitkan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara; dan
usaha dan/atau kegiatan yang lokasi dan/atau dampaknya di wilayah Ibu Kota Nusantara. t2. Persampahan a. Perizinan insinerator pengolah sampah menjadi energi listrik. b. Pengelolaan dan penanganan sampah. c. Perizinan terkait pengolahan sampah, pengangkutan sampah, dan pemrosesan akhir sampah yang diselenggarakan oleh swasta. d. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan sampah oleh pihak swasta. e. Penetapan, pembinaan, dan pengawasan tanggung ^jawab produsen dalam pengurangan sampah. L. BIDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUI(AN DAN PENCATATAN SIPIL 1 Pendaftaran Penduduk Pelayanan pendaftaran penduduk. 2 Pencatatan Sipil Pelayanan pencatatan sipil. 3 Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Pengumpulan data kependudukan dan pemanfaatan dan penyajian database kependudukan. 4 Profil Kependudukan Pen5rusunan profil kependudukan. M. BIDANG PENGENDALIAN PENDUDUK DAN KELUARGA BERENCANA 1 Pengendalian Penduduk a. Pemaduan dan sinkronisasi kebdakan pengendalian kuantitas penduduk. b. Pemetaan perkiraan pengendalian penduduk. 2 Keluarga Berencana (KB) a. Pengembangan desain program, pengelolaan dan pelaksanaan advokasi dan komunikasi, informasi, dan edukasi pengendalian penduduk dan KB sesuai dengan kearifan lokal. b. Pendayagunaan tenaga penyuluh KB/petugas lapangan KB (PKB/PLKB). c. Pengendalian dan pendistribusian kebutuhan alat dan obat kontrasepsi serta pelaksanaan pelayanan KB. d. Pemberdayaan dan peningkatan peran serta organisasi kemasyarakatan dalam pengelolaan, pelayanan, dan pembinaan kesertaan ber-KB. 3 Keluarga Sejahtera a. Pengelolaan desain program dan pelaksanaan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. b. Pemberdayaan peran serta organisasi kemasyarakatan dalam pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga. c. Pelaksanaan pembangunan keluarga melalui pembinaan ketahanan dan keseiahteraan keluarga. N. BIDANG PERHUBUNGAN 1 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) a. Penetapan rencana induk jaringan LLAJ. b. Penyediaan perlengkapan jalan. c. Pengelolaan terminal penumpang tipe A, B, dan C. d. Penyelenggaraan terminal barang untuk umum. e. Pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas untuk jaringan jalan. f. Persetujuan hasil analisis dampak lalu lintas untuk jalan. g. Audit dan inspeksi keselamatan LLAJ di jalan yang berlokasi di Ibu Kota Nusantara. h. Penyediaan angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang. i. Penetapan kawasan perkotaan untuk pelayanan angkutan perkotaan. j. Penetapan rencana umum jaringan trayek. k. Penetapan tarif kelas ekonomi untuk angkutan orang yang melayani trayek. 1. Pengujian berkala kendaraan bermotor. m. Penerbitan izin penyelenggaraan dan pembangunan fasilitas parkir. n. Penerbitan izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek, angkutan pariwisata, dan angkutan barang khusus. o. Persetujuan penyelenggaraan terminal barang untuk kepentingan sendiri. 2 Pelayaran a. Penetapan lintas penyeberangan dan persetujuan pengoperasian kapal antardaerah yang terletak pada jaringan jalan Ibu Kota Nusantara dan/atau jaringan jalur kereta api. b. Penetapan lintas penyeberangan dan persetujuan pengoperasian untuk kapal yang melayani penyeberangan lintas pelabuhan antardaerah. c. Penetapan tarif angkutan penyeberangan penumpang kelas ekonomi dan kendaraan beserta muatannya pada lintas penyeberangan antardaerah di Ibu Kota Nusantara. d. Penetapan lokasi pelabuhan. e. Penetapan rencana induk dan daerah lingkungan kerja (DlKr)/daerah lingkungan kepentingan (DLKp) pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan pelabuhan pengumpan. f. Penetapan rencana induk dan DKLr IDKLp pelabuhan sungai dan danau regional. g. Pembangunan, penerbitan izin pembangunan dan pengoperasian pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul dan/atau pelabuhan pengumpan. h. Pembangunan dan penerbitan izin pelabuhan sungai dan danau yang melayani trayek. i. Penerbitan izin usaha angkutan laut bagi badan usaha yang berdomisili di Ibu Kota Nusantara dan beroperasi pada lintas pelabuhan.
Penerbitan izin usaha angkutan laut pelayaran ralryat bagi orang perorangan atau badan usaha yang berdomisili di Ibu Kota Nusantara dan yang beroperasi pada lintas pelabuhan. k. Penerbitan izin trayek penyelenggaraan angkutan sungai dan danau untuk kapal yang melayani trayek dalam wilayah Ibu Kota Nusantara. l. Penerbitanizinusahajasa terkait berupa bongkar muat barang, jasa pengukuran transportasi, angkutan, perairan pelabuhan, penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut, tally mandiri, dan depo peti kemas. m. Penerbitan izin usaha badan usaha pelabuhan di pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, danf atau pelabuhan pengumpan. n. Penerbitan izin pengembangan pelabuhan untuk pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan/atau pelabuhan pengumpan. o. Penerbitan izin pekerjaan pengukuran di wilayah perairan pelabuhan untuk pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan pelabuhan pengumpan. p. Penerbitan izin pengoperasian pelabuhan selama 24 jam untuk semua pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan/atau pelabuhan pengumpan. q. Penerbitan izin pekerjaan pengerrrkan di wilayah perairan pelabuhan utama, pelabuhan penzumpul, dan/atau pelabuhan pengumpan.
Penerbitan izin pekerjaan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan/atau pelabuhan pengumpan. s. Penerbitan izin pengelolaan terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS) di dalam DLKr/DLKp pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan/atau pelabuhan pengumpan. t. Penerbitan izin usaha penyelenggaraan angkutan sungai dan danau sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha. u. Penerbitan izin usaha penyelenggaraan angkutan penyeberangan sesuai dengan domisili badan usaha. v. Penerbitan izin usaha penyelenggaraan angkutan sungai dan danau sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha. w. Penerbitan izin usaha jasa terkait dengan perawatan dan perbaikan kapal. x. Penerbitan izin usaha angkutan laut bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah Ibu Kota Nusantara dan beroperasi pada lintas pelabuhan antardaerah dalam wilayah Ibu Kota Nusantara. 3 Penerbangan a. Pengelolaan tempat pendaratan dan lepas landas helikopter. b. Pengendalian daerah lingkungan kepentingan pada bandar udara. c. Menjamin tersedianya aksesibilitas dan utilitas untuk menunjang pelayanan pada bandar udara. 4 Perkeretaapian a. Penetapan rencana induk perkeretaapian. b. Penetapan ^jaringan jalur kereta api. c. Penetapan kelas stasiun pada jaringan jalur kereta api. d. Penetapan jaringan pelayanan perkeretaapian pada jaringan jalur perkeretaapian. e. Penerbitan izin operasi sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintas di wilayah Ibu Kota Nusantara. f. Penerbitan izin usaha, izin pembangunan, dan izin operasi prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintas dalam wilayah Ibu Kota Nusantara. g. Penerbitan izin pengadaan atau pembangunan perkeretaapian khusus, izin operasi, dan penetapan jalur kereta api khusus yang jaringannya di dalam Ibu Kota Nusantara. h. Penerbitan izin trase kereta api. O. BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORIIIATIKA 1 Penyelenggaraan, Sumber Daya, dan Perangkat Pos, serta Informatika a. Penyediaan danf atau pengelolaan infrastruktur pasif telekomunikasi (gorong- gorongl duct, menara, tiang, lubang kabel/ manhole, dan/atau infrastruktur lainnya) yang dapat digunakan .secara bersama oleh penyelenggara telekomunikasi dan/atau penyelenggara penyiaran. b. Pemberian fasilitasi dan latau kemudahan kepada penyelenggara telekomunikasi untuk melakukan pembangunan dan/atau penyediaan infrastruktur telekomunikasi. c. Penyediaan dan penggunaan infrastruktur pos (smart locker, autonomous uehicle, drone, dan infrastruktur lainnya) yang dapat digunakan secara bersama oleh penyelenggara pos komersial.
Informasi dan Komunikasi Publik Pengelolaan konten dan diseminasi informasi dan komunikasi publik di lingkup Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Aplikasi Informatika a. Pengelolaan aplikasi informatika dalam rangka mewujudkan smart city dan smart gouerrlance Ibu Kota Nusantara dengan memanfaatkan Nert Generation Network (NGN) dan berbasis Internet of Things (IoT). b. Pengelolaan e-qouentment.
Pengelolaan narna domain yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan subdomain di lingkup Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. P. BIDANG KOPERASI, USAHA KECIL, DAN MENENGAII 1 Izin Usaha Simpan Pinjam a. Penerbitan izin usaha simpan pinjam untuk koperasi. b. Penerbitan izin pernbukaan kantor cabang, cabang pembantu, dan kantor kas koperasi simpan pinjam untuk koperasi dengan wilayah keanggotaan di Ibu Kota Nusantara. 2 Pengawasan dan Pemeriksaan a. Pemeriksaan dan pengawasan koperasi yang wilayah keanggotaannya di Ibu Kota Nusantara. b. Pemeriksaan dan pengawasan koperasi simpan pinjam/unit simpan pinjam koperasi yang wilayah keanggotaannya di Ibu Kota Nusantara. 3 Penilaian Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam (KSP)/Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi Penilaian kesehatan KSP/USP koperasi yang wilayah keanggotaannya di Ibu Kota Nusantara. 4 Pendidikan dan Latihan Perkoperasian Pendidikan dan latihan perkoperasian bagi koperasi yang wilayah keanggotaannya di Ibu Kota Nusantara. 5 Pemberdayaan dan Perlindungan Koperasi Pemberdayaan dan pelindungan koperasi yang keanggotaannya di Ibu Kota Nusantara.
Pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah (UMKM) Pemberdayaan usaha mikro dan usaha kecil melalui pendataan, kemitraan, kemudahan perizinan, penguatan kelembagaan, dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan. 7 Pengembangan UMKM Pengembangan usaha mikro dan usaha kecil dengan orientasi peningkatan skala usaha menjadi usaha kecil dan menengah. A. BIDANG PENANAI}IAN MODAL 1 Pengembangan Iklim Penanaman Modal a. Penetapan pemberian fasilitas/insentif di bidang penanzunan modal secara berdampingan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi. b. Pembuatan peta potensi investasi Ibu Kota Nusantara secara berdampingan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi. c. Kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pemberian perizinan berusaha, kemudahan berusaha, dan fasilitas penanaman modal bagi pelaku usaha di Ibu Kota Nusantara. 2 Promosi Penanaman Modal Penyelenggaraan promosi penanaman modal secara berdampingan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan kementerian/lembaga terkait. 3 Pelayanan Penanaman Modal a. Pelayanan peizinan dan nonper2inan secara terpadu satu pintu melalui sistem Online Singte Submission Rfsk Qased Approach (OSS RBA). b. Penerbitan rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas.
Penerbitan rekomendasi alih status izin tetap. tinggal terbatas menjadi izin tinggal 4 Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Pengendalian pelaksanaan terhadap kegiatan penanaman modal yang berlokasi dalam wilayah Ibu Kota Nusantara secara berdampingan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi. 5 Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal Pengelolaan data dan informasi perizinan dan nonperizinan penanaman modal yang terintegrasi secara berdampingan dan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi. R. BIDANG KEPEMUDAAN DAN OLAHRAGA 1 Kepemudaan a. Penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan pemuda terhadap pemuda pelopor, wirausaha muda, dan pemuda kader. b. Pemberdayaan dan ^pengembangan organisasi kepemudaan.
Kerja sama internasional untuk penyadaran, pemberdayaarl, dan pengembangan pemuda. 2 Keolahragaan a. Pembinaan dan pengembangan olahraga pendidikan, olahraga masyarakat, dan olahraga prestasi. b. Penyelenggaraan kejuaraan olahraga dan/atau festival olahraga internasional. c. Penyelenggaraan pekan olahraga, kejuaraan olahraga, danf atau festival olahraga nasional. d. Pembinaan dan pengembangan organisasi olahraga. e. Perencanaan, penyediaan, pemanfaatan, pemeliharaan, dan pengawasan prasa.rana olahraga dan sararla olahraga. f. Kerja sama internasional untuk pembinaan dan pengembangan olahraga. 3 Kepramukaan a. Pembinaan dan pengembangan organisasi kepramukaan. b. Kerja sama internasional untuk pembinaan dan pengembangan organisasi kepramukaan. S. BIDANG PERSANDIAN T. BIDANG KEBUDAYAAN 1 Persandian Informasi untuk Pengamanan a. Penyelenggaraan persandian untuk pengamanan informasi Otorita Ibu Kota Nusantara. b. Penetapan pola hubungan komunikasi sandi antarbagian dari strrrktur organisasi Otorita Ibu Kota Nusantara.
Analisis Sinyal Pengamanan sinyal. 1 Pemajuan Kebudayaan a. Pengusulan objek pemajuan kebudayaan untuk ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia. b. Pengelolaan objek pemajuan kebudayaan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia.
Pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan. d. Pembinaan sumber daya manusia kebudayaan, lembaga adat, lembaga kebudayaan, dan pranata kebudayaan. e. Penyediaan sarana dan prasarana kebudayaan. f. Penyelenggaraan kegiatan promosi objek pemajuan kebudayaan di tingkat lokal, nasional, dan internasional. g. Pen5rusunan, penetapan, dan pemutakhiran pokok pikiran kebudayaan. h. Pemberian penghargaan kebudayaan. 2 Cagar Budaya a. Pembentukan tim ahli cagar budaya. b. Penetapan dan pemeringkatan cagar budaya. c. Pengelolaan cagar budaya yang dimiliki danf atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara. d. Pelestarian cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara. e. Pengelolaan warisan dunia yang dimiliki dan/atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara.
Penempatan juru pelihara untuk melakukan perawatan cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara. g. Penempatan polisi khusus cagar budaya untuk melakukan pengamanan cagar budaya dimiliki dan/atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara. h. Penempatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang cagar budaya untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana cagar budaya yang dimiliki atau dikuasai Otorita Ibu Kota Nusantara. i. Penerbitan izin membawa cagar budaya ke luar daerah Ibu Kota Nusantara. j. Penerbitan izin pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. k. Penyelenggara€rn kegiatan promosi cagar budaya di tingkat lokal, nasional, dan internasional. 3 Sejarah Pembinaan sejarah lokal 4 Permuseuman a. Pengelolaan museum. b. Penerbitan Surat Keterangan Pendaftaran Museum. U. BIDANG PERPUSTAKAAN a. Pengelolaan perpustakaan. b. Pembudayaan gemar membaca dan pengembangan literasi masyarakat. 1 Pembinaan Perpustakaan 2 Pelestarian Koleksi Nasional dan Naskah Kuno a. Pelestarian karya cetak dan karya rekam koleksi perpustakaan. b. Penerbitan katalog induk dan bibliografi khusus. c. Pelestarian naskah kuno. d. Pengembangan koleksi budaya etnis nusantara yang ditemukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. V. BIDANG KEARSIPAN 1 Pengelolaan Arsip a. Pengelolaan arsip dinamis Otorita Ibu Kota Nusantara dan badan usaha dan/atau badan layanan Otorita Ibu Kota Nusantara. b. Pengelolaan arsip statis yang diciptakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dan badan usaha dan/atau badan layanan Otorita Ibu Kota Nusantara, perusahaan swasta yarrg kantor pusat usahanya di Ibu Kota Nusantara, organisasi kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat di Ibu Kota Nusantara. c. Pengelolaan Ibu Kota Nusantara sebagai simpul jaringan dalam sistem informasi kearsipan nasional (SIKN) melalui jaringan informasi kearsipan nasional (JIKN). 2 Pelindungan dan Penyelamatan Arsip a. Pemusnahan arsip di lingkungan Otorita Ibu Kota Nusantara yang memiliki retensi di bawah 10 (sepuluh) tahun. b. Pelindungan dan penyelamatan arsip akibat bencana. c. Penyelamatan arsip bagian dari struktur organisasi Otorita Ibu Kota Nusantara yang digabung dan/atau dibubarkan, serta perubahan satuan wilayah di Ibu Kota Nusantara. d. Autentikasi arsip statis dan arsip hasil alih media.
Melakukan pencarian arsip statis yang pengelolaannya menjadi kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara yang dinyatakan hilang dalam bentuk daftar pencarian arsip. 3 Perizinan Penerbitan izin penggunaan arsip yang bersifat tertutup. W. BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN 1 Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil a. Pengelolaan sumber daya laut di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara di luar minyak dan gas bumi. b. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. c. Penerbitan perizinan berusaha di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara di luar minyak dan gas bumi. d. Penzusulan calon kawasan konservasi di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara.
Pembentukan satuan unit organisasi pengelola kawasan konservasi di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. f. Pengelolaan kawasan konservasi yang telah ditetapkan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. 2 Perikanan Tangkap a. Pengelolaan penangkapan ikan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. b. Penetapan lokasi pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. c. Pengelolaan dan penyelenggaraan tempat pelelangan ikan (TPI). d. Pendaftaran kapal perikanan berukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) GT yang beroperasi di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. e. Pelindungan dan pemberdayaan nelayan kecil. f. Penerbitan perizinan berrrsaha subsektor penangkapan ikan dan perizinarr berusaha subsektor pengangkutan ikan untuk kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan berukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) GT di wilayah perairan laut Ibu Kota Nusantara. g. Penerbitan persetujuan pengadaan kapal perikanan untuk kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan berukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) GT di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. 3 Perikanan Budidaya a. Pemberdayaan usaha kecil pembudidaya ikan. b. Pengelolaan pembudidayaan ikan. 4 Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan a. Pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko sektor kelautan dan perikanan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. b. Pengawasan perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan berusaha sektor kelautan dan perikanan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara. c. Pengawasan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah perairan Ibu Kota Nusantara.
Pengolahan dan Pemasaran Penerbitan izin usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan untuk penana.man modal dalam negeri (PMDN).
Pengemb€rngan SDM Kelautan dan Perikanan Masyarakat a. Penyelenggaraan pelatihan untuk masyarakat kelautan dan perikanan. b. Penyelenggaraan pendidikan menengah sektor kelautan dan perikanan X. BIDANG PARTUISATA DAN EKONOMI KREATIF 1 Destinasi Pariwisata a. Penetapan destinasi pariwisata. b. Penetapan daya tarik wisata dan kawasan strategis/klaster pariwisata. c. Penyiapan dan fasilitasi pengembangan daya tarik wisata, kawasan strategis/ klaster pariwisata serta amenitas pariwisata. d. Penyelenggaraan pembangunan aksesibilitas pariwisata yang meliputi penyediaan dan pengembangErn sarana, prasarErna, dan sistem transportasi angkutan jalan, sungai, danau dan penyeberangan, angkutan laut, angkutan udara, dan angkutan kereta api. e. Pemeliharaan dan pelestarian aset yang menjadi daya tarik wisata. f. Pengelolaan kawasan strategis/klaster pariwisata melalui pembentukan badan usaha dan/atau keda sama usaha kesehatan/kebugaran yang ditunjang oleh pariwisata kota, meetings, incentiues, conferencing, exhibitions (MICE), wisata kesehatan, dan wisata kebugaran. g. Penyiapan daya tarik wisata, fasilitas umlrm, fasilitas pariwisata dan aksesibilitas pada kawasan strategis/klaster pariwisata baru lainnya. 2 Pemasaran Pariwisata Fasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata. 3 Pengembangan Sumber Daya Pariwisata dan Ekonomi Kreatif a. Pengembangarr, penyelenggaraan, dan pelaksanaan peningkatan kapasitas sumber daya manusia pariwisata dan ekonomi kreatif tingkat ahli, lanjutan, dan dasar. b. Penyelenggaraan bimbingan masyarakat sadar wisata. 4 Perencanaan Kepariwisataan Pen5rusunan dan penetapan rencana induk pembangunan kepariwisataan. 5 Penyelenggaraan Kepariwisataan a. Pengoordinasian penyelenggaraan kepariwisataan. b. Penyelenggaraan kerja sama internasional di bidang kepariwisataan. c. Pelaksanaan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata. d. Pemberian kemudahan yang mendukung kunjungan wisatawan. e. Penyediaan, pengelolaan, dan penyebarluasan informasi kepariwisataan. f. Pemberian informasi dan/atau peringatan dini yang berhubungan dengan keamanan dan keselamatan wisatawan. g. Peningkatan pemberdayaan masyarakat dan potensi wisata yang dimiliki masyarakat. h. Pengawasan, pemantauan, dan evaluasi penyelenggaraan kepariwisataan. i. Pengalokasian anggaran kepariwisataan.
Penerapan prinsip pariwisata berkelaniutan. 6. Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi dalam Bidang Usaha Pariwisata Pemberian kemudahan/fasilitas, perlindungan, dan pemberdayaan bagi koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah dalam bidang usaha pariwisata. 7 Badan Promosi Pariwisata Fasilitasi pembentukan Badan Promosi Pariwisata Otorita Ibu Kota Nusantara. 8 Pelaku Ekonomi Kreatif Pengembangan kapasitas pelaku ekonomi kreatif melalui:
pelatihan, pembimbingan teknis, dan pendampingan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial;
dukungan fasilitasi untuk menghadapi perkembang€rn teknologi di dunia usaha; dan
standardisasi usaha dan sertifikasi profesi bidang ekonomi kreatif. 9 Pengembangan Ekosistem Ekonomi Kreatif Pengembanga.n ekosistem ekonomi kreatif melalui:
pengembangErn pendidikan;
fasilitasi pendanaan dan pembiayaan;
penyediaan infrastruktur;
pengembangan sistem pemasaran;
pemberian insentif;
fasilitasi kekayaan intelektual; dan
perlindungan hasil kreativitas.
Pariwisata Alam a. Pemberian izin pengusahaan pariwisata alam untuk pengusahaan pariwisata alam yang dilakukan di dalam blok pemanfaatan taman hutan raya. b. Pembinaan dan pengawasan usaha penyediaan jasa dan sarana wisata alam. c. Penetapan pungutan bagi setiap wisatawan yang memasuki kawasan pengusahaan pariwisata alam. Y. BIDANG PERTANIAN 1 Sarana Pertanian a. Pengawasan peredaran, mutu/formula, dan penetapan kebutuhan sarana pertanian. b. Pengelolaan, pengawasan mutu, dan peredaran benih/bibit, sumber daya genetik (SDG) hewan.
Pengawasan benih ternak, pakan, hijauan pakan ternak (HPT), dan obat hewan di tingkat pengecer. d. Pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor. e. Penyediaan benih bibit ternak dan HPT. f. Pengendalian penyediaan dan peredaran benih/bibit ternak dan HPT. g. Penyediaan benih/bibit ternak dan HPT. h. Penetapan calon penerima sarana pertanian. 2 Prasarana Pertanian a. Penentuan, penataan, dan pengembangan kebutuhan prasarana pertanian. b. Penetapan dan pengelolaan wilayah sumber bibit ternak dan rumpun/galur ternak. c. Penetapan kawasan peternakan. d. Pengembangan lahan penggembalaan umum. e. Penetapan calon penerima prasarana perkebunan.
Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Penjaminan kesehatan hewan, penutupan, dan pembukaan daerah wabah penyakit hewan menular.
Pengendalian dan Penanggulangan Bencana Pertanian Pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian.
Perizinan Usaha Pertanian a. Penerbitan izin pernbangunan laboratorium kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner. b. Penerbitan izin usaha peternakan distributor obat hewan. c. Penerbitan izin usaha pertanian. d. Penerbitan izin usaha produksi benih/bibit ternak dan pakan, fasilitas pemeliharaan hewan, rumah sakit hewan/pasar hewan, rumah potong hewan. e. Penerbitan izin usaha pengecer (toko, retail, subdistributor) obat hewan. f. Perizinan budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tertentu. g. Perla; inan usaha produksi benih tanaman perkebunan. h. Sertifikasi benih tanaman perkebunan. Z. BIDANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1 Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) Pelaksanaan pendelegasian sebagian kewenangan pengelolaan SDA dalam satu kesatuan pengelolaan wilayah Sungai Mahakam yang meliputi:
konservasi SDA di daerah aliran sungai (DAS) dalam wilayah Ibu Kota Nusantara, termasuk pengendalian kualitas air;
pendayagunaan SDA di dalam dan lintas wilayah Ibu Kota Nusantara yang langsung terkait kepentingan Ibu Kota Nusantara; dan
pengendalian daya rusak air di DAS dalam wilayah Ibu Kota Nusantara. AA. BIDANG KEHUTANAN 1 Perencanaan Kehutanan a. Inventarisasi hutan meliputi:
inventarisasi hutan di Ibu Kota Nusantara; 2l inventarisasi hutan tingkat DAS yang wilayahnya di dalam Ibu Kota Nusantara; dan
inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan hutan. b. Penyelenggaraan pengukuhan kawasan hutan. c. Penyelenggaraan penatagunaan kawasan hutan. d. Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan yang meliputi:
pen5rusunan rancang bangun unit pengelolaan hutan lindung;
pen5rusunan rancang bangun unit pengelolaan hutan produksi;
pembentukan unit pengelolaan hutan lindung; 4l pembentukan unit pengelolaan hutan produksi; dan
pembentukan organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan wilayah pengelolaan KPH pada hutan produksi. e. Pen5rusunan rencana kehutanan tingkat Ibu Kota Nusantara.
Evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan yang meliputi:
evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan;
evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan KPH lindung; dan
evaluasi dan pengendalian pelaksanaan rencana kehutanan KPH produksi. g. Penyelenggaraan perubahan peruntukan kawasan hutan dan perrrbahan fungsi hutan. h. Persetujuan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. i. Persetujuan penggunaan kawasan hutan. j. Penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan. 2 Penggunaan Kawasan Hutan a. Persetujuan penggunaan kawasan hutan. b. Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap pemegang persetujuan kawasan hutan.
Tata Hutan dan Pen5rusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan a. Pen5rusunan rencana pengelolaan hutan yaitu penetapan rencana pengelolaan hutan ^jangka pendek. b. Pemanfaatan hutan. c. Pengolahan hasil hutan yang meliputi:
pemberian pengolahan hasil hutan skala menengah dan perubahannya; dan
pemberian pengolahan hasil hutan skala kecil dan perubahannya.
Perlindungan Hutan a. Pelaksanaan perlindungan hutan produksi. b. Pelaksarlaan perlindungan hutan lindung. c. Pelaksanaan perlindungan hutan pada areal di luar kawasan hutan yang tidak dibebani perizinan berusaha.
Pengelolaan Hutan a. Penyelenggaraan tata hutan. b. Penyelenggaraan rencana pengelolaan hutan. c. Penyelenggaraan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. d. Penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan. e. Penyelenggaraan perlindungan hutan. f. Penyelenggaraan pengolahan dan penatausahaan hasil hutan. g. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK). h. Pelaksanaan tata hutan kesatuan pengelolaan hutan Ibu Kota Nusantara. i. Pelaksanaan rencana pengelolaan kesatuan pengelolaan hutan Ibu Kota Nusantara. j. Pelaksanaan pemanfaatan hutan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang meliputi:
pemanfaatan kawasan hutan;
pemanfaatan hasil hutan bukan kayu;
pemungutan hasil hutan; dan
pemanfaatan jasa lingkungan kecuali pemanfaatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon. k. Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung dan hutan produksi. 1. Pelaksanaan pengolahan hasil hutan bukan kayu. m. Pelaksanaan pengolahan hasil hutan kayu. n. Pelaksanaan pengelolaan KHDTK untuk kepentingan religi. o. Pemberian perizinan berusaha pemanfaatan hutan. p. Pemberian perizinan berusaha pengolahan hasil hutan. q. Pengelolaan perhutanan sosial. r. Penyelenggara€rn penegakan hukum kehutanan. s. Penyidikan tindak pidana kehutanan. t. Persetujuan pengelolaan perhutanan sosial. u. Pengenaan sanksi administratif. 6 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya a. Penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. b. Penyelenggaraan konsenrasi tumbuhan dan satwa liar. c. Penyelenggaraan pemanfaatan secara lestari kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam.
Penyelenggaraan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (lembaga konservasi, penangkaran, dan peredaran). e. Pelaksanaan perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. f. Pelaksanaan perlindungan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan/atau tidak masuk dalam Appendix of Conuention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). g. Pelaksanaan pengelolaan kawasan bernilai ekosistem penting dan daerah penyangga kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. h. Penyelenggaraan perencanaan kawasan konservasi. i. Penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. j. Pemberian perizinan pemanfaatan jasa lingkungan hutan konservasi. k. Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar. 1. Pemberian peruinan/persetujuan konservasi eksitu. m. Penyelenggaraan kerja sama konservasi. n. Pengelolaan taman hutan raya. o. Pemberian perizinan berusaha pada taman hutan raya. 7 Pendidikan dan Pelatihan, Pen5ruluhan dan Pemberdayaan Masyarakat a. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan serta kehutanan. b. Penyelenggaraan penyuluhan kehutanan. c. PemberdayaarL masyarakat di bidang kehutanan. pendidikan menengah 8 Pengelolaan DAS Pelaksanaan pengelolaan DAS. 9 Pengawasan Kehutanan Penyelenggaraan pengawasan penataan terhadap pelaksanaan kegiatan yang izinlpersetujuannya diterbitkan oleh Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara.
Perbenihan Tanaman Hutan Pemberian perizinan berusaha pengadaan dan pengedaran benih dan bibit yang dimohon oleh pelaku usaha perorangan atau nonperorangan. BB. BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL 1 Geologi a. Inventarisasi dan pemantauan kondisi air tanah. b. Penerbitan perizinan berrrsaha atau persetujuan penggunaan sumber daya air berupa air tanah. c. Pengendalian, pengawasan, dan pembinaan kegiatan penggunaan dan pengusahaan air tanah. d. Inventarisasi keragaman geologi (geodiuersitg), pengasulan penetapan warisan geologi (geolrcitage), dan pemanfaatan situs warisan geologi (geolrcritage). e. Pengusulan penetapan dan pengelolaan taman bumi (geoparkl nasional. f. Penyelidikan geologi lingkungan untuk kawasan lindung geologi. g. Peringatan dini potensi gerakan tanah. h. Penyiapan data geologi dan pen5rusunan peta kawasan rawan bencana detail (skala >25.000) untuk penetapan kawasan rawan bencana geologi. 2 Energi Baru Terbarukan a. Penerbitan izin pemanfaatan langsung panas bumi. b. Pengelolaan penyediaan biomassa dan/atau biogas. c. Pengelolaan pemanfaatan biomassa dan/atau biogas sebagai bahan bakar.
Pengelolaan aneka energi baru terbarukan berupa sinar matahari, angin, aliran dan terjunan air, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan hidrogen sebagai energi listrik dan bahan bakar. e. Penerbitan izin usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain dengan kapasitas penyediaan sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) ton/tahun. f. Pembinaan dan pengawasan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuet) sebagai bahan bakar lain dengan kapasitas penyediaan sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) ton/tahun. g. Pengelolaan konservasi energi terhadap kegiatan yang izin usahanya dikeluarkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. h. Pelaksanaan konservasi energi pada fasilitas yang dikelola oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. i. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan konservasi energi yang dilakukan oleh pemangku kepentingan. 3 Ketenagalistrikan a. Persetujuan harga jual tenaga listrik dan sewa ^jaringan tenaga listrik, rencana usaha penyediaan tenaga listrik, penjualan kelebihan tenaga listrik dari pemegangizin yang ditetapkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. b. Pelayanan perizinan berrrsaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang:
usaha penyediaan tenaga listriknya memiliki wilayah usaha namun tidak memiliki usaha pembangkitan tenaga listrik;
memiliki fasilitas instalasi dalam Ibu Kota Nusantara; dan f atau 3) menjual tenaga listrik dan/atau menyewakan ^jaringan tenaga listrik kepada pemegang pefizinan berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum yang ditetapkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. c. Pelayanan perizinan berusaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang:
memiliki fasilitas instalasi dalam lbu Kota Nusantara; 2l berada di wilayah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut; dan/atau
pembangkitan dengan kapasitas sampai dengan 10 (sepul: uhl Mega Watt.
Pelayanan perizinan berusaha usaha jasa penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh BUMN, penanam modal dalam negeri, koperasi atau badan usaha di Ibu Kota Nusantara, dan badan usaha jasa konsultasi dalam bidang instalasi tenaga listrik, pembangunan dan pemasangErn instalasi tenaga listrik, pengoperasian instalasi tenaga listrik, pemeliharaan instalasi tenaga listrik, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan. e. Penyediaan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu, pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik belum berkembang, daerah terpencil, dan perdesaan. CC. BIDANG PERDAGANGAN 1 Penzinan dan Pendaftaran Perusahaan a. Pemeriksaan fasilitas penyimpanan bahan berbahaya dan pengawasan distribusi, pengemasan, dan pelabelan bahan. b. Penerbitan surat keterangan asal (apabila telah ditetapkan sebagai instansi penerbit surat keterangan asal).
Penerbitan izin usaha untuk:
perantara perdagangan properti;
penjualan langsung;
penvakilan perulsahaan perdagangan asing;
usaha perdagangan yang di dalamnya terdapat modal asing;
^jasa survei dan ^jasa lainnya di bidang perdagangan tertentu; dan
pendaftaran agen dan/atau distributor. d. Penerbitan surat izin usaha perdagangan minuman beralkohol (SIUP-MB) toko bebas bea dan penerbitan SIUP-MB bagi distributor, pengecer, dan penjual langsung minum di tempat. e. Penerbitan surat izin usaha perdagangan bahan berbahaya distributor terdaftar, pembinaan terhadap importir produsen bahan berbahaya, importir terdaftar bahan berbahaya, distributor terdaftar bahan berbahaya, dan produsen terdaftar bahan berbahaya, dan pengawasan distribusi pengemasan dan pelabelan bahan berbahaya. f. Penerbitan surat izin usaha perdagangan bahan berbahaya pengecer terdaftar, pemeriksaan sarana distribusi bahan berbahaya, dan pengawasan distribusi, pengemasan, dan pelabelan bahan berbahaya.
Penerbitan izin pengelolaan pasar ralgrat, pusat perbelanjaan, dan izin usaha toko swalayan. h. Penerbitan tanda daftar gudang dan surat keterangan penyimpanan barang (SKPB). i. Penerbitan surat tanda pendaftaran waralaba (STPW) untuk kegiatan waralaba. 2 Sarana Distribusi Perdagangan a. Pembangunan dan pengelolaan pusat distribusi perdagangan. b. Pembangunan dan pengelolaan sarana distribusi perdagangan. c. Pembinaan terhadap pengelola sarana distribusi perdagangan masyarakat. d. Pemasaran produk hasil industri di dalam negeri. 3 Stabilisasi Harga Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting a. Menjamin ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting. b. Pemantauan harga dan informasi ketersediaan stok barang kebutuhan pokok dan barang penting. c. Melakukan operasi pasar dalam rangka stabilisasi harga pangzrn pokok. d. Pengawasan pupuk dan pestisida dalam melakukan pelaksanaan pengadaan, penyaluran, dan penggunaan pupuk bersubsidi. 4 Pengembangan Ekspor a. Penyelenggarazrn promosi dagang melalui pameran dagang internasional, pameran dagang nasional, dan pameran dagang lokal, serta misi dagang bagi produk ekspor unggulan.
Penyelenggaraan kampanye pencitraan produk ekspor skala nasional dan internasional.
Standardisasi, Perlindungan Konsumen, dan Pengawasan Kegiatan Perdagangan a. Pengujian mutu barang dan pemantauan mutu produk potensial. b. Pelaksanaan perlindungan konsumen dan pengawasan barang beredar dan/atau jasa. c. Pelaksanaan metrologi legal berupa tera, tera ulang, dan pengawasan, serta edukasi di bidang metrologi legal. d. Pelaksanaan pengawasan kegiatan perdagangan. DD. BIDANGPERINDUSTRIAN 1 Penyelenggaraan Bidang Perindustrian a. Penyelenggara€rn urusan pemerintahan di bidang perindustrian. b. Pemberian kemudahan untuk mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong, dan jaminan penyaluran bahan baku dan/atau bahan penolong bagi perusahaan industri. 2 Perencanaan Industri Pen5rusunan dan penetapan rencana pembangunan industri Ibu Kota Nusantara. 3 Perwilayahan Industri a. Pen5rusunan dan penetapan kawasan peruntukan industri. b. Perencanaan, penyediaan infrastruktur, kemudahan dalam perolehan/ pembebasan lahan, pelayanan terpadu satu pintu, pemberian insentif dan kemudahan lainnya, penataan industri dan pengawasan pembangunan kawasan industri. c. Pelaksanaan pengelolaan kawasan industri. 4 Penerbita n P erizinan Berusaha Penerbitan izin usaha industri dan bin usaha kawasan industri.
Pembangunan Sumber Daya Industri a. Sumber daya manusia (SDM) industri, meliputi:
pelaksanaan pembangunan wirausaha industri;
pelaksanaan pembangunan tenaga kerja industri;
pelaksanaan pembangunan pembina industri; dan
pelaksanaan penyediaan konsultan industri. b. Sumber daya alam (SDA) industri, yaitu pelaksanaan penjaminan dan penyaluran sumber daya alam untuk industri.
Teknologi industri meliputi:
peningkatan penguasaan dan pengoptimalan pemanfaatan teknologi industri; 2l promosi alih teknologi; dan
fasilitasi pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan industri.
Pembiayaan Industri Fasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan industri yang diberikan kepada perusahaan industri yang berbentuk BUMN atau perusahaan industri swasta. 7 Pembangunan Sarana dan Prasarana Industri a. Pemberian fasilitasi nonfiskal untuk industri kecil dan menengah (IKM) yang menerapkan standar nasional Indonesia (SNI), spesifikasi teknis (ST) dan/atau pedoman tata cara (PTC) yang diberlakukan secara wajib. b. Penyediaan, peningkatan, dan pengembangan sarana prasarana laboratorium pengujian standardisasi industri di wilayah pusat pertumbuhan industri untuk kelancaran pemberlakuan SNI, ST dan/atau PTC. c. Terkait Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas) yang meliputi:
memperoleh akses data industri, data kawasan industri, dan data lainnya Yans terdapat di dalam SIINas: dan asistensi kewajiban pelaporan perusahaan industri dan perrrsahaan kawasan industri melalui SIINas; dan
melaporkan informasi industri dan informasi lain. 2l melaksanakan sosialisasi 8. Pemberdayaan Industri a. Pembangunan dan pemberdayaan industri kecil dan industri menengah melalui pelaksana€rn penguatan kapasitas kelembagaan dan pemberian fasilitas. b. Pengawasan pelaksanaan industri hijau. c. Pelaksanaan pengawasan penggunaan produk dalam negeri. 9 Keda Sama Internasional Pelaksanaan kerja sama internasional di bidang industri 10 Tindakan Pengamanan Penyelamatan Industri dan Pengusulan kebdakan pengamanan industri kepada Presiden akibat adanya kebijakan dan regulasi yang merugikan. 11 Penanaman Modal Bidang Industri Pelaksanaan kebijakan penanarnan modal di bidang industri. t2. Pengawasan dan Pengendalian Kegiatan Usaha Industri dan Kegiatan Usaha Kawasan Industri Keterlibatan dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha industri dan kegiatan usaha kawasan industri. EE. BIDANGTRANSMIGRASI . irl. rl i., : t{,-o; i, 1 Pembinaan Kawasan Transmigrasi Pembinaan satuan pennukiman pada tahap pemantapan dan tahap kemandirian kawasan transmigrasi.
Hak dan Kewajiban Perpajakan bagi Pemegang Izin Usaha Pertambangan, lzin Usaha Pertambangan Khusus, lzin Pertambangan Rakyat, lzin Usaha Pertambangan ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan Mineral atau Batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.
Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disingkat IUP adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan.
Izin Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat IPR adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Izin Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disingkat IUPK adalah izin untuk melaksanakan Usaha Pertambangan di wilayah izin Usaha Pertambangan khusus.
IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak adalah izin usaha yang diberikan sebagai perpanjangan setelah selesainya pelaksanaan Kontrak Karya termasuk IUPK Operasi Produksi yang merupakan perubahan bentuk Usaha Pertambangan dari KK yang belum berakhir kontraknya.
Surat lzin Penambangan Batuan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah izin yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan Usaha Pertambangan batuan jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu.
Wilayah Izin Usaha Pertambangan yang selanjutnya disingkat WIUP adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP atau pemegang SIPB.
Wilayah Pertambangan Rakyat yang selanjutnya disingkat WPR adalah bagian dari Wilayah Pertambangan tempat dilakukan kegiatan Usaha Pertambangan rakyat.
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK yang selanjutnya disingkat WIUPK adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK.
Kontrak Karya yang selanjutnya disingkat KK adalah perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Mineral.
Platform Digital Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional
Relevan terhadap
B. PENYELENGGARAAN PLATFORM DIGITAL SKFN Penyelenggaraan Platform Digital SKFN berfokus sebagai suatu wadah penggunaan teknologi digital terintegrasi untuk meningkatkan layanan publik dan menciptakan nilai publik ( public value ) dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional. Penggunaan teknologi digital terintegrasi dalam Platform Digital SKFN ini menjadi penghubung antar pemerintahan ( Government to Government /G2G), Pemerintah dengan masyarakat ( Government to Citizen /G2C), Pemerintah dengan pelaku usaha ( Government to Bussiness /G2B), dan Pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya ( Government to Society /G2S). Penyelenggaraan Platform Digital SKFN merupakan upaya pengembangan dan transformasi SIKD sebagai backbone dalam mewujudkan implementasi kebijakan HKPD dan peraturan pelaksanaannya antara lain pada harmonisasi kebijakan fiskal nasional, pajak daerah dan retribusi daerah, serta pengelolaan transfer ke daerah. Tujuan penyelenggaraan Platform Digital SKFN memberikan arahan mengenai tata cara penyelenggaraan platform digital SKFN secara sistematis agar platform digital SKFN yang dikembangkan memenuhi prinsip interoperabilitas, akuntabilitas, keamanan, akurat, relevan, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republi ...
Relevan terhadap
Dalam hal SKA Form KI-CEPA berupa e-Form KI-CEPA, berlaku ketentuan sebagai berikut:
pemenuhan kewajiban penyerahan lembar asli SKA Form KI-CEPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dikecualikan untuk Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK;
dalam hal lembar asli SKA Form KI-CEPA diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai bersamaan dengan penggunaan e-Form KI-CEPA, penelitian Ketentuan Asal Barang untuk dapat diberikan Tarif Preferensi menggunakan e-Form KI-CEPA;
dalam hal SKP belum tersedia, terjadi gangguan, atau kegagalan sistem, Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta lembar asli SKA Form KI-CEPA, pindaian atau hasil cetak e-Form KI-CEPA kepada lmportir, Penyelenggara/ Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK;
waktu implementasi e-Form KI-CEPA dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan Negara Anggota; dan
tata cara penelitian e-Form KI-CEPA ditetapkan oleh Direktur Jenderal dengan merujuk kepada kriteria asal barang ( origin criteria ) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dan panduan serta spesifikasi yang disepakati oleh Negara Anggota.
Barang impor yang pemberitahuan pabeannya telah mendapat nomor dan tanggal pendaftaran sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum dikeluarkan dari TPB, PLB, Kawasan Bebas, atau KEK ke TLDDP, dapat diberikan Tarif Preferensi.
Untuk dapat diberikan Tarif Preferensi __ sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, harus menyerahkan lembar asli SKA Form KI-CEPA paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal berlakunya Peraturan Menteri ini, dengan ketentuan:
SKA Form KI-CEPA diterbitkan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; dan
SKA Form KI-CEPA diterbitkan terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan Menteri ini.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Importir wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form KI-CEPA;
mencantumkan kode fasilitas Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB) secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form KI-CEPA pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB) secara benar.
Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk dalam kategori jalur merah, penyerahan lembar asli SKA Form KI-CEPA ke Kantor Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk Kantor Pabean yang telah ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form KI-CEPA wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada pukul 12.00 pada hari berikutnya; atau
untuk Kantor Pabean yang belum ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form KI-CEPA wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada pukul 12.00 pada hari kerja berikutnya, terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM).
Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk dalam kategori jalur hijau, penyerahan lembar asli SKA Form KI-CEPA ke Kantor Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
untuk Kantor Pabean yang telah ditetapkan sebagai kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form KI-CEPA wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat 3 (tiga) hari; atau
untuk Kantor Pabean yang belum ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, lembar asli SKA Form KI-CEPA wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
Untuk Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO), lembar asli SKA Form KI-CEPA wajib diserahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Penyelenggara/Pengusaha TPB wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form KI-CEPA kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi TPB, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung __ sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
menyerahkan lembar asli SKA Form KI-CEPA kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi TPB, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), dalam hal Penyelenggara/Pengusaha TPB telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO);
mencantumkan kode fasilitas Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form KI-CEPA pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB secara benar.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Penyelenggara/Pengusaha PLB wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form KI-CEPA kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi PLB, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
menyerahkan lembar asli SKA Form KI-CEPA kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang mengawasi PLB, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), dalam hal Penyelenggara/Pengusaha PLB telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO); __ c. mencantumkan kode fasilitas Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form KI-CEPA pada pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB secara benar.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pengusaha di __ Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form KI-CEPA dan hasil cetak dokumen PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang melakukan penelitian dokumen, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
mencantumkan kode fasilitas Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea pada PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form KI-CEPA pada PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean secara benar.
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, wajib:
menyerahkan lembar asli SKA Form KI-CEPA kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang melakukan penelitian, paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak PPKEK pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);
menyerahkan lembar asli SKA Form KI-CEPA kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean yang melakukan penelitian, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak PPKEK pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), dalam hal Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK telah ditetapkan sebagai mitra utama kepabeanan atau Authorized Economic Operator (AEO);
mencantumkan kode fasilitas Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Korea pada PPKEK pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean secara benar; dan
mencantumkan nomor referensi dan tanggal SKA Form KI-CEPA pada PPKEK pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean secara benar.
Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/ Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, menyerahkan Dokumen Pelengkap Pabean dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan.
Dalam hal penyerahan dokumen secara elektronik telah tersedia dalam SKP, Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat diserahkan secara elektronik.
Lembar asli SKA Form KI-CEPA yang disampaikan oleh Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/ Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, meliputi:
lembar asli dari SKA Form KI-CEPA atas barang yang diimpor;
lembar asli SKA Form KI-CEPA Issued Retroactively , dalam hal SKA Form KI-CEPA diterbitkan lebih dari 7 (tujuh) hari sejak Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi;
lembar asli SKA Form KI-CEPA pengganti ( Certified True Copy ), dalam hal SKA Form KI-CEPA asli hilang atau rusak; atau
lembar asli SKA Form KI-CEPA sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c, yang telah dikoreksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4).
SKA Form KI-CEPA yang disampaikan oleh Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/ Pengusaha PLB, pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d angka 3, atau Badan Usaha/Pelaku Usaha KEK, harus masih berlaku pada saat:
Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
pemberitahuan pabean impor barang __ untuk ditimbun di TPB;
pemberitahuan pabean pemasukan barang impor untuk ditimbun di PLB;
PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean; atau
PPKEK pemasukan barang ke KEK dari luar Daerah Pabean, mendapat nomor pendaftaran dari Kantor Pabean.
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus
Relevan terhadap 7 lainnya
PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA Pasal 79 (1) Penanaman Modal yang dilakukan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang telah memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 tidak dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78. (21 Penanaman Modal yang dilakukan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 tidak dapat memperoleh pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75. Pasal 80 Badan Usaha dalam transaksi:
pengadaan tanah untuk KEK;
penjualan tanah dan/atau bangunan dan/atau c. sewa tanah dan/atau bangunan di KEK, tidak dipungut Pajak Penghasilan. di KEK; Pasal 81 (1) Warga negara asing yang bekerja di KEK dan telah menjadi subjek pajak dalam negeri serta memiliki keahlian tertentu dapat diberikan fasilitas dikenai Pajak Penghasilan hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia selama 4 (empat) tahun. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau melalui Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 82 . Bagian Ketiga Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pasal 82 Fasilitas Pajak Penghasilan selain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tetap dapat diberikan kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha di KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 83 (1) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas:
penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud tertentu dari TLDDP, kawasan bebas, dan tempat penimbunan berikat kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha;
impor Barang Kena Pajak Berwujud tertentu ke KEK oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha;
impor Barang Konsumsi ke KEK pariwisata oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha;
penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud tertentu antar Badan Usaha, antar Pelaku Usaha, atau antar Badan Usaha dengan Pelaku Usaha;
penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud termasuk jasa persewaan tanah dan/atau bangunan di KEK oleh Pelaku Usaha dan/atau Badan Usaha kepada Pelaku Usaha lainnya dan/atau Badan Usaha di KEK yang sama atau KEK lainnya;
penyerahan f. penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha dari TLDDP atau selain TLDDP kepada Badan Usaha/Pelaku Usaha; dan
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam KEK oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha. (2) Barang Kena Pajak Berwujud tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d berupa:
barang modal termasuk tanah dan/atau bangunan, peralatan/mesin dan suku cadang yang diperlukan untuk proses produksi pengolahan, barang modal termasuk tanah dan/atau bangunan yang diperlukan untuk pembangunan dan/atau pengembangan KEK sesuai dengan bidang usahanya;
bahan baku, bahan pembantu, dan barang lain yang ^,diolah, dirakit dan/atau dipasang pada barang lain untuk kegiatan manufaktur, logistik, dan/atau penelitian dan pengembangan;
bahan baku, bahan pembantu, peralatan dan barang lain yang diperlukan bagi kegiatan yang menghasilkan jasa kena pajak dan/atau kegiatan pengembangan teknologi ; dan I atau d. barang yang diperuntukan bagi kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan, dan perekondisian permesinan yang digunakan bidang usaha industri manufaktur dan logistik, serta maintenance, repair and ouerhaul (MRO) untuk kapal dan pesawat terbang. (3) Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diberikan sesuai bidang usahanya berupa:
^jasa maklon;
^jasa PRES lDEN REPUBLIK INDONESIA b. jasa perbaikan dan perawatan termasuk maintenance, repair and ouerhaul (MRO) untuk kapal dan pesawat terbang;
jasa pengurusan transportasi terkait barang untuk tujuan ekspor;
jasa konstruksi yang meliputi perencanaan, perancangan, pelaksanaan pembangunan, dan pengawasan pembangunan di KEK, termasuk konsultansi konstruksi yang meliputi pengkajian, perencanaan, dan perancangan konstruksi;
^jasa teknologi dan informasi;
jasa penelitian dan pengembangan;
jasa persewaan alat angkut berupa persewaan pesawat udara dan/atau kapal laut untuk kegiatan penerbangan atau pelayaran internasional;
jasa konsultansi bisnis dan manajemen, jasa konsultansi hukum, jasa konsultansi desain arsitektur dan interior, jasa konsultansi sumber daya manusia, jasa konsultansi keinsin5ruran, jasa konsultansi pemasaran, jasa akuntansi atau pembukuan, jasa audit laporan keuangan, dan jasa perpajakan;
jasa perdagangan berupa jasa mencarikan penjual barang di dalam Daerah Pabean untuk tujuan ekspor;
jasa interkoneksi, penyelenggaraan satelit, danl atau komunikasi/konektivitas data; dan
jasa lainnya yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. (4) Barang Konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a barang a. Barang Konsumsi yang diperlukan oleh Pelaku Usaha di KEK pariwisata sebagai bahan baku usaha untuk menghasilkan jasa;
waktu penggunaannya relatif singkat serta akan hilang keberadaan danf atau fungsinya bila sudah dipergunakart, yang digunakan dalam proses produksi yang menghasilkan jasa; dan
tidak ditujukan untuk penggunaan di luar KEK. (5) Jenis Barang Konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dapat diberikan pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor, dicantumkan dalam daftar barang yang diusulkan oleh Administrator KEK dan ditetapkan oleh Dewan Nasional. (6) Barang Konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang diimpor, jumlahnya ditetapkan oleh Administrator KEK dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Dewan Nasional. (71 Dalam hal KEK berasal dari sebagian atau seluruh wilayah kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, penyerahan Jasa Kena Pajak dari dan ke kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 84 (1) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pelaku Usaha ke TLDDP, dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pelaku (2) Pelaku Usaha di KEK yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pelaku Usaha ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang pada saat impor barang atau penyerahan barang tidak dipungut pajaknya. (3) Dapat dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berasal dari Pelaku Usaha maintenancq repair and ouerhaul (MRO) untuk kapal dan pesawat terbang di KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perulndang-undangan. (4) Dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak yang mendapat fasilitas dan kemudahan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pasal 85 Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK wajib membuat faktur pajak pada saat penyerahan Barang dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 86 Atas impor dan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu, Jasa Kena Pajak Tertentu, dan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis diberikan fasilitas dan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 87 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian fasilitas dan kemudahan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Bagian Keempat Bea Masuk, Pajak Dalam Rangka Impor, dan Cukai Paragraf 1 Umum (1) Untuk seluruh Pabean. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan KEK sebagai Kawasan Pabean diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 89 (1) Fasilitas dan kemudahan kepabeanan yang diberikan bagi Badan Usaha di KEK meliputi pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor atas impor barang modal dalam rangka pembangunan atau pengembangan KEK. (2) Fasilitas dan kemudahan kepabeanan yang diberikan bagi Pelaku Usaha di KEK yang bergerak di bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang masih dalam tahap pembangunan atau pengembangan meliputi pembebasan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor atas impor barang modal.
Barang dari Pelaku Usaha di KEK dapat dikeluarkan ke:
luar Daerah Pabean;
Pelaku Usaha pada KEK lainnya;
tempat penimbunan berikat di luar KEK;
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas; dan/atau
TLDDP. Pasal 95 (1) Pengeluaran barang oleh Pelaku Usaha di KEK keluar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf a menggunakan pemberitahuan pabean dan berlaku ketentuan kepabeanan di bidang ekspor. (2) Pengeluaran barang oleh Pelaku Usaha di KEK yang ditujukan ke lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf b sampai dengan huruf d menggunakan pemberitahuan pabean, dan berlaku ketentuan sebagai berikut:
Bea Masuk, Pajak Dalam Rangka Impor, dan/atau cukai mengikuti fasilitas yang berlaku di tempat tujuan; dan/atau PFIES IDEN REPUBLIK INDONESIA b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah mengikuti fasilitas yang berlaku di tempat tujuan. (3) Pengeluaran barang oleh Pelaku Usaha di KEK yang ditujukan ke lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf e dengan tujuan impor untuk dipakai menggunakan pemberitahuan pabean dan:
dipungut Bea Masuk;
dilunasi cukainya untuk barang kena cukai;
dikenakan Pajak Dalam Rangka Impor; dan/atau
dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (4) Pengeluaran barang oleh Pelaku Usaha di KEK yang bidang usahanya maintenancq repair and ouerhaul (MRO) untuk kapal dan pesawat terbang yang ditujukan ke lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 huruf e dengan tujuan impor untuk dipakai menggunakan pemberitahuan pabean dan dapat diberikan:
pembebasan, keringanan atau penurunan tarif Bea Masuk;
tidak dipungut Pajak Dalam Rangka Impor; dan
tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) Atas penyerahan Barang Kena Pajak dari KEK ke TLDDP, terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Barang (6) Barang hasil produksi Pelaku Usaha di KEK yang dikeluarkan dari KEK ke TLDDP dilengkapi dengan dokumen pendukung dan surat keterangan mengenai nilai kandungan lokal yang diterbitkan oleh instansi penerbit surat keterangan asal di KEK. (7) Besarnya tarif Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dikenakan sebesar Oo/o (nol persen) sepanjang barang hasil produksi Pelaku Usaha di KEK memiliki nilai kandungan lokal paling sedikit 4O%o (empat puluh persen). (8) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan dan pemberian fasilitas atas pengeluaran barang dari KEK diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Pasal 96 Untuk menjamin kelancaran arus barang dari dan ke KEK, Administrator KEK dapat ditetapkan untuk melakukan kegiatan pelayanan kepabeanan mandiri berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. Bagian Kelima Tambahan Fasilitas Perpajakan di KEK Pariwisata Pasal 97 (1) Pelaku usaha di KEK Pariwisata diberikan fasilitas kepabeanan danf atau cukai atas pemasukan barang modal dan/atau bahan baku usaha bagi kegiatan:
penyediaan akomodasi;
pusat pertemuan dan konferensi;
marina dan/atau dermaga khusus kapal wisata;
bandara khusus wisata;
^jasa transportasi wisata;
pengembangan resortdan hunian; PFIES lDEN REPUBLIK INDONESIA g. jasa makanan dan minuman;
pusat perbelanjaan;
pusat hiburan dan rekreasi;
pusat edukasi dan/atau pelatihan;
pusat dan sarana olahraga;
pusat kesehatan;
pusat perawatan lanjut usia (retirement center); dan/atau
kegiatan lain yang mendukung pariwisata yang ditetapkan oleh Dewan Nasional. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas kepabeanan dan/atau cukai di KEK Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. 2. Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat nasional untuk menyelenggarakan KEK. 3. Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkat provinsi atau lebih dari satu provinsi untuk membantu Dewan Nasional dalam penyelenggaraan KEK. 4. Administrator KEK adalah unit kerja yang bertugas menyelenggarakan perizinan berusaha, perizinan lainnya, pelayanan, dan pengawasan di KEK. 5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 7. Badan Usaha adalah badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha KEK. 8. Pelaku Usaha adalah pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha di KEK.
Kegiatan.
Kegiatan Utama adalah bidang usaha beserta rantai produksinya yang menjadi fokus kegiatan KEK dan ditetapkan oleh Dewan Nasional. 10. Kegiatan Lainnya adalah bidang usaha di luar Kegiatan Utama di KEK. 1 1. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. 12. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 13. Barang Kena Pajak Berwujud adalah barang yang dikenai pajak yang menurut sifatnya berupa barang bergerak atau tidak bergerak. 14. Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah barang tidak berwujud seperti namun tidak terbatas pada hak cipta, paten, desain, formula atau proses, merek dagang, atau bentuk hak atas kekayaan intelektual sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan. 15. Barang Konsumsi adalah baranglbahan baku habis pakai yang digunakan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha jasa untuk kegiatan yang menghasilkan jasa di KEK. 16. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 18. Daerah Pabean adalah wilayah Negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu diZona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang tentang Kepabeanan. 19. Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 20. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang tentang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. 21. Penanaman Modal adalah investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada. 22. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. 23. Pajak Dalam Rangka Impor adalah Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22. 24. Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas, Tempat Penimbunan Berikat, dan Kawasan Ekonomi Khusus.
Persetujuan 25. Persetujuan Lingkungan adalah keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. 26. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. 27. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS adalah Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi. 28. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. 29. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak berdasarkan Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 30. Orang Asing adalah orang yang bukan warga negara Indonesia. 31. Tempat Pemeriksaan Imigrasi adalah tempat pemeriksaan di pelabuhan laut, bandar udara, pos lintas batas, atau tempat lain sebagai tempat masuk dan keluar wilayah Indonesia.
Pejabat 32. Pejabat Imigrasi adalah pegawai yang telah melalui pendidikan khusus Keimigrasian dan memiliki keahlian teknis Keimigrasian serta memiliki wewenang untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab berdasarkan Undang-Undang tentang Keimigrasian. 33. Visa Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Visa adalah keterangan tertulis, baik secara manual maupun elektronik yang diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan perjalanan ke wilayah Indonesia dan menjadi dasar untuk pemberian lzin Tinggal. 34. Visa Kunjungan Saat Kedatangan yang selanjutnya disingkat VKSK adalah Visa kunjungan atas kuasa Direktur Jenderal Imigrasi yang diberikan kepada warga negara asing pada saat tiba di wilayah Indonesia. 35. Visa Tinggal Terbatas adalah Visa bagi mereka yang bermaksud untuk menanamkan modal, bekerja, melaksanakan tugas sebagai rohaniwan, mengikuti pendidikan dan latihan atau melakukan penelitian ilmiah, menggabungkan diri dengan suami dan/atau orang tua bagi istri dan/atau anak sah dari seorang warga negara Indonesia. 36. Izin Tinggal adalah izin yang diberikan kepada Orang Asing oleh Pejabat Imigrasi atau Pejabat Dinas Luar Negeri baik secara manual maupun elektronik untuk berada di wilayah Indonesia. 37. Izin Masuk Kembali adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi kepada Orang Asing pemegang Izin Tinggal terbatas dan lzin Tinggal tetap untuk masuk kembali ke wilayah Indonesia. 38. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat RKL, adalah upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha danlatau kegiatan.
Rencana 39. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disingkat RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari rencana usaha danlatau kegiatan. 40. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat dengan KPBPB adalah kawasan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja. Pasal 2 (1) Penyelenggaraan KEK meliputi:
lokasi, kriteria, dan kegiatan usaha;
pengusulan pembentukan KEK;
penetapan KEK;
pembangunan dan pengoperasian KEK;
kelembagaan KEK;
pengelolaan KEK; dan
fasilitas dan kemudahan. (21 Fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g meliputi:
perpajakan, kepabeanan, dan cukai;
lalu lintas barang;
ketenagakerjaan;
keimigrasian;
pertanahan dan tata ruang;
Perizinan Berusaha; dan/atau
fasilitas dan kemudahan lainnya.