PUTUSAN PUTUSAN Nomor 29/PUU-XVI/2018 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
Nama : Dr. M. Achsin, S.H., S.E., M.M., M.Kn., M.Ec. Dev., M.Si., Ak., (CA., CPA., CRA., CLA., CPI., CLI.) [Sic!] Alamat : Jalan Sunan Ampel I Nomor 16, Malang Pekerjaan : Presiden Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) disebut sebagai --------------------------------------------------------- Pemohon I;
Nama : Indra Nur Cahya, S.H., M.H., M.Kn., (CRA., CLI.) [Sic!] Alamat : Komplek Unilever, Jalan Mertilang, Nomor 1H, RT 007/001, Kelurahan Petukangan Selatan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Pekerjaan : Sekretaris Jenderal Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon II;
Nama : Drs. Eddy Hary Susanto, Ak., (CFrA., CMA., CA., CLI., CPAI.) [Sic!] Alamat : Jalan Transyogy, Citra Gran, Blok N-6, Nomor 8, Kota Bekasi. Pekerjaan : Bendahara Umum Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) disebut sebagai ------------------------------------------------------- Pemohon III; 2 4. Nama : Anton Silalahi, S.E., Ak., (CA., CPA., CRA., CLI., CPI.) [Sic!] Alamat : Jalan Kayu Manis III Baru, Nomor 30, RT 15/02, Kelurahan Kayu Manis, Kecamatan Matraman, Provinsi DKI Jakarta. Pekerjaan : Likuidator/Anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) disebut sebagai ------------------------------------------------------ Pemohon IV;
Nama : Manonga Simbolon, S.E., (CRA., CLI.) [Sic!] Alamat : Jalan Pisang Batu I/6, RT 02/09, Kelurahan Kotabaru, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi. Pekerjaan : Likuidator/Anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon V;
Nama : Toni Hendarto, S.H., M.H., (CRA., CLA., CLI.) [Sic!] Alamat : Villa Indah Permai, Blok D4 – 32, RT 01/033 Kelurahan Teluk Pucung, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi. Pekerjaan : Likuidator/Anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) disebut sebagai ------------------------------------------------------- Pemohon VI;
Nama : Handoko Tomo, M.Ak, (CPA., AK., CA., CSRS., CIFRSL., CRA., CLI.) [Sic!] Alamat : Cluster Neo Permata, Blok E, Nomor 10, Bintaro, Sektor 9, RT 001/014, Kelurahan Parigi, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan Pekerjaan : Likuidator/Anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) disebut sebagai ------------------------------------------------------ Pemohon VII; Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 24 April 2018, diwakili oleh Irfan Nadira Nasution, S.H., (CRA., CLI.) [Sic!] , Ulhaq Andyaksa, S.H., M.H., (CA., CRA., CLI.) [Sic!] , Siti Aminah, S.H., M.H., (CRA., CLI.) [Sic!] , Umar Husin, S.H., (CLA., CLI., CA.) [Sic!] , Christina, S.H., (CRA., CLI.) [Sic!] , Bastian Hasan, S.H., M.H., (CLA., CLI., CRA.) [Sic!] , Devara K. Budiman, S.H., M.H., (CLI.) [Sic!] , 3 Resa Indrawan Samir, S.H., M.H., Arifudin, S.H., M.H., Agustiar, S.H., Maruli Tua Silaban, S.H., Muhammad Lazuardi Hasibuan, S.H., dan Catur Agus Saptono, S.H., M.H., (CLI.) [Sic!] , para Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung dalam Tim Hukum Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI), memilih domisili hukum di Gedung Sarinah lantai 9, Jalan MH. Thamrin Nomor 11, Jakarta Pusat, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa. Selanjutnya Pemohon I sampai dengan Pemohon VII disebut sebagai --- para Pemohon. [1.2] Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Mendengar dan mambaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar keterangan saksi dan ahli para Pemohon; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; Membaca kesimpulan para Pemohon.
DUDUK PERKARA [1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 26 Maret 2018, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 26 Maret 2018 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 57/PAN.MK/2018 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 29/PUU-XVI/2018 pada tanggal 29 Maret 2018, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 23 April 2018, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. KEWENANGAN MAHKAMAH 1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Selanjutnya Pasal 24C ayat (1) UUD 4 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”;
Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji UU terhadap UUD 1945 juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD 1945”;
Bahwa juga berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
memutus pembubaran partai politik;
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi ( the guardian of constitutiton ). Apabila terdapat UU yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi ( inconstitutional ), maka Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan UU tersebut secara menyeluruh ataupun perpasalnya. Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir MK terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya ( the sole interpreter 5 of constitution ) yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga terhadap pasal- pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada MK;
Bahwa berkenaan dengan jurisdiksi Mahkamah Konstitusi tersebut dan berdasarkan uraian di atas, maka Mahkamah berhak dan berwenang untuk melakukan pengujian konstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194 II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) DAN KERUGIAN KONSTITUSIONAL PARA PEMOHON II.1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon;
Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang mengatakan Pemohon pengujian undang-undang adalah “Pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.” Selanjutnya dalam Penjelasan atas Pasal 51 ayat (1) undang-undang a quo, disebutkan yang dimaksud dengan hak konstitusional” adalah “hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”;
Bahwa kemudian disebutkan yang dimaksud “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang”, yaitu: _a) perorangan warga negara Indonesia; _ b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan _Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c) badan hukum publik atau privat; _ d) lembaga negara. 3. Bahwa dari praktek Mahkamah (2003-2009), Pembayar pajak (Tax Payer, vide Putusan Nomor 003/PUU/1/2003) berbagai warga negara, asosiasi dan GNO atau LSM yang concern terhadap suatu undang-undang demi kepentingan publik, badan hukum, pemerintah darah, lembaga negara, dan 6 lain-lain, oleh Mahkamah dianggap memiliki legal standing (Kedudukan Hukum) permohonan pengujian, baik formil maupun materiil, undang- undang terhadap UUD 1945.
Bahwa Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia (selanjutnya disebut “WNI“) yang taat membayar pajak dan berprofesi sebagai Likuidator yang tergabng dalam Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (“PPLI“) (bukti P-3 s.d. (bukti P-9). Para Pemohon dalam hal ini adalah pihak yang berkepentingan dengan keberlakuan pasal-pasal yang diuji, sebab baik secara langsung atau tidak, dampaknya akan berpengaruh hak-hak konstitusional para Pemohon yang diatur dalam UUD 1945.
Bahwa dengan demikian maka Para Pemohon memiliki kapasitas dan kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT ini; II.2. Kerugian Konstitusional Para Pemohon 1. Bahwa dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 juncto Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan selanjutnya telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang apa yang dimaksud dengan “Kerugian Konstitusional” (Constitutional Right) dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu: __ a) Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang- _Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; _ b) Bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah _dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; _ c) Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang _menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; _ d) Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan _berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dijui; _ e) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka _kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; _ 2. Bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang menurut pemahaman para Pemohon telah menghilangkan atau mengganggu hak dasar para Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan 7 jaminan perlindungan hukum selaku warga negara Indonesia. Sebab kedua pasal tersebut tidak memberikan definisi bahkan persyaratan kepada seseorang yang dapat menjadi likuidator.
Bahwa Pasal 142 s.d. Pasal 152 UU PT telah mengatur mengenai tata cara pembubaran, liukidasi dan berakhirnya status badan hukum Perseroan yang dilakukan oleh likuidator. Kompleksitas tugas likuidator yang diatur dalam UU PT tersebut, sepantasnya dibutuhkan seorang yang memiliki keahlian khusus, profesional dan indpenden dibidang likuidasi, sehingga untuk mendapati likuidator yang memiliki keahlian khusus, profesional dan independen Para Pemohon berinisiasi untuk membentuk suatu organisasi yang disebut dengan Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia PPLI). Organisasi ini bertujuan untuk membentuk likuidator yang profesional serta sebagai wadah bagi perorangan WNI yang berminat menjadi likuidator;
Bahwa para pemohon yang tergabung dalam organisasi PPLI telah membuat standar kompetensi bagi perorangan WNI untuk menjadi likuidator dengan mengikuti pendidikan khusus likuidator secara penuh serta dinyatakan lulus ujian kompetensi. Oleh karena itu, menurut Para Pemohohon untuk menjadi likuidator perlu mengikuti serangkaian kegiatan- kegiatan yang mampu membentuk profesionalisme likuidator yang diselenggarakan oleh organisasi Likuidator tersebut.
Bahwa para Pemohon yang berprofesi likuidator telah mengikuti kegiatan- kegiatan-kegiatan untuk membentuk profesionalisme likuidator dan diikuti secara sadar oleh Para Pemohon, mengingat serangkaian wewenang yang diberikan oleh UU PT dalam melikuidasi perseroan tidak dapat dilaksanakan secara professional apabila likuidator tidak dibekali dengan dasar kemampuan dan keahlian yang mumpuni. Sehingga para Pemohon menganggap bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT belum mengakomodir kriteria secara orang yang layak menjadi likuidator. Oleh karenanya, PPLI sebagai organisasi perkumpulan profesi likuidator telah melakukan rangkaian kegiatan untuk membentuk kemampuan dan profesionalisme likuidator sejak tahun 2016 dan anggotanya tersebar di seluruh wilayah Indonesia (bukti P-10) 6. Bahwa rumusan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang tidak memiliki rumusan yang jelas terhadap kata likuidator, hal ini akan 8 mengakibatkan kurangnya atau hilangnya perlindungan hukum Para Pemohon, sehingga dalam melaksanakan profesinya, likuidator tidak memiliki jaminan kepastian hukum yang adil. Oleh karena itu, para Pemohon yang menjalankan profesinya sebagai likuidator sangat dimungkinkan untuk dikriminalisasi.
Bahwa selain para Pemohon yang dirugikan atas pasal a quo, para Pemohon menganggap bahwa bangsa dan negara ini juga mengalami kerugian yang nyata. Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang belum mengandung kepastian hukum terhadap kata likuidator, maka akan mengganggu pencapaian tujuan dari dibentuknya UU PT tersebut, yaitu untuk lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional ( Vide diktum pertimbangan dalam huruf b, UU PT ), sebab pelaksanaan likuidasi yang tidak dilakukan oleh likuidator yang professional dan memiliki kualifikasi tertentu akan memungkinkan pencapaian peningkatan pembangunan perekonomian nasional tidak sampai pada target atau bahkan mengalami penurunan. Dengan demikian, Para Pemohon menganggap Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT perlu diuji konstitusionalitasnya agar tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon, serta tidak mengganggu peningkatan pembangunan perekonomian nasional. III. OBYEK PERMOHONAN, BATU UJI, DAN ALASAN-ALASAN PERMOHONAN III.1. OBYEK PERMOHONAN Pasal-pasal dalam UU PT yang dijadikan obyek permohonan adalah Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) yang ketentuannya adalah sebagai berikut: Pasal 142 ayat (2) huruf a Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada _ayat (1): _ (a) wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator. (bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditional unconstitutional) “likuidator yang 9 berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian _melikuidasi perseroan, dan independen); _ Pasal 142 ayat (3) “ Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator , Direksi bertindak selaku likuidator .” (bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (unconstitutional)) III.2. BATU UJI Bahwa beberapa ketentuan UUD 1945 sebagai batu uji atas ketentuan asal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT adalah sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 __ “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” __ III.3. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN Bahwa dalam pemaknaan yang sederhana, likuidasi adalah tindak lanjut atas pembubaran suatu Perseroan, dimana hal tersebut dilakukan oleh likuidator dengan serangakaian tindakan dalam bentuk pemberesan asset, status hukum, serta pemberesan pajak terhutang terhadap suatu perseroan yang telah dibubarkan. Dalam pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam UU PT, likuidasi meliputi pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan; pengumuman dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi; pembayaran kepada para kreditor; pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan. 10 2. Bahwa dengan volume dan tanggungjawab yang besar dalam melaksanakan likuidasi tersebut sudah selayaknya pelaksanaan likuidasi dilakukan oleh orang yang telah ditempa melalui pendidikan khusus serta uji kompetensi, dan independen sehingga professionalitas dalam pelaksanaan likuidasi tersebut dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Bahwa dalam praktik likuidasi perseraon terdapat beberapa perseroan yang dilkuidasi oleh orang yang tidak memilki keahlian khusus dibidang likuidasi, sehingga masih banyak perseroan dikenal dengan corporate zombie, yaitu perseroan yang badan hukumnya masih tercatat di kementerian terkait, namun perseroan tidak lagi melakukan kegiatan usaha/produksinya;
Bahwa untuk mewujudkan pelaksanaan likuidasi yang professional diperlukan serangkaian pendidikan khusus, keterampilan, dan uji kompetensi untuk menguji kelayakannya. Serangkaian kegiatan tersebut saat ini diselenggarakan oleh PPLI (bukti P-11) yang juga merupakan wadah perkumpulan WNI yang berprofesi likuidator. Oleh karena itu, Para Pemohon menganggap bahwa likuidator seyogianya mengikuti serangkaian kegiatan tersebut agar terciptanya likuidator yang professional. Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhadap profesi likuidator 5. Bahwa likuidator adalah profesi yang melaksanakan tugas sebagaimana ditentukan UU PT. Profesi likuidator sebagaiamana ditentukan dalam undang-undang a quo senyatanya belum mengatur secara kompherensif mengenai likuidator, sehingga pengakuan profesi likuidator oleh negara sebagai profesi yang penting dalam melakukan likuidasi perseroan masih absurd. Padahal peran likuidator adalah untuk mendudukkan secara adil antara kepentingan dan hak-hak perseroan dalam likuidasi dengan perseroan yaitu: para pemegang saham, kreditor, manajemen perseroan, karyawan perseroan dan tentunya para anggota masyarakat. Di samping itu juga likuidasi yang dilakukan oleh likuidator adalah untuk mendukung 11 perekonomian negara melalui pelunasan pajak-pajak perseroan dalam likuidasi serta pada umumnya berdampak pada keberlangsungan kesejahteraan masyarakat;
Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” . Ketentuan ini menurut Para Pemohon menunjukkan bahwa setiap orang memiliki hak atas pengakuan dari setiap status yang melekat pada dirinya, termasuk pengakuan terhadap profesi dan karir yang melekat padanya. Pengakuan ini juga perlu adanya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Perlakuan yang sama di hadapan hukum juga dimaknai bahwa tiap-tiap warga mendapat perlakukan tanpa adanya pembedaan sesama warga negara, termasuk juga di dalam ketentuan norma perundang-undangan harus mengandung nilai imparsial antar sesama warga negara. Pemahaman terhadap kata ‘setiap orang berhak atas... dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama dihadapan hukum’ dalam perspektif hakekat tujuan hukum mengandung makna bahwa setiap norma hukum harus mampu memberikan pertama , keadilan yang ditandai dengan prinsip keseimbangan (balance) , kepatutan (proper) , dan prinsip kewajaran (proportional) ; kedua, kepastian, dan ketiga , kemanfaatan kepada setiap orang. Dalam memahami kedudukan dan fungsi suatu norma hukum, tidak dapat melepaskan pada perkembangan norma hukum itu sendiri. Dari setiap tahapan perkembangannya, norma hukum tersebut memiliki relasi konseptual dan ideologis, sehingga jiwa atau makna setiap rumusan norma hukum menjadi satu kesatuan sistem norma atau paradigma. Oleh karena itu suatu norma hukum harus dibangun dari pemaknaan “ a logical analysis of actual juristic thinking ” sehingga norma hukum memiliki kekuatan untuk dijadikan dasar berpijak setiap orang untuk berkehendak bagi setiap orang dan kelembagaan kekuasaan dan karenya norma hukum diasumsikan sebagai “ an agency of power; an instrument of goverment ”. Prinsip tersebut merupakan cerminan yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 12 7. Bahwa pasal a quo tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum terhadap kata “likuidator”. Sementara itu tugas dan wewenang likudator cukup besar dan memiliki tanggung jawab yang besar pula sebagaimana diatur dalam Pasal 142 s.d. Pasal 145 UU PT. Namun tugas dan wewenang tersebut tidak diimbangi dengan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang memadai serta mampu melindungi WNI yang berprofesi sebagai likuidator, berbeda halnya dengan profesi kurator yang telah diberikan perlindungan dan kepastian hukum yang jelas sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut “UU K-PKPU”) 8. Bahwa kemudian norma a quo juga melanggar nilai keadilan. Sebagaimana diungkapkan oleh John Rawls didalam bukunya yang berjudul “Teori Keadilan” adalah “... memberikan jalan untuk memberikan hak-hak dan kewajiban di lembaga dasar masyarakat serta menentukan pembagian keuntungan dan beban kerjasama secara layak” (John Rawls, Teori Keadilan, Cetakan Ke-1, Mei 2006, hal. 5). Undang-Undang a quo membuat perbedaan hak antara likuidator dengan kurator. Hal ini adalah tidak wajar dan sama sekali tidak layak dan melanggar asas keadilan sosial. Karena di dalam pasal a quo tidak memberikan pengakuan atau kejelasan profesi likuidator yang sesungguhnya memiliki kualitas, peran dan tanggungjawab yang sama dengan kurator. Dengan demikian rumusan dari Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT sama sekali tidak mengandung nilai keadilan sosial di dalamnya.
Bahwa norma a quo tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator. Ketentuan pasal a quo membuat profesi likuidator diperlakukan sebagai “anak tiri” dalam melakukan likuidasi perseroan. Pemikiran ini lahir karena Pemohon melihat bahwa pasal a quo tidak memberikan perlakuan yang sama dihadapan hukum (Undang-undang). Padahal sesungguhnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil 13 serta perlakuan yang sama dihadapan hukum ”. Namun Pasal a quo justru menafikkan pesan dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa tidak adanya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi likuidator sebagaimana kurator yang dirumuskan secara jelas kualifikasi-kualifikasi yang semestinya dipenuhi oleh kurator diantarnya diharuskan sebagai WNI sebagaiman diatur dalam Pasal 70 ayat (2) UU K-PKPU. Akibat tidak diaturnya rumusan mengenai kualifikasi likuidator dalam UU PT berdampak pada pelaksanaan likuidasi perseroan oleh orang yang tidak professional dan kompeten, bahkan terdapat likuidator asing yang berpraktik di wilayah hukum Indonesia. Kebebasan likuidator asing berpraktik di Indonesia disebabkan tidak adanya ketentuan hukum yang jelas. Sehingga perprofesi likuidator sangat dirugikan, dan merasa tidak adanya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum dari negara.
Bahwa absurd- nya pengakuan terhadap profesi likuidator, maka secara mutatis mutandis akan berdampak pada rendahnya jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi profesi sebaga likuidator. Sebab bila profesi likuidator belum diakui secara pasti oleh hukum, maka mustahil mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dari negara. Dengan demikian, norma a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT tidak mencerminkan adanya persamaan kedudukan hukum.
Bahwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” . Ketentuan dasar tersebut menurut Para Pemohon merupakan hak dasar konstitusional warga negara untuk diperlakukan secara patut berkedudukan yang setara dihadapan baik dalam bentuk persamaan pengaturan hukum (regulasi) terhadap kelompok atau golongan tertentu maupun dalam implementasi dari suatu peraturan perundang-undangan. Persamaan kedudukan antar warga negara tidak bisa dibatasi oleh adanya batas-batas dari kesukuan, agama, ras, termasuk keprofesian. Oleh karenanya, setiap ketentuan perundang-undangan harus mengakomodir makna yang tercantum dalam 14 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, agar ketentuannya memiliki makna adanya persamaan dihadapan hukum antar sesama warga negara.
Bahwa likuidator adalah profesi yang menjalankan tugas sebagai pelakasana likuidasi perseroan. Serangkaian tindakan yang diperlukan untuk melikuidasi perseroan sebagaimana para Pemohon uraikan di atas, diantaranya adalah melakukan pemberesan harta kekayaan perseroan. Namun tidak hanya itu, likuidator juga melakukan tindakan-tindakan lain seperti melakukan penghapusan badan hukum perseroan serta penyelesaian perpajakannya. Dengan alasan tersebut, Para Pemohon menganggap bahwa likuidator adalah profesi yang setara dengan profesi- profesi lainnya, atau setidak-tidaknya setara dengan kurator yang diatur dalam UU K-PKPU, sebab tugas yang diemban oleh likuidator dengan kurator adalah setara. Bahkan dapat dikatakan tugas likuidator jauh lebih berat dibandingkan kurator, karena tugasnya tidak terhenti pada pemberesan harta, melainkan sampai pada penghapusan badan hukum perseroan.
Bahwa kedudukan likuidator yang setara dengan kurator juga dapat dilihat dari ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT menyatakan bahwa “Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud _pada ayat (1):
wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh_ likuidator atau kurator” . Adanya frasa tersebut dalam rumusan norma a quo , menunjukkan bahwa adanya kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari pilihan kata yang digunakan, yaitu kata “atau”. Penggunaan kata “atau” menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada perbedaan kedudukan yang signifikan antara likuidator dengan kurator. Dengan demikian maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya, maupun kualifikasinya sebagai likuidator.
Bahwa untuk lebih jelasnya perbandingan tugas antara kurator dengan likuidator dapat dilihat dalam matriks di bawah ini: 15 Matriks Perbandingan Pengaturan Likuidator Dengan Kurator No Perihal Pengaturan likuidator Pengaturan kurator 1. Pengertian/ definisi profesi Tidak diatur Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang- Undang ini. (vide __ Pasal 1 angka 5 UU PKPU) 2. Beban kerja Likuidator memiliki tugas-tugas sebagai berikut:
memberitahukan pem-bubaran Perseroan tersebut kepada Menteri hukum dan HAM untuk dicatat dalarn daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi; [vide Pasal 147 ayat (1) UU PT] b. melakukan pemberesan harta perseroan; [vide __ Pasal 149 ayat (1) UU PT] c. atas perintah pengadilan negeri, likuidator melakukan penarikan sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham apabila ada kreditor yang belum mengajukan tagihannya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pembubaran Perseroan diumumkan; [vide __ Pasal 150 ayat (2) Kurator memiliki tugas-tugas sebagai berikut:
melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit ( _Vide: _ Pasal 69 UU K-PKPU) b. Kurator harus menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya setiap 3 (tiga) bulan. (vide __ Pasal.... UU K-PKPU) c. Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan (vide __ Pasal 98 UU K-PKPU) d. Kurator paling lambat 5 (lima) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 wajib memberitahukan penetapan tersebut kepada semua Kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan mengumumkannya paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4). (vide __ Pasal 114 UU K-PKPU) e. Kurator wajib: - mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan 16 UU PT] d. membuat laporan pertanggungjawaban atas likuidasi yang dilakukan; [vide __ Pasal 152 ayat (1) UU PT] e. memberitahukan kepada Menteri hukum dan HAM hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya; [vide __ Pasal 152 ayat (3) UU PT]; dan
mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan rnenerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. (vide __ Pasal 152 ayat (3) UU PT) oleh Kreditor dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan Debitor Pailit; atau - berunding dengan Kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima (Pasal 116 ayat (1)) Kurator melakukan penjualan harta pailit (vide __ Pasal 185 UU K-PKPU) g. Kurator melakukan daftar pembagian hasil penjualan harta pailit (vide __ Pasal 189 UU K- PKPU) 3. Kualifikasi profesi Tidak diatur Seseorang yang dapat diangkat menjadi likuidator harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut:
orang perseorangan yang _berdomisili di Indonesia; _ b. memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau _membereskan harta pailit; _ c. dan terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang 17 hukum dan peraturan perundang-undangan.” [vide Pasal 70 ayat (2) UU PKPU] 4. Organisasi Profesi Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) b. Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) c. Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (KHKI) 16. Bahwa berdasarkan matriks di atas, terlihat dengan jelas beban kerja antara likuidator dengan kurator adalah sama yang pada pokoknya adalah melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta perseroan, namun terlihat juga dengan jelas aturan yang mengatur likuidator dan curator tidak memiliki kesetaraan terlebih terhadap kualifikasi profesi 17. Bahwa perbedaan ketentuan yang tidak imparsial tersebut, para Pemohon menganggap pasal a quo yang telah melahirkan perbedaan perlakuan menurut hukum antara likuidator dengan kurator. Oleh karena itu, Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT tidak mencerminkan adanya persamaan kedudukan dihadapan hukum sehingga para Pemohon beranggapan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Bahwa menurut para Pemohon kata “likuidator” yang diatur dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT seyogianya dimaknai sebagai likuidator yang berstatus sebagai warga negara Indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, kompeten dan independen. Uraian mengenai pemaknaan terhadap kata likuidator tersebut, penjelasannya adalah sebagai berikut:
Warga Negara Indonesia Persyaratan untuk menjadi likuidator harus berstatus sebagai warga negara Indonesia diperlukan agar hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi para Pemohon terlindungi, sebab menurut para Pemohon apabila persyaratan sebagai Warga Negara Indonesia tidak dijadikan sebagai syarat, maka akan membuka peluang bagi warga negara asing untuk 18 menjadi likuidator yang berpraktik di Indonesia. Dengan tidak adanya persyaratan sebagai warga negara Indonesia, maka jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap Para Pemohon yang keseluruhannya sebagai warga negara Indonesia, tidak merasa terlindungi. Padahal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum merupakan hak konstitusonal warga negara.
Memiliki sertifikat keahlian dalam melikuidasi perseroan Setiap calon likuidator menurur para Pemohon harus memiliki sertifikat keahlian dalam melikuidasi perseroan adalah syarat yang penting. Persyaratan ini untuk menjamin adanya pelaksanaan likuidasi perseroan dapat dikerjakan secara profesional. Persyaratan ini juga diperlukan untuk mengantisipasi adanya likuidator yang tidak profesionalitas kerja dan tidak kompeten di bidang likuidasi.
Independen Profesi likuidator merupakan profesi yang bertugas untuk melikuidasi perseroan. Dengan tugas tersebut, likuidator akan banyak bersinggungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perseroan yang dilikuidasi. Oleh karena itu, agar likuidasi dapat terlaksana dengan adil, maka diperlukan likuidator yang memiliki sifat independen, terutama ketika likuidator melaksanakan tugasnya untuk membereskan harta kekayaan perseroan. Sama halnya dengan kurator yang juga bertugas membereskan harta kekayaan perseroan, dipersyaratkan juga untuk memiliki independensi. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 78/PUU- VIII/2010, yang menentukan agar kurator memiliki independensi. Dengan demikian, maka independensi sangat dibutuhkan bagi profesi yang bertugas membereskan harta kekayaan, termasuk juga likuidator diperlukan memiliki independensi.
Pemaknaan terhadap kata likuidator tersebut diperlukan agar pelaksanaan likuidasi dapat terlaksana dengan baik, tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon, serta pelaksanaannya sesuai dengan standar likuidasi perseroan. Pemohon menganggap kata likuidator perlu 19 dimaknai menjadi likuidator yang berwarga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen. Pasal 142 ayat (3) UU PT berpotensi menimbulkan konflik __ bagi __ Para Pihak yang berkepentingan ( conflict of interest) .
Bahwa dalam melikuidasi perseroan akan ada beberapa pihak yang berkepentingan dengan proses tersebut, yakni para pemegang saham, kreditor, karyawan/buruh, dirjen pajak dan masyarakat. Para pihak yang berkepentingan tersebut perlu disikapi secara professional, diantaranya adalah dengan mengakomodir berbagai kepentingan-kepentingannya secara adil dan tidak memihak. Oleh karena itu, diperlukan Likuidator yang professional dan tidak berkaitan struktural dengan perseroan dalam likuidasi.
Bahwa pentingnya mengedepankan independensi dan menghindarkan benturan kepentingan dalam penanganan suatu perseroan atau badan hukum terkait pemberesan asset, telah dinyatakan secara tegas oleh Mahkamah melalui Putusan Nomor 78/PUU-VIII/2010 yaitu: [3.22] M enimba ng, terhadap dalil para Pemohon bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (3) UU 37/2004 khususnya pada kata “Kurator yang diangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor,” beserta Penjelasannya menjadi dasar Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan Pemohon I selaku kurator tidak diberikan imbalan jasa kurator karena adanya benturan kepentingan yaitu hubungan suami istri kurator dan kuasa kreditor (Pemohon I dan salah satu Pemohon II), sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ", Mahkamah berpendapat, pasal a quo justru sangat penting dalam rangka menjamin ketidakberpihakan dan menjamin kurator bekerja secara jujur dan profesional (prinsip fairness). Apabila kurator tidak independen dan mempunyai benturan kepentingan dalam menjalankan tugasnya, maka sangat potensial merugikan salah satu pihak, baik debitor, kreditor maupun pihak lain. Pasal a quo juga tidak 20 berarti membatasi warga negara untuk menjadi kurator yang ditunjuk untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit asalkan berpegang teguh pada prinsip independensi dan menghindarkan diri dari kemungkinan adanya benturan kepentingan sehingga dapat bekerja secara profesional dan adil serta tidak merugikan salah satu pihak. Terhadap tidak diberikannya imbalan jasa kurator kepada Pemohon I, Mahkamah berpendapat, hal demikian bukanlah merupakan permasalahan konstitusional yang terdapat dalam _pengujian ketentuan a quo; _ Berdasarkan putusan Mahkamah tersebut, maka dalam rasio yang wajar, independensi dan tidak adanya benturan kepentingan dalam penanganan pemberesan asset perseroan merupakan syarat yang harus ada pada profesi yang melaksanakan penanganan pemberesan asset perseroan.
Bahwa likuidator sebagaimana dimaksud dalam UU PT memiliki tugas sebagai berikut:
memberitahukan pembubaran Perseroan tersebut kepada Menteri hukum dan HAM untuk dicatat dalarn daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi; [vide Pasal 147 ayat (1) UU PT] b. melakukan pemberesan harta perseroan; [vide __ Pasal 149 ayat (1) UU PT] c. Dalam hal likuidator memperkirakan bahwa utang Perseroan lebih besar daripada kekayaan Perseroan, likuidator wajib mengajukan permohonan vpailit Perseroan, kecuali peraturan perundang- undangan menentukan lain, dan semua kreditor yang diketahui identitas dan alamatnya, menyetujui pemberesan dilakukan di luar kepailitan; [vide __ Pasal 149 ayat (2) UU PT] d. Atas perintah pengadilan Negeri, likuidator melakukan penarikan sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham apabila ada kreditor yang belum mengajukan tagihannya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pembubaran Perseroan diumumkan; [vide __ Pasal 150 ayat (2) UU PT] e. membuat laporan pertanggungjawaban atas likuidasi yang dilakukan; [vide __ Pasal 152 ayat (1) UU PT] 21 f. memberitahukan kepada Menteri hukum dan HAM hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya; [vide __ Pasal 152 ayat (3) UU PT]; dan
mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan rnenerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. [vide __ Pasal 152 ayat (3) UU PT]. Dari rangkaian tugas yang diemban tersebut, dapat terlihat dengan jelas bahwa tugas likuidator tidak hanya sekedar melakukan pemberesan harta, melainkan ada tugas-tugas lainnya yang harus diselesaikan oleh likuidator dalam melikuidasi perseroan. Oleh karena itu, selayaknya likuidator memiliki sifat yang independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dalam penanganan pemberesan asset perseroan.
Bahwa Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU PT merupakan organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan. Dari ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya Direksi dipersiapkan untuk mengurus dan menjalankan produktivitas perseroan. hal ini bermakna ketika perseroan mengalami kerugian-kerugian yang mengakibatkan perseran harus dibubarkan tidak terlepas dari peranan direksi yang tidak mampu mengelola perseroan dengan baik. Oleh karena itu direksi tidak sepantasnya bertindak sebagai likuidator ketika terjadi pembubaran perseroan.
Bahwa Direksi yang menjalankan fungsi likuidator, selain tidak dilaksanakan secara profesional, Direktur juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Segala harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip- prinsip keadilan tidak bisa dilaksanakan oleh sebab peranan likuidator diperankan oleh Direktur. Kondisi seperti demikian, baik langsung atau tidak, akan menciderai nama baik profesi likuidator.
Bahwa dengan demikan, rumusan Pasal 142 ayat (3) UU PT tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan 22 mengganggu independensi likuidator . Kondisi ini dimungkinkan ketika likuidator sebagai direksi di perseroan yang akan dibubarkan. Sehingga, menurut Para Pemohon Pasal 142 ayat (3) UU PT bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. IV. PROFESI LIKUIDATOR DALAM PERSPEKTIF CORPORATE GOVERNANCE 1. Bahwa good corporate governance (GCG) merupakan prinsip pengelolaan perseroan dengan memperhatikan keseimbangan kewenangan pelaksana perseroan dengan kepentingan pemegang saham serta kepentingan masyarakat luas sebagai bagian dari stakeholder (M. Irsan Nasarudin dan Indra Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia , Kencana, Jakarta 2004. Hal. 96). Prinsip-prinsip utama dari GCG yang dapat dijadikan sebagai sebagaimana dikemukakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), adalah: 1) Fairness (Kewajaran); 2) Disclosure/Transparency (Keterbukaan/Transparansi); 3) Accountability (Akuntabilitas); dan 4) Responsibility (Responsibilitas). Melalui pemenuhan kepentingan yang seimbang, benturan kepentingan yang terjadi di dalam perseroan dapat diarahkan dan dikontrol sedemikian rupa, sehingga tidak menyebabkan timbulnya kerugian bagi suatu perseroan. Berbagai macam korelasi antara implementasi prinsip-prinsip GCG di dalam suatu perseroan dengan kepentingan para pemegang saham, kreditor, manajemen perseroan, karyawan perseroan dan tentunya para anggota masyarakat, merupakan indikator tercapainya keseimbangan kepentingan. (Iva Yulia Munawarah, Analisis Yuridis Terhadap Implementasi Prinsip Good Corporate Governance Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Pada PT Bukit Intan Indoperkasa Balikpapan Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Munawarah. Diunduh dari: https: //media.neliti.com/media/publications/115772-ID-none.pdf, Jurnal). Keseimbangan kepentingan tidak hanya diperlukan ketika perseroan masih melaksanakan kegiatan usahanya. Ketika perseroan membubarkan diri atau dibubarkan, maka keseimbangan kepentingan pun diperlukan untuk menjaga para pihak yang memiliki kepentingan tidak dirugikan atas pembubaran tersebut. Oleh karena itu, pembubaran perseroan yang 23 dilakukan melalui likuidasi perlu ditangani oleh likuidator yang netral atau tidak memihak, serta memiliki kompetensi dan profesionalitas dalam melikuidasi perseroan.
Bahwa UU PT telah mengatur sedemikian rupa dalam melikuidasi perseroan, tepatnya pada BAB X tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Berakhirnya Status Badan Hukum Perseroan. Namun yang menjadi soal adalah pengaturan mengenai ‘likuidator’ sebagai pelaksana likuidasi tidak diatur secara kompherensif sehingga keseimbangan kepentingan masih belum mampu diwujudkan, Sebab, dalam BAB X UU PT, likuidator belum didefinisikan maupun menentukan kualifikasi-kualifikasinya tentang likuidator. Oleh karena itu, perlu adanya terobosan hukum yang mampu memperluas makna likuidator tersebut, sehingga penerapan prinsip CGC dapat diimplementasikan tidak hanya dalam keadaan sehat, namun juga ketika perseroan dalam proses pembubaran;
Bahwa dalam rangka pembubaran, likuidasi dan pengakhiran status badan hukum perseroan, likuidator memiliki peranan penting untuk melakukan itu semua. Likuidator dalam pelaksanaan tugasnya memegang peranan penting ketika ada beberapa sebab yang melatarbelakanginya, yaitu: adanya pembubaran perseroan yang terjadi berdasarkan keputusan RUPS; karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah berakhir dicabutnya kepailitan berdasar keputusan Pengadilan Niaga, dan dicabutnya izin usaha perseroan [vide Pasal 142 ayat (2), dan ayat (3) UU PT]. Dengan adanya sebab-sebab tersebut, likuidator melakukan tugas pentingnya untuk melikuidasi perseroan. Likuidasi merupakan suatu tindakan untuk memproses pemberesan harta kekayaan Perseroan Terbatas. Pemberesan harta kekayaan ini dilakukan oleh kurator (jika proses hukum kepailitan) atau likuidator (di luar hukum kepailitan) yang dapat diangkat secara khusus (Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas , Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999. Hal. 168).
Bahwa sebagai gambaran profesi likuidator di negara maju, Australia misalnya, Likuidator haruslah terlebih dahulu tercatat sebagai anggota penuh pada Australian Restructuring Insolvency and Turnaround Association (ARITA) suatu organisasi profesi tunggal yang mensertifikasi 24 para Likuidator. Selain itu, ada juga ketentuan persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi likuidator dan tergabung menjadi anggota ARITA, seperti: 1) dinominasikan/ direkomendasikan oleh anggota lain; 2) Lulus Kursus Kualifikasi Insolvency Education Program; 3) Memiliki Asuransi Indemnity Profesional untuk menjamin kemungkinan permasalahan dalam melaksanakan profesinya, adalah anggota aktif dari setidaknya organisasi profesi seperti Chartered Accountants Australia and New Zealand (CAANZ), Chartered Professional Accountant (CPA), Institute of Public Accountants (IPA), The Association of Chartered Certified Accountants (ACCA) (semua lembaga yang diakui oleh Internasional Federation of Accountants [IFAC]) atau memiliki sertifikat berpraktek hukum; dan 4) Dalam tiga tahun dari lima tahun terakhir telah bekerja dalam penugasan profesional dibawah pengawasan langsung dari anggota ARITA yang dilaksanakan di Australia sebagai Prinsipal dalam penugasan sebagai Insolvency Practitioners , atau Memenuhi syarat yang ditetapkan Komite Nasional bahwa pendaftar memiliki pengalaman yang cukup untuk menjustifikasi penerimaan sang calon sebagai anggota, atau telah memiliki lisensi praktek hukum untuk setidaknya tiga tahun dan Komite Nasional beranggapan bahwa dalam dalam tiga tahun diantara lima tahun terakhir yang bersangkutan telah cukup bekerja dalam penugasan-penugasan kepailitan dan calon memiliki pengalaman yang cukup dalam bidang kepailitan untuk menjustifikasi penerimaan sebagai anggota. Setelah terdaftar di ARITA, barulah seorang profesional bisa mengajukan pendaftaran ke sebagai Trustee ke AFSA atau sebagai Likuidator ke ASIC. Pengaturan likuidator di Australia setidaknya dapat dipahami bahwa profesi likuidator dianggap memiliki peranan penting dalam melikuidasi perseroan, sehingga pengaturan mengenai likuidator yang kompherensif di negara tersebut sangat diperlukan agar terciptanya keseimbangan kepentingan dan tidak merugikan salah satu pihak yang memiliki kepentingan atas perseroan yang dibubarkan.
Bahwa sebagaimana uraian mengenai CGC dan gambaran pengaturan likuidator di Australia, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan likuidasi perseroan di Indonesia sudah sepatutnya dilakukan oleh likuidator yang memiliki kualifikasi tertentu atau setidak-tidaknya memiliki sifat independen, professional, dan memiliki sertifikasi keahlian. Hal ini 25 diperlukan untuk terciptanya likuidasi yang mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan dari pihak yang terkait.
Bahwa sebagaimana dasar dari pembentukan UU PT yang tercantum dalam diktum pertimbangan huruf b UU PT yang pada pokoknya menyatakan bahwa “ dalam rangka lebih meningkatkan pembangunan __ perekonomian nasional, dst...” , maka likuidator yang diatur dalam UU PT tersebut seyogianya dimaknai sebagai likuidator yang memiliki netralitas, kompetensi dan profesionalitas dalam melikuidasi perseroan. Sebab, menurut para Pemohon tidak mungkin UU PT menghendaki pelaksanaan likuidasi perseroan dilakukan oleh orang yang tidak netral atau memihak, tidak memiliki kompetensi dan profesionalitas dalam melikuidasi perseroan dengan maksud untuk lebih meningkatkan pembangunan __ perekonomian nasional. Dengan demikian, menurut para Pemohon, kata “likuidator” dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a agar dimaknai sebagai likuidator yang netral atau tidak memihak, serta memiliki kompetensi dan profesionalitas dalam melikuidasi perseroan. A. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, maka para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah yang Mulia untuk memeriksa dan memutus permohonan ini sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan para Pemohon;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756), sepanjang kata “likuidator” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditional unconstitutional) “ likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen ;
Menyatakan Pasal 142 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 26 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Mahkamah mempunyai pendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya - ex aequo et bono . [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-18, sebagai berikut:
Bukti P-1: Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
Bukti P-2: Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Kartu Anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia Pemohon I a.n DR. M. ACHSIN, S.H., SE., MM., M.Kn., M.Ec. Dev., M.Si., Ak., CA., CPA., CRA., CLA., CPI., CLI.;
Bukti P-4: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Kartu Anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia Pemohon II a.n INDRA NUR CAHYA, SH., MH., M.Kn., CRA., CLI.;
Bukti P-5: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Pemohon III a.n Drs. EDDY HARY SUSANTO, Ak., CFrA., CMA., CA., CLI., CPAI.;
Bukti P-6: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Kartu Anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia Pemohon IV a.n ANTON SILALAHI, SE., Ak., CA., CPA., CRA., CLI., CPI.;
Bukti P-7: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Kartu Anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia Pemohon V a.n MANONGA SIMBOLON, SE., CRA., CLI.; 27 8. Bukti P-8: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Kartu Anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia Pemohon VI a.n TONI HENDARTO, SH., MH., CRA., CLA., CLI.;
Bukti P-9: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Kartu Anggota Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia Pemohon VII a.n HANDOKO TOMO, M.Ak, CPA., AK., CA., CSRS., CIFRSL., CRA., CLI.;
Bukti P-10: Fotokopi Daftar Anggota PPLI yang tersebar di wilayah Indonesia;
Bukti P-11: Fotokopi Akta Pendirian PPLI.
Bukti P-12: Fotokopi Peraturan tentang Kode Etik PPLI;
Bukti P-13: Fotokopi Standar Kompetensi PPLI;
Bukti P-14: Fotokopi Undangan dari OJK perihal Diskusi atas Penyusunan 2 (dua) Surat Edaran OJK Turunan POJK Nomor 28/POJK.05/2015, tanggal 2 November 2017;
Bukti P-15: Fotokopi Daftar Anggota PPLI yang pernah menjadi likuidator;
Bukti P-16: Fotokopi Perusahaan yang dilikuidasi oleh Direksi;
Bukti P-17: Fotokopi Daftar Bank yang dilikuidasi;
Bukti P-18: Fotokopi Pengumuman pemberitahuan yang dilakukan oleh likuidator yang tidak kompeten dalam menangani likuidasi PT Omya Indonesia. Selain itu, para Pemohon juga mengajukan tiga orang ahli dan tiga orang saksi yang keterangannya disampaikan pada persidangan tanggal 5 Juni 2018 dan 10 Oktober 2018, yang pada pokoknya sebagai berikut: AHLI PARA PEMOHON 1. M. Hadi Shubhan Ahli menyampaikan beberapa hal penting mengenai likuidator Perseroan Terbatas harus kompeten dan independen. Ada tiga isu hukum, yaitu: 28 1. Mengapa likuidator Perseroan Terbatas harus memiliki kompetensi serta independen dalam menjalankan tugasnya di dalam melikuidasi Perseroan Terbatas? 2. Mengapa direksi Perseroan Terbatas sebaiknya tidak dapat diangkat sebagai likuidator? 3. Bagaimana perbandingan antara profesi likuidator dengan profesi kurator? Perbandingan ini penting karena di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut menyebutkan, “dua profesi likuidator atau kurator,” sebagaimana di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf b, demikian juga soal direksi dalam Pasal 142 ayat (3). Ahli pernah diminta membuat legal opinion oleh tim likuidator sebuah Perseroan Terbatas. Setelah kami melakukan due diligence , ternyata tugas likuidator adalah sangat kompleks dan memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa likuidator adalah profesi yang betul- betul harus kompeten dan independen. Kenapa? Karena antara lain bahwa tugas likuidator adalah melikuidasi asset. Kemudian membagikan aset kepada para kreditur dan juga membagikan aset kepada para pemegang saham. Likuidasi Perseroan Terbatas memiliki arti penting terkait dengan asas paritas creditorium sebagaimana diatur dalam 1131 dan asas pari passu pro rata parte . Karena asas paritas creditorium tersebut menyatakan bahwa harta kekayaan debitur in casu adalah Perseroan Terbatas akan menjadi jaminan demi hukum pembayaran terhadap utang-utang para krediturnya. Artinya para kreditur demi hukum akan dibayar dari semua harta yang dimiliki oleh debitur. Termasuk di dalam likuidasi dan salah satu tujuannya adalah membagi harta Perseroan Terbatas kepada para krediturnya. Jenis kreditur bermacam-macam, antara lain, dalam teori disebut asas pari passu pro rata parte , dimana para kreditur bisa dikualifikasikan menjadi tiga, yaitu kreditur separatis , preferen , dan konkuren . Kreditur separatis adalah mereka yang memiliki jaminan kebendaan. Sedangkan kreditur preferen dan konkuren, kalau di Amerika atau di Singapura, separatis namanya secured creditor . Sedangkan yang preferen dan konkuren disebut unsecured creditor . Kreditur preferen dan konkuren tidak memiliki jaminan kebendaan. Bedanya kalau preferen oleh undang-undang didahulukan pembayarannya, sedangkan konkuren adalah tidak didahulukan. Oleh 29 karena itu, dalam bahasa Belanda disebut, “ Concurete .” Artinya, ‘bersaing’, ‘berebut’, artinya ‘berkompetisi dengan kreditur yang lain’. Dengan demikian asas tersebut menjadi landasan dari salah satu tugas likuidator, karena likuidasi akan membayar kepada para krediturnya. Kemudian yang kedua mencairkan aset dalam likuidasi memiliki tingkat kerumitan yang kompleks. Ahli ingin menggambarkan bahwa tugas likuidator adalah memiliki tingkat kerumitan dan kompetensi yang tinggi serta tanggung jawab yang tinggi. Kemudian yang kedua adalah likuidasi menyangkut pihak lain. Pihak lain di luar Perseroan Terbatas, di luar pemegang saham adalah para kreditur. Jadi likuidator tersebut berhubungan dengan intern yaitu pemegang saham dan berhubungan dengan ekstern yaitu para kreditur. Ada empat tugas likuidator, pertama , tugas administrasi. Kedua , tugas mencairkan asset. Kemudian tugas membagi-bagikan kepada kreditur dan tugas mempertanggungjawabkan pada RUPS. Tugas administrasi macam-macam, misalnya mengumumkan di dalam media, kemudian memberitahukan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tugas mencairkan asset, tentu namanya likuidasi, yang berasal dari kata Belanda dan Inggris adalah liquid yang berarti ‘mencairkan’. Artinya, aset-aset yang belum dalam bentuk uang, kemudian diuangkan, maka istilahnya adalah likuidasi. Kemudian yang ketiga , setelah dilikuidasi didahulukan pembagian kepada para kreditur, kalau sudah membagi kepada para kreditur kemudian dibagikan kepada pemegang saham. Kalau pemegang sahamnya hanya satu orang dalam arti mayoritas, kemudian satunya pihak lain, itu tidak komplek. Tetapi kalau pemegang sahamnya banyak, apalagi kemudian lintas batas luar negeri, maka menjadi hal yang sangat kompleks. Sehingga likuidator harus memiliki kompetensi. Kompetensi tersebut didasari karena tugasnya yang kompleks dan menyangkut hak pihak lain, menyangkut pertanggungjawaban pada RUPS, dan juga kesetaraan dengan profesi sejenis, dalam hal ini adalah kurator kepailitan. Tugas administrasi, misalnya mengumumkan di dalam koran mengenai adanya kepailitan, mengadakan rapat kreditur dan yang sejenisnya. Tugas mengurus dan mengelola harta pailit, mengumpulkan harta pailit, bahkan ada perusahaan yang kadang-kadang on going concern maka itu menjadi tugas utama kurator. Kemudian yang ketiga adalah tugas membereskan harta pailit, artinya menjual harta pailit untuk dicairkan menjadi uang. Kemudian, setelah itu 30 membagikan kepada harta pailit kepada para kreditur dan tugas pertanggungjawaban. Regulasi profesi kurator sangat ketat dalam undang-undang maupun dalam regulasi di bawah undang-undang, seperti Peraturan Menteri Hukum dan HAM. Pengaturan tersebut terkait, Pertama , syarat pengangkatan kurator, pengawas profesi kurator, etika profesi kurator, pertanggungjawaban kurator, serta sanksi apabila terjadi kesalahan, bahkan kelalaian seorang kurator pun bisa diberikan sanksi. Syarat pengangkatan kurator, misalnya bahwa kurator di Indonesia berasal dari advokat dan akuntan. Artinya bahwa kurator merupakan profesi yang sub spesialis, sedangkan advokat/akuntan itu Ahli gambarkan sebagai spesialis. Kurator adalah lebih spesialis daripada tersebut. Karena itu seorang kurator harus berasal dari advokat atau harus berasal dari akuntan. Advokat sebuah profesi yang memiliki syarat dan ketat. Akuntannya juga demikian. Aturan kurator lebih ketat dari advokat dan akuntan. Kedua, adanya pendidikan calon curator yang sekarang diselenggarakan oleh komite bersama antara organisasi profesi dengan Kementerian Hukum dan HAM, sampai dengan ujian pengangkatan. Keempat adalah pendaftaran di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kelima , adanya organisasi profesi. Pengawasan terhadap profesi curator, meliptu Pertama , langsung diawasi oleh hakim pengawas karena dalam Undang-Undang Kepailitan dikatakan bahwa hakim pengawas adalah mengawasi kurator dalam melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Kedua, diawasi oleh kode etik organisasi profesi (ada tiga organisasi profesi curator, yaitu AKPI, IKAPI, dan HKPI), masing-masing memiliki kode etik untuk menjamin tidak terjadi misconduct terhadap profesi kurator dan pengurus tersebut. Ketiga, diawasi oleh panitia kreditur, debitur, dan stakeholder dari kepailitan tersebut. Kurator juga memiliki organisasi profesi. Pertanggungjawaban kurator juga sangat tinggi, yaitu Pertama , setiap tiga bulan harus memberikan laporan kepada hakim pengawas kepailitan. Kedua , di akhir tugas harus mempertanggungjawabkan kepada hakim pengawas dan harus mempertanggungjawabkan kepada kreditur, artinya menyerahkan semua pekerjaan-pekerjaan yang telah dilakukan kurator kepada debitur sesuai dengan Pasal 202 Undang-Undang Kepailitan. Ketiga , dimintai pertanggungjawaban pidana, perdata, dan administrasi negara. 31 Dalam Undang-Undang Kepailitan telah tegas dalam Pasal 234 menegaskan bahwa pengurus mutatis mutandis juga kurator yang terbukti tidak independen dikenakan sanksi pidana dan/atau perdata sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian Pasal 72 merupakan sanksi perdata, juga dikatakan bahwa kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dari uraian tersebut di atas maka Ahli menyimpulkan menjadi tiga sesuai dengan isu hukum, yaitu:
Profesi kurator harus kompeten. Sebab tugas dan tanggung jawabnya menyangkut pihak lain, seperti para kreditur dan pemegang saham, serta sangat rumit dan kompleks tugas dan tanggung jawabnya tersebut. Profesi likuidator harus independen dan tidak memiliki benturan kepentingan. Oleh karena itu, maka profesi likuidator harus disertifikasi oleh organisasi profesi.
Direktur Perseroan Terbatas seharusnya tidak menjadi likuidator. Karena direktur Perseroan Terbatas tidak independen dan berpotensi menjadi tindakan yang terjadi benturan kepentingan ( conflict of interest ), serta tidak memiliki kompetensi terkait dengan tugas-tugas likuidasi.
Profesi likuidator memiliki tugas tanggung jawab yang setara dan sebanding dengan profesi kurator. Profesi kurator sangat ketat aturan mengenai syarat pengangkatan, sertifikasi profesi, pengawasan, etika, pertanggungjawaban, dan sanksi. Sementara profesi likuidator tidak atau belum ditentukan demikian, misalnya likuidator harus tersertifikasi bahkan di dalam Pasal 143 malah terjadi contradictio in terminis bahwa direktur dapat pula diangkat sebagai likuidator, jika tidak diangkat likuidator.
Efridani Lubis Good corporate governance (GCG) merupakan prinsip tata kelola yang berisikan rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, dan aturan yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi. Prinsip ini muncul dikarenakan kekhawatiran kekuasaan chief executive officer (CEO) dalam sebuah perseroan yang bisa mendominasi kebijakan dan strategi perseroan ketika sebagian besar dewan direksi bersikap pasif. Dalam sistem perseroan terbatas yang kita kenal sekarang ini, khususnya pada perseroan terbatas terbuka (Tbk), memungkinkan ratusan bahkan ribuan 32 pemegang saham berasal dari golongan menengah; walaupun secara umum mereka hanya memiliki porsi yang kecil sehingga tidak memiliki kekuasaan signifikan dalam korporasi yang menggunakan prinsip ‘ one share one vote ’. Dengan kata lain, mereka besar dalam jumlah, namun kecil pengaruhnya pada putusan perseroan. Situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi pemegang perusahaan, karena peluang kemungkinan CEO melakukan abuse of power terbuka lebar dengan alasan untuk kepentingan perseroan. Situasi ini akhirnya menimbulkan ide untuk melakukan sistem monitor yang ternyata cukup mahal. Untuk itu, pasar modal Amerika dan Inggris pada tahun 1990-an mengeluarkan aturan mewajibkan setiap perusahaan yang sudah listing di bursa efek untuk mengungkapan laporan keuangan secara detail, daftar para pemegang saham orang dalam, upah manajemen, dan perbedaan kepentingan ( conflict of interest ) yang ada (Randall K. Morck and Lloyd Steier, 2005). Dengan berdasarkan data- data ini, maka kebijakan dan/atau strategi CEO bisa dinilai apakah mengandung potensi abuse of power atau bukan yang bisa mengakibatkan kerugian pemegang saham. Mencermati perkembangan internasional yang ada, pada tahun 1999 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), suatu forum antar pemerintah yang bertujuan untuk mengembangkan kebijakan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan sosial dunia, telah mengesahkan The OECD Principle of Corporate Governance sebagai jawaban atas keresahan para pemegang saham. Prinsip ini secara berkala dievaluasi dan diperbaiki sesuai dengan kebutuhan para negara anggota, review menyeluruh dilakukan pada tahun 2004, dan review dilakukan setiap tahun setelah itu. Adapun prinsip dasar GCG OECD yang kemudian diadopsi juga oleh forum G20 ( The Group of Twenty (G-20) Finance Ministers and Central Bank Governors ), yaitu:
Kerangka kerja tata kelola yang efektif ( ensuring the basis for an effective corporate governance framework ) 2. Hak dan perlakuan yang adil untuk pemegang saham dan fungsi kepemilikan kunci ( the rights of shareholders and key ownership functions ) 3. Perlakukan yang setara bagi para pemegang saham ( the equitable treatment of shareholders ) 33 4. Peran pemangku kepentingan dalam tata kelola ( the role of stakeholders in corporate governance ) 5. Keterbukaan informasi dan transparansi ( disclosure and transparency ) 6. Tanggungjawab Direksi dan Dewan Komisaris ( the responsibilities of the board ) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai institusi pengawas kegiatan jasa keuangan di Indonesia telah setuju untuk mendukung penerapan prinsip GCG G20/OECD tersebut di atas mulai Desember 2015. Prinsip yang berkaitan dengan pembubaran perseroan terkait erat dengan prinsip nomor 2, 4, dan nomor 6. Penjelasan prinsip nomor 2 tentang hak dan perlakuan yang adil untuk pemegang saham dan fungsi kepemilikan kunci, disebutkan bahwa para pemegang saham harus mendapatkan hak untuk berpartisipasi dan diberitahu dengan layak atas setiap keputusan yang bersifat mendasar pada korporasi seperti 1) perubahan anggaran dasar, atau pasal-pasal dalam dokumen perusahaan sejenis;
kewenangan untuk saham tambahan;
transaksi luar biasa, termasuk transfer semua asset yang dapat berdampak pada penjualan korporasi. Prinsip nomor 4 antara lain menjelaskan bahwa pemegang saham, termasuk pekerja dan institusi perwakilannya, harus dapat secara bebas mengkomunikasikan pendapat mereka tentang praktek illegal atau tidak etis kepada Direksi dan Dewan Komisaris dan tidak boleh ada pengaruh terhadap hak- hak mereka karenanya. Prinsip nomor 6 antara lain menjelasakan bahwa 1) Direksi dan Dewan Komisaris harus bertindak berdasarkan informasi yang disampaikan sepenuhnya ( fully informed basis ), dengan itikad baik, dengan kehati-hatian (due diligence), dan untuk kepentingan perusahaan dan pemegang saham;
manakala putusan Direksi dan Dewan Komisaris berdampak pada para pemegang saham secara berbeda, maka Direksi dan Dewan Komisaris harus memperlakukan semua pemegang saham secara adil; dan
Direksi dan Dewan Komisaris harus menerapkan standar etika tinggi yang mempertimbangkan kepentingan semua kepentingan pemegang saham. Dengan demikian, tujuan prinsip GCG sesungguhnya ada dua hal yang mendasar:
mencegah CEO (Direksi dan Dewan Komisaris) melakukan penyalahgunaan 34 wewenang yang diberikan kepadanya; dan
melindungi pemegang saham dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan dari pengelolaan perseroan yang tidak wajar dan/atau tidak semestinya. Berdasarkan pemikiran di atas, maka Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sesungguhnya telah mengakomodir prinsip- prinsip GCG G20/OECD, termasuk dalam hal pembubaran perseroan. Perihal pembubaran perseroan, sebagaimana kita ketahui diatur dalam Pasal 142 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Menurut Pasal 142, pembubaran perseroan terjadi karena 6 hal:
Berdasarkan keputusan RUPS; berarti ada kesepatan diantara para pemegang saham untuk membubarkan perseroan sebelumny
Karena habisnya jangka waktu pendirian sebagaimana ditetapkan dalam AD;
Berdasarkan penetapan pengadilan;
Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; yaitu tidak mampu membayar utangnya yang sudah jatuh tempo; atau ketika debitur tidak dapat melunasi utang kepada semua krediturnya dan debitur yang memiliki jumlah utang melebihi seluruh jumlah harta kekayaannya (Sutan Remy Sjahdeni, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan, 2008); atau
Karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Likuidasi berarti proses mengumpulkan dan konversi semua harta perseroan dalam bentuk tunai untuk membayar seluruh kewajiban kepada kreditor dan pembagian harta yang tersisa (jika ada) kepada para pemegang saham yang apabila didahului adanya permohonan pailit, maka pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Selanjutnya menurut penjelasan Pasal 142 ayat (1) huruf f, pengertian “dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi” adalah ketentuan yang tidak memungkinkan Perseroan untuk 35 berusaha dalam bidang lain setelah izin usahanya dicabut, misalnya izin usaha perbankan, izin usaha perasuransian. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pembubaran perseroan bisa disebabkan karena keputusan sendiri perseroan atau karena putusan pengadilan. Baik putusan pembubaran karena keputusan perseroan sendiri maupun karena putusan pengadilan, wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator sebagaimana diatur dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a yang menjadi fokus pembahasan kita. Kewajiban melakukan likuidasi menurut Penjelasan ayat ini adalah sifat yang membedakan pembubaran perseroan karena penggabungan dan peleburan. Artinya pembubaran dalam artian ini adalah memang bertujuan untuk melakukan pengakhiran pengoperasian perseroan secara real, bukan dialihkan menjadi bagian dari perseroan lainnya melalui penggabungan dan peleburan. Likuidasi adalah proses dan pemberesan aktiva dan pasiva dari suatu perusahaan yang penanganannya oleh likuidator atau kurator. Tugas likuidator berbeda dengan tugas kurator: Tabel 1: Perbedaan Lingkup Tugas Likuidator dan Kurator Likuidator Kurator Lingkup tugas Orang yang ditunjuk atau diangkat menjadi penyelenggara likuidasi, yaitu pemberesan aktiva dan pasiva perseroan. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas. Rincian tugas dalam pembubaran perseroan Pembubaran perseroan karena: - keputusan RUPS; - jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah berakhir; - penetapan pengadilan; - dicabutnya kepailitan berdasar keputusan Pengadilan Niaga, pembubaran yang wajib diikuti likuidasi. Pembubaran perseroan karena: - harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi. Pertanggugjawaban (Pasal 152) RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya. Hakim pengawas. 36 Kurator fokus pada penyelesaian budel pailit untuk didistribusikan kepada yang berhak sesuai dengan Undang-Undang Kepailitan. Budel pailit bisa mencukupi kewajiban-kewajiban perseroan yang mengakibatkan berakhirnya kondisi pailit atau harta pailit tidak cukup sehingga perseroan harus dibubarkan yang mengakibatkan perlunya diselesaikan seluruh harta perseraoan sebagaimana dimaksud pada Pasal 142 ayat (1) huruf d. Dengan demikian, dalam hal kepailitan, kurator bisa bertindak sebagai likuidator. Dari penjelasan ini, kecuali alasan pembubaran karena AD mengaturnya, penting artinya bahwa sebuah perseroan yang dibubarkan, sekalipun karena keputusan sendiri pada dasarnya memiliki masalah yang tidak bisa diselesaikan sehingga pembubaran menjadi pilihan. Ketika masuk pada tahap pemberesan harta perseroan keadilan dalam mendistribusikan menjadi perhatian semua pihak, jangan sampai ada hak-hak yang belum dan bisa dipenuhi tidak dipenuhi. Oleh karena itu, prinsip GCG sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak setiap pihak, terutama para pemegang saham telah terlindungi dengan baik. Peranan likuidator dalam mewujudkan GCG sangatlah penting, karena dia adalah pihak yang melakukan pemberesan harta perseroan pada tahap akhir. Pada tahapan ini, kepentingan para pihak, terutama para pemegang saham sangat perlu dijaga untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada sistem perseroan terbatas dimaksud. Oleh karena itu, likuidator yang imparsial menjadi kebutuhan dalam rangka menjaga dan menjamin keadilan bagi semua pihak. Sesungguhnya dengan dibubarkannya perseroan bukan karena alasan AD mengaturnya, mengindikasikan bahwa GCG telah tidak diterapkan dengan baik, dan karenanya pihak ketiga yang tidak memiliki conflict of interest atas pembubaran tersebut yang menjadi pilihan tepat. Likuidator telah dilatih khusus dan memiliki pengetahuan serta kemahiran yang cukup ditandai dengan memiliki lisensi atau ijin untuk itu, yang berarti likuidator tersebut akan bersikap profesional. Profesionalisme merupakan salah satu ciri GCG. Konsistensi berpikir di atas menyimpulkan pula bahwa apabila direksi diangkat menjadi likuidator sebagaimana disebutkan dalam Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas walaupun dengan alasan tidak menunjuk likuidator, sangat bertentangan dengan prinsip GCG. Direksi jelas memiliki kepentingan besar dalam pembubaran perseroan, baik 37 secara langsung maupun tidak langsung. Bubarnya perseroan di luar ditetapkan dalam AD adalah buah pekerjaan Direksi, oleh karena itu jika ia ditunjuk menjadi likuidator maka kesempatan untuk menyalah-gunakan kewenangannya sangat besar karena ia mengetahui secara detail dan teknis pengelolaan perseroan selama ini, dan ini jelas-jelas bertentangan dengan tujuan dibentuknya GCG, yaitu 1) mencegah CEO (Direksi dan Dewan Komisaris) melakukan penyalahgunaan wewenang yang diberikan kepadanya; dan
melindungi pemegang saham dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan dari pengelolaan perseroan yang tidak wajar dan/atau tidak semestinya.
Muchamad Ali Safa’at Terdapat dua isu hukum dalam permohonan pemohon Perkara Nomor 29/PUU-XVI/2018. Pertama, apakah tidak adanya persyaratan likuidator di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, apakah ketentuan yang menyatakan bahwa Direksi bertindak sebagai likuidator dalam hal RUPS tidak menunjuk likuidator sebagaimana diatur dalam Pasal 142 ayat (3) UU PT bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian yang adil. Pasal 142 ayat (3) UU PT didalilkan menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dalam proses likuidasi. Setidaknya terdapat lima cara suatu norma di dalam UU bertentangan dengan UUD 1945, yaitu;
Norma di dalam UU berbeda dengan ketentuan yang secara tegas dirumuskan di dalam UUD 1945.
Norma di dalam UU memiliki implikasi hukum yang berlawanan dengan ketentuan di dalam UUD 1945.
Norma di dalam UU memiliki implikasi hukum yang berlawanan dengan nilai dan prinsip konstitusi (moral constitution) .
Norma di dalam UU memiliki makna ganda yang salah satunya memiliki implikasi berlawanan dengan ketentuan di dalam UUD 1945 atau berlawanan dengan nilai dan prinsip yang dianut oleh UUD 1945. 38 5. Ketentuan di dalam UU tidak mengatur norma yang diperlukan untuk melaksanakan atau memenuhi ketentuan atau nilai dan prinsip yang dianut di dalam UUD 1945. Oleh karena itu, untuk menilai apakah suatu norma di dalam UU bertentangan dengan UUD 1945 tidak cukup berhenti dengan menganalisis rumusan ketentuan di dalam UU dan ketentuan UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji, tetapi juga harus memperhatikan implikasi dari norma di dalam UU, serta nilai dan prinsip yang dianut oleh UUD 1945. Prinsip-prinsip di dalam UUD 1945 yang terkait dengan perkara ini dan dijadikan sebagai batu uji oleh pemohon antara lain adalah prinsip perlindungan hukum dan kepastian hukum yang ditempatkan sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara. Setiap produk hukum, khususnya UU, harus memberikan perlindungan dan kepastian hukum. Terkait dengan UU PT, tujuan yang hendak dicapai adalah meningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha (konsideran huruf b UU PT) dengan memberikan kepastian hukum (penjelasan umum UU PT). Kepastian hukum dan perlindungan hukum termanifestasi di dalam pengaturan sejak pembentukan PT hingga pembubaran dan pengawasannya. Oleh karena itu pengaturan mengenai pembubaran PT harus ditempatkan dalam rangka memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan hukum. Kepastian hukum di dalam pembubaran PT diperlukan karena PT merupakan pribadi hukum yang pembubarannya memiliki konsekuensi- konsekuensi hukum tidak hanya bagi PT itu dan para pemegang saham, tetapi juga bagi pihak lain, seperti tenaga kerja dan kreditor. Oleh karena itu, pada saat suatu PT dilakukan pembubaran harus diikuti dengan likuidasi atau pemberesan terkait dengan harta kekayaan, hutang, hingga penghapusan badan hukum. Ketentuan Pasal 142 ayat (2) UU PT menyatakan bahwa likuidasi dilakukan oleh likuidator atau kurator. Likuidasi dilakukan oleh kurator dalam hal likuidasi tersebut terjadi karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi [Penjelasan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT]. Dalam menjalankan tugasnya, kewajiban likuidator menurut Pasal 149 UU PT adalah:
pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang Perseroan; 39 b. pengumuman dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;
pembayaran kepada para kreditor;
pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan
tindakan lain yang diperlukan, dalam hal ini antara lain adalah mengajukan permohonan pailit Perseroan jika memperkirakan utang perseroan lebih besar daripada kekayaannya. Melihat kewajiban likuidator di atas, maka kepastian hukum proses pembubaran perseroan berada di tangan likuidator. Demikian pula dengan perlindungan hukum, baik terhadap kreditor, pekerja, dan pemegang saham (khususnya minoritas). Kewajiban likuidator ini sesungguhnya sebanding dengan tugas kurator sebagaimana diatur di dalam Pasal 69 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (UU PKPU), yaitu melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Untuk dapat menjalankan tugas tersebut, Pasal 69 ayat (1) UU PKPU menentukan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau Kurator lainnya. Pasal 69 ayat (2) UU PKPU menentukan bahwa kurator lainnya adalah orang-perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit, dan terdaftar pada kementerian di bidang hukum dan perundang-undangan. Keahlian khusus tersebut dibuktikan dengan telah mengikuti dan lulus pendidikan Kurator dan pengurus. Apabila likuidator tidak memiliki keahlian khusus yang diperlukan, akan berpotensi kewajiban likuidator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 UU PT tidak dapat dilaksanakan yang berujung pada tidak terjadinya pembubaran perseroan, atau dilakukan hingga pembubaran namun merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu yang seharusnya diberikan kepastian dan perlindungan melalui mekanisme likuidasi. Tidak adanya keahlian khusus dimaksud bisa membawa implikasi terhadap kewajiban likuidator, antara lain sebagai berikut.
Tidak semua harta kekayaan dan utang persero dicatat, atau ada harta dan utang yang bukan merupakan harta kekayaan dan utang persero namun dicatat sebagai harta dan utang persero;
Penilaian harta kekayaan tidak sesuai dengan nilai sesungguhnya; 40 c. Rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi tidak proporsional sehingga menimbulkan keberatan dari kreditor, pekerja, dan pemegang saham;
Tidak semua kreditor teridentifikasi atau yang bukan kreditor diidentifikasi sebagai kreditor;
Kekeliruan pencatatan dan penilaian utang;
Pembayaran kreditor tidak berjalan dengan baik;
Kekeliruan identifikasi pemegang saham;
Pembayaran sisa hasil likuidasi kepada pemegang saham tidak proporsional;
Tidak diajukannya permohonan pailit walaupun utang perseroan lebih besar dari pada hartanya; Persoalan-persoalan tersebut juga berpotensi muncul pada saat yang menjadi likuidator adalah direksi, bukan semata-mata karena tidak adanya kemampuan, melainkan adanya konflik kepentingan. Direksi adalah wakil atau kepanjangan tangan dari pemegang saham minoritas melalui RUPS. Di lain pihak, di dalam proses likuidasi yang harus diberikan kepastian dan perlindungan hukum tidak hanya pemegang saham mayoritas, tetapi juga kreditor, pekerja, dan pemegang saham minoritas. Apabila yang menjadi likuidator adalah direksi, potensi kecurangan karena adanya konflik kepentingan terbuka lebar. Persoalan-persoalan tersebut di atas tentu tidak dapat dikatakan sebagai resiko yang harus ditanggung RUPS yang menunjuk likuidator. Yang akan menanggung kerugian, menderita ketidakpastian hukum, dan tidak mendapatkan perlindungan hukum juga pihak lain, khususnya kreditor, pekerja, dan pemegang saham minoritas yang tidak ikut mengambil keputusan di dalam RUPS. Untuk mencegah terjadinya kerugian dimaksudlah seharusnya hukum negara hadir. Oleh karena itu jika likuidasi tidak dilakukan oleh orang yang memiliki ketrampilan khusus, kepastian dan perlindungan hukum yang diharapkan dapat dicapai melalui mekanisme likuidasi dalam pembubaran PT tidak akan tercapa Padahal, kepastian dan perlindungan hukum merupakan salah satu prinsip di dalam UUD 1945 dan menjadi bagian dari hak konstitusional warga negara. Seorang likuidator tentu harus berdomisili di Indonesia untuk dapat menjalankan tugasnya karena ketentuan UU PT mengatur badan hukum perseroan di Indonesia walaupun dimungkinkan pendirinya ada yang merupakan orang atau badan hukum asing. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum 41 Indonesia tentu memiliki kekayaan dan aktivitas yang utamanya dilakukan di Indonesia. Pembubaran PT yang dibentuk berdasarkan UU PT tentu juga harus dilakukan berdasarkan UU Indonesia, yaitu UU PT. Pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya kreditor dan pemegang saham minoritas, juga tentu lebih banyak yang berdomisili di Indonesia. Oleh karena itu, demi menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum sudah selayaknya likuidator berdomisili di Indonesia seperti halnya persyaratan untuk menjadi kurator. Pengaturan likuidator yang tidak menentukan persyaratan sehingga tidak sesuai dengan tujuan dan prinsip kepastian dan perlindungan hukum yang hendak dicapai secara tidak langsung juga akan merugikan profesi likuidator yang memiliki keahlian khusus dan berdomisili di Indonesia. Tentu saja kerugian ini tidak berupa kerugian materiil akan kehilangan pekerjaan atau terdiskriminasi dan kalah bersaing dengan likuidator yang tidak memiliki keahlian khusus. Sebagai suatu profesi, likuidator tidak hanya berkepentingan untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi lebih dari itu adalah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat atas profesi itu, yang hanya akan terjadi jika proses likuidasi benar-benar memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Hal ini hanya mungkin tercapai jika dilakukan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus, berdomisili di Indonesia, dan tidak memiliki konflik kepentingan. Dengan argumentasi di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan Pasal 143 UU PT memiliki implikasi hukum tidak dapat tercapainya kepastian dan perlindungan hukum yang menjadi tujuan keberadaan UU PT itu sendiri. Pada saat yang sama, kepastian dan perlindungan hukum merupakan salah satu prinsip di dalam UUD 1945 dan menjadi bagian dari hak konstitusional warga negara. Dengan demikian ketentuan Pasal 142 ayat (2) dan Pasal 143 UU PT memiliki implikasi hukum yang berlawanan dengan UUD 1945. Demi kepastian dan perlindungan hukum, untuk menjadi likuidator diperlukan kemampuan dan persyaratan yang sama dengan kurator. SAKSI PARA PEMOHON 1. Heri Subagyo • Ada beberapa kasus likuidasi yang pernah saksi tangani. Ada dua kategori, yaitu likuidasi akibat dari kepailitan dan likuidasi murni yang di luar kepailitan. Untuk likuidasi yang berkaitan dengan kepailitan karena sudah 42 ada aturannya dan yang melaksanakan adalah kurator yang ditunjuk oleh pengadilan, maka relatif tidak memiliki problem yang signifikan. Tetapi untuk likuidasi yang terjadi atas permintaan perusahaan yang bersangkutan maka satu keadaan yang muncul yang Saksi hadapi adalah tentang independensi dari likuidator itu sendiri. • Saksi diangkat bukan menjadi bagian perusahaan, tetapi Saksi memiliki kedekatan dengan bagian hukum. Ketika Saksi diangkat oleh pemegang saham untuk menjadi likuidator perusahaan yang pailit, dalam hal ini adalah PT Merindo, maka reaksi yang paling keras yang Saksi alami adalah dari pihak karyawan khususnya. Mereka menganggap karena pengangkatan ini ada kedekatan dengan direksi, maka independensi dari likuidator tersebut dipertanyakan. Mereka beranggapan jika likuidator ada kedekatan dengan direksi, maka apa pun kepentingan dari direksi atau perusahaan itu tidak akan dihilangkan, artinya akan tetap dipertahankan. Hal tersebut yang membuat kerja dari likuidator, sehingga Saksi sangat sulit terutama ketika harus menguasai aset. • Saksi menghadapi aset di kawasan berikat. Artintya karyawan dengan argumentasi bahwa likuidator tidak independen dan dia tidak mau melepaskan asetnya, demo hampir tiap hari, bahkan di Disnaker juga. Saksi akhirnya dipanggil Disnaker untuk dikonfirmasi. Saksi mengatakan bahwa Saksi sebenarnya profesional, tetapi isu yang diangkat oleh karyawan adalah ketidak-independenan karena ada kedekatan dengan direksi. • Persoalan tersebut membuat saksi sulit untuk bekerja maksimal jika mereka bersikap seperti itu. Selain itu satu hal yang memang ada dalam ruang Undang-Undang Perseroan Terbatas bahwa jika daftar utang perusahaan lebih besar daripada asetnya maka mereka minta dilakukan kepailitan.
Azet Hutabarat • Saksi dihubungi rekan saksi yang seorang advokat. Advokat tersebut adalah kuasa hukum dari sebuah badan hukum yang ada di Jawa Tengah yang bergerak dalam bidang bisnis garmen. • Advokat tersebut meminta kepada saksi untuk bersedia menjadi likuidator dan melikuidasi badan hukum milik kliennya. Saksi bertanya kenapa tidak anda sendiri yang melikuidasi? Advokat tersebut memberitahukan bahwa 43 kliennya ingin mencari likuidator yang independen. Advokat tersebut tahu bahwa saya aktif di organisasi profesi PPLI. • Kemudian kami bertemu dengan pemegang saham dan saksi menyampaikan pesan-pesan dan ingin mengetahui sebelum membuat RUPS. Pemegang saham menyampaikan empat pesan kepada Saksi. Pertama adalah pemegang saham ingin agar likuidasi yang diambil tersebut legalitasnya berjalan dengan baik. Kedua , publikasinya berjalan dengan baik. Ketiga , penyelesaian kepada kreditur juga dengan baik. Keempat , jika memiliki kesempatan, pemegang saham mendapatkan bagian porsi yang tepat. Tepat artinya tidak memiliki masalah hukum. • Saksi menanyakan kepada pemegang saham tersebut, kenapa tidak menunjuk direksi? Mereka mengatakan, “sulit bagi saya menunjuk direksi.” Karena menurut pemegang saham tersebut, direksi adalah bagian dari masalah ketika perusahaannya mengalami kerugian. Kemudian kami menindaklanjuti dengan membuat RUPS dan Saksi mulai bekerja. • Saksi menjalankan proses likuidasi secara legal, termasuk publikasi sudah dilakukan. Sejak awal saksi mengalami kesulitan ketika mendapatkan dokumen perusahaan. Namun oleh power yang cukup dari pemegang saham, Saksi mendapatkan seluruh dokumen perusahaan. Saksi tidak sedang mencari kesalahan direksi. Namun, yang saksi peroleh adalah semua kreditur yang hadir di kantor saksi menerima keberadaan Saksi karena independen. • Semua kreditur saksi temui, antara lain karyawan, pajak, maupun kreditur perbankan (separatis). Khususnya separatis, mereka malah memberikan bonus kepada Saksi untuk pemotongan tagihan. Dengan beberapa catatan negosiasi, yaitu Saksi melakukan kegiatan atas sisa produksi yang ada. Kemarin akhir tahun menjelang natal, saksi diberi kesempatan sampai lebaran. Karena produksi bagus untuk karyawan dan atas negosiasi semua, Saksi memperoleh persetujuan dari pemegang saham dan sampai saat ini masih berjalan. • Saksi berharap dapat menyelesaikan permasalahan semua kreditur dengan cara win-win solution . Prinsip saksi adalah karyawan dan pajak sudah definitely fix angkanya, tidak bisa diotak-atik lagi. Tetapi untuk kreditur yang 44 lain, khususnya pemegang jaminan dan kreditur konkuren, saksi mendapatkan potongan-potongan tersebut. Hal tersebut bisa terjadi, tidak lain karena masih melakukan kegiatan usaha sampai batas akhir produksi habis. • Saksi ingin menyampaikan juga bahwa penyelesaian tersebut sampai saat ini masih berjalan. Semoga di akhir nanti, saksi bisa mendapatkan sebuah final angka yang cukup bagus karena beberapa bank, setuju memotong 15%. Saksi juga sempat tanya, kenapa hal ini tidak dilakukan direksi? Jawaban dari kreditur tersebut adalah sulit melakukan penawaran- penawaran yang selalu mentok alasannya. • Kemudian di akhir kata, saksi cuma mau mengatakan pada persidangan ini, semoga persidangan ini dapat menyelesaikan semua pemberesan dengan baik dan di ending -nya adalah pemegang saham memiliki kesempatan untuk mendapatkan bagian dari apa yang sudah diinvestasikan di dalam perusahaan, meskipun perusahaan tersebut mengalami kerugian.
Nasrullah Nawawi • Saksi adalah seorang advokat, kurator, dan likuidator ingin menyampaikan pengalaman dalam melakukan proses likuidasi perusahaan. • Saksi ingi menyampaikan bagaimana proses likuidasi dalam proses pailit di Bata Mas dan Air Paradise International (Bali Paradise). • Persoalan muncul ketika Bali Paradise adalah Angkasa Pura mempunyai tagihan yang cukup banyak dan direksinya menghilang tidak jelas keberadaannya. Padahal ada hanggar yang cukup besar yaitu ada proyek pelebaran Bandara Bali, sehingga Angkasa Pura meminta kepada Saksi untuk menghubungi direksi. Direksi sudah give up karena utangnya terlalu banyak yang akhirnya melakukan negosiasi, dimana mereka minta likuidasi. • Pada proses likuidasi yang ditawarkan pada waktu itu adalah direksinya menjadi likuidator dan ditolak oleh kreditur. Kenapa? Karena proses likuidasi dan proses kepailitan tersebut hampir sama, sebab begitu direksi ditunjuk sebagai likuidator, direksi mengumpulkan semua aset dan mengumpulkan semua kreditur pemilik-pemilik utang. Sehingga bagaimana mungkin seorang direktur yang tadinya membuat utang dan memverifikasi pekerjaan dia sendiri? Itu imposible, sehingga meyakinkan 45 ketidakpercayaan dari kreditur. Termasuk juga, bank-bank yang itu sudah tidak mampu dibayar, dia tidak mungkin mempercayai direktur yang tidak bisa membayar, collect 5, tiba-tiba menjadi likuidator, dimana bank melaporkan jumlah kreditnya. Pasti saja direktur itu memperkecil atau tidak menguntungkan bagi kreditur, sehingga ini merugikan bagi pihak bank. Hal tersebut jelas, biasanya kreditur-kreditur tidak suka kalau direksi menjadi likuidator karena mereka bagian dari persoalan dan bagian dari yang membuat masalah, baik pada kreditur maupun kepada perusahaan. • Pengalaman saksi, kenapa waktu itu banyak debitur, banyak menunjuk, atau kreditur meminta kepada saksi, kenapa harus profesional? Karena sesuai dengan Pasal 150. Pada saat likuidasi diselesaikan, maka masih ada dua tahun kreditur bisa menagih. Jadi, bisa dibayangkan pengalaman selama ini, banyak sekali likuidasi yang dilakukan oleh pegawai-pegawai notaris, bagaimana jika ada tagihan dua tahun? Siapa yang akan dicari? Sehingga menurut saksi dalam pengalaman saksi ketika kepada kreditur, mereka jelas meminta likuidator yang memiliki profesi, memiliki alamatnya yang jelas, dan pertanggungjawabannya jika melakukan tindakan-tindakan yang tidak tepat. Karena ada pertanggungjawaban likuidator masih bertanggung jawab kalau pajak itu masih satu atau dua tahun. Bahkan untuk tagihan, kreditur yang tidak bisa menagih, pengalaman kita, masih bisa menagih dan pengadilan masih bisa meminta kami (likuidator) untuk menaik kembali uang sisa hasil pembagian kepada pemegang saham untuk dibayarkan kepada pemilik tagihan. Jadi, bisa dibayangkan jika likuidator itu tidak tercatat, tidak profesional, tidak jelas pendaftarannya ke mana, ini sangat merugikan bagi kreditur-kreditur. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 8 Mei 2018 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang disampaikan di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 5 Juni 2018, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Bahwa pada pokoknya para Pemohon mengajukan permohonan uji materi atas ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) UU PT yang 46 dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut: Ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT: Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada _ayat (1): _ a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator . Ketentuan Pasal 142 ayat (3) UU PT: Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator. Bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut: Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 2. Bahwa para Pemohon menganggap serangkaian kewenangan yang diberikan oleh UU PT terhadap likuidator dalam likuidasi suatu perusahaan tidak dapat dilaksanakan secara professional apabila likuidator tidak dibekali dengan dasar kemampuan dan keahlian yang mumpuni. Sehingga para Pemohon menganggap bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan Pasal 142 ayat (3) UU PT belum mengakomodir kriteria orang yang layak menjadi likuidator. Pasal a quo tidak memiliki rumusan yang jelas terhadap kata “likuidator”, sehingga dapat mengakibatkan kurangnya atau hilangnya perlindungan hukum serta tidak memiliki jaminan kepastian hukum yang adil dalam melaksanakan profesinya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 47 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sementara tugas, wewenang dan tanggung jawab likuidator sangat besar namun tidak diimbangi dengan perlindungan dan kepastian hukum yang jelas sebagaimana dengan profesi kurator yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU).
Bahwa likuidator adalah profesi yang setidaknya setara dengan profesi- profesi lainnya atau setidak-tidaknya setara dengan kurator yang diatur dalam UU Kepailitan dan PKPU, sebagaimana yang dapat dilihat dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU a quo maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasi sebagai likuidator. Adanya perbedaan ketentuan yang tidak imparsial tersebut, para Pemohon menganggap pasal a quo telah melahirkan perbedaan perlakuan hukum antara likuidator dengan kurator sehingga Pasal 142 ayat (2) huruf a UU a quo menimbullkan tidak adanya persamaan dihadapan hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan seyogyanya kata “likuidator” pada Pasal 142 ayat (2) huruf a UU a quo dimaknai sebagai “likuidator yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, kompeten dan independen”.
Bahwa terkait frasa “direksi bertindak sebagai likuidator” yang terdapat pada Pasal 142 ayat (3) UU a quo , berpotensi menimbulkan konflik kepentingan ( conflict of interest ), sebab ketika direksi bertindak selaku likuidator, maka dapat dipastikan apa yang dilakukan direksi adalah menyelamatkan harta kekayaan perseroan agar tidak merugi sehingga tidak obyektif dalam melakukan likuidasi sehingga frasa tersebut oleh para Pemohon dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Bahwa terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Nomor 24 Tahun 48 2003), menyatakan bahwa para pemohon adalah perorangan WNI yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 juncto putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007, dan putusan Mahkamah Konstitusi selanjutnya telah secara tegas memberikan pengertian dan batasan kumulatif perihal “kerugian konstitusional” terkait dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu:
adanya hak Konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa Hak Konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
kerugian Konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Bahwa terhadap permohonan para Pemohon Pemerintah memandang tidak ditemukan adanya hubungan sebab akibat ( clausal verband ) antara kerugian yang dialami oleh para Pemohon baik yang bersifat spesifik (khusus) khususnya dengan berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji.
Pemerintah juga telah mempelajari permohonan pemohon dalam mengajukan uji materi ini yang pada pokoknya para pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang taat membayar pajak dan berprofesi sebagai likuidator yang tergabung dalam Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI).
Dalil kerugian konstitusional para Pemohon dalam mengajukan uji materi ini didalilkan atas kerugian berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang telah menghilangkan atau mengganggu hak dasar para Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan jaminan 49 perlindungan hukum selaku warga negara Indonesia dengan alasan bahwa pasal a quo tidak memiliki rumusan yang jelas terhadap kata “likuidator”.
Sesuai dalil kerugian yang disampaikan dalam permohonan para Pemohon, Pemerintah memberikan pandangan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa kerugian konstitusional adalah kerugian yang dapat mengurangi atau menghilangkan hak-hak seseorang atau badan hukum yang dijamin dalam ketentuan UUD 1945. Namun pasal yang diuji sesungguhnya tidak mempunyai kaitan dengan kerugian para Pemohon sebagai likuidator karena materi pasal yang diuji merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana tata cara pembubaran, likuidasi dan berakhirnya status badan hukum suatu perseroan. Sehingga dalam pengaturannya yang berpotensi terjadi kerugian akibat pembubaran, likuidasi dan berakhirnya status badan hukum suatu perseroan bukanlah profesi likuidator atau kurator akan tetapi organ perseroan.
Dalam proses likuidasi, salah satu ketentuannya melibatkan profesi likuidator dan profesi kurator menurut Pemerintah merupakan salah satu keuntungan bagi profesi itu sendiri, dimana likuidator atau kurator dapat berperan serta membantu penyelesaian terhadap suatu perseroan yang sedang melakukan pembubaran, likuidasi dan berakhirnya status badan hukum suatu perseroan. Sehingga dalil para Pemohon lebih kepada kekhawatiran yang tidak beralasan hukum.
Bahwa para Pemohon masih tetap bisa menjalankan profesinya sebagai likuidator selama ditunjuk atau diangkat dalam RUPS atau pengadilan. Sehingga kerugian konstitusional para Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan tidak akan terjadi;
Terhadap dalil kerugian yang menyatakan pasal a quo tidak memberikan difinisi serta persayaratan kepada seseorang yang dapat menjadi likuidator bukan merupakan kerugian konstitusional ( constitusonal rights ) akan tetapi merupakan constitusional complaint . Serta adanya pengaturan definisi serta persyaratan kepada seseorang yang dapat menjadi likuidator merupakan pengaturan dalam ranah politik hukum yang dapat dibangun, diuji serta dibahas dalam ranah pembentuk 50 undang-undang ( positive legislator) sehingga pemerintah memandang tidaklah tepat jika hal tersebut sebagai alasan untuk mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi tetapi akan lebih tepat jika diperjuangkan dalam legislative review. 7. Dengan demikian Pemerintah berpendapat tidak terdapat kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon terhadap keberlakuan pasal a quo . Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dan adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) . III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG DIMOHONKAN OLEH PARA PEMOHON Terhadap Permohonan para Pemohon, Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut:
Penjelasan terhadap ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan Pasal 142 ayat (3) UU PT sebagai berikut:
Bahwa Pasal 142 merupakan ketentuan yang mengatur tentang pembubaran, suatu perseroan yang dapat terjadi karena:
berdasarkan keputusan RUPS, 2) karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir, 3) berdasarkan penetapan pengadilan, 4) dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan, 5) karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, atau 6) karena dicabutnya ijin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 51 b. Jika berdasarkan hal tersebut terjadi pembubaran perseroan wajib diikuti dengan likuidasi yang pemberesannya dapat dilakukan oleh likuidator atau kurator. Pihak perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali diperlukan untuk membereskan semua urusan perseroan dalam rangka likuidasi. Likuidator adalah orang yang ditunjuk atau diangkat (oleh RUPS atau pengadilan) menjadi penyelenggara likuidasi (mengatur dan menyelesaikan harta perseroan) (vide Pasal 152). Likuidasi yang dapat dilakukan pemberesannya oleh Likuidator adalah likuidasi yang pembubarannya berdasarkan keputusan RUPS, karena jangka waktu yang telah ditentukan oleh anggaran dasar telah berakhir, berdasarkan penetapan pengadilan atau dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan. Sedangkan likuidasi yang dapat dilakukan oleh kurator adalah likuidasi yang khusus dilakukan karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi [vide Penjelasan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU a quo ].
Selain kewenangan pihak yang dapat menangani pemberesan likuidasi yakni dapat dilakukan oleh likuidator atau kurator, ketentuan lain juga mengatur dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator maka Direksi yang bertindak selaku likuidator.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya likuidasi perseroan menjadi kewenangan likuidator dimana likuidator merupakan orang yang ditunjuk atau diangkat untuk menjadi penyelenggara likuidasi yang diberi kewajiban mengatur dan menyelesaikan harta atau budel perseroan yang dalam ketentuanya likuidator bertangung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya sedangkan likuidasi yang dilakukan kurator perseroan yang pembubaranya terjadi karena harta pailit atau perseroan yang telah dinyatakan pailit yang berada dalam keadaan insolvasi dimana kurator bertangung jawab pada hakim pengawas atas likuidasi perseroan (debitur pailit), dan likuidasi yang dilakukan Direksi 52 sebagai sarana jika terjadi kekosongan hukum yang secara nyata tidak menunjuk likuidator untuk melakukan likuidasi perseroan.
Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang pada intinya beranggapan Pasal a quo tidak memiliki rumusan yang jelas terhadap kata “likuidator”, sehingga dapat mengakibatkan kurangnya atau hilangnya perlindungan hukum serta tidak memiliki jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Pemerintah memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa UU PT telah mengakomodir keberadaan “likuidator” karena “likuidator” salah satu elemen keperdataan yang berkaitan dengan likuidasi perseroan. Yang dapat pemerintah sampaikan juga bahwa keberadaan “likuidator” sebagai likuidasi perseroan telah diatur secara jelas sebagai landasan likuidator melaksanakan tugas sesui fungsiny Terhadap anggapan bahwa kata “likuidator” tidak memiliki rumusan yang jelas pemerintah sampaikan bahwa dalam Pasal 149, Pasal 150, Pasal 151 dan Pasal 152 telah mengatur dengan jelas eksitensi “likuidator” mengenai kewajiban-kewajibannya sesuai fungsi likuidasi perseroan dalam rangka pemberesan harta kekayaan perseroan yang meliputi:
pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang perseroan;
pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi;
pembayaran kepada kreditur;
pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan 5) tindakan lain yang perlu dilakukan dalam plaksanaan pemberesan kekayaan.
Kewenangan likuidator untuk mengajukan permohonan pailit Perseroan, dan likuidator dapat menolak keberatan kriditor.
Sesuai ketentuan pasal tersebut telah memberikan kejelasan rumusan terhadap kata “likuidator” yang memberikan kewenangan pemberesan likuidasi secara rinci dari awal pencatatan dan pengumpulan kekayaan perseroan sampai dengan berakhirnya status badan hukum. Ketentuan tersebut merupakan landasan hukum bagi “likuidator” dalam mejalankan profesinya. Pasal tersebut selain sebagai landasan hukum juga 53 merupakan jaminan perlindungan hukum bagi profesi “likuidator” sehingga dengan landasan tersebut “likuidator” dapat melaksanakan tugas dan fungsinya yang dijamin oleh hukum (undang-undang). Norma yang diberikan berdasarkan undang-undang merupakan kebijakan nasional yang telah mendapatkan legalitas baik secara formal maupun material, sehingga keberadaan “likuidator” telah dijamin oleh hukum.
Pemerintah juga memberikan pandangan bahwa untuk memberikan difinisi suatu norma hukum merupakan kebutuhan pemangku kepentingan dalam hal ini “likuidator”. Difinisi merupakan batasan pengertian, jika “likuidator” ingin didifinisikan dalam suatu peraturan tentunya akan disesuaikan dengan politik hukum yang sedang dibangun sehingga difinisi tersebut dapat dibuat berdasarkan kepentingan “likuidator” itu sendiri. Untuk mendifinisikan kata “likuidator” bukan merupakan bagian dari pengaturan UU PT, karena likuidator bukan merupakan bagian organ perseroan namun merupakan bagian elemen dari keperdataan. Begitu juga terhadap kurator, difinisi kurator tidak didifinisikan dalam UU PT, karena kurator juga bukan bagian dari elemen perseroan namun sama seperti likuidator yang merupakan elemen keperdataan. Sehingga kurator didifinisikan dalam UU Kepailitan dan PKPU karena telah disesuaikan dengan (politik hukum) kebutuhan hukum kepailitan.
Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menganggap likuidator adalah profesi yang setidaknya setara dengan profesi-profesi lainnya atau setidak- tidaknya setara dengan kurator sehingga diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasi sebagai likuidator dan agar dimaknai sebagai “likuidator yang berstatus sebagai warga negara Indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, kompeten dan independen”, dalam hal ini pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa kedudukan hukum antara likuidator dengan kurator secara norma perundang-undangan adalah sama, dimana dalam rumusanya digunakan dengan kata “atau”. Bahwa kata “atau” dalam pengertianya memberikan pengertian suatu “pilihan” sesuatu yang dapan menjadi 54 “pilihan” tentunya mempunyai derajat yang sama yang tidak dapat dibeda-bedakan.
Dalam UU PT sama-sama tidak memberikan difinisi baik kurator atau likuidator.
Pemberian kewenangan dalam UU PT diberikan berdasarkan profesi dan kompetensi keahliannya disertai adanya pembatasan pengaturan sehingga meskipun sama-sama diberi kewenangan untuk melaksanakan likuidasi tidak berbenturan dalam melaksanakan profesinya.
Dalam UU PT tidak mengatur status dan sertifikasi baik profesi likuidator maupun kurator. Terhadap pengaturan status atau sertifikasi merupakan subtansi teknis yang dapat dibangun oleh suatu organisasi profesi itu sendiri. Secara teknis suatu organisasi profesi diberikan kebebasan untuk membangun landasan-landasan profesi, batasan- batasan profesi atau ruanglingkup profesi, kwalifikasi profesi serta batas ambang kemampuan secara teknis.
Dalam melaksanakan kewenangan baik likuidator maupun kurator UU PT memberikan sifat independen untuk menunjukan keprofesionalitasnya sebagai organ profesi. Sesuai penjelasan tersebut baik secara hukum maupun secara norma tidak ada perlakuan diskriminasi terhadap likuidator atau kurator. Pengaturan dalam UU PT terhadap peran likuidator dan kurator telah diatur sesuai kebutuhan hukum keperdataan sehingga dapat memberikan kepastian hukum dalam suatu permasalahan keperdataan terutama bagaimana penyelesaian likuidasi dapat diselasaikan dengan cara yang dapat dipertangung jawabkan secara hukum baik oleh perseroan atau pihak pihak lain yang mempunyai kepentingan.
Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang beranggapan terkait dengan Direksi bertindak sebagai likuidator dalam ketentuan Pasal 142 ayat (3) berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sebab ketika Direksi bertindak sebagai likuidator maka dapat dipastikan apa yang dilakukan Direksi hanya akan menyelamatkan harta kekayaanya perseroan agar tidak merugi sehingga tidak objektif dalam melakukan likuidasi, Pemerintah memberikan penjelasan sebagai berikut: 55 a. “Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator” Bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (3) tersebut tidak bertentangan dengan asas keadilan hukum dan menimbulkan benturan kepentingan, hal ini dikarenakan Direksi sesuai ketentuan Pasal 1 angka (5) UU PT menyebutkan bahwa: “Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan anggaran dasar.” Berdasarkan hal tersebut, maka Direksi melakukan pengurusan Perseroan, dan bertindak di dalam maupun diluar pengadilan. Sebagai pihak yang melakukan pengurusan perseroan, maka Direksi dipandang sebagai pihak yang paling memahami suatu perseroan, termasuk kepada siapa perseroan harus melakukan pemberesan apabila terjadi pembubaran.
Bahwa pembubaran perseroan melalui Direksi Perseroan sudah diatur dalam KUHD yaitu pasal 56 KUHD yang menyatakan: “Perseroan yang dibubarkan dibereskan oleh para pengurus, kecuali bila dalam akta hal itu ditentukan cara lain” Bahwa pemberesan melalui pengurus perseroan dalam hal ini Direksi, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang menyatakan:
Pasal 122
(1) Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, maka Direksi bertindak selaku likuidator. (2) Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi berlaku pula bagi likuidator. 56 Ketentuan ini ditindaklanjuti dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Conflict of Interest Direksi terjadi dalam hal diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UU PT yang menyatakan: _Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: _ 1) terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota _Direksi yang bersangkutan; atau _ 2) anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. c. Bahwa dalam UU PT juga sudah diatur tentang dilarangnya Direksi mewakili perseroan dalam hal terjadi benturan kepentingan. Suatu Perseroan Terbatas yang melakukan pembubaran perseroan tidak selalu melibatkan asset yang dapat dibagi, bahkan dari likuidasi dan pembubaran yang didaftarkan dalam 3 tahun terakhir adalah likuidasi yang tidak melibatkan keuangan yang signifikan sehingga apabila likuidasi hanya dapat dilakukan oleh likuidator dapat terjadi hal sama dengan kurator, sehingga dapat terjadi dalam likuidasi perusahaan dalam hal kepailitan oleh debitur yang tidak punya asses tidak diminati likuidator sehingga menyebabkan menjadi terkatung katung. Sebagaimana yang diatur dalam KUHD yang melakukan likuidasi adalah pengurus, namun baru pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 di atur tentang likuidator, dan rezim likuidasi terbagi dalam 2 jalur yaitu likuidasi sukarela dan paksa melalui kepailitan. Dalam hal likuidasi sukarela sepenuhnya berdasar KUH Perdata berdasarkan kesepakatan para pihak terkait dengan bagaimana prosesnya dan siapa yang akan melakukan pemberesan perseroan tersebut.
Berdasarkan Pasal 142 UU PT sebatas pelaksana tugas likuidator dalam tugas pelaksanaan likuidasi perseroan terrsebut. Padahal likuidasi sangat penting untuk menentukan status hukum suatu perseroan sehingga tidak mempersulit prosesnya. Kekawatiran pemohon apabila terjadi conflik of interest karena adanya RUPS dan organ RUPS masih mempunyai kekuasaan untuk mengangkat kembali menegur pemberesan yang dilakukan direksi. 57 5. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) UU PT bertentangan terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak beralasan hukum. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tersebut tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menyatakan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945. Namun apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aquo et bono) . Atas perkenan dan perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, diucapkan terima kasih. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 10 Oktober 2018 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang disampaikan di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 17 Oktober 2018, yang pada pokoknya sebagai berikut: 58 A. KETENTUAN UU PT YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD 1945 Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya __ mengajukan pengujian atas Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur: Pasal 142 ayat (2) huruf a _Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): _ (a) Wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator Pasal 142 ayat (3) Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UU PT Para Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT telah menghilangkan atau mengganggu hak dasar Para Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan jaminan perlindungan hukum selaku warga negara Indonesia, sebab kedua pasal a quo tidak memberikan definisi bahkan persyaratan kepada seseorang yang dapat menjadi likuidator (vide perbaikan permohonan hlm 7 angka 2). Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT, terdapat kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Dengan demikian, maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasinya sebagai likuidator (vide perbaikan permohonan hlm 14 angka 14). Para Pemohon dalam permohonannya __ mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang dinilai merugikan profesi likuidator akibat ketiadaan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi profesi likuidator ( Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 8). Secara garis besar, Para Pemohon mengharapkan bahwa pasal-pasal a quo di dalam UU PT yang dinilai merugikan hak konstitusional dari para Pemohon yang berprofesi sebagai likuidator dan 59 mengganggu peningkatan pembangunan perekonomian nasional untuk diuji konstitusionalitasnya. Bahwa pasal-pasal a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berketentuan sebagai berikut:
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan seluruh Permohonan para Pemohon;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 106, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ( conditional unconstitutional ) “likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen”;
Menyatakan Pasal 142 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) dapat dijelaskan sebagai berikut: 60 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa: Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan _konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga Negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara . Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional ” adalah “ hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide __ Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 __ dan __ Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: 61 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo , maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan para Pemohon a quo , DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Merujuk kepada lima syarat terkait kerugian konstitusional dari para Pemohon, DPR-RI memberikan pandangan sebagai berikut: a) Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 Bahwa para Pemohon beranggapan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang pada pokoknya mengatur persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya dan hak atas 62 pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa ketentuan a quo UU PT pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan, tidak mengatur secara khusus kedudukan, hak dan wewenang likuidator dan kurator. Bahwa mencermati ketentuan pasal a quo UU PT yang mengatur mekanisme pembubaran perseroan, sesungguhnya tidak terdapat pertautan dengan hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa perlu dipahami oleh Para Pemohon, profesi likuidator dan kurator adalah dua profesi yang berbeda dan masing-masing memiliki kekhususan dan kewenangan tersendiri yang diatur dengan undang-undang UU PT dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan pengaturan dalam undang-undang yang berdeba antara likuidator dan kurator tersebut, tentu memiliki peran, kedudukan, fungsi dan wewenang yang berbeda yang tidak dapat disamakan dengan mengajukan pengujian ketentuan a quo UU PT. Oleh karena ketentuan a quo UU PT pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan, sama sekali tidak tepat jika dikaitkan dengan hak konstitusional yang dianggap para Pemohon dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. b) Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang- undang yang diuji Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon sebagaimana dalil para Pemohon dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut, sama sekali tidak tepat jika dihubungkan dengan ketemtuan a quo UU PT. Oleh karena tidak adapertautan antara hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan ketentuan a quo UU PT tentu Para Pemohon tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional oleh berlakunya ketentuan a quo UU PT. 63 Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon III adalah selaku pengurus Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) dan Pemohon IV sampai dengan Pemohon VII adalah selaku likuidator/anggota PPLI. Dalam ketentuan UU PT diatur mengenai peran likuidator, yaitu melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi (Pasal 149 ayat (1) UU PT) dan wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia [Pasal 147 ayat (1) huruf a UU PT]. Bahwa dengan demikian peran likuidator yang diatur dalam ketentuan a quo UU tersebut, tidak mengurangi dan tidak menghalangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon sebagai likuidator sebagaimana didalilkan Para Pemohon. c) Terkait dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya mendalilkan bahwa Para Pemohon sebagai likuidator merasa dirugikan hak konstitusionalnya yaitu terkait dengan pengaturan yang mengatur mengenai likuidator berbeda dengan pengaturan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Ketentuan yang berbeda tersebut, Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT tidak memiliki kesetaraan terlebih terhadap kualifikasi profesi sehingga tidak tercermin adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum. Bahwa dalil para Pemohon tersebut bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, karena dalil yang dikemukakan para Pemohon adalah bersifat asumsi yang beranggapan adanya perbedaan pengaturan antara likuidator yang diatur dalam UU PT dan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Dengan demikian para Pemohon a quo tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan 64 aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi sebagaimana didalilkan para Pemohon. d) Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa kerugian para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya mengemukakan bahwa para Pemohon sebagai likuidator merasa dirugikan hak konstitusionalnya yaitu terkait dengan pengaturan mengenai likuidator berbeda dengan pengaturan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Bahwa dalam ketentuan UU PT diatur mengenai peran likuidator, yaitu melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi (Pasal 149 ayat (1) UU PT) dan wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia [Pasal 147 ayat (1) huruf a UU PT]. Bahwa antara kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tersebut sama sekali tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causa verband ) dengan ketentuan a quo UU PT. Karena para Pemohon tidak mengalami kerugian yang bersifat konstitusional dengan berlakunya ketentuan a quo UU PT. e) Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa seandainya petitum yang diajukan oleh para Pemohon untuk menambahkan kalimat “ yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen ” setelah kata “ likuidator ” di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT dikabulkan oleh MK, tidak dengan serta merta menghilangkan kerugian konstitusional yang dianggap telah dialami oleh para Pemohon karena jika para Pemohon menganggap bahwa ketentuan pasal a quo belum cukup mengatur mengenai profesi likuidator, tidak berarti pasal a quo tersebut inkonstitusional. 65 Bahwa dengan demikian Putusan Mahkamah Kontitusi terhadap pengujian UU a quo tidak berpengaruh apapun terhadap para Pemohon. Bahwa selain itu terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa mereka memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian UU PT atas dasar sebagai bagian dari warga negara pembayar pajak dengan landasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-I/2003 merupakan suatu kesalahan. Hal ini mengingat pertimbangan yang diungkapkan oleh Majelis Hakim MK yang termuat di dalam Putusan tersebut yang menyatakan: “Menimbang bahwa para Pemohon a quo adalah warga masyarakat pembayar pajak (tax payers), sehingga dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal dimaksud sesuai dengan adagium no taxation without participation dan sebaliknya no participation without tax, sehingga hak dan kepentingan mereka terpaut pula dengan pinjaman (loan) yang dibuat negara cq. pemerintah dengan pihak lain yang akan membebani warga negara sebagai pembayar pajak. Upaya pembayaran dan pelunasan utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak. Dalam kaitan dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon a quo yang menganggap hak konstitusional mereka dirugikan dengan berlakunya Pasal 20 UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, dapat dibenarkan sehingga Pemohon a quo memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk berperkara di hadapan Mahkamah. (vide Putusan MK No. 003/PUU-I/2003 hlm. 49 – 50)” Bahwa berdasarkan kutipan dari Putusan MK Nomor 003/PUU-I/2003 tersebut maka dapat dipahami bahwa alasan mengapa warganegara pembayar pajak ( tax payers ) mempunyai kedudukan hukum untuk memohon pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara adalah dikarenakan adanya hak dan kepentingan mereka yang terkait langsung dengan pinjaman yang dibuat oleh negara. Mengingat upaya pembayaran dan pelunasan utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak, yang tentunya bersumber dari warganegara pembayar pajak. 66 Bahwa dengan demikian salah apabila Para Pemohon berpandangan bahwa mereka mempunyai kedudukan hukum semata-mata atas dasar sebagai warganegara pembayar pajak saja. Oleh karenanya dengan dikabulkannya permohonan ini atau tidak maka tidak akan ada dampak apa pun bagi ara Pemohon. Bahwa pandangan DPR-RI berpandangan tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa di dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest , point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang . Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection )”. Bahwa terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkret mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian- uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan 67 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pengujian Materiil Atas UU PT Terhadap UUD NRI Tahun 1945 a. Pandangan Umum 1) Bahwa menurut Gustav Radbruch, kepastian hukum ( legal certainty ) merupakan salah satu dari tiga pilar fundamental di dalam hukum, selain keadilan dan kebermanfaatan, oleh karenanya keberadaan UU PT ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan investasi di bidang ekonomi dalam wadah Perseroan Terbatas di Indonesia.
Bahwa Pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pembangunan perkonomian nasional perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Selama ini perseroan terbatas telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang menggantikan peraturan perundang- undangan yang berasal dari zaman kolonial. Namun, dalam perkembangannya ketentuan dalam Undang-Undang tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Di samping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) menuntut penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Bahwa dalam Undang-Undang ini telah diatur berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik berupa penambahan ketentuan baru, 68 perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan. Untuk lebih memperjelas hakikat Perseroan, di dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Bahwa Undang-Undang ini memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris, mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris utusan. Selain itu Undang-Undang ini mempertegas ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum Perseroan dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek Perseroan, maka Undang-Undang ini diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha b. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo mengemukakan: “Bahwa norma a quo tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator.” (vide perbaikan permohonan hlm 12 angka 9) Bahwa dalil Pemohon tersebut bersifat asumtif, tidak memperjelas sacara konkrit mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagai likuidator. Bahwa asumsi para Pemohon yang beranggapan ketiadaan pengaturan mengenai profesi likuidator di dalam UU PT menimbulkan ketidakpastian hukum adalah tidak beralasan. Oleh karena para Pemohon tidak membuktikan secara konkrit mengenai kerugian yang diakibatkan oleh berlakunya UU PT, 69 tetapi para Pemohon membandingkan pengaturan likuidator dalam UU PT dengan pengaturan kurator dalam UU KPKPU. Bahwa justru ketentuan a quo UU PT memberikan kepastian hukum kepada peran likuidator dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur UU PT. Bahwa merujuk pada pendapat Gustav Radbruch dalam Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law mengenai kepastian hukum, dikatakan bahwa: “Any statute is always better than no statute at all, since it at least creates legal certainty.” Setiap Undang-Undang selalu lebih baik daripada tidak ada undang- undang sama sekali, karena setidaknya menciptakan kepastian hukum. Merujuk pendapat dari Gustav Radbruch tersebut, bahwa kepastian hukum lahir dari norma yang sudah menjadi hukum positif, yaitu UU PT. Bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur peran likuidator justru memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum dalam melakukan likuidasi dalam hal terjadi pembubaran perseroan.
Bahwa ketiadaan pengaturan mengenai likuidator di dalam UU PT tidak serta merta berarti ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan hukum MK dalam Putusan Perkara PUU Nomor 88/PUU-XV/2017 yang di dalamnya menyatakan: “Perihal belum adanya pengaturan dalam bentuk undang-undang (rechtsvacuum) tentang santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal, hal itu tidaklah berarti Undang-Undang a quo tidak konstitusional, sebab memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang ini. Dengan kata lain, perlunya ada pengaturan perihal pemberian santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ius constituendum untuk masa yang akan datang karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan menyalahkan 70 undang-undang a quo.” ( vide Putusan MK No. 88/PUU-XV/2017: hlm.
Memberitahukan pembubaran Perseroan tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan Kurator memiliki tugas sebagai berikut:
Melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit (vide Pasal 69 UU K-PKPU) b. Kurator harus menyampaikan laporan kepada 71 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator dalam likuidasi; [vide Pasal 147 ayat (1) UU PT] b. Melakukan pemberesan harta Perseroan; [vide Pasal 149 ayat (1) UU PT] c. Atas perintah Pengadilan Negeri, likuidator melakukan penarikan sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham apabila ada kreditor yang belum mengajukan tagihannya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pembubaran Perseroan diumumkan; (vide: Pasal 150 ayat (2) UU PT) d. Membuat laporan pertanggungjawaban atas likuidasi yang dilakukan [vide Pasal 152 ayat (1) UU PT] e. Memberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya; [vide Pasal 152 ayat (3) UU PT]; dan
Mengumumkan hasil Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya tiap 3 (tiga) bulan. (vide Pasal 74 UU K-PKPU) c. Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit, dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan (vide Pasal 98 UU K- PKPU) d. Kurator paling lambat 5 (lima) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 wajib memberitahukan penetapan tersebut kepada semua Kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan mengumumkannya paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4). [vide Pasal 114 UU K-PKPU] e. Kurator wajib: • Mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh Kreditor dengan catatan yang 72 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. [vide Pasal 152 ayat (3) UU PT] telah dibuat sebelumnya dan keterangan Debitor pailit; atau • Berunding dengan Kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima [vide Pasal 116 ayat (1) UU K-PKPU] Kurator melakukan penjualan harta pailit (vide Pasal 185 UU K-PKPU) g. Kurator melakukan daftar pembagian hasil penjualan harta pailit (vide Pasal 189 UU K-PKPU) 3. Kualifikasi Profesi Tidak diatur Seseorang yang dapat diangkat menjadi likuidator harus memenuhi kualifikasi sebgaai berikut:
Orang-perseorangan yang berdomisili di Indonesia b. Memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit;
Dan terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang- undangan [vide Pasal 70 ayat (2) UU K- PKPU] 4. Organisasi Profesi Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia a. Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia 73 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator (PPLI) (AKPI) b. Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (KHKI) Bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan kejelasan profesi likuidator yang sesungguhnya memiliki kualitas, peran, dan tanggungjawab yang sama dengan kurator adalah anggapan yang keliru karena profesi likuidator yang diatur dalam UU PT memiliki kedudukan, peran dan tanggung jawab yang berbeda dengan profesi kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Dengan demikian tidak tepat dan tidak berdasar apabila Para Pemohon hendak menyamakan peran dan tanggung jawab antara kedudukan likuidator yang jelas berbeda dengan kurator yang diatur dalam UU yang berbeda. Merujuk pendapat Prof. Soediman Kartohadiprodjo yang menyatakan bahwa, “ Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan ( ungenrechtigkeit ) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan MK Nomor 1/PUU- X/2012: hlm. 84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Soediman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu: “Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan 74 atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan.” (vide Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57) 4) Bahwa para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (3) UU PT berpotensi menimbulkan konflik bagi para pihak yang berkepentingan ( conflict of interest ) dan dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa terhadap pernyataan para Pemohon tersebut, DPR-RI berpandangan bahwa dalam hal adanya potensi konflik bagi para pihak yang berkepentingan sudah diatur dalam UU PT, terutama bagi kreditor. Bahwa ketentuan yang mengatur penyelesaian adanya potensi konflik tersebut diatur dalam Pasal 149 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) UU PT, yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 149 ayat (3) dan ayat (4) (3) Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Dalam hal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak oleh likuidator, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) (1) Kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (3), dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. (2) Kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1). Bahwa berdasarkan pandangan tersebut diatas, ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur pembubaran, 75 likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan adalah ketentuan yang memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum dan kesamaan kedudukan setiap orang di dalam hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karenanya, ketentuan pasal a quo UU PT tidak bertentangan dengan UUD 1945. __ Bahwa berdasarkan dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca kesimpulan yang disampaikan oleh para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Oktober 2018, yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini. 76 3. PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756, selanjutnya disebut UU 40/2007) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili Permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); 77 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 78 [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo adalah Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007, yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007: Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat _(1): _ _a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan _ Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007: “ Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator , Direksi bertindak selaku likuidator.” 2. Bahwa para Pemohon dalam Permohonan a quo masing-masing adalah:
M. Achsin (Pemohon I);
Indra Nur Cahya (Pemohon II);
Eddy Hary Susanto (Pemohon III);
Anton Silalahi (Pemohon IV);
Manonga Simbolon (Pemohon V);
Toni Hendarto (Pemohon VI);
Handoko Tomo (Pemohon VII).
Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum, Pemohon I sampai dengan Pemohon VII menjelaskan dirinya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia yang taat membayar pajak dan berprofesi sebagai likuidator yang tergabung dalam Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI). Para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia (WNI) dirugikan oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007, dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut: 79 a. Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adalah WNI yang berprofesi sebagai likuidator telah mengikuti kegiatan untuk membentuk likuidator yang profesional. Menurut Pemohon I sampai dengan VII, serangkaian wewenang yang diberikan oleh UU 40/2007 terhadap likuidator dalam melaksanakan tindakan likuidasi perseroan tidak dapat dilaksanakan secara profesional apabila tidak dibekali dengan dasar kemampuan dan keahlian yang mumpuni. Oleh karena itu Pemohon I sampai dengan Pemohon VII menganggap bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 belum mengakomodir kriteria seseorang yang layak menjadi likuidator;
Bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 tidak memiliki rumusan yang jelas terhadap kata “likuidator“. Hal tersebut berakibat kurangnya atau hilangnya perlindungan hukum Pemohon I sampai dengan Pemohon VII ketika sedang menjalankan tugas sebagai likuidator, sehingga dalam melaksanakan profesinya, likuidator tidak memiliki jaminan kepastian hukum yang adil;
Menurut Pemohon I sampai dengan Pemohon VII dalam menerangkan kedudukan hukumnya, bangsa dan negara juga mengalami kerugian yang nyata karena Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 belum mengandung kepastian hukum terhadap kata “likuidator”, sehingga akan mengganggu pencapaian tujuan dari dibentuknya UU 40/2007 tersebut, yaitu untuk lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional. Selain itu menurut para Pemohon, pelaksanaan likuidasi yang tidak dilakukan oleh likuidator yang profesional dan memiliki kualifikasi tertentu dapat berakibat tidak tercapainya peningkatan pembangunan perekonomian nasional yang diharapkan, bahkan mengalami penurunan. Berdasarkan uraian argumentasi Pemohon I sampai dengan Pemohon VII pada huruf a sampai dengan huruf c di atas di dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, Mahkamah setelah mencermati dengan seksama, yaitu anggapan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adanya pertentangan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 dengan UUD 1945 khususnya jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama, menurut Mahkamah Pemohon I sampai dengan Pemohon VII telah dengan jelas menguraikan 80 secara spesifik hak konstitusionalnya yang merasa telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007. Anggapan kerugian konstitusionalitas yang dialami Pemohon I sampai dengan Pemohon VII dimaksud tampak adanya hubungan kausalnya dengan norma Undang- Undang yang dimohonkan pengujian ( in casu Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) UU 40/2007) dan sebagai akibatnya telah jelas adanya konsekuensi logis, bahwa apabila Permohonan a quo dikabulkan maka kerugian hak konstitusional dimaksud tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu terlepas beralasan atau tidaknya secara hukum permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VII memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo ; [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo dan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon), maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok Permohonan para Pemohon. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas norma dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan mengemukakan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut (argumentasi selengkapnya dari para Pemohon termuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi para Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator. Ketentuan Pasal a quo membuat profesi likuidator diperlakukan sebagai “anak tiri” dalam melakukan likuidasi perseroan. Pemikiran tersebut lahir karena para Pemohon melihat bahwa pasal a quo tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum 81 (undang-undang). Padahal sesungguhnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, namun pasal a quo justru menafikan pesan dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa masih menurut para Pemohon, persamaan kedudukan antarwarga negara tidak bisa dibatasi oleh adanya batas kesukuan, agama, dan ras, termasuk keprofesian. Oleh karenanya, setiap ketentuan perundang-undangan harus mengakomodir makna yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, agar ketentuannya memiliki makna adanya persamaan di hadapan hukum antar sesama warga negara. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan mengenai kedudukan likuidator setara dengan kurator dapat dilihat dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang menyatakan bahwa “Dalam hal _terjadi pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
wajib_ diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator” . Frasa dalam pasal a quo menunjukkan adanya kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari pilihan kata yang digunakan, yaitu kata “atau”. Penggunaan kata “atau” menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada perbedaan kedudukan yang signifikan antara likuidator dengan kurator. Dengan demikian maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasinya sebagai likuidator;
Bahwa selain terkait dengan eksistensi profesi likuidator, para Pemohon menegaskan bahwa direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 merupakan organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan. Ketentuan Pasal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya direksi dipersiapkan untuk mengurus dan menjalankan produktivitas perseroan. Hal tersebut bermakna ketika perseroan mengalami kerugian yang mengakibatkan perseroan harus dibubarkan dan tidak terlepas dari peranan direksi yang tidak mampu mengelola perseroan dengan baik. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, direksi tidak sepantasnya bertindak sebagai likuidator ketika terjadi pembubaran perseroan; 82 d. Bahwa dalam hal direksi menjalankan fungsi likuidasi, menurut para Pemohon, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Segala harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip- prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat menciderai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon, rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator . Sehingga, menurut para Pemohon Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang kata “likuidator”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditional unconstitutional)[sic!] “ likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen. Dan juga menyatakan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 bertentangan dengan UUD 1945 (unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil Permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan P-18 serta tiga orang ahli, yaitu M. Hadi Shubhan, Efridani Lubis, dan Muchamad Ali Safa’at, serta tiga orang saksi, yaitu Heri Subagyo, Azet Hutabarat, dan Nasrullah Nawawi, yang keterangan selengkapnya sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini; [3.9] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan tertulisnya pada persidangan tanggal 8 Mei 2018 (keterangan selengkapnya sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini); [3.10] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan tertulisnya pada persidangan tanggal 10 Oktober 2018 (keterangan 83 selengkapnya sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini); [3.11] Menimbang bahwa Mahkamah setelah membaca dengan seksama permohonan para Pemohon, alat-alat bukti yang diajukan serta keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan para Pemohon; [3.12] Menimbang bahwa untuk memudahkan di dalam menjawab isu pokok permohonan yang dipersoalkan oleh para Pemohon, Mahkamah akan mengindentifikasi isu krusial yang dipersoalkan para Pemohon. Setelah membaca dengan saksama dalil pokok permohonan para Pemohon, terdapat 2 (dua) isu mendasar berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, yaitu: Pertama , apakah dengan tidak adanya definisi dan persyaratan sebagai likuidator dalam UU 40/2007 menyebabkan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 menjadi bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Kedua , apakah kedudukan direksi sebagai likuidator dalam proses pembubaran perseroan dalam hal RUPS tidak menunjuk likuidator berpotensi menimbulkan benturan kepentingan ( conflict of interest ), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap kedua isu konstitusional tersebut Mahkamah mempertimbangkan, sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa sebelum menjawab isu pokok yang pertama, yaitu berkenaan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a, penting bagi Mahkamah menguraikan tentang esensi pentingnya dibentuk UU 40/2007. Meskipun secara lebih luas dikaitkan dengan semangat dalam rangka pembangunan perekonomian nasional yang harus diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan 84 dan kesatuan ekonomi nasional. Namun pada dasarnya perekonomian nasional tersebut bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks peningkatan pembangunan perekonomian nasional tersebutlah esensi pentingnya ada dukungan suatu ketentuan yang mengatur tentang dunia usaha yang merupakan salah satu pilar untuk melakukan peningkatan dimaksud, yang antara lain ketentuan mengenai bentuk usaha perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan diatur secara tegas dan rigit serta selalu memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hal demikian tidak terlepas dari semangat agar dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek perseroan, termasuk permasalahan pembubaran perseroan maka UU 40/2007 diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha. Bahwa pada sisi yang berbeda perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank atau penanaman modal, yang semua itu dapat menimbulkan permasalahan hukum khususnya dalam hal penyelesaian utang-piutang dalam masyarakat, termasuk utang perseroan, maka permasalahan utang-piutang yang dimiliki oleh perseroan apabila tidak dapat diselesaikan dengan memenuhi prinsip kepastian hukum dan keadilan, sehingga hal tersebut dapat berakibat perseroan menjadi tumbuh dalam dunia yang tidak sehat dan dengan mudah banyak perseroan collapse atau pailit. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan persoalan perseroan, termasuk salah satu di dalamnya proses penyelesaian utang yang diakibatkan bubarnya sebuah perseroan, dibutuhkan instrumen hukum yang berkepastian dan berkeadilan, yang juga di dalamnya mengatur persoalan integritas dan profesionalitas pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian atau pemberesan perseroan pada saat ada pembubaran (likuidasi) perseroan; 85 [3.12.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang berpendapat seorang likuidator harus warga negara Indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah berpendapat sesungguhnya Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang dipermasalahkan para Pemohon mengatur mengenai “pembubaran perseroan wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator”. Apabila dicermati dengan seksama semangat dan pesan dari norma pasal a quo adalah sederhana dan dapat ditangkap dengan mudah, yaitu bahwa apabila sebuah perseroan terjadi pembubaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) UU 40/2007, maka harus diikuti proses likuidasi dan sebagai subjek hukum yang melaksanakan proses likuidasi tersebut adalah likuidator atau kurator. Selanjutnya terhadap norma pasal a quo apabila mengikuti argumentasi para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia dan mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan serta independen, maka Mahkamah dapat menangkap kehendak para Pemohon adalah syarat-syarat tersebut dikhususkan untuk likuidator selain yang dilaksanakan oleh kurator. Hal demikian mengingat kurator pada saat menjalankan fungsinya sebagai likuidator telah melekat syarat-syarat tersebut pada seorang kurator ketika yang bersangkutan diangkat dan menjalankan tugas sebagai kurator. Hal ini dipertegas oleh ketentuan bahwa tugas seorang kurator adakalanya melekat juga sebagai likuidator, yang secara tegas kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang. Bahwa pertanyaan lebih lanjut yang harus dijawab adalah bagaimana dengan syarat-syarat tersebut yang harus dimiliki seorang likuidator yang bukan dilaksanakan oleh seorang kurator. Terhadap hal ini, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil para Pemohon a quo , menurut Mahkamah oleh karena salah satu syarat likuidator yang dimohonkan para Pemohon harus warga negara Indonesia berkaitan erat dengan dalil permohonan para Pemohon ihwal inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, maka syarat likuidator harus warga negara Indonesia akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum Mahkamah pada saat mempertimbangkan dalil para Pemohon yang berkaitan dengan isu pokok yang kedua yaitu berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut, yang berkenaan permohonan para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dijalankan oleh direksi adalah inkonstitusional. Dengan kata lain, direksi tidak boleh menjalankan fungsi likuidator karena menurut 86 para Pemohon dapat berakibat adanya __ benturan kepentingan ( conflict of interest ), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator. Oleh karena itu berkenaan dengan syarat lainnya yang dihendaki para Pemohon, yaitu likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut; [3.12.3] Bahwa sebelum Mahkamah sampai pada kesimpulan dalam mempertimbangkan dalil para Pemohon berkaitan dengan syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, penting rasanya bagi Mahkamah untuk menelisik tentang esensi dari pada batas-batas tugas dan wewenang seorang likuidator yang melaksanakan penyelesaian likuidasi sebuah perseroan. Ada perbedaan yang signifikan antara tugas dan wewenang bagi likuidator di dalam menyelesaikan proses likuidasi terhadap perseroan yang dinyatakan bubar karena keputusan RUPS, karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga, maka dalam hal yang demikian subyek hukum yang berwenang melaksakan proses likuidasi adalah likuidator yang diangkat RUPS. Sementara itu, terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta pailit perseroan dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi, ataupun untuk pembubaran perseroan karena penetapan pengadilan yang diminta oleh para pihak yang berkepentingan, maka hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator yang diangkat oleh pengadilan dan kemudian beralih mengambil tugas dan wewenang sebagai likuidator, termasuk likuidator yang ditunjuk sebagai akibat adanya penetapan tersebut; Bahwa dengan merujuk pada adanya perbedaan perlakuan terhadap pembubaran perseroan dalam menyelesaikan proses likuidasi tersebut di atas, maka sesungguhnya ada tugas dan fungsi likuidator yang dapat dilihat pada sisi tahapannya dan pada sisi substansi yang harus diselesaikan. Pada sisi tahapannya, tugas likuidator pada hakikatnya adalah proses penyelesaian likuidasi yang dilakukan oleh likuidator setelah perseroan dinyatakan dalam likuidasi (pembubaran), oleh karena itu tampak bahwa seseorang sebagai subyek hukum yang ditunjuk dan diangkat menjadi penyelengara likuidasi adalah likuidator yang 87 menjalankan tugas dan fungsinya sejak perseroan dinyatakan bubar dan dalam keadaan likuidasi. Selanjutnya dari sisi substansi, yang menjadi tugas dan wewenang likuidator yang harus diselesaikan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 149 ayat (1) UU 40/2007, yaitu pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang perseroan; pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi; pembayaran kepada para kreditor; pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan. Bahwa mencermati tugas dan wewenang likuidator sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya hakikat tugas dan wewenang likuidator adalah menjalankan fungsi dan wewenang yang merupakan bagian tugas lanjutan yang menggantikan tugas dan wewenang organ perseroan khususnya tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal) yang oleh karena perintah undang-undang terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam keadaan likuidasi penyelesaian atau pemberesannya harus diambil alih oleh likuidator. Esensi sesungguhnya yang terjadi adalah segala urusan yang berkaitan dengan perseroan dilaksanakan oleh likuidator yang harus bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian segala hal yang berkaitan dengan likuidasi, bahkan likuidator dapat dituntut untuk menanggung segala resiko yang timbul atas kelalaiannya yang dapat berakibat ruginya perseroan dan pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada), baik tanggung jawab secara pribadi (personal liability) maupun tanggung jawab secara tanggung renteng ( jointly and severally liable ), maka terhadap likuidator dapat dilakukan tuntutan atas kelalaiannya tersebut oleh pihak perseroan dan pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada). Terlebih dalam menjalankan tugasnya, likuidator senantiasa diawasi oleh dewan komisaris dan dewan komisaris dapat memberhentikan untuk sementara likuidator yang dianggap lalai dan selanjutnya dapat diberhentikan secara tetap apabila menurut keputusan RUPS pemberhentian sementara likuidator tersebut beralasan; Bahwa dari uraian penjelasan Mahkamah tersebut di atas, maka sebenarnya telah tampak apabila likuidator di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk melakukan pemberesan terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam likuidasi, tidaklah melaksanakan tugas yang secara substansial menjadi 88 beban mutlak likuidator, akan tetapi pada dasarnya mengambil alih tugas dan wewenang organ perseroan yaitu direksi (dalam keadaan perseroan normal), sehingga tugas dan wewenang likuidator tersebut pada dasarnya adalah melaksanakan pemberesan segala hal yang berkaitan dengan likuidasi dan hal tersebut semata-mata adalah untuk kepentingan perseroan, baik yang menjadi hak dan tanggung jawab perseroan yang dalam keadaan likuidasi tersebut. Oleh sebab itulah, di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya seorang likuidator senantiasa di bawah pengawasan dewan komisaris sesuai dengan anggaran dasar. Bahkan, dewan komisaris dapat memberikan nasihat serta memberhentikan untuk sementara waktu apabila likuidator dipandang lalai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 142 ayat (6) UU 40/2007 beserta Penjelasannya]. Dengan demikian, fakta ini telah dengan sendirinya menjawab tidak relevannya dalil para Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan pemaknaan secara bersyarat terhadap Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, yaitu untuk likuidator agar diberlakukan syarat-syarat harus mempunyai sertifikat kemampuan melikuidasi perseroan dan independen. Terlebih lagi bagi likuidator yang ditunjuk pengadilan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya melakukan pemberesan terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta perseroan yang dinyatakan pailit barada dalam keadaan insolvensi, terhadap hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator. Fakta yang terakhir ini makin menegaskan bahwa pemberlakuan syarat-syarat bagi likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi dan independen sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut semakin tidak relevan; Bahwa di samping pertimbangan hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan likuidator agar diharuskan mempunyai sertifikat melikuidasi perseroan dan independen adalah tidak sejalan dengan semangat bahwa penyelesaian likuidasi terhadap perseroan yang dalam keadaan bubar, haruslah memberi kebebasan kepada RUPS sebagai organ tertinggi dalam perseroan untuk menggunakan hak pilihnya di dalam menentukan likuidator berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu terutama kemampuan masing-masing perseroan. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan hal-hal yang berkenaan dengan pilihan apakah perseroan akan 89 memilih likuidator yang akan ditunjuk, tentu sudah dengan pertimbangan- pertimbangannya. Karena pada dasarnya tugas wewenang seorang likuidator secara substansial adalah melanjutkan tugas dan wewenang direksi, walaupun tugas dan wewenang tersebut bukan dalam hal melakukan perbuatan hukum baru atas nama perseroan. Sehingga dengan demikian sesungguhnya hakikat yang harus dimiliki oleh seorang likuidator adalah kompetensi dan integritas yang hal tersebut tidak boleh berakibat membatasi siapapun untuk bisa menjadi likuidator tanpa harus ada syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon. Terlebih lagi seorang likuidator dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sudah ada pedoman yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya regulasi yang mengatur hal-hal pokok dan mendasar serta batasan-batasan yang harus dilaksanakan oleh seorang likuidator hingga hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perseroan yang dalam proses likuidasi; Bahwa selanjutnya Mahkamah perlu mempertimbangkan argumentasi para Pemohon yang menyatakan perihal adanya perbedaan perlakuan likuidator dengan kurator dan bahkan para Pemohon berpendapat likuidator diperlakukan sebagai anak tiri dan oleh karenanya memohon agar diperlakukan sama. Terhadap hal ini Mahkamah perlu menegaskan bahwa tugas dan kewenangan kurator dengan likuidator sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan berbeda sekalipun dalam hal-hal tertentu ada kalanya keduanya melakukan pekerjaan yang sama yaitu dalam rangka penyelesaian terhadap perseroan yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga yang hingga sampai pada pembubaran perseroan, yaitu dalam hal seorang kurator yang ditunjuk pengadilan untuk pemberesan harta pailit perseroan kemudian berada dalam keadaan insolvensi, maka kurator bertindak sebagai likuidator. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU 37/2004) menyatakan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan undang-undang. Sedangkan likuidator adalah orang yang ditunjuk atau diangkat menjadi penyelenggara likuidasi, baik diangkat oleh RUPS atau pengadilan sepanjang berkaitan dengan 90 perseroan yang awalnya dinyatakan pailit atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan; Selanjutnya terlepas dari adanya perbedaan dan persamaan dalam hal-hal tertentu sebagaimana diuraikan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, secara substansi terdapat perbedaan yang mendasar antara tugas dan wewenang kurator dengan likuidator. Kurator adalah subjek hukum yang melaksanakan tugas dan wewenang untuk melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit perseroan yang kepadanya diberi kewenangan penuh untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengan harta pailit perseroan hingga kemudian terhadapnya dapat ditunjuk menjadi likuidator apabila harta pailit dalam keadaan insolvensi dan perseroan harus dibubarkan. Oleh karena itu sejatinya likuidator yang diangkat oleh pengadilan hanya menjalankan tugas dan wewenang setelah kurator menjalankan tugas dan wewenang mengurus dan membereskan harta pailit perseroan dan dalam keadaan insolvensi, baru kemudian kurator dapat melanjutkan tugas dan wewenangnya, namun fungsinya berubah sebagai likuidator. Sementara itu, untuk likuidator yang diangkat oleh RUPS, sesungguhnya menjalankan tugas dan wewenangnya membereskan harta perseroan sejak diangkat oleh RUPS dan dalam melaksanakan tugasnya dapat setiap saat diawasi dan diberi nasihat oleh dewan komisaris serta ruang lingkup tugas dan wewenangnya pada dasarnya adalah sama dengan tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal); Bahwa dari uraian tersebut di atas, tampak jelas perbedaan esensial antara tugas dan wewenang kurator dan likuidator. Inilah alasan sebenarnya syarat-syarat untuk menjadi kurator diatur secara ketat dibandingkan syarat-syarat untuk menjadi likuidator. Dengan kata lain, subyek hukum yang dapat menjadi kurator adalah orang yang benar-benar telah memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan, khususnya Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus, sedangkan untuk likuidator dapat dilaksanakan oleh siapapun yang ditunjuk oleh RUPS atau likuidator khusus yang ditunjuk pengadilan karena berkaitan dengan kepailitan atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan . Namun demikian 91 penting bagi Mahkamah untuk mengingatkan bahwa siapapun yang akan menjadi likuidator tetap harus membekali diri dengan kompetensi dan integritas; Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon berkenaan dengan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen tidaklah beralasan menurut hukum; [3.12.4] Bahwa terkait dalil para Pemohon selebihnya yang menyatakan dalam hal direksi menjalankan fungsinya sebagai likuidator, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Menurut para Pemohon, alasan di antaranya adalah harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat mencederai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator; Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum pada Paragraf [3.12.3] bahwa tugas dan wewenang likuidator sebenarnya mengambil alih tugas dan tanggung jawab direksi (dalam keadaan perseroan normal), karena sesungguhnya yang lebih tahu segala hal berkaitan dengan perseroan adalah direksi. Namun, oleh karena undang-undang menentukan terhadap pembubaran perseroan harus diikuti likuidasi yang dilakukan oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS, maka dengan demikian semangat penyelesaian atau pemberesan terhadap perseroan yang dalam keadaan likuidasi sesungguhnya lebih tepat dilaksanakan oleh direksi. Hal ini sejalan dengan pilihan subjek hukum oleh RUPS yang dapat melaksanakan likuidasi adalah direksi apabila RUPS tidak menunjuk likuidator [vide Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007]. Sehingga pilihan RUPS untuk mengangkat atau tidak mengangkat likuidator yang berasal dari direksi merupakan bentuk pilihan dengan alasan efektivitas dan sekaligus bisa juga karena pertimbangan efisiensi mengingat perseroan yang dalam keadaan likuidasi kerapkali kondisi keuangannya sudah tidak sehat atau pilihan RUPS mengangkat likuidator yang 92 bukan direksi adalah karena pertimbangan pembubaran perseroan disebabkan salah satunya adalah adanya salah urus oleh direksi ( mismanagement) ; Bahwa dengan uraian fakta tersebut menurut Mahkamah lebih lanjut, argumentasi para Pemohon yang berpendapat likuidator yang dilaksanakan oleh direksi tidak independen dan adanya benturan kepentingan ( conflict of interest ) __ adalah argumentasi yang mengandung kekhawatiran yang berlebihan dan tidak berdasar, mengingat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik likuidator yang dilakukan oleh direksi maupun oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS selalu diawasi dan dapat diberi nasihat oleh dewan komisaris serta dapat sewaktu-waktu diberhentikan sementara apabila diduga telah lalai menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bahkan diberhentikan secara tetap apabila alasan pemberhentian sementara oleh dewan komisaris diterima dalam RUPS. Terlebih lagi selain adanya pengawasan dan adanya sanksi-sanksi pemberhentian baik sementara maupun tetap tersebut juga adanya sanksi lainnya atas kelalaian yang dilakukan likuidator baik yang berasal dari direksi maupun likuidator yang diangkat oleh RUPS yang menimbulkan kerugian baik perseroan maupun pihak lain, termasuk para kreditur (apabila ada) yang diakibatkan oleh kelalaian likuidator tersebut tetap saja dapat dituntut, baik secara pribadi (personal liability) maupun secara tanggung renteng ( jointly and severally liable ) apabila likuidator tersebut lebih dari seorang yang merugikan perseroan, pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada); Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dilaksanakan oleh direksi adalah tidak independen dan berakibat adanya benturan kepentingan (confict of interest), apalagi dikatakan tidak dapat mencerminkan prinsip-prinsip keadilan karena lebih mengedepankan kepentingan perseroan. Dengan uraian pertimbangan hukum a quo maka dalil para Pemohon tersebut harus dikesampingkan. Sementara itu oleh karena Mahkamah berpendapat direksi adalah subjek hukum yang dapat menjadi likuidator sepanjang undang-undang atau peraturan lainnya tidak melarang jabatan direksi dijabat oleh warga negara yang bukan warga negara Indonesia, maka sebagai konsekuensi yuridisnya tidak ada larangan direksi yang bukan warga negara Indonesia sepanjang yang bersangkutan menjabat sebagai direksi sebuah perseroan di 93 Indonesia, maka yang bersangkutan dapat menjalankan tugas dan wewenang sebagai likuidator. Dengan demikian uraian pertimbangan hukum Mahkamah ini sekaligus menjawab dalil para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007; Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkaitan dengan likuidator harus warga negara Indonesia dan direksi tidak dapat bertindak sebagai likuidator, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, adalah tidak beralasan menurut hukum; [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 94 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menolak Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Desember, tahun dua ribu delapan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Februari, tahun dua ribu sembilan belas , selesai diucapkan pukul 14.01 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Suhartoyo, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Achmad Edi Subiyanto sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Suhartoyo 95 ttd. Saldi Isra ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih PANITERA PENGGANTI, ttd. Achmad Edi Subiyanto