hkama hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 1 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 PUTUSAN Nomor 46 P/HUM/2017 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH AGUNG Memeriksa dan mengadili perkara permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, pada tingkat pertama dan terakhir telah memutuskan sebagai berikut, dalam perkara: PT SADHANA , beralamat di Esa Sampoerna Center Lantai 6, Jalan DR. Ir. H. Soekarno Nomor 198 Surabaya - Kota Surabaya Jawa Timur diwakili oleh Sunarjo Sampoerna, kewarganegaraan Indonesia, tempat tinggal Surabaya, pekerjaan Direktur PT Sadhana, selanjutnya memberi kuasa kepada:
Eman Achmad Sulaeman, S.H., M.B.A.;
M. Agus Imanuddin, S.H., M.Si.;
Ferranti Martoenoes, S.H.;
Tris Darmawan, S.H.;
Krishna Cakraningrat, S.H.; Kesemuanya kewarganegaraan Indonesia, Para Advokat pada Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Eman Achmad & Co, beralamat kantor di Puri Imperium Office Plaza, G.11, Jalan Kuningan Madya Kav. 5-6, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 17 Mei 2017 _; _ Selanjutnya disebut sebagai Pemohon; melawan: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA , tempat kedudukan Gedung Djuanda I Lt. 3 Kementerian Keuangan, Jalan Dr. Wahidin Raya Nomor 1 Jakarta Pusat, selanjutnya memberi kuasa kepada:
Tio Serepina Siahaan, S.H., LL.M., Kepala Biro Bantuan Hukum, Kementerian Keuangan;
Pangihutan Siagian, S.H., Kepala Bagian Bantuan Hukum III pada Biro Bantuan Hukum, Kementerian Keuangan;
Iwan Hermawan, S.H., LL.M., Kepala Subdirektorat Upaya Hukum, Direktorat Keberatan, Banding, dan Peraturan DJBC;
Sunaryo, S.S.T., M.M., Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Dasar, Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 2 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 5. Tedy Himawan, S.E., M.M., Kepala Subdirektorat Perizinan dan Fasilitas Cukai, Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC;
Dwi Susianto Guntoro, S.H., Kepala Subbagian Bantuan Hukum IIIC pada Biro Bantuan Hukum, Kementerian Keuangan;
Agus Pramono, S.H., M.H., Kepala Seksi Upaya Hukum I, Direktorat Keberatan, Banding, dan Peraturan DJBC;
Hary Kustowo, S.Sos., M.A., M.AP., Kepala Seksi Tarif Cukai dan Harga Dasar 2, Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC;
Handy Trinova, S.H., LL.M., Pelaksana pada Bagian Bantuan Hukum III, Biro Bantuan Hukum, Kementerian Keuangan;
Daryono, S.H., Pelaksana pada Bagian Bantuan Hukum III, Biro Bantuan Hukum, Kementerian Keuangan;
Sugeng Widodo, S.H., LL.M., Pelaksana pada Bagian Bantuan Hukum III, Biro Bantuan Hukum, Kementerian Keuangan;
Khalis Prayogi, S.H., Pelaksana pada Bagian Bantuan Hukum III, Biro Bantuan Hukum, Kementerian Keuangan;
Artira Putrina, S.H., Pelaksana pada Direktorat Keberatan, Banding, dan Peraturan DJBC;
Romina P. Manurung, S.H., M.H., Pelaksana pada Direktorat Keberatan, Banding, dan Peraturan DJBC; kesemuanya kewarganegaraan Indonesia, berdomisili hukum di kantor Biro Bantuan Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Gedung Djuanda I Lantai 15 Kementerian Keuangan, Jalan Dr. Wahidin Nomor 1 Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-267/MK.1/2017, tanggal 28 Juli 2017; __ Selanjutnya disebut sebagai Termohon; Mahkamah Agung tersebut; Membaca surat-surat yang bersangkutan; DUDUK PERKARA Menimbang, bahwa Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 20 Juni 2017 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 03 Juli 2017 dan diregister dengan Nomor 46 P/HUM/2017 telah mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, dengan dalil- dalil yang pada pokoknya sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 3 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 1. Kewenangan Mahkamah Agung 1.1 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan "Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang” (Bukti P-2);
2 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan, "Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan“ (Bukti P-3);
3 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi" ( vide Bukti P-3);
4 Bahwa berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang atau pengujian legalitas peraturan dibawah Undang- Undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang" ( vide Bukti P-3);
5 Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 (selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009) tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, "Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi" (Bukti P-4);
6 Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan “Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang- undang" dan ayat (3) berbunyi "putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 4 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung" ( vide Bukti P-4);
7 Bahwa Pemerintahan yang dipandang paling baik adalah pemerintahan yang paling sedikit memerintah, atau paling sedikit ikut campur dalam urusan masyarakat, hal ini merupakan prinsip negara hukum yang mengutamakan hukum dimana rakyatlah yang berdaulat, prinsip supremasi hukum ( supremacy of law ) atau dengan kata lain kekuasaan tertinggi dalam negara hukum adalah di tangan hukum, kewenangan regulasi yang bersifat mengikat untuk umum terkait erat dengan fungsi legislasi yang hanya dapat dilakukan oleh kekuasaan negara apabila telah mendapat persetujuan rakyat yang berdaulat, yaitu melalui para wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak satu orang rakyatpun yang dapat dikurangi haknya dan dibebani dengan kewajiban tanpa disetujui sendiri oleh rakyat yang berdaulat itu menurut prosedur demokrasi berdasarkan konstitusi yang berlaku ( the principle of constitucional democracy , Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie, S.H.). Oleh karena itu jika suatu Lembaga atau Pejabat publik tertentu hendak mengatur, mengurangi hak, dan atau membebankan sesuatu kewajiban tertentu kepada subjek hukum warga negara dalam lalu lintas hukum, maka satu-satunya bentuk hukum yang diperbolehkan untuk mengatur hal itu adalah dalam bentuk undang-undang, atau dengan kata lain bahwa bentuk peraturan yang bersifat mengikat hanya diperkenankan apabila peraturan itu secara eksplisit mendapatkan delegasi kewenangan mengatur dari undang- undang (legislative delegation of rule-making power );
8 Bahwa kekecualian atas berlakunya prinsip “ legislative delegation of rule- making power “ itu hanya dimungkinkan atas pertimbangan bahwa dalam menjalankan tugas konstitusionalnya seorang kepala pemerintahan memerlukan keleluasaan bertindak berdasarkan prinsip “ freies ermessen ”, dengan demikian dapat dikatakan bahwa selain Presiden, tidak ada Lembaga lain atau Pejabat lain yang diperbolehkan membuat peraturan yang bersifat mengikat untuk umum kecuali jika kewenangan demikian secara tegas didelegasikan oleh undang-undang atau disub- delegasikan oleh satu peraturan pelaksana undang-undang;
9 Bahwa Pedoman atau Tata Cara hanya bersifat teknis administratif dan tidak boleh membuat atau menciptakan norma hukum baru yang sama sekali tidak diatur dalam undang-undang. Jika materi pedoman atau tata cara berisi norma hukum baru, maka norma hukum yang demikian dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 5 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 diabaikan daya ikatnya, norma hukum yang demikian tidak dapat dipaksakan berlakunya dalam lalu lintas hukum;
10 Bahwa kewenangan regulasi atau membuat peraturan perundang- undangan, pada pokoknya, lahir dari adanya prinsip kedaulatan rakyat, oleh karena itu setiap peraturan yang akan ditetapkan oleh pemerintah mengikat untuk umum, haruslah atas persetujuan wakil-wakil yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat. Apabila ketentuan dalam peraturan itu belum cukup dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka pendelegasian kewenangan pengaturan itu baru dapat dilakukan apabila:
10.1 Adanya perintah yang tegas mengenai subjek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
10.2 Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau
10.3 Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari Undang-Undang atau lembaga pembentuk undang-undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi, dengan demikian jelas bahwa Lembaga pelaksana undang-undang, baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu peraturan yang mengikat umum jika oleh undang-undang sebagai “ primary legislation ” memang memerintahkan atau memberi kewenangan untuk itu. Oleh karena itu syarat utama pendelegasian kewenangan pengaturan itu adalah harus ada perintah atau pendelegasian yang resmi dari undang-undang;
11 Bahwa keabsahan proses pembentukan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang haruslah didasarkan atas “ legislative delegation of rule making power ” dari pembentuk undang-undang kepada penerima “ delegation of rule making power “ atau penerima delegasi untuk membuat peraturan perundang-undangan di bawahnya;
12 Bahwa Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil, ”permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”, namun sesuai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 6 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 dengan konsideran (menimbang) pada Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2011 huruf a, b dan c pada dasarnya telah ditegaskan bahwa pengajuan Hak Uji Materiil bagi suatu yang bersifat umum ( Regelend ) tidak dibatasi waktu, sehingga batas waktu 180 (seratus delapan puluh) hari seperti disebut dalam Pasal 2 Ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2004 telah dicabut (Bukti P-5);
13 Bahwa dengan demikian Mahkamah Agung berwenang untuk mengadili perkara pengujian dan pengujian legalitas dari:
Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tertanggal 16 Juni 2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat;
ii. Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tertanggal 16 Juni 2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat ( vide Bukti P-1); Karena bertentangan dengan: - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (“Undang-Undang Cukai”) (Bukti P-6); dan tidak sesuai dengan tata cara pembuatan peraturan perundang- undangan tersebut sebagai peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam: - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”) (Bukti P-7);
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon 1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ayat:
“Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang- undang;
Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 7 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung;
Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” (Bukti P-8);
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 A Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ayat:
“Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dilakukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia”;
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau badan privat;
Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
nama dan alamat pemohon;
uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:
Materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
hal-hal yang diminta untuk diputus;
Pemohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 8 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 5. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohonan atau permohonan tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima;
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan;
Dalam hal pemohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan pemohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus dimuat dalam Berita Negara atau Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan diucapkan;
Dalam hal peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak;
Ketentuan mengenai tata cara pengujian peraturan perundang- undangan diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung; ( vide Bukti P-8);
Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menyatakan: “Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan” ( vide Bukti P-7);
Bahwa peraturan yang ditetapkan Termohon Keberatan dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mengatur: “Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud Menteri, badan lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang…..” ( vide Bukti P-7); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 9 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 5. Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menyatakan: “Dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung" ( vide Bukti P-7);
Bahwa tata cara pengujian peraturan perundang-undangan diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil Pasal 1 ayat:
“Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang terhadap peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi”;
“Peraturan perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah undang-undang”;
“Pemohon keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang- undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan”;
“Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perongan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang;
“Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan ( vide Bukti P-5);
Bahwa selain itu berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, yang menyatakan: “Permohonan keberatan diajukan terhadap suatu peraturan perundang- undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang- undangan tingkat lebih tinggi” ( vide Bukti P-5);
Bahwa berdasarkan Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, yang menyatakan:
Dalam hal ini Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan , karena peraturan perundang-undangan tersebut bertenta n gan dengan Undang- Undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi , Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 10 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (2) Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya ( vide Bukti P-5);
Bahwa Pemohon adalah suatu perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang berkaitan dengan produk daun tembakau, yang dalam hal ini melakukan pembelian tembakau kepada petani-petani tembakau yang selanjutnya Pemohon melakukan pemrosesan daun-daun tembakau tersebut untuk kemudian hasil proses tembakau tersebut dijual ke pabrik rokok untuk diolah kembali menjadi produk hasil tembakau (rokok);
Bahwa secara umum, kegiatan usaha yang terkait dengan produk tembakau meliputi: • Budidaya Tembakau; • Tata Niaga Tembakau; • Pemrosesan Daun Tembakau; • Pabrik Hasil Tembakau;
Bahwa untuk diketahui, kegiatan tersebut tidak hanya melibatkan perusahaan atau pabrik atau pengusaha pabrik saja akan tetapi meliputi juga melibatkan perorangan termasuk petani-petani tembakau yang dalam prakteknya tidak hanya melakukan kegiatan budi daya daun tembakau tetapi juga sering melakukan kegiatan tata niaga dan pemrosesan daun tembakau;
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut sangatlah lazim dan dalam prakteknya hampir sebagian besar petani tembakau melakukan kegiatan merajang, mengeringkan dan mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke tempat pemrosesan tembakau dan/atau pabrik rokok;
Bahwa seperti halnya yang juga dilakukan oleh para petani tembakau, pada dasarnya Kegiatan Usaha yang dilakukan oleh Pemohon adalah melakukan pemrosesan tembakau seperti memisahkan gagang dari daun tembakaunya, merajang daun tembakau menjadi bagian kecil-kecil, memisahkan hasil rajangan dengan material non tembakau (seperti debu, plastik, pecahan tikar, kerikil, bulu ayam, jerami dll.), mengeringkan dan menjaga kelembaban daun tembakau rajangan, mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke pabrik rokok. Tembakau rajangan ini belum siap untuk dipakai karena masih akan diproses lebih lanjut menjadi hasil tembakau/rokok di pabrik rokok; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 11 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 14. Bahwa terkait dengan hal tersebut, Pasal 1 juncto Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai sudah mengatur secara tegas mana saja yang menjadi Subjek (pelaku usaha) yang terkait dengan tembakau, yang dikategorikan sebagai subjek yang dianggap memproduksi barang kena cukai, yaitu hanya Pabrik Hasil Tembakau berupa Rokok/Sigaret Kretek/Sigaret Putih, Cerutu dan Tembakau Iris (TIS) yang mana produk Barang Kena Cukai tersebut dibuat atau dijual dalam kemasan untuk penjualan eceran;
Bahwa sehubungan dengan produk Tembakau Iris (TIS) tersebut, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai, mendefinisikan “Tembakau Iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya”. Lebih lanjut Pasal 1 juncto Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai, telah secara tegas mengatur mengenai kriteria dan batasan-batasan yang terkait dengan bagaimana suatu produk daun tembakau bisa dikategorikan sebagai produk Tembakau Iris (TIS) yang merupakan objek Cukai atau Barang Kena Cukai, termasuk dampak hukum, berupa kewajiban adminitratif bagi dari subjek (perusahaan maupun perorangan) yang memproduksi atau melakukan kegiatan usaha yang terkait dengan objek tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa yang menjadi unsur penting dalam pengkualifikasian produk TIS sebagai Barang Kena Cukai adalah kriteria mengenai “barang selesai dibuat” dan “dikemas untuk dijual eceran” yang normanya telah diatur dalam Pasal 4 juncto Pasal 3 Undang-Undang Cukai (Vide Bukti P-6);
Bahwa secara faktual hasil pemrosesan tembakau oleh Pemohon tidak bisa dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai berupa TIS karena tidak memenuhi unsur, selesai dibuat dan kemasan dijual eceran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 4 Undang-Undang Cukai tersebut;
Bahwa oleh karena norma hukum mengenai bagaimana suatu produk tembakau bisa dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai yang berdampak pada keharusan untuk melakukan suatu tindakan administrasi terkait cukai bagi subjek pelaku usahanya sudah diatur secara tegas dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai sedangkan Pasal lainnya lebih banyak mengatur mengenai konsekuensi hukum dan tatacara Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 12 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 administratif yang harus dilakukan oleh atas subjek dan objek cukai berdasarkan kriteria di Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang- Undang Cukai tersebut ( vide Bukti P-6);
Bahwa yang menjadi landasan dibuatnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 adalah Pasal 16 Undang-Undang Cukai yang secara struktur merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana prosedur administrasi lanjutan terkait dengan subjek dan objek cukai yang telah memenuhi kriteria dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 ( vide Bukti P-6);
Bahwa selama ini, berdasarkan Undang-Undang Cukai, posisi hukum dari Pemohon, sebagaimana halnya dengan petani-petani tembakau yang melakukan kegiatan perajangan khususnya yang menjual hasil tembakaunya kepada Pemohon, tidak termasuk ke dalam kriteria sebagai pelaku usaha atau subjek yang memproduksi barang kena cukai dan karenanya tidak diwajibkan untuk melakukan prosedur administrasi sebagai pengusaha barang kena cukai sesuai Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai namun dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, khususnya Pasal 2 angka 3 huruf (f) yang berbunyi: “hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris yaitu pada saat proses pengolahan daun tembakau telah selesai dirajang, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya” dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) yang berbunyi: “untuk hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai, dalam hal hasil tembakau berupa Tembakau Iris dimaksud telah dikemas”; menjadikan seakan-akan Pemohon (dan juga petani-petani tembakau sebagaimana disebut di atas) kembali harus dikualifikasikan sebagai pengusaha barang kena cukai karena isinya mengatur atau memperluas kriteria yang tidak diatur dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai dimana seharusnya kualifikasi Tembakau Iris yang merupakan Barang Kena Cukai yang telah selesai dibuat adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya” sebagaimana disebutkan dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 13 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai, sehingga dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, khususnya Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) kualifikasi Tembakau Iris yang tadinya hanya meliputi: “hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai”, kualifikasinya diperluas menjadi: (i) “hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris yaitu pada saat proses pengolahan daun tembakau telah selesai dirajang”; dan (ii) untuk hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai, dalam hal hasil tembakau berupa Tembakau Iris dimaksud telah dikemas ( vide Bukti P-1);
Bahwa fakta tersebut disamping melanggar hak hukum dan hak konstitusional dari Pemohon juga dalam pelaksanakan dapat menghambat bahkan merugikan tidak hanya bagi Pemohon akan tetapi juga bagi petani- petani tembakau yang menjual hasilnya kepada Pemohon Judicial review , karena berdasarkan kriteria yang sumir dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 menjadikan Pemohon dan para petani tembakau tersebut dianggap sebagai pihak yang memproduksi Barang Kena Cukai dan harus melakukan proses administrasi sebagai subjek yang memproduksi barang kena cukai. Padahal, sebagaimana akan diuraikan dalam permasalahan pokok di bawah, diketahui bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 16 Undang-Undang Cukai yang terkait dengan kewajiban administrasi hanya bagi subjek yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai sehingga secara konstruksi hukum ketentuan Pasal 16 tersebut hanya berlaku bagi subjek yang telah memenuhi kriteria pasal-pasal tersebut, namun pada kenyataannya ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 malahan membuat norma baru yang isinya merubah kaidah-kaidah yang ada di Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa kerugian-kerugian yang terjadi apabila ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 diterapkan yang akan dirasakan Pemohon setidaknya adalah adanya tambahan kewajiban Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 14 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 administrasi atau mungkin beban fiskal cukai yang mungkin harus ditanggung oleh Pemohon yang sebenarnya oleh Undang-Undang Cukai sendiri tidak pernah diwajibkan dan selain itu, khusus terkait dengan masalah kegiatan usaha, karena perluasan norma dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 menyebabkan petani-pertani yang menjadi mitra usaha Pemohon juga akan dikenakan kewajiban administrasi cukai, yang sebenarnya berdasarkan Undang-Undang Cukai sendiri tidak diwajibkan, yang kami yakini akan memberatkan petani-petani tersebut, dalam implementasinya kemungkinan Pemohon harus menyeleksi lagi petani-petani mitra usaha tersebut, karena harus memastikan petani-petani tersebut memenuhi kewajiban dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 yang sebenarnya tidak diwajbkan oleh Undang-Undang Cukai, dan berdasarkan pengalaman Pemohon hal tersebut akan sulit dilakukan dan pada akhirnya bisa menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi secara tidak baik bagi kegiatan usaha Pemohon dan juga petani tembakau;
Bahwa perlu kami informasikan sebagai berikut:
Berawal dari adanya Laporan Hasil Audit Nomor LHA- 45/BC.62/IP/2016 tanggal 12 Februari 2016 (Bukti P-9), yang mewajibkan Pemohon untuk membayar sanksi administrasi berupa denda Rp.20.000.000,- (dua puluh juta Rupiah) dan Pemohon seharusnya mempunyai izin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) dimana selanjutnya berdasarkan itu Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Pasuruan mengeluarkan penetapan berupa Surat Tagihan Nomor: S- 01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 tentang Penetapan atas Sanksi Administrasi Berupa Denda sesuai Laporan Hasil Audit Nomor LHA-45/BC.62/IP/2016 tanggal 12 Februari 2016 (Bukti P-10);
Atas Pendapat Tim Audit Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bahwa perusahaan seharusnya mempunyai Izin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) karena melakukan kegiatan produksi Tembakau Iris yang merupakan salah satu Barang Kena Cukai, sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, Pemohon mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai pada tanggal 10 Maret 2016 Nomor 097/SDHN/III/2016 dengan membuktikan bahwa Pemohon tidak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 15 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 setuju dengan pendapat Tim Audit DJBC bahwa seharusnya Pemohon mempunyai izin NPPBKC karena melakukan kegiatan produksi Tembakau Iris yang merupakan salah satu Barang Kena Cukai sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, karena Tembakau hasil proses Pemohon merupakan rajangan daun tembakau yang belum siap dipakai. Demikian pula dengan barang ekspor rajangan daun tembakau Pemohon yang belum merupakan barang yang siap dipakai sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai (BKC) karena masih merupakan bahan baku untuk diolah kembali oleh pabrik rokok lain (Bukti P-11);
Namun keberatan Pemohon kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai ditolak dimana Direktorat Jenderal Bea Cukai yang merupakan instansi di bawah Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP- 03/BC.06/2016 tanggal 11 Mei 2016 tentang Penetapan atas Keberatan PT Sadhana (Pemohon) Terhadap Penetapan Yang Dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai Dalam Surat Tagihan Nomor S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 tentang: Penetapan atas Sanksi Administrasi Berupa Denda (“SK Nomor KEP- 03/BC.06/2016”) (Bukti P-12);
Bahwa atas terbitnya SK Nomor KEP-03/BC.06/2016, Pemohon telah mengajukan banding ke Pengadilan Pajak pada tanggal 30 Juni 2016 yang didalam argumentasinya menyatakan bahwa rajangan daun tembakau Pemohon yang belum merupakan barang yang siap dipakai sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai (BKC) karena masih merupakan bahan baku untuk diolah kembali oleh pabrik rokok lain;
Pada tanggal 16 Juni 2016 Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 yang di dalamnya memuat penjelasan mengenai Tembakau Iris yang dikualifikasikan sebagai Barang Kena Cukai yang Selesai dibuat (i) pada saat tembakau “selesai dirajang” sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 dan (ii) “jika digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya”. Kedua pasal tersebut sangat jelas terkait untuk memberikan dasar hukum “buatan” bagi Direktorat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 16 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Jenderal Bea dan Cukai untuk membantah argumentasi Pemohon dalam permohonan banding yang membuktikan bahwa hasil proses tembakau rajangan yang dilakukan oleh Pemohon adalah tembakau yang belum siap untuk dipakai karena masih merupakan bahan baku untuk pabrik lainnya ( vide Bukti P-1);
Berdasarkan runtutan tanggal-tanggal tersebut (keberatan Pemohon tanggal 10 Maret 2016, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/ PMK.04/2016 dikeluarkan tanggal 16 Juni 2016 dan banding Pemohon ke Pengadilan Pajak tanggal 30 Juni 2016) yang berkaitan dengan proses hukum yang sedang berlangsung mengenai silang pendapat antara Pemohon dan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang merupakan instansi di bawah Kementerian Keuangan dan bunyi-bunyi pasal yang diselipkan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/ 2016 yaitu kata “selesai dirajang” dan “jika digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya” (dimana bunyi-bunyi pasal- pasal ini diduga dipaksakan dimasukkan meskipun bertentangan dengan Undang-Undang Cukai) diduga sangat kental dengan aroma untuk memberikan dasar pembenaran “buatan” untuk melawan argumentasi Pemohon dalam proses hukum yang sedang berlangsung antara Pemohon dan Direktorat Jenderal Bea Cukai dalam hal ini diproses banding di Pengadilan Pajak atau dalam perkara Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung dalam proses selanjutnya ( vide Bukti P-1);
Dengan adanya latar belakang tersebut di atas, sangat patut diduga bahwa ketentuan Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat yang akan dibuktikan bertentangan dengan perundang-undangan yang berada di atasnya tersebut dikeluarkannya bukanlah untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang merupakan institusi di bawah Kementerian Keuangan untuk mendapatkan dasar hukum “buatan” untuk mematahkan argumentasi Pemohon dalam proses banding di Pengadilan Pajak atau nantinya dalam proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung ( vide Bukti P-1); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagungo.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 24. Bahwa kami selaku Pemohon Uji Materiil ini adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional kami dirugikan dengan diberlakukannya: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat ( vide Bukti P-1);
Bahwa kami selaku Pemohon Uji Materiil adalah sebagai badan hukum privat ( legal entity ), telah memenuhi kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) dan memiliki kepentingan untuk menyampaikan permohonan hak uji materiil ( judicial review ) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 31 A Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ayat (2) "Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undang di bawah undang-undang yaitu:
perorangan warga Negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang; atau
badan hukum publik atau badan hukum privat;
Bahwa Permohonan ini menuntut agar: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat ( vide Bukti P-1); dinyatakan tidak berlaku dan batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu: - Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (“Undang-Undang Cukai”) ( vide Bukti P-6); dan tidak sesuai dengan tata cara pembuatan peraturan perundang- undangan tersebut sebagai peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 18 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”) ( vide Bukti P-7); Permohonan ini juga menuntut agar menyatakan penafsiran Tembakau Iris yang merupakan Barang Kena Cukai dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai untuk dinikmati oleh konsumen akhir, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya sehingga tembakau iris yang belum siap dipakai bukan merupakan Barang Kena Cukai;
Bahwa dalam menerbitkan suatu peraturan tidak cukup sekedar mendasarkan kepada atas kemanfaatan, kebebasan menilai suatu dan kebebasan memilih tindakan atau kebutuhan atau tujuan tertentu, tetapi harus bersesuaian dengan prinsip supremasi hukum dan ketidakberpihakan sehingga dalam pembuatan peraturan harus pula memperhatikan serta mempertimbangkan asas legalitas hukum, yaitu peraturan yang dibuat harus secara materiil dan formal memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, serta substansial tidak melanggar asas-asas kaidah hukum yang mendasar dan tidak bertentangan serta melampaui/melebihi peraturan dasarnya ( primary delegation ) dan undang-undang sebagai ” primary delegation ” dari peraturan yang akan dibuat telah mendelegasikan dan atau mensub- delegasikan kewenangan tersebut kepada si pembuat peraturan yang lebih rendah;
Bahwa dasar hukum pemberlakuan suatu peraturan pemerintah adalah UUD 1945 beserta penjelasan dan perubahan-perubahannya serta Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata urutan Peraturan Perundang-undangan. Bahwa dalam ketetapan MPR tersebut ditegaskan "setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi ( lex superior derogat legi inferiori ) yang mengandung arti bahwa aturan yang lebih rendah merupakan aturan pelaksanaan dari aturan yang lebih tinggi. Disamping itu aturan yang lebih rendah tidak dapat mengubah substansi yang ada dalam aturan yang lebih tinggi, tidak menambah, tidak mengurangi dan tidak menyisipi suatu ketentuan baru dan tidak memodifikasi substansi dan pengertian yang telah ada dalam aturan induknya; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 19 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 29. Bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, istilah” Keputusan” secara tegas dibedakan dari pengertian ”Peraturan” Keputusan dibatasi hanya untuk menetapkan hal-hal yang bersifat individual-konkret ( individual and concrete norms ) sedangkan yang bersifat pengaturan ( regeling ) disebut peraturan dan dari segi fungsinya peraturan itu hanya dapat ditetapkan karena ada dan telah diperintahkan dalam Undang- Undang atau dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan Pemerintah. Peraturan tidak bersifat otonom dalam arti mengatur hal-hal yang sama sekali tidak diperintahkan oleh Undang-Undang;
Bahwa Peraturan adalah merupakan undang-undang secara materiil ( wet in materiele zin ), meskipun bentuk formalnya bukan undang-undang namun memenuhi kriteria sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 maka berdasarkan ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Agung berwenang melakukan ” constitusional review of regulations ” dan/atau ” constitutional review of executive acts ”;
Bahwa adalah kewajiban seluruh masyarakat untuk berperan serta mengadakan kontrol sosial terhadap peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada rasa keadilan dan tidak membawa manfaat bagi masyarakat luas serta menghambat terciptanya kepastian hukum;
Pokok Permohonan 1. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan di atas dan tentang kewenangan Mahkamah Agung serta kedudukan Hukum Pemohon, adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pokok permohonan ini;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 20 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Tahun 2007 (“Undang-Undang Cukai”) khususnya Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat, Pasal 14 ayat 1 dan Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Cukai ( vide Bukti P-6); dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011”) ( vide Bukti P-7);
Dalil-Dalil Pemohon 1. Bahwa menurut Pemohon Pokok Permasalahan mengenai frasa “selesai dengan tujuan untuk dipakai” mengakibatkan peraturan yang dimohonkan ini menjadi bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Cukai;
Bunyi Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat adalah sebagai berikut: “hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris yaitu pada saat proses pengolahan daun tembakau telah selesai dirajang tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya”;
Bahwa penekanan dari ketentuan dalam pasal tersebut hanya ditekankan pada kondisi yang sangat sumir yaitu pada batasan “selesai dirajang”;
Bahwa dalam frasa, “selesai dirajang” yang menjadi batasan atas kriteria “selesai dibuat” berdasarkan Pasal 2 angka 2 PMK Nomor 94 tahun 2016 menyebabkan terjadinya perluasan makna atas: (i) Objek Cukai dari Tembakau Iris sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Cukai; (ii) Mempercepat masa terutang Cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Cukai;
Bahwa batasan “selesai dirajang” sebagaimana tersebut di atas ternyata merupakan batasan baru yang ditentukan oleh PMK Nomor 94 Tahun 2016 hasil akhir dampak menjadikan objek baru terhadap suatu barang kena cukai di luar atau setidak-tidaknya menentukan kapan saat terutang cukai yang baru bagi suatu barang di luar apa yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Cukai; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 21 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 4. Bahwa sesungguhnya batasan yang jelas mengenai apa yang menjadi objek cukai dan kapan saat terutangnya cukai bagi barang berupa produk yang dikategorikan sebagai Tembakau Iris (“TIS”) telah diatur secara jelas dan tegas di dalam Pasal 4 juncto Pasal 3 Undang-Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cukai yang dimaksud dengan Barang Kena Cukai dari Hasil Produk Tembakau, salah satu jenisnya adalah TIS sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Cukai yang kemudian dijelaskan kembali dalam Pasal 3 Undang-Undang Cukai dimana kriteria kunci dari Produk Hasil Tembakau berupa TIS yang masuk dalam kategori Barang Kena Cukai menurut Pasal tersebut, adalah barang tersebut harus merupakan barang yang dianggap “selesai” dibuat untuk dipakai;
Bahwa secara gramatikal, selesai untuk dipakai tersebut harus diartikan bahwa produk hasil tembakau tersebut ketika dijual oleh produsen barang tersebut akan digunakan oleh konsumen akhir untuk langsung “dinikmati” tanpa adanya proses lagi seperti telah dibuat menjadi rokok atau cerutu;
Bahwa apabila hasil pemrosesan dari orang atau pengusaha tembakau tidak berupa barang selesai dibuat dengan tujuan untuk dipakai, namun hanya merupakan produk yang akan dijual kepada Pabrik untuk diproses kembali, maka secara normatif, menurut Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 3 ayat 1 Undang- Undang Cukai, subjek tersebut Tidak Bisa Dikualifikasi Telah Memproduksi Barang Kena Cukai sebagaimana diatur dalam UU Cukai ( vide Bukti P-6);
Namun ternyata berbeda dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) juncto Pasal 2 angka 3 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016, dengan melihat hasil pemrosesan berupa rajangan saja, tanpa memperhatikan apakah barang tersebut untuk tujuan dipakai atau tidak, maka tembakau tersebut langsung dikategorikan sebagai produk yang menjadi objek cukai, tanpa memperhatikan apakah hasil tembakau tersebut: (i) Dijual untuk diproduksi kembali menjadi Barang Kena Cukai atau bahan baku Barang Kena Cukai; atau Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 22 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (ii) Dijual untuk tujuan dipakai sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 4 angka 1 juncto Pasal 3 angka 1 Undang-Undang Cukai;
Bahwa dengan demikian, aturan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) juncto Pasal 2 angka 3 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 secara hukum telah dianggap menambahkan “norma” baru diluar apa yang telah diatur dan diamanatkan oleh Undang- Undang Cukai sehingga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya dalam hal ini adalah Undang-Undang Cukai. Hal tersebut pembuatan ketentuan mengenai barang selesai dibuat berdasarkan Pasal di atas harus dianggap telah dibuat melebihi atau diluar dari delegasi kewenangan mengatur dari undang-undang ( legislative delegation of rule-making power ). Bahwa dengan demikian, peraturan tersebut secara hukum harus batal;
Bahwa terkait dengan materi muatan yang dapat diatur PMK Nomor 94 Tahun 2016, sesuai dengan merujuk pada bagian menimbang PMK Nomor 94 Tahun 2016 huruf (c) dinyatakan bahwa: “sebagaimana berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat 7 Undang-Undang Cukai...”; Bahwa Pasal 16 ayat 7 Undang-Undang Cukai menyebutkan: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemberitahuan mengenai barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri”;
Bahwa untuk memahami maksud “delegasi” dari Pasal 16 ayat 7 Undang-Undang Cukai tersebut tidak bisa dilihat secara parsial, akan tetapi makna serta tujuannya harus dilihat dari isi dan sistematika dari Pasal 16 Undang-Undang Cukai secara utuh atau yang diantaranya dengan melihat ketentuan dalam Pasal-Pasal terkait yaitu Pasal 16 ayat (1), (2) dan ayat (3) yang berisi sebagai berikut:
Pasal 16
Pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, atau penyalur yang wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 23 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d wajib menyelenggarakan pembukuan;
Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi wajib melakukan pencatatan adalah pengusaha pabrik skala kecil, penyalur skala kecil yang wajib memiliki izin, dan pengusaha tempat penjualan eceran yang wajib memiliki izin;
Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat;
...” ( vide Bukti P-6) 12. Bahwa hal itu dikarenakan, materi mengenai kewajiban, secara sistematika di atau dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai yang merupakan bagian dari Sub BAB VI mengenai kewajiban pencatatan dan pembukuan bagi subjek yang diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Cukai yaitu hanya pengusaha atau pihak yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Cukai;
Bahwa kriteria sebagai Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Cukai telah diatur secara tegas dan jelas dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Cukai yang menyatakan bahwa yang dimaksud Pabrik adalah tempat tertentu termasuk bangunan, halaman, dan lapangan yang merupakan bagian daripadanya, yang dipergunakan untuk menghasilkan Barang Kena Cukai dan/atau untuk mengemas Barang Kena Cukai dalam kemasan untuk penjualan eceran dan terkait kriteria Subjek dari Pabrik tersebut harus merujuk kepada batasan mengenai Objek Barang Kena Cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa dengan demikian secara gramatikal dan sistematika perundang-undangan penerapan Pasal 16 Undang-Undang Cukai tersebut hanya dikenakan terhadap subjek atau objek yang telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 24 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Cukai, yaitu pabrik yang menghasilkan Barang Kena Cukai dalam diantaranya untuk produk tembakau iris harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Cukai;
Bahwa terkait dengan kewajiban pelaporan dan pembukuan sebagaimana diatur dalam ayat 2 dan ayat 3 Pasal 16 Undang- Undang Cukai, harus dan hanya bisa dikaitkan dengan subjek yang dikategorikan Pabrik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 yang memproduksi Barang Kena Cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Cukai yaitu barang yang telah selesai dibuat sesuai dengan batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Cukai;
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, penafsiran dan penerapan termasuk pembuatan peraturan pelaksana atas ketentuan dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai menurut Pemohon seharusnya adalah sebagai berikut:
Bahwa secara konstruksi, subjek dan objek yang dikenakan oleh Pasal 16 Undang-Undang Cukai ini harus tetap mengacu pada kriteria-kriteria Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Cukai yaitu hanya atas objek barang tembakau yaitu produk Hasil Tembakau untuk dipakai yang selesai dibuat dan akan dijual kepada konsumen akhir atau konsumen Perokok ( vide Bukti P-6);
Bahwa karena Pasal 16 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Cukai ini berkaitan dengan “fasilitas” atau pengecualian atas kewajiban dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, maka secara prinsip seharusnya kriteria objek dari subjek yang diatur dalam aturan pelaksana tersebut tetap harus tunduk kepada norma sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cukai, yaitu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) juncto Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai, dimana Pengusaha yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai dalam kondisi tertentu mendapat “keringanan” untuk tidak melakukan pelaporan dan pembukuan ( vide Bukti P-6); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 25 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 17. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Cukai khususnya yang berkenaan dengan kewajiban pembukuan dan pelaporan tersebut hanya diterapkan dan berlaku apabila objek yang diproduksi oleh suatu perusahaan masuk dalam kriteria Barang Kena Cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa dengan adanya Peraturan Pelaksana yang memperoleh “delegasi” dari ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Cukai ini, seharusnya mengatur pada tataran sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Cukai saja, yaitu hanya sebatas pada penetapan syarat dan kondisi yang dapat diterima terkait dengan “pengecualian” tersebut, tanpa mengubah atau menambahkan norma baru yang telah secara tegas dan jelas diatur dalam Undang-Undang Cukai dalam hal ini adalah Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (1) Undang- Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa dengan demikian, dari uraian Pemohon tersebut telah terbukti bahwa Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 Tahun 2016 telah bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi yaitu dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat 1, Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai Undang-Undang Cukai;
Bahwa tiba-tiba dengan PMK Nomor 94 Tahun 2016, Menteri Keuangan telah memperluas batasan objek cukai atau kriteria yang menjadi “Barang Kena Cukai” yang sudah diatur dengan Undang-Undang Cukai, sehingga Pemohon menilai dan karenanya harus berpendapat bahwa telah terjadi “Penambahan” atas suatu barang menjadi Barang Kena Cukai “secara tidak sah” yang diberikan melalui Peraturan Perundang-undangan yang derajat atau tingkatannya di bawah Undang-Undang (dalam hal ini Undang-Undang Cukai). Maka di samping telah bertentangan dengan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Cukai, terkait dengan penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 Tahun 2016, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 26 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 sepanjang yang menyangkut batasan atau kriteria “selesai dibuat ” adalah:
Tidak sesuai dengan “asas kelembagaan” (Pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang tepat) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (b) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( vide bukti P-7). Karena seharusnya penetapan batasan “selesai dibuat” yang mempunyai akibat hukum adanya penentuan objek barang kena cukai yang baru diatur oleh Undang-Undang Cukai, sehingga DPR sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bisa ikut menyetujui adanya penambahan Objek Cukai;
Tidak sesuai dengan “asas kesesuaian” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf (c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, karena dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarkinya, karena itu seharusnya penentuan batasan “selesai dibuat” untuk barang berupa TIS diatur dalam undang-undang bukan dengan Peraturan Menteri Keuangan;
Tidak sesuai dengan asas “kejelasan rumusan” sebagaimana diatur dalam pasal 5 huruf (f) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena rumusannya sama atau tumpang tindih dengan batasan “selesai dibuat” sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan Penjelasan dari Undang-Undang Cukai. Akibatnya batasan “baru” yang dinyatakan dalam PMK Nomor 94 Tahun 2016 bisa membebani serta mempunyai implikasi hukum yang luas termasuk menyebabkan adanya “pemajakan” (dalam hal ini berupa cukai) secara berganda dan yang lebih membebankan akan menyebabkan subjek-subjek baru yang akan dibebankan kewajiban secara finansial atau setidak- tidaknya sehubungan dengan kewajiban administratif yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 berkaitan dengan barang cukai, seperti laporan dan kepemilikan NPPBKC yang sebenarnya tidak diatur dalam Undang-Undang Cukai seperti petani-petani yang melakukan perajangan tembakau. Keadaan ini tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum di kemudian hari dan karenanya harus dihentikan;
Bahwa Pemohon juga berpendapat sesuai dengan jiwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 a quo dan sesuai dengan prinsip lex superiori derograt lex inferiori seharusnya PMK Nomor 94 Tahun 2016 yang merupakan aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Cukai khususnya Pasal 16 ayat (2) juncto Pasal 16 ayat (7) tidak boleh menciptakan norma baru yang memperluas ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Cukai;
Bahwa menurut Ajaran Teori Norma Hukum Berjenjang yang antara lain diintrodusir oleh Hans Kelsen yang dikenal dengan nama “ Stufenbau des Recht ” antara lain dapat dikatakan bahwa Norma Hukum yang lebih rendah memperoleh kekuatan dan keabsahan hukum dari Norma Hukum yang lebih tinggi. Itu sebabnya Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang;
Bahwa Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan sebagai berikut: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”; Dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang- undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”; Dengan kata lain, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut memang dijiwai oleh asas Lex Superiori derograt lex inferiori . Bahwa dengan melihat kepada aturan tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 PMK Nomor 94 Tahun 2016 kedudukannya lebih rendah dari UU Cukai ( vide bukti P-7);
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan PMK Nomor 94 Tahun 2016 mengenai batasan “selesai dibuat” tersebut juga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas kepastian hukum yang menjadi landasan dari kebijakan pokok tentang arah dan tujuan perubahan Undang-Undang KUP menjadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagaimana tersebut dalam angka (4) dari Penjelasan Umum Undang-Undang KUP yang pada akhirnya bisa merugikan keadilan bagi Wajib Pajak (Bukti P-13);
Bahwa mengenai munculnya batasan baru terkait dengan makna selesai dibuat untuk barang berupa tembakau iris menjadi “selesai dirajang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 tahun 2016 sebenarnya bukan didasarkan pada kewenangan atributif. Tidak ada amanat dari Undang-Undang Cukai agar Menteri Keuangan membuat peraturan pelaksanaan yang memberi batasan baru terkait dengan kapan suatu barang dapat dikenakan atau dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai atau kapan batasan mengenai barang tembakau “selesai dibuat” tersebut. Dengan demikian menurut Pemohon pembentukan aturan pelaksanaan yang tidak diamanatkan oleh undang-undangnya seperti halnya penambahan batasan makna “selesai dibuat” untuk barang berupa tembakau iris a quo seharusnya didasarkan pada doelmatigheid yang jelas yang sangat diperlukan dan harus juga didasarkan pada asas umum pemerintahan yang baik. Undang-Undang Cukai khususnya Pasal 3 ayat (1) juncto Pasal 4 ayat (1) sudah mengatur secara rinci mengenai batasan “selesai dibuat” dan tidak perlu adanya pengaturan batasan lain yang justru menimbulkan multi tafsir yang dapat menyebabkan abuse of power dari Dirjen Bea Cukai dan bisa menyebabkan komplikasi administrasi cukai yang pada akhirnya merugikan rakyat khususnya Wajib Pajak, sehingga kurang sesuai dengan asas keadilan dan kepastian hukum;
Bahwa Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 yang isinya menyatakan: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 “Pasal 3:
...
. Barang Kena Cukai yang yang selesai dibuat wajib diberitahukan sebagaimana diatur dalam ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
..
.
untuk hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya....,”;
Bahwa terkait dengan ketentuan tersebut secara umum, dalil atau argumen hukum yang sama ( mutatis mutandis ) masalah yang terkait dengan Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 berlaku untuk ketentuan dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 ini;
Bahwa, kami akan menambahkan dalil secara khusus, adanya pertentangan antara Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Cukai khususnya dikarenakan adanya pelebaran makna dari Subjek yang seharusnya memiliki kewajiban administrasi fiskal finasial terkait dengan cukai bagi pelaku usaha yang berhubungan dengan produk tembakau;
Bahwa secara umum, kegiatan usaha tembakau terdiri dari: (i). Budidaya Tembakau; (ii). Tata Niaga Tembakau; (iii). Pemrosesan Daun tembakau; dan (iv) Pabrik Hasil tembakau yang melibatkan subjek perorangan atau badan usaha baik petani maupun pengusaha;
Bahwa dalam hal ini secara faktual atas produk tembakau tersebut lazim suatu subjek termasuk petani melakukan kegiatan yang tidak hanya satu yaitu terdiri dari budidaya, pemrosesan dan tata niaga;
Bahwa salah satu yang lazim dilakukan oleh petani dan badan usaha adalah melakukan pemrosesan berupa perajangan oleh karena itu dengan adanya perluasan kualifikasi Barang Kena Cukai yang Telah Selesai Dibuat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 dan Pasal 3 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 maka akan merugikan Pemohon dan para petani yang harus menanggung beban administrasi dan finansial lebih dari yang seharusnya. Hal ini akan semakin menyulitkan para petani di tengah semakin derasnya arus masuk tembakau impor yang membuat harga tembakau semakin jatuh;
Bahwa terkait dengan hal tersebut Undang-Undang Cukai telah secara jelas mengatur pihak mana saja yang dapat dikategorikan sebagai subjek yang dianggap sebagai pihak yang memproduksi Barang Kena Cukai dan diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai sebagai berikut: Kriteria Pabrik Yang Wajib Memiliki NPPBKC Sesuai Pasal 14 ayat (1) UU Cukai No. Pengaturan Dalam UU Cukai Terkait Dengan Kewajiban NPPBKC Syarat Menurut UU Cukai Hasil dari Petani dan Badan Usaha Yang menjual Untuk Bahan Baku Kesimpulan 1 Kriteria Pabrik Berdasarkan Pasal 1 angka (2) UU Cukai Pabrik yang menghasilkan Barang Kena Cukai Hanya akan menjadi BKC apabila memenuhi kriteria produk berdasarkan Pasal 4 ayat (1) jo Pasal 3 ayat (1) UU Cukai Sepanjang produknya tidak memenuhi kriteria dalam Pasal 4 ayat(1) jo Pasal 3 ayat (1) UU Cukai bukan merupakan Pabrik 2 Kriteria Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Cukai dan penjelasannya yang termasuk BKC Produksi BKC adalah tembakau iris yaitu tembakau yang dirajang untuk dipakai Tembakau yang dihasilkan bukan untuk dipakai Hasil pemrosesan tembakau dari Petani dan badan usaha yang tujuannya penjualan untuk digunakan sebagai bahan baku bukan merupakan BKC sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Cukai dan penjelasannya. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 3 Terkait dengan saat pengenaan cukai sesuai Pasal 3 ayat (1) dan penjelasannya Dikenakan pada saat barang selesai dibuat dengan tujuan untuk dipakai Hasil tembakau yang ditujukan untuk bahan baku pasti tidak untuk dipakai tapi sebagai bahan baku rokok untuk pabrik yang lain Saat Terutang untuk cukai tidak akan pernah terjadi Kesimpulannya Petani dan Badan Usaha Yang menjual hasil pemprosesan tembakau untuk keperluan bahan baku Pemohon Hak Uji Materiil tidak memenuhi kriteria sebagai Pabrik yang harus memiliki izin (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai) berdasarkan Pasal 14 ayat 1 UU Cukai - Bahwa jelas sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai juncto Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) hanya untuk orang atau badan usaha yang menjual hasil tembakau untuk dipakai selesai dibuat sehinga hasil tembakau yang belum siap dipakai, termasuk yang dirajang, yang dijual untuk bahan baku tidak memenuhi kriteria produk tembakau sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai karena bukan merupakan produk Hasil Tembakau untuk dipakai yang selesai dibuat dan tidak dijual kepada konsumen akhir atau konsumen Perokok; - Bahwa dengan demikian secara Subjektif, secara tegas pihak yang menjual hasil tembakau untuk bahan baku tidak memenuhi kriteria sebagai Pabrik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 juncto Pasal 4 angka 1 juncto Pasal 3 Angka 1 Undang-Undang Cukai; - Namun demikian, dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 diatur bahwa, untuk subjek hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya, diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai; - Bahwa dengan demikian, ketentuan tersebut jelas bertentangan dangan maksud dari dibuatnya peraturan pelaksana terkait dengan ketentuan dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai karena: (i). Secara eksplisit dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai dinyatakan bahwa kewajiban tersebut hanya diperuntukan bagi subjek yang memenuhi kriteria dalam Pasal 14 ayat (1); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 32 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (ii). Bahwa terkait dengan subjek tersebut kriteria menurut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Cukai; (iii) Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Cukai tidak semua pihak yang melakukan usaha tembakau masuk dalam kriteria Pabrik yang mempunyai kewajiban memiliki izin sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai; (iv). Bahwa secara tegas dan jelas Undang-Undang Cukai mengatur bahwa orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha menjual hasil tembakau untuk bahan baku, tidak termasuk kategori Pabrik yang diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai; (v). Bahwa namun demikian, dalam PMK Nomor 94 Tahun 2016 khususnya dalam Pasal 3 ayat 2 huruf (d) diatur secara meluas dan bertentangan dengan Undang-Undang Cukai terkait dengan adanya kewajiban pemberitahuan bagi subjek atau pihak yang menurut Undang-Undang Cukai tidak termasuk dalam kriteria dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai; (v). Bahwa secara konstruksi disamping menimbulkan norma baru yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, secara konstruksi pembuatan Pasal tersebut menjadi tidak logis, karena seharusnya justru PMK tersebut mengatur kewajiban administrasi dengan batasan yang jelas berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, namun pada kenyataannya dengan adanya ketentuan dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 ini berpotensi untuk menyebabkan pihak yang seharusnya tidak wajib memiliki izin berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai menjadi wajib memiliki izin; - Bahwa dengan demikian, dari uraian Pemohon tersebut telah terbukti bahwa Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016 telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai; - Bahwa dengan terbuktinya adanya pertentangan Pasal 2 angka 3 huruf (f) PMK Nomor 94 dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 Tahun 2016, maka permohonan ini mendesak untuk diputuskan karena selain Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 33 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 akan menimbulkan kerugian yang besar pada Pemohon dan para petani tembakau di seluruh Indonesia juga akan menimbulkan ketidakpastian hukum;
Kesimpulan Bahwa sehubungan dengan uraian tersebut di atas, menurut Pemohon dapat disimpulkan secara sah dan menyakinkan ketentuan mengenai batasan “selesai dibuat” untuk barang berupa tembakau iris sebagaimana tersebut pada Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat telah terbukti:
Bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Pembentukan peraturan/ketentuan mengenai “selesai dibuat” dan ketentuan mengenai “tembakau iris yang digunakan sebagai bahan baku” a quo tidak memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Bahwa oleh karenanya, mohon kepada Majelis Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara Hak Uji Materil a quo untuk memutuskan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat dan dengan menggunakan alasan, dalil atau pertimbangan hukum yang sama ( mutatis mutandis ) juga menyatakan karenanya tidak sah dan tidak berlaku sepanjang mengenai batasan “barang selesai dibuat” yang diatur dalam pasal-pasal terkait PMK Nomor 94 Tahun 2016, yaitu: Pasal 3 angka 2 huruf (d); Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya Pemohon mohon kepada Ketua Mahkamah Agung berkenan memeriksa permohonan keberatan dan memutuskan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/ PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/ PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan prosedur pembentukannya tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku yaitu: - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (“Undang- Undang Cukai”) khususnya Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai; dan Tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut sebagai peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam: - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Menyatakan Peraturan Perundang-undangan tersebut di bawah ini: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan tidak berlaku umum;
Memerintahkan Peraturan Peraturan Perundang-undangan tersebut dibawah ini: (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; Untuk dicabut;
Menyatakan penafsiran Tembakau Iris yang merupakan Barang Kena Cukai dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai untuk dinikmati oleh konsumen akhir, tanpa mengindahkan bahan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya sehingga tembakau iris yang belum siap dipakai bukan merupakan Barang Kena Cukai; atau Apabila Majelis Hakim Mahkamah Agung berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) ; Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti berupa:
Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat (Bukti P-1);
Fotokopi Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (Bukti P-2);
Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945 (Bukti P-3);
Fotokopi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Bukti P-4);
Fotokopi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (Bukti P-5);
Fotokopi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Bukti P-6);
Fotokopi Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Bukti P-7);
Fotokopi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Bukti P-8);
Fotokopi Laporan Hasil Audit Nomor LHA-45/BC.62/IP/2016 tanggal 12 Februari 2016 (Bukti P-9);
Fotokopi Surat Tagihan Nomor: S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 tentang Penetapan atas Sanksi Administrasi Berupa Denda (Bukti P-10);
Fotokopi Pemohon mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai pada tanggal 10 Maret 2016 Nomor 097/SDHN/III/2016 (Bukti P- 11);
Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP- 03/BC.06/2016 tanggal 11 Mei 2016 tentang Penetapan atas Keberatan PT Sadhana (Pemohon) Terhadap Penetapan yang Dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai Dalam Surat Tagihan Nomor S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 (Bukti P-12); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 13. Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Bukti P-13);
Fotokopi Akta Pendirian PT Sadhana (Bukti P-14); Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 10 Juli 2017 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 46/PER- PSG/VII/46 P/HUM/2017, tanggal 10 Juli 2017; Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawaban tertulis pada tanggal 31 Juli 2017, yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut: POKOK PERMOHONAN Bahwa alasan Keberatan Uji Materiil yang diajukan oleh Pemohon, pada intinya menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat (untuk selanjutnya disebut “PMK 94/2016”), dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (untuk selanjutnya disebut “Undang-Undang Cukai”), dan tidak sesuai dengan tata cara pembuatan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Bahwa selain itu, di dalam permohonannya Pemohon juga mengemukakan alasan-alasan permohonan sebagai berikut:
Bahwa posisi hukum Pemohon, sebagaimana halnya dengan petani-petani tembakau yang melakukan kegiatan perajangan khususnya yang menjual hasil tembakaunya kepada Pemohon, tidak termasuk ke dalam kriteria sebagai pelaku usaha atau subjek yang memproduksi Barang Kena Cukai;
Bahwa ketentuan dalam Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK 94/2016 telah memperluas kriteria subjek yang diwajibkan untuk memberitahukan barang kena cukai berupa Tembakau Iris, yang tidak diatur dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 14, Pasal 16 Undang- Undang Cukai;
Bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK 94/2016 tersebut, Pemohon dianggap sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 subjek yang memproduksi Barang Kena Cukai, yang mengakibatkan Pemohon mempunyai kewajiban administrasi danmenanggung beban fiskal; LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN PMK 94/2016 Bahwa sebelum menyampaikan tanggapan atas hal-hal diluar pokok permohonan dan menanggapi dalil-dalil lainnya, Termohon menganggap perlu untuk menyampaikan hal-hal terkait latar belakang pembentukan PMK 94/2016 dan pengaturan mengenai pemberitahuan barang kena cukai, khususnya terkait tembakau iris, yang diatur dalam PMK 94/2016, diantaranya sebagai berikut:
Bahwa dapat Termohon sampaikan, cukai merupakan salah satu pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Undang-Undang Cukai);
Bahwa tujuan kebijakan pengenaan cukai selalu mengacu pada filosofi pengenaan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Cukai, yaitu: “Pasal 2 (1) Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik:
konsumsinya perlu dikendalikan;
peredarannya perlu diawasi;
pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau
pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini;
Barang-barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sebagai barang kena cukai”;
Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai, salah satu Barang Kena Cukai yang memiliki sifat atau karakteristik sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Cukai yaitu Hasil Tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya;
Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai, definisi dari Tembakau Iris adalah adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah jelas dan tegas mengatur bahwa Tembakau Iris adalah Barang Kena Cukai yang memiliki unsur sebagai berikut:
Hasil Tembakau;
Dibuat dari Daun Tembakau yang dirajang;
Untuk dipakai;
Tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya;
Bahwa dapat Termohon tegaskan, unsur Tembakau Iris dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai sama persis dengan unsur Tembakau Iris dalam Pasal 1 angka 7 PMK 94/2016 sebagaimana tertera pada tabel berikut: Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Cukai Pasal 1 angka 7 PMK 94/2016 Yang dimaksud dengan tembakau iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Tembakau iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya;
Bahwa sejalan dengan pengaturan kriteria barang-barang yang dapat dikenai cukai, Undang-Undang Cukai juga mengatur peristiwa yang menyebabkan barang tersebut terutang pajak cukai, yakni mengatur secara khusus peristiwa saat pengenaan cukai mulai diberlakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa dapat Termohon jelaskan, apabila ketentuan peristiwa yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Cukai tersebut telah terpenuhi, maka atas barang tersebut telah terutang cukai dan terhadapnya telah melekat hak-hak negara;
Bahwa atas melekatnya hak-hak negara pada sebuah barang kena cukai maka berdasarkan Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib untuk melakukan pengawasan terhadap barang kena cukai tersebut dan Pengusaha Pabrik juga wajib memberitahukan secara berkala kepada kepala kantor (Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 10. Bahwa penegasan saat pengenaan cukai terhadap suatu barang yang ditetapkan sebagai Barang Kena Cukai menjadi sangat penting, karena sejak saat itulah secara yuridis telah timbul utang cukai sehingga perlu dilakukan pengawasan terhadap barang tersebut sebab terhadapnya telah melekat hak-hak negara dan merupakan titik awal proses pengawasan cukai, pelunasan cukai, fasilitas cukai, penagihan cukai, pengembalian hingga jangka waktu yaitu kadaluwarsanya pungutan cukai;
Bahwa terkait dengan pengaturan Cukai terhadap Tembakau Iris, ketentuan Pasal 3 Ayat 2 huruf d PMK 94/2016 mengatur lebih lanjut tentang kewajiban pemberitahuan Tembakau Iris sebagai barang kena cukai selesai dibuat, dimana ketentuan tersebut sesuai dan sejalan dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai sebagai berikut: Norma UU Cukai PMK 94/2016 Pengaturan Mengenai Berlakunya Pengenaan Cukai atas Barang Kena Cukai Pasal 3 ayat (1) yakni mengatur : Pengenaan Cukai untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia dikenakan pada saat selesai dibuat. Penjelasannya: Untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia, saat pengenaan cukai adalah pada saat selesai dibuat sehingga saat itulah terhadap barang tersebut dilakukan pengawasan. Yang dimaksud dengan "barang selesai dibuat" adalah saat proses pembuatan barang itu selesai dengan tujuan untuk dipakai. Pasal 2 ayat (1) yakni mengatur: Pengenaan Cukai mulai berlaku untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia pada saat selesai dibuat Pasal 2 ayat (2) yakni mengatur: Barang Kena Cukai selesai dibuat yaitu saat proses pembuatan barang dimaksud selesai dengan tujuan untuk dipakai.. Dapat disimpulkan bahwa pengaturan pengenaan Cukai atas Barang Kena Cukai Yang Selesai Dibuat pada PMK 94/2016 telah sejalan dengan pengaturan pada UU Cukai; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Kewajiban pemberitahuan Tembakau Iris sebagai BKC yang selesai dibuat secara berkala Pasal 16 ayat (3) yakni mengatur: “Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat” Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU Cukai: “Tembakau Iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Pasal 1 angka 7 mengatur sebagai berikut: “Tembakau Iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; Pasal 3 ayat (1) yakni mengatur: “Pengusaha pabrik wajib memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat” Pasal 2 ayat (3) yakni mengatur: “saat proses pembuatan barang kena cukai selesai dengan tujuan untuk dipakai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk barang kena cukai berupa:
hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris yaitu pada saat proses pengelolaan daun tembakau telah selesai dirajang, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya”; Pasal 3 ayat (2) yakni mengatur: “Barang kena cukai yang selesai dibuat yang wajib diberitahukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 berikut:
Untuk hasil tembakau berupa tembakau iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai dalam hal hasil tembakau berupa Tembakau Iris dimaksud telah dikemas”; Dapat disimpulkan bahwa pengaturan atas kewajiban pemberitahuan Tembakau Iris sebagai Barang Kena Cukai serta unsur-unsur Tembakau Iris di PMK 94/2016 telah sejalan dengan pengaturan pada UU Cukai; Bahwa berdasarkan perbandingan di atas, terhadap daun tembakau yang dirajang, dengan tujuan untuk dipakai, baik dipakai untuk langsung dikonsumsi oleh pengguna akhir (misalnya untuk susur, shag tobacco ) maupun dipakai sebagai bahan baku/penolong untuk pembuatan hasil tembakau lainnya (misalnya sigaret) sudah dikategorikan sebagai Tembakau Iris tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya;
Bahwa tanggung jawab atas Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia berada pada Pengusaha Pabrik atau Pengusaha Tempat Penyimpanan, dan untuk atas Barang Kena Cukai yang diimpor berada pada Importir atau pihak-pihak lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 13. Bahwa sebagai penanggung jawab Barang Kena Cukai, pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai ataupun penyalur diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, terkecuali terhadap pengusaha pabrik skala kecil dan penyalur skala kecil, pengusaha tempat penjualan eceran tidak diwajibkan untuk melakukan pembukuan tetapi wajib untuk memiliki izin dan wajib untuk melakukan pencatatan. Kewajiban untuk melakukan pencatatan ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan dalam memenuhi ketentuan Undang-Undang Cukai ini dengan tetap menjamin pengamanan hak-hak negara;
Bahwa dalam rangka pelaksanaan pengawasan tersebut, Pasal 14 Undang- Undang Cukai juga mewajibkan kepada setiap pihak yang menjalankan kegiatan menghasilkan produk Barang Kena Cukai untuk memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai dari Menteri Keuangan;
Bahwa selanjutnya, ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Cukai mewajibkan kepada setiap pihak yang menjalankan kegiatan menghasilkan produk Barang Kena Cukai untuk menyelenggarakan pembukuan. Dalam hal ini, khusus untuk Pengusaha Pabrik wajib pula untuk memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang Barang Kena Cukai yang selesai dibuat sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Cukai;
Bahwa ketentuan yang mengatur tentang kewajiban untuk melaksanakan pencatatan dan kewajiban pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat dalam Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Cukai tidak terlepas dari norma titik awal timbulnya kewajiban tersebut bagi entitas penghasil produk Barang Kena Cukai;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, kewajiban administrasi berupa perizinan, pencatatan, pembukuan, dan pemberitahuan atas Barang Kena Cukai tidak serta merta menimbulkan kewajiban untuk membayar pungutan Cukai bagi pihak yang memiliki kewajiban administrasi tersebut;
Bahwa terdapat fasilitas cukai berupa pengecualian atas pungutan cukai terhadap Barang Kena Cukai yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
“(1) Cukai tidak dipungut atas Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terhadap: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 a. Tembakau iris yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, apabila dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan/atau pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu;
Minuman yang mengandung etil alkohol hasil peragian atau penyulingan yang dibuat oleh rakyat di Indonesia secara sederhana, semata-mata untuk mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran”;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, berdasarkan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Cukai, telah menyatakan bahwa: “Tidak dipungutnya cukai atas barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah untuk memberikan keringanan kepada masyarakat di beberapa daerah yang membuat barang tersebut secara sederhana dan merupakan sumber mata pencaharian; Yang dimaksud dengan “dikemas untuk penjualan eceran” adalah dikemas dalam kemasan dengan isi tertentu dengan menggunakan benda yang dapat melindungi dari kerusakan dan meningkatkan pemasarannya”;
Bahwa guna menjamin pengamanan hak-hak negara yang melekat terhadap barang kena cukai dan untuk menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha industri barang kena cukai, maka Termohon perlu untuk mempertegas batasan saat pengenaan cukai secara jelas, sehingga dapat memberikan landasan dan kepastian hukum terhadap tanggung jawab pembukuan ataupun pencatatan;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, Termohon berpendapat bahwa Termohon memang sangat perlu untuk mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan dan pemberitahuan mengenai Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat sebagaimana diatur dalam Pasal 16, di dalam sebuah peraturan menteri;
Bahwa Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai juga telah memberikan kewenangan kepada Termohon untuk mengatur perihal pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat melalui Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa memperhatikan kewenangan yang telah diberikan oleh Undang- Undang Cukai tersebut, serta memperhatikan pengaturan wewenang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 pembentukan perundang-undangan sesuai Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Termohon menetapkan PMK 94/2016 guna memberikan ketegasan dan kejelasan serta kepastian hukum bagi para pelaku usaha untuk melakukan pemberitahuan atas barang kena cukai yang selesai dibuat;
Bahwa dapat Termohon tegaskan, di dalam pembentukan PMK 94/2016, Termohon sudah berpedoman terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang mengatur tentang Cukai serta tidak menambahkan norma-norma baru yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut;
Bahwa lebih lanjut, dapat Termohon sampaikan bahwa norma-norma yang ada dalam PMK 94/2016 sudah sejalan dengan norma-norma yang ada dalam Undang-Undang Cukai sebagaimana yang Termohon jelaskan pada dalil-dalil di atas; PENJELASAN MENGENAI HAL-HAL DI LUAR POKOK PERMOHONAN Sebelum Termohon menanggapi Pokok Permohonan Pemohon, Termohon terlebih dahulu akan mengemukakan hal-hal di luar Pokok Permohonan Pemohon, sebagai berikut: Pemohon Tidak Memiliki Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Untuk Mengajukan Permohonan a quo 1. Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (untuk selanjutnya disebut “Undang-Undang 3/2009”), menyatakan: “Permohonan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan Hukum Publik/Privat; ” 2. Bahwa sesuai ketentuan pada Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang 3/2009 tersebut, seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( Legal Standing ) dalam permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang- undang. apabila dapat menjelaskan dan membuktikan: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 a. Kualifikasi Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang 3/2009;
Hak dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang diuji;
Kerugian hak pemohon secara spesifik sebagai akibat berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang dimohonkan pengujiannya;
Terkait dengan permohonan Uji Materiil ini, Termohon terlebih dahulu mempertanyakan hal-hal sebagai berikut:
Hak Pemohon manakah yang telah dirugikan atas berlakunya Peraturan Menteri Keuangan a quo ? b. Kerugian seperti apa yang timbul yang diakibatkan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan a quo ? Permasalahan Pemohon Timbul Karena Pelaksanaan Ketentuan Perundang- undangan Lain yang Telah Berlaku Sebelum Berlakunya Ketentuan Pasal 2 ayat 3 huruf (f) dan Pasal 3 ayat 2 huruf (d) PMK 94/2016;
Bahwa dalam dalil-dalilnya, Pemohon mempermasalahkan kewajiban administrasi dan kemungkinan beban fiskal yang harus ditanggung oleh Pemohon akibat berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat 3 huruf (f) dan Pasal 3 ayat 2 huruf (d) PMK 94/2016;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, kewajiban administrasi dan sanksi denda yang dibebankan kepada Pemohon didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
1 Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Audit Nomor LHA-45/BC.62/IP/2016 tanggal 12 Februari 2012 yang diterbitkan oleh Tim Audit Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, terdapat fakta bahwa Pemohon melakukan hal-hal sebagai berikut:
Melakukan pengusahaan pabrik di Jalan Raya Purwosari RT 01 RW 07, Kelurahan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur;
Merupakan Pengusaha Pabrik, dengan lokasi pabrik di Jalan Raya Purwosari RT 01 RW 07, Kelurahan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur;
Melakukan perajangan daun tembakau;
Hasil produksi berupa Tembakau Iris (TIS) ditujukan untuk ekspor dan lokal yang dibuktikan dengan dokumen kepabeanan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 46 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (Pemberitahuan Ekspor Barang) dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT);
TIS tujuan ekspor, digunakan Daun Tembakau lokal dicampur dengan daun tembakau asal impor, yang dibuktikan dengan catatan perusahaan dan dokumen kepabeanan (Pemberitahuan Impor Barang);
TIS tujuan ekspor ditambah dengan flavour (rasa);
2 Bahwa atas fakta-fakta di atas, Pemohon diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Cukai juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2008 tentang Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (selanjutnya disebut sebagai “PP 72/2008”),, dan diharuskan untuk membayar sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Cukai dikarenakan Pemohon tidak memiliki NPPBKC;
3 Bahwa dapat Termohon sampaikan pula, terhadap pelaku usaha yang memproduksi barang kena cukai yang mendapat fasilitas tidak dipungut cukai dapat dikecualikan dari kewajiban kepemilikan NPPBKC sepanjang pelaku usaha tersebut memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 3 PP 72/2008;
4 Bahwa sesuai fakta yang tidak dapat terbantahkan, Pemohon telah memakai campuran produk tembakau impor dalam membuat Tembakau Iris hasil produksinya, sehingga Pemohon tidak memenuhi kriteria pihak yang dikecualikan berdasarkan Pasal 3 PP 72/2008;
5 Bahwa berdasarkan hal tersebut, sudah sepatutnya jika Pemohon diwajibkan untuk memiliki NPPBKC dan dikenai sanksi sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah) sesuai Surat Tagihan Nomor S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Pasuruan;
6 Bahwa penetapan kewajiban memiliki NPPBKC dan sanksi denda tersebut telah diperkuat dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put- 84257/PP/M.XVIIA/20/2017 tanggal 29 Mei 2017, dimana dalam putusan tersebut, Majelis Hakim menetapkan bahwa Pemohon wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 46 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 47 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 memiliki NPPBKC dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah);
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, telah nyata dan jelas bahwa kewajiban Pemohon untuk memiliki NPPBKC dan membayar sanksi akibat tidak dimilikinya NPPBKC merupakan kewajiban yang harus ditanggung oleh Pemohon sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang telah berlaku sebelum berlakunya PMK 94/2016 yang menjadi objek permohonan dalam permohonan uji materi a quo ;
Bahwa dapat Termohon sampaikan pula, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 PMK 94/2016, telah diatur bahwa PMK 94/2016 mulai berlaku 60 hari setelah tanggal diundangkan (tanggal 15 Agustus 2016), sedangkan pengenaan sanksi kepada Pemohon ditetapkan pada tanggal 18 Februari 2016. Dengan demikian telah terbuktikan bahwa permasalahan Pemohon tersebut terjadi pada saat PMK 94/2016 belum diundangkan dan diberlakukan, sehingga dalil Pemohon pada halaman 15 huruf g yang pada intinya menyatakan bahwa PMK 94/2016 diterbitkan guna membantah argumentasi Pemohon dalam sengketa pajak adalah dalil yang mengada- ada dan tidak beralasan;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, telah terbukti pula bahwa tidak ada kerugian yang dialami oleh Pemohon sebagai akibat berlakunya PMK 94/2016, sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan permohonan uji materiil a quo ; Bahwa mempertimbangkan hal-hal di atas dan memperhatikan ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang 3/2009, Termohon memohon kepada Majelis Hakim Agung yang memeriksa permohonan uji materiil a quo untuk menyatakan uji materiil tidak dapat diterima ( Niet Ontvankelijk Verklaard ); PENJELASAN ATAS POKOK PERKARA A. Undang-Undang Cukai Memberikan Amanat Pengaturan Pemberitahuan Barang Kena Cukai Selesai Dibuat Melalui Peraturan Menteri Keuangan;
Bahwa Termohon berpendapat, pada prinsipnya suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila dibentuk berdasarkan amanat dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Pejabat yang menerbitkan peraturan perundang-undangan dimaksud; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 48 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 2. Bahwa dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diatur pula bahwa:
Pasal 8
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat;
ii. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, PMK 94/2016 merupakan pelaksanaan ketentuan lanjut mengenai pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemberitahuan mengenai barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri”;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai tersebut, para pembentuk undang-undang telah memberikan kewenangan terbuka ( opened legal policy ) kepada Menteri Keuangan untuk melakukan pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat;
Bahwa berdasarkan wewenang yang telah diberikan oleh Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai, Menteri Keuangan mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat melalui PMK 94/2016 guna memberikan ketegasan dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 kejelasan bagi para pihak yang oleh Undang-Undang Cukai diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan;
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, telah terbukti bahwa Menteri Keuangan memiliki wewenang yang diberikan oleh Undang- Undang Cukai untuk mengatur lebih lanjut hal-hal terkait dengan pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat melalui penerbitan PMK 94/2016; B. TANGGAPAN TERMOHON TERHADAP POKOK PERMOHONAN PEMOHON PMK 94/2016 Tidak Memperluas Norma yang Diatur pada Undang-Undang Cukai, Melainkan Mempertegas Aturan Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang telah Diatur Pada Undang-Undang Cukai;
Bahwa Pemohon dalam dalil-dalilnya menyatakan bahwa Termohon telah memperluas norma-norma mengenai Tembakau Iris yang diatur dalam Undang-Undang Cukai sehingga merugikan Pemohon sebagai pelaku usaha yang memproduksi Tembakau Iris;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, aturan-aturan dalam Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d PMK 94/2016 merupakan penegasan dari kapan peristiwa pengenaan cukai mulai berlaku atas hasil tembakau berupa Tembakau Iris dan kapan pelaku usaha yang memproduksi Tembakau Iris diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan kepada Termohon;
Bahwa ketentuan tersebut sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap semua pelaku usaha yang melakukan produksi barang kena cukai sehingga pelaku usaha tersebut mengetahui titik mula dari peristiwa dimana mereka diwajibkan oleh pembuat undang-undang untuk melakukan pemberitahuan kepada Termohon;
Bahwa di sisi lain, Termohon diamanatkan oleh peraturan perundang- undangan untuk melakukan pengawasan atas Barang Kena Cukai. Atas dasar tersebut, Termohon harus memberikan kepastian bahwa pihak yang diawasi juga mengetahui kapan dimulainya hak mengawasi yang dimiliki oleh Termohon;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, guna melindungi kepentingan para pelaku usaha Barang Kena Cukai dan memberikan kepastian hukum, sudah sepatutnya jika Termohon mempertegas aturan mengenai pemberitahuan barang kena cukai melalui PMK 94/2016; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 50 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Pemohon Sebagai Pelaku Usaha yang Memproduksi Barang Kena Cukai Diwajibkan Untuk Memiliki NPPBKC;
Bahwa sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Pemohon pada angka 2.14 Halaman 10 dalam Permohonannya berkaitan dengan kegiatan usaha Pemohon yang melakukan pemrosesan tembakau yang diantaranya merajang daun tembakau, mengeringkan dan menjaga kelembaban daun tembakau rajangan dan mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke pabrik rokok;
Berdasarkan pengakuan Pemohon dalam Permohonannya tersebut di atas, maka sangat jelas bahwa Pemohon adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha produksi Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai (dhi. Rokok);
Bahwa dengan memproduksi Barang Kena Cukai, Pemohon diwajibkan tunduk terhadap ketentuan Undang-Undang Cukai termasuk diantaranya Pasal 14 Undang-Undang Cukai yang mewajibkan untuk memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai dari Menteri dan Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Cukai yang mewajibkan untuk memberitahukan secara berkala kepada Kepala Kantor tentang barang kena cukai yang selesai dibuat; Pemohon Tidak Memiliki Kedudukan yang Sama Dengan Petani Tembakau Karena Pemohon Wajib Memiliki NPPBKC;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, Pasal 14 Undang-Undang Cukai mengatur norma bahwa setiap orang yang akan menjalankan kegiatan sebagai Pengusaha Pabrik; Pengusaha Tempat Penyimpanan; Importir Barang Kena Cukai; Penyalur; atau Pengusaha Tempat Penjualan Eceran, wajib memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC);
Bahwa sejalan dengan norma yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Cukai, Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2008 juga mengatur bahwa terhadap Orang yang membuat tembakau iris dari daun tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim digunakan tidak diwajibkan untuk memiliki NPPBKC, apabila:
dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 51 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 dipergunakan dalam pembuatan hasil ternbakau; dan/atau
pada pengemas atau tembakau irisnya tidak dibubuhi atau dilekati atau dicantumkan cap, merek dagang, etiket, atau yang sejenis dengan itu;
Bahwa selanjutnya berdasarkan norma yang diatur dalam Pasal 8 ayat 1 huruf a Undang-Undang Cukai dapat dipahami bahwa kriteria “dikemas untuk penjualan eceran” atau “tidak dikemas untuk penjualan eceran”bukan kriteria yang mengatur apakah barang kena cukai belum selesai dibuat atau telah selesai dibuat, melainkan mengatur kriteria tidak dipungut cukai sehingga berdasarkan hal tersebut, barang kena cukai (dhi. Tembakau Iris) yang dihasilkan oleh Pemohon tetap merupakan Barang Kena Cukai sehingga atas barang tersebut melekat hak-hak negara dan harus diawasi; Bahwa Pemohon Sebagai Pemasok Tembakau Iris Untuk Bahan Baku Tetap Wajib Memiliki NPPBKC;
Bahwa ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Cukai juga telah mengatur hal sebagai berikut: “(2) Cukai juga tidak dipungut atas Barang Kena Cukai apabila:
diangkut terus atau diangkut lanjut dengan tujuan luar Daerah Pabean;
diekspor;
dimasukkan ke dalam Pabrik atau Tempat Penyimpanan;
digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan Barang Kena Cukai;
telah musnah atau rusak sebelum dikeluarkan dari Pabrik, Tempat Penyimpanan atau sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai”;
Bahwa dapat Termohon jelaskan, ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang- Undang Cukai a quo disebut sebagai fasilitas tidak dipungut cukai bersyarat;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, fasilitas bersyarat memiliki arti bahwa dalam hal Barang Kena Cukai tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka atas Barang Kena Cukai tersebut tidak dipungut cukai;
Bahwa walaupun tembakau iris yang akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan sigaret tersebut mendapatkan fasilitas tidak dipungut cukai, akan tetapi kewajiban Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 52 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 membayar cukai masih melekat pada Tembakau Iris tersebut. Pemungutan Cukai terhadap tembakau iris tersebut tidak dilakukan selama memenuhi persyaratan yang ditentukan, dibuktikan dengan dokumen cukai yang diwajibkan dan Barang Kena Cukai masih tetap dalam pengawasan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Cukai: “Ayat (2) Kewajiban membayar cukai masih melekat pada Barang Kena Cukai yang diatur pada ayat ini, tetapi pemungutannya tidak dilakukan selama memenuhi persyaratan yang ditentukan, dibuktikan dengan dokumen cukai yang diwajibkan dan Barang Kena Cukai masih tetap berada dalam pengawasan; Huruf d Barang Kena Cukai yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong menurut ketentuan huruf ini tidak dipungut cukai, karena cukainya akan dikenai terhadap barang hasil akhir yang juga merupakan Barang Kena Cukai, seperti etil alkohol yang dipergunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol atau sebagai bahan penolong dalam pembuatan hasil tembakau”;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, salah satu dokumen cukai yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Cukai adalah dokumen perizinan berupa NPPBKC;
Bahwa berdasarkan hal-hal di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemohon sebagai pemasok Tembakau Iris yang untuk bahan baku, tetap diwajibkan untuk memiliki NPPBKC; KESIMPULAN Bahwa berdasarkan uraian dalil-dalil Termohon sebagaimana telah dijelaskan di atas, Termohon menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa latar belakang lahirnya PMK 94/2016 adalah untuk memenuhi hak- hak Negara yang berdasarkan Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai, memerintahkan dan mengamanatkan agar ketentuan lebih lanjut terkait Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat diatur secara khusus berdasarkan peraturan menteri yakni PMK 94/2016. Ketentuan yang mengatur Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat ini tidak terlepas dari norma titik awal timbulnya kewajiban bagi entitas penghasil Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 52 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 53 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 produk Barang Kena Cukai dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai;
Bahwa Daun Tembakau yang telah dirajang oleh Pemohon telah dikategorikan Tembakau Iris yang pengenaan cukainya telah mulai diberlakukan pada saat selesai dirajang dan terhadap Barang Kena Cukai tersebut telah terutang cukai dan telah melekat hak-hak negara sehingga berdasarkan Pasal 3B Undang-Undang Cukai wajib diberlakukan seluruh ketentuan Cukai;
Bahwa kriteria “dikemas untuk penjualan eceran” atau “tidak dikemas untuk penjualan eceran” bukan kriteria yang mengatur apakah barang kena cukai belum selesai dibuat atau telah selesai dibuat, melainkan mengatur kriteria tidak dipungut cukai sehingga berdasarkan hal tersebut, barang kena cukai (dhi. Tembakau Iris) yang dihasilkan oleh Pemohon tetap merupakan Barang Kena Cukai sehingga atas barang tersebut melekat hak-hak negara dan harus diawasi;
Bahwa problematika hukum yang disampaikan oleh Pemohon Keberatan dalam Permohonan Keberatannya bukanlah masalah norma, apalagi masalah pertentangan antar peraturan, melainkan permasalahan Pemohon Keberatan sesungguhnya adalah terkait implementasi norma tersebut. Bahwa Pemohon Keberatan hanya tidak dapat memahami bahwa Tembakau Iris adalah salah satu jenis Hasil Tembakau yang dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai yang diwajibkan untuk memiliki izin NPPBKC, sehingga sanksi administrasi yang dikenakan kepada Pemohon murni adalah kesalahan Pemohon Keberatan sendiri;
Bahwa Tembakau Iris yang dihasilkan oleh Petani memenuhi kriteria Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Cukai karena dibuat dari hasil tanaman tembakau di Indonesia yang diproses secara sederhana, sedangkan Pemohon melakukan pemrosesan Tembakau Iris yang telah dicampur dengan tembakau yang bukan hanya berasal dari dalam negeri;
Kegiatan usaha yang dilakukan Pemohon sama sekali tidak sama dengan Petani Tembakau. Kegiatan usaha yang dilakukan Pemohon yakni diantaranya merajang daun tembakau, mengeringkan dan menjaga kelembaban daun tembakau rajangan dan mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke pabrik rokok telah memenuhi kategori Pabrik sebagaimana Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Cukai yang terhadapnya dibebani Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 54 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 kewajiban untuk memiliki izin NPPBKC dan Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa yang menjadi obyek permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon adalah Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, vide Bukti P-1; __ Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal, yaitu apakah Pemohon mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil, sehingga Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil; Menimbang, bahwa objek permohonan keberatan hak uji materiil berupa Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat __ merupakan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sehingga Mahkamah Agung berwenang untuk mengujinya; Menimbang, bahwa Pemohon adalah PT Sadhana yang diwakili oleh Sunarjo Sampoerna dalam kapasitasnya sebagai Direktur, oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama Badan Hukum PT Sadhana; Menimbang, bahwa dalam permohonannya, Pemohon telah mendalilkan bahwa Pemohon mempunyai kepentingan dengan alasan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon adalah suatu perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang berkaitan dengan produk daun tembakau, yang dalam hal ini melakukan pembelian tembakau kepada petani-petani tembakau yang selanjutnya Pemohon melakukan pemrosesan daun-daun tembakau tersebut untuk kemudian hasil proses tembakau tersebut dijual ke pabrik rokok untuk diolah kembali menjadi produk hasil tembakau (rokok); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 54 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 55 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 2. Bahwa secara umum, kegiatan usaha yang terkait dengan produk tembakau meliputi: • Budidaya Tembakau; • Tata Niaga Tembakau; • Pemrosesan Daun Tembakau; • Pabrik Hasil Tembakau;
Bahwa untuk diketahui, kegiatan tersebut tidak hanya melibatkan perusahaan atau pabrik atau pengusaha pabrik saja akan tetapi meliputi juga melibatkan perorangan termasuk petani-petani tembakau yang dalam prakteknya tidak hanya melakukan kegiatan budi daya daun tembakau tetapi juga sering melakukan kegiatan tata niaga dan pemrosesan daun tembakau;
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut sangatlah lazim dan dalam prakteknya hampir sebagian besar petani tembakau melakukan kegiatan merajang, mengeringkan dan mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke tempat pemrosesan tembakau dan/atau pabrik rokok;
Bahwa seperti halnya yang juga dilakukan oleh para petani tembakau, pada dasarnya Kegiatan Usaha yang dilakukan oleh Pemohon adalah melakukan pemrosesan tembakau seperti memisahkan gagang dari daun tembakaunya, merajang daun tembakau menjadi bagian kecil-kecil, memisahkan hasil rajangan dengan material non tembakau (seperti debu, plastik, pecahan tikar, kerikil, bulu ayam, jerami dll.), mengeringkan dan menjaga kelembaban daun tembakau rajangan, mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke pabrik rokok. Tembakau rajangan ini belum siap untuk dipakai karena masih akan diproses lebih lanjut menjadi hasil tembakau/rokok di pabrik rokok;
Bahwa selama ini, berdasarkan Undang-Undang Cukai, posisi hukum dari Pemohon, sebagaimana halnya dengan petani-petani tembakau yang melakukan kegiatan perajangan khususnya yang menjual hasil tembakaunya kepada Pemohon, tidak termasuk ke dalam kriteria sebagai pelaku usaha atau subjek yang memproduksi barang kena cukai dan karenanya tidak diwajibkan untuk melakukan prosedur administrasi sebagai pengusaha barang kena cukai sesuai Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai namun dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, khususnya Pasal 2 angka 3 huruf (f) yang berbunyi: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 56 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 “hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris yaitu pada saat proses pengolahan daun tembakau telah selesai dirajang, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya” dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) yang berbunyi: “untuk hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai, dalam hal hasil tembakau berupa Tembakau Iris dimaksud telah dikemas”; menjadikan seakan-akan Pemohon (dan juga petani-petani tembakau sebagaimana disebut di atas) kembali harus dikualifikasikan sebagai pengusaha barang kena cukai karena isinya mengatur atau memperluas kriteria yang tidak diatur dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai dimana seharusnya kualifikasi Tembakau Iris yang merupakan Barang Kena Cukai yang telah selesai dibuat adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya” sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Cukai, sehingga dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, khususnya Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) kualifikasi Tembakau Iris yang tadinya hanya meliputi: “hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai”, kualifikasinya diperluas menjadi: (i) “hasil tembakau untuk jenis Tembakau Iris yaitu pada saat proses pengolahan daun tembakau telah selesai dirajang”; dan (ii) untuk hasil tembakau berupa Tembakau Iris yang digunakan sebagai bahan baku oleh Pengusaha Pabrik lainnya dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai, dalam hal hasil tembakau berupa Tembakau Iris dimaksud telah dikemas ( vide Bukti P- 1);
Bahwa fakta tersebut disamping melanggar hak hukum dan hak konstitusional dari Pemohon juga dalam pelaksanaan dapat menghambat bahkan merugikan tidak hanya bagi Pemohon akan tetapi juga bagi petani- petani tembakau yang menjual hasilnya kepada Pemohon Judicial review , karena berdasarkan kriteria yang sumir dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 menjadikan Pemohon dan para petani tembakau Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 56 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 57 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 tersebut dianggap sebagai pihak yang memproduksi Barang Kena Cukai dan harus melakukan proses administrasi sebagai subjek yang memproduksi barang kena cukai. Padahal, sebagaimana akan diuraikan dalam permasalahan pokok di bawah, diketahui bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 16 Undang-Undang Cukai yang terkait dengan kewajiban administrasi hanya bagi subjek yang memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang-Undang Cukai sehingga secara konstruksi hukum ketentuan Pasal 16 tersebut hanya berlaku bagi subjek yang telah memenuhi kriteria pasal-pasal tersebut, namun pada kenyataannya ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 malahan membuat norma baru yang isinya merubah kaidah-kaidah yang ada di Pasal 1, Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 14 Undang- Undang Cukai ( vide Bukti P-6);
Bahwa kerugian-kerugian yang terjadi apabila ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 diterapkan yang akan dirasakan Pemohon setidaknya adalah adanya tambahan kewajiban administrasi atau mungkin beban fiskal cukai yang mungkin harus ditanggung oleh Pemohon yang sebenarnya oleh Undang-Undang Cukai sendiri tidak pernah diwajibkan dan selain itu, khusus terkait dengan masalah kegiatan usaha, karena perluasan norma dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 menyebabkan petani-pertani yang menjadi mitra usaha Pemohon juga akan dikenakan kewajiban administrasi cukai, yang sebenarnya berdasarkan Undang-Undang Cukai sendiri tidak diwajibkan, yang kami yakini akan memberatkan petani-petani tersebut, dalam implementasinya kemungkinan Pemohon harus menyeleksi lagi petani- petani mitra usaha tersebut, karena harus memastikan petani-petani tersebut memenuhi kewajiban dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 yang sebenarnya tidak diwajbkan oleh Undang-Undang Cukai, dan berdasarkan pengalaman Pemohon hal tersebut akan sulit dilakukan dan pada akhirnya bisa menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi secara tidak baik bagi kegiatan usaha Pemohon dan juga petani tembakau;
Bahwa kami selaku Pemohon Uji Materiil ini adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional kami dirugikan dengan diberlakukannya: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 58 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 (i) Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; (ii) Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat ( vide Bukti P-1);
Bahwa kami selaku Pemohon Uji Materiil adalah sebagai badan hukum privat ( legal entity ), telah memenuhi kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) dan memiliki kepentingan untuk menyampaikan permohonan hak uji materiil ( judicial review ) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 31 A Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ayat (2) "Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undang di bawah undang-undang yaitu:
perorangan warga Negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang; atau
badan hukum publik atau badan hukum privat; Menimbang, bahwa Termohon dalam jawabannya telah mendalilkan sebagai berikut: __ Permasalahan Pemohon Timbul Karena Pelaksanaan Ketentuan Perundang- undangan Lain yang Telah Berlaku Sebelum Berlakunya Ketentuan Pasal 2 ayat 3 huruf (f) dan Pasal 3 ayat 2 huruf (d) PMK 94/2016 1. Bahwa dalam dalil-dalilnya, Pemohon mempermasalahkan kewajiban administrasi dan kemungkinan beban fiskal yang harus ditanggung oleh Pemohon akibat berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat 3 huruf (f) dan Pasal 3 ayat 2 huruf (d) PMK 94/2016;
Bahwa dapat Termohon sampaikan, kewajiban administrasi dan sanksi denda yang dibebankan kepada Pemohon didasarkan atas hal-hal sebagai berikut:
1 Bahwa berdasarkan Laporan Hasil Audit Nomor LHA-45/BC.62/IP/2016 tanggal 12 Februari 2012 yang diterbitkan oleh Tim Audit Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, terdapat fakta bahwa Pemohon melakukan hal-hal sebagai berikut:
Melakukan pengusahaan pabrik di Jalan Raya Purwosari RT 01 RW 07, Kelurahan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 59 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 b. Merupakan Pengusaha Pabrik, dengan lokasi pabrik di Jalan Raya Purwosari RT 01 RW 07, Kelurahan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur;
Melakukan perajangan daun tembakau;
Hasil produksi berupa Tembakau Iris (TIS) ditujukan untuk ekspor dan lokal yang dibuktikan dengan dokumen kepabeanan (Pemberitahuan Ekspor Barang) dan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT);
TIS tujuan ekspor, digunakan Daun Tembakau lokal dicampur dengan daun tembakau asal impor, yang dibuktikan dengan catatan perusahaan dan dokumen kepabeanan (Pemberitahuan Impor Barang);
TIS tujuan ekspor ditambah dengan flavour (rasa);
2 Bahwa atas fakta-fakta di atas, Pemohon diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Cukai juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2008 tentang Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (selanjutnya disebut sebagai “PP 72/2008”),, dan diharuskan untuk membayar sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Cukai dikarenakan Pemohon tidak memiliki NPPBKC;
3 Bahwa dapat Termohon sampaikan pula, terhadap pelaku usaha yang memproduksi barang kena cukai yang mendapat fasilitas tidak dipungut cukai dapat dikecualikan dari kewajiban kepemilikan NPPBKC sepanjang pelaku usaha tersebut memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 3 PP 72/2008;
4 Bahwa sesuai fakta yang tidak dapat terbantahkan, Pemohon telah memakai campuran produk tembakau impor dalam membuat Tembakau Iris hasil produksinya, sehingga Pemohon tidak memenuhi kriteria pihak yang dikecualikan berdasarkan Pasal 3 PP 72/2008;
5 Bahwa berdasarkan hal tersebut, sudah sepatutnya jika Pemohon diwajibkan untuk memiliki NPPBKC dan dikenai sanksi sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah) sesuai Surat Tagihan Nomor S-01/WBC.10/KPP.MP.02/2016 tanggal 18 Februari 2016 yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 60 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 diterbitkan oleh Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Pasuruan;
6 Bahwa penetapan kewajiban memiliki NPPBKC dan sanksi denda tersebut telah diperkuat dengan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put- 84257/PP/M.XVIIA/20/2017 tanggal 29 Mei 2017, dimana dalam putusan tersebut, Majelis Hakim menetapkan bahwa Pemohon wajib memiliki NPPBKC dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta Rupiah);
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, telah nyata dan jelas bahwa kewajiban Pemohon untuk memiliki NPPBKC dan membayar sanksi akibat tidak dimilikinya NPPBKC merupakan kewajiban yang harus ditanggung oleh Pemohon sebagai pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang telah berlaku sebelum berlakunya PMK 94/2016 yang menjadi objek permohonan dalam permohonan uji materi a quo ;
Bahwa dapat Termohon sampaikan pula, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 PMK 94/2016, telah diatur bahwa PMK 94/2016 mulai berlaku 60 hari setelah tanggal diundangkan (tanggal 15 Agustus 2016), sedangkan pengenaan sanksi kepada Pemohon ditetapkan pada tanggal 18 Februari 2016. Dengan demikian telah terbuktikan bahwa permasalahan Pemohon tersebut terjadi pada saat PMK 94/2016 belum diundangkan dan diberlakukan, sehingga dalil Pemohon pada halaman 15 huruf g yang pada intinya menyatakan bahwa PMK 94/2016 diterbitkan guna membantah argumentasi Pemohon dalam sengketa pajak adalah dalil yang mengada- ada dan tidak beralasan;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, telah terbukti pula bahwa tidak ada kerugian yang dialami oleh Pemohon sebagai akibat berlakunya PMK 94/2016, sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan permohonan uji materiil a quo ; Menimbang, bahwa mengenai kedudukan hukum ( Legal Standing) dan kepentingan Pemohon mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut: - Bahwa Pemohon adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang berkaitan dengan produk daun tembakau ( vide bukti P-14), yang dalam hal ini melakukan pembelian tembakau kepada petani-petani tembakau yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 61 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 selanjutnya Pemohon melakukan pemrosesan daun-daun tembakau tersebut untuk kemudian hasil proses tembakau tersebut dijual ke pabrik rokok untuk diolah kembali menjadi produk Hasil Tembakau (rokok); - Bahwa Ketentuan Pasal 2 ayat 3 huruf (f) dan Pasal 3 ayat 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, merupakan peraturan pelaksanaan di bidang administrasi Barang Kena Cukai yang juga mencakup bidang usaha Pemohon berupa produk tembakau; - Bahwa Pemohon keberatan Hak Uji Materiil memiliki legal standing karena sebagai subjek hukum Badan Hukum Perdata memiliki kepentingan secara langsung dengan objek pengaturan dalam objek keberatan Hak Uji Materiil dan terdapat potensi kerugian hak konstitusinya secara langsung ( vide Pasal 28 H UUD 1945) sehingga memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sebagaimana diatur dalam pasal 31 A ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung juncto Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas terbukti Pemohon mempunyai kepentingan dan oleh karenanya memiliki Legal Standing dalam mengajukan permohonan a quo karena haknya dirugikan atau setidak- tidaknya terdapat potensi kerugian atas berlakunya Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat yang menjadi obyek permohonan keberatan hak uji materiil, oleh karena itu secara yuridis Pemohon mempunyai Legal Standing untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat, sehingga memenuhi syarat formal yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 dan __ Pasal 31 A ayat (2) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009; Menimbang, bahwa karena permohonan terhadap obyek hak uji materiil diajukan oleh Pemohon yang mempunyai legal standing maka permohonan __ a quo secara formal dapat diterima; Menimbang, bahwa selanjutnya Mahkamah Agung mempertimbangkan substansi objek permohonan keberatan hak uji materiil apakah peraturan Pasal Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 62 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu __ Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Undang-Undang Cukai), dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Menimbang, bahwa dalam permohonannya Pemohon telah mendalilkan hal-hal sebagai berikut: - Bahwa ketentuan tersebut jelas bertentangan dangan maksud dari dibuatnya peraturan pelaksana terkait dengan ketentuan dalam Pasal 16 Undang-Undang Cukai karena:
Secara eksplisit dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai dinyatakan bahwa kewajiban tersebut hanya diperuntukkan bagi subjek yang memenuhi kriteria dalam Pasal 14 ayat (1);
Bahwa terkait dengan subjek tersebut kriteria menurut Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah diatur secara tegas dalam Pasal 1 angka (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Cukai tidak semua pihak yang melakukan usaha tembakau masuk dalam kriteria Pabrik yang mempunyai kewajiban memiliki izin sebagaimana diatur Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa secara tegas dan jelas Undang-Undang Cukai mengatur bahwa orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha menjual hasil tembakau untuk bahan baku, tidak termasuk kategori Pabrik yang diwajibkan untuk memiliki izin sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa namun demikian, dalam PMK Nomor 94 Tahun 2016 khususnya dalam Pasal 3 ayat 2 huruf (d) diatur secara meluas dan bertentangan dengan Undang-Undang Cukai terkait dengan adanya kewajiban pemberitahuan bagi subjek atau pihak yang menurut Undang-Undang Cukai tidak termasuk dalam kriteria dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Bahwa secara konstruksi disamping menimbulkan norma baru yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, secara konstruksi pembuatan Pasal tersebut menjadi tidak logis, karena seharusnya justru PMK tersebut mengatur kewajiban Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 62 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 63 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 administrasi dengan batasan yang jelas berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai, namun pada kenyataannya dengan adanya ketentuan dalam Pasal 3 angka 2 huruf (d) PMK Nomor 94 ini berpotensi untuk menyebabkan pihak yang seharusnya tidak wajib memiliki izin berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Cukai menjadi wajib memiliki izin; Bahwa sehubungan dengan uraian tersebut di atas, menurut Pemohon dapat disimpulkan secara sah dan menyakinkan ketentuan mengenai batasan “selesai dibuat” untuk barang berupa tembakau iris sebagaimana tersebut pada Pasal 2 angka 3 huruf (f) dan Pasal 3 angka 2 huruf (d) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat telah terbukti:
Bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Cukai;
Pembentukan peraturan/ketentuan mengenai “selesai dibuat” dan ketentuan mengenai “tembakau iris yang digunakan sebagai bahan baku” a quo tidak memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Bahwa oleh karenanya, mohon kepada Majelis Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara Hak Uji Materil a quo untuk memutuskan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 2 angka 3 huruf (f) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat dan dengan menggunakan alasan, dalil atau pertimbangan hukum yang sama ( mutatis mutandis ) juga menyatakan karenanya tidak sah dan tidak berlaku sepanjang mengenai batasan “barang selesai dibuat” yang diatur dalam pasal-pasal terkait PMK Nomor 94 Tahun 2016, yaitu: Pasal 3 angka 2 huruf (d); Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan Jawaban sebagai berikut: ^ 1. Bahwa latar belakang lahirnya PMK 94/2016 adalah untuk memenuhi hak- hak Negara yang berdasarkan Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai, memerintahkan dan mengamanatkan agar ketentuan lebih lanjut terkait Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat diatur secara khusus berdasarkan peraturan menteri yakni PMK 94/2016. Ketentuan yang mengatur Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat ini tidak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 63 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 64 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 terlepas dari norma titik awal timbulnya kewajiban bagi entitas penghasil produk Barang Kena Cukai dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai;
Bahwa Daun Tembakau yang telah dirajang oleh Pemohon telah dikategorikan Tembakau Iris yang pengenaan cukainya telah mulai diberlakukan pada saat selesai dirajang dan terhadap Barang Kena Cukai tersebut telah terutang cukai dan telah melekat hak-hak negara sehingga berdasarkan Pasal 3B Undang-Undang Cukai wajib diberlakukan seluruh ketentuan Cukai;
Bahwa kriteria “dikemas untuk penjualan eceran” atau “tidak dikemas untuk penjualan eceran” bukan kriteria yang mengatur apakah barang kena cukai belum selesai dibuat atau telah selesai dibuat, melainkan mengatur kriteria tidak dipungut cukai sehingga berdasarkan hal tersebut, barang kena cukai (dhi. Tembakau Iris) yang dihasilkan oleh Pemohon tetap merupakan Barang Kena Cukai sehingga atas barang tersebut melekat hak-hak negara dan harus diawasi;
Bahwa problematika hukum yang disampaikan oleh Pemohon Keberatan dalam Permohonan Keberatannya bukanlah masalah norma, apalagi masalah pertentangan antar peraturan, melainkan permasalahan Pemohon Keberatan sesungguhnya adalah terkait implementasi norma tersebut. Bahwa Pemohon Keberatan hanya tidak dapat memahami bahwa Tembakau Iris adalah salah satu jenis Hasil Tembakau yang dikategorikan sebagai Barang Kena Cukai dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai yang diwajibkan untuk memiliki izin NPPBKC, sehingga sanksi administrasi yang dikenakan kepada Pemohon murni adalah kesalahan Pemohon Keberatan sendiri;
Bahwa Tembakau Iris yang dihasilkan oleh Petani memenuhi kriteria Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Cukai karena dibuat dari hasil tanaman tembakau di Indonesia yang diproses secara sederhana, sedangkan Pemohon melakukan pemrosesan Tembakau Iris yang telah dicampur dengan tembakau yang bukan hanya berasal dari dalam negeri;
Kegiatan usaha yang dilakukan Pemohon sama sekali tidak sama dengan Petani Tembakau. Kegiatan usaha yang dilakukan Pemohon yakni diantaranya merajang daun tembakau, mengeringkan dan menjaga kelembaban daun tembakau rajangan dan mengepak tembakau rajangan untuk dijual ke pabrik rokok telah memenuhi kategori Pabrik sebagaimana Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Cukai yang terhadapnya dibebani Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 64 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 65 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 kewajiban untuk memiliki izin NPPBKC dan Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; Menimbang, bahwa dari alasan keberatan Pemohon yang kemudian dibantah oleh Termohon dalam jawabannya Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan keberatan Pemohon dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut: - Bahwa Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 mengatur “Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemberitahuan mengenai barang kena cukai yang selesai dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri”; - Bahwa ketentuan tersebut di atas adalah dasar wewenang kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk membentuk peraturan menteri tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat; - Bahwa syarat pendelegasian kewenangan pemerintahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (kewenangan legislasi) terdapat dalam lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Bab II Hal-Hal Khusus, huruf A. Pendelegasian Wewenang, angka 198 yang menyatakan: “Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah”; - Bahwa salah satu ciri adanya pendelegasian kewenangan mengatur adalah dimuat dalam satu pasal atau ayat tertentu yang dimulai dengan frasa “ketentuan lebih lanjut mengenai... diatur dengan...”; - Bahwa Undang-Undang Cukai telah mendelegasikan kewenangan pengaturan pencatatan dan pemberitahuan mengenai Barang Kena Cukai yang selesai dibuat kepada Menteri Keuangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (7) namun secara normatif dan parsialistik terdapat pertentangan hukum antara Peraturan Menteri Keuangan a quo dengan ketentuan Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Cukai, karena Peraturan Menteri Keuangan a quo disamping mengatur mengenai administrasi pembukuan dan pemberitahuan Barang Kena Cukai juga mengatur mengenai pengenaan cukai dalam Pasal 2 dan 3; - Bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d objek keberatan hak uji materiil a quo merupakan turunan secara hirarkhis dari Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 65 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 66 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2007; - Bahwa substansi yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) huruf f adalah sama dengan yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Cukai, bahwa definisi dari Tembakau Iris adalah hasil tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya; - Bahwa demikian pula dengan substansi ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf d yang mengatur kewajiban pemberitahuan tembakau iris sebagai barang kena cukai selesai dibuat, dimana ketentuan tersebut secara substantif telah diatur dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai beserta penjelasannya; - Bahwa dengan mencermati ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 beserta penjelasannya, dapat diketahui bahwa ketentuan-ketentuan tersebut sudah bersifat imperatif, yang tidak membutuhkan pengaturan dan/atau penafsiran lebih lanjut, dan sudah bisa langsung dilaksanakan, oleh karenanya tidak ditemukan adanya ketentuan pelimpahan kewenangan mengatur lebih lanjut ( opened legal policy ) kepada Menteri Keuangan dalam ketentuan a quo ; - Bahwa meskipun Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 telah memberikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Menteri Keuangan mengenai pemberitahuan barang kena cukai yang selesai dibuat, namun dalam pembentukan peraturan a quo telah menyisipkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d yang merupakan turunan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Cukai beserta penjelasannya yang tidak memiliki dasar pelimpahan wewenang pengaturan, karena secara parsialitas, pengaturan norma perundang-undangan yang sudah bersifat imperatif, menimbulkan akibat menurunkan derajat norma perundang-undangan yang lebih tinggi, dan berpotensi memperluas atau mempersempit daya jangkau berlakunya norma a quo ; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 66 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 67 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 - Bahwa terkait Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang selesai Dibuat a quo telah diatur oleh Menteri Keuangan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2008 dan telah pula diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.04/2012, yang tidak memuat norma yang substansinya sama dengan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016, namun tetap dapat dijalankan secara konsekuen, serasi dan selaras dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007; - Bahwa oleh karenanya, secara hirarkis teknik penyusunan Peraturan Menteri a quo tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mensyaratkan adanya pelimpahan wewenang dari perundang-undangan yang lebih tinggi; - Bahwa dapat disimpulkan dalam penyusunan formulasi Pasal yang menjadi objek keberatan Hak Uji Materiil tidak sesuai dengan materi/isi Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai yang mengatur terkait Pembukuan, pendelegasian wewenang Termohon Keberatan Hak Uji Materiil dalam pembentukan norma a quo tidak bisa dilihat secara parsial akan tetapi dilihat juga dari isi dan sistematika Pasal 16 secara keseluruhan dengan memperhatikan ayat-ayat yang lainnya, dan oleh karena berdasar hukum menyatakan Termohon Hak Uji Materiil tidak berwenang untuk mengatur substansi ketentuan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, terbukti bahwa Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai yang Selesai Dibuat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( vide Bukti P-7) sehingga harus dibatalkan, dan oleh karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon harus dikabulkan dan peraturan yang menjadi obyek dalam perkara uji materiil a quo harus dinyatakan tidak sah sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum; __ Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 67 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 68 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 __ Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon, maka Termohon dihukum untuk membayar biaya perkara; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 31 A ayat (8) Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2009 dan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011, Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara; __ Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; MENGADILI, 1. Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: PT SADHANA __ tersebut;
Menyatakan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016, tanggal 16 Juni 2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai Yang Selesai Dibuat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum;
Menyatakan Pasal 2 ayat (3) huruf f dan Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.04/2016, tanggal 16 Juni 2016 tentang Pemberitahuan Barang Kena Cukai Yang Selesai Dibuat, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin, tanggal 02 Oktober 2017, oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Is Sudaryono, S.H., M.H., dan Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim- Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 68 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 69 dari 69 halaman Putusan Nomor 46 P/HUM/2017 Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Muhammad Aly Rusmin, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak. Anggota Majelis: ttd./ Is Sudaryono, S.H., M.H. ttd./ Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S Ketua Majelis, ttd./ Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum. Biaya-biaya 1. Meterai ................. Rp. 6.000,00 2. Redaksi...……...... Rp. 000,00 3. Administrasi HUM.. Rp. 989.000,00 Jumlah................. Rp.1.000.000,00 Panitera Pengganti, ttd./ Muhammad Aly Rusmin, S.H. Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG R.I.
n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara, NIP. 19540924 198403 1 001 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 69