Sistem Akuntansi Transaksi Khusus.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Sistem Akuntansi Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat SA-TK adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan untuk seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran serta aset dan kewajiban pemerintah yang terkait dengan fungsi khusus Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, serta tidak tercakup dalam Sub Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SABUN) lainnya.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan dan hibah.
Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah Badan Usaha atau Bentuk Badan Usaha Tetap yang diberikan wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.
Kontraktor Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor PKP2B adalah badan usaha yang melakukan pengusahaan pertambangan batubara, baik dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Barang Milik Negara yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut BMN Idle adalah BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga.
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BLBI adalah fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada perbankan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sistem perbankan, agar tidak terganggu oleh adanya ketidakseimbangan likuiditas, antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank.
Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan transaksi khusus pada tingkat satuan kerja di lingkup Bendahara Umum Negara.
Unit Akuntansi Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang menjadi koordinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA- BUN TK yang berada langsung di bawahnya.
Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAP BUN TK adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Unit Akuntansi Koordinator Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKP BUN TK adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan seluruh Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.
Unit Akuntansi Kuasa Pengelola Barang Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat UAKPLB-BUN adalah satuan kerja/unit akuntansi yang diberi kewenangan untuk mengurus/menatausahakan/mengelola Barang Milik Negara yang dalam penguasaan Bendahara Umum Negara Pengelola Barang.
Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut DJPBN adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertindak sebagai UAP BUN TK dan UAKP BUN TK.
Badan Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat BKF adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan.
Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas mengelola PNBP di bawah BA BUN.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas mengelola Kekayaan Negara.
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Barang yang menjadi milik/kekayaan negara yang berasal dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama, yang selanjutnya disebut BMN yang berasal dari KKKS adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh atau dibeli KKKS dan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu.
Barang yang menjadi milik/kekayaan negara yang berasal dari Kontraktor Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, yang selanjutnya disebut BMN yang berasal dari Kontraktor PKP2B adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh Kontraktor dalam rangka kegiatan pengusahaan pertambangan batubara dan/atau barang dan peralatan yang tidak terjual, tidak dipindahkan atau tidak dialihkan oleh Kontraktor setelah pengakhiran perjanjian yang telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan menjadi milik Pemerintah termasuk barang kontraktor yang pada pengakhiran perjanjian akan dipergunakan untuk kepentingan umum.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPM.
Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data berupa disket atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya.
Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menggambarkan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan selama suatu periode.
Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, utang, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.
Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disebut CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam LRA, Neraca, dan Laporan Arus Kas dalam rangka pengungkapan yang memadai.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disebut PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah kuasa yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan Dokumen Sumber yang sama.
Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam Laporan Keuangan, permintaan keterangan dan analitik yang menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas Laporan Keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Aset bekas Milik Asing/China adalah aset yang dikuasai Negara berdasarkan:
Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/PEPERPU/1958 jo. Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439/1958 jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960;
Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962;
Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 jo. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/1964;
Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T-0403/G-5/5/66.
PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) yang selanjutnya disebut PT PPA adalah Perusahaan Perseroan yang didirikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk melakukan pengelolaan aset Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang tidak berperkara untuk dan atas nama Menteri Keuangan berdasarkan Perjanjian Pengelolaan Aset.
Aset Eks Kelolaan PT PPA adalah kekayaan Negara yang berasal dari kekayaan eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang sebelumnya diserahkelolakan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)/PT PPA (Persero), dan telah dikembalikan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan.
Aset yang Diserah kelolakan kepada PT PPA adalah Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang tidak terkait dengan perkara, berupa Aset Properti, Aset Saham, Aset Reksa Dana, dan/atau Aset Kredit, yang sebelumnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).
Aset Eks Pertamina adalah aset-aset yang tidak turut dijadikan Penyertaan Modal Negara dalam Neraca Pembukaan PT Pertamina sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.06/2008 tentang Penetapan Neraca Pembukaan Perseroan (Persero) PT Pertamina Per 17 September 2003, serta telah ditetapkan sebagai sebagai Barang Milik Negara yang berasal dari Aset Eks Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 92/KK.06/2008 tentang Penetapan Status Aset Eks Pertamina Sebagai Barang Milik Negara.
Dukungan Kelayakan Proyek Kerjasama yang selanjutnya disebut Dukungan Kelayakan adalah dukungan pemerintah berupa kontribusi fiskal dalam bentuk tunai atas sebagian biaya pembangunan proyek yang dilaksanakan melalui skema kerja sama pemerintah dengan Badan Usaha.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
Surat Berharga Syariah Negara
Relevan terhadap
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Kombinasi Akad SBSN antara lain dapat dilakukan antara Mudarabah dengan Ijarah, Musyarakah dengan Ijarah, dan Istishna’ dengan Ijarah. P ^asal 4 Yang dimaksud dengan “membiayai pembangunan proyek” adalah membiayai pembangunan proyek-proyek yang telah mendapatkan alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, termasuk proyek infrastruktur dalam sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan perumahan rakyat. P ^asal 5 Cukup jelas. P ^asal 6 Ayat (1) Penerbitan SBSN baik secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN dimaksud dilakukan untuk kepentingan Negara Republik Indonesia. Dalam pelaksanaannya, penerbitan SBSN tersebut dapat dilakukan di dalam negeri maupun luar negeri. Penerbitan SBSN oleh Perusahaan Penerbit SBSN dilakukan hanya dalam hal struktur SBSN memerlukan adanya Special Purpose Vehicle (SPV). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Menteri menetapkan segala hal yang berkaitan dengan kebijakan penerbitan SBSN, antara lain jumlah target indikatif penerbitan, tanggal penerbitan, metode penerbitan, denominasi, struktur Akad, pricing , dan hal-hal lain yang termuat dalam ketentuan dan syarat ( terms and conditions ) SBSN. Dengan demikian, kewenangan Perusahaan Penerbit SBSN hanya terbatas untuk menerbitkan SBSN. P ^asal 7 Ayat (1) Pemerintah mengadakan koordinasi dengan Bank Indonesia pada awal tahun saat merencanakan penerbitan SBSN, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana penerbitan Surat Berharga Negara untuk satu tahun anggaran. Koordinasi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter dari penerbitan Surat Berharga Negara, agar keselarasan antara kebijakan fiskal, termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter dapat tercapai. Pendapat Bank Indonesia tersebut menjadi masukan di dalam pengambilan keputusan oleh Pemerintah agar penerbitan Surat Berharga Negara dimaksud dapat dilakukan tepat waktu dan dilakukan dengan persyaratan yang dapat diterima pasar serta memberikan manfaat bagi Pemerintah dan masyarakat. Ayat (2) Koordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan nasional antara lain meliputi jenis, nilai, dan waktu pelaksanaan proyek. Proyek yang akan dibiayai merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. P ^asal 8 Ayat (1) Persetujuan tersebut didahului dengan mengajukan rencana penerbitan dan pelunasan dan/atau pembelian kembali yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang dalam hal ini adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan, untuk mendapatkan persetujuan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “hal-hal tertentu”, antara lain, adalah penerbitan SBSN dalam rangka menutup kekurangan pembiayaan anggaran, pembangunan proyek, dan/atau pengelolaan portofolio Surat Berharga Negara menjelang akhir tahun anggaran karena pertimbangan kondisi dan perkembangan pasar keuangan yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya sehingga jumlah Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang telah disetujui terlampaui. P ^asal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul akibat penerbitan SBSN dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu dialokasikan untuk pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk diperhitungkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan. Ayat (4) Pada saat jatuh tempo, pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dapat melebihi perkiraan anggaran disebabkan oleh, antara lain, perbedaan perkiraan kurs, dan/atau tingkat Imbalan. Ayat (5) Cukup jelas. P ^asal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanah dan/atau bangunan” termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun. Huruf b Yang dimaksud dengan “selain tanah dan/atau bangunan” dapat berupa barang berwujud maupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Menteri selaku Pengelola Barang Milik Negara menetapkan secara rinci jenis, nilai, dan spesifikasi Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. Menteri dapat menerbitkan pernyataan mengenai status kepemilikan, penggunaan, dan penguasaan Barang Milik Negara yang telah tercantum dalam Daftar Barang Milik Negara, dalam hal belum tersedia Sertifikat Hak Pakai atau bukti kepemilikan lain atas Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. P ^asal 11 Ayat (1) Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan ( legal title ) Barang Milik Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan. Penjualan dan penyewaan Hak Manfaat Barang Milik Negara dilakukan dalam struktur SBSN Ijarah. Cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN antara lain, penggunaan Barang Milik Negara sebagai bagian penyertaan dalam rangka kerja sama usaha dalam struktur SBSN Musyarakah ( partnership ). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan Barang Milik Negara ini tetap melekat pada instansi pengguna Barang Milik Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberitahuan tersebut bukan merupakan permintaan persetujuan atau pertimbangan. Ayat (4) Berdasarkan struktur SBSN Akad Ijarah- Head Lease and Sub Lease , jangka waktu penyewaan Aset SBSN dari Pemerintah __ kepada Perusahaan Penerbit SBSN lebih panjang dari jangka waktu penyewaan Aset SBSN dari Perusahaan Penerbit SBSN kepada Pemerintah. P ^asal 12 Ayat (1) Akad penerbitan SBSN lainnya adalah Akad selain SBSN yang menggunakan Akad Ijarah antara lain SBSN yang menggunakan Akad Musyarakah, Mudarabah, dan Istishna’ . Ayat (2) Kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN antara lain berupa sisa Nilai Nominal SBSN yang pelunasannya dilakukan dengan cara amortisasi dan Imbalan yang belum dibayarkan. P ^asal 13 Ayat (1) Pemerintah dapat mendirikan lebih dari 1 (satu) Perusahaan Penerbit SBSN sesuai dengan kebutuhan. Ayat (2) Mengingat Perusahaan Penerbit SBSN memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan badan hukum Perseroan Terbatas, Yayasan ataupun bentuk badan hukum lain yang dikenal di Indonesia selama ini, maka perlu dibentuk badan hukum khusus sesuai Undang-Undang ini untuk dapat mengakomodasi karakteristik dan tujuan pembentukan Perusahaan Penerbit SBSN dimaksud. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pertanggungjawaban dimaksud hanya terkait dengan operasional Perusahaan Penerbit SBSN dan pelaksanaan penerbitan SBSN. Ayat (5) Cukup jelas. P ^asal 14 Ayat (1) Pihak lain yang dapat ditunjuk sebagai Wali Amanat, antara lain, adalah lembaga keuangan yang telah mendapat izin dari otoritas yang berwenang dan lembaga lain yang dapat melakukan fungsi sebagai Wali Amanat. Ayat (2) Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat pada dasarnya melaksanakan suatu kewajiban hukum yang timbul akibat adanya pengalihan kepemilikan Hak Manfaat atas suatu aset dari Pemerintah kepada pihak lain yang bertindak sebagai Wali Amanat untuk kepentingan pemegang SBSN selaku penerima manfaat. Ayat (3) Pihak lain yang dapat ditunjuk untuk membantu pelaksanaan fungsi sebagai Wali Amanat, antara lain, adalah lembaga keuangan yang telah mendapat izin dari otoritas yang berwenang dan lembaga lain yang dapat melakukan fungsi sebagai Wali Amanat. P ^asal 15 Cukup jelas. P ^asal 16 Cukup jelas. P ^asal 17 Cukup jelas. P ^asal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Apabila diatur di dalam Akad, Menteri dapat melakukan pembelian kembali SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN, sebelum jatuh tempo. Pembelian kembali atas sebagian dari Nilai Nominal SBSN tidak disertai dengan pembatalan Akad penerbitan SBSN. Huruf f Pelunasan sebagian atau seluruh Nilai Nominal SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN sebelum jatuh tempo, hanya dapat dilakukan apabila diatur di dalam Akad. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. P ^asal 19 Ayat (1) Menteri membuka rekening yang diperlukan baik untuk menampung hasil penjualan SBSN maupun untuk menyediakan dana bagi pembayaran Imbalan dan Nilai Nominal SBSN. Ayat (2) Tata cara pembukaan dan pengelolaan rekening yang dimaksud dalam ayat ini mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara, sedangkan tata cara pembukaan rekening di Bank Indonesia mengikuti ketentuan Bank Indonesia . P ^asal 20 Cukup jelas. P ^asal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penunjukan pihak lain oleh Bank Indonesia sebagai agen penata usaha untuk melaksanakan kegiatan penatausahaan, harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan di bidang pasar modal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Laporan pertanggungjawaban kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini disampaikan kepada Menteri. P ^asal 22 Cukup jelas. P ^asal 23 Lelang SBSN dilaksanakan oleh Bank Indonesia sampai pada saat Pemerintah dinilai telah siap serta mampu secara teknis untuk melaksanakan lelang secara sendiri atau bersama Bank Indonesia. P ^asal 24 Dalam ketentuan penerbitan dan penjualan SBSN, antara lain, diatur ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penerbitan dan penjualan, termasuk kriteria peserta lelang SBSN baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN. P ^asal 25 Yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah. P ^asal 26 Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan SBSN dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan pemodal dan para pelaku pasar. Kedua hal tersebut diperlukan agar kegiatan perdagangan SBSN dapat dilaksanakan secara efisien dan sehat. Pengaturan dilaksanakan melalui penerbitan berbagai ketentuan, antara lain, mengenai transparansi data dan informasi penerbitan serta mengenai tata cara perdagangan SBSN. Pengaturan dan pengawasan merupakan upaya untuk memperoleh keyakinan akan ketaatan para pelaku pasar terhadap ketentuan yang berlaku. P ^asal 27 Ayat (1) Penatausahaan mencakup kegiatan administrasi dan akuntansi semua transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan SBSN. Ayat (2) Cukup jelas. P ^asal 28 Cukup jelas. P ^asal 29 Permintaan data dan informasi mengenai SBSN kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk sebagai agen penata usaha SBSN dilakukan secara tertulis.
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tah ...
Relevan terhadap
(1) Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagai pengusul rancangan undang-undang, diprioritaskan untuk ditugaskan membahas rancangan undang-undang. (2) Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) langsung bertugas membahas rancangan undang-undang. • Berdasarkan Pasal 130 dan Pasal 131 Tata Tertib DPR di atas maka alat kelengkapan DPR bertugas membahas Rancangan Undang-Undang setelah ada penugasan terlebih dulu dari Badan Musyawarah (BAMUS). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tenggang waktu satu bulan pembahasan RUU APBN-P setelah diajukan oleh Pemerintah adalah setelah alat kelengkapan DPR ditugaskan terlebih dulu oleh BAMUS. Dalam perkara a quo dimulainya pembahasan RUU APBN-P 2012 di DPR adalah pada tanggal 6 Maret 2012 (vide keterangan tertulis DPR) sehingga masa berakhirnya satu bulan adalah 4 April 2012. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa UU 4/2012 melewati waktu satu bulan adalah tidak beralasan menurut hukum; 138 • Mengenai dalil para Pemohon bahwa persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 menjadi Undang-Undang yang dilakukan oleh Rapat Paripurna DPR RI dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 31 Maret 2012 yang merupakan hari libur dan bukan hari kerja, menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 219 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan “ penyimpangan dari waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan ” juncto Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan, “ Ketua rapat menunda penyelesaian acara rapat untuk dibicarakan dalam rapat berikutnya atau meneruskan penyelesaian acara rapat atas persetujuan rapat apabila acara yang ditetapkan untuk suatu rapat belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 telah berakhir”. Dengan mendasarkan pada Pasal 219 ayat (2) dan Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR-RI, menurut Mahkamah, dalil Pemohon bahwa Undang-Undang APBN Perubahan ditetapkan pada hari libur dan bukan hari kerja adalah tidak beralasan menurut hukum. Hal tersebut sejalan dengan keterangan tertulis DPR, bertanggal Juni 2012, halaman 15 sampai dengan halaman 17; • Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon mengenai pengujian formil UU 4/2012 tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum; Pengujian Materiil [3.16] Menimbang bahwa dalam UUD 1945 diatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang. Artinya APBN disusun atas dasar persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Namun, pembentukan Undang- Undang APBN berbeda dengan pembuatan Undang-Undang pada umumnya, RUU APBN selalu berasal dari Presiden yang kemudian dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, sedangkan Undang-Undang pada umumnya pengajuan RUU merupakan kewenangan DPR dan juga dapat diajukan oleh Presiden. Undang-Undang APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun anggaran, hal ini berbeda dengan Undang-Undang pada umumnya yang tidak membatasi jangka berlakunya. UU APBN diperlukan adanya setiap tahun, dan apabila Undang-Undang APBN tidak dapat ditetapkan karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden maka Pemerintah menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. 139 Pemberlakuan APBN sebelumnya dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum, mengingat APBN sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan. Dari segi substansi, Undang-Undang APBN adalah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran. Pilihan kebijakan tersebut menyangkut perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan. Sebagai Undang-Undang yang mempunyai kekuatan mengikat, Undang-Undang APBN mengikat Pemerintah dalam menghimpun pendapatan baik dari aspek jumlah maupun sumber pendapatan tersebut dan demikian juga halnya dalam pembelanjaannya. Sebagai rencana maka Undang-Undang APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon sebagai berikut: [3.17.1] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya; • Bahwa Pemerintah tidak pernah mempublikasikan secara terbuka kepada masyarakat Indonesia mengenai alasan, dasar, dan mekanisme penghitungan perubahan subsidi pada Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang pada faktanya nominal yang dialokasikan bertambah dalam jumlah yang besar. Masyarakat Indonesia hanya mengetahui proses Sidang Paripurna yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2012 yang hanya membahas mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012, sedangkan perubahan pasal lain dalam UU 4/2012 dibahas oleh Badan Anggaran DPR RI dengan mekanisme Sidang Tertutup untuk umum. Hal ini jelas tidak ada mekanisme keterbukaan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; __ • Bahwa terhadap jumlah alokasi dana yang besar tanpa adanya kejelasan tujuan dan keterbukaan, seharusnya Pemerintah mengalokasikan dana tersebut pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara 140 Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya, serta pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi sesuai dengan amanat Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; • Dengan Pemerintah menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka secara jelas Pemerintah telah salah dalam menentukan kebijakan ( beleid ) dan telah salah urus, karena seharusnya Pemerintah sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak menyandarkan jumlah subsidi dengan mekanisme pasar sehingga frasa “ dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ” tidak akan pernah terwujud. Hal demikian mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena BBM beserta subsidinya tidak akan pernah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Dari ketentuan tersebut maka proses pembahasan dan penetapan UU 4/2012 menurut Mahkamah telah selaras dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; __ • Dilihat dari segi substansi UU APBN yang merupakan rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran, dan UU APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran. Oleh karena itu perubahan jumlah Anggaran tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair [ liquefied petroleum gas (LPG)] tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 yang direncanakan sebanyak Rp. 123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh 141 puluh empat juta rupiah) bertambah menjadi sebanyak Rp 137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 (empat puluh juta) kilo liter dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah dikarenakan asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian. Adapun perubahan APBN dalam UU 4/2012 memiliki dasar pertimbangan sebagai berikut: __ i. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, telah terjadi perubahan dan perkembangan pada faktor internal dan eksternal, sehingga asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam APBN 2012 sudah tidak relevan dan perlu disesuaikan;
ii. Tingkat inflasi dalam tahun 2012 diperkirakan akan mencapai 6,8% (enam koma delapan persen), lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju inflasi yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2012. Peningkatan laju inflasi ini selain dipengaruhi oleh meningkatnya harga beberapa komoditas internasional, juga dipengaruhi oleh rencana kebijakan administered price di bidang energi dan pangan; iii. Nilai tukar rupiah dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.9.000,00 (sembilan ribu rupiah) per satu dolar Amerika Serikat, melemah dari asumsinya dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Pelemahan ini didorong antara lain oleh ketidakpastian ekonomi global yang diprediksi berlanjut pada tahun 2012;
iv. Harga minyak internasional pada awal tahun 2012 mengalami peningkatan seiring dengan terbatasnya pasokan minyak mentah dunia terkait ketegangan geopolitik di negara-negara teluk yang mempengaruhi pasokan minyak mentah dunia;
Kenaikan tersebut juga terjadi pada ICP, yang cenderung meningkat, jika dibandingkan dengan harga rata-ratanya selama tahun 2011. Perkembangan ini diperkirakan akan berlanjut sepanjang tahun 2012 sehingga asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama tahun 142 2012 diperkirakan mencapai US$105,0 (seratus lima koma nol dolar Amerika Serikat) per barel;
vi. Lifting minyak dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai 930 (sembilan ratus tiga puluh) ribu barel per hari, di bawah target dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Hal ini antara lain terkait dengan menurunnya kapasitas produksi dari sumur-sumur tua, dan dampak diberlakukannya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, penurunan tersebut juga dipengaruhi faktor unplanned shut down dan hambatan non-teknis seperti permasalahan di daerah dan lain-lain; vii. Perubahan pada besaran asumsi dasar ekonomi makro, pada gilirannya berpengaruh pula pada besaran APBN, dan akan diikuti dengan perubahan kebijakan fiskal dalam upaya untuk menyehatkan APBN melalui pengendalian defisit anggaran pada tingkat yang aman. (vide keterangan tertulis DPR); • Pasal 27 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juncto Pasal 42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 menyatakan, “ Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2012 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun _Anggaran 2012, apabila terjadi: _ i. perkiraan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi _yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2012; _ _ii. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; _ iii. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran _antarunit organisasi, antarprogram, dan/atau antarjenis belanja; dan/atau _ iv. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan” . • Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan hukum; 143 • Keinginan para Pemohon mengenai pengalihan subsidi pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya sebagaimana didalilkan, menurut Mahkamah adalah keinginan yang wajar, namun tidak berarti bahwa subsidi yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 menjadi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena hak yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, tidak hanya menjadi kewajiban Pemerintah untuk memenuhinya tetapi juga kewajiban para Pemohon sendiri untuk mengusahakannya. Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah salah satu cara Pemerintah sebagai representasi negara memenuhi Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan hukum; • Bahwa selanjutnya mengenai dalil para Pemohon bahwa dengan menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah, sebagaimana diketahui oleh khalayak ramai ( notoire feiten ), hasil pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah memutuskan untuk memberi kewenangan kepada Pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP ) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun 2012. Menurut Mahkamah, justru dengan adanya pembahasan antara Pemerintah dengan DPR tersebut berarti harga BBM bersubsidi tidak diserahkan pada mekanisme pasar atau persaingan usaha, melainkan ditentukan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan yang terjadi karena APBN berkaitan dengan banyak aspek. Dengan adanya pembahasan dan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah berarti penentuan harga BBM bersubsidi tersebut tidak dengan sendirinya mengikuti mekanisme pasar atau persaingan usaha karena penentuan harga BBM bersubsidi telah dimusyawarahkan oleh pembentuk Undang-Undang. Hal itu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004. Terlebih lagi faktanya, yang dikhawatirkan bahwa harga BBM akan mengalami kenaikan juga tidak terjadi. Dengan demikian, alasan pengujian para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang telah menyerahkan harga BBM bersubsidi kepada mekanisme pasar merupakan dalil yang tidak beralasan hukum; [3.17.2] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 mengizinkan Pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP ( Indonesia Crude Price ) naik rata-rata 15% (lima belas persen) dalam enam bulan tanpa persetujuan DPR sebagai wakil rakyat; • Selama Pemerintah menyandarkan penghitungan ICP pada mekanisme pasar maka penggunaan BBM untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak akan pernah terwujud. Pemerintah hanya akan mengutamakan aspek ekonomi, yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi ini daripada kemakmuran rakyat. Hal demikian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan ketidakpastian hukum di masyarakat menyangkut naik atau tidaknya harga BBM dan ketidakjelasan kapan dan berapa jumlah kenaikan harga BBM dalam jangka waktu enam bulan. Ketidakpastian hukum itu sendiri telah mengakibatkan ketidakadilan karena rakyat menjadi korban akibat ketidakpastian harga BBM namun harga-harga non BBM sudah terlanjur banyak yang naik, sedangkan pasar justru menikmati ketidakpastian ini dengan menaikkan harga-harga kebutuhan masyarakat sehingga tetap mendapatkan laba tertinggi dan tetap dapat melakukan akumulasi modal; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena harga minyak diserahkan pada mekanisme pasar yang menyebabkan Pemerintah mengutamakan aspek ekonomi yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi daripada kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, harus ada kedaulatan negara dalam menentukan harga 145 tanpa bersandar pada mekanisme pasar demi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian keberlakuan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 berpotensi menyebabkan kerugian bagi para Pemohon (buruh) dan masyarakat karena tidak dapat membeli harga BBM dengan harga ekonomis dan mendapatkan fungsi dari BBM yang sejatinya diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 menyatakan, “ Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya ”. Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) dinyatakan bahwa “ Yang dimaksud dengan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu berjalan adalah realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama 6 (enam) bulan terakhir ”. Dari Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak berarti Pemerintah menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR, karena pemberian wewenang kepada Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam pasal a quo adalah berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Waktu enam bulan justru memberikan kepastian hukum, karena Pemerintah harus memperhatikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu enam bulan sejak UU 4/2012 tersebut diundangkan (31 Maret 2012) baru dapat menyesuaikan harga BBM. Jika dalam kurun waktu enam bulan tersebut harga rata-rata minyak mentah Indonesia __ tidak mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 maka harga jual eceran BBM bersubsidi tidak disesuaikan. Terlebih lagi faktanya harga eceran BBM bersubsidi juga tidak mengalami kenaikan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adanya pertentangan antara Pasal 7 ayat (6a) dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan hukum; 146 • Mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 yang oleh para Pemohon didalilkan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena menyandarkan pada mekanisme pasar, menurut Mahkamah dalil tersebut telah dipertimbangkan Mahkamah dalam pertimbangan mengenai Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 dalam paragraf [3.17.1] , sehingga mutatis mutandis juga berlaku untuk dalil permohonan a quo . Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17.3] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 15A UU 4/2012 tidak dibahas dalam Sidang Paripurna tanggal 30 Maret 2012 dan telah ditentukan terlebih dahulu dalam rapat Badan Anggaran DPR RI yang tertutup untuk umum. Hal demikian mengakibatkan tidak adanya keterbukaan dalam proses penyusunan Pasal 15A UU 4/2012; • Pasal 15A UU 4/2012 tentang besaran alokasi dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menjadi tidak logis dan tidak mempunyai dasar karena telah ditentukan terlebih dahulu sebelum ditentukan masuk atau tidaknya Pasal 7 ayat (6a) dalam UU 4/2012 yang menjadi syarat dari Pasal 15A UU 4/2012. Oleh karena itu, menurut para Pemohon Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; • Dengan adanya Pasal 15A UU 4/2012 dimana Pemerintah mengalokasikan dana subsidi yang tidak jelas dasar dan tujuan kegunaannya daripada menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena tidak dapat merasakan manfaat secara langsung dari APBN 2012. Hal demikian jelas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 147 • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”, menurut Mahkamah frasa “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah terhadap pelaksanaan dari APBN yang setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang, sedangkan yang didalilkan oleh para Pemohon “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah berkaitan dengan proses penetapan APBN. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tafsiran terbuka yang termuat dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 seperti yang didalilkan para Pemohon adalah kurang tepat. Dengan demikian, menurut Mahkamah, keterbukaan yang dimaksudkan oleh para Pemohon tidak ada kaitannya dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan hukum; • Mengenai keterbukaan dalam proses pembahasan dan penetapan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana yang diterangkan oleh DPR dalam keterangan tertulisnya bertanggal Juni 2012, bahwa proses pembahasan dilakukan dalam suatu Rapat Kerja yang bersifat terbuka, sesuai dengan Pasal 240 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Tata tertib DPR Nomor 01/DPR RI/I/2009-2010 dan berdasarkan risalah-risalah Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan dalam pembahasan RUU APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 bahwa rapat bersifat terbuka dimana masyarakat dapat mengikuti proses rapat dan substansi yang dibahas (vide keterangan tertulis DPR halaman 21). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan hukum; • Pasal 15A UU 4/2012 menyatakan, “Dalam rangka membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga, dialokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp. 17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun 148 delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) termasuk anggaran untuk pengaman pelaksanaan (safeguarding)” . Ketentuan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 karena bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp.
088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) diberikan sebagai akibat gejolak harga ketika Pemerintah menaikkan harga eceran BBM bersubsidi. Hal tersebut sesuai dengan keterangan tertulis Pemerintah tanggal 1 Agustus 2012, halaman 17 yang menerangkan bahwa “ penyesuaian harga BBM bersubsidi tersebut berpotensi menaikkan harga pangan dan menurunnya daya beli dan tingkat kesejahteraan khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Penyesuaian harga BBM bersubsidi akan mengakibatkan naiknya inflasi menjadi di atas 7 persen, yang berpotensi menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran, serta dapat mengganggu keberlanjutan program pendidikan terutama bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 15A UU APBN- P 2012, pembuat undang-undang menetapkan program kompensasi atas penyesuaian harga BBM bersubsidi sebagai langkah antisipasi. Program kompensasi tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat miskin dari kemungkinan kenaikan harga, terutama dari jasa transportasi, serta mengurangi beban biaya hidup rumah tangga dan memberikan kompensasi biaya hidup _yang meningkat”; _ Bahwa Pasal 15A UU 4/2012 adalah pasal tambahan yang sebelumnya tidak terdapat dalam UU 22/2011. Hal demikian dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan, “Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran”. Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa “ Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan .” Oleh karena itu, pengalokasian anggaran untuk bantuan langsung 149 sementara masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A UU 4/2012 merupakan bentuk pengeluaran yang dapat timbul akibat adanya kebijakan kenaikan dan/atau penurunan subsidi harga eceran BBM; Menimbang bahwa selain pertimbangan-pertimbangan yang bersifat substantif tersebut, dalam praktik dan faktanya tidak terjadi kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam waktu enam bulan terakhir sejak UU 4/2012 diundangkan sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012. Pemberian wewenang kepada Presiden untuk mengubah harga BBM bersubsidi sesuai dengan Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, sudah terlampaui baik dihitung sejak Januari tahun 2012 maupun dihitung sejak diundangkannya UU 4/2012, tanggal 31 Maret 2012, sehingga pasal tersebut tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum; [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon tentang pengujian formil Undang-Undang masih dalam tenggang waktu yang ditentukan; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 150 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan : Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi para Pemohon; Dalam Pokok Permohonan: Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh delapan, bulan November, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu dua belas , selesai diucapkan pukul 15.32 WIB oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai 151 Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Achmad Sodiki ttd. Harjono ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva ttd. M. Akil Mochtar ttd. Anwar Usman PANITERA PENGGANTI, ttd. Cholidin Nasir
Kawasan Industri.
Relevan terhadap
Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pengelolaan Kawasan Industri.
Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada pemberi Izin Usaha Kawasan Industri. (3) Penunjukkan pengelolaan Kawasan Industri kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri yang bersangkutan. Pasal 17 (1) Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dan telah beroperasi, serta akan melakukan perluasan Kawasan Industri wajib memperoleh Izin Perluasan Kawasan Industri terlebih dahulu.
Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V HAK PENGGUNAAN ATAS TANAH KAWASAN INDUSTRI Pasal 18 (1) Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dapat diberikan Hak Guna Bangunan atas tanah yang telah dikuasai dan dikembangkan.
Hak Guna Bangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipecah menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling.
Pemecahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri.
Ketentuan dan tata cara pemberian Hak Guna Bangunan dan pemecahan Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 19 (1) Kawasan Industri yang dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Negara dan badan usaha milik daerah yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dapat diberikan Hak Pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di atas Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Guna Bangunan berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan untuk masing-masing kaveling atau gabungan beberapa kaveling. BAB VI KEWAJIBAN KAWASAN INDUSTRI Pasal 20 Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan lahan bagi kegiatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pasal 21 (1) Kawasan Industri wajib memiliki Tata Tertib Kawasan Industri.
Tata Tertib Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:
hak dan kewajiban masing-masing pihak;
ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan. c. ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan
ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola Kawasan Industri.
Kawasan Industri wajib memfasilitasi perizinan dan hubungan Industrial bagi Perusahaan Industri yang berada di Kawasan Industri. Pasal 22 (1) Kawasan Industri wajib memenuhi pedoman teknis Kawasan Industri (2) Ketentuan mengenai pedoman teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB VII KEWAJIBAN PERUSAHAAN INDUSTRI DI KAWASAN INDUSTRI Pasal 23 (1) Perusahaan Industri di dalam Kawasan industri wajib memiliki:
Upaya Pengelolaan Lingkungan; dan
Upaya Pemantauan Lingkungan.
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang mengelola atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan. http: //www.djpp.depkumham.go.id (3) Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut Gangguan, Izin Lokasi, dan pengesahan rencana tapak tanah. Pasal 24 (1) Setiap Perusahaan Industri di kawasan Industri wajib:
memenuhi semua ketentuan perizinan dan Tata Tertib Kawasan Industri yang berlaku;
memelihara daya dukung lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak melakukan pengambilan air tanah;
melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak pembelian lahan; dan
mengembalikan kaveling Industri kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak melakukan pembangunan pabrik.
Tata cara pengembalian kaveling Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib Kawasan Industri masing-masing Kawasan Industri. BAB VIII TIM NASIONAL KAWASAN INDUSTRI Pasal 25 (1) Timnas-KI bertugas:
memberikan usulan dan masukan kepada Menteri sebagai bahan penyusunan perumusan kebijakan;
melakukan pengawasan pelaksanaan pengembangan Kawasan Industri;
melakukan koordinasi dengan instansi Pemerintah terkait dan/atau pemerintah daerah serta Perusahaan Kawasan Industri;
melakukan evaluasi perkembangan Kawasan Industri; dan/atau mengusulkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan Industri di Kawasan Industri. e. Mengusulkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan industri di Kawasan Industri.
Keanggotaan Timnas-KI terdiri dari unsur Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan perhimpunan Kawasan Industri, Kamar Dagang dan Industri yang diangkat dan ditetapkan oleh Menteri.
Timnas-KI wajib melaporkan tugasnya kepada Menteri paling lama 1 (satu) kali setiap 6 (enam) bulan. BAB IX SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 26 (1) Menteri atau pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) sesuai dengan kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif kepada:
Perusahaan Industri yang melakukan perluasan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
Perusahaan Kawasan Industri yang tidak mematuhi penetapan patokan harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf d;
Perusahaan Kawasan Industri yang melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (1). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
peringatan tertulis;
pembekuan Izin Usaha Industri dan/atau Tanda Daftar Industri;
pembekuan Izin Usaha Kawasan Industri yang dimiliki;
pencabutan Izin Usaha Industri dan/atau Tanda Daftar Industri; dan/atau
pencabutan Izin Usaha Kawasan Industri. Pasal 27 Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf a dikenakan kepada Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat peringatan sebelumnya diterbitkan. Pasal 28 (1) Sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Industri atau Tanda Daftar Industri dikenakan kepada Perusahaan Industri apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat peringatan tertulis yang ketiga tidak memenuhi dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1).
Sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Kawasan Industri dikenakan kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat peringatan tertulis yang ketiga tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (1).
Dalam hal Perusahaan Industri telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau Perusahaan Kawasan Industri telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 22 ayat (1), Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri dapat mengajukan pembatalan pembekuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak diterbitkannya putusan pembekuan izin tersebut. http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 29 Sanksi administratif berupa pencabutan Izin Usaha Industri atau Tanda Daftar Industri dikenakan kepada Perusahaan Industri, atau pencabutan Izin Usaha Kawasan Industri dikenakan kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pembekuan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri tetap tidak memperbaiki kesalahannya atau permohonan pembatalan pembekuan izinnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) ditolak. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 30 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
Permohonan Izin Usaha Kawasan Industri yang diajukan sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku tetap diproses berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum Peraturan Pemerintah ini;
Perusahaan Industri baru atau perluasan usaha Industri yang telah memperoleh Persetujuan Prinsip sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku dapat tetap berlokasi sesuai dengan Persetujuan Prinsip tersebut;
Perusahaan Kawasan Industri yang telah mendapatkan Izin Usaha Kawasan Industri sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tetap dapat melaksanakan kegiatan sesuai dengan izin yang ditetapkan; PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN INDUSTRI I. UMUM Pembangunan Industri merupakan salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional, yang diarahkan dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan Industri yang berkelanjutan yang didasarkan pada aspek pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Saat ini pembangunan Industri sedang dihadapkan pada persaingan global yang sangat No. 4987 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 47) http: //www.djpp.depkumham.go.id berpengaruh terhadap perkembangan Industri nasional. Peningkatan daya saing Industri merupakan salah satu pilihan yang harus dilakukan agar produk Industri nasional mampu bersaing di dalam negeri maupun luar negeri. Langkah-langkah dalam rangka peningkatan daya saing dan daya tarik investasi yakni terciptanya iklim usaha yang kondusif, efisiensi, kepastian hukum, dan pemberian fasilitas fiskal serta kemudahan-kemudahan lain dalam kegiatan usaha Industri, yang antara lain dengan tersedianya lokasi Industri yang memadai yang berupa Kawasan Industri. Dalam rangka pelaksanaan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, maka sebagai upaya untuk mendorong pembangunan Industri perlu dilakukan pembangunan lokasi Industri yang berupa Kawasan Industri. Pembangunan Kawasan Industri merupakan sarana untuk mengembangkan Industri yang berwawasan lingkungan serta memberikan kemudahan dan daya tarik bagi investasi dengan pendekatan konsep efisiensi, tata ruang, dan lingkungan hidup. Aspek efisiensi merupakan suatu sasaran pokok pengembangan Kawasan Industri. Melalui pengembangan Kawasan Industri investor pengguna kaveling Industri (user) akan mendapatkan lokasi kegiatan Industri yang sudah tertata dengan baik, kemudahan pelayanan administrasi, ketersediaan infrastruktur yang lengkap, keamanan dan kepastian tempat usaha yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. Aspek tata ruang, pembangunan Kawasan Industri dapat mensinergikan perencanaan, prasarana dan sarana, penunjang seperti penyediaan energi listrik, telekomunikasi, fasilitas jalan, dan lain sebagainya. Aspek lingkungan hidup, dengan pengembangan Kawasan Industri akan mendukung peningkatan kualitas lingkungan hidup di daerah secara menyeluruh. Kegiatan Industri pada suatu lokasi pengelolaan, akan lebih mudah menyediakan fasilitas pengolahan limbah dan juga pengendalian limbahnya. Peraturan Pemerintah ini mengatur hal-hal meliputi kewenangan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan Kawasan Industri, kewajiban Perusahaan Industri untuk berlokasi di Kawasan Industri, Izin Usaha Kawasan Industri dan batas minimal luas Kawasan Industri, sanksi bagi Perusahaan Kawasan Industri maupun Perusahaan Industri yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Yang dimaksud dengan "menteri terkait" adalah menteri yang membidangi urusan yang terkait erat dengan pembangunan Industri seperti menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan dalam negeri, penataan ruang, infrastruktur, lingkungan hidup, keuangan, dan lain sebagainya. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "penetapan Kawasan Industri Tertentu" adalah kewenangan Menteri untuk menetapkan Kawasan Industri yang memerlukan lahan khusus serta industri mikro, kecil, dan menengah. Huruf b Cukup Jelas Huruf c Yang dimaksud dengan "pengamanan khusus" adalah segala usaha, pekerjaan, dan kegiatan dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan penanggulangan serta penegakkan hukum terhadap setiap ancaman dan gangguan yang ditujukan kepada Kawasan Industri. Ayat (2) Huruf a Penetapan Pedoman Teknis Kawasan Industri dimaksud untuk dijadikan acuan bagi Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan dunia usaha dalam mengembangkan Kawasan Industri (industrial estate) . Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan "patokan harga jual" adalah kisaran harga berdasarkan NJOP pada saat transaksi penjualan kaveling, yang ditetapkan berdasarkan hasil evaluasi Tim Nasional Kawasan Industri. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Cukup jelas http: //www.djpp.depkumham.go.id Huruf b Yang dimaksud dengan "kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan" adalah kemudahan dalam memperoleh lokasi dan hak atas tanah yang akan menjadi Kawasan Industri serta kemudahan dalam pembangunan Kawasan Industri, misalnya perizinan, prasarana dan sarana pendukung Kawasan Industri. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "Industri yang menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus" antara lain Industri semen, Industri pupuk, Industri kertas, Industri galangan kapal, dan sebagainya. Huruf b Cukup jelas Huruf C Cukup Jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Persetujuan Prinsip diberikan dalam rangka persiapan pembangunan Kawasan Industri. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "sarana penunjang" antara lain instalasi penyediaan air bersih, saluran buangan air hujan, air kotor, instalasi penyediaan dan jaringan distribusi tenaga listrik, penerangan jalan, jaringan telekomunikasi, dan unit pemadam kebakaran. Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup Jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "dikembangkan" adalah adanya kegiatan penyusunan rencana tapak tanah (site plan) . Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 19 Cukup Jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup Jelas Pasal 24 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "pengambilan air tanah" adalah pengambilan air tanah dalam yang dilakukan oleh Perusahaan Industri yang bersangkutan di dalam Kawasan Industri. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "perhimpunan Kawasan Industri" adalah wadah berhimpunnya Perusahaan Kawasan Industri. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas http: //www.djpp.depkumham.go.id Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas LDj © 2004 ditjen pp
Sistem Informasi Keuangan Daerah
Relevan terhadap
Pemerintah menyelenggarakan SIKD secara nasional dengan tujuan:
merumuskan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional;
menyajikan informasi keuangan daerah secara nasional;
merumuskan kebijakan keuangan daerah, seperti Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Pengendalian defisit anggaran; dan
melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan Desentralisasi, Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Pinjaman Daerah, dan defisit anggaran daerah.
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.