Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangkan Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan ...
Relevan terhadap 1 lainnya
Dalam rangka percepatan transisi energi di sektor Ketenagalistrikan, pemerintah memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan.
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan kebijakan transisi energi yang berkeadilan dan terjangkau oleh pemerintah, dengan:
pengaturan mekanisme pendanaan dan pembiayaan termasuk blended finance , melalui Platform Transisi Energi;
pemberian dukungan fiskal melalui Platform Transisi Energi; dan
pengaturan mekanisme yang terkoordinasi dan terintegrasi yang diperlukan untuk pengelolaan Platform Transisi Energi.
bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (9) Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, pemerintah dapat memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan, termasuk blended finance yang ditujukan untuk mempercepat transisi energi;
bahwa guna mewujudkan transisi energi yang berkeadilan dan terjangkau serta mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dalam bauran energi nasional sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional, perlu memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan untuk percepatan pengakhiran waktu operasi pembangkit listrik tenaga uap, percepatan pengakhiran waktu operasi kontrak perjanjian jual beli listrik pembangkit listrik tenaga uap, dan/atau pengembangan pembangkit energi terbarukan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (10) Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan;
Komite Pengarah memiliki tugas:
menentukan proyek yang akan diajukan untuk memperoleh fasilitas Platform Transisi Energi, termasuk memutuskan prioritas pemanfaatan Platform Transisi Energi;
mengusulkan rekomendasi skema fasilitas Platform Transisi Energi;
mengevaluasi kebijakan dan pengelolaan Platform Transisi Energi serta memberikan arahan dari hasil evaluasi tersebut;
mengoordinasikan penyelesaian permasalahan pengelolaan Platform Transisi Energi; dan
mengembangkan kerja sama lintas kementerian terkait transisi energi.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komite Pengarah memiliki wewenang:
memberikan arahan terkait pengelolaan Platform Transisi Energi untuk memastikan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan tujuan dan prinsip pengelolaan Platform Transisi Energi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini;
memberikan masukan terkait opsi penyediaan dukungan fiskal melalui Platform Transisi Energi untuk memastikan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kebijakan pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
memberikan arahan terkait pelaksanaan koordinasi dengan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan Platform Transisi Energi; dan
memberikan pertimbangan, masukan, dan/atau persetujuan yang diperlukan oleh Manajer Platform dalam rangka pengelolaan Platform Transisi Energi.
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Relevan terhadap 4 lainnya
Sinergi bagan akun standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf d dilakukan paling sedikit melalui penyelarasan program dan kegiatan serta keluaran dengan kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 175 Pemerintah dapat memberikan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan TKD dalam hal Pemerintah Daerah tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 sampai dengan Pasal 174. Pasal 176 Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 didukung dengan:
penyusunan konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional sesuai dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Daerah;
penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional; dan
pemantauan dan evaluasi pendanaan desentralisasi. Pasal L77 Pemerintah membangun sistem informasi pembangu.nan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi lainnya melalui platform digital yang terinterkoneksi dengan sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional. Pasal 178 Dalam rangka penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 huruf b, Pemerintah Daerah menyediakan informasi keuangan Daerah secara digital dalam ^jaringan. Pasal 179 (1) Pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala paling sedikit terhadap:
pelaksanaan TKD; dan
pelaksanaan APBD. (2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177. (3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan fiskal nasional, TKD, dan/atau pemberian sanksi atau insentif kepada Pemerintah Daerah. Pasal 180 Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 sampai dengan Pasal 179 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. BAB IX KETENTUAN PIDANA Pasal 181 (1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. (2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pasal 182 Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir. Pasal 183 Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pasal 184 Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 185 Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181, Pasa1 183, dan Pasal 184 merupakan pendapatan negara.
Peralihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif Keuangan ...
Relevan terhadap
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku: a, Bappebti tetap melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Iftipto serta Derivatif keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor perdagangan berjangka komoditi sampai dengan waktu bera.lihnya tugas pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. b. Bappebti dapat melakukan tindakan:
memberikan dan memperpanjang perizir: an ^produk, pihak, dan kegiatan terkait dengan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan yang berada di bawah pengaturan dan pengawasannya; dan
mengeluarkan regulasi yang terkait dengan kebijakan strategis terkait dengan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan ^yang c berada di bawah pengawasannya, sampai dengan waktu beralihnya tugas ^penga.turan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, setel,ah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Bank Indonesia. c Perizinan, persetujuan, produk atau instrumen serta keputusan dan/atau ^penetapan lainnya yang terkait dengan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan yang telah diterbitkan Bappebti berdasarkan ketentuan ^peraturan undangan di sektor berjangka komoditi sebelum beralihnya tugas pengaturan dan ^pengawasan, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan ^peraturan ^perundang-undangan. dan/atau d.
Penyelesaian perselisihan dan penyidikan atas perkara Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan yang sedang dilaksanakan Bappebti sebelum waktu beralihnya tugas pengaturan dan pengawasan dimaksud dalam Pasal 3, tetap diselesaikan Bappebti. Pasal 8 (l) Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, untuk melaksanakan peralihan tugas pengaturan dan pengawas.rn Aset Keuangan Digital termasuk Aset Iftipto serta Derivatif keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappebti membentuk tim transisi. (21 Tim transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (t) bertugas:
melakukan identifikasi dan penyampaian dats dan/atau informasi paling sedikit mengenai transaksi dan mekanisme transaksi, pelaku, kegiatan, dan sarana dan prasarana infrastruktur pasar atau infrastruktur transaksi atau pasar atau infrastruktur pendukung dalam pelaksanaan transaksi Aset Keuangan Digital termasuk Aset Ikipto serta Derivatif keuangan yang akan dialihkan;
melakukan pemetaan dan reviu perizinan dan regulasi terkait Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan;
melakukan evaluasi terhadap kesiapan dan pelaku usaha di bidang Aset Keuangan Digital termasuk Aset Iftipto serta Derivatif keuangan; d, menyiapkan sumber daya untuk menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Iftipto serta Derivatif keuangan; dan
Tim transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diketuai oleh Otoritas Jasa Keuangan. (4) Struktur dan keanggotaan tim transisi ditetapkan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Bappebti. (5) Tim transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini sampai dengan waktu beralihnya tugas dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 9 (U Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sampai dengan beralihnya tugas pengaturan dan pengawasan Aset Keuangan Drytal termasuk Aset Iftipto serta Derivatif keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, untuk kepentinga.n pengaturan, perizinan, dan pengawasan, Bappebti menyerahkan salinan dokumen dan/atau data terkait Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan yang telah diperoleh dan/atau dimiliki Bappebti kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Indonesia sesuai dengan kewenangannya. (21 Penyerahan salinan dokumen dan/atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk berita acara serah terima antara Bappebti dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal Agar penempatannya Indonesia. Peraturan Pemerintah ini dengan dalam Lembaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2024 PRABOWO SUBIANTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2024 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PRASEIYO HADI ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2024 TENTANG PERALIHAN TUGAS PENGATURAN DAN PENGAWASAN ASET KEUANGAN DIGITAL TERMASUK ASET KRIPTO SERTA DERIVATIF KEUANGAN I. UMUM Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Undang-Undang PPSK) mengatur mengenai upaya Pemerintah, regulator, dan pemangku kepentingan di sektor keuangan guna peranan intermediasi sektor memperkuat resiliensi sistem keuangan nasional, serta pertumbuhan ekonomi yang kuat, inklusif, dan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Merujuk pada pengaturan dalam Pasal 3L2 ayat ^(2) Undang-Undang PPSIK yang ketentuan tuga.s pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan Aset Keuangan Digitat termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan, ^yang sebelumnya diatur dan diawasi oleh Bappebti, selanjutnya dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Peralihan tugas pengaturan dan penga.wasan dari Bappebti kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Bank Indonesia dimaksudkan antara lain untuk:
meningkatkan daya saing dan efisiensi sektor keuangan; b, mengembangkan instrumen di sektor keuangan dan memperkuat mitigasi risiko;
meningkatlan upaya pelindungan konsumen sektor keuangan;
memperkuat wewenang, tanggung ^jawab, tugas, dan fungsi regulator sektor keuangan; PUBUX INDONESIA -2- fungsi koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappebti; dan memperkuat ketahanan stabilitas sistem keuangan. Keseluruhan tujuan dari peralihan tugas pengaturan dan pengawasan sebagaimana tersebut di atas pada akhimya untuk mendukung penerapan prinsip terhadap aktivitas dan risiko yang sanra atau serupa diatur dengan regulasi yang setara (sane adivitg, same rish sane regulation) sehingga mendorong terciptanya kesetaraan pengaturan dan pengawasat (leuel plagins fieW), dan terciptanya keadilan (faims). Pokok pikiran dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain memuat mengenai perathan tugas pengaturan dan pengawasan dari Bappebti kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Bank Indonesia, koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappebti selarna proses dan setelah beralihnya tugas pengaturan dan pengawasan Aset Keuangan Drgrtal termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan, dan pengaturan mengenai tim transisi. Melalui pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini, proses peralihan dan pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan yang beralih dari Bappebti kepada Otoritas Jasa Keuangan dan/atau Bank Indonesia terhadap kegiatan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto serta Derivatif keuangan diharapkan berjalan dengan baik, sehingga memberikan dampak positif bagi pengembangan dan penguatan sektor keuangan. II. PASALDEMIPASAL Pasal 1 Cukup ^jelas. Pasal 2 Cukup ^jelas. Pasal 3 Cukup ^jelas. Pasal 4 Cukup ^jel,as. Pasal 5 Cukup ^jelas. e f. EIIFIITTIIIItrNITIf, -3- Pasal 6 Ayat (1) Koordinasi Otoritas Jasa Keuanga.n, Bank Indonesia, dan/atau Bappebti dilakukan dalam rangka pengaturan dan pengawasan setara. Koordinasi Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan/atau Bappebti diperlukan antara lain:
dalam rangka pembentukan peraturan lembaga untuk memberikan klarifikasi ranah kewenangan instrumen dan menghindari duplikasi pengaturan;
ketika terjadi perkembangan produk Derivatif dan terjadi persinggungan kewenangan lintas sektord lcross-anttingil, misalnya seiring dengan perkembangan pasar, terdapat produk Derivatif campuran seperti strudured ptodud; dan
dalam rangka lebih mendorong agar transaksi Derivatif dilakukan melalui mekanisme transaksi bursa dengan tduan untuk mencapai pasar yang efisien. Hurufa Contoh: Jika terdapat kontrak berjangka dengan underlqing obligasi Pemerintah yang berada dibawah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan maka diperlukan koordinasi dengan Bank Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Derivatif obligasi Pemerintah merupakan kontrak berjangka yang mengacu kepada yreld surat berharga negara sebagai cerminan dari suku bunga dan berada dalam kewenangan Bank Indonesia. Huruf b Contoh:
Jika terdapat transaksi Derivatif Pasar Valuta Asing ^yang pelaku pasarnya antarbank, koordinasi dilakukan antara Bank Indonesia sebagai pengawas stabilitas nilai Rupiah dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai ^pengawas perbankan. 2. Jika terdapat transaksi Derivatif Pasar Valuta Asing ^yang pelaku pasarnya antar non-bank, koordinasi dilakukan antara Bank Indonesia sebagai pengawas stabilitas nilai Rupiah dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai ^pengawas industri keuangan non-bank. standar REPI.TELIK INDONESIA -4- 3. Jika terdapat infrastruktur pasar yang digunakan dalam antarpasar, koordinasi Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan/atau diperlukan agar dapat dilakukan pengawasan dan mitigasi risiko secara terintegrasi. Huruf c Cukup ^jelas. Ayat (21 Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (4) Cukup ^jelas. Pasal 7 Cukup ^jelas. Pasal 8 Cukup ^jelas. Pasd 9 Ayat (1) Salinan dokumen dan/atau data yang diserahkan oleh Bappebti kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia merupakan salinan dokumen dan/atau data baik yang berbentuk fisik nraupun yang berbentuk elektronik. Ayat ^(2) Cukup ^jelas. Pasal lO Cukup ^jelas. Pasal lt Cukup ^jelas. Pasal 12 Cukup ^jelas. Pasal 13 Cukup ^jelas. Pasal 14 Cukup ^jelas. Pasal 15 Cukup ^jelas.
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ...
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah ini diundangkan. mulai berlaku pada tanggal Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam Lembaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3O Mei 2024 JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Mei 2024 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 89 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2024 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 96 TAHUN 2021 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA I. UMUM Bahwa pemberian kepastian investasi melalui deregulasi kebijakan dan debirokratisasi di sektor Mineral dan Batubara terus dilakukan dalam bentuk penyesuaian ketentuan peraturan perundang-undangan. Salah satu bentuk debirokratisasi yang dilakukan adalah penyesuaian ketentuan batasan lingkup dan definisi dari RKAB yang diharapkan dapat mewujudkan penyederhanaan tata waktu dan pelaksanaan evaluasinya. Selain itu, sebagai bentuk komitmen Pemerintah dalam pelaksanaan program hilirisasi nasional yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan ekonomi dalam mencapai pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan diperlukan suatu instrumen yang menjamin investasi hilirisasi yang telah dilakukan dalam bentuk pemberian ^jaminan kepastian ^jangka waktu kegiatan usaha di bidang pertambangan sesuai dengan parameter evaluasi yang harus terlebih dahulu dilakukan pemenuhan kriteria dan persyaratannya. Dengan pengaturan kembali substansi mengenai RKAB serta penyesuaian ketentuan IUPK yang telah diterbitkan sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2O2O tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Peraturan Pemerintah ini, diharapkan dapat menjadi bentuk nyata upaya Pemerintah dalam penyempurnaan tata kelola di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran ralgrat. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup ^jelas. Angka 2 Pasal 22 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "mendapat dukungan" antara lain dalam bentuk kerja sama atau dukungan teknis/operasional dari perusahaan lain yang bergerak di bidang Pertambangan. Huruf b Cukup ^jelas Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Ayat (a) Huruf a Yang dimaksud dengan "surat keterangan dari akuntan publik" adalah surat yang menjelaskan kondisi keuangan perusahaan baru. Huruf b Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pengurus dan pemegang saham. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Angka 3 Pasal 48 Ayat (1) Konservasi Mineral dan Batubara dilakukan melalui peningkatan status keyakinan data dan informasi geologi berupa sumber daya dan/atau cadangan termasuk penemuan cadangan baru pada WIUP Operasi Produksi. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas. Ayat (a) Cukup ^jelas Ayat (5) Cukup ^jelas Ayat (6) Cukup ^jelas Angka 4 Pasal 54 Cukup ^jelas. Angka 5 Pasal 56 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan "kepemilikan saham secara tidak langsung" adalah kesamaan penerima manfaat akhir (beneficial ownef dengan pemegang IUP, minimal kepemilikan pemegang IUP 3O% (tiga puluh persen). Angka 2 Cukup ^jelas. Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan "kepemilikan saham secara tidak langsung" adalah kesamaan penerima manfaat akhir (beneficial ownefl dengan pemegang IUP, minimal kepemilikan pemegang IUP 30% (tiga puluh persen). Angka 2 Cukup ^jelas. Angka 3 Cukup ^jelas Ayat (2) Cukup ^jelas Angka 6 Pasal 79 Ayat (1) Cukup ^jelas. Ayat (2) Cukup ^jelas. Ayat (3) Cukup ^jelas Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan "mendapat dukungan" antara lain dalam bentuk kerja sa.ma atau dukungan teknis/operasional dari perrrsahaan lain yang bergerak di bidang Pertambangan. Huruf b Cukup ^jelas. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas Ayat (5) Huruf a Yang dimaksud dengan "surat keterangan dari akuntan publik" adalah surat yang menjelaskan kondisi keuangan perusahaan baru. Huruf b Surat keterangan fiskal yang dipersyaratkan meliputi surat keterangan fiskal pengurus dan pemegang saham. Huruf c Cukup ^jelas. Huruf d Cukup ^jelas. Angka 7 Cukup ^jelas. Angka 8 Pasal 83A Ayat (1) Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf ^j Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2O2O tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2OO9 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara berwenang melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas. Penawaran WIUPK secara prioritas dimaksudkan guna memberikan kesempatan yang sama dan berkeadilan dalam pengelolaan kekayaan alam. Selain itu, implementasi kewenangan Pemerintah tersebut juga ditujukan guna pemberdayaan (empoweing) kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan. Yang dimaksud dengan "organisasi kemasyarakatan keagamaan" adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang salah satu organnya menjalankan kegiatan ekonomi serta bertujuan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/ umat. Ayat (2) Cukup ^jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan" adalah larangan untuk pemindahtanganan dalam hal izin telah diberikan. Ayat (a) Cukup ^jelas. Ayat (5) Cukup ^jelas. Ayat (6) Cukup ^jelas. Ayat (7) Cukup ^jelas. Angka 9 Pasal 1O4 Cukup ^jelas. Angka 1O Pasal 1O9 Cukup ^jelas. Angka 11 Pasal 1 1 1 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Yang dimaksud dengan "kepemilikan saham secara tidak langsungl adalah kesamaan penerima manfaat akhir (beneficial ownefl dengan pemegang IUPK, minimal kepemilikan pemegang IUPK 3O% (tiga puluh persen). Huruf b Angka 1 Yang dimaksud dengan "kepemilikan saham secara tidak langsung" adalah kesamaan penerima manfaat akhir lbeneficial ownefl dengan pemegang IUPK, minimal kepemilikan pemegang IUPK 3O% (tiga puluh persen). Angka 2 Cukup ^jelas Angka 3 Cukup ^jelas Ayat (2) Cukup ^jelas. Angka 12 Pasal 12O Cukup ^jelas. Angka 13 Pasal 162 Cukup ^jelas. Angka 14 Pasal 177 Cukup ^jelas. Angka 15 Pasal 180 Cukup ^jelas. Angka 16 Pasal 183 Cukup ^jelas. Angka 17 Angka 17 Pasal 195A Yang dimaksud dengan "IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian" mengikuti ketentuan yang tercantum dalam surat keputusan IUPK Operasi Produksi dan termasuk perubahannya. Pasal 195El Cukup ^jelas Pasal II Cukup ^jelas.
Pengelolaan Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2024 untuk Penghargaan Kinerja Tahun Berjalan
Relevan terhadap
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan Insentif Fiskal.
Pemantauanterhadap pengelolaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
laporan rencana penggunaan;
penyaluran dari RKUN ke RKUD; dan
laporan realisasi penyerapan anggaran dan realisasi keluaran.
Evaluasi terhadap pengelolaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
kebijakan pengalokasian Insentif Fiskal;
mekanisme penyaluran Insentif Fiskal;
realisasi penyaluran Insentif Fiskal; dan
penggunaan dan capaian keluaran Insentif Fiskal.
Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan Insentif Fiskal tahun anggaran berikutnya.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang diberikan kepada daerah atas pencapaian kinerja berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja Pemerintah Daerah dapat berupa pengelolaan keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar yang mendukung kebijakan strategis nasional, dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional.
Insentif Fiskal untuk Penghargaan Kinerja Tahun Berjalan yang selanjutnya disebut Insentif Fiskal Kinerja Tahun Berjalan adalah Insentif Fiskal yang diberikan kepada Pemerintah Daerah yang berkinerja baik pada tahun berjalan.
Insentif Fiskal untuk Penghargaan Kinerja Tahun Berjalan Kategori Kinerja dalam rangka Pengendalian Inflasi yang selanjutnya disebut Insentif Fiskal Kategori Pengendalian Inflasi Daerah adalah Insentif Fiskal yang diberikan kepada Pemerintah Daerah yang berkinerja baik pada tahun berjalan berdasarkan kinerja pengendalian inflasi daerah.
Insentif Fiskal untuk Penghargaan Kinerja Tahun Berjalan Kelompok Kategori Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat yang selanjutnya disebut Insentif Fiskal Kelompok Kategori Kesejahteraan Masyarakat adalah Insentif Fiskal yang diberikan kepada Pemerintah Daerah yang berkinerja baik di tahun berjalan meliputi kategori penghapusan kemiskinan ekstrem, penurunan stunting , penggunaan produk dalam negeri, dan percepatan belanja daerah.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari BUN yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran BUN, yang disusun menurut BA BUN.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor Daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
Belanja Daerah yang Ditandai untuk Inflasi yang selanjutnya disebut Belanja Penandaan Inflasi adalah belanja Daerah yang digunakan untuk pengendalian inflasi.
Belanja Daerah yang Ditandai untuk Kemiskinan Ekstrem yang selanjutnya disebut Belanja Penandaan Kemiskinan Ekstrem adalah belanja Daerah yang digunakan untuk mendukung percepatan penanggulangan kemiskinan ekstrem di Daerah.
Belanja Daerah yang Ditandai untuk Stunting yang selanjutnya disebut Belanja Penandaan Stunting adalah belanja Daerah yang digunakan untuk mendukung percepatan penurunan stunting di Daerah.
Indikasi Kebutuhan Dana TKD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKD.
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disebut Aplikasi OM- SPAN adalah aplikasi yang digunakan dalam rangka memonitoring transaksi dalam sistem perbendaharaan dan anggaran negara dan menyajikan informasi sesuai dengan kebutuhan yang diakses melalui jaringan berbasis web .
Administrator Pusat adalah pegawai negeri sipil yang bertugas untuk melakukan penelitian terhadap persyaratan penyaluran Insentif Fiskal.
Administrator Daerah adalah aparatur sipil negara Daerah yang ditugaskan untuk mengelola, menyusun, dan menyampaikan persyaratan penyaluran Insentif Fiskal.
Insentif Fiskal Kelompok Kategori Kesejahteraan Masyarakat untuk kategori kinerja penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4) huruf c dihitung berdasarkan kinerja penggunaan produk dalam negeri.
Kinerja penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan data:
besaran rencana umum pengadaan penyedia produk dalam negeri dan usaha mikro dan kecil;
transaksi rencana umum pengadaan penyedia produk dalam negeri dan usaha mikro dan kecil;
transaksi e-purchasing produk dalam negeri dan usaha mikro dan kecil; dan
anggaran belanja barang dan jasa dan belanja modal.
Penghitungan kinerja penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk Daerah yang mempunyai nilai rasio rencana umum pengadaan penyedia produk dalam negeri dan usaha mikro dan kecil paling rendah 40% (empat puluh persen).
Rasio rencana umum pengadaan penyedia produk dalam negeri dan usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan menggunakan rumus: rencana umum pengadaan penyedia produk dalam negeri dan usaha mikro dan kecil anggaran belanja barang dan jasa + anggaran belanja modal (5) Penghitungan nilai kinerja kategori penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut: 80% (delapan puluh persen) X transaksi rencana umum pengadaan penyedia produk dalam negeri dan usaha mikro dan kecil + 20% (dua puluh persen) X transaksi e- purchasing produk dalam negeri dan usaha mikro dan kecil anggaran belanja barang dan jasa + anggaran belanja modal anggaran belanja barang dan jasa + anggaran belanja modal (6) Data nilai kinerja penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c bersumber dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Data nilai kinerja penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d bersumber dari Kementerian Keuangan.
Data yang digunakan sebagai data kinerja penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c merupakan data periode bulan Januari 2024 sampai dengan bulan Juni 2024.
Data yang digunakan sebagai data kinerja penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf d merupakan data tahun anggaran 2024.
Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kekayaan Negara Dipisahkan oleh Bendahara Umum Negara
Relevan terhadap
Menteri selaku pengelola fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, memiliki kewenangan:
menyusun kebijakan umum pengelolaan PNBP;
menetapkan Rencana PNBP dalam rangka penyusunan rancangan APBN dan/atau rancangan perubahan APBN;
melakukan pengawasan terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban PNBP;
meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan Pemeriksaan PNBP; dan
melaksanakan kewenangan lain di bidang PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengelolaan Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2024 untuk Penghargaan Kinerja Tahun Sebelumnya
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN INSENTIF FISKAL TAHUN ANGGARAN 2024 UNTUK PENGHARGAAN KINERJA TAHUN SEBELUMNYA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 4. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota. 5. Daerah Tertinggal adalah Daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan Daerah lain dalam skala nasional. 6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang. selanjutnya disingkat APED adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah. 8. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan jdih.kemenkeu.go.id mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 9. Insentif Fiskal adalah dana yang bersumber dari APBN yang diberikan kepada Daerah atas pencapaian Kinerja berdasarkan kriteria tertentu berupa perbaikan dan/atau pencapaian Kinerja pemerintahan daerah antara lain pengelolaan keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar, dukungan terhadap kebijakan strategis nasional, dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional. 10. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara. 11. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga. 12. Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari BUN yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran BUN, yang disusun menurut BA BUN. 13. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 14. Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor Daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. 15. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. 16. Indikasi Kebutuhan Dana Transfer ke Daerah yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana TKD adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan TKD. 17. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral. 18. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Kepala Daerah untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan. 19. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. jdih.kemenkeu.go.id 20. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat J enderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala kantor wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 21. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 22. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA. 23. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 24. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan dan kesesuaian formil dokumen persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. 25. Administrator Pusat adalah pegawai negeri sipil yang bertugas untuk melakukan penelitian terhadap persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. 26. Administrator Daerah adalah aparatur sipil negara Daerah yang ditugaskan untuk mengelola, menyusun, dan menyampaikan persyaratan penyaluran Insentif Fiskal. Pasal 2 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi pengelolaan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya. BAB II PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLAAN INSENTIF FISKAL Pasal 3 (1) Dalam rangka pengelolaan Insentif Fiskal, Menteri selaku Pengguna Anggaran BUN Pengelola TKD menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pemimpin PPA BUN Pengelola TKD;
Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan;
Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan; dan
Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. (2) Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi Insentif Fiskal. jdih.kemenkeu.go.id (3) Dalam ha! pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri menunjuk Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (4) Dalam ha! pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri menunjuk pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (5) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitifyang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c:
tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan. b. masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN tidak dapat melaksanakan tugas. (6) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan Pejabat pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA definitif. (7) Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dalam ha! Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif atau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPABUN. (8) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (9) Penggantian KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. jdih.kemenkeu.go.id (1) (2) Pasal 4 KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung;
menyusun RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;
menyampaikan RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;
menandatangani RKA BUN TKD untuk Insentif Fiskal yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD; menyusun DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal; dan menyusun dan menyampaikan rekomendasi penyaluran dan/atau penundaan Insentif Fiskal e. f. kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;
menyusun proyeksi penyaluran dan rencana penarikan dana TKD untuk Insentif Fiskal;
mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan penyaluran Insentif Fiskal;
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
melakukan verifikasi terhadap rekomendasi BUN Pengelola Khusus, dan f. penyaluran Insentif Fiskal dari KPA Dana Desa, Insentif, Otonomi Keistimewaan; melaksanakan penyaluran InsentifFiskal berdasarkan rekomendasi penyaluran dari KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD jdih.kemenkeu.go.id menggunakan aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan dan anggaran negara; dan
melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran Insentif Fiskal melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu BUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran Insentif Fiskal kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan dan anggaran negara;
menyusun proyeksi penyaluran Insentif Fiskal sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui aplikasi cash planning _information network; _ dan c. menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelola TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD, KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, serta koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak bertanggung jawab atas penggunaan Insentif Fiskal oleh Pemerintah Daerah. BAB III PENGANGGARAN Pasal 6 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan mengusulkan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD. (2) Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
perkembangan dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal dalam 3 (tiga) tahun terakhir;
arah kebijakan Insentif Fiskal; dan/atau
kemampuan keuangan negara. (3) Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana TKD untuk Insentif Fiskal. (4) Pemimpin PPA BUN Pengelola TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat jdih.kemenkeu.go.id (2) kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya. (5) Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berdasarkan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. (6) Menteri menetapkan pagu indikatif Insentif Fiskal dengan mempertimbangkan Indikasi Kebutuhan Dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB IV PENGALOKASIAN Pasal 7 (1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya berdasarkan pagu indikatif Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). (2) Penghitungan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan penilaian kinerja Daerah. (3) Penilaian kinerja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada:
nilai peningkatan kinerja; dan / a tau b. nilai capaian kinerja tahun terakhir. (4) Alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibagikan kepada Daerah yang berkinerja baik. Pasal 8 Pengalokasian Insentif Fiskal setiap Daerah untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) berdasarkan:
klaster Daerah;
kriteria utama; dan
kategori kinerja. Pasal 9 (1) Klaster Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a terdiri atas:
klaster A, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal sangat tinggi dan tinggi menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal;
klaster B, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal sedang menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal;
klaster C, merupakan Daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan sangat rendah menurut provinsi/kabupaten/kota, dan tidak termasuk kategori Daerah Tertinggal; dan jdih.kemenkeu.go.id d. klaster D, merupakan Daerah dengan kategori Daerah Tertinggal. (2) Kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c sesuai Peraturan Menteri mengenai kapasitas fiskal Daerah. (3) Daerah Tertinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sesuai Peraturan Presiden mengenai Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2020-2024. Pasal 10 (1) Kriteria utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b diatur dengan ketentuan:
klaster A menggunakan indikator:
opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah 5 (lima) tahun terakhir; dan
ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD dalam 1 (satu) tahun terakhir. b. klaster B menggunakan indikator:
opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah untuk 2 (dua) tahun terakhir; dan
ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD, dalam 1 (satu) tahun terakhir. c. klaster C menggunakan indikator ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD, dalam 1 (satu) tahun terakhir. d. klaster D tidak menggunakan kriteria utama. (2) Ketepatan waktu atas penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Pasal 11 (1) Kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c terdiri atas:
kinerja pengelolaan keuangan pemerintah;
kinerja pelayanan dasar;
kinerja dukungan terhadap fokus kebijakan nasional; dan
kinerja sinergi kebijakan pemerintah. (2) Kategori kinerja pengelolaan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas variabel:
tingkat kemandirian Daerah yang didasarkan pada perbandingan realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap produk domestik regional bruto non minyak dan gas bumi;
interkoneksi sistem informasi keuangan daerah; dan
sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan. (3) Kategori kinerja pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas variabel: jdih.kemenkeu.go.id a. bayi dibawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap;
indeks standar pelayanan minimal pendidikan;
akses sanitasi layak;
pengelolaan air minum;
penurunan tingkat pengangguran terbuka; dan
indeks pembangunan manusia. (4) Kategori kinerja dukungan terhadap fokus kebijakan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas variabel:
penurunan prevalensi _stunting; _ b. penurunan presentase penduduk miskin; dan
pengendalian inflasi daerah. (5) Kategori kinerja sinergi kebijakan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas:
kelompok inovasi, meliputi variabel:
inovasi Daerah;
inovasi pelayanan publik; dan
pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan;
kelompok pelayanan, meliputi variabel:
penghargaan pembangunan daerah;
pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha; dan
percepatan dan perluasan digitalisasi daerah; dan
kelompok integritas meliputi variabel tingkat persepsi korupsi. Pasal 12 (1) Data indikator opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 1 dan huruf b angka 1 bersumber dari Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Data:
indikator penetapan Peraturan Daerah mengenai APBD tepat waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a angka 2, huruf b angka 2, dan huruf c; dan
realisasi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a bersumber dari Kementerian Keuangan. (3) Data interkoneksi sistem informasi keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b merupakan hasil penilaian dari Kementerian Keuangan. (4) Data:
produk domestik regional bruto non minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a;
akses sanitasi layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf c;
penurunan tingkat pengangguran terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf e;
indeks pembangunan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf f; dan jdih.kemenkeu.go.id e. penurunan persentase penduduk miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf b, bersumber dari Badan Pusat Statistik. (5) Data sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) buruf c dan data inovasi pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 2 merupakan basil penilaian dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. (6) Data bayi di bawah 2 (dua) tabun yang mendapat imunisasi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf a dan penurunan prevalensi stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf a bersumber dari Kementerian Kesebatan. (7) Data indeks standar pelayanan minimal pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf b merupakan basil penilaian dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. (8) Data pengelolaan air minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) buruf d merupakan basil penilaian dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (9) Data pengendalian inflasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) buruf c merupakan basil penilaian Tim Pengendali Inflasi Daerab dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (10) Data inovasi Daerab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 1 merupakan basil penilaian dari Kementerian Dalam Negeri. (11) Data pengelolaan lingkungan bidup dan kebutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf a angka 3 merupakan basil penilaian dari Kementerian Kebutanan dan Lingkungan Hidup. (12) Data pengbargaan pembangunan Daerab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf b angka 1 merupakan basil penilaian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (13) Data pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf b angka 2 merupakan basil penilaian dari Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. (14) Data tingkat persepsi korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) buruf c merupakan basil survei penilaian integritas dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Penilaian kinerja untuk:
kinerja pengelolaan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) buruf a;
variabel bayi di bawab 2 (dua) tabun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat provinsi, indeks standar pelayanan minimal pendidikan, akses sanitasi layak, pengelolaan air m1num, penurunan tingkat jdih.kemenkeu.go.id (2) (3) (4) pengangguran terbuka, dan indeks pembangunan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf f;
variabel penurunan prevalensi stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf a dan penurunan persentase penduduk miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf b; dan
variabel pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf b angka 2 dan variabel tingkat persepsi korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf c, dihitung berdasarkan nilai peningkatan kinerja dan nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a dan huruf b. Penilaian kinerja untuk:
variabel bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf a;
variabel pengendalian inflasi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) huruf c; dan
variabel inovasi daerah, inovasi pelayanan publik, pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, penghargaan pembangunan daerah, dan percepatan dan perluasan digitalisasi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, huruf b angka 1, dan angka 3, dihitung berdasarkan nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b. Penghitungan nilai kinerja Daerah pada kategori kinerja:
pengelolaan keuangan pemerintah variabel interkoneksi sistem informasi keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dilakukan untuk Daerah yang mendapatkan nilai capaian tahun terakhir paling rendah 95 (sembilan puluh lima). b. sinergi kebijakan pemerintah variabel pelayanan terpadu 1 (satu) pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (5) huruf b angka 2 dilakukan terhadap Daerah yang mendapatkan nilai capaian tahun terakhir paling • rendah 80 (delapan puluh). Nilai peningkatan kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a, dihitung sebagai berikut:
menghitung nilai peningkatan kinerja dengan rumus:
..(Data t - Data t-1) mla1 penmgkatan kinerja = . 1 . . 1 ( Keterangan: Datat Data t-1 Nilai maksimal nil a1 ma s1ma - Data t-1) data capaian tahun terakhir = data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum Data t nilai capaian maksimal dari variabel jdih.kemenkeu.go.id (5) (6) (7) b. nilai maksimal sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk variabel:
tingkat kemandirian Daerah, sistem informasi keuangan daerah, sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan, bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap untuk tingkat provinsi, indeks standar pelayanan minimal pendidikan, akses sanitasi layak, pengelolaan air minum, indeks pembangunan manusia, pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha, dan tingkat persepsi korupsi sebesar 100 (seratus);
penurunan prevalensi stunting, penurunan persentase penduduk miskin, dan penurunan tingkat pengangguran terbuka sebesar 0 (nol). Nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b merupakan nilai capaian kinerja paling mutakhir yang tersedia untuk setiap variabel. Nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk variabel penurunan tingkat pengangguran terbuka, penurunan prevalensi stunting, penurunan persentase penduduk miskin, dan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf e, ayat (4) huruf a, dan huruf b, dilakukan standarisasi dengan rumus: variabelii - variabelmaks ii Std variabelii = . . + 1 vanabelminij - vanabelmaksij Keterangan: Std variabelii variabelii variabelmaks ij variabelmin ij 1 J nilai standar Daerah tiap-tiap variabel dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D = nilai variabel Daerah provinsi/kabupaten/kota dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D = nilai maksimal Daerah provinsi/kabupaten/kota tiap-tiap variabel dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D = nilai minimal provinsi/kabupaten/kota variabel dalam Klaster B/Klaster C/Klaster D = tingkat pemerintahan provinsi/kabupaten/kota Daerah tiap-tiap A/Klaster daerah = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D Nilai capaian kinerja tahun terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, ayat (4) huruf c, dan ayat (5) dilakukan standarisasi dengan rumus: jdih.kemenkeu.go.id (8) (9) (10) . variabelij - variabelmin ij Std vanabelii = . . +1 Keterangan: Std variabelii = vanabelmaksij - vanabelminij nilai standar Daerah tiap-tiap kategori/variabel dalam 'Klaster A/Klaster B/Klaster C variabelii = nilai kategori/variabel Daerah variabelmaks ij = variabelmin ii 1 J Nilai kinerja ketentuan: provinsi/kabupaten/kota dalam Klaster A/Klaster B/Klaster C nilai maksimal provinsi/ kabupaten / kota variabel dalam Klaster B/Klaster C/Klaster D nilai minimal provinsi/ kabupaten/ kota variabel dalam Klaster B/Klaster C/Klaster D tingkat pemerintahan provinsi/ kabupaten/ kota jenis Klaster A/Klaster Daerah tiap-tiap A/Klaster Daerah tiap-tiap A/Klaster daerah B/Klaster C/Klaster D Daerah setiap variabel dihitung dengan a. variabel bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat kabupaten/kota, pengendalian inflasi daerah, inovasi daerah, inovasi pelayanan publik, pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, penghargaan pembangunan daerah, dan percepatan dan perluasan digitalisasi daerah dihitung dengan menggunakan nilai standar capaian kinerja tahun terakhir;
variabel tingkat kemandirian Daerah, sistem informasi keuangan daerah, sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan, bayi di bawah 2 (dua) tahun yang mendapat imunisasi lengkap tingkat provinsi, indeks standar pelayanan minimal pendidikan, akses sanitasi layak, pengelolaan air minum, penurunan tingkat pengangguran terbuka, indeks pembangunan manusia, penurunan prevalensi stunting, penurunan persentase penduduk miskin, pelayanan terpadu satu pintu dan percepatan pelaksanaan berusaha, dan tingkat persepsi korupsi dihitung dengan menggunakan rata-rata jumlah nilai standar peningkatan kinerja dan nilai standar capaian kinerja tahun terakhir. Nilai kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c merupakan penjumlahan nilai kinerja Daerah tiap-tiap variabel pada kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) sampai dengan ayat (4). Nilai kinerja tiap-tiap kelompok variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dihitung dengan tahapan:
Penjumlahan nilai kinerja tiap variabel; dan jdih.kemenkeu.go.id b. Melakukan normalisasi dengan membagi nilai penjumlahan sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan nilai maksimal penjumlahan sebagaimana dimaksud pada huruf a per klaster per provinsi/kabupaten/kota. (11) Nilai kategori kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dihitung dengan menggunakan rumus: Nilai kategori kinerja = (30% x (nilai kinerja kelompok variabel inovasi)) + (30% x (nilai kinerja kelompok variabel pelayanan)) + (40% x (nilai kinerja kelompok variabel integritas)) Pasal 14 (1) Dalam ha! Pemerintah Daerah memiliki nilai data capaian tahun terakhir dan nilai data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum data capaian tahun terakhir sebesar nilai maksimal pada variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), nilai peningkatan kinerja diberi nilai sebesar 2 (dua). (2) Dalam ha! Pemerintah Daerah memiliki nilai data capaian tahun terakhir sebesar nilai maksimal dan nilai data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum data capaian tahun terakhir sebesar kurang dari nilai maksimal pada variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), nilai peningkatan kinerja diberi nilai sebesar 1 (satu). (3) Dalam ha! Pemerintah Daerah tidak memiliki data capaian tahun terakhir dan/atau nilai data 1 (satu) tahun atau lebih sebelum data capaian tahun terakhir untuk variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), tidak diperhitungkan nilai peningkatan kinerja. (4) Dalam ha! Pemerintah Daerah tidak memiliki nilai data capaian tahun terakhir perhitungan untuk variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), tidak diperhitungkan nilai capaian tahun terakhir. Pasal 15 Daerah yang mendapatkan alokasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan Daerah yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
memenuhi kriteria utama untuk klaster A, klaster B, dan klaster C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf c;
mendapatkan nilai kinerja Daerah dengan peringkat terbaik untuk tiap-tiap kategori sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
jumlah daerah dengan peringkat terbaik untuk tiap klaster per kategori kinerja didasarkan pada proporsi jumlah daerah di tiao klaster d engan rincian: Klaster Proporsi Jumlah Daerah Jumlah Daerah Peringkat Terbaik A 30% 9 Provinsi 3 Provinsi 44 Kota 13 Kota jdih.kemenkeu.go.id 91 Kabupaten 27 Kabupaten B 25% 9 Pravinsi 2 Pravinsi 19 Kata 5 Kata 77 Kabuoaten 19 Kabuoaten C 20% 16 Pravinsi 3 Pravinsi 30 Kata 6 Kata 185 Kabuoaten 37 Kabuoaten D 30% 62 Kabupaten 19 Kabupaten Pasal 16 Penentuan alakasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 per Daerah dihitung dengan tahapan sebagai berikut:
nilai kinerja daerah dengan peringkat terbaik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dilakukan standardisasi untuk tiap klaster per kategari kinerja per daerah pravinsi/kabupaten/kata dengan menggunakan rumus:
C. nilai daerahij - nilai terendahij nilai tertinggiij - nilai terendahij Keterangan: X 0,3 + 1 1 = tingkat pemerintahan daerah pravinsi/kabupaten/ kata j = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D pagu per kategari kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pagu Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya; pagu per klaster per pravinsi/kabupaten/kata untuk tiap kategari kinerja dihitung dengan menggunakan rumus: Pagu per klaster per provinsi/kabupaten/kota Keterangan: jumlah Daerah peringkat terbaikij jumlah Daerah terbaik kategori kinerja X pagu kategori kinerja 1 = tingkat pemerintahan daerah pravinsi/kabupaten/ kata j = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D d. alakasi per Daerah per kategari kinerja dihitung dengan menggunakan rumus: Nilai kinerja daerah Pagu per I k . ah dengan peringkat terbaiku [ klaster per ) a o as, per Daer . 1 ^h .1 . ki . X . . 1 k t • ki • = JUm a m a1 nerJa prov1ns1 per a egon nerJa Daerah dengan peringkat kabupaten/ terbaikij kota Keterangan: 1 = tingkat pemerintahan daerah pravinsi/kabupaten/ kata j = jenis Klaster A/Klaster B/Klaster C/Klaster D e. alakasi Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya per Daerah merupakan penjumlahan alakasi kategari kinerja untuk tiap daerah sebagaimana dimaksud pada huruf d. jdih.kemenkeu.go.id BABV PENYALURAN Pasal 17 (1) KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal atau perubahan DIPA BUN TKD untuk Ins en tif Fiskal. (2) Penyusunan DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal atau perubahan DIPA BUN TKD untuk Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 18 (1) Dalam rangka penyaluran Insentif Fiskal, KPA BUN Pengelola Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun dan menyampaikan rekomendasi penyaluran Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f kepada KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan melalui Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD. (2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan mempertimbangkan waktu proses penerbitan SPP/SPM/SP2D BUN serta ketentuan rencana penarikan dana. (3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar bagi pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM untuk melakukan penerbitan SPP atau SPM BUN penyaluran Insentif Fiskal. (4) Penerbitan SPP, SPM, dan SP2D dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pencairan APBN bagian atas beban anggaran BUN pada KPPN. Pasal 19 (1) Penyaluran Insentif Fiskal dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD. (2) Dalam hal terdapat perubahan atas RKUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah wajib menyampaikan permohonan perubahan RKUD kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilampiri:
asli rekening koran dari RKUD; dan
salinan keputusan Kepala Daerah mengenai penunjukan bank tempat menampung RKUD. Pasal 20 (1) Penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut: jdih.kemenkeu.go.id a. tahap I, disalurkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi dan dilakukan paling cepat bulan Februari tahun anggaran berjalan; dan
tahap II, disalurkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pagu alokasi dan dilakukan paling cepat bulan Juli tahun anggaran berjalan. (2) Penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima:
Peraturan Daerah mengenai APBD tahun anggaran berjalan;
rencana penggunaan Insentif Fiskal; dan
laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal bagi Daerah yang mendapatkan Insentif Fiskal pada tahun anggaran sebelumnya, dari Pemerintah Daerah paling lambat tanggal 20 Juni tahun anggaran berjalan. (3) Penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I dari Pemerintah Daerah paling lambat tanggal 20 November tahun anggaran berjalan. (4) Laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menunjukkan penyerapan paling rendah 70% (tujuh puluh persen) dari dana yang diterima di RKUD. (5) Rencana penggunaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditandatangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau sekretaris Daerah. (6) Laporan realisasi penyerapan dana insentif daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau pejabat pengelola keuangan Daerah. (7) Dalam hal persyaratan penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya belum diterima sampai dengan batas waktu tanggal 20 Juni tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tanggal 20 November tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tidak disalurkan. (8) Dalam ha! tanggal 20 Juni tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tanggal 20 November tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, penyampaian persyaratan penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya dilakukan pada hari kerja berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id (9) Rencana penggunaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal bagi Daerah yang mendapatkan Insentif Fiskal tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dan laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya tahap I sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disusun dalam format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 21 (1) Pemerintah Daerah menyusun dan menyampaikan laporan bulanan realisasi penyerapan Insentif Fiskal kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya. (2) Penyampaian laporan bulanan realisasi penyerapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat pengelola keuangan Daerah. (3) Dalam hal tanggal penyampaian laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, penyampaian laporan bulanan dilakukan pada hari kerja berikutnya. (4) Laporan bulanan realisasi penyerapan Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 22 (1) Dalam rangka monitoring penggunaan sisa dana insentif daerah sampai dengan tahun anggaran 2022 dan/atau sisa Insentif Fiskal tahun anggaran 2023, Pemerintah Daerah menyampaikan laporan rencana penggunaan dan laporan realisasi penyerapan sisa dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (2) Laporan rencana penggunaan dan laporan realisasi penyerapan sisa dana insentif daerah dan/ a tau Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 23 Dokumen:
laporan persyaratan penyaluran Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b dan huruf c dan ayat (4);
laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau jdih.kemenkeu.go.id C. laporan rencana penggunaan dan penyerapan sisa dana insentif daerah Fiskal laporan realisasi dan/atau Insentif disusun dan disampaikan melalui portal pada laman http: I I sikd.djpk.kemenkeu.go.idl did Pasal 24 (1) Pemerintah Daerah penerima Insentif Fiskal menyampaikan surat usulan Administrator Daerah yang memuat data pegawai yang ditugaskan untuk mengelola, menyusun, dan menyampaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan. (2) Administrator Daerah menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah. (3) Laporan pelaksanaan Insentif Fiskal yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicetak dan ditandangani dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan rencana penggunaan Insentif Fiskal ditandangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau sekretaris Daerah;
laporan realisasi penyerapan Insentif Fiskal ditandangani oleh Kepala Daerah, wakil Kepala Daerah atau pejabat pengelola keuangan Daerah; dan
laporan bulanan realisasi penyerapan Insentif Fiskal ditandatangani oleh pejabat pengelola keuangan Daerah. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditandatangani dengan menggunakan tanda tangan elektronik atau tanda tangan basah. (5) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan tanda tangan basah, laporan dimaksud dibubuhi cap dinas. (6) Laporan pelaksanaan Insentif Fiskal yang telah ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipindai dan diunggah dalam bentuk arsip data komputer dengan format portable document format melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah. (7) Laporan yang diunggah melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) selanjutnya dilakukan Verifikasi oleh Administrator Pusat. (8) Dalam hal hasil Verifikasi sebagai dimaksud pada ayat (7) menunjukkan bahwa laporan pelaksanaan Insentif Fiskal belum sesuai, Pemerintah Daerah melakukan perbaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sesuai dengan catatan Administrator Pusat. (9) Perbaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diunggah kembali melalui aplikasi sistem informasi keuangan Daerah. (10) Laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan perbaikan laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada jdih.kemenkeu.go.id ayat (9) diterima paling lambat pukul 17.00 Waktu Indonesia Barat, sesuai dengan ketentuan batas waktu penyampaian tiap-tiap laporan pelaksanaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) serta pasal 21 ayat (1). BAB VI PENGGUNAAN Pasal 25 (1) Insentif Fiskal untuk penghargaan kinerja tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 digunakan untuk mendanai kegiatan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah yang manfaatnya diterima dan/atau dirasakan langsung oleh masyarakat dan mendukung:
pengendalian inflasi;
penurunan _stunting; _ c. peningkatan investasi; dan/atau
penurunan kemiskinan. (2) Sisa dana insentif daerah sampai dengan tahun anggaran 2022 dan/atau Insentif Fiskal Tahun Anggaran 2023 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, digunakan untuk mendanai kegiatan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah yang manfaatnya diterima dan/atau dirasakan langsung oleh masyarakat dan mendukung:
pengendalian inflasi Daerah;
penurunan prevalensi _stunting; _ c. peningkatan investasi;
penurunan kemiskinan;
pelayanan pendidikan; dan / a tau f. pelayanan kesehatan. (3) Dalam hal daerah:
belum memenuhi penggunaan dana insentif daerah tahun 2021 sebesar 30% bidang kesehatan dan 10% bidang pendidikan; dan/atau
belum memenuhi penggunaan dana insentif daerah tahun 2022 se besar 21 % bi dang kesehatan dan 10% bidang Pendidikan sisa dana insentif daerah tahun 2021 dan/atau tahun 2022 harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban tersebut. (4) Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sisa dana insentif daerah dan/atau Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat digunakan untuk mendanai:
gaji, tambahan penghasilan, dan honorarium; dan
perjalanan dinas. jdih.kemenkeu.go.id BAB VII PENATAUSAHAAN,PELAPORAN,DAN PERTANGGUNGJAWABAN Pasal 26 (1) Dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan BA BUN TKD, pemimpin PPA Pengelolaan BUN menyusun laporan keuangan TKD sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan TKD. (2) Laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pertanggungjawaban pengelolaan Insentif Fiskal. (3) Laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh unit eselon II Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang ditunjuk selaku unit akuntansi dan pelaporan keuangan PPA BUN Pengelola TKD menggunakan sistem aplikasi terintegrasi. (4) Penatausahaan, akuntansi, dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran, KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan menyusun laporan keuangan tingkat KPA dan menyampaikan kepada pemimpin PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD, dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan disusun setelah dilakukan rekonsiliasi data realisasi anggaran transfer dengan KPPN selaku Kuasa BUN dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pedoman rekonsiliasi dalam rangka penyusunan laporan keuangan; dan
laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan disampaikan secara berjenjang kepada PPA BUN Pengelola TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan jadwal penyampaian laporan keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian laporan keuangan BUN. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tingkat KPA BUN Penyaluran Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. (6) Dalam rangka penyusunan laporan keuangan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tingkat Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD dengan ketentuan sebagai berikut:
laporan keuangan tingkat koordinator KPA BUN Penyaluran TKD disusun setelah dilakukan penyampaian data elektronik akrual transaksi Insentif Fiskal selain transaksi realisasi anggaran transfer ke dalam sistem aplikasi terintegrasi; dan jdih.kemenkeu.go.id b. laporan keuangan tingkat koordinator KPA BUN Penyaluran TKD disampaikan kepada PPA BUN Pengelola TKD sesuai dengan jadwal penyampaian laporan keuangan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan dengan memperhatikan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara dan penyampaian laporan keuangan BUN. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data elektronik akrual transaksi Insentif Fiskal selain transaksi realisasi anggaran transfer, penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tingkat Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(2) (3) (4) BAB VIII PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasal 27 Jenderal Jenderal Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Perimbangan Keuangan dan Direktorat Perbendaharaan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan Insentif Fiskal. Pemantauan terhadap pengelolaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
laporan rencana penggunaan;
penyaluran dari RKUN ke RKUD; dan
laporan realisasi penyerapan anggaran dan realisasi keluaran. Evaluasi terhadap pengelolaan Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
kebijakan pengalokasian Insentif Fiskal;
mekanisme penyaluran Insentif Fiskal;
realisasi penyaluran Insentif Fiskal; dan
penggunaan dan basil keluaran Insentif Fiskal. Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan Insentif Fiskal tahun anggaran berikutnya. BAB IX PENUNDAAN DAN/ATAU PENGHENTIAN PENYALURAN INSENTIF FISKAL Pasal 28 (1) Dalam hal Kepala Daerah penerima Insentif Fiskal melakukan tindak pidana korupsi, Menteri dapat mengajukan surat permohonan kepada lembaga penegak hukum mengenai status hukum Kepala Daerah. (2) Dalam hal Kepala Daerah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi oleh lembaga penegak hukum, Menteri dapat:
melakukan penundaan penyaluran Insentif Fiskal pada tahun anggaran berjalan yang belum disalurkan; dan/atau jdih.kemenkeu.go.id b. melakukan penghentian penyaluran Insentif Fiskal pada tahun anggaran berjalan sebesar pagu alokasi Insentif Fiskal yang belum disalurkan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penundaan dan/atau penghentian penyaluran Insentif Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri. (4) Dalam hal status tersangka Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicabut, Menteri dapat melakukan penyaluran kembali atas penundaan dan/atau penghentian penyaluran Insentif Fiskal. (5) Pencabutan status tersangka Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada keterangan/penjelasan yang disampaikan oleh lembaga penegak hukum yang disampaikan sebelum tanggal 20 November tahun anggaran berjalan. (6) Dalam hal keterangan/penjelasan yang disampaikan oleh lembaga penegak hukum yang disampaikan setelah tanggal 20 November tahun anggaran berjalan, tidak dapat dilakukan penyaluran kembali atas penundaan dan/atau penghentian penyaluran Insentif Fiskal. BABX KETENTUANPENUTUP Pasal 29 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Dana Insentif Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1282), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan untuk Memproduksi Barang dan/atau Jasa oleh Industri Sektor Tertentu yang Terdampak Pandem ...
Relevan terhadap
bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah menimbulkan kerugian material yang semakin besar yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan penerimaan negara, dan mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional;
bahwa untuk mengantisipasi dampak dari pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) terhadap produktivitas sektor industri tertentu, ketersediaan bahan baku industri di dalam negeri, serta penyerapan tenaga kerja, perlu memberikan insentif fiskal atas impor barang dan bahan untuk proses produksi barang jadi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara, serta menjaga stabilitas ekonomi;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang dan ketentuan Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan untuk Memproduksi Barang dan/atau Jasa oleh Industri Sektor Industri Tertentu yang Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
Menteri c.q. Kepala Badan Kebijakan Fiskal dan/atau Pembina Sektor Industri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pemberian BM DTP atas impor atau pengeluaran Barang dan Bahan untuk memproduksi barang dan/atau jasa oleh perusahaan Industri Sektor Tertentu.
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 Tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Da ...
Relevan terhadap
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008, Nomor 166 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6514) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 186, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6542);
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah melalui Badan Usaha Penjaminan yang Ditunjuk dalam rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 660);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan ...