PUTUSAN Nomor 128/PUU-VII/2009 PUTUSAN Nomor 128/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1] Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2] Nama : Prof. Moenaf Hamid Regar Tempat tanggal lahir /umur : Bogor, 9 September 1930 / 78 tahun Agama : Islam Pekerjaan : Guru Besar Emeritus pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : Jalan Dr. Hamzah Nomor 8 (Lama Nomor 7), Medan 20154 Nomor telepon : 061 821 1778 Nomor HP : 081396858330 E-mail : mhregar2002@yahoo.com Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 17 Maret 2009 memberikan kuasa sepenuhnya kepada Prof. Dr. Mariam Darus, S.H., T Septiansyah Q Riza, S.H., LL.M dan Fery Astuti, S.H. , advokat-advokat pada kantor Mariam Darus & Partners, kedudukan di Menara Kuningan Lantai 7 Unit E-F, Jalan HR Rasuna Said Kavling 5 Jakarta Selatan 12940; Selanjutnya disebut sebagai...……………………………………….…………… Pemohon ; 2 [1.3] Membaca permohonan dari Pemohon; Mendengar keterangan dari Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah; Memeriksa bukti-bukti; Mendengar keterangan ahli dari Pemohon dan ahli dari Pemerintah; Membaca kesimpulan tertulis dari Pemohon dan Pemerintah;
DUDUK PERKARA [1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 5 Oktober 2009 yang diterima dan diregistrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 7 Oktober 2009 dengan Nomor 128/PUU-VII/2009, dan telah diperbaiki yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 2 November 2009; I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya di sebut UUD 1945) juncto Pasal 10 ayat (1) a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya di sebut UU MK), dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
Bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia hendak mengajukan permohonan pengujian materiil muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang Pajak Penghasilan (selanjutnya di sebut UU PPh) yang bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 sebagaimana disebutkan di bawah ini;
Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, Mahkamah Konstitusi mempunyai kompetensi (kewenangan) untuk memeriksa permohonan Pemohon mengenai pengujian materiil UU PPh terhadap UUD 1945; 3 II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON 4. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan: “Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara” 5. Bahwa Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan ”hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah menentukan 5 (lima) syarat kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK sebagai berikut:
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945.
ii. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya. iii. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
iv. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya.
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak lagi terjadi.
Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia (Bukti P-3) yang adalah juga seorang akademikus (Bukti P-4) yang dikenakan beban kewajiban membayar Pajak Penghasilan sebagaimana yang diatur dalam UU PPh. Pemohon merasa sangat berkepentingan dan dirugikan hak konstitusionalnya oleh sejumlah materi/muatan dalam beberapa Pasal UU PPh, yaitu: Pasal 4 ayat 4 (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8).
Bahwa pasal-pasal, ayat-ayat dan bagian huruf tersebut di atas telah jelas-jelas sangat merugikan Pemohon, yaitu hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 terutama Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4), yang telah dilanggar secara aktual oleh keberadaan pasal-pasal, ayat-ayat dan bagian huruf UU PPh dimaksud;
Bahwa kerugian konstitusional yang dialami Pemohon telah memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005, yang akan diuraikan berikut ini:
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945. Bahwa Pasal 23A UUD 1945 mengatakan bahwa “ pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang ”. __ Pasal 28D ayat (1) mengatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, pelindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28G ayat (1) mengatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H ayat (4) mengatakan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Pasal-pasal di atas mempunyai pengertian bahwa adalah merupakan kewenangan konstitusional dari warga negara untuk mengatur mengenai pajak melalui wakil-wakil di Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dengan mengeluarkan Undang-Undang mengenai pajak. Dan adalah merupakan hak konstitusional bagi 5 setiap orang dalam kehidupan bernegara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, termasuk dalam hal pengenaan beban pajak yang ditanggung rakyat. Adalah juga merupakan hak konstitusional dari warga negara untuk mempunyai hak milik, yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang, kecuali dikehendaki oleh Undang-Undang.
ii. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dan warga negara yang lainnya sebagaimana dimaksud di atas dianggap telah dirugikan oleh pasal-pasal UU PPh yang saat ini dimohonkan pengujiannya, karena ternyata pajak yang Pemohon bayarkan tidak didasarkan atas Undang-Undang tetapi menurut Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan/atau Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini Pemohon telah dirugikan karena kesalahan UU PPh yang memberikan wewenang kepada yang tidak berhak untuk menetapkan pajak, sedangkan UUD 1945 dengan tegas mengatakan bahwa pajak berdasarkan Undang-Undang. Pajak adalah beban yang Pemohon harus tanggung dan beban tersebut di dalam negara demokrasi hanya dapat ditetapkan dengan persetujuan rakyat melalui DPR atau berdasarkan Undang-Undang. Ternyata DPR menyerahkan hak tersebut kepada pihak yang tidak berhak yaitu Pemerintah, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak seperti disebutkan dalam UU PPh. Bahwa kerugian yang Pemohon alami dengan diberikannya kewenangan oleh UU PPh kepada Pemerintah, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak adalah karena Pemohon sebagai warga negara (melalui DPR) tidak dapat menentukan pengaturan atas pajak sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945. iii. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa kerugian aktual yang merugikan Pemohon dan warga negara lainnya adalah dengan pemberian wewenang kepada Pemerintah, antara lain dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (selanjutnya 6 disebut PP 131/2000) yang mengatur mengenai pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk bunga deposito. Jika tidak ada ketentuan mengenai pemberian wewenang pengaturan dengan Peraturan Pemerintah seperti disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh, maka Pemohon dan warga negara lainnya dapat dikenakan pajak yang lebih kecil ataupun mungkin tidak dikenakan pajak. Tetapi karena ada kententuan itu maka Pemohon dirugikan karena membayar pajak 20% yang seharusnya lebih kecil atau tidak dikenakan pajak; Bahwa di samping itu, bagi Pemohon selaku seorang akademikus tidak ada dosa yang lebih besar dari pada mengajarkan sesuatu yang salah. Pemohon menjadi warga kampus sejak Tahun 1951 sebagai mahasiswa dan sebagai staf pengajar sejak Tahun 1959 dan mengajarkan pajak terutama UU PPh sejak beberapa tahun yang lalu hingga sekarang. Kesimpulan hasil penelitian dan analisis yang Pemohon lakukan sejak Undang-Undang mulai berlaku Tahun 1984 ternyata UU PPh mengandung beberapa kesalahan yang bertentangan dengan UUD 1945. Merupakan kewajiban moral dan akademis bagi Pemohon sebagai seorang akademikus untuk berusaha agar peraturan yang diajarkan sesuai dengan kebenaran, karena fungsi dari seorang pengajar pada universitas adalah mengatakan yang benar sebagai bagian dari hak dan kewajibannya. Ternyata UU PPh adalah salah dan bertentangan dengan UUD 1945. Permohonan yang dimohonkan ini merupakan bagian dari hak dan kewajiban Pemohon sebagai pengajar di universitas dan bila hak Pemohon ini tidak dikabulkan merupakan kerugian akademis bagi Pemohon karena gagal untuk mempertahankan kebenaran karena berdasarkan keyakinan Pemohon bahwa Undang-Undang yang salah tidak diperbaiki.
iv. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Bahwa dengan dilimpahkannya wewenang pengaturan kepada Pemerintah, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak, yang kemudian mengeluarkan peraturan mengenai pajak, jelas-jelas telah mengakibatkan kerugian yang nyata bagi Pemohon dan warga negara lainnya karena tidak dapat menentukan atau mengatur diri sendiri (melalui DPR) mengenai pajak sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 23A UUD 1945. 7 V. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak lagi terjadi. Bahwa apabila Mahkamah Konstitusi menyetujui permohonan Pemohon dan menyatakan pasal-pasal yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian materiil tidak mempunyai kekuatan hukum, maka Pemohon dan warga negara tidak akan dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya karena dapat mengatur dan menentukan pajak sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 23A UUD 945 melalui lembaga DPR. Kerugian kehilangan hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk menentukan nasib sendiri yang merupakan ciri dari negara berkedaulatan rakyat, hak untuk memperoleh keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan hak milik pribadi yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang, tidak akan dialami lagi oleh Pemohon apabila permohonan ini dikabulkannya.
Bahwa dengan demikian Pemohon berpendapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon dan permohonan ini telah memenuhi kwalifikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK; III. ALASAN PERMOHONAN 11. Bahwa ketentuan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 mempunyai pengertian bahwa adalah merupakan hak konstitusional bagi setiap orang dalam kehidupan bernegara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, termasuk dalam hal pengenaan beban pajak yang ditanggung rakyat.
Bahwa hak konstitusional yang dimaksud diatas dalam UU PPh belum sepenuhnya terwujud terhadap Pemohon sendiri termasuk rakyat yang lain. Landasan tentang kepastian hukum dan keadilan dalam masalah pajak yang seharusnya ditentukan oleh UUD 1945 dan juga UU PPh, ternyata sebagian kewenangan tersebut oleh UU PPh diserahkan kepada peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan seperti ini tidak sepenuhnya dapat 8 menjamin kepastian hukum yang adil seperti disebutkan pada Pasal 28D UUD 1945.
Bahwa dalam hal kewajiban pembayaran pajak, yang merupakan hak konstitusional rakyat adalah bahwa pajak ditetapkan dengan Undang-Undang dan bukan dengan peraturan yang lebih rendah, sebagaimana juga dianut di negara lain seperti Amerika Serikat yang dijelaskan oleh seorang penulis seperti berikut: “In this country, local, state, and federal tax laws are the result of democratic systems in which elected or appointed representatives decide on the appropriate tax structure.” ( Sally M. Jones, Principles of Taxation , p. 15) Demikian juga seorang penulis Indonesia terkenal mengenai pajak mengatakan: “Jadi setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan Undang- Undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan keputusan Presiden atau berdasarkan Peraturan Pemerintah atau berdasarkan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah dari pada Undang-Undang,” (Prof. Dr _H. Rochmat Sumitro S,H.: _ Asas dan Dasar Perpajakan 1 , hal. 7, 1998) 14. Bahwa secara universal ditafsirkan bahwa pajak terdiri dari unsur-unsur “objek pajak” (yang menjadi sasaran pajak), “subjek pajak” (siapa penanggung pajak) “tarif pajak” (jumlah atau beban pajak) dan “sangsi pajak” sebagai hukuman terhadap pelangggaran pajak. Hal ini juga disebut pada Penjelasan UU PPh yang mengatakan bahwa UU PPh mengatur materi yang menyangkut subjek pajak, objek pajak dan tarif pajak. Tanpa ada unsur-unsur ini tidak ada pajak.
Bahwa Pajak adalah suatu pemaksaan terhadap rakyat untuk membayar pajak, dan pemaksaan dengan legal hanya dapat dilakukan melalui proses politik dengan persetujuan rakyat melalui wakilnya di DPR dengan Undang-Undang. Berbeda dengan pemaksaan tanpa persetujuan rakyat, dengan penggunaan kekuasaan absolut serta kekerasan yang sama dengan perampokan, seperti disebutkan oleh seorang penulis: ”…the government has the power to force one group to give its resources to an _other group. This transfer has been likened to theft, with one mayor difference: _ while both are involuntarily transfers, transfers through the government wear the mantle of legality and respectability conferred upon them by the political process.” 9 (p. 385) “The slogan ‘Taxation without representation is tyranny” provided one of the central motifs of the revolution.” (Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector , W. W. Norton Company & Co., New York, p.386). Oleh sebab itu keempat unsur ini wajib ditetapkan dengan Undang-Undang, dan tidak dapat didasarkan atas peraturan yang lebih rendah dari itu seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Undang-Undang adalah hasil keputusan melalui wakil rakyat di DPR bersama-sama dengan Pemerintah. Keputusan Pemerintah adalah keputusan yang bukan keputusan bersama dengan rakyat melalui DPR, hanya ditetapkan dengan kewenangan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan adalah keputusan Menteri yang merupakan pembantu Presiden, sedangkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak adalah keputusan dari seorang pegawai negeri yang membantu Menteri Keuangan yang berkaitan dengan pajak. Ketiga jenis peraturan ini (Keputusan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak) hanya melaksanakan Undang-Undang dan tidak dapat disamakan dengan Undang-Undang, dan oleh sebab itu tidak dapat menetapkan objek pajak, subjek pajak, beban pajak dan sanksi pajak.
Bahwa ditinjau dari pembayar pajak, dimana Pemohon adalah salah satu pembayar pajak, Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945 tersebut adalah merupakan hak konstitusional semua pembayar pajak. Semua peraturan pelaksana perpajakan tidak dapat mengatur keempat unsur yang disebutkan itu. Oleh sebab itu setiap penetapan keempat unsur yang dilakukan dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tidak menjamin kepastian hukum yang adil dan oleh sebab itu bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945.
Bahwa negara lain seperti Amerika Serikat juga menganut prinsip yang sama mengenai pengenaan pajak dengan Undang-Undang melalui wakil rakyat, seperti disebutkan dalam Konstitusi negara tersebut (Article 8, Section 8) yang mengatakan: : ” The Congress shall have power to levy and collect Taxes, Duties, Imposts, and Excises, to pay the Debts and provide for the common Defense and General Welfare of the United States.” 10 Sebelumnya pajak di negara itu dikenakan berdasarkan kekuasaan absolut yang memicu terjadinya revolusi. Oleh sebab itu setiap pembebanan pajak atas warga negara tanpa persetujuan wakil-wakil rakyat, tanpa kepastian hukum yang adil adalah pelaksanaan kekuasaan absolut. Keadilan merupakan dasar dari hukum pajak sebagaimana disebutkan oleh seorang penulis: “… belastingrecht in de ware zin, hetwelk streeft naar oplegging van lasten volgens regelen, die er toe strekken het rechtgevoel te bevredigen.” ( Het Belastingrecht van Indonesie , Mr W.F.Prins, p.1) (Terjemahan bebas: “… hukum pajak dalam arti yang sebenarnya berusaha untuk pengenaan pajak yang tujuannya untuk memenuhi rasa keadilan”) __ 18. Bahwa Konstitusi mengatakan bahwa pajak ditetapkan dengan Undang-Undang, tetapi ketentuan ini menurut Pemohon tidak dipatuhi UU PPh dan telah merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai pembayar pajak, sebagaimana disebutkan dalam materi/muatan ayat, pasal dan/atau bagian Undang-Undang yang akan dijelaskan dibawah ini. Kalau sekiranya dianggap bahwa UU PPh itu adalah benar dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka UU PPh yang sekarang yang terdiri dari 41 pasal, cukup dibuat dengan satu pasal yang berbunyi: “ UU PPh ini memberikan wewenang kepada Pemerintah, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan dan mengatur tentang pajak penghasilan” dan __ dengan demikian berakhirlah demokrasi di Indonesia dan kita beralih ke pemerintahan absolut.
Bahwa materi muatan dalam pasal, ayat dan/atau bagian UU PPh yang bertentangan dengan UUD 1945 serta Pembukaannya adalah sebagai berikut: __ a. Pasal 4 ayat (2): __ _”Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ _a. penghasilan berupa bunga deposito............; _ _ _ _d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta ............; dan _ _e. penghasilan tertentu lainnya; _ yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” __ 11 b. Pasal 17 ayat (7): ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Argumentasi Pemohon: Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk mengeluarkan peraturan mengenai pengaturan dan tarif pajak. Sebagai tidak lanjut dari itu Pemerintah telah mengeluarkan PP 131/2000 yang menetapkan bunga atas deposito sebesar 20% yang melebihi tarif pajak tertinggi bagi wajib pajak yang berpenghasilan sampai dengan Rp. 250.000.000,- sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU PPh. Hal mana jelas bertentangan dengan UUD 1945; PP 131/2000 ini juga menimbulkan ketidakadilan yang sangat menyolok. Wajib pajak yang berpenghasilan kecil yang menurut Pasal 17 ayat (1) UU PPh dikenakan dengan tarif 5% atau paling tinggi 10%, tetap dikenakan tarif 20%. PP 131/2000 ini mengenakan pajak dengan tarif 20% yang bersifat final terhadap bunga deposito yang tidak dapat digabung dengan penghasilan yang lain. Sebagai contoh: Pemohon memiliki deposito sebesar Rp. 50.000.000,- dengan bunga 10% setahun. Menurut PP 131/2000 Pemohon harus membayar pajak atas bunganya sebesar Rp. 1 juta (20% x 10% x Rp 50 juta) setahun, padahal seharusnya sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU PPh, Pemohon hanya membayar pajak sebesar Rp.
000,- (5% x 10% x Rp 50 juta). Selama 20 tahun ini Pemohon dirugikan lebih dari Rp. 150.000.000,- (Bukti P-5) oleh karena UU PPh memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk menetapkan tarif pajak tersendiri, yang ternyata lebih tinggi dari pada ketentuan UU PPh ini sendiri. Berapa banyak wajib pajak yang menjadi korban untuk membayar pajak yang lebih besar dari pada yang seharusnya. PP 131/2000 ini tidak adil dan tidak sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan dasar negara Pancasila, karena andaikata yang membayar bunga tersebut “orang kaya” maka seharusnya (sesuai Pasal 17 ayat (1) UU PPh ) dikenakan dengan tarif pajak 35%, tetapi kenyataannya tetap dikenakan pajak dengan tarif 20%. 12 ” Penghasilan tertentu lainnya ” yang disebut pada Pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh, juga membuka jalan untuk menetapkan pajak atas penghasilan tanpa ada pembatasan, yang berarti kekuasaan tanpa batas atau tidak ada kepastian hukum. UU PPh telah salah dan keliru karena memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan besarnya beban (tarif) pajak yang ditanggung oleh rakyat. Hal ini adalah bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan keadilan sosial yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Ini sesuai juga dengan penjelasan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi; “ ….. dalam Negara demokrasi atau dalam Negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat, seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan Undang-Undang. Artinya dengan persetujuan DPR”. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan DPR menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya. Pasal 23 menyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat daripada pemerintah. Itu tanda kedaulatan rakyat. ”Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan Undang-Undang yaitu dengan persetujuan DPR……” Berdasarkan uraian diatas Pemohon mohon agar Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 7 ayat (3): ”Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.” Argumentasi Pemohon: Menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah sama dengan menetapkan jumlah pajak karena akan menentukan penghasilan bersih. Oleh sebab itu tidak dapat ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, walaupun disebutkan setelah “dikonsultasikan dengan DPR”. Mengkonsultasikan tidak berarti sama dengan 13 ”persetujuan.” Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, oleh sebab itu dimohon agar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. UU PPh tidak boleh menyerahkan wewenang pengaturan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak kepada Menteri Keuangan, karena pengaturan yang menyangkut kehidupan rakyat banyak termasuk pajak haruslah dengan Undang-Undang atau dengan kata lain tidak boleh didelegasikan. Pendelegasian hanyalah untuk pengaturan pelaksanaannya yang bersifat teknis administratif. Menetapkan jumlah pajak bukanlah merupakan peraturan yang bersifat teknis administratif, akan tetapi merupakan peraturan yang mengatur unsur penting dari pajak yaitu menyangkut tarif atau jumlah pajak yang akan dikenakan kepada wajib pajak. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, Pemohon mohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 7 ayat (3) UU PPh tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 14 ayat (1): ”Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” e. Pasal 14 ayat (7): ”Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.” Argumentasi Pemohon: Norma penghitungan penghasilan Netto (NPPN) adalah suatu cara penghitungan penghasilan dan menjadi dasar untuk menetapkan jumlah pajak yang terutang, yang dalam UU PPh dinyatakan akan diatur oleh Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan besarnya peredaran bruto yang menentukan jumlah penghasilan dan pajak terhutang dalam UU PPh dinyatakan dapat dirubah dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pemberian wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak dan Menteri Keuangan dimaksud diatas bertentangan dengan UUD 1945, karena seharusnya pengaturan mengenai NPPN dan besarnya peredaran bruto itu diatur dengan Undang-Undang, 14 yang artinya dalam hal ini rakyat dapat berbicara melalui wakil-wakilnya untuk menentukan hal tersebut, sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 23A UUD 1945 maupun penjelasannya. Wewenang yang diserahkan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Menteri Keuangan diatas sesungguhnya adalah kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Pemohon dan warga negara lainnya, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh DPR sebagai wakil rakyat. Selain dari pada itu cara penetapan pajak berdasarkan NPPN yang khusus berlaku untuk perusahaan “kecil” tidak adil, karena walaupun perusahaan rugi dikenakan pajak yang berarti bertentangan dengan keadilan sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 dan juga bertentangan dengan UU PPh Pasal 4 ayat (1) sendiri. Perubahan besarnya peredaran bruto bukan merupakan hal yang bersifat teknis administratif, besarnya peredaran bruto merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi perhitungan jumlah pajak, karenanya harus diatur oleh Undang-Undang yang dikeluarkan oleh DPR sebagai wakil rakyat dan merupakan perwujudan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Karena bertentangan dengan UUD 1945, Pemohon mohon agar Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) UU PPh dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 17 ayat (2): ”Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” g. Pasal 17 ayat (2) huruf a: ”Menurunkan tarif pajak tertinggi menjadi paling rendah 25% dengan Peraturan Pemerintah.” h. Pasal 17 ayat (2) huruf c: ”Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.” __ 15 i. Pasal 17 ayat (2) huruf d: ”Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Argumentasi Pemohon Tarif pajak adalah merupakan unsur terpenting dari pajak, yang untuk menentukan/ merubah (menaikkan atau menurunkan) tarif pajak adalah wewenang dari Undang- Undang sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Pengaturan tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah tidak menjamin kepastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D maupun Pasal 23A UUD 1945 serta penjelasannya sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dan oleh sebab itu dimohon agar ketentuan ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 17 ayat (3): ”Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.” Argumentasi Pemohon: Merubah lapisan kena pajak adalah sama dengan merubah tarif pajak yang menjadi wewenang Undang-Undang dan bukan Pemerintah apalagi Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden. Pasal 17 ayat (3) ini yang menyatakan pengaturan tentang pajak oleh Menteri Keuangan melalui keputusannya adalah bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan penjelasannya, yang mensyaratkan pengaturan pajak harus dengan Undang- Undang dan oleh sebab itu dimohon agar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 19 ayat (2): ”Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).” __ 16 l. Pasal 21 ayat (5): ”Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.” __ Argumentasi Pemohon: Menentukan tarif tersendiri untuk objek pajak tertentu sama dengan menentukan tarif pajak sebagaimana disebut pada Pasal 17 UU PPh. Kewenangan untuk menentukan tarif pajak ada pada rakyat termasuk Pemohon dan merupakan kewenangan konstitusional Pemohon dan warga negara lainnya dan bukan merupakan kewenangan Pemerintah. Pengaturan tarif pajak oleh Pemerintah jelas-jelas telah melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dan warga negara lainnya. Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (5) UU PPh ini bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan penjelasannya dan oleh sebab itu dimohon untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 22 ayat (1) huruf c: _”Menteri Keuangan dapat menetapkan: _ c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.” __ n. Pasal 22 ayat (2): ”Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.” Argumentasi Pemohon: Menteri Keuangan tidak mempunyai wewenang untuk menentukan besarnya pungutan (tarif); ini adalah wewenang DPR dengan Undang-Undang. Kewenangan DPR adalah juga kewenangan Pemohon dan warga negara lainnya karena DPR adalah wakil rakyat yang membawakan suara rakyat, termasuk dalam membuat dan menentukan pengaturan mengenai pajak. 17 Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) ini bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan penjelasannya, dan oleh sebab itu dimohon supaya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 25 ayat (8) : ”Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Argumentasi Pemohon: Membuat ketentuan mengenai jumlah pajak adalah wewenang DPR dengan Undang- Undang dan bukan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, oleh sebab itu dimohon untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. IV. PERMOHONAN YANG DIMINTA UNTUK DIPUTUS (PETITUM) Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa pasal, ayat dan/atau bagian dari UU PPh yaitu:
Pasal 4 ayat (2);
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 7 ayat (3);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 14 ayat (7);
Pasal 17 ayat (2);
Pasal 17 ayat (2a);
Pasal 17 ayat (2) huruf c;
Pasal 17 ayat (2) huruf d;
Pasal 17 ayat (3);
Pasal 19 ayat (2);
Pasal 21 ayat (5);
Pasal 22 ayat (1) huruf c; 18 n. Pasal 22 ayat (2); dan
Pasal 25 ayat 8. bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945;
Menyatakan bahwa:
Pasal 4 ayat (2);
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 7 ayat (3);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 14 ayat (7);
Pasal 17 ayat (2);
Pasal 17 ayat (2a);
Pasal 17 ayat (2) huruf c;
Pasal 17 ayat (2) huruf d;
Pasal 17 ayat (3);
Pasal 19 ayat (2);
Pasal 21 ayat (5);
Pasal 22 ayat (1) huruf c;
Pasal 22 ayat (2); dan
Pasal 25 ayat 8. UU Pajak Penghasilan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat:
Memerintahkan agar memuat putusan tersebut dalam Berita Negara, Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, Pemohon mohon putusan yang seadil-adilnya. [2.2] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalinya, Pemohon telah mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-5 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 juncto Nomor 17 Tahun 2000 juncto Nomor 10 tahun 1994 juncto Nomor 7 Tahun 1991 juncto Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Bukti P-2 : Fotokopi UUD 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Prof. Moenaf Hamid Regar (Pemohon); 19 4. Bukti P-4 : Fotokopi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 15644/MPN/ 2001 tanggal 12 Pebruari 2001 tentang penetapan Prof. Drs. Moenaf Hamid, MA.Sc sebagai Guru Besar Emeritus;
Bukti P-5 : Fotokopi Perhitungan bunga dan penjelasan SPT 2007; Selain mengajukan bukti tertulis, Pemohon juga menghadirkan 2 orang Ahi yang memberikan keterangan di bawah sumpah pada persidangan tanggal 19 November 2009 dan 12 Januari 2010, sebagai berikut:
Ahli Pemohon DRS. Abi Kusno, MM. Ø Bahwa berdasarkan UUD 1945, Pasal 23A pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-Undang. Tetapi memang secara eksplisit tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara penetapannya; Ø Bahwa kalau secara implisit berbicara tentang pajak ada subjek pajak, ada tarif pajak dan objek pajak. Pajak berarti menyangkut tentang objek, tarif dan subjek, dan ini yang harus diatur dalam Undang-Undang; Ø Bahwa masalah yang dihadapi sekarang Undang-Undang Pajak yang berlaku Undang-Undang yang terbaru tahun 2008 itu memberikan pendelegasian wewenang yang sangat besar kepada pemerintah untuk menetapkan tarif pajak, subjek pajak dan objek pajak; Ø Bahwa inti, yang dimohonkan untuk memberikan kepastian, apakah ini benar,dan menjadi persoalannya; Ø Bahwa karena kewenangan pemberian ini dilakukan secara besar sekali kepada pemerintah, inilah yang akan menimbulkan kerugian seperti yang disebutkan oleh Pemohon; Ø Bahwa menyangkut tentang bunga deposito Undang-Undang Pajak yang baru memberikan bracket pajaknya adalah 5%, 10%, 15%, 25%, 30%; Ø Bahwa dalam kenyataannya seorang, dosen mempunyai uang Rp.100 juta punya deposito tarif bunganya adalah interest- nya 10% maka akan memperoleh penghasilan Rp. 10 juta dari bunga dan otomatis langsung dipotong pajaknya 20% oleh bank berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Rp 2 juta; Ø Bahwa sesuai dengan Undang-Undang Pajak yang berlaku sekarang kalaupun itu satu-satunya pendapatan itu belum masuk lapisan kena pajak PTKP; Ø Bahwa PTKP sekarang masih Rp. 15.800.000, berarti tidak kena pajak; 20 Ø Bahwa seandainya punya penghasilan Rp. 40 juta lainnya digabung dengan Rp 10 juta, Rp. 50 juta masuk dalam lapisan yang 5%, bukan 20%,; Ø Bahwa keadilan, apabila seorang yang kaya raya punya uang Rp 10 milyar, lantas dia mendepositokan dapat tarif interest -nya 10% Rp 1 Milyar, dipotong pajaknya 20%, Rp. 2 Milyar; Ø Bahwa menurut Undang-Undang yang berlaku sekarang masuk pada 30% sehingga dimana adilnya?; Ø Bahwa seorang rakyat biasa sama dipotongnya dengan orang yang punya harta banyak; Ø Bahwa sementara Undang-Undang Pajak menyatakan 30% lapisan di atas Rp. 500 juta; Ø Bahwa sifat pengenaannya bisa final itu artinya apa final, tidak merupakan pajak yang bisa dipotong dengan hutang pajak akhir tahun; Ø Bahwa inti permasalahannya ada beberapa pasal-pasal yang perlu diuji, dan apakah sesuai dengan Undang-Undang Dasar atau tidak?; Ø Bahwa menyangkut tentang apakah tarif, subyek, obyek, itu bisa dilimpahkan kepada pemerintah ini yang problem sebenarnya; Ø Bahwa Undang-Undang menyatakan diberikan kewenangan kepada pemerintah; Ø Bahwa pendelegasian wewenang itu hanya boleh dalam pelaksaannya menyangkut tarif, obyek dan subyek dan menafsirkan Undang-Undang Dasar itu tidak diperbolehkan;
Ahli Pemohon Prof.DR.Mohammad Zein Ø Bahwa keadilan dalam perpajakan itu adalah masalah pertimbangan nilai,sehingga tidaklah mungkin untuk melakukan suatu scienty valibility dari pada keadilan itu; Ø Bahwa dalam Undang-Undang Perpajakan maka tampak terlihat sekali Undang- Undang Perpajakan itu lebih banyak diatur oleh pemerintah, karena DPR seolah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur sesuatunya.Cuma sayangnya pengaturan itu karena keadaan tidak diberikan satu rambu-rambu yang jelas; Ø Bahwa yang dianggap kurang adil adalah PPh final dengan pajak penghasilan yang final itu seolah-olah wajib pajak hilang haknya untuk menghitung pajak berdasarkan pembukuannya; Ø Bahwa dalam hal ini tidak dipersoalkan apakah wajib pajak memperoleh laba atau rugi, tetap saja harus bayar pajak ini adalah PPh final; 21 Ø Bahwa wajib pajak hilang haknya untuk melakukan pengkreditan pajak-pajak yang dibayarkan terlebih dahulu; Ø Bahwa wajib pajak kehilangan hak untuk kompensasi kemudian; Ø Bahwa wajib pajak dengan PPh final ini kehilangan haknya untuk mengajukan keberatan dan banding; Ø Bahwa faktor-faktor inilah yang menunjukkan kemungkinan besar ini tidak mencerminkan sedikit keadilan dalam perpajakan. Begitu pula kalau wajib pajak menggunakan norma penghitungan. Norma penghitungan juga kalau dilihat ini akibat daripada tidak ada pembukuan tetapi hanya mencatat saja. Dan dengan mencatat saja adanya pencatatan saja maka wajib pajak menetapkan besarnya berapa tarif untuk pengenaan pajaknya itu; Ø Bahwa wajib pajak juga tidak mempersoalkan laba atau rugi, akan tetapi akan membayar sejumlah tertentu yaitu norma penghitungan pajak. Ada kehilangan berupa hak bagi wajib pajak dalam norma perhitungan; Ø Bahwa insentif pajak dengan pembebasan beberapa jenis pajak sebagai bagian bantuan modal nasional, ini pun merupakan suatu hal yang diskriminatif tidak semua dikenakan hal ini; Ø Bahwa kewenangan mengatur itu tidak terlihat adanya rambu-rambu pembatasannya, terutama menyangkut masalah tarif; Ø Bahwa di dalam UU PPh itulah sebenarnya terdapat ketentuan yang diatur oleh Pemerintah atau Menteri Keuangan; Ø Bahwa Undang-Undangnya sendiri sebenarnya sah cuma kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah tidak ada rambu-rambunya, tidak ada hal-hal yang mengikat Pemerintah dalam rangka menetapkan peraturan-peraturan itu; [3] Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 19 November 2009 dan tanggal 12 Januari 2010, Pemerintah yang diwakili oleh Abdul Wahid (Direktur Jenderal Perundang-undangan), Mochamad Tjiptarjo (Direktur Jenderal Pajak), Jhonifar AF (Sekretaris Jenderal Pajak), Indra Surya (Kepala Bantuan Hukum Departemen Keuangan), A.Sjarifuddin Alsyah (Direktur Perpajakan II), Catur Rini Widosari (Direktur Perpajakan II), Sumahar Petrus Tambunan (Direktur Potensi dan Kepatuhan Penerimaan), Hana SY Kartika (Kepala Bagian Bantuan Hukum Departemen Keuangan), Abdul Wahid (Dirjen Departemen Hukum dan HAM), Qumarudin (Direktur 22 Litigasi Departemen Hukum dan HAM), Dr.Mualimin Abdi (Kabag Penyajian dan Penyiapan Keterangan Pemerintah pada sidang MK) telah memberikan keterangan secara lisan yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis, menguraikan sebagai berikut: Keterangan Lisan Pendahuluan keterangan Pemerintah atas Permohonan pengujian Pasal 4 ayat (2) Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terhadap Pasal 23A, Pasal 28D, Pasal 28G ayat (1) Pasal 28H ayat (4), UUD 1945 Pemerintah yang diwakili oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Presiden Republik Indonesia berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 10 November 2009 menyampaikan pendapat pendahuluan keterangan Pemerintah untuk mengawali keterangan Pemerintah; Pendahuluan keterangan Pemerintah atau keterangan pembukaan ini juga merupakan satu kesatuan dengan keterangan Pemerintah yang disampaikan secara lebih lengkap sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk dijadikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (untuk selanjutnya disebut UU PPh Tahun 2008) terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang di ajukan oleh Pemohon Prof. Moenaf Hamid Regar, sebagaimana registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009 tanggal 7 Oktober 2009 dengan perbaikan permohonan tertanggal 2 November 2009. Bahwa sebenarnya Permohonan Pengujian Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang dimohon oleh Prof. Moenaf Hamid Regar ini tidak patut untuk 23 diterima, karena bila ditilik dengan seksama, tidak terdapat kerugian yang nyata dan langsung, baik secara aktual maupun potensial pada kewenangan atau hak konstitusional Pemohon seperti tercantum dalam Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Setidak-tidaknya, permohonan harus ditolak, karena isi Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan pasal 25 ayat (8) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan ternyata tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pemerintah menyadari bahwa dalam pengujian Undang-Undang terhadap konstitusi, yang diperiksa dan diadili oleh Mahkamah ini – atau lebih tepat diuji bukanlah sengketa kepentingan para pihak manapun, melainkan Undang-Undang itu sendiri. Pemerintah menyadari hal itu, dan akan menjadi pegangan Pemerintah. Bersamaan dengan itu, berkat ajaran dan pengetahuan yang sama, juga Pemerintah menyadari bahwa yang akan diuji adalah terbatas pada apakah suatu Undang-Undang, sebagian atau seluruhnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak. Khususnya apabila pengujian yang dimohonkan adalah pengujian isi atau muatan Undang-Undang, atau yang disebut sebagai pengujian materiil , seperti permohonan pengujian yang sedang diajukan oleh Prof. Moenaf Hamid Regar pada sidang Mahkamah Konstitusi ini. Jadi, bukan hal-hal lainnya, seperti apakah isi suatu Undang-Undang menyebabkan pihak Pemohon merasa ketentuan Undang-Undang a quo telah menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan pada beban pajak yang ditanggung Pemohon dan warga negara lainnya. Atau, menganggap bahwa dengan berlakunya Undang-Undang tersebut Pemohon merasa berdosa, sebagai seorang pengajar atau dosen telah mengajarkan hal-hal yang salah kepada anak didiknya. Bahwa sesuai dengan permohonan pengujian materi, Pemohon berpendapat bahwa pasal-pasal Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Selanjutnya Pemohon berpendapat bahwa akibat diberlakukannya Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 24 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2 huruf a), Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang– Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga Pemohon dalam petitumnya memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan ketentuan-ketentuan Undang-Undang a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bahwa sebagaimana telah kita ketahui bersama, mengenai pajak diatur dalam Undang-Undang di bidang perpajakan diantaranya: - Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009. - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. - Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 - Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. - Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai Pembentukan Undang-Undang di bidang perpajakan tersebut di atas telah sesuai dengan ketentuan dan berdasarkan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Bahwa Undang-Undang Perpajakan dibuat oleh Pemerintah bersama DPR yang merupakan representasi dari seluruh warga negara. Oleh karena itu peraturan 25 perundang-undangan di bidang perpajakan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Bahwa UU PPh Tahun 2008 yang dimohonkan untuk diuji telah memuat pengaturan mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan sanksi termasuk mengatur mengenai pelimpahan pengaturan sebagai pelaksana undang-undang. Peraturan pelaksana perundang-undangan memegang peranan yang sangat penting dan bahkan cenderung terus berkembang dalam praktik di hampir semua negara hukum modern. Rumusan Undang-Undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka dan garis besar kebijakan yang bersifat mendasar dalam menjalankan roda dan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pengaturan yang lebih lanjut dari suatu kebijakan dalam Undang-Undang diatur oleh pemerintah atau lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya dalam bentuk peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Namun karena kewenangan legislatif itu pada intinya ada di tangan rakyat yang berdaulat maka kewenangan untuk membentuk peraturan pelaksana Undang-Undang juga harus dipahami berasal dari rakyat. Untuk itu Pemerintah dan lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya tidak menetapkan sesuatu peraturan perundang-undangan apapun kecuali atas dasar perintah atau delegasi kewenangan mengatur yang diberikan oleh DPR melalui Undang-Undang. Kita pahami bersama UU PPh Tahun 2008 juga dibuat oleh DPR yang merupakan representasi dari seluruh warga negara bersama dengan pemerintah yang telah menyepakati adanya pendelegasian kewenangan atributif kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang termasuk melalui pasal-pasal yang saat ini diajukan uji materiil. UU PPh Tahun 2008 juga sama sekali tidak memuat suatu larangan ataupun pengurangan hak dari wakil-wakil Pemohon, di DPR untuk mengatur mengenai pajak. Oleh karena itu sangat tidak beralasan apabila Pemohon menyatakan bahwa pasal- pasal UU PPh Tahun 2008 yang dimohonkan diuji bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan uji materiil bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan 26 kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” __ Pemerintah berpendapat bahwa dalil tersebut tidak beralasan karena UU PPh Tahun 2008 sama sekali tidak mengatur pemberlakuan yang membeda-bedakan antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam pengenaan beban pajak. Demikian pula peraturan perundang-undangan pelaksana UU PPh Tahun 2008 juga tidak membedakan pemberlakuan ketentuan tersebut secara diskriminatif, sehingga secara substantif sama sekali tidak melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pemberlakuan yang sama di hadapan hukum. Mengenai dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan uji materiil bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Pemerintah berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut sangat keliru dan tidak didasarkan pada fakta. Pada kenyataannya pasal-pasal UU PPh Tahun 2008 a quo justru merupakan dasar pengambilalihan hak milik melalui pemungutan pajak bagi seluruh warga negara sehingga pengambilalihan hak milik tersebut nyata tidak dilakukan sewenang-wenang karena UU PPh Tahun 2008 telah dibuat dengan dasar hukum dan cara yang sah oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR yang merupakan representasi seluruh warga negara. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas Pemerintah kembali menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, sebab tidak benar dalil Pemohon mengenai adanya ketidakpastian hukum sehubungan dengan pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan lebih lanjut UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Karena pendelegasian dan pelimpahan kewenangan yang diberikan bukan tidak spesifik dan tidak terbatas. Pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang tersebut telah sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.” Pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan tersebut dilakukan melalui 27 persetujuan pembuat Undang-Undang, yaitu Pemerintah dan DPR sebagai wakil rakyat yang secara tegas telah diamanatkan dalam UU PPh Tahun 2008, yang ditujukan dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan, dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum serta transparansi. Sebaliknya, apabila Pemohon pengujian pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan Pemohon dikabulkan dengan menyatakan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka hal tersebut justru akan menimbulkan dampak buruk berupa, kekosongan hukum dalam upaya menghimpun dana masyarakat melalui pajak, tidak hanya terhadap pengaturan atas pajak penghasilan saja tetapi juga berimbas pada pengaturan semua jenis pajak lainnya. Hal ini akan berdampak buruk bagi penerimaan negara, dimana sektor perpajakan memiliki konstribusi yang besar bagi penerimaan negara. Seperti kita ketahui negara Indonesia membutuhkan dana yang besar untuk pembiayaan pembangunan. Bila penerimaan negara menurun akibat dikabulkannya permohonan pengujian materiil UU PPh Tahun 2008, maka negara akan kekurangan dana untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Pembangunan akan terhambat dan tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia tidak dapat terwujud. Lebih dari 30 Peraturan Pelaksanaan UU PPh Tahun 2008 harus dicabut dan diatur kembali dalam bentuk pasal-pasal di dalam Undang-Undang, hanya untuk memenuhi keinginan Pemohon agar tidak terjadi kekosongan hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1. Dengan seluruh uraian yang Pemerintah sampaikan dalam pendahuluan keterangan pemerintah ini, Pemerintah mengharapkan tidak perlu lagi ada alasan untuk meragukan konstitusionalitas dari Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan penjelasannya yang sedang diuji ini, baik secara negatif yaitu terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 maupun secara positif yaitu bahwa pasal-pasal tersebut jelas bertujuan menjalankan UUD 1945 khususnya Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4). 28 Karena itu pemerintah memohon agar Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menyatakan permohonan Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan terhadap UUD 1945 ditolak. Keterangan tertulis Pemerintah adalah sebagai berikut: I. PENDAHULUAN A. PERMOHONAN Bahwa merujuk pada permohonannya, menurut Pemohon, hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dan warga negara yang lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dianggap telah dirugikan oleh pasal-pasal UU PPh Tahun 2008 yang dimohonkan pengujiannya, karena ternyata pajak yang Pemohon bayarkan tidak didasarkan atas Undang-Undang tetapi menurut Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan/atau Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini Pemohon merasa telah dirugikan karena kesalahan UU PPh Tahun 2008 yang memberikan wewenang kepada yang tidak berhak untuk menetapkan pajak, sedangkan UUD 1945 dengan tegas mengatakan bahwa pajak berdasarkan Undang-Undang. Menurut Pemohon, pajak adalah beban yang Pemohon harus tanggung dan beban tersebut di dalam negara demokrasi hanya dapat ditetapkan dengan persetujuan rakyat melalui DPR atau berdasarkan Undang-Undang. Ternyata DPR menyerahkan hak tersebut kepada pihak yang tidak berhak yaitu Pemerintah, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak seperti disebutkan dalam UU PPh Tahun 2008. Bahwa kerugian yang menurut Pemohon alami dengan diberikannya kewenangan oleh UU PPh Tahun 2008 kepada Pemerintah, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak adalah karena Pemohon sebagai warga negara (melalui DPR) tidak dapat menentukan pengaturan atas pajak sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945, sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal berikut ini: 29 a. Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan keadilan sosial yang disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 karena memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan besarnya beban (tarif) pajak yang ditanggung oleh rakyat.
Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sebab telah mendelegasikan penetapan PTKP dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), karena penyusunan PMK dilaksanakan secara sepihak oleh pemerintah tanpa persetujuan DPR.
Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) dianggap bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena memberi wewenang kepada Dirjen Pajak untuk menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN), yang menurut Pemohon seharusnya menjadi wewenang undang- undang.
Pasal 17 ayat (2) dan ayat (2) huruf a bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945 karena wewenang untuk menentukan/mengubah tarif pajak adalah wewenang Undang-Undang dan bukan Pemerintah. Ketentuan Pasal 17 ayat (2) ini tidak menjamin kepastian hukum yang adil.
Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak.
Pasal 17 ayat (3) bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena mengubah lapisan kena pajak sama dengan mengubah tarif pajak menjadi kewenangan Undang-Undang bukan Pemerintah apalagi Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden.
Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (5) bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena menetapkan tarif pajak merupakan wewenang DPR dengan Undang-Undang bukan pemerintah atau Menteri Keuangan dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 22 ayat (1) huruf c dan Pasal 22 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena Menteri Keuangan tidak mempunyai kewenangan menentukan besarnya tarif, hal ini merupakan wewenang Undang-Undang.
Pasal 25 ayat (8) bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena membuat ketentuan mengenai jumlah pajak merupakan kewenangan DPR dengan Undang- Undang bukan dengan Peraturan Pemerintah. 30 Singkatnya menurut Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan pada beban pajak yang ditanggung pemohon dan warga negara lainnya, dan karenanya menurut Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. A . PETITUM Selanjutnya Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa pasal, ayat dan/atau bagian dari UU PPh Tahun 2008 yaitu :
Pasal 4 ayat (2);
Pasal 7 ayat (3);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 14 ayat (7);
Pasal 17 ayat (2);
Pasal 17 ayat (2) huruf a;
Pasal 17 ayat (2) huruf c;
Pasal 17 ayat (2) huruf d;
Pasal 17 ayat (3);
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 19 ayat (2);
Pasal 21 ayat (5) ;
Pasal 22 ayat (1) huruf c;
Pasal 22 ayat (2); dan
Pasal 25 ayat (8); bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945 3. Menyatakan bahwa :
Pasal 4 ayat (2);
Pasal 7 ayat (3);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 14 ayat (7);
Pasal 17 ayat (2);
Pasal 17 ayat (2a);
Pasal 17 ayat (2) huruf c; 31 h. Pasal 17 ayat (2) huruf d;
Pasal 17 ayat (3);
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 19 ayat (2);
Pasal 21 ayat (5) ;
Pasal 22 ayat (1) huruf c;
Pasal 22 ayat (2); dan
Pasal 25 ayat (8); UU PPh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Memerintahkan agar memuat putusan tersebut dalam Berita Negara. II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN LEGAL STANDING PEMOHON A. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Sebelum membahas lebih lanjut mengenai permohonan yang diajukan oleh Pemohon, Pemerintah akan terlebih dahulu membahas apakah telah tepat dan benar permohonan pengujian terhadap UU PPh Tahun 2008 ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Bahwa sebagaimana telah diketahui bersama, pemberlakuan UU PPh Tahun 2008 merupakan pelaksanaan amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang” (Bukti Pemt.1b). Berdasarkan ketentuan tersebut, Undang- Undang di bidang perpajakan, termasuk UU PPh Tahun 2008, merupakan penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan legal policy karena memuat pendelegasian kewenangan terbuka. Dengan demikian pengujian terhadap Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 (Bukti Pemt.
bukan merupakan objek yang dapat dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: 32 “Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang- Undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan _kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; _ Dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: “Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”. __ Berdasarkan putusan-putusan Mahkamah di atas, pengaturan pengenaan pajak dalam pasal-pasal UU PPh Tahun 2008 merupakan kewenangan pendelegasian dari UUD 1945. Oleh karena itu pelimpahan wewenang lebih lanjut oleh UU PPh Tahun 2008 in casu tentang pengaturan perpajakan adalah norma yang merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang yang tidak dapat diuji kecuali dalam pembahasannya terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku atau semena-mena ( de tournement de pouvoir ); 33 Merujuk pada permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa kewenangan dan hak konstitusional yang telah dirugikan dengan adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji adalah kewenangan untuk mengatur mengenai pajak melalui wakil-wakilnya di sebut DPR dan hak konstitusional bagi setiap orang dalam kehidupan bernegara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum termasuk dalam hal pengenaan beban pajak yang ditanggung rakyat, dan hak untuk mempunyai hak milik, yang tidak boleh diambil kecuali dikehendaki oleh Undang- Undang. Selanjutnya Pemohon mendalilkan bahwa hak dan kewenangan konstitusional tersebut telah dirugikan karena pajak yang Pemohon bayarkan tidak didasarkan atas Undang- Undang tetapi menurut Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan/atau Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini, Pemohon menganggap telah dirugikan karena kesalahan Undang-Undang yang memberikan wewenang kepada yang tidak berhak untuk menetapkan pajak. Kerugian yang dialami oleh Pemohon dengan diberikannya kewenangan tersebut oleh UU PPh Tahun 2008 adalah karena Pemohon sebagai warga negara (melalui DPR) tidak dapat menentukan pengaturan atas pajak sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945. Bahwa kerugian aktual yang dialami Pemohon sebagai akibat pemberian wewenang kepada Pemerintah antara lain dapat dilihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia yang menetapkan tarif pajak bunga atas deposito sebesar 20% (dua puluh persen) yang melebihi tarif tertinggi bagi wajib pajak yang berpenghasilan sampai dengan Rp. 250.000.000,- sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008. Menurut Pemohon, Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 ini tidak adil dan tidak sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila, karena andaikata yang membayar bunga tersebut "orang kaya" maka seharusnya (sesuai Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008) dikenakan dengan tarif pajak 35%, tetapi kenyataannya tetap dikenakan pajak dengan tarif 20%. Menurut Pemohon, dengan dilimpahkannya wewenang pengaturan kepada Pemerintah, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak telah mengakibatkan kerugian yang 34 nyata bagi Pemohon dan warga negara lainnya karena tidak dapat menentukan atau mengatur sendiri (melalui DPR) mengenai pajak sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23A UUD 1945. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemohon beranggapan telah mengalami kerugian karena UU PPh Tahun 2008 telah menetapkan mendelegasikan pengaturan tarif atas pajak penghasilan terhadap bunga deposito. Kerugian aktual yang timbul dari pendelegasian tersebut adalah dikenakannya tarif atas penghasilan dari bunga deposito sebesar 20% yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000. Melihat pada kesimpulan tersebut, maka menurut Pemerintah, permohonan uji materiil yang diajukan Pemohon sebenarnya adalah keberatan Pemohon atas penetapan tarif sebesar 20% yang diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dianggap Pemohon tidak adil dan tidak sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila. Hal ini menjadi semakin jelas jika permohonan dipandang dari kerugian aktual yang timbul sebab apabila tidak terdapat penetapan tarif sebesar 20% dalam Peraturan Pemerintah maka sudah dapat disimpulkan bahwa tentunya tidak akan terdapat dalil mengenai kerugian konstitusional seperti yang didalilkan Pemohon yang dengan demikian tidak akan terdapat permohonan uji materiil ini. Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, telah mengatur sebagai berikut: (Bukti Pemt. 1g) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) UU MK mengatur sebagai berikut: (Bukti Pemt. 3a) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
memutus pembubaran partai politik; dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” 35 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, kewenangan Mahkamah Konstitusi salah satunya adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukan menguji Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, mengingat permohonan Pemohon adalah mengenai keberatan Pemohon terhadap Peraturan Pemerintah maka permohonan Pemohon tidak termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, apabila dicermati lebih jauh, penghasilan atas bunga deposito sebagai objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008 sedangkan tarif atas objek pajak tersebut diatur dalam Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 yang ditentukan terikat pada Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008. Dengan demikian, jelaslah Undang- Undang a quo telah mengatur tentang objek dan tarif pajak atas penghasilan dari bunga deposito. Pelaksanaan selanjutnya dari ketentuan-ketentuan tersebut juga ditentukan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008 yaitu untuk diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian jelaslah Peraturan Pemerintah merupakan penerapan dari Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 atau dengan kata lain, Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 mengatur mengenai bagaimana penerapan Pajak Penghasilan atas bunga deposito sehingga tidak dapat diuji di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka sudah seharusnya Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). B. TINJAUAN MENGENAI KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: (Bukti Pemt. 3b) a. perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. 36 Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “ hak konstitusional ” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945; Sehingga agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang- Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: (Bukti Pemt. 3b) a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik ( khusus ) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, Pemerintah mempertanyakan tentang hal-hal sebagai berikut:
Apakah sudah tepat Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang tersebut diatas?;
Apakah profesi Pemohon sebagai akademisi dirugikan dengan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji? 37 3. Apakah kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik ( khusus ) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan menunjukkan alat bukti bahwa Pemohon mengalami kerugian konstitusional sebagai akibat berlakunya ketentuan yang diajukan uji materiil?; dan
Apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji?. Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai legal standing Pemohon, secara singkat Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang adalah juga seorang akademisi yang dikenakan beban kewajiban membayar pajak penghasilan sebagaimana yang diatur dalam UU PPh. Pemohon merasa telah dirugikan oleh sejumlah materi/muatan dalam beberapa Pasal, yaitu Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: (Bukti Pemt. 2) a. Pasal 4 ayat (2): (Bukti Pemt. 2b) _“ Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada _anggota koperasi orang pribadi; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian; _ c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh _perusahaan modal ventura; _ d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau _bangunan; dan _ e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 38 b. Pasal 17 ayat (7): (Bukti Pemt. 2l) __ “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” , c. Pasal 7 ayat (3): (Bukti Pemt. 2c) “Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR ” d. Pasal 14 ayat (1): (Bukti Pemt. 2d) “Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan netto dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ” e. Pasal 14 ayat (7): (Bukti Pemt. 2f) “Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan” f. Pasal 17 ayat (2): (Bukti Pemt. 2g) “Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ”;
Pasal 17 ayat (2) huruf a: (Bukti Pemt. 2h) “ Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun 2010 ”;
Pasal 17 ayat (2) huruf c: (Bukti Pemt. 2i) “ Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final ’;
Pasal 17 ayat (2) huruf d: (Bukti Pemt. 2j) “ Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah ” j. Pasal 17 ayat (3): (Bukti Pemt. 2k) “ Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ” 39 k. Pasal 19 ayat (2): (Bukti Pemt. 2m) __ ”Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)” l. Pasal 21 ayat (5): (Bukti Pemt. 2o) ” Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah ”.
Pasal 22 ayat (1) huruf c (Bukti Pemt. 2p) “ _Menteri Keuangan dapat menetapkan: _ c. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah ” .
Pasal 22 ayat (2): (Bukti Pemt. 2q) __ “Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” , o. Pasal 25 ayat (8) (Bukti Pemt. 2r) __ “Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak keluar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ”.
Menurut Pemohon, hak konstitusional Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: Pasal 23A UUD 1945 mengatur bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. (Bukti Pemt. 1b) Pasal 28D ayat (1) mengatur bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” (Bukti Pemt. 1h) Pasal 28G ayat (1) mengatur bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” (Bukti Pemt. 1i) 40 Pasal 28H ayat (4) mengatur bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.” (Bukti Pemt. 1j) Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas maka hak/kewenangan konstitusional yang dimaksud Pemohon dapat diuraikan sebagai berikut:
kewenangan konstitusional untuk mengatur mengenai pajak melalui wakil-wakil di DPR dengan mengeluarkan Undang-Undang mengenai pajak;
hak konstitusional bagi setiap orang dalam kehidupan bernegara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum termasuk dalam hal pengenaan beban pajak yang ditanggung rakyat;
hak konstitusional dari warga negara untuk mempunyai hak milik yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang, kecuali dikehendaki oleh Undang-Undang. Merujuk pada kedua hal di atas, Pemerintah berpendapat bahwa tidak ada hak/kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ke lima belas kaidah dalam UU PPh Tahun 2008 tersebut di atas, dengan penjelasan sebagai berikut:
Sebagaimana diketahui bahwa pemegang kekuasaan membentuk Undang-Undang adalah DPR. Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Anggota-anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum, sehingga anggota-anggota DPR menjadi wakil-wakil rakyat yang bertindak untuk kepentingan rakyat termasuk di dalamnya Pemohon sendiri.
Dikaitkan dengan bidang perpajakan, peran serta masyarakat melalui DPR telah nyata ikut menentukan pengaturan mengenai perpajakan yang antara lain dapat diketahui dari terbitnya berbagai Undang-Undang di bidang perpajakan di antaranya:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 . (Bukti Pemt. 4) 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. (Bukti Pemt. 2) 41 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. .(Bukti Pemt. 6) 4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dang Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. .(Bukti Pemt. 7) 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000. .(Bukti Pemt. 8) 6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. (Bukti Pemt. 9) 7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai. (Bukti Pemt.10) Sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa “Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama ”. (Bukti Pemt.2n) Kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh DPR sebagai representasi rakyat sehingga pada prinsipnya rakyat termasuk Pemohon telah ikut serta dalam pembentukan Undang-Undang tersebut. Dengan demikian hak dan kewenangan rakyat dalam pembentukan Undang-Undang termasuk menentukan materi telah terpenuhi dengan berlakunya Undang-Undang tersebut. B Berkaitan dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa kewenangan konstitusionalnya, yaitu kewenangan untuk ikut menentukan peraturan di bidang perpajakan, telah dirugikan dengan adanya pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji, Pemerintah berpendapat bahwa dalil tersebut sama sekali tidak relevan sebab pasal-pasal yang diuji sama sekali tidak mengatur tentang kewenangan Pemohon untuk ikut menentukan materi Undang-Undang. Pada intinya, pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji adalah pasal-pasal tentang pendelegasian wewenang untuk mengatur. Sebagai delegasi wewenang, wewenang tersebut pada awalnya berada pada pembuat Undang-Undang yang selanjutnya didelegasikan kepada Pemerintah, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak. Oleh sebab itu dalil Pemohon tersebut patut dikesampingkan. 42 C Selanjutnya mengenai hak konstitusional Pemohon dalam kehidupan bernegara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum termasuk dalam hal pengenaan beban pajak yang ditanggung rakyat, Pemerintah berpendapat bahwa hak konstitusional yang didalilkan Pemohon juga tidak relevan dengan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji. Pada intinya, pasal-pasal yang diuji adalah pasal-pasal tentang pendelegasian kewenangan pembuat Undang-Undang kepada Pemerintah untuk membuat aturan tertentu sebagai aturan pelaksanaan dari UU PPh Tahun 2008, sedangkan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tersebut tidak menyinggung hak-hak konstitusional yang diuraikan Pemohon. Demikian pula, mengenai hak konstitusional untuk mempunyai hak milik yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang, kecuali dikehendaki oleh Undang-Undang. Pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji sama sekali tidak memuat aturan pengambilalihan kepemilikan rakyat. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon mengenai hak konstitusional yang dirugikan karena adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji, patut dikesampingkan karena tidak relevan. Hubungan yang tidak relevan antara pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dengan hak-hak konstitusional yang didalilkan Pemohon dapat dilihat pada dalil Pemohon mengenai kerugian yang timbul dari berlakunya pasal-pasal yang diuji sebagai berikut; Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 bertentangan dengan UUD 1945 dan menimbulkan ketidakadilan yang sangat mencolok karena Wajib Pajak yang berpenghasilan kecil yang menurut Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 dikenakan tarif 5% atau paling tinggi 10%, tetap dikenakan tarif 20%. Pemerintah berpendapat bahwa dalil tersebut merupakan keberatan Pemohon terhadap besarnya tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah bukan keberatan Pemohon terhadap aturan pendelegasian pengaturan dalam Undang- Undang. Dengan demikian, tidak ada korelasi hak konstitusional Pemohon yang didalilkan dengan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji. Selain itu, Pemohon telah menggunakan logika yang sangat keliru, Pemohon dalam dalilnya menguji antara materi yang diatur dalam peraturan pemerintah dengan UUD 1945 dan menyimpulkan bahwa peraturan pelaksanaan tersebut telah bertentangan 43 dengan UUD 1945. Padahal adanya pertentangan antara materi yang diatur dalam peraturan pelaksanaan tidak berarti dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang di atas peraturan pelaksana tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pemerintah berpendapat bahwa dalil Pemohon ini tidak jelas, apakah Pemohon sedang mengajukan pengujian peraturan pemerintah terhadap UUD 1945 atau peraturan pemerintah terhadap Undang-Undang, yang keduanya jelas diluar kompetensi Mahkamah Konstitusi. D. Pemohon mendalilkan pengenaan tarif atas penghasilan bunga deposito sebagai kerugian aktual dan spesifik dari adanya Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008. Menurut Pemerintah, dalil-dalil Pemohon sama sekali tidak menunjukkan bahwa Pemohon telah mengalami kerugian dari pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga deposito tersebut. Pemohon tidak menjelaskan apakah Pemohon merupakan pemilik deposito atau sebagai penerima penghasilan atas bunga deposito yang telah dikenakan pajak. Dalil Pemohon lebih merupakan perhitungan-perhitungan yang bersifat abstrak. Demikian juga, terhadap pasal-pasal lain, Pemohon sama sekali tidak menguraikan fakta yang merupakan kerugian yang bersifat spesifik. Oleh karena itu, tidak terdapat hak/kewenangan konstitusional Pemohon yang telah dirugikan dengan adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji. Selanjutnya, mengenai hak konstitusional Pemohon dalam kehidupan bernegara untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum termasuk dalam hal pengenaan beban pajak yang ditanggung rakyat, menurut Pemerintah, pendapat Pemohon tersebut sama sekali tidak beralasan sebab pengaturan mengenai pajak jelas didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi seluruh warga negara tanpa adanya pengecualian (non diskriminasi). E. Berkaitan dengan kekuatan mengikat dari pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji, Pemerintah berpendapat bahwa suatu ketentuan dianggap memiliki kekuatan hukum yang mengikat apabila ketentuan tersebut diterbitkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, sebagai contoh UU PPh Tahun 2008 dibuat karena hal tersebut merupakan amanat dari UUD 1945, demikian juga dengan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang seperti Peraturan Pemerintah, 44 Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan perundangan lainnya, dapat dibuat apabila hal tersebut merupakan amanat dari UU PPh Tahun 2008. Bahwa dengan demikian, tidak benar apabila keberadaan peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sebab berlakunya ketentuan tersebut tidak menghilangkan atau mengurangkan hak konstitusional Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum (vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945). F. Terhadap dalil mengenai hak konstitusional Pemohon untuk mempunyai hak milik yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang, kecuali dikehendaki oleh Undang-Undang, Pemerintah berpendapat bahwa sesuai ketentuan Pasal 23A UUD 1945, pembuat Undang-Undang telah mengeluarkan UU PPh Tahun 2008 yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan. Dalam UU PPh Tahun 2008 telah diatur mengenai pemajakan terhadap penghasilan yang merupakan milik Wajib Pajak misalnya mengenai jenis-jenis penghasilan yang merupakan objek pajak ataupun mengenai siapa-siapa yang menjadi subjek pajak serta jumlah yang dapat diambil dari Wajib Pajak. Hal ini berarti dalil Pemohon mengenai kesewenang-wenangan tidak terbukti karena tidak terdapat kesewenang-wenangan dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan oleh Pemohon untuk diuji di Mahkamah Konsititusi. G. Berkaitan dengan kedudukan Pemohon selaku akademisi, menurut Pemerintah, keberadaan pasal-pasal yang diuji sama sekali tidak mengurangi atau menghalang- halangi Pemohon dalam melaksanakan hak dan kewajibannya selaku akademisi termasuk melakukan kegiatan mengajar berdasarkan keyakinan Pemohon.
Berdasarkan uraian di atas, berkaitan dengan legal standing Pemohon, Pemerintah dapat menyimpulkan sebagai berikut:
bahwa sama sekali tidak tepat Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang tersebut di atas sebab pasal-pasal yang diuji adalah ketentuan- ketentuan yang mendelegasikan kewenangan untuk mengatur beberapa hal mengenai Pajak Penghasilan kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. 45 b. bahwa tidak terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik ( khusus ) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, sebab substansi pasal-pasal yang diuji adalah ketentuan mengenai pendelegasian pengaturan mengenai hal tertentu dalam Pajak Penghasilan. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pemohon telah dirugikan karena tidak dapat turut serta menentukan aturan mengenai Pajak Penghasilan sama sekali tidak aktual dan tidak spesifik sedangkan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 yang mengatur pengenaan tarif pajak atas penghasilan dari bunga deposito (Bukti Pemt.11) yang juga diuraikan Pemohon sebagai bentuk kerugian aktual yang bersifat spesifik, jelas keliru, sebab bukan kerugian yang dialami oleh Pemohon. Selain itu, dalil tersebut merupakan keberatan Pemohon terhadap ketentuan dalam peraturan pemerintah bukan keberatan Pemohon terhadap Undang-Undang.
Seandainya benar ( quod non ) terdapat kerugian sebagai akibat adanya pasal- pasal yang dimohonkan untuk diuji sebagaimana didalilkan Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji sama sekali tidak menghalangi atau membatasi Pemohon untuk memberi masukan melalui wakil- wakilnya di DPR dalam penyusunan Undang-Undang, sedangkan pengenaan tarif Pajak Penghasilan atas bunga deposito, tidak ditimbulkan sebagai akibat adanya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji.
Berkaitan dengan profesi Pemohon sebagai akademisi juga sama sekali tidak dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji, karena pasal-pasal tersebut di atas tidak berkaitan dengan profesi Pemohon sebagai pengajar. Oleh karena itu, tidak terdapat satupun hak konstitusional Pemohon sebagaimana dinyatakan dalam permohonannya, telah dilanggar dengan berlakunya pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008.
Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah, Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan-ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Dengan demikian, menurut Pemerintah, Pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK (Bukti Pemt. 3b) . Dan karenanya, 46 sangatlah tepat apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). III. TINJAUAN MENGENAI UNDANG-UNDANG DAN TATA URUTAN PERUNDANG- UNDANGAN A. Norma Hukum Prof. Dr. Maria Farida Indrati S., S.H., M.H., dalam bukunya “ Ilmu Perundang- undangan ”, menyatakan bahwa norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya atau lingkungannya. Di dalam kehidupan masyarakat selalu terdapat berbagai macam norma yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tata cara seseorang untuk berperilaku atau bertindak. Norma-norma yang masih dirasakan di negara Republik Indonesia adalah norma adat, norma agama, norma moral dan norma hukum negara. (Bukti Pemt. 12a) Hans Kelsen dalam bukunya “ General Theory Of Law and States” , New York, Russel and Russel, menyatakan bahwa ada dua sistem norma yaitu norma yang statik ( nomostatics ) dan norma yang dinamik ( nomodynamics ). (Bukti Pemt. 12b) Sistem norma yang statik ( nomostatics ) adalah sistem yang melihat pada “isi” norma. Dalam sistem norma yang statik, suatu norma umum dapat ditarik menjadi norma-norma khusus, atau norma-norma khusus itu dapat ditarik dari suatu norma yang umum. Penarikan norma-norma khusus dari suatu norma umum tersebut diartikan bahwa, dari norma umum itu dirinci menjadi norma- norma yang khusus dari segi “isi” nya. Sistem norma yang dinamik ( nomodynamics ) adalah sistem norma yang melihat pada berlakunya suatu norma atau dari cara “pembentukannya” atau “penghapusannya”. Norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, berlakunya norma yang lebih rendah bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, berlakunya norma yang lebih tinggi bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya regresi berhenti pada suatu norma yang lebih tinggi yang disebut norma dasar ( Grundnorm ) yang tidak dapat ditelusuri lagi 47 siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar ini merupakan norma yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat. Hukum merupakan sistem norma yang dinamik (nomodynamics ) karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk atau menghapusnya. Sehingga hukum tidak dilihat dari segi isi norma tersebut, akan tetapi dilihat dari segi berlakunya atau pembentukannya. Hukum adalah valid apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya serta bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi dan hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarki. Menurut D.W.P. Ruiter dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, peraturan perundang- undangan atau wet in materiële zin mengandung tiga unsur, yaitu: (Bukti Pemt. 12c) a. Unsur norma hukum ( rechts norm ), yang dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa:
Perintah ( gebod );
Larangan ( Verbod );
Pengizinan ( toestemming );
Pembebasan ( vrijstelling ).
Unsur berlaku keluar ( Naar buiten werken ); Menurut Ruiter, di dalam peraturan perundang-undangan, terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk di dalam organisasi pemerintahan. Norma hanya ditujukan kepada rakyat baik dalam hubungan dengan sesamanya maupun antara rakyat dengan pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antara bagian-bagian organisasi pemerintahan dianggap bukan norma yang sebenarnya dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut berlaku keluar.
Unsur bersifat umum dalam arti luas ( algemeenheid in ruime zin ). __ 48 Terdapat perbedaan antara norma yang umum dan yang individual, hal ini dilihat dari alamat yang dituju yaitu ditujukan kepada “setiap orang” atau kepada “orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak dan yang kongkret jika dilihat dari hal yang diaturnya. Menurut Ruiter, unsur-unsur sebuah norma adalah sebagai berikut:
Cara keharusan berperilaku (disebut operator norma);
Seseorang atau sekelompok orang (subjek norma);
Perilaku yang dirumuskan (objek norma); dan
Syarat-syarat (kondisi norma).
Unsur suatu norma itu berlaku karena ia mempunyai daya laku atau mempunyai keabsahan, hal mana daya laku ini ada apabila norma itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau oleh lembaga yang berwenang membentuknya. Misalnya suatu peraturan pemerintah adalah sah apabila dibentuk oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang dan berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 atau suatu keputusan Presiden yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. B. Pengertian Undang-Undang Undang-Undang merupakan suatu naskah hukum dalam arti yang luas yang menyangkut materi dan bentuk tertentu. Jeremy Bentham dan John Austin, misalnya mengaitkan istilah legislation sebagai “ any form of law-making”. The term is, however, restricted to a particular form of law-making, viz. the declaration in statutory form of rules of laws by the legislature of the state. The law that has its source in legislation is called enacted law or statute or written law ”. Dengan demikian, bentuk peraturan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian “ enacted law ”, “ statute ” atau Undang-Undang dalam arti yang luas. (Bukti Pemt.13a) Yang dimaksud dengan Undang-Undang dalam arti yang sempit adalah “ legislative act ” atau akta hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif. Yang membedakan sehingga naskah hukum tertulis tersebut disebut sebagai “ legislative act ”, bukan “ executive act ” adalah karena dalam proses pembentukan “ legislative act ” itu peranan lembaga legislatif sangat menentukan keabsahan materiil peraturan perundang-undangan dimaksu Mengingat bahwa dalam negara yang berdemokrasi pada dasarnya rakyat yang berdaulat, maka rakyat pulalah yang berhak menentukan kebijakan-kebijakan 49 kenegaraan yang akan mengikat bagi seluruh rakyat. Pemerintah sebagai pihak yang mendapat mandat untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan negara, tidak boleh menetapkan sendiri segala sesuatu yang menyangkut kebijakan bernegara, yang akan mengikat warga negara dengan beban-beban kewajiban yang tidak disepakati oleh mereka sendiri, baik yang menyangkut kebebasan, prinsip persamaan, ataupun pemilikan yang menyangkut kepentingan rakyat. Jika sekiranya kebijakan-kebijakan kenegaraan tersebut akan membebani rakyat maka rakyat harus menyatakan persetujuannya melalui perantaraan wakil-wakil mereka di lembaga legislatif. Karena itu, kebijakan-kebijakan kenegaraan tersebut harus dituangkan dalam bentuk Undang-Undang sebagai produk legislatif ( legislative act ) sebagaimana dimaksud diatas. Jika seandainya pemerintah menetapkan suatu kebijakan tidak dalam bentuk Undang-Undang, melainkan dalam bentuk peraturan presiden, padahal seharusnya dalam bentuk Undang-Undang, apakah peraturan presiden tersebut dapat dinilai atau diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi? Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., dalam buku “Perihal Undang-Undang Di Indonesia”, berpendapat bahwa peraturan presiden bukan merupakan Undang-Undang dan karena itu berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, yang berwenang mengujinya terhadap undang- undang adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. (Bukti Pemt. 13b) C. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum menentukan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
UUD 1945 b. Ketetapan MPR/S c. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Peraturan Pemerintah e. Keputusan Presiden f. Peraturan Menteri, dan sebagainy Ketetapan MPRS sebagaimana tersebut diatas disempurnakan dengan Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 yang menentukan tata urutan peraturan perundangan sebagai berikut:
Undang-Undang Dasar (UUD);
Ketetapan MPR/S; 50 3) Undang-Undang (UU);
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
Peraturan Pemerintah (PP);
Keputusan Presiden (Keppres);
Peraturan Daerah (Perda). Saat ini, tata urutan peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam bagian pertimbangan Undang-Undang ini dinyatakan: (a) bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang- undangan; (b) bahwa untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan; (c) bahwa selama ini ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum ketatanegaraan Republik Indonesia; (d) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menentukan bahwa “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a) UUD 1945; b) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c) Peraturan Pemerintah; d) Peraturan Presiden; dan e) Peraturan Daerah.” (Bukti Pemt. 14a) 51 Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (4) disebutkan bahwa “Jenis Peraturan Perundang- undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi” (Bukti Pemt.14b) . Dewasa ini di Indonesia terdapat beberapa aturan pelaksanaan perundang-undangan berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan direktur jenderal, dan peraturan lainnya. D. Kewenangan Membuat Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang. Prinsip kedaulatan rakyat menganut bahwa rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kegiatan bernegara. Dalam perspektif kedaulatan rakyat, semua kekuasaan dalam konteks kenegaraan berasal dari rakyat, sehingga fungsi- fungsi kekuasaan negara yang dibedakan dalam 3 (tiga) cabang utama yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif, dianggap berasal dari rakyat yang berdaulat. Atas dasar prinsip kedaulatan rakyat, maka sumber norma yang terkandung dalam segala bentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat untuk umum haruslah berasal dari atau atas persetujuan dari rakyat sendiri sebagai pemilik kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam negara Republik Indonesia. Negara atau pemerintah tidak berhak mengatur warga negaranya kecuali atas dasar kewenangan yang secara eksplisit diberikan oleh rakyat sendiri melalui perantaraan wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga parlemen. Pemerintah tidak dapat menetapkan sesuatu norma yang bersifat mengatur ( regeling ) dan mengikat untuk umum, kecuali jika pembentukan norma hukum yang demikian itu diperintahkan oleh legislator melalui Undang-Undang. E. Pendelegasian Kewenangan Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Apabila suatu kewenangan diamanatkan kepada suatu lembaga lain untuk melaksanakan tugas atas nama pemberi mandat, maka lembaga pemberi mandat tersebut dapat saja menarik kembali mandatnya itu sewaktu-waktu dari lembaga penerima mandat. Akan tetapi, dalam hal pendelegasian, maka pelimpahan kewenangan dari suatu lembaga 52 kepada lembaga lain berakibat terjadinya perpindahan kewenangan secara permanen. Kewenangan yang sudah didelegasikan kepada lembaga yang lain tidak dapat lagi ditarik kembali oleh lembaga pemberi delegasi. Begitu kekuasaan telah dilimpahkan kepada lembaga lain, maka lembaga penerima limpahan kewenangan itulah penyandang tugas dan kewenangan hukum atas kekuasaan yang telah dilimpahkan. Sehubungan dengan hal tersebut, jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan ( the power of rule making atau law making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang-Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi ( rule-making power ) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, UUD 1945 adalah peraturan tertinggi di Indonesia. Urutan peraturan perundang-undangan berikutnya di bawah UUD 1945 adalah Undang-Undang. Apabila Undang-Undang dirasakan belum cukup mengatur, dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan dengan memperhatikan tiga syarat alternatif yaitu: (Bukti Pemt. 13d) a. Adanya perintah yang tegas mengenai subyek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksanaan untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksanaan untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau 53 c. Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari Undang- Undang atau lembaga pembentuk Undang-Undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi. F. Peraturan Pelaksanaan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya Pasal 7 ayat (4) dan penjelasannya yang mengatur bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.” (Bukti Pemt.14b ) Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dianggap memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktek di hampir semua negara hukum modern. Perumus Undang-Undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan direktur jenderal, dan peraturan lainnya. Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang-undangan” berpendapat bahwa fungsi dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: (Bukti Pemt.12d ) 1. Fungsi Peraturan Pemerintah adalah: _ a. Merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 (sebelum dan sesudah perubahan) yang menentukan ”Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”. Dalam hal ini peraturan pemerintah harus melaksanakan semua ketentuan dari suatu Undang-Undang yang secara tegas meminta untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 54 _ Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang- Undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya. Apabila suatu ketentuan dalam Undang-Undang memerlukan pengaturan lebih lanjut, sedangkan di dalam ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara tegas-tegas untuk diatur dengan peraturan pemerintah, maka Presiden dapat membentuk peraturan pemerintah sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Undang-Undang tersebut. Pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak tegas-tegas memerintahkan ini, dilandasi suatu kenyataan bahwa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 telah merupakan delegasi kepada setiap peraturan pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang. __ _2. Fungsi Peraturan Presiden adalah: _ a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Fungsi ini merupakan suatu kewenangan atribusi dari UUD 1945 kepada presiden. George Jellineck berpendapat bahwa di dalam kekuasaan pemerintahan itu termasuk pula fungsi mengatur dan memutus. Fungsi tersebut dapat dilaksanakan dengan membentuk suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah pembentukan suatu keputusan presiden. b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya. Fungsi yang kedua ini seringkali dirumuskan terhadap pengaturan yang lebih kongkret terhadap suatu masalah. Salah satu contoh adalah ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang _Retribusi Daerah yang dirumuskan sebagai berikut: _ ”Selain jenis retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam rangka upaya menanggulangi kemacetan lalu lintas dapat pula diberlakukan Retribusi Ijin Penggunaan Jalan, yang pemberlakuan dan kepastian obyeknya ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah tersebut Presiden telah menetapkan Keputusan 55 Presiden Nomor 50 Tahun 1998 tentang Penetapan Kawasan Terbatas Lalu Lintas di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam peraturan pemerintah meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya. Kedua fungsi sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c, merupakan fungsi peraturan presiden yang merupakan fungsi delegasi dari peraturan pemerintah berdasarkan pada Stufentheori, dimana suatu peraturan yang di bawah itu selalu berlaku, bersumber dan berdasarkan pada peraturan yang lebih tinggi di atasnya. __ _3. Fungsi Peraturan Menteri adalah: _ a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan dibidangnya. Penyelenggaraan fungsi ini adalah berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 Perubahan dan kebiasaan yang ada. Fungsi ini dimiliki oleh setiap menteri sesuai dengan bidang tugasnya, misalnya Menteri Kesehatan mempunyai kekuasaan mengatur segala hal yang menyangkut bidang kesehatan, Menteri Keuangan mempunyai kekuasaan untuk mengatur segala hal yang menyangkut bidang keuangan, demikian juga menteri-menteri lainnya. b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan presiden. Fungsi ini merupakan delegasi berdasarkan ketentuan Pasal 17 UUD 1945 _Perubahan yang menentukan bahwa: _ (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden. (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Mengingat bahwa fungsi peraturan menteri sifatnya merupakan delegasi dari peraturan presiden, maka peraturan menteri tersebut sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut dari kebijakan presiden yang dituangkan dalam peraturan presiden. c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya. 56 Sebagai contoh dari fungsi ini adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, khususnya Pasal 43 yang _berbunyi sebagai berikut: _ ”Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dengan peraturan menteri yang harus ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006, saat ini telah dibentuk Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03-01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang ditetapkan pada tanggal 26 September 2006. d. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam peraturan pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya. __ _4. Fungsi Peraturan Direktur Jenderal Departemen adalah: _ __ a. Menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis peraturan menteri. Fungsi ini dilaksanakan berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 77 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal-pasal tersebut dirumuskan bahwa direktur jenderal departemen dapat membentuk suatu peraturan yang bersifat teknis dari kebijaksanaan pelaksanaan di bidang pemerintahan yang ditentukan oleh menterinya dalam peraturan menteri. b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri. Fungsi ini dilaksanakan berdasarkan kebiasaan yang ada. Dalam hal ini apabila ketentuan-ketentuan dalam peraturan menteri memerlukan pengaturan lebih lanjut, maka direktur jenderal departemen yang bersangkutan akan mengaturnya dengan Peraturan Direktur Jenderal departemen. 57 Dalam ketentuan tentang jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan, yang dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan direktur jenderal departemen memang tidak dicantumkan didalamnya, akan tetapi dalam Pasal 7 ayat (4) diatur bahwa “Jenis Peraturan Perundang- undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.” IV. Tinjauan Terhadap Pasal 23A UUD 1945 A. Tinjauan Historis Kewajiban membayar pajak dan pungutan lainnya merupakan kewajiban asasi bagi setiap orang yang hidup di Indonesia. Kewajiban tersebut sekaligus merupakan kewajiban konstitusional bagi setiap Warga Negara Indonesia yang ditentukan dalam Bab VIII perihal Keuangan Negara Pasal 23A perubahan ketiga UUD 1945 yaitu, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang” . (Bukti Pemt.1b). Sebelum diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, landasan konstitusional pemungutan pajak hanya diatur dalam satu ayat, yaitu pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 (pasal tersebut secara umum mengatur tentang keuangan negara). Disarikan dari rapat pembahasan perubahan ketiga UUD 1945 tentang Keuangan Negara diperoleh informasi sebagai berikut: (Bukti Pemt.15) Tim Ahli mengusulkan menempatkan pajak dalam satu ayat dalam Pasal 23 UUD 1945, sedangkan MPR berpendapat bahwa terhadap pajak diberikan dalam pasal tersendiri, sehingga munculah Pasal 23A UUD 1945 yang menyebutkan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Jadi semua yang membebani rakyat harus ada persetujuan DPR. Dengan diaturnya landasan konstitusional pemungutan pajak yang sebelumnya merupakan ketentuan yang hanya diatur dalam satu ayat kemudian berubah menjadi satu pasal tersendiri, hal ini menunjukkan bahwa hak konstitusional pemungutan pajak diberi perhatian yang lebih khusus dari sebelumnya. Hal ini dapat dipahami mengingat keuangan negara merupakan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang 58 maupun barang yang dapat dijadikan milik negara sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, dimana salah satu komponen utamanya adalah penerimaan pajak. Dengan kata lain, keuangan negara itu meliputi juga pendapatan negara yang diperoleh melalui pemungutan pajak. Hal ini berarti mengukuhkan makna bahwa fungsi pajak merupakan alat keuangan negara yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Disarikan dari Risalah Rapat Pleno Panitia Ad Hoc I ke-20 dan Ke-30, mengenai hal keuangan sebagian besar Fraksi Utusan Golongan sependapat dengan Tim Ahli karena ingin menempatkan DPR lebih kuat kedudukannya dalam pemerintahan sebagai manifestasi dalam menyusun APBN dan setiap tindakan pemerintah yang dapat menimbulkan beban bagi rakyat banyak, seperti pajak dan pemungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. (Bukti Pemt.15). Namun demikian dalam pembahasan tersebut, tidak ditemukan adanya pembahasan secara khusus mengenai subjek, objek, tarif dan sanksi perpajakan yang mengharuskan diatur dengan Undang-Undang. Sehingga apabila DPR telah memberikan pendelegasian kepada Pemerintah di dalam UU PPh Tahun 2008 termasuk untuk mengatur mengenai subjek, objek, tarif dan sanksi perpajakan maka pendelegasian kewenangan kepada Pemerintah, Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh Tahun 2008 tersebut merupakan perwujudan dari persetujuan DPR dalam rangka pemungutan pajak. Disamping itu, secara filosofis pengaturan Pasal 23A UUD 1945 tersebut tidak mengalami perubahan, bahwa pajak merupakan realisasi bakti rakyat kepada negara dalam hidup bersama yang mengandung sifat gotong-royong dan kekeluargaan. Rakyat memberikan baktinya berupa uang dengan tiada mendapatkan imbalan secara langsung yang dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran untuk kepentingan masyarakat umum (individu). Dengan kata lain, apa yang berasal dari Wajib Pajak (hanya sebagian kecil masyarakat) digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat, sehingga di sini nampak terjadi pemerataan. Sesuai dengan filosofi tersebut di atas, yaitu bahwa pajak merupakan “realisasi bakti rakyat kepada negara tanpa mendapatkan imbalan secara langsung” maka pajak __ adalah merupakan kewajiban konstitusional warga negara Indonesia. ^ 59 Tinjauan Sosiologis 1. Kemanfaatan Pajak Pajak ditinjau dari segi sosiologis memberikan manfaat bagi masyarakat dan negara antara lain sebagai :
Sumber Penerimaan Negara Negara memiliki kewenangan untuk memungut pajak dari masyarakatnya demi kelangsungan negara tersebut. Sebagai sumber penerimaan negara terbesar, pajak merupakan sarana untuk menarik dana dari masyarakat yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional antara lain pembayaran gaji pegawai, belanja barang, biaya pemeliharaan.
Alat Pemerataan Pendapatan Selain bermanfaat untuk mendanai operasional negara secara keseluruhan dan menyediakan fasilitas bagi masyarakat, Pajak juga merupakan alat pemerataan pendapatan, misalnya melalui pengenaan pajak dengan tarif progresif, untuk mewujudkan keadilan sosial dengan mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi bagi golongan berpenghasilan tinggi, serta sebaliknya tarif yang lebih rendah bagi golongan berpenghasilan rendah. Dana yang diperoleh dari pajak yang progresif tersebut digunakan untuk memberi subsidi dan transfer langsung kepada masyarakat berpenghasilan rendah.
Alat Realokasi Sumber Daya Negara harus menyediakan kebutuhan masyarakat yang tidak dapat disediakan oleh pasar, misalnya keamanan, jalan, dan barang-barang publik (public goods) lainnya. Untuk dapat menyediakan berbagai barang publik tersebut, maka Pemerintah membutuhkan sumber dana yang utamanya berasal dari pajak. Dengan demikian, pajak berfungsi sebagai alat bagi negara dalam pemerataan pendapatan dengan meredistribusikan pajak yang telah diterimanya untuk masyarakat yang membutuhkan. Pajak selain memberikan manfaat bagi penerimaan negara juga dapat bermanfaat untuk merangsang investasi. Dalam rangka menggairahkan investasi, pajak harus memiliki sistem yang fleksibel sehingga tujuan yang akan dicapai menjadi lebih optimal, yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan berupa terbukanya lapangan kerja, meningkatkan pendapatan rakyat dan pundi- 60 pundi pajak yang dibayar sebagai akibat dari kegiatan ekonomi (investasi). Bahwa segala aktivitas perekonomian yang berlangsung di sekitar kita sesungguhnya hanya dapat berlangsung selama otoritas fiskal mampu menjaga agar posisi keuangan negara tetap kuat dan mampu memenuhi semua kewajiban yang harus dibayar. (Bukti Pemt. 16) 2. Bahwa untuk mencapai kestabilan ekonomi diantaranya diperlukan kepastian hukum. Pajak sebagai salah satu indikator kebijakan fiskal memerlukan pembentukan peraturan-peraturan untuk menjamin kepastian hukum. Sekalipun potensi penggalian dana dari pajak masih ada dalam jumlah besar, persoalan pajak tetap saja sangat kompleks. Kendala fundamental yang tipikal dihadapi, diantaranya adalah sistem administrasi dan hukum, kualitas aparat perpajakan, dan kepatuhan masyarakat membayar pajak. Sudah tentu untuk mengatasi masalah ini diperlukan prasyarat kehendak politik ( political will ) yang kuat. Kehendak politik harus diwujudkan dalam hukum positif, dalam bentuk produk hukum yang memiliki muatan materi yang diperlukan. Untuk meredam gejolak ekonomi, maka pemerintah menerapkan kebijakan fiskal yang berimbang dan dinamis, serta bersifat hati-hati ( prudent policy ). Hal ini dilakukan untuk mengatasi putaran bisnis ( bussines cycle ) yang kadang-kadang membutuhkan kebijakan fiskal yang bersifat counter cyclical (Bukti Pemt.17) . Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pengaturan pemungutan pajak, yang menjalankan fungsi regulerend dalam kebijakan fiskal, menganut juga prinsip kehati-hatian. Kendala fundamental dalam perpajakan yang paling berat adalah penataan aspek hukum dan administrasi perpajakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dibentuk UU PPh Tahun 2008 untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.
Kontribusi Penerimaan Pajak Penghasilan dalam Pembiayaan Negara (Data dari APBN) Pada periode tahun 2004-2008 atau periode paska perubahan ketiga UUD 1945, kebijakan keuangan negara tetap diarahkan pada upaya untuk mewujudkan APBN yang sehat, memelihara ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus fiskal dalam batas kemampuan keuangan negara guna mendukung proses pemulihan ekonomi (Bukti Pemt.18) . Stimulus fiskal merupakan insentif bagi para pelaku ekonomi sehingga perekonomian tidak terdistorsi. Dalam jangka menengah langkah-langkah penting dalam menjaga 61 ketahanan fiskal yang berkesinambungan ( sustainable fiscal ) terutama mencakup, antara lain, memperkuat basis pajak. Selama berlangsungnya krisis moneter tahun 1998, peran kebijakan fiskal menjadi sangat penting, terutama dalam mendukung langkah-langkah penyelamatan ekonomi serta mendorong program pemulihan ekonomi nasional. Peran itu terasa berat karena basis pendapatan negara relatif menyusut terimbas dampak krisis. Berikut ini ditampilkan data peran Pajak Penghasilan dalam penerimaan negara periode tahun paska perubahan ketiga UUD 1945. Tabel 1 Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Periode 2004-2008 (dalam Miliar Rupiah) NO. JENIS PAJAK REALISASI 2004 2005 2006 2007 2008 1 PPh Non Migas 111.957,22 140.394,13 165.643,88 194.735,60 250.479,81 2 PPN & PPn BM 87.567,33 101.295,16 12032,57 155.187,17 209.639,14 3 PBB 11.769,50 16.184,40 20.716,29 23.619,08 25.357,56 4 BPHTB 2.910,53 3.429,37 3.179,27 5.935,50 5.573,76 5 Pajak Lainnya 1.832,33 2.050,25 2.287,38 2.743,32 3.034,28 6 Penerimaan DJP Tanpa Migas 216.036,90 263.353,31 314.859,38 382.220,84 494.084,54 7 PPh Migas 22.946,61 34.985,56 43.190,11 44.004,37 77.018,97 8 Penerimaan DJP Termasuk Migas 238.983,51 298.338,88 358.049,49 426.225,22 571.103,52 9 Penerimaan Dalam Negeri 403.104.60 532.671,00 654.882,40 723.060,00 781.354,14 Penerimaan Pajak Penghasilan di tahun 2008 memberikan kontribusi sebesar 41% terhadap penerimaan dalam negeri. Bila dibandingkan sejak awal diberlakukannya reformasi perpajakan tahun 1983, maka realisasi penerimaan PPh meningkat dari 2,121 62 Triliun di tahun 1983 menjadi 327,49 Triliun pada Tahun 2008 (atau 15.440%). Peningkatan penerimaan pajak dalam kurun waktu 23 tahun tersebut sangat signifikan. Meningkatnya penerimaan pajak ini tentunya tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan dalam bidang perekonomian. Hukum pajak sebagai legitimasi pemungutan pajak dalam kurun waktu ini benar-benar mendukung upaya-upaya pemungutan pajak yang dilakukan tahun per tahun seiring dengan target penerimaan. Namun eksistensi suatu hukum pajak (sebagai dasar pemungutan pajak) masih tetap eksis sampai saat ini, walaupun peraturan tersebut di bentuk beberapa belas tahun lalu. Hal ini disebabkan antara lain, pemungutan pajak telah diterima oleh masyarakat sehingga pemungutan pajak yang dilakukan dapat terus berlangsung menjadi sebuah kelaziman. Sistem dan tata cara pemungutan juga mendukung eksistensi peraturan perpajakan yang berlaku sampai sekarang. Sebagai contoh, sistem pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh pihak ketiga dan bersifat final, mempermudah masyarakat dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. C. Tinjauan Yuridis Ketentuan Pasal 23A yang mengatur pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara, adalah satu dari lima pasal yang mengatur tentang Hal Keuangan yang diatur pada Bab VIII UUD 1945, yaitu Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, dan Pasal 23D yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: (Bukti Pemt.1) Pasal 23: “(1) Anggaran pendapatan dan belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan belanja negara diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (3) Dst.” Pasal 23A: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang”, 63 Pasal 23B: “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang”, Pasal 23C: “ Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang”, Pasal 23D: “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Kelima pasal mengenai Hal Keuangan Negara tersebut, dalam setiap pasal disebutkan lebih lanjut “ditetapkan/diatur dengan Undang-Undang”. UUD 1945 yang terdiri dari 16 Bab dan 37 pasal, hanya mengatur dasar-dasar/hal yang pokok saja. Sesuai prinsip dalam Teori Hukum Berjenjang, maka pengaturan lebih lanjut diatur dalam hierarki yang lebih rendah yaitu Undang-Undang. Demikian selanjutnya, apabila ada pengaturan dalam Undang-Undang yang dianggap legislator perlu ditindak lanjuti, maka diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam hierarki hukum yang lebih rendah yaitu dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan pada Pasal 23 ayat (1) dan (2) bahwa pengelolaan keuangan negara, untuk apa uang dari kas negara dipergunakan harus dengan persetujuan rakyat (melalui perwakilannya di DPR), sama halnya dengan pemungutan beban pajak juga harus dengan persetujuan rakyat (melalui perwakilannya di DPR). Dalam Undang- Undang APBN yang ditetapkan setiap tahun, juga tetap ada pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur dan menetapkan pejabaran ketentuan- ketentuan yang sudah digariskan dengan Undang-Undang APBN, antara lain penentuan rincian satuan tiga oleh Menteri Keuangaan dengan Menteri-Menteri terkait. Contoh: Pasal 8 ayat (2) UU APBN tahun 2005, menyebutkan “Rincian lebih lanjut dari anggaran belanja pemerintah pusat sebagaimana di maksudkan dalam pasal 7 ayat (10) menurut organisasi dan menurut fungsi ditetapkan dengan Keputusan Presiden”. Pada Undang-Undang APBN Tahun 2010, Nomor 47 Tahun 2009, Pasal 10 ayat 3 berbunyi: “Pengaturan lebih lanjut DIPA-L sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden”. Pasal 19 ayat (2) menyebutkan “Ketentuan lebih lanjut (pembagian dan perimbangan DAU, DAK dan BH) daerah otonomi baru diatur dalam peraturan Menteri Keuangan”. 64 b. Pasal 23A UUD 1945 mengatur sebagai berikut : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang .” Ketentuan Pasal 23A UUD 1945 tersebut di atas sesungguhnya diturunkan dari prinsip “No taxation without representation,“ yaitu suatu prinsip yang dianut di banyak negara demokrasi di dunia, seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan sekarang dianut pula di banyak negara berkembang seperti Republik Indonesi Itu berarti pajak dan pungutan lain yang dibebankan oleh Negara, yaitu Pemerintah, kepada rakyat harus di bahas dan disetujui oleh wakil-wakil rakyat di Parlemen atau DPR. Sudah menjadi praktek ketata-negaraan yang di anut oleh banyak negara, baik di belahan utara maupun di belahan selatan, pemerintah mengajukan rancangan Undang-Undang pajak untuk dibahas dan kemudian memperoleh persetujuan para wakil rakyat di Parlemen. Para wakil rakyat di DPR itu sesuai dengan amanah dan kewajibannya akan menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat berkenaan dengan rancangan Undang-Undang pajak yang diajukan oleh pemerintah. Bila rancangan Undang-Undang pajak atau pungutan lain itu akan memberatkan rakyat, dan karena itu mengandung potensi yang dapat menimbulkan dampak yang bakal menurunkan perekonomian nasional, khususnya kesejahteraan rakyat, maka para wakil rakyat itu tentu dapat merubah atau bahkan menolak samasekali rancangan Undang-Undang Pajak dan pungutan lain yang diajukan oleh pemerintah. Disinilah esensi dari asas Kedaulatan Rakyat yang terkandung dalam prinsip No Taxation Without Representation . Jadi, peran serta rakyat dalam menentukan kebijakan pajak dan pungutan lain untuk keperluan negara itu tidak secara langsung ( indirect participation ) tapi melalui wakil-wakil rakyat di DPR, yang telah dipilih melalui suatu pemilihan umum yang demokratis. Dalam koridor prinsip No Taxation Without Representation yang terkandung dalam Pasal 23A UUD 1945, berbagai rancangan Undang-Undang pajak diajukan oleh pemerintah kepada DPR, di mana setelah dibahas secara mendalam, termasuk dikonsultasikan dengan rakyat, akhirnya disetujui oleh wakil-wakil rakyat menjadi Undang-Undang, yakni:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. 65 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Ketentuan Pasal 23B dan Pasal 23D Demikian pula halnya ketentuan dalam Pasal 23B dan Pasal 23D, untuk mengatur macam dan nilai mata uang, serta kewenangan bank sentral sebagai penanggung jawab moneter. Penentuan macam/harga mata uang (Pasal 23B), apakah itu dalam nilai nominal (yang tertulis dalam lembaran atau kepingan mata uang) atau nilai instristik/nilai materi, atau nilai tukar, tidak tertulis secara baku (disebut secara detail) dalam Undang-Undang terkait (Undang-Undang Bank Indonesia atau Undang- Undang Perbankan), tetapi diberikan kewenangan kepada Gubernur Bank Indonesia untuk mengaturnya.
Ketentuan Pasal 23C : Hal-hal lain mengenai keuangan negara, yaitu sepanjang berhubungan dengan keuangan negara yang belum tercakup dengan Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B dan Pasal 23D, diatur dengan Undang-Undang, antara lain Undang-Undang Keuangan Negara yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-Undang Perbendaharaan Negara yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 (sebagai pengganti ICW Stbld Tahun 1925), Undang-Undang BUMN yaitu Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003. Dengan segala pertimbangan dan pembahasan yang matang sewaktu pembuatan Undang-Undang, Wakil-wakil rakyat sebagai pembuat Undang- Undang (Legislator), melalui proses pembahasan di DPR, secara sadar mengerti 66 dan faham dalam mencantumkan pasal-pasal yang memberikan pelimpahan kewenangan kepada Pemerintah atau Menteri Keuangan/Menteri terkait atau Direktur Jendral Pajak (termasuk Direktur Jendral Perbendaharaan, Direktur Jendral Anggaran dll), dengan maksud untuk mengatur dan menetapkan penjabaran yang ditentukan dalam Undang-Undang. V. TINJAUAN UMUM ATAS PEMUNGUTAN PAJAK A. Pengertian, Asas dan Fungsi Pajak Untuk lebih memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pengertian, asas dan fungsi pajak, Pemerintah menyampaikan pendapat dari beberapa ahli yang diambil dari berbagai literatur sebagai berikut:
Pengertian Pajak Beberapa pengertian atau definisi dari pajak antara lain sebagai berikut:
Pengertian pajak menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani sebagaimana dikutip oleh R. Santoso Brotodihardjo, S.H. dalam bukunya yang berjudul “ Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan ”, menyatakan bahwa: (Bukti Pemt. 20a) “ Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. ” b. Leroy Beaulieu, dalam bukunya “ Traite’ de la Science des Finances ”, tahun 1906 sebagaimana dikutip oleh R. Santoso Brotodihardjo, S.H., mengatakan (Bukti Pemt. 20b) : “ L’impôt est la contribution, soit directe soit dissimulée, que La Puissance Publique exige des habitants ou des biens pour subvenir aux dépenses du Gouvernement. ” (Pajak adalah kontribusi, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik kepada penduduk atau barang, untuk menutup belanja pemerintah). c. Dalam IBFD International Tax Glossary yang diterbitkan oleh IBFD tahun 2005, pajak didefinisikan sebagai “a government levy which is not in return for a specific benefit and is no imposed by way of fine or penalty (e.g. for non 67 compliance with the law) except in some cases where related to tax-related offences”. (Bukti Pemt. 21) __ d. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong”, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964 sebagaimana dikutip oleh R. Santoso Brotodihardjo, S.H., mengatakan: (Bukti Pemt. 20c) “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.” e. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang KUP), dirumuskan bahwa “ Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. (Bukti Pemt.4a ) Dari beberapa pengertian atau definisi tersebut di atas terdapat beberapa ciri yang melekat pada pajak, antara lain:
Pajak merupakan kewajiban kepada negara, yang dipungut berdasarkan Undang- Undang dan peraturan pelaksanaannya;
Terhadap pembayaran pajak, tidak ada kontra prestasi yang dapat ditunjukkan secara langsung;
Hasil dari pungutan pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan, yang bertujuan bagi perwujudan kemakmuran rakyat.
Di samping mempunyai fungsi sebagai alat untuk memasukkan dana dari rakyat ke dalam kas negara (fungsi budgeter), pajak juga mempunyai fungsi yang lain, yakni fungsi mengatur. Dari beberapa definisi di atas, jelas bahwa kewajiban membayar pajak adalah merupakan kewajiban konstitusional kenegaraan bagi setiap orang yang dalam pemungutannya didasarkan kepada Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya. 68 2. Asas Pemungutan Pajak Pemerintah berpendapat, bahwa asas pemungutan pajak adalah prinsip-prinsip dasar yang berlaku umum yang merupakan standar nilai dalam menentukan adil atau tidaknya pemungutan pajak. Oleh karena itu, dalam melakukan pungutan pajak, Pemerintah sangat memperhatikan nilai-nilai serta prinsip-prinsip keadilan yang berlaku di dalam masyarakat sebagai dasar legitimasi bagi pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai otoritas pemungut pajak yang diberikan oleh Undang-Undang. Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya Wealth of Nations mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan pajak yang lazim dikenal dengan “ four canons taxation ” atau sering disebut “ The four Maxims ” yang dikutip oleh H. Bohari, S.H. dalam buku “Pengantar Hukum Pajak” diuraikan sebagai berikut: (Bukti Pemt. 22a) a. Equality (asas persamaan): Asas ini menekankan bahwa pada warga negara atau Wajib Pajak tiap negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima di bawah perlindungan negara. Yang dimaksud dengan “keuntungan” disini adalah besar-kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah perlindungan negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara Wajib Pajak.
Certainty (asas kepastian): asas ini menekankan bahwa bagi Wajib Pajak, harus jelas dan pasti tentang waku, jumlah dan cara pembayaran pajak. Dalam asas ini kepastian hukum sangat dipentingkan terutama mengenai subjek dan objek pajak.
Convenniency of Payment (asas menyenangkan): Pajak seharusnya dipungut pada waktu dengan cara yang paling menyenangkan bagi para Wajib Pajak, misalnya: pemungutan pajak Bumi dan Bangunan terhadap para petani, sebaiknya dipungut pada saat mereka memperoleh uang yaitu pada saat panen.
Law Cost of Collection (asas efisiensi): Asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih dari hasil pajak yang akan diterima. Pemungutan pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan Anggaran Belanja Negara. de Langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda yang dikutip dari sumber yang 69 sama sebagaimana tersebut di atas, menyebutkan 7 (tujuh) asas pokok perpajakan sebagai berikut: (Bukti Pemt. 22b) a. Asas kesamaan, dalam arti bahwa seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya dikenakan pajak yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi dalam pemungutan pajak.
Asas Daya-Pikul, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap Wajib Pajak hendaknya dikenakan pajak yang sama. Ini berarti orang yang pendapatannya tinggi dikenakan pajak yang tinggi, yang pendapatannya rendah dikenakan pajak yang rendah dan pendapatannya dibawah basic need dibebaskan dari pajak.
Asas keuntungan istimewa, bahwa seseorang yang mendapatkan keuntungan istimewa hendaknyadikenakan pajak istimewa pula.
Asas manfaat, mengatakan bahwa pengenaan pajak oleh pemerintah didasarkan atas alasan bahwa masyarakat menerima manfaat barang-barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah.
Asas kesejahteraan, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa dengan adanya tugas pemerintah yang pada suatu pihak membeirkan atau menyediakan barang- barang dan jasa bagi masyarakat dan pada lain pihak menarik pungutan-pungutan untuk membiayai kegiatan pemerintah tersebut, akan tetapi sebagai keseluruhan adalah meningkatkan kesejaheraan masyarakat.
Asas keringanan beban, asas ini menyatakan bahwa meskipun pengenaan pungutan merupakan beban masyarakat atau perorangan dan betapapun tingginya kesadaran berwarga negara, akan tetapi hendaknya diusahakan bahwa beban tersebut sekecil-kecilnya.
Asas keseimbangan, asas ini menyatakan bahwa dalam melaksanakan berbagai asas tersebut yang mungkin saling bertentangan, akan tetapi hendaknya selalu diusahakan sebaik mungkin. Artinya tidak mengganggu perasaan hukum, perasaan keadilan dan kepastian hukum. Dalam literatur yang sama, Adolf Wagner mempunyai dimensi yang lain dalam memandang asas pemungutan pajak dengan mengemukakan 4 (empat) postulat untuk terpenuhinya prinsip pemungutan pajak yang ideal yaitu: (Bukti Pemt. 22c) a. Asas Politik Finansial, yang meliputi:
Perpajakan hendaknya menghasilkan jumlah penerimaan yang memadai, dalam arti cukup untuk menutup biaya pengeluaran negara. 70 i Pajak hendaknya bersifat dinamis, artinya penerimaan negara dari pajak diharapkan selalu meningkat mengingat kebutuhan penduduknya selalu meningkat baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Asas Ekonomis Pemilihan mengenai perpajakan yang sangat tepat apakah hanya dikenakan pada pendapatan ataukah juga terhadap modal, dan atau pengeluaran. Pada umumnya yang paling adil untuk dikenakan pajak bagi Wajib Pajak adalah pajak pendapatan.
Asas keadilan i. Pajak hendaknya bersifat umum atau universal. Ini berarti bahwa pajak tidak boleh bersifat diskriminatif, artinya seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya diperlakukan yang sama;
ii. Kesamaan beban, artinya bahwa setiap orang hendaknya dikenakan beban pajak kira-kira sama. Untuk mengenakan pajak hendaknya memperhatikan daya pikul (kemampuan membayar) seseorang.
Asas administrasi i. Kepastian perpajakan: artinya bahwa pemungutan pajak hendaknya bersifat “pasti” dalam arti harus jelas disebutkan siapa atau apa yang dikenakan pajak, berapa besarnya, bagaimana cara pembayarannya, bukti pembayarannya, apa sanksinya jika terlambat membayar dan sebagainya.
ii. Keluwesan dalam penagihan: artinya dalam penggunaan atau penagihan pajak hendaknya “luwes” dalam ariti harus melihat keadaan pembayar pajak, apakah sedang menerima uang, apakah tidak mengalami bencana alam, atau apakah perusahannya mengalami palit dan sebagainya.iii iii. Ongkos pemungutan hendaknya diusahakan sekecil-kecilnya.
Asas yuridis atau asas hukum i. Kejelasan undang-undang perpajakan ii. Kata-kata dalam undang-undang hendaknya tidak bermakna ganda, dalam arti kata-kata dalam Undang-Undang tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda- beda. Dari uraian tersebut di atas, asas-asas pemungutan pajak yang selama ini dianut oleh Pemerintah telah mencerminkan best practise sebagaimana yang dikemukakan antara lain:
Hasil pemungutan pajak dewasa ini, telah mampu membiayai kurang lebih 80% dari APBN, dan target penerimaan pajak selalu bersifat dinamis, karena besarnya target 71 penerimaan tersebut selalu meningkat setiap tahunnya disesuaikan dengan kondisi ekonomi makro Indonesi
Pemungutan pajak di Indonesia didasarkan pada sistem self assessment yang mengandung pengertian bahwa Wajib Pajak dalam menghitung, menyetor dan melaporkan besarnya pajak yang harus dibayar didasarkan pada perhitungan Wajib Pajak sendiri atas penghasilan yang diperolehnya sehingga, kewenangan untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang ada pada Wajib Pajak.
Penerapan tarif progresif dalam UU PPh, adanya penetapan penghasilan tidak kena pajak dalam menghitung besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar, adanya penetapan nilai jual objek pajak tidak kena pajak dalam menghitung pajak bumi dan bangunan adalah sebagian contoh penerapan prinsip asas keadilan dan kesamaan beban dalam menghitung besarnya pajak yang harus dibayar. Artinya, sistem perpajakan Indonesia tidak bersifat diskriminatif dan memperhatikan daya pikul atau kemampuan membayar seseorang.
Penerapan pengenaan tarif tunggal untuk Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan mulai tahun 2009 sebesar 28% dan tarif final Pajak Penghasilan atas bunga simpanan bank serta penggunaan formulir SPT Sangat Sederhana (SPT 1720 SS) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan sejumlah tertentu yang bersumber dari satu pemberi kerja, merupakan contoh bahwa Pemerintah mempunyai komitmen untuk selalu berupaya melakukan penyederhanaan prosedur administrasi perpajakan agar Wajib Pajak mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan hak dan kewajiban kenegaraannya. Sehingga, administration cost yang menjadi beban Pemerintah maupun masyarakat Wajib Pajak dapat ditekan seminimal mungkin.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik, Pemerintah menyadari perlu dilakukan perubahan Undang-Undang Perpajakan. Perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, serta mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pada saat ini, Pemerintah bersama dengan DPR telah selesai mengamandemen Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU PPh, dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal ini, Pemerintah 72 berkeyakinan bahwa Undang-Undang Pajak harus dapat memberikan jaminan yang diperlukan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum, baik untuk negara maupun untuk warganya.
Fungsi Pajak Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Menurut R. Santoso Brotodihardjo, pajak mempunyai dua fungsi yaitu: (Bukti Pemt. 20d) 1) Fungsi budgeter (anggaran) Fungsi budgetair (fungsi anggaran) adalah fungsi yang letaknya pada sektor publik, dan pajak-pajak disini merupakan suatu alat (atau suatu sumber) untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Pajak-pajak ini terutama akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin, dan apabila setelah itu masih ada sisa (yang lazimnya disebut surplus), maka ini dapat digunakan untuk membiayai investasi pemerintah.
Fungsi mengatur ( regulerend ) Dengan fungsi mengatur, pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur ini banyak ditujukan terhadap sektor swasta. Dalam bukunya yang berjudul Fiscal Policy, Foreign Exchange Control and ekonomic Development (ditulis dalam tahun 1954), Prof Soemitro Djojohadikoesoemo mengatakan bahwa fiscal policy sebagai alat pembangunan harus mempunyai satu tujuan yang simultan, yaitu secara langsung menemukan dana-dana yang akan digunakan untuk public investment, Dalam perkembangannya, selain keduadan secara tidak langsung digunakan untuk menyalurkan private saving ke arah sektor-sektor yang produktif, sekaligus digunakan untuk mencegah pengeluaran-pengeluaran yang menghambat pembangunan atau yang “mubazir” dalam berbagai bentuknya. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut maka Fiscal Policy sebagai suatu alat pembangunan harus didasarkan atas kombinasi tarif pajak yang tinggi 73 (baik pajak langsung maupun tidak langsung) dengan suatu fleksibilitas yang lazim ada dalam sistem pengenaan pajak berupa pembebasan pajak dan pemberian insentif (atau dorongan-dorongan) untuk merangsang private investment yang diharapkan. Selain fungsi tersebut di atas, pajak juga memiliki fungsi:
Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
Fungsi redistribusi pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Sebagai sumber utama pendapatan negara, pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara dalam menjalankan tugas-tugas negara seperti belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, pengadaan infrastruktur dan sebagainya. Lebih lanjut penerimaan pajak juga digunakan untuk mengatur pertumbuhan ekonomi misalnya melalui pemberian keringanan pajak bagi investor yang akan menanamkan modal, pengenaan bea masuk yang tinggi atas barang impor dalam rangka melindungi produksi dalam negeri. Berkaitan dengan kebijakan stabilitas ekonomi makro, dilakukan dengan penggunaan uang pajak yang efektif dan efisien antara lain dilakukan dengan adanya pengurangan subsidi minyak namun di sisi lain tetap mempertahankan subsidi pupuk. Di sisi lain, dalam rangka menjalankan pemerataan pendapatan, uang pajak digunakan untuk dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). B. LANDASAN HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK 74 1. UUD 1945 Sesuai dengan tujuan Negara Republik Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, secara konstitusional negara diberikan kewenangan untuk melaksanakan pemungutan pajak dengan Undang-Undang. Kewenangan atributif tersebut tercantum dalam Pasal 23A UUD 1945 (amandemen ketiga) yang menyatakan bahwa: ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Dengan demikian, Pemerintah mempunyai kewenangan konstitusional untuk membentuk peraturan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008 dengan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Perlu ditegaskan bahwa penetapan pajak dilakukan melalui proses demokrasi, yang tercermin dalam proses penyusunan Undang-Undang pajak yang dilakukan oleh DPR sebagai representasi seluruh rakyat Indonesia bersama-sama dengan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.
Undang-Undang Berdasarkan ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut UUD 1945. Kekuasaan pemerintahan tersebut, meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang dalam pelaksanaannya dikuasakan kepada Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pengaturan lebih lanjut mengenai kekuasaan pengelolaan keuangan negara termasuk dalam melakukan pungutan pajak dituangkan dalam undang-undang sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah: “.. semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” (Bukti Pemt. 23a) __ 75 Yang dimaksud dengan keuangan negara dalam ketentuan tersebut di atas salah satunya meliputi hak negara untuk memungut pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negar __ Di lain pihak, Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang tentang Keuangan Negara mewajibkan Pemerintah untuk mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan demikian, dalam melakukan pemungutan pajak, Pemerintah harus menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan yang dikelola secara efektif, efisien, transparan, akuntabel berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan sehingga dapat dipertanggung jawabkan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan negara, telah melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal. Untuk lebih jelasnya, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai berikut:
Pasal 6 ( Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (Bukti Pemt. 23d ) __ (2) _Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) : _ a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil _Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan; _ Dalam menjalankan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan bertugas menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro.
Pasal 8 (Bukti Pemt. 23e) Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas antara lain “menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro; ”.
Pasal 11 ayat ( (Bukti Pemt. 23f) 76 Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, sangat jelas bahwa Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan, mempunyai kewenangan untuk mengelola keuangan negara yang salah satu sumbernya diperoleh dari pemungutan pajak. Terkait dengan hal tersebut, berikut ini diberikan contoh berbagai Undang-Undang yang mengatur tentang perpajakan sebagai berikut:
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengatur mengenai: (Bukti Pemt. 6) - Ketentuan Umum - Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Surat Pemberitahuan, dan tata cara pembayaran pajak - Penetapan dan Ketetapan Pajak - Penagihan Pajak - Keberatan dan Banding - Pembukuan dan Pemeriksaan - Ketentuan Khusus - Ketentuan Pidana - Penyidikan - Ketentuan Peralihan 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan mengatur mengenai: (Bukti Pemt. 2) - Ketentuan Umum - Subjek Pajak - Objek Pajak - Cara menghitung pajak - Pelunasan pajak dalam tahun berjalan - Perhitungan pajak pada akhir tahun - Ketentuan lain-lain - Ketentuan peralihan 77 - Ketentuan penutup.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai. C. Tinjauan Terhadap UU PPh Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian di atas, salah satu tujuan nasional kita adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, diperlukan sumber pembiayaan yang berkesinambungan, dengan sumber utama pembiayaan berasal dari penerimaan pajak. Dalam mewujudkan hal tersebut dibutuhkan partisipasi dari seluruh masyarakat. Untuk merealisasikan hal tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan DPR telah menyusun dan mengesahkan serangkaian Undang-Undang Perpajakan, diantaranya adalah UU PPh Tahun 2008. Dapat disampaikan bahwa sebelum berlakunya UU PPh, pemungutan pajak di Indonesia antara lain dilakukan dengan menggunakan Ordonansi Padjak Perseroan 1925 dan Ordonansi Pajak Pendapatan 1944. Seiring dengan reformasi perpajakan tahun 1983, Ordonansi tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Salah satu perubahan yang mendasar adalah perubahan prinsip pemenuhan kewajiban perpajakan dari official assessment menjadi self assessment . Sejalan perkembangan sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan serta mengikuti dinamika perubahan ekonomi global, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 telah mengalami beberapa kali perubahan terakhir adalah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983. 78 Untuk memperoleh pemahaman yang sama tentang ketentuan pokok yang terkait dengan Pajak Penghasilan, Pemerintah memberikan penjelasan secara umum mengenai hal-hal sebagai berikut:
Subjek PPh Subjek Pajak Penghasilan menurut Pasal 2 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 adalah: (Bukti Pemt. 2a) a. Orang pribadi;
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
Badan; dan
Bentuk usaha tetap.
Objek PPh Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Namun demikian, dalam UU PPh Tahun 2008 juga diatur mengenai jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak. Hal ini dapat diartikan secara sederhana bahwa atas penghasilan tersebut tidak dikenakan pajak. Dalam UU PPh Tahun 2008, pengecualian yang diberikan tersebut telah banyak diperluas dibandingkan dengan UU PPh Tahun 2000, antara lain berupa sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama selain agama Islam yang diakui di Indonesia, beasiswa, sisa lebih dari lembaga nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, serta bantuan/santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Tarif PPh Dalam UU PPh Tahun 2008, tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri turun dari 35% menjadi 30%. Sementara itu, tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap menjadi tarif tunggal sebesar 28% untuk tahun pajak 2009 dan mulai tahun pajak 2010 sebesar 25% dari 79 sebelumnya menggunakan tarif progresif dengan tarif tertinggi sebesar 30%. (Bukti Pemt. 2) 4. Sanksi Pengaturan sanksi perpajakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang- Undang KUP). Dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai sanksi perpajakan yaitu: (Bukti Pemt. 4) a. Sanksi administrasi. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tertib administrasi perpajakan dikenakan sanksi administrasi. Sanksi administrasi terdiri dari dua hal, yaitu sanksi administrasi berupa bunga dan sanksi administrasi berupa denda. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan dalam hal Wajib Pajak tidak mematuhi pembayaran atau penyetoran pajak sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Sementara itu sanksi administrasi berupa denda dikenakan apabila terdapat pelanggaran administrasi perpajakan dan kelalaian dalam pelaporan kewajiban perpajakan. Dengan demikian semangat dari pengaturan sanksi tersebut adalah untuk tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Sanksi Pidana. Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sepanjang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi pidana. Sanksi pidana yang dapat diajukan di muka pengadilan adalah perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39A, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 Undang-Undang KUP. Dengan adanya sanksi pidana tersebut, diharapkan tumbuhnya kesadaran Wajib Pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan seperti yang ditentukan dalam peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. D. UU PPh Tahun 2008 Memberikan Delegasi Untuk Mengatur Lebih Lanjut 80 Dalam UU PPh Tahun 2008, terdapat beberapa kaidah yang memberikan delegasi untuk mengatur lebih lanjut dalam bentuk peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang, sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah, meliputi Pasal-Pasal:
Pasal 4 ayat (1) huruf k;
Pasal 4 ayat (2);
Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1;
Pasal 6 ayat (1) huruf i;
Pasal 6 ayat (1) huruf j;
Pasal 6 ayat (1) huruf k;
Pasal 6 ayat (1) huruf l;
Pasal 6 ayat (1) huruf m;
Pasal 9 ayat (1) huruf g;
Pasal 17 ayat (2);
Pasal 17 ayat (2) huruf b;
Pasal 17 ayat (2) huruf d;
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 21 ayat (5);
Pasal 25 ayat (8);
Pasal 31A ayat (2);
Pasal 31D;
Pasal 32B; dan
Pasal 35.
Peraturan Menteri Keuangan, meliputi Pasal-Pasal:
Pasal 3 ayat (2);
Pasal 4 ayat (1) huruf d angka 4;
Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2;
Pasal 4 ayat (3) huruf h;
Pasal 4 ayat (3) huruf k angka 1;
Pasal 4 ayat (3) huruf l;
Pasal 4 ayat (3) huruf m;
Pasal 4 ayat (3) huruf n; 81 i. Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 7;
Pasal 6 ayat (1) huruf h;
Pasal 7 ayat (3);
Pasal 9 ayat (1) huruf c;
Pasal 9 ayat (1) huruf e;
Pasal 11 ayat (7);
Pasal 11 ayat (11);
Pasal 11A ayat (1) huruf a;
Pasal 14 ayat (5);
Pasal 14 ayat (7);
Pasal 17 ayat (3);
Pasal 18 ayat (3 huruf e;
Pasal 19 ayat (2);
Pasal 21 ayat (3);
Pasal 21 ayat (4);
Pasal 21 ayat (8);
Pasal 22 ayat (2);
Pasal 23 ayat (2);
aa. Pasal 23 ayat (4) huruf h;
bb. Pasal 24 ayat (6);
cc. Pasal 26 ayat (3);
dd. Pasal 26 ayat (4); dan
ee. Pasal 31E ayat (2).
Peraturan Direktur Jenderal Pajak, meliputi Pasal-Pasal:
Pasal 2 ayat (6);
Pasal 11 ayat (4);
Pasal 11 ayat (9);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 18 ayat (3);
Pasal 18 ayat (3) huruf a;
Pasal 23 ayat (3); dan
Pasal 25 ayat (6). 82 VI. TINJAUAN TERHADAP PASAL-PASAL YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23A UUD 1945, UU PPh Tahun 2008 telah mengatur hal-hal pokok mengenai materi Pajak Penghasilan. Sedangkan untuk hal- hal yang bersifat pengaturan lebih lanjut, UU PPh Tahun 2008 memberikan kewenangan kepada pejabat pemerintah atau melalui peraturan perundang- undangan yang lebih renda Pemberian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut tercermin pada pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (2) Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008 mengatur pengenaan pajak atas penghasilan tertentu yang dapat dikenai pajak bersifat final. Jenis-jenis penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi : (Bukti Pemt. 2b) __ a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
penghasilan berupa hadiah undian;
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
Penghasilan tertentu lainnya. Pengaturan tersendiri atas jenis-jenis penghasilan tersebut di atas dilakukan dengan Peraturan Pemerintah dan terbatas pada sifat, besar, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutannya. Adapun pertimbangan pengaturan tersendiri atas jenis-jenis penghasilan tersebut adalah :
Perlu adanya dorongan dalam rangka perkembangan investasi dan tabungan masyarakat;
Kesederhanaan dalam pemungutan pajak;
Berkurangnya beban administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak; 83 4. Pemerataan dalam pengenaan pajaknya; dan
Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008 memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk dapat mengenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas jenis- jenis penghasilan sebagaimana tersebut di atas. Pengenaan pajak yang bersifat final dilakukan dengan pertimbangan utama kesederhanaan administrasi baik bagi Wajib Pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak. Terkait dengan pengaturan besarnya tarif Pajak Penghasilan atas jenis-jenis penghasilan tersebut di atas diatur lebih lanjut dalam Pasal 17 ayat (7) yaitu tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 yaitu tarif PPh atas Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dengan tarif tertinggi sebesar 30% dan tarif Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap dengan tarif tertinggi sebesar 28% (yang akan menjadi sebesar 25% mulai tahun pajak 2010). Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 4 ayat (2) adalah sebagai berikut:
Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesi • Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 (Bukti Pemt. 11) ; dan __ • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001. (Bukti Pemt. 24) b. Pajak Penghasilan atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi. • Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009. (Bukti Pemt. 25) c. Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi. • Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009. (Bukti Pemt. 26) d. Pajak Penghasilan atas Hadiah Undian. • Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000. (Bukti Pemt. 27) • Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-395/PJ/2001. (Bukti Pemt. 28) 84 e. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek. • Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 stdd Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 (Bukti Pemt. 29) ; dan • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997. (Bukti Pemt. 30) f. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa. • Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009. (Bukti Pemt. 31) g. Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. • Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 stdtd Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 (perubahan ketiga); (Bukti Pemt.32 ) • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 stdtd Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 (perubahan kedua); (Bukti Pemt. 33) • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 (Bukti Pemt.34 ) ; dan • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2009. (Bukti Pemt. 35) h. Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi. • Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 stdd Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 (Bukti Pemt. 36) ; dan • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 stdd Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009. (Bukti Pemt. 37) i. Pembayaran Pajak atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan. • Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 stdd Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002; (Bukti Pemt.38) • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 stdd Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 (perubahan kelima) (Bukti Pemt. 39) ; dan
Pasal 7 ayat (3) 85 Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 mengamanatkan Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan DPR dapat menyesuaikan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu paling sedikit sebesar:
Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp 15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp 1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut dimaksudkan untuk memberikan keringanan bagi Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Baik UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 maupun UU PPh Tahun 2008 menetapkan batasan jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak atau dikenal dengan istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai pengurang penghasilan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar. Adapun ketentuan mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur baik dalam Pasal 7 UU PPh Tahun 1983, Pasal 7 UU PPh Tahun 2000 maupun Pasal 7 UU PPh Tahun 2008. Untuk memperoleh gambaran yang objektif mengenai ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak, di bawah ini kami sajikan tabel rumusan Pasal 7 baik dalam UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008: Tabel 2 Perbandingan Rumusan Pasal 7 UU PPh Tahun1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 86 (1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan sebesar: Rp2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; Rp1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan Rp1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar: Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi; Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri. Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan . Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pada tabel tersebut di atas, materi yang diatur dalam ketiga rumusan tersebut pada prinsipnya adalah mengatur hal yang sama, yaitu mengatur mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak ( vide ayat (1)) , ketentuan bahwa penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah kondisi pada awal tahun pajak ( vide ayat (2)) , dan ketentuan bahwa besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak pada dasarnya dapat disesuaikan dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan ( vide ayat ) . 87 Dapat disampaikan pula bahwa Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan telah 2 (dua) kali mengubah besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk disesuaikan dengan perkembangan kehidupan sosial, politik dan ekonomi serta sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, yaitu melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 (Bukti Pemt. 40) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. (Bukti Pemt.41) Perubahan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak sejak berlakunya UU PPh Tahun 2000 s.d berlakunya UU PPh Tahun 2008 dapat diiuraikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 3 Perubahan Besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak Berdasarkan UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008 ( dalam Rupiah) No Keterangan UU PPh Tahun 2000 UU PPh Tahun 2008 Pasal 7 ayat (1) KMK No. 564/KMK.03/ 2004 PMK No. 137/PMK.03/ 2005
Pasal 7
ayat (1) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840,000,00 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dgn penghasilan suami 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840.000,00 4 Tambahan untuk setiap tanggungan 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 Dengan memperhatikan data pada tabel tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan 88 amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan delegasi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan permasalahan implementasi suatu Undang-Undang (dalam hal ini Undang-Undang a quo ), yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu konstitusionalitas. Bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Pasal 14 ayat (1) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak dibutuhkan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Oleh karena itu perlu diberikan kemudahan melalui mekanisme lain yang tidak didasarkan pada pembukuan yaitu melalui penerapan norma penghitungan penghasilan netto. Pasal 14 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 mengamanatkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuat Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan. Dalam menentukan besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Direktur Jenderal Pajak harus mendasarkan pada hasil penelitian, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Untuk lebih mencerminkan tingkat kewajaran dari kondisi usaha Wajib Pajak, besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Netto perlu dilakukan penyempurnaan secara terus menerus. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 14 ayat (1) adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000. (Bukti Pemt.42) 4. Pasal 14 ayat (7) Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 89 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. (Bukti Pemt. 2e) Berdasarkan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008 Menteri Keuangan dapat melakukan penyesuaian batasan peredaran bruto sebesar Rp 4.800.000.000,00 di atas dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 17 ayat (2) Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebesar 30% (tiga puluh persen) dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penurunan tarif ini dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan DPR pada saat pembahasan dalam rangka menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 17 ayat (2) huruf a Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 28% mulai tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25% yang telah diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a UU PPh Tahun 2008. Bahwa norma Pasal 17 ayat (2) huruf a sama sekali tidak mengatur mengenai pelimpahan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai besarnya tarif ataupun hal lain terkait dengan pasal tersebut. Oleh karena itu sudah sepatutnya Majelis mengesampingkan pengujian terhadap pasal dimaksud.
Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d Pengenaan pajak atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanat Pasal 17 ayat (2) huruf c besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen tersebut diberikan batasan paling tinggi 10% dan bersifat final. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tersebut telah mengatur besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen sebesar 10% (Bukti Pemt.43) . Tarif sebesar 10% tersebut tidak melebihi batas tarif tertinggi yang ditentukan oleh Undang- Undang. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa peraturan pemerintah tersebut tidak menambah berat beban Wajib Pajak.
Pasal 17 ayat (3) 90 Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 adalah sebesar sebagai berikut: Tabel 4 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif s.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp 250.000.000,00 s.d.Rp 500.000.000,00 25% Di atas Rp 500.000.000,00 30% (Untuk Wajib Pajak Badan tidak terdapat adanya lapisan penghasilan kena pajak) Bahwa besarnya lapisan penghasilan kena pajak tersebut berdasarkan Pasal 17 ayat (3) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan disesuaikan dengan faktor penyesuaian yang didasarkan pada kondisi perkembangan perekonomian antara lain tingkat inflasi.
Pasal 17 ayat (7) Penetapan tarif tersendiri atas jenis-jenis penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dibatasi tidak melebihi tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yaitu sebesar 30% dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan yaitu sebesar 28%. Dalam ketentuan Pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menetapkan besarnya tarif tersendiri berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2). Meskipun demikian Pemerintah dalam melaksanakan kewenangan menetapkan besarnya tarif tersendiri untuk Pasal 4 ayat (2) harus memenuhi syarat sebagai berikut: 91 1. Tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Dengan mempertimbangkan aspek kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Pasal 19 ayat (2) Menteri Keuangan berdasarkan Pasal ini diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) dengan mempertimbangkan:
Perkembangan harga yang mencolok; atau
Perubahan kebijakan di bidang moneter, yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan, sehingga mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Namun demikian, Menteri Keuangan dalam menetapkan besarnya tarif pajak tersendiri atas penilaian kembali aktiva tetap dibatasi yaitu tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Pasal 21 ayat (5) Pada prinsipnya pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dipotong pajak berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh Tahun 2008. Namun demikian dalam rangka kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang-Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas 92 Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. • Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994. (Bukti Pemt. 44) b. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. • Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009. (Bukti Pemt. 45) 12. Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, sudah sewajarnya terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih tinggi dikenakan pajak lebih dibandingkan dengan yang mempunyai kemampuan ekonomis lebih rendah. Dengan dasar pemikiran tersebut, berdasarkan Pasal ini Menteri Keuangan diberikan wewenang:
Menetapkan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah, baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.
Menetapkan dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak dari penjualan barang sebagaimana dimaksud pada angka 1. Namun demikian, dalam melaksanakan wewenang tersebut Menteri Keuangan harus mempertimbangkan, antara lain:
Penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan
Prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) adalah sebagai berikut: • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 (Bukti Pemt. 46) ; dan • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 stdtd Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008. (Bukti Pemt.47 ) 1 Pasal 25 ayat (8) 93 Berdasarkan pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengatur pengenaan pajak atas orang pribadi yang bertolak ke luar negeri. Pengenaan pajak tersebut adalah dalam rangka mendorong partisipasi setiap Warga Negara untuk ikut membiayai pembangunan melalui pembayaran pajak. Dengan demikian sudah selayaknya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak. Walaupun demikian dengan Peraturan Pemerintah diatur mengenai Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri yang dikecualikan dari kewajiban membayar pajak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan antara lain pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri dan pekerja yang akan berangkat ke luar negeri. Pemungutan Fiskal Luar Negeri bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang yang memenuhi ketentuan akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 25 ayat (8) adalah sebagai berikut: • Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 (Bukti Pemt.48 ) ; • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-51/PJ/2008 (Bukti Pemt.49 ) ; dan • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2008 stdtd PER-14/PJ/2009. (Bukti Pemt. 50) VII. Penjelasan Mengenai Pokok Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Bahwa terhadap ketentuan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, pemerintah berpendapat sebagai berikut:
Pemohon dalam positanya mendalilkan, bahwa pasal-pasal dalam undang- undang a quo bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun dalam petitumnya Pemohon meminta agar pasal-pasal dalam undang-undang a quo dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Disitu terlihat 94 adanya inkonsistensi antara posita dengan petitum yang tertuang dalam surat permohonan Pemohon. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal-pasal dalam undang-undang a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum yang adil kepada setiap Wajib Pajak. Pasal-Pasal a quo justru dimaksudkan untuk memberi kejelasan dan kepastian hukum sehingga setiap Wajib Pajak akan terhindar dari perlakuan sewenang-wenang. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dalam surat Permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa pasal-pasal aquo dapat mengancam kehormatan, martabat, dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal aquo memberikan pendelegasian wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR. Pasal-Pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada tiap Wajib Pajak. Itu berarti perlindungan tiap Wajib Pajak dari perlakuan sewenang- wenang dari aparat Pemerintah. Itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Dalam bagian posita surat permohonannya Pemohon menyatakan, bahwa Peraturan Pemerintah 131 Tahun 2000 tidak adil dan tidak sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila,“ karena andaikata yang membayar bunga tersebut “orang kaya” maka seharusnya (sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008) dikenakan dengan tarif pajak 35 %, tetapi kenyataannya tetap dikenakan pajak dengan tarif 20 %.” (Lihat Surat Permohonan halaman 11). Pernyataan Pemohon ini menjadi tidak jelas, apakah Pemohon sedang mengajukan 95 pengujian peraturan pemerintah terhadap UUD 1945 atau peraturan pemerintah terhadap Undang-Undang, yang keduanya jelas diluar kompetensi Mahkamah Konstitusi. Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 itu melanggar Pasal 28G ayat Padahal sebagaimana di atas telah dikemukakan, bahwa pasal- pasal a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap Wajib Pajak, yaitu kepastian hukum yang adil sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Itu berarti tidak melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan pula, bahwa pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28H ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang- wenang oleh siapapun.” Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan, dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pasal-pasal dalam undang-undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang Wajib Pajak mempunyai hak milik, atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang-wenang. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo sekali lagi, justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh UUD 1945 yang merupakan dasar hukum bagi negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada Wajib Pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada Wajib Pajak yang didasarkan kepada Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik Wajib Pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo, justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap Wajib Pajak. Karena itu pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. 96 2. Terhadap pengujian Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 4 ayat (2) _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh _koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian; _ c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima _oleh perusahaan modal ventura; _ d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah _dan/atau bangunan; dan _ e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” Pasal 17 ayat (7) “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” . Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan pengenaan pajak secara final terhadap penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, karena menurut Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan sebagai berikut: _“Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ _a) UUD 1945; _ _b) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; _ 97 _c) Peraturan Pemerintah; _ _d) Peraturan Presiden; dan _ e) Peraturan Daerah.” __ Sebagaimana diketahui bahwa dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, peraturan tertinggi di bawah UUD 1945 selalu berbentuk Undang-Undang, dimana yang berwenang membentuk Undang-Undang adalah DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden. Apabila ketentuan dalam Undang-Undang masih belum cukup dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternatif syarat, yaitu:
Adanya perintah yang tegas mengenai subyek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau
Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari Undang- Undang atau lembaga pembentuk Undang-Undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi; Ketiga persyaratan tersebut bersifat alternatif dan salah satunya harus ada dalam rangka pemberian delegasi kewenangan pengaturan (rule-making power). Lembaga pelaksana Undang-Undang, baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh Undang-Undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu (Bukti Pemt.
13d) . Di Indonesia sendiri, dewasa ini, ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Juga ada Peraturan Menteri dan bahkan masih banyak Peraturan Direktur Jenderal yang masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat umum yang masih disebut sebagai Surat Keputusan, seperti Keputusan Dirjen Bea Cukai, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan sebagainya. Sudah menjadi konvensi ketatanegaraan di Indonesia bahwa berbagai Undang- Undang yang mengatur pajak dan pungutan lain itu memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut, seperti: 98 1. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang a quo yang memberi delegasi kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah, berkaitan dengan pajak bersifat final atas a.penghasilan berupa deposito;
Penghasilan berupa hadiah undian;
Penghasilan dari transaksi saham;
.dst;
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 14 ayat (7); dst, sebagaimana didalilkan Pemohon. Pendelegasian wewenang oleh Undang-Undang kepada pemerintah, yakni Presiden, Menteri-Menteri dari suatu departemen untuk membuat suatu peraturan atau norma umum adalah suatu praktek pemerintahan yang sudah lazim dan diterima sebagai sebuah konvensi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal itu, ahli hukum Tata Negara Hans Kelsen menyatakan pendapatnya sebagai berikut : “ Kadang-kadang pembentukan norma-norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih. Sejumlah konstitusi memberikan wewenang pembuatan norma-norma umum kepada otoritas adminstratif tertentu, seperti kepala negara (presiden) atau menteri kabinet, guna menjabarkan ketentuan Undang-Undang. Norma-norma umum semacam ini, yang tidak dikeluarkan oleh organ legislatif melainkan oleh organ lain atas dasar norma-norma umum yang dikeluarkan oleh legislatif disebut peraturan atau ordonansi. Menurut sejumlah konstitusi, organ-organ administratif tertentu----- terutama kepala negara (presiden) atau menteri kabinet sebagai pimpinan departemen pemerintahan tertentu----- di bawah keadaan-keadaan luar biasa, diberi wewenang membuat norma-norma umum untuk mengatur masalah- masalah yang biasanya diatur oleh organ legislatif melalui Undang-Undang .” Sejalan dengan pemikiran itu maka norma hukum yang lebih tinggi dapat menentukan:
Organ dan prosedur pembuatan norma hukum yang lebih rendah;
Substansi norma hukum yang lebih rendah. Dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi dengan proses pembuatan Undang-Undang, ahli konstitusi CF. Strong menyatakan sebagai berikut: “Bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi 99 proses Undang-Undang biasa untuk mengembangkan konstitusi itu dalam aturan- aturan yang sudah disiapkan.” (Bukti Pemt. 52) Dengan demikian sebuah konstitusi menggariskan prinsip umum yang mendasari hubungan hak dan kewajiban antara negara, yaitu pemerintah, dengan rakyat, berkenaan dengan pajak dan pungutan lain. Prinsip umum ini kemudian dikembangkan melalui proses pembuatan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya. Pasal 23A UUD 1945, sesungguhnya meletakkan prinsip umum, yaitu “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang .” Itu bermakna, bahwa pemerintah selaku pihak yang mewakili negara dapat mengenakan pajak dan pungutan lain kepada rakyat atas dasar Undang-Undang. Atas dasar prinsip umum itulah Pemerintah dan DPR menyetujui berbagai Undang-Undang Pajak dan pungutan lainnya. Selanjutnya atas dasar Undang-Undang tersebut dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan untuk tujuan menjalankan amanah yang tertuang dalam norma Undang-Undang Pajak dan pungutan lain itu. Bahwa norma hukum yang tertuang dalam Undang-Undang dapat didelegasikan pelaksanaannya kepada peraturan-peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada Undang-Undang, baik secara implisit maupun eksplisit dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatur sebagai berikut: “ _Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ a. _UUD 1945; _ b. _Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; _ c. _Peraturan Pemerintah; _ d. _Peraturan Presiden; _ e. Peraturan Daerah.” Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, 100 lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7), kedua ketentuan tersebut memuat secara tegas bentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan muatan materi yang diatur sehingga memenuhi syarat pendelegasian. Berkaitan dengan muatan materi yang didelegasikan berupa penentuan tarif termasuk tarif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000, Pemerintah berpendapat bahwa, penentuan tarif tersebut tidak terlepas dan berdiri sendiri dari pengaturan dalam Undang-Undang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, tarif yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tersebut terikat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) yaitu tidak diperkenankan lebih tinggi dari tarif tertinggi yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1). Berdasarkan penjelasan di atas, sudah jelas bahwa Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap pengujian Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang berbunyi “ Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR ” Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pelimpahan kewenangan menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR merupakan amanat/perintah yang tegas dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 itu sendiri merupakan produk bersama antara Presiden dan DPR sebagai wakil rakyat, sehingga Pelimpahan kewenangan untuk menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan adalah sudah sepengetahuan dan sudah mendapat persetujuan DPR. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga kedudukan Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dilaksanakan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan 101 harga kebutuhan pokok setiap tahunnya yang dinamis. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepatnya. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, apabila sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan bagi Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak. Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut dimaksudkan untuk memberikan keringanan bagi Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Baik UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 maupun UU PPh Tahun 2008 menetapkan batasan jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak atau dikenal dengan istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagai pengurang penghasilan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar. Adapun ketentuan mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam Pasal 7 baik dalam Pasal 7 UU PPh Tahun 1983, Pasal 7 UU PPh Tahun 2000 maupun Pasal 7 UU PPh Tahun 2008. Untuk memperoleh gambaran yang objektif mengenai ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dalam rumusan Pasal 7 baik dalam UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008, di bawah ini disajikan tabel: Tabel 5 Perbandingan Rumusan Pasal 7 UU PPh Tahun1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 102 (1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan sebesar:
Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri. Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan . Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pada tabel tersebut di atas, materi yang diatur dalam ketiga rumusan tersebut pada prinsipnya adalah mengatur hal yang sama, yaitu mengatur mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak ( vide ayat (1)) , ketentuan bahwa penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah kondisi pada awal tahun pajak ( vide ayat ) , dan ketentuan bahwa besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak pada dasarnya dapat disesuaikan dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan ( vide ayat (3)) . Dapat disampaikan pula bahwa Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan telah 2 (dua) kali mengubah besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk 103 disesuaikan dengan perkembangan kehidupan sosial, politik dan ekonomi serta sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, yaitu melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Menurut Pemerintah, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 lebih besar dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 2000, baik secara sendiri- sendiri maupun secara keseluruhan. Hal ini dapat digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 6 Penghasilan Tidak Kena Pajak Berdasarkan UU PPh Tahun 2000 Dan UU PPh Tahun 2008 No Keterangan UU PPh 2000 UU PPh 2008 Pasal 7 ayat (1) KMK No. 564/KMK.03/ 2004 %) PMK No. 137/PMK.03/ 2005 %) Pasal 7 ayat (1) %) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2 4.320.000 13.200.000 206 14.400.000 9 17.160.000 19 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami 2.880.000 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 Jumlah 1+2+3 7.200.000 25.200.000 250 27.600.000 10 33.000.000 20 4 Tambahan untuk setiap tanggungan (paling banyak 3 orang) 1.440.000 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2+3+4 8.640.000 26.400.000 205 28.800.000 9 34.320.000 19 Keterangan: *) kenaikan (kolom 4:
**) kenaikan (kolom 6:
***) kenaikan (kolom 8:
104 Menurut tabel tersebut di atas, dapat dilihat adanya kenaikan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak sejak diberlakukannya UU PPh Tahun 2000 sampai dengan UU PPh Tahun 2008, dengan uraian sebagai berikut:
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp 2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp 12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/ 2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin meningkat menjadi Rp1.320.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 per orang, berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 per orang, dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 105 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang meningkat menjadi Rp1.320.000,00 per orang. Dengan memperhatikan fakta-fakta tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan kewenangan atributif kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Perlu kami sampaikan pula bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Terhadap Pasal 14 Ayat (1) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan netto dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ” dan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, diperlukan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi tersebut, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Bagi Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. 106 Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Netto sangat membantu bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan Netto. Norma Penghitungan disusun berdasarkan hasil penelitian, kondisi ekonomi, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Sebagaimana diketahui bahwa perubahan perekonomian global pada saat ini begitu cepat, seperti krisis ekonomi dan moneter yang melanda negara-negara maju yang dampaknya juga dirasakan oleh negara-negara berkembang. Untuk merespon perkembangan perekonomian yang begitu cepat diperlukan pengaturan sesegera mungkin. Sebagai contoh, apabila terjadi perubahan ekonomi yang begitu cepat, sedangkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan batas peredaran bruto yang ada sudah tidak sesuai dengan keadaan perekonomian dan kemampuan Wajib Pajak, maka diperlukan pengaturan sesegera mungkin agar pembebanan pajak kepada masyarakat tidak turut menambah kesulitan hidup rakyat banyak khususnya Wajib Pajak. Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas bukan merupakan kewajiban, hal ini hanya suatu pilihan. Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi merasa dirugikan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto maka dapat memilih alternatif lain yaitu dengan menyelenggarakan pembukuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi untuk menentukan penghasilan Netto. Pelimpahan kewenangan untuk menyesuaikan Norma Penghitungan Penghasilan Netto oleh Direktur Jenderal Pajak dan penyesuaian besarnya batas peredaran bruto dengan Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat dan perintah tegas UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 17 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ”; 107 Pasal 17 Ayat (2a) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun 2010 ”; Pasal 17 Ayat (2c) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final ’; dan Pasal 17 Ayat (2d) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 bertujuan untuk mengurangi beban pajak yang harus ditanggung masyarakat. Menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, pembahasan perubahan tarif tersebut dikemukakan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam rangka penyusunan RAPBN. Jadi walaupun perubahan tarif tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah, DPR sebagai wakil rakyat tetap ikut serta untuk membahasnya. Pelimpahan wewenang pengaturan perubahan atau penurunan tarif kepada Peraturan Pemerintah diperbolehkan karena hal tersebut merupakan amanat/perintah dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 194 Sehingga ketentuan dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ”, Pemerintah berpendapat bahwa penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan tingkat inflasi setiap tahunnya. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepat. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, perlu kiranya respon yang cepat dari pemerintah untuk pengaturan pajak agar bisa dihindari potensi kerugian pajak. Oleh karena itu sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk 108 mengatur lebih lanjut penyesuaian lapisan Penghasilan Kena Pajak. Kebijakan pemerintah mengenai lapisan Penghasilan Kena Pajak, selama ini memberikan banyak kemudahan-kemudahan bagi Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tarif tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menghapus lapisan tarif 10%, sehingga lapisan tarif berkurang dari 5 (lima) menjadi menjadi 4 (empat) lapisan serta memperluas lapisan penghasilan kena pajak ( income bracket ) yang semula lapisan tertinggi di atas Rp 200.000.000,00 menjadi di atas Rp 500.000.000,00, untuk lapisan terendah yang semula Rp 0,00 s.d. Rp 25.000.000,00 menjadi Rp 0,00 s.d. Rp 50.000.000,00. Lebih rinci mengenai perubahan tarif tersebut tampak pada tabel sebagai berikut: Tabel 7 Perbandingan Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi antara UU PPh Tahun 2000 dengan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang PPh Tahun 2000 Undang-Undang PPh Tahun 2008 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif S.d Rp 25.000.000,00 5% S.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp25.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00 10% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 15% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp100.000.000,00 s.d.Rp200.000.000,00 25% Di atas Rp250.000.000,00 s.d.Rp500.000.000,00 25% Di atas Rp200.000.000,00 35% Di atas Rp500.000.000,00 30% Dari tabel tersebut di atas, perubahan lapisan penghasilan kena pajak dan tarif dalam UU PPh Tahun 2008 banyak memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak. Hal ini baru ditinjau dari sudut tarif dan lapisan penghasilan kena pajak, masih banyak lagi kemudahan bagi Wajib Pajak, antara lain:
Kenaikan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak;
Penurunan Tarif Dividen;
Penambahan batasan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan;
Pembebasan pembayaran Fiskal Luar Negeri; dan
Penetapan angsuran untuk pengusaha tertentu. 109 Pelimpahan kewenangan pengaturan penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak kepada Keputusan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sedangkan UU PPh Tahun 2008 merupakan amanat atau perintah langsung dari UUD 194 Jadi Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan untuk menetapkan tarif pajak tersendiri atas selisih penilaian aktiva tetap ini bertujuan untuk mengantisipasi perubahan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter yang dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban biaya yang kurang wajar. Jadi penerbitan Peraturan Menteri Keuangan ini bertujuan untuk melindungi Wajib Pajak dari beban pajak yang melebihi kemampuan Wajib Pajak dan Pelimpahan kewenangan pengaturan tarif tersendiri terhadap selisih revaluasi aset kepada Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008 yang sudah melalui pembahasan dengan DPR sebagai representasi warga negara. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksana atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Oleh karena itu Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 21 Ayat (5) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud 110 pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah bertujuan untuk kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang- Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. Dengan pertimbangan bahwa pemotongan tersebut akan mengurangi gaji, upah, uang pensiun, dan sebagainya yang diterima atau diperoleh para Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya, sedangkan pada umumnya penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah tersebut belum mencapai suatu tingkat yang memadai, maka pemerintah selaku pemberi kerja memandang perlu untuk menanggung Pajak Penghasilan yang terutang oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan pensiunan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau pensiunan yang diterima secara tetap yang dananya dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Oleh karena itu Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif pajak penghasilan agar manfaat yang diperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum. 111 Jadi pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Lembaga pelaksana undang-undang baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh undang-undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Terhadap Pasal 22 Ayat (1) huruf c UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah ” dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Pelimpahan kewenangan pengaturan pemungutan pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat sebagai pembayaran di muka, yang diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan di akhir tahun. Jadi bukan bukan PPh final. Ini hanya metode how to collect taxes through others (withholding system) . Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sehingga Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 112 10.Terhadap Pasal 25 Ayat (8) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “ Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak keluar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pengenaan Fiskal Luar Negeri terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Fiskal Luar Negeri tersebut, diatur juga pengecualian pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang bertolak ke luar negeri diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang memiliki NPWP dibebaskan dari kewajiban membayar Fiskal Luar Negeri demikian pula pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri tidak diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan. Hal tersebut berlaku pula bagi pekerja yang akan berangkat ke luar negeri juga dibebaskan dari Fiskal Luar Negeri asalkan memenuhi syarat- syarat yang ditentukan. Pemungutan Fiskal Luar Negeri juga bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Fiskal luar negeri bukan jenis pajak bersifat final. Perlu disampaikan juga bahwa menurut Pasal 25 ayat (8) huruf a UU PPh Tahun 2008, pengenaan Fiskal Luar Negeri hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Secara keseluruhan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji adalah mengenai pelimpahan wewenang pengaturan kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan 113 Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pada prinsipnya pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut diperbolehkan karena merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Selain itu Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Jadi Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . Selanjutnya mengenai pokok permohonan pengujian materiil terhadap 15 norma UU PPh Tahun 2008 mengenai pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya. Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pemungutan pajak yang berlandaskan peraturan perundang-undangan, serta sesuai dengan kemampuan Wajib Pajak dan keadaan perekonomian bangsa Indonesia, diperlukan pembuatan pengaturan pemungutan pajak yang cepat dan sesederhana mungkin. Pembuatan pengaturan melalui Undang-Undang dirasa akan memakan waktu lama sehingga diperlukan fleksibilitas pengaturan yang tinggi agar dapat mengakomodir kepentingan pengamanan penerimaan negara dari pajak. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk menerapkan prinsip efisiensi dalam pembuatan aturan-aturan yang menjadi landasan pemungutan pajak. Efisiensi dalam pembuatan aturan di bidang perpajakan menyangkut beberapa aspek antara lain aspek prosedur, biaya, sumber daya, dan kegunaan.
Prosedur Pembuatan Untuk membuat suatu Undang-Undang dibutuhkan prosedur yang panjang dan melalui proses yang melibatkan berbagai pihak baik dari eksekutif maupun legislatif. Proses yang panjang dari pembuatan suatu Undang-Undang yang tidak mampu mengakomodir perubahan dalam masyarakat tentu berdampak negatif pada banyak hal termasuk rasa keadilan dalam masyarakat terkait pembebanan pajak. Di sisi Pemerintah, ketidakselarasan tersebut berdampak pada kepentingan penerimaan negara yang pada akhirnya mempengaruhi kepentingan nasional dalam hal 114 pembiayaan belanja negar Tidak demikian halnya dengan pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang tidak terlalu membutuhkan proses yang panjang dan tidak terlalu menuntut keterlibatan banyak pihak. Pemilihan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan terlepas dari muatan atau isi pengaturan, dapat dikatakan mengedepankan efisiensi dalam prosedur pembuatannya dan terpenuhinya rasa keadilan bagi Wajib Pajak. Namun demikian, pertimbangan efisiensi tidak diharapkan berubah bentuk menjadi kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, untuk dapat menjalankan prinsip efisiensi ini, diperlukan koridor dari Undang-Undang itu sendiri sebagai batasan terhadap kewenangan yang diberikan.
Biaya Pengukuran pada biaya biasanya berbanding lurus dengan prosedur pembuatan. Semakin pendek prosedur yang dilewati maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan sehingga efisiensi dari biaya akan dapat diperoleh. Biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dapat dikatakan akan lebih sedikit dibanding biaya yang diperlukan dalam pembuatan sebuah Undang-Undang.
Sumber Daya Prinsip efisiensi mengedepankan pemanfataan sumber daya minimal dengan pencapaian tujuan yang optimal. Dalam pembuatan peraturan perpajakan dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak kebutuhan sumber daya diharapkan tidak sebesar kebutuhan dalam pembuatan Undang-Undang.
Kegunaan Suatu peraturan perundang-undangan haruslah memiliki kegunaan atau manfaat. Salah satu kegunaan suatu peraturan pemungutan pajak adalah memberikan legitimasi secara hukum kepada otoritas perpajakan dalam melakukan pemungutan pajak. Jenis atau bentuk pengaturan tidak menjadi masalah sepanjang peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterapkan dan memiliki manfaat yang diharapkan. Perkembangan aktivitas ekonomi yang sangat cepat, dapat menimbulkan potensi kehilangan sumber penerimaan pajak. Untuk itu diperlukan pengaturan secepat mungkin yang akan mengakomodasi perkembangan ekonomi, menutup celah 115 penghindaran pemajakan, dan yang terpenting mengamankan penerimaan negara yang menampung kepentingan rakyat banyak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gustav Radbruch yang menguraikan adanya tiga unsur dalam pembentukan hukum yaitu: filosofi (keadilan), sosiologis (kemanfaatan), dan yuridis (kepastian hukum). Radbruch berpendapat bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi lagi suatu peraturan hukum memiliki validitas. Selain prinsip efisiensi di atas, prinsip lain yang mendukung pendelegasian wewenang dalam pengaturan pemungutan pajak adalah diterapkannya asas kesederhanaan, baik dari struktur tarif maupun tata cara pemungutannya. Melalui penerapan prinsip efisiensi dan kesederhaan maka biaya pemungutan bagi administrasi perpajakan dan juga biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak dapat ditekan. Hal ini berdampak positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dan pada akhirnya kepada penerimaan dari pajak itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah, pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya diperbolehkan dengan alasan fleksibilitas dengan memperhatikan efisiensi dan kesederhaan sepanjang pengaturan tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir dan tidak secara nyata dilarang oleh UUD 1945 . VIII.Dampak Seandainya Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Dikabulkan. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas Pemerintah kembali menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, sebab tidak benar telah ada ketidakpastian hukum sehubungan dengan pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan lebih lanjut UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang tersebut merupakan persetujuan bersama pembuat undang-undang yaitu DPR sebagai wakil rakyat dan Pemerintah, melalui Undang-Undang yang secara 116 tegas mengamanatkan untuk membuat peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008. Sebaliknya, apabila permohonan pengujian pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan Pemohon dikabulkan dengan menyatakan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka hal tersebut justru akan menimbulkan dampak buruk berupa:
Bila pasal-asal a quo dalam UU PPh Tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas, yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi peraturan pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak untuk mengenakan pajak kepada para Wajib Pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan essensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia, utamanya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” b. Pasal 28A : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupanny” c. Pasal 28C ayat (1) : “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. ” d. Pasal 28D ayat (2) : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” e. Pasal 28H ayat (1) : 117 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3) : “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” g. Pasal 28 I ayat (3) : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28 I ayat (4) : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” __ Selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: (Bukti Pemt. 53) 1. Pasal 6 : Hak atas pekerjaan;
Pasal 7 : Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan;
Pasal 8 : Hak-hak serikat pekerja;
Pasal 9 : Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial;
Pasal 10 : Hak-hak keluarga;
Pasal 11 : Hak atas standar kehidupan yang layak;
Pasal 12 : Hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental;
Pasal 13-14 : Hak atas Pendidikan;
Pasal 15 : Hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Pasal 15 KIHESB tersebut di atas, negara, yakni pemerintah, merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, melaksanakan penegakan dan 118 pemenuhan Hak Asasi Manusia, yaitu dalam hal ini adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum, seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya. Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat. Uraian panjang tersebut di atas membawa kita pada suatu pengertian, bahwa pasal- pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Lebih dari 30 (tiga puluh) peraturan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008, ratusan peraturan pelaksanaan perundang-undangan pajak lainnya (PPN dan PPn BM, PBB, BPHTB dan Bea Meterai) dan ratusan peraturan daerah yang mengatur pungutan yang bersifat memaksa, harus dicabut dan diatur kembali dalam bentuk pasal-pasal di dalam Undang-Undang, hanya untuk memenuhi keinginan Pemohon, agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Berdasarkan analisa perhitungan penerimaan negara, apabila permohonan pengujian materiil UU PPh Tahun 2008 dikabulkan, maka diperkirakan negara akan berpotensi kehilangan penerimaan kurang lebih sebesar Rp 69 Triliun (Enam Puluh Sembilan Triliun Rupiah) untuk Tahun Pajak 2010 (Bukti Pemt. 54) hanya untuk Pajak Penghasilan saja. Hal ini akan menghambat laju pembangunan dan menghalangi terwujudnya tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dana sebesar Rp 69 Triliun apabila dipergunakan untuk kepentingan rakyat dapat dipergunakan:
Untuk membangun sekolah dasar inpres sebanyak 53.076 sekolah dasar inpres, b. Untuk membangun jalan beraspal sepanjang 138.000 km, c. Untuk membangun Puskesmas didaerah terpencil sebanyak 92.000 puskesmas. (Bukti Pemt. 55) 119 IX. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dan untuk selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, (legal standing). 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1),Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). __ [2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalinya, Pemerintah telah mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-55 sebagai berikut:
Bukti Pemt-1 : Fotokopi UUD 1945 beserta Amandemen;
Pasal 23;
Pasal 23A;
Pasal 23B;
Pasal 23C;
Pasal 23D;
Pasal 24A ayat (1);
Pasal 24C ayat (1);
Pasal 28D ayat (1);
Pasal 28G ayat (1);
Pasal 28 H ayat (4).
Bukti Pemt-2 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 120 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Pasal 2 ayat (1);
Pasal 4 ayat (2) c. Pasal 7 ayat (3), d. Pasal 14 ayat (1), d. Pasal 14 ayat (2), e. Pasal 14 ayat (7), f. Pasal 17 ayat (2), g. Pasal 17 ayat (2) huruf a, h. Pasal 17 ayat (2) huruf c, i. Pasal 17 ayat (2) huruf d, j. Pasal 17 ayat (3), k. Pasal 17 ayat (7), l. Pasal 19 ayat (2), m. Pasal 20 ayat (2), n. Pasal 21 ayat (5), o. Pasal 22 ayat (1c), p. Pasal 22 ayat (2), q. Pasal 25 ayat (8) 3. Bukti Pemt-3 :
Pasal 10 ayat (1);
Pasal 51 ayat (1) 4. Bukti Pemt-4 : Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009:
Pasal 1, angka 1;
Pasal 38;
Pasal 39A;
Pasal 39;
Pasal 40;
Pasal 41 A;
Pasal 41 B;
Pasal 41 C;
Pasal 43.
Bukti Pemt-5 : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 6. Bukti Pemt-6 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 7. Bukti Pemt-7 : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 1994 8. Bukti Pemt-8 : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 9. Bukti Pemt-9 : Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 121 10. Bukti Pemt-10 : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai 11. ^Bukti Pemt-11 : Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia 12. ^Bukti Pemt-12 : Prof.Dr.Maria Farida Indrati S.,S.H.,M.H., dalam bukunya “Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan”, Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-5, Tahun 2007:
Hal 18 “Norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya atau lingkunganny”;
Hal 20 Hans kelsen dalam bukunya “ General Theory Of Law and States ”, New York, Russel and Russel, menyatakan bahwa ada dua system norma yaitu norma yang static ( nomostatics ) dan norma yang dinamik ( nomodynamics );
Hal 35-37 DWP Ruiter dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, peraturan perundang undangan atau wet in materiele zin mengandung tiga unsur… d. Hal 215-232 Fungsi dari pelaksanaan peraturan perundang- undangan… 13. Bukti Pemt-13 : Prof.Dr.Jimly Asshidiqie, buku perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekjen & kepaniteraan MK Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama Tahun 2006:
Hal 32 Jeremy Bentham dan John Austin, misalnya Hal 33 122 b. Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., dalam buku “Perihal Undang-Undang Di Indonesia”, c. hal 377 “kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepad...” d. hal 381 ”Apabila Undang-Undang dirasakan belum cukup mengatur, dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan dengan memperhatikan tiga syarat alternativ yaitu: …” e. hal 396 “…pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternativ syarat: …” 14. ^Bukti Pemt-14 : Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
Pasal 7 ayat 1, b. Pasal 7 ayat 4 15. ^Bukti Pemt-15 : Nasakah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2000, Buku VII, Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Tahun 2008. Hal 39- 113 16. ^Bukti Pemt-16 : Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat (ed), Kebijakan Fiskal, Pemikiran, konsep dan Implementasi, (Kompas, 2004) hal 130 17. Bukti Pemt-17 : Kebijakan Ekonomi Publik Di Indonesia Subtansi dan Urgensi, kumpulan Tulisan Dr. Guritno Mangkoesoebroto, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1994 Hal 107 18. Bukti Pemt-18 : Nota Keuangan dan APBN 2000, Departemen Keuangan RI 19. Bukti Pemt-19 : Laporan Penerimaan Pajak DJPBn dan APBN-P Tahun 123 20. ^Bukti Pemt-20 : R.santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, Refika Aditama, Bandung, 2003:
Hal 2, “pengertian pajak menurut Prof.DR.PJA.Adriani sebagaimana dikutip oleh R.Santoso Brotodihardjo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negar.......” b. Hal 3 “ Leroy Baeulieu, dalam bukunya traite de la science des Finances . Tahun 1906... “ c. Hal 5 “Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak berdasarkan asas gotong royong,Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964, sebagaimana dikutip oleh R.santoso Brotodihardjo, “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang........” d. hal 212 “Pajak mempunyai dua fungsi yaitu.... “ 21. ^Bukti Pemt-21 : IBFD international Tax Glossary yang diterbitkan oleh IBFD tahun 2005 Hal 393 “pajak didefinisikan sebagai “a government levy which is not....” 22. Bukti Pemt-22 : H.Bohari,S.H., Pengantar Hukum Pajak. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2001 :
Hal 41 ”Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations b. Hal 42 ”W.J de langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda .......yang menyebutkan 7 asas pokok perpajakan sebagai berikut : 124 c. Hal 43 ”Dalam literatur yang sama Adolf Wagner mempunyai dimensi yang lain dalam memandang asas pemungutan pajak.......empat postulat untuk terpenuhinya prinsip pemungutan pajak yang ideal yaitu....“ 23. ^Bukti Pemt-23 : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara :
Pasal 1 angka 1;
Pasal 2 huruf a;
Pasal 3 ayat (1);
Pasal 6;
Pasal 8;
Pasal 11 ayat (3);
^Bukti Pemt-24 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank .Indonesia;
Bukti Pemt-25 : Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
^Bukti Pemt-26 : Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa Bunga Obligasi;
Bukti Pemt-27 : Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas hadiah undian;
Bukti Pemt-28 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 395/PJ/2001 tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah dan penghargaan;
Bukti Pemt-29 : Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-30 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-31 : Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang 125 Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di Bursa;
^Bukti Pemt-32 : Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 stdd PP Nomor 71 Tahun 2008 (perubahan ketiga) tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
^Bukti Pemt-33 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 (perubahan kedua) tentang pelaksanaan pembayaran dan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-34 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/ 2009 tentang pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-35 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/ 2009 tentang tata cara pemberian pengecualian dari kewajiban pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas .penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan 36. ^Bukti Pemt-36 : Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2008 stdd PP No 40 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 37. Bukti Pemt-37 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 126 38. Bukti Pemt-38 : Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 tentang pembayaran pajak atas penghasilan dari persewaan Tanah dan/atau Bangunan 39. ^Bukti Pemt-39 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebgaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 tentang pelaksanaan pembayaran dan pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan 40. ^Bukti Pemt-40 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 41. ^Bukti Pemt-41 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 42. ^Bukti Pemt-42 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang dapat menghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Norma Penghitungan 43. Bukti Pemt-43 : Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas deviden yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri 44. Bukti Pemt-44 : Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah 45. Bukti Pemt-45 : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus 46. Bukti Pemt-46 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 127 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah 47. ^Bukti Pemt-47 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya 48. ^Bukti Pemt-48 : Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri Yang bertolak ke luar negeri 49. ^Bukti Pemt-49 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 51/PJ/2008 tentang tata cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Anggota Keluarga 50. ^Bukti Pemt-50 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 53/PJ/2008 sebagaimana telah diubah dengan PER-14/PJ/2009 tentang tata cara pembayaran, pengecualian pembayaran dan pengelolaan administrasi Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan bertolak ke Luar Negeri 51. Bukti Pemt-51 : Hans Kelsen, teori umum tentang hukum dan negara. Nusamedia dan nuansa, Bandung,2006 Hal 187-191 : “Kadang kadang pembentukan norma norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih....” 52. Bukti Pemt-52 : CF Strong, Konstitusi konstitusi politik modern kajian tentang sejarah dan bentuk bentuk konstitusi Dunia, Nusamedia dan nuansa, Bandung, 2004,Hal 91 : “dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi.......menyatakan sebagai berikut : bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi 53. Bukti Pemt-53 : Kovenan Internasional Hak – Hak ekonomi, sosial, dan 128 budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on economic Social and Cultural Rights :
Pasal 6 ;
Pasal 7;
Pasal 8;
Pasal 9;
Pasal 10;
Pasal 11;
Pasal 12;
Pasal 13;
Pasal 14;
Pasal 15.
^Bukti Pemt-54 : Realisasi Penerimaan Tahun 2007-2008, Estimasi Penerimaan Tahun 2009, dan Potensial Loss Penerimaan Pajak Tahun 2010 Terkait Permohonan Uji Materiil Undang-Undang PPh Tahun 2008 55. ^Bukti Pemt-55 : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang pedoman teknis pembangunan gedung Negara Selain itu, untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan 5 (lima) orang ahli yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 12 Januari 2010 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis sebagai berikut: Keterangan Ahli Pemerintah 1. Ahli Pemerintah Prof.DR. Philipus. M. Hadjon, S.H., LL.M. Ø Bahwa intinya adalah pajak dan semua pungutan yang sifatnya memaksa oleh negara harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai pendelegasian itu ada dua istilah hukum yang digunakan; “dengan” atau “berdasarkan”; Ø Bahwa rumusan yang ada di dalam Pasal 23A itu mengenai pajak; Ø Bahwa dari sudut pandang hukum tata negara pajak di situ pertama-tama adalah menyangkut objek pajak; Ø Bahwa apa saja yang bisa dikenakan pajak oleh negara, intinya dari Pasal 23A tadi; Ø Bahwa titik tolak dari sana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar untuk diatur dengan Undang-Undang ialah objek pajak; 129 Ø Bahwa mengenai objek pajak itu sendiri sejak awal termasuk Undang-Undang taat apa yang bisa dipungut pajak itu ditetapkan oleh Undang-Undang termasuk pajak daerah pun harus ditetapkan dengan Undang-Undang tidak bisa daerah menentukan sendiri apa yang menjadi pajak daerah; Ø Bahwa perlu dicermati dulu dari ketentuan Pasal 23A mengenai pendelegasian wewenang; Ø Bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila kaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) pendelegasian di sini ini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1); Ø Bahwa yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam hukum tata negara dan hukum administrasi kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan disreksi; Ø Bahwa bagi yang berwenang dalam bidang ini punya pilihan untuk berkaitan dengan tarif. Tapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD; Ø Bahwa yang dipermasalahkan oleh Pemohon juga PP Nomor 131 Tahun 2000; Ø Bahwa yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UUD adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Kalau persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD; Ø Bahwa menyangkut Pasal 7 ayat (3), apakah penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak tidak dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak berada dalam ranah teknik, dan di sisi lain bukan delegasi blanko karena harus dikonsultasikan dengan DPR ini satu yang sifatnya imperatif mengenai kewenangan; Ø Bahwa menyangkut Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 14 ayat (7) rasio legis delegasi kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) adalah Pendelegasian kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) di satu sisi merupakan hal teknis dan di sisi lain mengantisipasi kondisi yang berubah-ubah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (2), ayat (2) huruf a, ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d. Pertanyaannya apakah pendelegasian kewenangan penurunan tarif itu 130 inkonstitusional? Rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang adalah pajak adalah perampasan atas kekayaan pribadi. Kekayaan pribadi merupakan hak kodrat jadi sifatnya _nalienable right; _ Ø Bahwa untuk kepentingan publik hak bisa kodrat dirampas hanya dengan persetujuan rakyat. Instrumen hukum dalam hukum tata negara adalah Undang- Undang. Dalam pasal-pasal ini tarif tertinggi telah ditetapkan oleh Undang-Undang sehingga delegasi kepada peraturan pemerintah untuk penurunan tarif pajak ini tidak bertentangan dengan rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang, dan Pasal 23A itu sebetulnya mengenai objek pajaknya yang paling utama; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (3) ketentuan Pasal 17 ayat (3) bertentangan rasio legis pengaturan pajak harus dengan Undang-Undang besarnya penghasilan kena pajak hal teknis, oleh karena itu delegasi kewenangan tidaklah inkonstitusional; Ø Bahwa Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (5) menyangkut pasal ini perkecualian adalah penetapan tarif pajak inkonstitusional? Ini juga prinsipnya sama pendelegasian kewenangan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5) bukan delegasi blanko karena dibatasi dengan ketentuan, dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (2) “sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi,” Pasal 21 ayat (5) kecuali ditetapkan lain dengan peraturan pemerintah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (2) adalah karakteristik wewenang tersebut dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e; Ø Bahwa Pasal 22 ayat (1), dari ketentuan ini dapat mencirikan adanya wewenang diskresi. Diskresi mengandung makna ada pilihan choice dalam penggunaan wewenang; Ø Bahwa rasio legis ketentuan a quo adalah peran serta masyarakat dalam mengumpulkan pajak dan bukan menyangkut PPh final; Ø Bahwa kewenangan adalah konsep hukum publik, kewenangan DPR lahir secara atribusi, wewenang DPR itu diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Ø Bahwa DPR itu wakil rakyat tapi janganlah dirumuskan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat, ini analogis sesat. Rakyat itu mempunyai hak dan kewajiban bukan kewenangan sehingga kalau bicara soal wewenang memutus tidak pada rakyat dalam konteks pajak, Undang-Undang Pajak. Wewenang memutus itu ada pada DPR jadi tidak bisa dikatakan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat; Ø Bahwa Pasal 25 ayat (8) apa rasio legis pasal ini? Pasal ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya; 131 Ø Bahwa berdasarkan analisi yang dilakukan materi muatan pasal-pasal Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang diajukan permohonan uji materil Perkara Nomor 128/PUU-VII/2009 tidaklah inkonstitusional;
Ahli Pemerintah Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø Bahwa pelimpahan wewenang melalui Undang-Undang kepada pemerintah, Menteri Keuangan dan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam menentukan tarif, menentukan lapisan penghasilan kena pajak untuk dikenakan tarif dan penetuan pajak fiskal bagi orang yang tidak memiliki NPWP dan penentuan norma yang ditugaskan kepada Direktorat Jenderal Pajak; Ø Bahwa tinjauan hukum dalam rangka konsepsional sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan adalah tinjauan terhadap ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal yang diajukan pengujian; Ø Bahwa terhadap tindakan hukum sebagai sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia itu mengacu kepada TAP MPRS Nomor 20 Tahun 1966 yang kemudian dikukuhkan dengan TAP MPR Nomor 5 Tahun 1973 pada waktu itu masih ditentukan mulai dari Undang-Undang Dasar, undang-undang, Keputusan MPR, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah baru peraturan pelaksanaan termasuk instruksi Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan lainnya; Ø Bahwa hal itu kemudian diperbaiki beberapa kali dengan Putusan MPR sehingga terakhir dengan Keputusan MPR Nomor 3 Tahun 2000 dimana urutannya menjadi Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR, undang-undang dan atau setara dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah; Ø Bahwa dengan direvisi Undang-Undang Dasar 1945 khusunya Pasal 2 dimana struktur, fungsi dan kewenangan MPR berubah maka Ketetapan MPR tidak menjadi sumber hukum lagi sehingga urutannya Undang-Undang Dasar, undang-undang sekaligus memang dengan Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang baru Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah; Ø Bahwa tata urutan tersebut kalau dikaji atau ditinjau dengan pendekatan hukum ini secara teori berjenjang yang dikemukakan oleh Kelsen dan ditindak lanjuti oleh Hansnafiaski {sic} dimana menyebut sebagai urutan itu adalah sebagai staat fundamental norm sebagai dasar-dasar pokok, dimana oleh Kelsen sebenarnya 132 grundnorm sebagai asas yang disebut sebenarnya Hamid Atamimi adalah Pancasila itu sebagai grund fundamental staat grundnorm tetapi oleh Hans Kelsen dipisahkan antara staat fundamental norm dengan staat grund gescheit sebagai Undang- Undang Dasar; Ø Bahwa kalau dikaitkan dengan staat fundamental norm sebagai pembukaan UUD 1945 staat gescheit sebagai UUD baru formale gescheit sebagai Undang-Undang dan sebagai peraturan pelaksanaannya ini yang berlaku, yang disebutnya sebagai urutan yang berjenjang yang berlaku ketentuan yang lebih rendah harus mengacu dan tidak bertentangan dengan ketentuan atau Undang-Undang yang lebih tinggi; Ø Bahwa dengan demikian yang diatur dalam tata norma hukum, sumber hukum dan tata perundang-undangan sudah sejalan dengan teori yang berlaku tersebut; Ø Bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR, Pasal 20 UUD 1945 mengatakan DPR sebagai hak budgetnya sebagai legislator sebagai pembuat Undang-Undang, maka kewenangan DPR untuk membuat dan menetapkan Undang-Undang tentu sudah mengkaji segala dampak dan segala kemungkinan, sehingga ditetapkan ada pendelegasian tersebut, ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2); Ø Bahwa oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dalam Undang-Undang kepada pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah kepada Menteri Keuangan sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia; Ø Bahwa pelimpahan wewenang diberikan kepada pemerintah melalui peraturan pemerintah atau Menteri Keuangan atau Direktur Pajak dikatakan bertentangan dengan Pasal 23A; Ø Bahwa Pasal 23A bagian dari pada hal-hal mengenai keuangan yang diatur dalam UUD. Hal-hal yang mengenai UUD itu ada 5 pasal, Pasal 23 mengenai APBN dan Pasal 23A mengenai Pajak untuk negara sedangkan Pasal 23B dalam macam harga dan mata uang ditetapkan dalam Undang-Undang, lalu Pasal 23C hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, lalu Pasal 23D mengenai negara memiliki bank sesuai kedudukannya diatur dengan Undang- Undang; Ø Bahwa dari seluruh hal-hal yang mengenai keuangan yang diatur dengan UUD seluruhnya diatur dengan Undang-Undang; 133 Ø Bahwa dalam pelaksanaanya Pasal 23 tersebut dan Pasal 73 juga ada pelimpahan kepada Menteri Keuangan atau kepada pemerintah. Pasal 23 yaitu mengenai APBN disebutkan Pasal 8 ayat (2) dalam Undang-Undang APBN Tahun 2005. Rincian lebih lanjut dalam anggaran belanja pemerintah pusat sebagaimana Pasal 7 diatur dengan Keputusan Presiden. Dalam APBN 2010 Nomor 40 tahun 2009 Pasal 10 ayat (3) juga pengaturan lebih lanjut dari di DIPA sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh presiden. Pasal 9 ayat (2) menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian dan perimbangan DAU diatur oleh Menteri Keuangan. Jadi dalam hal ini dalam Pasal 23 juga semua ada pendelegasian yang diatur melalui Undang-Undang; Ø Bahwa Pasal 23B dan Pasal 23D mengenai mata uang juga di situ disebutkan mata uang itu harus bagaimana nominalnya atau bagaimana materilnya, bagaimana nilainya intrisiknya; Ø Bahwa dengan demikian maka pengaturan pada Pasal 23A yaitu pajak diatur dengan Undang-Undang adalah juga sejalan dengan pasal Undang-Undang yang diatur dalam tata urutan tersebut; Ø Bahwa pelaksanaan Pasal 23C, jelas di situ adalah hal-hal lain untuk mengatur mengenai keuangan negara diatur Undang-Undang. Mengenai keuangan negara termasuk pemungutan pajak semuanya dan sebagainya, dimana dalam Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Keuangan Negara, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 mengenai Keuangan Negara menyebut presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolanya dan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dan kekuasaan yang dimaksud dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan negara; Ø Bahwa Pasal 8 disebut dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pengelolaan fiskal tersebut Menteri Keuangan melakukan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang dan Pasal 9, Menteri pemimpin lembaga sebagai pengguna anggaran atau kementrian negara dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke kas negara. Jadi di situ juga ada pendelegasian baik kepada pemerintah, baik kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 17 UUD 1945 menyebut Pasal 4 ayat (1) Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 dan Pasal 5 ayat 134 (2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dan Pasal 17 ayat (1) Presiden dibantu oleh Menteri Keuangan; Ø Bahwa pengeluaran Peraturan Pemerintah dalam mengatur melaksanakan Undang- Undang adalah sejalan dengan Pasal 4, Pasal 5 UUD 1945 tersebut, dengan demikian tentu tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dimaksud oleh Pemohon; Ø Bahwa terkait dengan Pasal 23A, pasal-pasal yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon, khusunya mengenai penentuan tarif final atau tarif pajak; Ø Bahwa pada dasarnya tarif pajak itu ditentukan dengan Undang-Undang, yaitu Pasal 17 ayat (1) sudah jelas menurut kelipatan pajaknya, hanya memang dalam pengurangan ditentukan pajak itu akan diturunkan pajaknya yang sekarang maksimum 30% menjadi 25%. Penurunan itu yang didelegasikan kepada pemerintah sehingga tarif yang diharapkan bukan semakin naik pasti semakin turun, jadi semakin rendah, artinya beban pajak yang ditentukan kepada masyarakat akibat kewenangan yang diberikan kepada pemerintah tidak akan menambah beban pajak. Jadi kerugian nyata atau kerugian aktual tidak akan terjadi atas kewenangan dari pemerintah tersebut; Ø Bahwa Penentuan lapisan tarif juga sama di berikan kewenangan kepada pemerintah pusat lapisan tarif, dalam arti menikmati tarif yang lebih rendah dengan PKB yang lebih besar. Artinya akan mengurangi pajak bagi wajib pajak bukan menambah beban pajak; Ø Bahwa pajak fiskal luar negeri atau bagi orang pergi keluar negeri yang tidak memiliki nomor pokok diberikan pajak, itu adalah alternatif artinya apabila masyarakat menganggap dengan kena fiskal itu karena kewajiban maka sebenarnya sesuai ketentuan semua orang harus mendaftarkan diri,dengan mendaftarkan diri otomatis memang tidak akan kena fiskal luar negeri; Ø Bahwa sedangkan pemberian wewenang norma juga itu adalah alternatif, artinya bagi orang yang memilih alternatif tidak menyelenggarakan pembukuan maka tidak bisa dihitung penghasilan Nettonya, maka harus dibuatkan norma. Oleh karena itu apabila dengan diberikan kewenangan kepada pemerintah atau Dirjen Pajak menentukan norma Pemohon atau wajib pajak merasa dirugikan, maka akan mengikuti alternatif melaksanakan, menyelenggarakan pembukuan. Dimana pada prinsipnya Pasal 28 mengatakan seluruh wajib menyelenggarakan pembukuan, 135 tetapi karena memang bagi wajib pajak yang golongan kecil dianggap melaksanakan pembukuan dengan membutuhkan biaya maka diberikan alternatif boleh tidak menyelenggarakan pembukuan maka ditetapkan norma; Ø Bahwa norma tersebut bermacam-macam banyak sekali, untuk jenis pajak antara dokter spesialis dengan yang bukan spesialis normanya berbeda. Izin usaha yang satu dengan yang lain normanya berbeda. Berbeda harga pokok berbeda bahan mentah, berbeda pemilikan modal, berbeda treatment- nya maka normanya akan berbeda; Ø Bahwa kalau norma itu diatur dengan Undang-Undang bisa dikatakan bagaimana Undang-Undang harus berubah. Dengan pertimbangan itu maka diberikan pendelegasian kepada pemerintah tetapi apabila dengan wewenang yang diberikan didelegasikan norma itu kepada Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak atau Pemohon merasa dirugikan maka bisa mengambil alternatif dengan cara menyelenggarakan pembukuan. Karena pada prinsipnya seluruh wajib pajak menyelenggarakan pembukuan. Dengan menyelenggarakan pembukuan tentu tidak ada kerugian materil, tentu ada kerugian norma;
Ahli Pemerintah Prof. DR. Gunadi, M.SC. Ak. Ø Bahwa yuridiksi itu merupakan atribut dari kedaulatan, dan negara yang berdaulat mempunyai yusdiksi termasuk juridiksi pemajakan sehubungan dengan orang atau objek yang berada di wilayahnya; Ø Bahwa di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Indonesia menyuratkan yuridiksi pemajakan dalam konstitusinya. Sedangkan beberapa negara lain termasuk Inggris tidak. Walaupun demikian ketentuan pajak di Inggris juga mendasarkan pada prinsip legalitas dengan berpedoman pada yuridiksi no tax _without representation; _ Ø Bahwa sesuai dengan asas legalitas tersebut maka tidak ada pembayaran pajak atau beban lainnya tanpa adanya persetujuan berupa Undang-Undang oleh parlemen; Ø Bahwa prinsip tersebut merupakan salah satu pilar mekanisme sistem demokrasi dalam arti persetujuan yang diberikan para wakil pembayar pajak dalam parlemen dianggap sebagai garansi demokrasi atas pemajakan yang dipungut pemerintah; Ø Bahwa Undang-Undang Perpajakan merupakan peraturan yang sering mengalami perubahan karena mengikuti realita kehidupan ekonomi dan sosial serta lingkungan 136 termasuk sistem dan metode serta kebijakan pemajakan yang dinamis dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Walaupun dalam negara demokrasi ada doktrin pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan sesuai dengan asas legalitas, perpajakan harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa salah satu hal yang paling membingungkan yang dihadapi eksekutif dan legislatif adalah seberapa detail ketentuan yang harus diatur dalam Undang-Undang dan bagaimana distribusi kewenangan penyusunan perpajakan antara legislatif dan eksekutif; Ø Bahwa penerapan atas pertanyaan ini dapat berbeda untuk tiap negara tergantung kepada tradisi, kebiasaan, konstitusi, hukum administrasi praktik hukum tiap negara dan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak yang telah disetujui lembaga legislatif negara dimaksud. Kadangkala ketentuan dasar pengatur legalitas delegasi kewenangan, menyusun ketentuan perpajakan dapat bersifat elastis; Ø Bahwa membuat peraturan berbagai masalah yang memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak. Walaupun pada umumnya Undang-Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat memberikan peraturan pelaksanaan; Ø Bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dantata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø Bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukan adanya suatu ketidakpastian atau indefiniteness atau kekurang lengkapan dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intensive policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang. Dan proses demikian disebut flying in the general cost. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø Bahwa yurisdiksi pemajakan Indonesia disuratkan pada Pasal 23A UUD 1945 yagn berbunyi “p ajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara _diatur dengan undang-undang.”; _ Ø Bahwa __ dengan merujuk pada asas legalitas dalam UUD 1945 tersebut, disusunlah Undang-Undang Perpajakan termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai dasar hukum pemungutan pajak penghasilan 137 yang sampai sekarang sudah empat kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; Ø Bahwa sebagaimana terjadi di semua hampir negara pemungut pajak dan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 serta beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan itu sendiri atau praktik ketatanegaran dan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun semangat flying in the general cost terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak dalam masalah-masalah yang mungkin timbul, maka terdapat delegasi pengaturan dalam Undang-Undang kepada peraturan pemerintah Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak; Ø Bahwa secara konstitusional berdasarkan Pasal 5 ayat (2) untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, pemerintah diberi wewenang untuk membuat peraturan berdasarkan perintah dalam Undang-Undang. Karena itu pelimpahan wewenang pengaturan lebih lanjut pelaksanaan pajak penghasilan dalam UU PPh 2008 adalah pengaturan yang merupakan kebijakan delegasi kewenangan yang diinginkan atau intentional policy oleh para pembentuk Undang- Undang melalui prosedur dan proses yang valid dan _legitimate; _ Ø Bahwa melalui prosedur dan proses legislatif yang valid dan legitimate karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD 1945 Undang-Undang telah dibahas dan dapat persetujuan dari Pemerintah dan DPR sebagai representasi dari rakyat termasuk para pembayar pajak, walaupun dari segi materi suatu pengaturan pendelegasian tidak dapat mengubah materi yang ada dalam Undang-Undang, yang dijalankannya peraturan pemerintah adalah sarana yang disediakan UUD 1945 untuk menjalankan atau mengatur lebih lanjut atas satu atau beberapa ketentuan Undang-Undang; Ø Bahwa garis-garis besar ketentuan tersebut diatur di dalam Undang-Undang yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Namun, rinciannya atau garis kecilnya dibentuk oleh Pemerintah berdasar garis besar tanpa memerlukan persetujuan DPR lagi, yang telah menyetujui garis besarnya; Ø Bahwa dalam bahasa Pasal 23 UUD 1945 DPR sebagai representasi rakyat termasuk para pembayar pajak yang semua di sini terutama yang membayar PBB bersama Pemerintah telah melaksanakan ketentuan Pasal 23 UUD 1945 yaitu yang mengatur pungutan pajak penghasilan dengan Undang-Undang, yang antara lain telah terjadi pengaturan mengenai subjek, objek, tarif, sanksi, dan pungutan pajak 138 paling kurang dalam garis-garis besar, termasuk pelimpahan pengaturan pelaksanaan garis-garis besar tersebut di dalam peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa pengaturan berdasarkan pendelegasian demikian sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan dalam praktik ketatanegaraan maupun Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan; Ø Bahwa pendelegasian peraturan tersebut dapat dibenarkan berdasarkan pemikiran dalam menjalankan tata pemerintahan negara pengaturan tidak cukup hanya dengan Undang-Undang saja namun Undang-Undang dapat mendelegasikan kewenangan pengaturan kepada peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7) Undang-undang merupakan kebijakan tertulis dan bersifat makro, umum, dan mendasar karena itu UU PPh dapat mewujudkan arah dan pelaksanaan kebijakan pemajakan atas suatu kategori penghasilan di Indonesia. Berdasar strukturnya terdapat tiga tipe pemajakan atas penghasilan yaitu global, unitary atau synthetic income tax systems yaitu memajaki semua kategori penghasilan dari berbagai sumber dari satu formula tarif dengan schedular atau analytical income tax systems yaitu memajaki berbagai kategori penghasilan dari berbagai sumber dengan berbagai formula tarif yang berbeda dengan maksud pembedaan beban pemajakan atas capital atau passive income yang umumnya lebih berat dibandingkan dengan active income termasuk penghasilan dari kekaryaan dan dual sticks atau composite audit income tax _systems; _ Ø Bahwa definisi objek pajak atau penghasilan secara umum paling kurang terdapat dua konsep yaitu recent concept , konsep pertambahan kemampuan ekonomis yang komprehensif sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Yang kedua adalah source concept , ini konsep kanalisasi kategori penghasilan. Menurut beberapa sumber secara limitatif sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 huruf b ayat (1) Ordonansi Pajak Penghasilan 1944; Ø Bahwa di dalam UU PPh ini sekaligus ingin menerapkan dua konsep tadi, yaitu pemajakan secara global dan pemajakan secara scheduler , yaitu jenis-jenis penghasilan dikenakan satu formula tarif. Karena di dalam UU PPh ini dimunculkan Pasal 4 ayat (2) sehingga dengan demikian Pasal 4 ayat (2) ini merupakan suatu legal policy dan sekaligus internal policy daripada pembuat Undang-Undang untuk merumuskan sistem perpajakan tersebut; 139 Ø Bahwa aplikasi dari semangat flying the general cost ini terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak atas beberapa kategori objek pajak dan masalah lain besaran tarif pajak maka dimunculkan sekaligus delegasi peraturan kepada Peraturan Pemerintah dalam Pasal 17 ayat (7) yang garis-garis besarnya tarif ini ada dirumuskan di situ dengan ketentuan maksimal adalah sebesar tarif menurut Pasal 31 yaitu 30% orang pribadi dan 20% wajib pajak badan; Ø Bahwa sehubungan dengan validitas hukum terdapat tiga elemen yang harus dijelaskan. Yang pertama adalah justice atau keadilan, yang kedua legal , yang ketiga adalah ekspediansi atau kegunaan atau kemanfaatan; Ø Bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk peraturan pemerintah ini sekurang-kurangnya, berdasarkan prinsip ekspediensi yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid. Walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan; Ø Bahwa dikatakan belum sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan karena di dalam teori ada dua keadilan yaitu horisontal dan vertikal, walupun secara vertical lequited dapat diperdebatkan karena schedule tax system memang tujuannya adalah untuk memberikan sesuatu pembedaan pemajakan antara capital income termasuk bunga deposito dengan active income termasuk penghasilan dari jasa kekayaan; Ø Bahwa system final tax system pemajakakan dengan tarif tunggal sepadan dan final agar mudah dan sederhana memang sengaja mengesampingkan kompleksitas tarif progresif sebagai pewujudan dari prinsip vertical equaty , namun dari sisi horisontal equaty dan efisiensi of tax system ini schedule dengan tax system bagaimana diperkenalkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh,secara rasional dapat diterima; Ø Bahwa sehubungan dengan ketentuan di Pasal 4 ayat (2) huruf e yang menyebutkan penghasilan tertentu itu lainnya nampak pendelegasian itu bukannya tanpa batas; Ø Bahwa sebetulnya kepastian hukum dan terbatasnya ketentuan flying in the general cost dalam ayat tersebut dapat pada kata tertentu yang harus dibaca merujuk pada beberapa kriteria kategori penghasilan, yang dapat menjadi sasaran scheduler final _income tax system; _ 140 Ø Bahwa __ beberapa kriteria yang merupakan garis-garis besar ini ada di dalam penjelasan mengenai pajak penghasilan dapat mendorong investasi atas masyarakat; Ø Bahwa kesederhanaan pemungutan pajak atas penghasilan; Ø Bahwa efisiensi pemungutan pajak yaitu murahnya biaya administrasi dan kepatuhan pajak; Ø Bahwa pemerataan dalam pemungutan pajak dari semua wajib pajak penghasilan; Ø Bahwa terdapat pengaruh perkembangan ekonomi dan moneter dari pemajakan sebagaimana dimaksud. Dengan demikian hanya kategori penghasilan yang paling kurang memenuhi kelima syarat tersebut yang dibenarkan untuk dijadikan kategori penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh; Ø Bahwa kategori penghasilan selain yang memenuhi persyaratan 5 tadi harus dimasukan dalam kelompok kategori penghasilan komprehensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang menjadi sasaran dari _unitary tax system; _ Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) pemberian kelonggaran personal berupa pembebasan sejumlah penghasilan dari pengenaan pajak yang dihubungkan dengan wajib pajak dalam Pasal 7 UU PPh, yang dalam disebut sebagai penghasilan tidak kena pajak ini menunjukan karakteristik daripada penghasilan orang pribadi sebagai pajak obyektif personal; Ø Bahwa ada beberapa fungsi daripada P3P yang pertama adalah membebaskan kelompok small hard to tax income dari __ sistem PPh secara tidak langsung. Yang kedua efisiensi perpajakan dengan mengecualikan mereka dari pengenaan PPh dan NPWP serta serta menyampaikan SPT dan yang ketiga sistem pajak penghasilan membebaskan sebagian penghasilan sebesar dari semua wajib pajak orang pribadi dengan dari pengenaan pajak. Karena besaran PTKP akan mempengaruhi jumlah pajak yang terhutang bagi sebagian dan mengurangi penerimaan dan anggaran belanja negara sebesar penerimaan pajak dari sebagian yang lain, maka untuk kepastian hukum besaran nominal jumlah inisial TKP diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh; Ø Bahwa sedangkan perubahannya ini karena menyangkut bidang tugas dari Menteri Keuangan ini maka didelegasikan pada Menteri keuangan dan sekaligus dasar policy dari pembuat Undang-Undang untuk kesalahan tersebut. Namun garis-garis besarnya juga diatur di dalam Undang-Undang yaitu; yang pertama setelah konsultasi dengan DPR karena akan mempengaruhi jumlah penerimaan pajak dan 141 penerimaannegara, yang kedua mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter dan ketiga perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya; Ø Bahwa istilah perkembangan harga setiap tahunnya. Sepertinya membuka peluang besaran PTKP yang terjadi adalah perubahan kenaikan PTKP. Kenaikan PTKP ini akan mengurangi beban pajak, bukan menambah beban pajak masyarakat sehingga pengaturan kepada Menteri Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa mengenai Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) ini menyangkut norma penghasilan dapat disampaikan norma penghasilan ini adalah merupakan standar assesment {sic} yaitu tuntunan pada wajib pajak yang belum mampu untuk melaksanakan kewajiban pembukuan untuk melakukan kewajiban perpajakan dengan baik sesuai dengan prinsip self assesment. Dan ini karena namanya standar self assesment terkait. Jadi kemudahan kepada wajib pajak untuk tidak menggunakan pembukuan tapi harus menyelenggarakan catatan; Ø Bahwa dari catatan ini dirasa belum cukup memberikan suatu data dan informasi untuk menghitung penghasilan Netto kena pajak. Oleh karena itu penghasilan Netto kena pajaknya dihitung berdasarkan norma penghasilan, jadi sifatnya norma penghasilan ini memberikan satu kemudahan kepada wajib pajak; Ø Bahwa apa yang berlaku di sini adalah bukannya suatu pemajakan yang optimal tapi suatu adalah the theory of the second best . Jadi kalau tidak bisa terjadi pemajakan yang optimal maka dicarikan suatu kebijakan yang sub optimal, yaitu dengan pemberian norma penghitungan. Sehingga dengan demikian prinsip keadilan ini akan dikesampingkan. Jadi kalau wajib pajak ingin dapatkan keadilan yang penuh maka jangan memakai norma tetapi kembali kepada sistem yang pokok pada main row yaitu mengadakan pembukuan dan menghitung penghasilan kena pajaknya berdasarkan actual income menurut pembukuan. Dengan demikian akan tercapai adalah adanya suatu kesepakatan; Ø Bahwa karena norma ini setiap tahun perlu ada suatu perubahan sesuai dengan perubahan dan sebagainya, ini agak bersifat teknis maka kewenangan untuk mengadakan perubahan didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak dan ini juga sudah sesuai dengan kaidah pembuatan Undang-Undang karena sudah secara bersama-sama disetujui antara Pemerintah dan DPR dalam membuat Undang- Undang; 142 Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 19 ayat (2) ini merupakan suatu policy yang akan ditempuh oleh perpajakan apabila terjadi suatu devaluasi atau suatu summary. Jadi suatu inflasi yang jumlahnya cukup besar. Untuk menghadapai hal yang sebenarnya ini didelegasikan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan bidang pemerintahannya. Ini yang dilakukan sesuai dengan derevaluasi perketat dan indeksasi bea dan penghasilan; Ø Bahwa tarifnya sekaligus diberikan kepada wewenang kepada Menteri Keuangan, ini merupakan suatu intens policy dari para legislator dan di sini diberikan suatu garis-garis besar atau suatu kriteria yaitu tarifnya tersendiri tidak melebihi pajak tertinggi sebagaimana di maksud Pasal 19; Ø Bahwa di dalam teori ini akan terdapat suatu gejala tingkat inflasi ini akan menyebabkan keuntungan dari guidance ini __ akan menyebabkan suatu pembuncitan atau bouncing effect ini maka harus dihilangkan pembuncitan ini dengan suatu indeksasi; Ø Bahwa pendelegasian yang diberikan Menteri Keuangan itu kecenderungannya akan mengurangi jumlah penghasilan kena pajak sekaligus tarifnya juga dikurangkan untuk mengurangi over take action dari adanya suatu inflasi; Ø Bahwa delegasi pengaturan dalam Pasal 19 ayat (2) UU PPh ini sejalan dengan memberikan garis-garis besar yang jelas dan berpotensi pajak masyarakat; Ø Bahwa selain pengaturan tersebut legitimate juga dapat dikatakan tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena justru akan meringankan beban pajak masyarakat; Ø Bahwa dalam Pasal 25 ayat (8) ini sifatnya sanksi policy karena ini berlaku sampai dengan akhir tahun 2010 dan ini merupakan cara lain di dalam sistem perpajakan; Ø Bahwa pajak atas penghasilan berdasarkan prinsip ability to pay bisa diukur juga selain dari penghasilan juga dari expediture. Jadi di sini Pasal 25 ayat (8) itu memperkenalkan suatu sistem pemajakan berdasarkan _expediture; _ Ø Bahwa hakekatnya pajak ini bersifat optional karena dapat dihindari apabila yang berpergian dimaksud mendaftarkan diri untuk ber-NPWP. Dengan demikian ketentuan ini berpotensi tidak menimbulkan beban pajak sehingga bukan kompetensi Pasal 23A UUD 1945; Ø Bahwa seandainya yang bersangkutan dengan berbagai alasan kurang suka berurusan dengan NPWP sehingga suka membayar beban pajak secara sistematis menurut Pasal 24 ayat (1) mengenai Pajak ini bukan merupakan beban final tetapi 143 sebagai angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan,yang menurut Pasal 28 ayat (1) huruf e dapat dikreditkan dengan utang pajak yang bersangkutan dalam tahun pajak tersebut; Ø Bahwa dengan demikian pembayaran pajak menurut Pasal 25 ayat (8) merupakan bagian dari pungutan pajak penghasilan yang diatur dalam UU PPh Tahun 2008 atas kuasa Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa betapa kurang mudahnya untuk mengalami peraturan perundang-undang pajak sehingga sedikit orang dapat memahami peraturan perpajakan tetapi banyak orang mengetahui apa yang kurang benar dengan peraturan perpajakan;
Ahli Pemerintah Abdul Hakim Garuda Nusantara. S.H., LL.M. Ø Bahwa dalam surat permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa, pasal-pasal a quo dapat mengancam kehormatan, martabat dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1), padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal a quo memberikan delegasi wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR-RI; Ø Bahwa pasal-pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada setiap wajib pajak, itu berarti perlindungan tiap wajib pajak dari perlakuan sewenang-wenang dari aparat pemerintah, itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28D ayat (1). Dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; Ø Bahwa Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa hak-hak Pemohon sebagaimana tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) dilanggar; Ø Bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang wajib pajak mempunyai hak milik atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang- wenang. Pasal-Pasal a quo sekali lagi justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo , yang merupakan dasar hukum bagi 144 negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada wajib pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada wajib pajak yang didasarkan kepada undang- undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik wajib pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap wajib pajak. Karena itu Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan oleh MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Dirjen Pajak untuk mengenakan pajak kepada para wajib pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti, jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan esensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia utamanya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; Ø Bahwa berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupanny” b. Pasal 28C ayat (1): “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” c. Pasal 28D ayat (2): “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” d. Pasal 27 (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” 145 e. Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3): “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.” g. Pasal 28I ayat (3): “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28I ayat (4): “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”; Ø Bahwa selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005; Ø Bahwa berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: - Hak atas pekerjaan, hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, hak-hak serikat pekerjaan, hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial, hak-hak keluarga, hak atas standar kehidupan yang layak, hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental, hak atas Pendidikan, hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Ø Bahwa dalam kutipan Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, negara, yakni pemerintah merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakan dan pemenuhan HAM, yaitu dalam hal ini hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; Ø Bahwa pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya; Ø Bahwa Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat; 146 Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak yang hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Pemerintah Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø Bahwa Pemohon mengajukan empat pasal dari UUD 1945, yaitu Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4); Ø Bahwa berkenaan dengan Pasal 23A teori-teori pajak sangat menunjang pasal ini karena pada intinya pajak itu sumber pembangunan untuk Pemerintah. Jadi dengan upaya paksa pemerintah dibolehkan untuk memungut pajak karena tanpa pajak tidak akan ada finance untuk public goods dan service seperti penerangan jalan maupun kebersihan secara umum; Ø Bahwa pemungutan pajak pada intinya bergantung pada pendapatan, jadi tidak mungkin orang yang tidak punya pendapatan akan dipajaki dan orang yang mempunyai pendapatan dengan tingkat pendapatan tertentu baru bisa dipajaki. Sedangkan Pasal 28D ayat (1) itu mengenai jaminan perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Perpajakan itu sudah ada jaminan perlindungan hukum bagi setiap warga negara; Ø Bahwa Pasal 28G ayat (1) itu intinya adalah hak atas rasa aman. Kalau ditelusuri hak atas aman itu sangat erat kaitannya dengan konsep-konsep yang tercantum dalam Undang-Undang Pidana khususnya KUHP dan sepuluh hak atas rasa aman yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Jadi di situ kaitannya adalah ketentuan-ketentuan pidana bagaimana seseorang rasa amannya terganggu karena ada ancaman pembunuhan, ada ancaman penganiayaan, ada ancaman kesusilaan, ada pencemaran nama baik, dan seterusnya. Jadi tidak ada kaitannya dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perpajakan; Ø Bahwa pajak itu masuk dalam kaitannya dengan hukum publik. Yang sangat menarik di situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif dan eksekutif selalu bekerja sama, dalam arti tidak 147 ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang bisa dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif menerbitkan undang-undang dengan materi dengan membentuk Undang-Undang dengan penciptaan hukum sedangkan eksekutif bisa menteri dengan materi dan menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; Ø Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 memberikan delegasi untuk mengatur lebih lanjut Undang-Undang Perpajakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktur Dirjen Pajak. Dari 15 pasal-pasal itu baru tujuh ada peraturan pelaksanaannya. Kemudian dari 15 itu juga, dua seharusnya tidak dimasukan dalam pengujian yaitu Pasal 17 ayat (2a) karena tidak mengatur lebih lanjut. Sedangkan Pasal 7 ayat (3) pernah dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada 20 Mei 2009; Ø Bahwa delegasi peraturan ada 19 (sembilan belas) ketentuan ternyata dari 19 (sembilan belas) ketentuan baru 4 (empat) PP yang terbit. Dan selanjutnya dapat mencermati Pasal 4 ayat (2), karena dari 15 pasal yang diajukan pengujian ini yang paling penting adalah Pasal 4 ayat (2) karena ini erat kaitannya dengan legal standing Pemohon. Apakah Pemohon melampirkan;
Penghasilan berupa bunga deposito tabungan, obligasi dan b. Surat utang negara, penghasilan berupa hadiah undian, c. Penghasilan dari transaksi saham dan seterusnya sampai d. Jadi legal standing Pemohon dapat terlihat titik tumpunya pada Pasal 4 ayat (2); Ø Bahwa delegasi peraturan berikutnya adalah melalui Peraturan Menteri Keuangan meliputi 31 ketentuan dan baru diterbitkan du Sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (2); Ø Bahwa pemerintah sebetulnya masih malas mengatur lebih lanjut, demikian juga delegasi peraturan menyebut Direktur Jenderal Pajak meliputi delapan ketentuan, baru terbit satu yaitu berdasarkan Pasal 14 ayat (1); Ø Bahwa dari seluruh peraturan pelaksana yang terbit, itu pun setelah dicermati lagi separuh atau sebagian besar terbit bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, artinya peraturan yang lahir lebih lama lagi; Ø Bahwa delegasi kewenangan itu memang penting sekali dalam pelaksanaan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan; 148 Ø Bahwa ada pleksibiliti, peraturan yang dibuat pemerintah lebih luwes dibanding peraturan yang dibuat badan legislatif. Kemudian juga ada time Phrasal {sic} pemerintah perlu segera melaksanakan berbagai urusan pemerintahan; Ø Bahwa dalam hukum pajak inilah sebenarnya diantara berbagai cabang hukum administrasi negara, maka hukum pajak adalah keterwakilan yang paling ke depan karena dia mencerminkan un an codified branch and civil law system. Karena akan terasa sekali dalam hukum pajak itu kebertingkatan atau hierarkis peraturan itu bisa diterapkan; [2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.6] Menimbang bahwa Pemerintah telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi dipersidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini. 149 3 . PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo ialah menguji konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893, selanjutnya disebut UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83) terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut; Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; 150 [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) UU 36/2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) [3.5] Menimbang bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia (Bukti P-3) yang juga adalah seorang akademikus (Bukti P-4) yang dikenakan beban kewajiban membayar pajak penghasilan sebagaimana yang diatur dalam UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83 Pemohon merasa sangat berkepentingan dan dirugikan hak konstitusionalnya oleh sejumlah materi/muatan dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo karena: • Pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk deposito yang diatur dalam PP Nomor 131 Tahun 2000; • Pemohon merasa berdosa telah mengajarkan sesuatu yang salah karena UU Pajak Penghasilan bertentangan dengan UUD 1945; • Pelimpahan pengaturan itu menyebabkan Pemohon tidak dapat menentukan atau mengatur sendiri (melalui DPR) mengenai pajak; • Jika ini dikabulkan maka warga negara tidak akan dirugikan; [3.6] Bahwa pasal-pasal a quo karena didelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka sangat merugikan Pemohon, yaitu hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 telah dilanggar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ). 151 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon: __ Pasal 4 ayat (2) _”Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ _a. penghasilan berupa bunga deposito ...; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian ...; _ _c. penghasilan dari transaksi saham ...; _ _d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta ...; dan _ _e. penghasilan tertentu lainnya; _ yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” __ b. Pasal 17 ayat (7) __ ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” c. Pasal 7 ayat (3) __ ”Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.” d. Pasal 14 ayat (1) __ ”Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan Netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” e. Pasal 14 ayat (7) __ ”Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.” f. Pasal 17 ayat (2) __ ”Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” __ __ 152 g. Pasal 17 ayat (2) huruf a __ ”Menurunkan tarif pajak tertinggi menjadi paling rendah 25% dengan Peraturan Pemerintah.” h. Pasal 17 ayat (2) huruf c __ ”Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.” i. Pasal 17 ayat (2) huruf d: __ ”Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.” j. Pasal 17 ayat (3): ”Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.” k. Pasal 19 ayat (2): ”Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).” l. Pasal 21 ayat (5): ”Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.” m. Pasal 22 ayat (1) huruf c: ”Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.” n. Pasal 22 ayat (2): ”Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.” __ __ __ 153 o. Pasal 25 ayat (8): ”Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal-pasal tersebut di atas telah menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon karena: • Penetapan pajak harus dengan Undang-Undang bukan dengan peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak); • Tidak memenuhi unsur materi pajak, karena peraturan di bawah Undang- Undang tidak dapat menetapkan subjek, objek, beban dan sanksi pajak; • Pengenaan pajak tanpa persetujuan DPR adalah perampokan, karenanya harus diatur dalam Undang-Undang; • PP 131/2000 tidak adil karena tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin; • Pangaturan tarif pajak dengan PP tidak menjamin kepastian hukum yang adil; Pasal-pasal tersebut di atas bertentangan dengan UUD 1945: • Pasal 23A __ ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur _dengan Undang-Undang”; _ • Pasal 28D ayat (1) ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” ; • Pasal 28G ayat (1) __ ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat _sesuatu yang merupakan hak asasi”; _ • Pasal 28H ayat (4) __ ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak _boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”; _ __ 154 [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-5) dan dua orang ahli, yaitu Drs. Abi Kusno, M.M. dan Prof. Dr. Mohammad Zein yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Ahli Drs. Abi Kusno, MM. Ø bahwa berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-Undang. Tetapi memang secara eksplisit tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara penetapannya. Masalah yang dihadapi sekarang, Undang-Undang Pajak yang berlaku adalah Undang- Undang yang terbaru tahun 2008 yang memberikan pendelegasian wewenang yang sangat besar kepada Pemerintah untuk menetapkan tarif pajak, subjek pajak dan objek pajak, karena kewenangan ini sangat luas diberikan kepada Pemerintah, inilah yang dapat menimbulkan kerugian seperti yang disebutkan oleh Pemohon;
Ahli Prof. Dr. Mohammad Zein Ø bahwa keadilan dalam perpajakan itu adalah masalah pertimbangan nilai (value judgement), sehingga tidaklah mungkin untuk melakukan suatu scientific validity terhadap keadilan. Dalam Undang-Undang Perpajakan terlihat lebih banyak diatur oleh Pemerintah, karena DPR seolah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur segala sesuatunya. Pengaturan itu, karena keadaan, tidak disertai rambu- rambu yang jelas. Hal yang dianggap kurang adil adalah pajak penghasilan yang final, seolah-olah wajib pajak hilang haknya untuk menghitung pajak berdasarkan pembukuannya. Hal ini tidak dipersoalkan apakah wajib pajak memperoleh laba atau rugi, tetap saja harus bayar pajak. Bahwa wajib pajak kehilangan haknya untuk melakukan pengkreditan pajak-pajak yang dibayarkan terlebih dahulu; [3.9] Menimbang bahwa Pemerintah menyadari bahwa yang akan diuji adalah terbatas pada apakah suatu Undang-Undang, sebagian atau seluruhnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak; khususnya apabila pengujian yang dimohonkan adalah pengujian isi atau muatan Undang-Undang, atau yang disebut sebagai pengujian materiil, seperti permohonan pengujian yang sedang diajukan oleh Pemohon. 155 Rumusan Undang-Undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka dan garis besar kebijakan yang bersifat mendasar dalam menjalankan roda dan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pengaturan yang lebih lanjut dari suatu kebijakan dalam Undang-Undang diatur oleh Pemerintah atau lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya dalam bentuk peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Namun karena kewenangan legislatif itu pada intinya ada di tangan rakyat yang berdaulat maka kewenangan untuk membentuk peraturan pelaksana Undang-Undang juga harus dipahami berasal dari rakyat. Untuk itu Pemerintah dan lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya tidak menetapkan sesuatu peraturan perundang-undangan apapun kecuali atas dasar perintah atau delegasi kewenangan mengatur yang diberikan oleh DPR melalui Undang-Undang. Dapat dipahami bersama UU 36/2008 juga dibuat oleh DPR yang merupakan representasi dari seluruh warga negara bersama dengan Pemerintah yang telah menyepakati adanya pendelegasian kewenangan atributif kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang termasuk melalui pasal-pasal yang saat ini diajukan pengujian materinya; UU 36/2008 juga sama sekali tidak memuat suatu larangan ataupun pengurangan hak dari wakil-wakil Pemohon di DPR untuk mengatur mengenai pajak. Oleh karena itu sangat tidak beralasan apabila Pemohon menyatakan bahwa pasal- pasal UU 36/2008 yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu pelimpahan wewenang lebih lanjut oleh UU 36/2008 in casu tentang pengaturan perpajakan adalah norma yang merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang yang tidak dapat diuji kecuali dalam pembahasannya terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku atau semena-mena ( detournement de pouvoir ); [3.10] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemerintah mengajukan Ahli yang memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut: 156 1. Ahli Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. Ø bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan diskresi. Bagi yang berwenang dalam bidang ini mempunyai pilihan untuk menentukan isi yang berkaitan dengan tarif, akan tetapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945, sedangkan yang dipermasalahkan oleh Pemohon terhadap PP Nomor 131 Tahun 2000, dalam hal ini yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD 1945;
Ahli Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR. Pasal 20 UUD 1945 menyatakan bahwa DPR mempunyai hak budget dan mempunyai hak legislasi, atau sebagai pembentuk Undang-Undang. Pelaksanaan kewenangan DPR untuk membentuk Undang-Undang tentu sudah didasarkan pada kajian atas segala dampak dan kemungkinan, sehingga dilaksanakanlah pendelegasian tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ( sic ). Oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dari Undang-Undang kepada Pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;
Ahli Prof. Dr. Gunadi, M.Sc. Ak. Ø bahwa pembuatan peraturan untuk berbagai masalah memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak, walaupun pada umumnya Undang- 157 Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat membuat peraturan pelaksanaan; Ø bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dan tata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukkan adanya suatu ketidakpastian ( indefiniteness ) atau kekuranglengkapan ( incompleteness ) dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intentional policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang dan proses demikian disebut flying in the general clause. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk Peraturan Pemerintah ini sekurang-kurangnya berdasarkan prinsip ekspediensi, yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan, serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid, walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan;
Ahli Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M. Ø bahwa bila pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak, dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak. Hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia, yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø bahwa hukum pajak itu masuk dalam kelompok hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal yang sangat menarik, di 158 situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) selalu bekerja sama, dalam arti tidak ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang dapat dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif membentuk Undang-Undang dengan menciptakan hukum baru, sedangkan eksekutif, misalnya menteri, dapat menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; [3.11] Menimbang bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukan menguji Peraturan Pemerintah. Oleh karena permohonan Pemohon adalah keberatan terhadap Peraturan Pemerintah maka permohonan Pemohon yang berkenaan dengan Peraturan Pemerintah tidak termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi; Pendapat Mahkamah [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa dan menilai bukti-bukti surat serta keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah serta kesimpulan Pemohon dan Pemerintah yang diterima Mahkamah, maka Mahkamah akan mempertimbangkan dua isu hukum yaitu: • Apakah pendelegasian wewenang penetapan pajak oleh Undang-Undang kepada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan hukum; • Apakah kerugian konstitusional Pemohon diakibatkan oleh bentuk peraturannya yang bukan Undang-Undang ataukah karena substansi peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang; [3.13] Menimbang bahwa sebelum menjawab dua isu pokok tersebut di atas Mahkamah akan mengemukakan tugas dan kewajiban negara kesejahteraan ( welfare state ) atau negara hukum materiil serta dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat. Bahwa fungsi hukum dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umum telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 159 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ”; Terdapat dua hal penting dalam kutipan tersebut di atas, yaitu prinsip ‘ the rule of law ’ dan prinsip ‘fungsi hukum’ ( legal function ). Masalahnya adalah bagaimana dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, kedua prinsip tersebut dapat berjalan seimbang, artinya dalam masyarakat yang serba kompleks ini prinsip the rule of law tetap menjadi landasan dalam upaya mencapai tujuan negara yang harus memenuhi kepentingan umum secara efisien, cepat dan pantas ( sensibly ). The welfare and regulatory state is state commited to programs, government is a problem solver, as well as the guardian of law. Kenyataannya, semakin negara dapat memenuhi tuntutan ( demands) masyarakat semakin bertambah pula tuntutan masyarakat yang acap kali tidak seimbang dengan kemampuan negara untuk memenuhinya ( state action creates expectation, demands increase faster than the systems’s ability to meet them ). Harapan masyarakat tumbuh secara konstan. Pola pertumbuhan ekspektasi masyarakat seperti halnya pola pertumbuhan kepentingan sangat sulit berubah, hal ini seringkali menuju pada situasi keadaan kritis sehingga ‘ modern welfare state is ungovernable’ . Meningkatnya harapan masyarakat secara eksesif tidak selalu dapat dipenuhi oleh negara, seiring pula dengan tidak selalu tersedianya kebutuhan negara akan peraturan perundang-undangan sebagai sarana dan landasan pemenuhan tuntutan masyarakat tersebut. Seringkali lahir suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah mendahului lahirnya Undang-Undang, misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah lahir lebih dahulu dari Undang-Undang tentang Hak Milik. Padahal baik ketentuan pembebasan tanah maupun pengadaan tanah seringkali menyangkut hak milik atas tanah yang seharusnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria. Hal itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah ( delegated regulations ), maka tercapainya tujuan ( doelmatigheid ) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan 160 dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum; [3.14] Menimbang bahwa ketentuan hukum dalam Peraturan Pemerintah harus tetap memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, antara lain tidak boleh melanggar asas keterbukaan, kepastian hukum, dan keadilan. Bahwa kerugian yang Pemohon alami dengan diberikannya kewenangan oleh UU 36/2008 kepada Pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak adalah karena Pemohon sebagai warga negara (melalui DPR) tidak dapat menentukan pengaturan atas pajak sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945 tidak beralasan hukum. Pembuatan Peraturan Pemerintah pun tidak lepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemohon sendiri sebagai warga negara tidak dapat langsung menentukan pajaknya, karena yang mempunyai wewenang legislasi adalah Dewan Perwakilan Rakyat; [3.15] Menimbang bahwa atas dasar pemikiran demikian, maka Mahkamah menilai: __ [3.11] Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum. [3.15.2] Bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada 161 suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh ketentuan yang lebih rendah yang otoriter ( nucleus of norms, be surrounded by corona of highly oppressive norms, imposed upon the people as a whole). Misalnya, kebebasan pers seperti yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat diberangus dengan Keputusan Menteri jika kepentingan penguasa terganggu ( press censorship ). Namun di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review , sehingga seandainya pun terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil ( judicial review ) kepada Mahkamah Agung; [3.16] Menimbang pula bahwa Mahkamah sependapat dengan ahli Philipus M Hadjon yang menyatakan bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang wajar apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan adalah suatu diskresi. Bagi Pemerintah yang memperoleh kewenangan untuk memilih kebijakan yang berkaitan dengan tarif melalui delegasi, akan tetapi bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945. Dengan demikian pasal-pasal yang diujikan konstitusionalitasnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28G ayat (1) sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan penilaian hukum pada paragraf [3.12] dan paragraf [3.15] , maka menurut Mahkamah dalil Pemohon tidak beralasan hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas Mahkamah berkesimpulan: [1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) ; 162 [4.3] Dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, M. Arsyad Sanusi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota pada hari Rabu tanggal tiga bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal sebelas bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ina Zuchriyah Tjando sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan tanpa dihadiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd M. Akil Mochtar 163 ttd. Maria Farida Indrati ttd Muhammad Alim ttd Harjono ttd tt Ahmad Fadlil Sumadi ttd Hamdan Zoelva Panitera Pengganti ttd Ina Zuchriyah Tjando