Menimbang Menimbang PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA a. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan melalui cipta kerja;
bahwa dengan cipta kerja diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan glo balisasi ekonomi serta adanya tan tangan dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional;
bahwa untuk mendukung cipta kerja diperlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja;
bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar di berbagai Undang-Undang sektor saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan perubahan; Mengingat R£PU8UK INDONESIA e. bahwa upaya perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan dan kepastian hukum untuk dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-Undang secara komprehensif dengan menggunakan metode omnibus;
bahwa untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 /PUU-XVIIl/2020, perlu dilakukan perbaikan melalui penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
bahwa dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change), dan terganggunya ran tai pasokan ( supply chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang harus direspons dengan standar bauran kebijakan untuk peningkatan daya saing dan daya tarik nasional bagi investasi melalui transformasi ekonomi yang dimuat dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja;
bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja; Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
MEMUTUSKAN:
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG CIPTA KERJA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/ a tau kegiatan pada bidang tertentu. 9. Badan Usaha adalah badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. 10. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota. 11. Persetujuan Bangunan Gedung adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung. 12. Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. BAB II ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP Pasal 2 (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang m1 diselenggarakan berdasarkan asas:
pemerataan hak;
kepastian hukum;
kemudahan berusaha;
kebersamaan; dan
kemandirian. (2) Selain berdasarkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Cipta Kerja dilaksanakan berdasarkan asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang m1 dibentuk dengan tujuan untuk:
menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap Koperasi dan UMK-M serta industri dan perdagangan nasional sebagai upaya untuk dapat menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya dengan tetap memperhatikan keseimbangan dan kemajuan antardaerah dalam kesatuan ekonomi nasional;
menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan keberpihakan, penguatan, dan pelindungan bagi Koperasi dan UMK-M serta industri nasional; dan
melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional yang berorientasi pada kepentingan nasional yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi nasional dengan berpedoman pada haluan ideologi Pancasila. Pasal 4 Dalam rangka mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengatur kebijakan strategis Cipta Kerja yang meliputi:
peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
ketenagakerjaan;
kemudahan, pelindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M;
kemudahan berusaha;
dukungan riset dan inovasi;
pengadaan tanah;
kawasan ekonomi;
investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan J. pengenaan sanksi. Pasal 5 Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait. BAB III PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA Bagian Kesatu Umum Pasal 6 Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:
penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
penyederhanaan persyaratan investasi. Bagian Kedua Penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Paragraf 1 Umum Pasal 7 (1) Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha.
Penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. (3) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap aspek:
kesehatan;
keselamatan;
lingkungan; dan/atau
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya. (4) Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha.
Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
jenis kegiatan usaha;
kriteria kegiatan usaha;
lokasi kegiatan usaha;
keterbatasan sumber daya; dan/atau
risiko volatilitas. (6) Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
hampir tidak mungkin terjadi;
kemungkinan kecil terjadi;
kemungkinan terjadi; atau
hampir pasti terjadi. (7) Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi:
kegiatan usaha berisiko rendah;
kegiatan usaha berisiko menengah; atau
kegiatan usaha berisiko tinggi. Paragraf 2 Perizinan Berusaha Kegiatan U saha Berisiko Rendah Pasal 8 (1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf a berupa pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha.
Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Paragraf 3 Perizinan Berusaha Kegiatan U saha Berisiko Menengah Pasal 9 (1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf b meliputi:
kegiatan usaha berisiko menengah rendah; dan
kegiatan usaha berisiko menengah tinggi. (2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah rendah se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pemberian:
nomor induk berusaha; dan
sertifikat standar. (3) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pemberian:
nomor induk berusaha; dan
sertifikat standar.
Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha. (5) Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan sertifikat standar usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku U saha. (6) Dalam hal kegiatan usaha berisiko menengah memerlukan standardisasi produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku U saha sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk. Paragraf 4 Perizinan Berusaha Kegiatan U saha Berisiko Tinggi Pasal 10 (1) Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian:
nomor induk berusaha; dan
izin. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. (3) Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat standar usaha dan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar. ~~ I " .. --~ Paragraf 5 Pengawasan Pasal 11 Pengawasan terhadap setiap kegiatan usaha dilakukan dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha. Paragraf 6 Peraturan Pelaksanaan Pasal 12 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, serta tata cara pengawasan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 11, diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha Paragraf 1 Umum Pasal 13 Penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi:
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
persetujuan lingkungan; dan
Persetujuan Bangunan Gedung dan sertifikat laik fungsi. Paragraf 2 Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Pasal 14 (1) Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a merupakan kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. (2) Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk digital dan sesuai standar. (3) Penyediaan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. (4) Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik.
Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana lokasi kegiatan usahanya se bagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai dengan RDTR, Pelaku U saha mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mengisi koordinat lokasi yang diinginkan untuk memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pelaku Usaha mengajukan permohonan Perizinan Berusaha. ,: - \ • _. ......... .: : : Pasal 15 (1) Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah Pusat memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan rencana tata ruang. (3) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
rencana tata ruang wilayah nasional;
rencana tata ruang pulau/kepulauan;
rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
rencana tata ruang wilayah provinsi; dan / a tau e. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. Pasal 16 Dalam rangka penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha serta untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi Pelaku U saha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang m1 mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603); dan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214). Pasal 17 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 725) diubah sebagai berikut:
Pasal 6
Penataan Ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:
kondisi fisik Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan, kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, dan lingkungan hidup serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan
geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
Penataan Ruang Wilayah nasional, Penataan Ruang Wilayah provinsi, dan Penataan Ruang Wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer.
Penataan Ruang Wilayah secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dijadikan acuan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dan kabupaten/kota, dan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Tata Ruang kabupaten/kota. (4) Penataan Ruang Wilayah secara komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Penataan Ruang Wilayah nasional, Penataan Ruang Wilayah provinsi, dan Penataan Ruang Wilayah kabupaten/kota yang disusun saling melengkapi satu sama lain dan bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturan Rencana Tata Ruang. (5) Penataan Ruang Wilayah nasional meliputi Ruang Wilayah yurisdiksi dan Wilayah kedaulatan nasional yang mencakup Ruang darat, Ruang laut, dan Ruang udara, termasuk Ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. (6) Penataan Ruang Wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi Ruang darat, Ruang laut, dan Ruang udara, termasuk Ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
Pengelolaan sumber daya Ruang laut dan Ruang udara diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara Pola Ruang Rencana Tata Ruang dan Kawasan hutan, 1zm dan/atau hak atas tanah, penyelesaian ketidaksesuaian tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Perencanaan Tata Ruang dilakukan untuk menghasilkan:
rencana umum Tata Ruang; dan
rencana rinci Tata Ruang.
Rencana umum Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas:
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi; dan
Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dan Rencana Tata Ruang Wilayah kota. (3) Rencana rinci Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
Rencana Tata Ruang pulau/kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional; dan
rencana detail Tata Ruang kabupaten dan rencana detail Tata Ruang kota. (4) Rencana rinci Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun sebagai perangkat operasional rencana umum Tata Ruang.
Rencana rinci Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun apabila:
rencana umum Tata Ruang dij adikan dasar dalam Pemanfaatan Ruang dan Pemanfaatan Ruang; dan/atau belum dapat Pelaksanaan Pengendalian b. rencana umum Tata Ruang yang mencakup Wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum Tata Ruang tersebut memerlukan permc1an sebelum dioperasionalkan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana umum Tata Ruang dan rencana rinci Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 14A
Pelaksanaan penyusunan Rencana Tata Ruang se bagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan dengan memperhatikan:
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan kajian lingkungan hidup strategis; dan
Pemenuhan kesesuaian ketelitian peta Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui penyusunan peta Rencana Tata Ruang di atas peta dasar. (4) Dalam hal peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat belum tersedia, penyusunan Rencana Tata Ruang dilakukan dengan menggunakan peta dasar lainnya.
Pasal 17
Muatan Rencana Tata Ruang mencakup:
rencana Struktur Ruang; dan
rencana Pola Ruang. (2) Rencana Struktur Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem Jarmgan prasarana. (3) Rencana Pola Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi peruntukan Kawasan Lindung dan Kawasan Budi Daya. (4) Peruntukan Kawasan Lindung dan Kawasan Budi Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan Ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan. (5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pada Rencana Tata Ruang Wilayah ditetapkan luas Kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap pulau, daerah aliran sungai, provinsi, kabupaten/kota, berdasarkan kondisi biogeofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat. (6) Penyusunan Rencana Tata Ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi Kawasan, dan antarkegiatan Kawasan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rencana Tata Ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan se bagai subsistem Rencana Tata Ruang Wilayah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional;
rencana Struktur Ruang Wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan Kawasan Perdesaan dalam Wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama;
· rencana Pola Ruang Wilayah nasional yang meliputi Kawasan Lindung nasional dan Kawasan Budi Daya yang memiliki nilai strategis nasional;
penetapan Kawasan Strategis Nasional;
arahan Pemanfaatan Ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah 5 (lima) tahunan; dan
arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah nasional yang berisi indikasi arahan zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman un tuk:
penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;
Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Wilayah nasional;
pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor;
penetapan lokasi dan fungsi Ruang untuk investasi;
Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional; dan
Penataan Ruang Wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan. (5) Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
perubahan batas Wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis. (6) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi mengacu pada:
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
pedoman bidang Penataan Ruang; dan
rencana pembangunan jangka panJang daerah. (2) Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi harus memperhatikan:
perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi Penataan Ruang provinsi;
upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi;
keselarasan aspirasi pembangunan provms1 dan pembangunan kabupaten/kota;
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
rencana pembangunan jangka panJang daerah;
Rencana Tata Ruang berbatasan; dan Rencana Tata kabupaten / kota. Wilayah provms1 yang Ruang Wilayah
Pasal 23
Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi memuat:
tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang Wilayah provinsi;
rencana Struktur Ruang Wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam Wilayahnya yang berkaitan dengan Kawasan Perdesaan dalam Wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana Wilayah provinsi;
rencana Pola Ruang Wilayah provinsi yang meliputi Kawasan Lindung dan Kawasan Budi Daya yang memiliki nilai strategis provinsi;
arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama jangka menengah 5 (lima) tahunan; dan
arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah provinsi yang berisi indikasi arahan zonasi sistem provinsi, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. (2) Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi m_enjadi pedoman untuk:
penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang dalam Wilayah provinsi;
pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor;
penetapan lokasi dan fungsi Ruang untuk investasi; dan
Penataan Ruang Wilayah kabupaten/kota. (3) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi adalah 20 (dua puluh) tahun. (4) Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan. (5) Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
perubahan batas Wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. (7) Peraturan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat wajib ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
Dalam hal Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) belum ditetapkan oleh gubernur, Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
Pasal 34A
Dalam hal terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) huruf d, Pasal 23 ayat (5) huruf d, dan Pasal 26 ayat (6) huruf d belum dimuat dalam Rencana Tata Ruang dan/atau rencana zonasi, Pemanfaatan Ruang tetap dapat dilaksanakan.
Pelaksanaan kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dari Pemerintah Pusat.
Pasal 70
Setiap Orang yang memanfaatkan Ruang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b yang mengakibatkan perubahan fungsi Ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling ban yak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling ban yak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 7
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri atas:
RZ Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil yang selanjutnya disebut dengan RZWP-3-K;
RZ Kawasan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut dengan RZ KSN; dan
RZ KSNT.
Batas wilayah perencanaan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Jangka waktu berlakunya perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
Peninjauan kembali perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Peraturan Presiden. (6) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Masyarakat.
Pasal 17A
Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum terdapat dalam alokasi ruang dan/atau pola ruang dalam rencana tata ruang dan/atau RZ, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut.
Dalam hal terdapat kebijakan nasional 'yang bersifat strategis tetapi rencana tata ruang dan/ a tau RZ belum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut.
Dalam hal terdapat perubahan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang menjadi acuan dalam penetapan lokasi untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), lokasi untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis tersebut dalam rencana tata ruang laut dan/atau RZ dilaksanakan sesuai dengan perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Kewajiban memenuhi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat di wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat.
Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 60
Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah mendapat Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut;
mengusulkan wilayah penangkapan ^I ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K;
mengusulkan wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K;
melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
menyatakan keberatan terhadap Rencana Pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil yang merugikan kehidupannya; J. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil yang merugikan kehidupannya;
memperoleh ganti rugi; dan
mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib:
memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
menJaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil;
menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil;
memantau pelaksanaan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.
Pasal 42
Pengelolaan Ruang Laut dilakukan untuk:
melindungi sumber daya dan lingkungan dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan lokal;
memanfaatkan potensi sumber daya dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang berskala nasional dan internasional; dan
mengembangkan kawasan potensial menjadi pusat kegiatan produksi, distribusi, dan jasa. (2) Pengelolaan Ruang Laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang Laut yang merupakan bagian integral dari pengelolaan tata ruang. (3) Pengelolaan Ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan berdasarkan karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Kepulauan dan mempertimbangkan potensi sumber daya dan lingkungan Kelautan.
Pasal 43
Perencanaan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) meliputi:
perencanaan tata ruang Laut nasional;
perencanaan zonasi wilayah pes1sir dan pulau-pulau kecil; dan
perencanaan zonasi kawasan Laut.
Perencanaan tata ruang Laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan perencanaan untuk menghasilkan rencana tata ruang Laut nasional yang diintegrasikan ke dalam perencanaan tata ruang wilayah nasional. (3) Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menghasilkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diintegrasikan ke dalam perencanaan tata ruang wilayah provinsi. (4) Perencanaan zonasi kawasan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perencanaan untuk menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan antarwilayah. (5) Rencana zonasi kawasan strategis nasional diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang kawasan strategis nasional. (6) Dalam hal perencanaan tata ruang Laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah nasional.
Dalam hal rencana zonasi kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan strategis nasional.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 43A
Perencanaan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat dilakukan secara berjenjang dan komplementer. (2) Perencanaan ruang Laut yang dilakukan secara berjenjang dan komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyusunan antara:
rencana tata ruang Laut;
rencana zonasi kawasan antarwilayah, rencana zonasi kawasan strategis nasional, dan rencana zonas1 kawasan strategis nasional tertentu; dan
rencana zonasi wilayah pes1sir dan pulau- pulau kecil. (3) Perencanaan ruang Laut secara berjenjang dilakukan dengan cara rencana tata ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dijadikan acuan dalam penyusunan rencana zonasi kawasan antarwilayah, rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Rencana zonasi kawasan antarwilayah, rencana zonasi kawasan strategis nasional, dan rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menjadi acuan bagi penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. (5) Perencanaan ruang Laut secara komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penataan rencana tata ruang Laut, rencana zonasi kawasan antarwilayah, rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disusun saling melengkapi satu sama lain dan bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturan.
Pasal 7
Peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas:
garis pantai;
hipsografi;
perairan;
nama rupabumi;
batas wilayah;
transportasi dan utilitas;
bangunan dan fasilitas umum; dan
penutup lahan. (2) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Peta Rupabumi Indonesia. (3) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup wilayah darat dan wilayah laut, termasuk wilayah pantai.
Pasal 17
IGD diselenggarakan secara bertahap dan sistematis untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya. (2) IGD sebagaimana dimaksud pada ayat dimutakhirkan secara periodik dalam jangka waktu tertentu atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Pemuktahiran IGD sewaktu-waktu apabila diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal terjadi bencana alam, perang, pemekaran atau perubahan wilayah administratif, atau kejadian lainnya yang berakibat berubahnya unsur IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sehingga mempengaruhi pola dan struktur kehidupan masyarakat.
IGD ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur, kriteria, danjangka waktu pemutakhiran IGD diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 55
Pelaksanaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang dilakukan oleh:
orang perseorangan wajib memenuhi kualifikasi sebagai tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang I G;
kelompok orang wajib memenuhi klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG serta memiliki tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG; atau
Badan Usaha wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan IG yang dilaksanakan oleh orang perseorangan, kelompok orang, dan Sadan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Penentuan terjadinya Pencemaran Lingkungan Hidup diukur melalui Baku Mutu Lingkungan Hidup.
Baku Mutu Lingkungan Hidup meliputi:
baku mutu air;
baku mutu air Limbah;
baku mutu air laut;
baku mutu udara ambien;
baku mutu emisi;
baku mutu gangguan; dan
baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Setiap Orang diperbolehkan untuk membuang Limbah ke media Lingkungan Hidup dengan persyaratan:
memenuhi Baku Mutu Lingkungan Hidup; dan
mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Baku Mutu Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan Lingkungan Hidup untuk rencana usaha dan/atau kegiatan.
Uji kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim uji kelayakan Lingkungan Hidup yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan Lingkungan Hidup Pemerintah Pusat.
Tim uji kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifika t. (4) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan keputusan kelayakan Lingkungan Hidup berdasarkan hasil uji kelayakan Lingkungan Hidup.
Keputusan kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai persyaratan penerbitan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. (6) Ketentuan mengenai tata laksana uji kelayakan Lingkungan Hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal.
Ketentuan mengena1 kompetensi penyusun Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap Lingkungan Hidup wajib memenuhi standar UKL-UPL.
Pemenuhan standar UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam pernyataan kesanggupan pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan pernyataan kesanggupan pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat atau Pemerintah D?-erah menerbitkan Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. (4) Pemerintah Pusat menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi UKL-UPL. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hid up yang diintegrasikan ke dalam nomor induk berusaha. (2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan terhadap kegiatan yang termasuk dalam kategori berisiko rendah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 61
Dumping/Pembuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Dumping/Pembuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan Dumping/Pembuangan Limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 82B
Setiap Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang memiliki:
Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), atau Pasal 59 ayat (4);
persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b; atau
persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), PRES I DEN REPUBLIK INOONESIA yang tidak sesuai dengan kewajiban dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan/atau melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dikenai sanksi administratif.
Setiap Orang yang melanggar larangan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 69, yai tu:
melakukan perbuatan yang mengakibatkan Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a, di mana perbuatan tersebut dilakukan karena kelalaian dan tidak mengakibatkan bahaya kesehatan manus1a, Iuka, Iuka berat, dan/atau matinya orang, dikenai sanksi administratif dan mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk melakukan pemulihan fungsi Lingkungan Hid up dan/ a tau tindakan lain , yang diperlukan; atau
menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i dikenai sanksi administratif.
Setiap Orang yang karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimilikinya dikenai sanksi administratif.
Pasal 82C
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82A dan Pasal 82B berupa:
teguran tertulis;
paksaan pemerintah;
denda administratif;
pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 5
Setiap Bangunan Gedung memiliki fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung.
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan klasifikasi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
Penerapan pengendalian dampak lingkungan hanya berlaku bagi Bangunan Gedung yang dapat menimbulkan dampak pen ting terhadap lingkungan. (2) Pengendalian dampak lingkungan pada Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. ~~t~ e e ~ ~Q
Pasal 34
Penyelenggaraan Bangunan Gedung meliputi kegiatan pembangunan, Pemanfaatan Bangunan Gedung, Pelestarian, dan Pembongkaran.
Dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara berkewajiban memenuhi standar teknis Bangunan Gedung.
Penyelenggara Bangunan Gedung terdiri atas Pemilik Bangunan Gedung, Penyedia Jasa Konstruksi, Profesi Ahli, Penilik, Pengkaji Teknis, dan Pengguna Bangunan Gedung.
Dalam hal terdapat perubahan standar teknis Bangunan Gedung, Pemilik Bangunan Gedung yang belum memenuhi standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap harus memenuhi ketentuan standar teknis secara bertahap.
Pasal 35
Pembangunan Bangunan Gedung diselenggarakan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Pembangunan Bangunan Gedung dapat dilakukan, baik di tanah milik sendiri maupun di tanah milik pihak lain.
Pernbangunan Bangunan Gedung di atas tanah rnilik pihak lain se bagairnana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara pernilik tanah dan Pemilik Bangunan Gedung.
Perencanaan sebagairnana dirnaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh penyedia jasa perencana konstruksi yang rnemenuhi syarat dan standar kornpetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyedia jasa perencana konstruksi sebagaimana dirnaksud pada ayat (4) harus rnerencanakan Bangunan Gedung dengan acuan standar teknis Bangunan Gedung sebagairnana dirnaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
Dalam hal Bangunan Gedung direncanakan tidak sesuai dengan standar teknis se bagaimana dirnaksud dalarn Pasal 7 ayat (1), Bangunan Gedung harus dilengkapi hasil pengujian untuk mendapatkan persetujuan rencana teknis dari Pernerintah Pusat. ' (7) Hasil perencanaan harus dikonsultasikan dengan Pemerintah Pusat atau Pernerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norrna, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pernerintah Pusat untuk rnendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis Bangunan Gedung.
Dalarn hal perencanaan Bangunan Gedung yang menggunakan prototipe yang ditetapkan Pernerintah Pusat, perencanaan Bangunan Gedung tidak mernerlukan kewajiban konsultasi dan tidak memerlukan perneriksaan pemenuhan standar.
Pasal 36A
Pelaksanaan pembangunan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat dilakukan setelah mendapatkan Persetujuan Bangunan Gedung.
Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah mendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis Bangunan Gedung dari Pemerintah Pusat a tau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimohonkan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 36B
Pelaksanaan pembangunan Bangunan Gedung dilakukan oleh Penyedia J asa Konstruksi yang memenuhi syarat dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi melakukan kegiatan pengawasan dan bertanggung jawab untuk melaporkan setiap tahapan pekerjaan.
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melakukan inspeksi ^1 pada setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai pengawasan yang dapat menyatakan lanjut atau tidaknya pekerjaan konstruksi ke tahap berikutnya.
Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
pekerjaan struktur bawah;
pekerjaan basemen jika ada;
pekerjaan struktur atas; dan
penguJian.
Dalam melaksanakan inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menugaskan Penilik berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Dalam hal pelaksanaan diperlukan adanya perubahan dan/atau penyesuaian terhadap rencana teknis, penyedia jasa perencana wajib melaporkan kepada Pemerintah Pusat I atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk mendapatkan persetujuan sebelum pelaksanaan perubahan dapat dilanjutkan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 37
Pemanfaatan Bangunan Gedung dilakukan oleh Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung setelah Bangunan Gedung tersebut mendapatkan sertifikat laik fungsi.
Sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan surat pernyataan kelaikan fungsi yang diajukan oleh penyedia jasa pengawasan atau manajemen konstruksi kepada Pemerintah Pusat a tau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melalui sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Surat pernyataan kelaikan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan setelah inspeksi tahapan terakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36B ayat (4) huruf d yang menyatakan Bangunan Gedung memenuhi standar teknis Bangunan Gedung.
Penerbitan sertifikat laik fungsi Bangunan Gedung dilakukan bersamaan dengan penerbitan surat bukti kepemilikan Bangunan Gedung.
Pemeliharaan, Perawatan, dan Pemeriksaan Berkala pada Bangunan Gedung harus dilakukan untuk memastikan Bangunan Gedung tetap memenuhi persyaratan laik fungsi.
Dalam Pemanfaatan Bangunan Gedung, Pemilik Bangunan Gedung, dan/atau Pengguna Bangunan Gedung mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3 7 A sehingga berbunyi se bagai berikut: Pasal 37A Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan Pemanfaatan Bangunan Gedung diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 39
Bangunan Gedung dapat dibongkar apabila:
tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
berpotensi menimbulkan bahaya dalam Pemanfaatan Bangunan Gedung dan/atau lingkungannya;
tidak memiliki Persetu juan Bangunan Gedung; atau
ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan dan rencana teknis Bangunan Gedung yang tercantum dalam persetujuan saat dilakukan inspeksi Bangunan Gedung.
Bangunan Gedung yang dapat dibongkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan hasil pengkajian teknis dan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pengkajian teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali untuk rumah tinggal tunggal, dilakukan oleh Pengkaji Teknis.
Pembongkaran yang mempunyai dampak luas terhadap keselamatan umum dan lingkungan harus dilaksanakan berdasarkan rencana teknis Pembongkaran yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Pemilik Bangunan Gedung mempunyai hak:
mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat atas rencana teknis Bangunan Gedung yang telah memenuhi persyaratan;
melaksanakan pembangunan Bangunan Gedung sesuai dengan Persetujuan Bangunan Gedung yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
mendapatkan surat ketetapan Bangunan Gedung dan/atau lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan dari Pemerintah Pusat;
mendapatkan insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cagar budaya;
mengubah fungsi Bangunan Gedung setelah mendapat Persetujuan Bangunan Gedung dari Pemerintah Pusat; dan
mendapatkan ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal Bangunan Gedung dibongkar oleh Pemerintah Pusat bukan karena kesalahan Pemilik Bangunan Gedung.
Dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Pemilik Bangunan Gedung mempunyai kewajiban:
menyediakan rencana teknis Bangunan Gedung yang memenuhi standar teknis Bangunan Gedung yang ditetapkan sesuai dengan fungsinya;
memiliki Persetujuan Bangunan Gedung;
melaksanakan pembangunan Bangunan Gedung sesuai dengan rencana teknis;
mendapat pengesahan dari Pemerintah Pusat atas perubahan rencana teknis Bangunan Gedung yang terjadi pada tahap pelaksanaan bangunan;dan e. menggunakan penyedia jasa perencana, pelaksana, pengawas, dan Pengkaji Teknis yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan pekerjaan terkait Bangunan Gedung.
Pasal 41
Dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung mempunyai hak:
mengetahui tata cara Penyelenggaraan Bangunan Gedung;
mendapatkan keterangan tentang peruntukan lokasi dan intensitas bangunan pada lokasi dan/atau ruang tempat bangunan akan dibangun;
mendapatkan keterangan mengenai standar teknis Bangunan Gedung; dan/atau
mendapatkan keterangan mengenai Bangunan Gedung dan/atau lingkungan yang harus dilindungi dan dilestarikan.
Dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung mempunyai kewajiban:
memanfaatkan Bangunan Gedung sesuai dengan fungsinya;
memelihara dan/atau merawat Bangunan Gedung secara berkala;
melengkapi pedoman/petunjuk pelaksanaan Pemanfaatan Bangunan Gedung dan Pemeliharaan;
melaksanakan Pemeriksaan Berkala atas kelaikan fungsi Bangunan Gedung;
memperbaiki Bangunan Gedung yang telah ditetapkan tidak laik fungsi; dan
membongkar Bangunan Gedung dalam hal:
telah ditetapkan tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki;
berpotensi menimbulkan bahaya dalam pemanfaatannya;
tidak memiliki Persetujuan Bangunan Gedung; atau
ditemukan ketidaksesuaian antara pelaksanaan dengan rencana teknis Bangunan Gedung yang tercantum dalam Persetujuan Bangunan Gedung saat dilakukan inspeksi Bangunan Gedung. (3) Kewajiban membongkar Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dilaksanakan dengan tidak mengganggu keselamatan dan ketertiban umum.
Pasal 43
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menyelenggarakan pembinaan Bangunan Gedung secara nasional untuk meningkatkan pemenuhan persyaratan dan tertib Penyelenggaraan Bangunan Gedung.
Sebagian penyelenggaraan dan pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama-sama dengan Masyarakat yang terkait dengan Bangunan Gedung.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
Sanksi administratif se bagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dapat berupa:
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan;
penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
penghentian sementara atau tetap pada Pemanfaatan Bangunan Gedung;
pembekuan Persetujuan Bangunan Gedung;
pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
pembekuan sertifikat laik fungsi Bangunan Gedung;
pencabutan sertifikat laik fungsi Bangunan Gedung; atau
perintah Pembongkaran.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 46
Setiap Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai Bangunan Gedung jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain.
Setiap Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak 15% (lima belas persen) dari nilai Bangunan Gedung jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup.
Setiap Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak 20% (dua puluh persen) dari nilai Bangunan Gedung jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
Dalam proses peradilan atas tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), hakim memperhatikan pertimbangan dari Prof esi Ahli. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 47A
Pemerintah Pusat menetapkan prototipe Bangunan Gedung sesuai dengan kebutuhan. (2) Prototipe Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat diutamakan untuk Bangunan Gedung sederhana yang umum digunakan Masyarakat. (3) Prototipe Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang m1 diundangkan. Pasal 25 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 tentang Arsitek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 179, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6108) diubah sebagai berikut:
Pasal 19
Arsitek Asing harus melakukan alih keahlian dan alih pengetahuan.
Alih keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
mengembangkan Praktik Arsitek bekerja; dan pada meningkatkan jasa kantor tempatnya b. mengalihkan pengetahuan dan kemampuan profesionalnya kepada Arsitek; dan/atau
memberikan pendidikan dan/atau pelatihan kepada lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan/atau lembaga pengembangan dalam bidang Arsitektur tanpa dipungut biaya.
Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan alih keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara alih keahlian dan alih pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
Dalam mendukung keprofesian Arsitek, Organisasi Profesi membentuk Dewan yang bersifat mandiri dan independen.
Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beranggotakan 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur:
anggota Organisasi Profesi;
Pengguna Jasa Arsitek; dan
perguruan tinggi.
Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikukuhkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 35
Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap profesi Arsitek.
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
menetapkan kebijakan pengembangan profesi Arsitek dan Praktik Arsitek;
melakukan pemberdayaan Arsitek; dan
melakukan pengawasan terhadap kepatuhan Arsitek dalam pelaksanaan peraturan dan standar penataan bangunan dan lingkungan.
Pemerintah Pusat dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibantu oleh Dewan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
Setiap Arsitek yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat , Pasal 6, Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, a tau Pasal 20 dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
penghentian sementara Praktik Arsitek;
pembekuan Surat Tanda Registrasi Arsitek; dan/atau
pencabutan Surat Tanda Registrasi Arsitek.
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Organisasi Profesi Arsitek.
Pasal 26
Setiap Orang yang melakukan usaha Perikanan di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Jenis usaha Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari usaha:
Penangkapanikan;
Pembudidayaan Ikan;
pengangkutanikan;
pengolahan Ikan; dan
pemasaran Ikan.
Pasal 27A
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap Ikan berbendera Indonesia melakukan Penangkapan Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau Laut Lepas, yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha se bagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat , dikenai sanksi administratif.
Setiap Orang yang mengoperasikan kapal penangkap Ikan berbendera Indonesia di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Repu blik Indonesia, yang tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dikenai sanksi administratif.
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap Ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan Penangkapan Ikan di ZEEI tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) atau tidak membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat , dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut Ikan berbendera Indonesia di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut Ikan berbendera asmg yang digunakan untuk melakukan pengangkutan Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Setiap Orang yang mengoperasikan kapal pengangkut Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia wajib membawa dokumen Perizinan Berusaha. (4) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa dokumen Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Nelayan Kecil dan/atau Pembudi Daya-Ikan Kecil.
Pasal 31
Setiap Kapal Perikanan yang dipergunakan untuk menangkap Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Setiap Kapal Perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 35
Setiap Orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi Kapal Perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Pemerintah Pusat a tau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pembangunan atau modifikasi Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, setelah mendapat pertimbangan teknis laik laut dari Pemerintah Pusat. (3) Setiap Orang yang membangun, mengimpori, atau memodifikasi Kapal Perikanan yang tidak memiliki persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
Pemerintah Pusat menyelenggarakan. dan melakukan pembinaan pengelolaan Pelabuhan Perikanan.
Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan dan melakukan pembinaan pengelolaan Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menetapkan:
rencana induk Pelabuhan Perikanan secara nasional;
klasifikasi Pelabuhan Perikanan;
pengelolaan Pelabuhan Perikanan;
persyaratan dan/atau standar teknis dalam perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan Pelabuhan Perikanan;
wilayah kerja dan pengoperasian Pelabuhan Perikanan yang meliputi bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian Pelabuhan Perikanan; dan
Pelabuhan Perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah.
Setiap kapal penangkap Ikan dan kapal pengangkut Ikan harus mendaratkan Ikan tangkapan di Pelabuhan Perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk.
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap Ikan dan/atau kapal pengangkut Ikan yang tidak melakukan bongkar muat Ikan tangkapan di Pelabuhan Perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan Perizinan Berusaha, atau pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
Dalam rangka keselamatan operasional Ka pal Perikanan, ditunjuk syahbandar di Pelabuhan Perikanan.
Syahbandar di Pelabuhan Perikanan mempunyai tugas dan wewenang:
menerbitkan persetujuan berlayar;
mengatur kedatangan dan keberangkatan Kapal Perikanan;
memeriksa ulang kelengkapan dokumen Kapal Perikanan;
memeriksa teknis dan nautis Kapal Perikanan dan memeriksa alat Penangkapan Ikan, dan alat bantu Penangkapan Ikan;
memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;
memeriksa log book penangkapan dan pengangkutanlkan;
mengatur olah gerak dan lalu lintas J(apal Perikanan di Pelabuhan Perikanan;
mengawasi pemanduan;
mengawasi pengisian bahan bakar; J. mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas Pelabuhan Perikanan;
melaksanakan bantuan pencanan dan penyelamatan;
memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman kebakaran di Pelabuhan Perikanan;
mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim;
memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan Kapal Perikanan;
menerbitkan surat tanda bukti lapor kedatangan dan keberangkatan Kapal Perikanan; dan
memeriksa sertifikat Ikan hasil tangkapan.
Setiap Kapal Perikanan yang akan berlayar melakukan Penangkapan Ikan dan/atau pengangkutan Ikan dari Pelabuhan Perikanan wajib memiliki persetujuan berlayar yang dikeluarkan oleh syah bandar di Pelabuhan Perikanan. (4) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pelayaran.
Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar di Pelabuhan Perikanan dikoordinasikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di Pelabuhan Perikanan setempat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 44
Persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a diterbitkan oleh syahbandar setelah Kapal Perikanan memenuhi standar laik operasi.
Pemenuhan standar laik operasi sebagaipiana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh pengawas Perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan kelayakan teknis se bagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 93
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap Ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan Penangkapan Ikan di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau Laut Lepas tanpa memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat yang menimbulkan kecelakaan dan/atau menimbulkan korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap Ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan Penangkapan Ikan di ZEEI tanpa memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat yang menimbulkan kecelakaan dan/atau menimbulkan korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
Pasal 97
Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap Ikan berbendera asing yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan Penangkapan Ikan selama berada di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia tidak menyimpan alat Penangkapan Ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat dipidana dengan pidana denda paling banyak RpS00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap Ikan berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dengan 1 (satu) jenis alat Penangkapan Ikan tertentu pada bagian tertentµ di ZEEI yang membawa alat Penangkapan Ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat dipidana dengan pidana denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap Ikan berbendera asing yang telah memenuhi Perizinan Berusaha, yang tidak menyimpan alat Penangkapan Ikan di dalam palka selama berada di luar daerah Penangkapan Ikan yang diizinkan di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat dipidana dengan pidana denda paling banyak RpS00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 16
Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan paling lambat 2 (dua) tahun setelah pemberian status hak atas Tanah. (2) Jika Lahan Perkebunan tidak diusahakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat , Lahan Perkebunan yang belum diusahakan diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
Perusahaan Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dikenai sanksi administratif.
Ketentuan mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh Pemerintah Pusat atau diluncurkan oleh pemilik varietas. (2) Varietas yang telah dilepas atau diluncurkan sebagaimana dimaksud pada ayat dapat diproduksi dan diedarkan.
Varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum diedarkan harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara pelepasan atau peluncuran varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 42
Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas Tanah dan memenuhi Perizinan Berusaha terkait Perkebunan dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 58
Perusahaan Perkebunan yang mendapatkan Perizinan Berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari:
area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha; dan/atau
areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20% (dua puluh persen) dari luas lahan tersebut.
Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, bentuk kemitraan lainnya, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan.
Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 60
Perusahaan Perke bunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
denda;
pemberhentian sementara dari kegiatan Usaha Perkebunan; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 74
Setiap unit Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam jangka waktu tertentu setelah unit pengolahannya beroperasi.
Kebun yang dibangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terintegrasi dengan unit Pengolahan Hasil Perkebunan setelah unit pengolahan tersebut beroperasi.
Ketentuan mengenai jenis Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu dan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan s~nksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 93
Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pembiayaan penyelenggaraan Perkebunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha Perkebunan bersumber dari penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lain yang sah.
Penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan Tanaman Perkebunan, sarana dan prasarana Perkebunan, pengembangan Perkebunan, dan/atau pemenuhan Hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati, dan hilirisasi industri Perkebunan.
Dana yang dihimpun oleh Pelaku Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikelola oleh badan pengelola dana Perkebunan, yang berwenang untuk menghimpun, mengadministrasikan, mengelola, menyimpan, dan menyalurkan dana tersebut.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghimpunan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan badan pengelola dana Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 95
Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Perkebunan melalui penanaman modal.
Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal, dengan memperhatikan kepentingan Pekebun.
Pasal 96
Pembinaan Usaha Perkebunan dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat meliputi:
perencanaan;
pelaksanaan Usaha Perkebunan;
pengolahan dan pemasaran Hasil Perkebunan;
penelitian dan pengembangan;
pengembangan sumber daya manusia;
pembiayaan Usaha Perkebunan; dan
pemberian rekomendasi penanaman modal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 97
Pembinaan teknis untuk Perusahaan Perkebunan milik negara, swasta, dan/atau Pekebun dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (2) Evaluasi atas kinerja Perusahaan Perkebunan milik negara dan/atau swasta dilaksanakan melalui penilaian Usaha Perkebunan secara rutin dan/atau sewaktu-waktu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan teknis dan penilaian Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 99
Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dilakukan melalui:
pelaporan dari Pelaku Usaha Perkebunan; dan/atau
pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan hasil Usaha Perkebunan.
Dalam hal tertentu, pengawasan dapat dilakukan melalui pemeriksaan terhadap proses dan Hasil Perkebunan. (3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian laporan dengan pelaksanaan di lapangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Permohonan hak PVT diajukan kepada Kantor PVT secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan membayar biaya ya: r: ig besarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penenmaan negara bukan pajak.
Dalam hal permohonan hak PVT diajukan oleh:
orang atau badan hukum selaku kuasa pemohon harus disertai surat kuasa khusus dengan mencantumkan nama dan alamat lengkap kuasa yang berhak; atau
ahli waris harus disertai dokumen bukti ahli wans.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
Permohonan pemeriksaan substantif atas permohonan hak PVT harus diajukan ke Kantor PVT secara tertulis paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya masa pengumuman dengan membayar biaya pemeriksaan substantif. (2) Besarnya biaya pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
Pasal 40
Hak PVT dapat beralih atau dialihkan karena:
pewansan;
hibah;
wasiat;
perjanjian dalam bentuk akta notaris; atau
sebab lain yang dibenarkan oleh undang- undang.
Pengalihan hak PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c harus disertai dengan dokumen PVT berikut hak lain yang berkaitan dengan itu. ! (3) Setiap pengalihan hak PVT wajib dicatatkan pada Kantor PVT dan dicatat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengalihan hak PVT diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Perjanjian Lisensi harus dicatatkan pada Kantor PVT dan dimuat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
Dalam hal perjanjian Lisensi tidak dicatatkan di Kantor PVT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian Lisensi tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
Pelaku U saha yang menggunakan Lahan: hak ulayat yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan dikenai sanksi administratif berupa:
penghentian sementara kegiatan;
pengenaan denda administratif;
paksaan Pemerintah;
pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 86
Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat yang melakukan Usaha Budi Daya Pertanian di atas skala tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat dilarang memberikan Perizinan Berusaha terkait Usaha Budi Daya Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat.
Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara masyarakat hukum adat dan Pelaku Usaha.
Pasal 108
Sanksi administratif dikenakan kepada:
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Pasal 28 ayat (3), Pasal 43, Pasal 44 ayat (2) a tau ayat (3), Pasal 66 ayat (2), Pasal 71 ayat (3), Pasal 76 ayat (3), atau Pasal 79;
Pelaku Usaha dan/atau instansi pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), ayat (2) atau ayat (3); atau
Produsen dan/atau distributor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1). (2) Sanksi administratif .sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
teguran tertulis;
denda administratif;
penghentian sementara kegiatan usaha;
penarikan produk dari peredaran;
pencabutan izin; dan/atau
penutupan usaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib meningkatkan produksi Pertanian.
Kewajiban peningkatan produksi Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui strategi Perlindungan Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat .
Pasal 15
Pelaku Usaha wajib mengutamakan pemanfaatan sumber daya manusia dalam negeri.
Pemanfaatan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
Unit Usaha Budidaya Hortikultura mikro dan kecil wajib didata oleh Pemerintah Pusat.
Unit Usaha Budidaya Hortikultura menengah dan Unit Usaha Budidaya Hortikultura besar harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pasal 54
Pelaku U saha dalam melaksanakan U saha Hortikultura wajib memenuhi standar proses atau persyaratan teknis minimal.
Pelaku Usaha dalam memproduksi Produk Hortikultura wajib memenuhi standar mutu dan keamanan pangan Produk Hortikultura.
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi pengembangan U saha Hortikultura untuk memenuhi standar mutu dan keamanan pangan Produk Hortikultura.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu dan keamanan pangan Produk Hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
Usaha Hortikultura dapat dilakukan dengan pola Kemitraan.
Pola Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan Pelaku U saha mikro, kecil, menengah, dan besar.
Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan pola:
inti-plasma;
subkontrak;
waralaba;
perdagangan umum;
distribusi dan keagenan; dan
bentuk Kemitraan lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pola Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
U saha perbenihan meliputi pemuliaan, produksi Benih, Sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran Benih dari dan pemasukan Benih ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
Dalam hal pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan introduksi dalam bentuk Benih atau materi induk yang belum ada di wilayah Negara Republik Indonesia.
Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh Pelaku Usaha yang memiliki sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dalam bidang perbenihan dengan wajib menerapkan jaminan mutu Benih melalui penerapan Sertifikasi.
Ketentuan sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dan kewajiban menerapkan jaminan mutu Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan bagi Pelaku Usaha perseorangan atau kelompok yang melakukan usaha perbenihan untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1 (satu) kelompok.
Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi Benih, Sertifikasi, peredaran Benih, serta pengeluaran dan pemasukan Benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), introduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sertifikasi kompetensi, Sertifikasi badan usaha, dan kewajiban menerapkan jaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), serta pengecualian kewajiban penerapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 92
Penyelenggara pasar dan tempat lain untuk perdagangan Produk Hortikultura dapat menyelenggarakan penjualan Produk Hortikultura lokal dan asal impor.
Penyelenggara pasar dan tempat lain untuk perdagangan Produk Hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan fasilitas pemasaran yang memadai.
Pasal 100
Pemerintah Pusat mendorong penanaman modal dalam Usaha Hortikultura.
Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
Pasal 122
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat , Pasal 33, Pasal 36 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 37, Pasal 38, Pasal 54 ayat (1) a tau ayat (2), Pasal 60 ayat (2), Pasal 71, Pasal 73 ayat (2), Pasal 81 ayat (4), Pasal 84 ayat (1), Pasal 88 ayat (1), Pasal 92 ayat (2)., Pasal 101, Pasal 108 ayat (2), a tau Pasal 109 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
peringatan secara tertulis;
denda administratif;
penghentian sementara kegiatan;
penarikan produk dari peredaran oleh Pelaku Usaha;
pencabutan izin; dan/atau
penutupan usaha.
Pasal 6
Lahan yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Penggembalaan Umum harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan.
Kawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai:
a.
C. penghasil tumbuhan Pakan; tempat perkawinan alami, seleksi, dan pelayanan Inseminasi Buatan; tempat pelayanan Kesehatan kastrasi, Hewan; dan/atau
tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang di daerahnya mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budi daya Ternak skala kecil wajib menetapkan lahan se bagai Kawasan Penggembalaan Umum. ! (4) Pemerintah Daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja sama antara pengusahaan Peternakan dan pengusahaan tanaman pangan, hortikultura, perikanan, perkebunan, dan kehutanan, serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber Pakan Ternak murah.
Dalam hal Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak menetapkan lahan sebagai Kawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Pusat dapat menetapkan lahan sebagai Kawasan Penggembalaan Umum.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan Kawasan Penggembalaan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bi bit dilakukan dengan memperhatikan keberlanjutan pengembangan usaha Peternak mikro, kecil, dan menengah. (2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan Benih, Bibit, dan/atau Bakalan.
Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan.
Setiap Benih atau Bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat layak Benih atau Bibit yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu.
Sertifikat layak Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi Benih atau Bibit yang terakreditasi.
Setiap Orang dilarang mengedarkan Benih atau Bibit yang tidak memenuhi kewajiban sertifikat layak Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 15
Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar r: iegeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan untuk:
meningkatkan mutu dan keragaman genetik;
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;
mengatasi kekurangan Benih dan/atau Bibit di dalam negeri; dan/atau
memenuhi keperluan penelitian dan pehgembangan. (2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Benih dan/atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
Pengeluaran Benih dan/atau Bibit dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian Ternak lokal terjamin.
Pengeh.iaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang terbaik di dalam negeri.
Setiap Orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
Setiap Orang yang memproduksi Pakan dan/atau Bahan Pakan untuk diedarkan secara komersial wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan Pakan serta memenuhi ketentuan cara pembuatan Pakan yang baik yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat harus berlabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Setiap Orang dilarang:
mengedarkan Pakan yang tidak layak dikonsumsi;
menggunakan dan/atau mengedarkan Pakan ruminansia yang mengandung Bahan Pakan yang berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau
menggunakan Pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan Pakan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
Budi daya Ternak hanya dapat dilakukan oleh Peternak, Perusahaan Peternakan, dan pihak tertentu untuk kepentingan khusus.
Peternak yang melakukan budi daya Ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di bawah skala usaha tertentu diberikan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Perusahaan Peternakan yang melakukan budi daya Ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di atas skala usaha tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat.
Peternak, Perusahaan Peternakan, dan pihak tertentu yang mengusahakan Ternak dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya Ternak yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib untuk melindungi usaha Peternakan dalam negeri dari persamgan tidak sehat di antara pelaku usaha. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 30
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat mengembangkan usaha budi daya melalui penanaman modal oleh perseorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang berbadan hukum. (2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada aya t dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
Pasal 36B
Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kepentingan Peternak.
Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pemasukan Ternak dari luar negeri harus:
memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;
bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan oleh Otoritas Veteriner; dan
memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang karantina Hewan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak dan Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 36C
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia c; lapat berasal dari suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.
Persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak Ruminansia Indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan oleh Otoritas Veteriner.
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari suatu negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terle bih dahulu:
dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal oleh Otoritas Veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas Veteriner Indonesia;
dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilans di dalam negeri; dan
ditetapkan tempat pemasukan tertentu.
Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak Ruminansia Indukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 52
Setiap Orang yang berusaha di bidang pembuatan, penyediaan, dan/atau peredaran Obat Hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Setiap Orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan Obat Hewan yang:
berupa sediaan biologi yang penyakitnya tidak ada di Indonesia;
tidak memiliki nomor pendaftaran;
tidak diberi label dan tanda; dan
tidak memenuhi standar mutu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 54
Penyediaan Obat Hewan dapat berasal dari produksi dalam negeri atau dari luar negeri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan Obat Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 59
Setiap Orang yang akan memasukkan Produk Hewan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 60
Setiap Orang yang mempunyai unit usaha Produk Hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha berupa nomor kontrol Veteriner dari Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan unit usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan Produk Hewan yang dihasilkan oleh unit usaha skala rumah tangga • yang belum memenuhi persyaratan nomor kontrol Veteriner.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 62
Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong Hewan yang memenuhi persyaratan teknis.
Rumah potong Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh Setiap Orang setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Usaha rumah potong Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di bawah pengawasan Dokter Hewan Berwenang di bidang pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha rumah potong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui:
penunjukan Kawasan Hutan;
penataan batas Kawasan Hutan;
pemetaan Kawasan Hutan; dan
penetapan Kawasan Hutan.
Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. (3) Pengukuhan Kawasan Hutan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit.
Pemerintah Pusat memprioritaskan percepatan pengukuhan Kawasan Hu tan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada daerah yang strategis.
Ketentuan lebih lanjut mengenai prioritas percepatan pengukuhan Kawasan Hu tan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan/atau pulau guna pengoptimalan manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau.
Ketentuan lebih lanjut mengenai luas Kawasan Hutan yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Perubahan peruntukan dan perubahan fungsi Kawasan Hutan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.
Ketentuan mengenai tata cara perubahan peruntukan dan perubahan fungsi Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Pemanfaatan Hutan Lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan Hasil Hutan bukan kayu.
Pemanfaatan Hutan Lindung sebagaiinana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemberian Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pasal 28
Pemanfaatan Hutan Produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan Hasil Hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan Hasil Hutan kayu dan bukan kayu.
Pemanfaatan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemberian Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pasal 31
Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan kelestarian, Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan Hu tan dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian Hutan dan aspek kepastian usaha.
Ketentuan mengenai pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat mengatur perlindungan Hutan, baik di dalam maupun di luar Kawasan Hutan.
Perlindungan dilaksanakan Hutan oleh pada Hutan Negara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan Hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 wajib melindungi Hutan dalam areal kerjanya.
Perlindungan Hutan pada Hutan Hak dilakukan oleh pemegang haknya.
Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan Hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan Hutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 50A
Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c, huruf d, dan/atau huruf e dilakukan oleh orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dikenai sanksi administratif.
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap:
orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam ke bij akan pena taan Kawasan Hutan; atau
orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat.
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a dipidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf d dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf e dipidana penjara paling lapla 3 (tiga) bulan dan pidana denda paling banyak Rpl0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf f dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (10) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf g dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah). (11) Tindak pidana se bagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) apabila dilakukan oleh korporasi dan/atau atas nama korporasi, korporasi dan pengurusnya dikenai pidana dengan pemberatan 1 / 3 (sepertiga) dari denda pidana pokok. (12) Semua Hasil Hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan/atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk negara.
Pasal 80
Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam Undang-Undang m1, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi Hutan, atau tindakan lain yang di perlukan.
Setiap pemegang Perizinan Berusaha pemanfaatan Hutan yang diatur dalam Undang-Undang ini apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut rnengenai tata cara ganti rugi sebagairnana dirnaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi adrninistratif sebagairnana dirnaksud pada ayat (2) diatur dalarn Peraturan Pernerin tah. Pasal 37 Beberapa ketentuan dalarn Undang-Undang Nornor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pernberantasan Perusakan Hutan (Lernbaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nornor 130, Tarnbahan Lernbaran Negara Republik Indonesia Nornor 5432) diubah sebagai berikut:
Pasal 12A
Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf f dan/atau huruf h dikenai sanksi administratif.
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap:
orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan penataan Kawasan Hutan; atau
orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat.
Pasal 17
Setiap Orang dilarang:
membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lain yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan penambangan dan/atau mengangkut hasil tambang di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
melakukan kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
mengangkut dan/atau menerima titipan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil tambang yang berasal dari kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat; dan/atau
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil tambang dari kegiatan penambangan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2} Setiap Orang dilarang:
membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
melakukan kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Benisaha dari Pemerintah Pusat;
mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat;
menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat; dan/atau
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil ke bun dari per ke bunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 1 7 A sehingga berbunyi se bagai berikut:
Pasal 17A
Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 17 ayat (2) huruf b, huruf c, dan/atau huruf d dikenai sanksi administratif.
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap:
orang perseorangan atau kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus-menerus dan terdaftar dalam kebijakan penataan Kawasan Hutan; atau
orang perseorangan yang telah mendapatkan sanksi sosial atau sanksi adat.
Pasal 82
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
melakukan penebangan Pohon dalam Kawasan Hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a;
melakukan penebangan Pohon dalam Kawasan Hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau
melakukan penebangan Pohon dalam Kawasan Hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan kurang dari 5 (lima) tahun dan tidak terus menerus, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit RpS00.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak RpS00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Korporasi yang:
melakukan penebangan Pohon dalam Kawasan Hutan yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a;
melakukan penebangan Pohon dalam Kawasan Hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; aan/atau c. melakukan penebangan Pohon dalam Kawasan Hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, dipidana bagi:
pengurusnya dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit RpS.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling ban yak RplS.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan/atau
Korporasi dikenai pemberatan 1 / 3 (satu per tiga) dari denda pidana yang dijatuhkan.
Pasal 83
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 h uruf d;
mengangkut, menguasai, atau memiliki Hasil Hutan Kayu yang tidak dilengkapi secara bersama Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan sebagaim~na dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
memanfaatkan Hasil Hutan Kayu yang diduga berasal dari hasil Pem balakan Liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit RpS00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;
mengangkut, menguasai, atau memiliki Hasil Hutan Kayu yang tidak dilengkapi secara bersama Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
memanfaatkan Hasil Hutan Kayu yang diduga berasal dari hasil Pem balakan Liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun serta pidana denda paling sedikit Rpl0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). PRES ID EN REPUBLIK INDONESIA (3) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan kurang dari 5 (lima) tahun dan tidak secara terus-menerus, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling sedikit RpS00.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak RpS00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Korporasi yang:
memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.2 huruf d;
mengangkut, menguasai, atau memiliki Hasil Hutan Kayu yang tidak dilengkapi secara bersama Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e; dan/atau
memanfaatkan Hasil Hutan Kayu yang diduga berasal dari hasil Pem balakan Liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h, dipidana bagi:
pengurusnya dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling ban yak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan/atau
Korporasi dikenai pemberatan 1 / 3 (satu per tiga) dari denda pidana yang dijatuhkan.
Pasal 85
Orang perseorangan yang dengan sengaJa membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil Hutan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun a tau pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Korporasi yang membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil Hutan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf g dipidana bagi:
pengurusnya dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling ban yak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan/atau
Korporasi dikenai pemberatan 1/3 (satu per tiga) dari denda pidana yang dijatuhkan.
Pasal 92
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga I akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a; dan/atau PRES I OEN REPLJBLIK INDONESIA b. melakukan kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rpl.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Korporasi yang:
mernbawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau rnengangkut hasil kebun di dalam Kawasan Rutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) huruf a; dan/atau
rnelakukan kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b, dipidana bagi:
pengurusnya dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh rniliar rupiah) dan paling ban yak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan/atau
Korporasi dikenai pemberatan 1 / 3 (satu' per tiga) dari denda pokoknya.
Pasal 93
Orang perseorangan yang dengan sengaja: PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perke bunan yang berasal dari kegiatan petkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c;
menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) huruf d; dan/atau
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun a tau pidana denda paling sedikit Rpl.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Orang perseorangan yang karena kelalaiannya:
mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) huruf c;
menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tan pa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) huruf d; dan/atau
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) huruf e, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling sedikit Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Korporasi yang:
mengangkut dan/atau menerima titipan !hasil perke bunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) huruf c;
menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) huruf d; dan/atau
membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam Kawasan Hutan tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) huruf e, dipidana bagi:
pengurusnya dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit RpS.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling ban yak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan/atau
Korporasi dikenai pemberatan 1 / 3 (satu- per tiga) dari denda pidana yang dijatuhkan.
Pasal 96
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
memalsukan Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan/atau penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a;
menggunakan Perizinan Berusaha palsu terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan/atau penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau
memindahtangankan atau menjual Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit RpS00.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Korporasi yang:
memalsukan Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan/atau penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a;
menggunakan Perizinan Berusaha palsu terkait Pemanfaatan Hasil Hutan iKayu dan/atau penggunaan Kawasan Hu tan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b; dan/atau
memindahtangankan atau menjual Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c, di pidana bagi:
pengurusnya dengan pidana penjara paling sirigkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling ban yak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan/atau
Korporasi dikenai pemberatan 1 / 3 (satu per tiga) dari denda .pidana yang dijatuhkan. PRES I DEN REPLJBLIK INDONESIA
Pasal 128A
Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi yang melakukan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (2) dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128.
Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara dapat berupa pengenaan iuran produksi/royalti sebesar 0% (nol persen).
Ketentuan lebih lanjut mengenai perlakuan terten tu se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 4
Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. (2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat melalui kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. (3) Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir.
Pasal 5
Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas:
Kegiatan Usaha Hulu; dan
Kegiatan Usaha Hilir.
Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
Eksplorasi; dan
Eksploitasi.
Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
Pengolahan;
Pengangkutan;
Penyimpanan; dan
Niaga.
Pasal 25
Pemerintah Pusat dapat memberikan sanksi administratif terhadap:
pelanggaran salah satu persyaratan yang tercantum dalam Perizinan Berusaha; dan/atau
ketidakterpenuhinya persyaratan yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang ini. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 4
Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penguasaan Panas Bumi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan prinsip pemanfaatan.
Pasal 11
Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat huruf a wajib terlebih dahulu memiliki Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung.
Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
lintas wilayah provinsi, termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung;
Kawasan Hutan konservasi;
kawasan konservasi di perairan; dan
wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas di seluruh Indonesia.
Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat u·ntuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi, termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. PRES ID EN REPLJBLIK INDONESIA (4) Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada:
wilayah kabupaten/kota, termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan
wilayah laut paling jauh 1 / 3 (satu per tiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi.
Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diberikan berdasarkan permohonan dari Setia p Orang.
Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung diberikan setelah Setiap Orang se bagaimana dimaksud pada ayat (5) mendapat persetujuan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 23
Sadan U saha yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat huruf b wajib terlebih dahulu memenuhi Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi.
Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Sadan Usaha berdasarkan hasil penawaran Wilayah Kerja.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
Pemerintah Pusat dapat mencabut Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c jika pelaku usaha di bidang Panas Bumi:
melakukan 1 ••• rnelakukan pelanggaran terhadap salah satu keten tuan yang tercan turn dalarn Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi; dan/atau
tidak rnernenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan.
Sebelurn rnelaksanakan pencabutan Perizinan Berusaha di bi dang Panas Bumi se bagairnana dirnaksud pada ayat (1), Pernerintah Pusat terlebih dahulu rnernberikan kesernpatan dalarn jangka waktu 6 (enarn) bulan kepada pelaku usaha di bidang Panas Bumi untuk rnernenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan yang diatur dalarn Undang-Undang ini.
Pasal 40
Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 23 ayat , Pasal 26 ayat (1) a tau ayat (2), Pasal 27 ayat (1) a tau ayat (3), Pasal 31 ayat (3), atau Pasal 32 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
peringatan tertulis;
penghentian sementara seluruh kegiatan;
denda administratif; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 1
Pasal 42
Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung atau pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi harus terlebih dahulu melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Dalam hal Pemerintah Pusat melakukan Eksplorasi untuk menetapkan Wilayah Kerja se bagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (1), sebelum melakukan Eksplorasi, Menteri melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan, atau bentuk penggantian lain kepada pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak.
Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi dilakukan oleh badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah Pusat, penyediaan tanah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43
Pemegang Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung atau pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebelum melakukan pengusahaan Panas Bumi di atas tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan harus:
memperlihatkan:
Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung atau salinan yang sah; atau
Perizinan Berusaha di bi dang Panas Bumi atau salinan yang sah;
memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan; dan
melakukan penyelesaian atau Jamman penyelesaian yang disetujui oleh pemakai tanah di atas tanah negara dan/atau pemegang hak se bagaimana dimaksud dalam Pasal 42. (2) Jika pemegang Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung atau pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemakai tanah di atas tanah negara dan/atau pemegang hak wajib mengizinkan pemegang Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung atau pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi untuk melaksanakan pengusahaan Panas Bumi di atas tanah yang bersangkutan. l
Pasal 50
Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a atau huruf b atau Pasal 49 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat berupa:
peringatan tertulis;
penghentian sementara seluruh kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 59
Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 3
Penyediaan Tenaga Listrik dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berlandaskan prinsip otonomi daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh ·Pemerintah Pusat.
Untuk penyelenggaraan penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Pasal 5
Kewenangan Pemerintah Pusat di bidang Ketenagalistrikan meliputi:
penetapan kebijakan Ketenagalistrikan nasional;
penetapan peraturan perundang-undangan di bi dang Ketenagalis trikan;
penetapan standar, pedoman, dan kriteria di bi dang Ketenagalistrikan;
penetapan pedoman penetapan tarif Tenaga Listrik untuk Konsumen;
penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional;
penetapan Wilayah Usaha;
penetapan Perizinan Berusaha terkait jual beli Tenaga Listrik lintas negara;
penetapan Perizinan Berusaha penyediaan Tenaga Listrik;
penetapan tarif Tenaga Listrik untuk Konsumen dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan 'Tenaga Listrik untuk kepentingan umum; J. penetapan persetujuan harga jual Tenaga Listrik dan sewa jaringan Tenaga Listrik dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum;
penetapan persetujuan penjualan kelebihan Tenaga Listrik dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri;
penetapan Perizinan Berusaha untuk kegiatan jasa penunjang Tenaga Listrik;
penetapan Perizinan Berusaha terkait usaha jasa penunjang Tenaga Listrik yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atau penanam modal asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing;
penetapan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan jaringan Tenaga Listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika pada jaringan milik pemegang Perizinan Berusaha terkait penyediaan Tenaga Listrik atau Perizinan Berusaha terkait operasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang Ketenagalistrikan;
pengangkatan inspektur Ketenagalistrikan;
pembinaan jabatan fungsional inspektur Ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat pemerintahan; dan
penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang Perizinan Berusahanya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi di bidang Ketenagalistrikan meliputi:
penetapan peraturan daerah provms1 di bidang Ketenagalistrikan;
penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan daerah provinsi;
pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha di bidang Ketenagalistrikan yang Perizinan Berusahanya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
pengangkatan inspektur Ketenagalistrikan untuk provinsi; dan
penetapan sanksi administratif kepada badan usaha yang Perizinan Berusahanya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 7
Rencana Umum . Ketenagalistrikan nasional disusun berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengikutsertakan Pemerintah Daerah.
Ketentuan mengenai pedoman penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan Tenaga Listrik. (2) Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum.
Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dalam melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik un tuk kepen tingan umum wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan Tenaga Listrik, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah provms1 sesua1 dengan kewenangannya memberi kesempatan kepada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara U saha Penyediaan Tenaga Listrik terintegrasi.
Dalam hal tidak ada badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, atau koperasi yang dapat menyediakan Tenaga Listrik di wilayah tersebut, Pemerintah Pusat wajib menugasi badan usaha milik negara untuk menyediakan Tenaga Listrik.
Pasal 13
U saha Penyediaan Tenaga Listrik un tuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilaksanakan hanya untuk pemakaian sendiri.
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri dapat dilaksanakan oleh instansi Pemerintah Pusat, instansi Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya.
Instansi Pemerintah Pusat, instansi Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, bad an usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha lainnya dalam melaksanakan U saha Penyediaan Tenaga Listrik . untuk kepentingan sendiri wajib mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
Pasal 16
U saha jasa penunjang Tenaga Listrik se bagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi:
konsultansi dalam bidang instalasi Tenaga Listrik;
pembangunan dan pemasangan instalasi Tenaga Listrik;
pemeriksaan dan pengujian instalasi Tenaga Listrik;
pengoperasian instalasi Tenaga Listrik;
pemeliharaan instalasi Tenaga Listrik;
penelitian dan pengembangc: ; tn;
pendidikan dan pelatihan;
laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat Tenaga Listrik;
sertifikasi peralatan dan pemanfaat Tenaga Listrik; J. sertifikasi kompetensi tenaga teknik Ketenagalis trikan;
sertifikasi badan usaha jasa penunjang Tenaga Listrik; dan
usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan dengan penyediaan Tenaga Listrik. (2) Usaha jasa penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha swasta, badan layanan umum, dan koperasi yang memiliki sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi usaha jasa penunjang Tenaga Listrik diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi strbagai berikut: PRES ID EN REPUBLIK INDONESIA Pasal 18 Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan usaha penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan setelah mendapatkan Perizinan Berusaha.
Pasal 21
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan Perizinan Berusaha.
Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria berkaitan dengan Perizinan Berusaha.
Pasal 23
Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri dapat menjual kelebihan Tenaga Listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Penjualan kelebihan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal wilayah tersebut belum terjangkau oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum.
Pasal 27
Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum dalam melaksanakan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat berhak untuk:
melintasi sungai atau danau, baik di atas maupun di bawah permukaan;
melintasi laut, baik di atas maupun di bawah permukaan;
melintasi jalan umum dan jalan kereta api;
masuk ke tempat umum atau perseorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu;
menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah;
melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah; dan
memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.
Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum harus melaksanakannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
Konsumen berhak untuk:
mendapat pelayanan yang baik;
mendapat Tenaga Listrik secara terus- menerus dengan mutu dan keandalan yang baik;
memperoleh Tenaga Listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar;
mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan Tenaga Listrik; dan
mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli Tenaga Listrik.
Konsumen wajib:
melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan Tenaga Listrik;
menjaga keamanan instalasi Tenaga Listrik milik Konsumen;
memanfaatkan Tenaga Listrik sesuai dengan peruntukannya;
membayar tagihan pemakaian Tenaga Listrik; dan
menaati persyaratan teknis di bidang Ketenagalis trikan.
Konsumen bertanggung jawab apabila karena kelalaiannya mengakibatkan kerugian bagi pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
Penetapan dan tata cara pembayaran Ganti Rugi Hak Atas Tanah atau Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ganti Rugi Hak Atas Tanah atau Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dibebankan kepada pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Pasal 34
Pemerintah Pusat menetapkan tarif Tenaga Listrik untuk Konsumen dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Tarif Tenaga Listrik untuk Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan nasional, daerah, Konsumen, dan pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Tarif Tenaga Listrik untuk Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu Wilayah Usaha. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 45
Pemanfaatan Jarmgan Tenaga Listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu kelangsungan Penyediaan Tenaga Listrik.
Pemanfaatan jaringan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pemilik jaringan.
Pemilik jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan kepada Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jar.ingan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 46
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria. yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dalam hal:
penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk pembangkit Tenaga Listrik;
pemanfaatan jaringan Tenaga Listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika;
pemenuhan kecukupan pasokan Tenaga Listrik;
pemenuhan persyaratan keteknikan;
pemenuhan aspek pelindungan lingkungan hidup;
pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri;
penggunaan tenaga kerja asing;
pemenuhan tingkat mutu dan keandalan penyediaan Tenaga Listrik;
pemenuhan persyaratan perizinan; J. penerapan tarif Tenaga Listrik; dan
pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha penunjang Tenaga Listri
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat:
melakukan inspeksi pengawasan di lapangan;
meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang Ketenagalistrikan; C. melakukan penelitian laporan pelaksanaan Ketenagalistrikan; dan dan evaluasi atas usaha di bidang PRES ID EN REPLJBLIK INDONESIA d. memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran keten tuan Perizinan Berusaha.
Dalam melaksanakan pengawasan pemenuhan persyaratan keteknikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dibantu oleh inspektur Ketenagalistrikan dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 22, Pasal 23 ayat , Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 30 ayat (1), Pasal 35, Pasal 37, Pasal 42, Pasal 44 ayat (1), ayat (4) atau ayat (5), atau Pasal 45 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: · a. teguran tertulis;
pembekuan kegiatan sementara;
denda;dan/atau d. pencabutan Perizinan Berusaha.
Setiap Orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanaman yang:
telah di beri gan ti rugi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dan/atau Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3);
berpotensi masuk ke ruang bebas atau jarak bebas minimum jaringan Tenaga Listrik; dan/atau
berpotensi membahayakan keselamatan dan/atau mengganggu keandalan penyediaan Tenaga Listrik, dikenai sanksi administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Setiap Orang yang melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling ban yak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap Orang yang melakukan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling ban yak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Setiap Orang yang menjual kelebihan Tenaga Listrik . untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa persetujuan dari Pemerintah Pusat a.tau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling ban yak Rp2.000.000.000,00 .(dua miliar rupiah).
Pasal 50
Setiap Orang yang tidak memenuhi keselamatan Ket~,nagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat yang mengakibatkan kematian seseorang karena Tenaga Listrik dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rpl.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta. rupiah).
Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik wajib memberi ganti rugi kepada korban.
Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 4
Pemerintah Pusat membentuk badan pengawas yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan Pemanfaatan Tenaga Nuklir.
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan pengawas menyelenggarakan peraturan, penzman, dan inspeksi.
Pasal 9
Bahan Galian Nuklir dikuasai oleh negara.
Pemerintah Pusat menetapkan wilayah usaha pertambangan Bahan Galian Nuklir sesuai d~ngan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bahan Galian Nuklir diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 9A
Pemerintah Pusat dapat menetapkan badan usaha yang melakukan kegiatan pertambangan Bahan Galian Nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Kegiatan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara yang bekerja sama dengan badan usaha milik swasta.
Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pertambangan Bahan Galian Nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pertambangan yang menghasilkan mineral ikutan radioaktif. (5) Badan usaha terkait pertambangan mineral dan batubara yang menghasilkan mineral ikutart radioaktif sebagaimana dimaksud pada ayat wajib memiliki Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Dalam hal orang perseorangan ataupun badan usaha menemukan . mineral ikutan radioaktif, orang perseorangan atau badan usaha wajib mengalihkan kepada negara atau badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pertambangan Bahan Galian Nuklir dan mineral ikutan radioaktif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 48A
Untuk menjaga kelangsungan proses produksi dan/atau pengembangan Industri, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan kemudahan untuk mendapatkan Bahan Baku dan/atau bahan penolong sesua1 dengan rencana kebutuhan Industri. (2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat termasuk kemudahan dalam mengimpor Bahan Baku dan/atau bahan penolong untuk Industri sesuai dengan rencana kebutuhan Industri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan untuk mendapatkan Bahan Baku dan/atau bahan penolong diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 50
Pemerintah Pusat melakukan perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan pengaw; asan Standardisasi Industri.
Standardisasi Industri diselenggarakan dalam wujud SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara.
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 53
Setiap Orang dilarang:
membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang tid_ak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; atau
memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara waji
Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengecualian atas SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk impor barang tertentu.
Pasal 57
Penerapan SNI secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dilakukan melalui penilaian kesesuaian.
Penilaian kesesuaian SNI yang diterapkan secara sukarela se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi.
Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 84
Industri Strategis dikuasai oleh negara.
Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Industri yang:
memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak;
meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis; dan/atau
mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara.
Penguasaan Industri Strategis oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
pengaturan kepemilikan;
penetapan kebijakan;
pengaturan Perizinan Berusaha;
pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan
pengawasan.
Pengaturan kepemilikan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui:
penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah Pusat;
pembentukan usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta; atau
pembatasan kepemilikan oleh penanam rpodal asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Penetapan kebijakan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit meliputi:
penetapan jenis Industri Strategis;
pem berian fasili tas; dan
pemberian kompensasi kerugian.
Perizinan Berusaha terkait Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan oleh Pemerintah Pusat. (7) Pengaturan produksi, distribusi, dan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan paling sediki t dengan menetapkan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e meliputi penetapan Industri Strategis se bagai o bjek vital nasional dan pengawasan distribusi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 101
Setiap kegiatan usaha Industri wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Industri kecil;
Industri menengah; dan
Industri besar. (3) Perusahaan Industri yang telah memperoleh Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai dengan Perizinan Berusaha yang dimiliki; dan
menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangku tan.
Pasal 106
Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri.
Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang:
belum memiliki Kawasan Industri;
telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah habis; atau
kawasan ekonomi khusus yang memiliki zona Industri.
Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi perusahaan:
Industri kecil;
Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau
Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.
Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib berlokasi di kawasan peruntukan Industri.
Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 115
Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat diwujudkan dalam bentuk:
pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau
penyampaian informasi dan/atau laporan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Setiap Pelaku Usaha wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada Barang yang diperdagangkan di dalam negeri. (2) Setiap Pelaku Usaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan atau kelengkapan label berbahasa Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
Pemerintah Pusat melakukan pengaturan tentang pengembangan, penataan, dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap Pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk menciptakan kepastian berusaha dan hubungan kerja sama yang seimbang antara pemasok dan pengecer dengan tetap memperhatikan keberpihakan kepada koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Pengembangan, penataan, dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengaturan Perizinan Berusaha, tata ruang, dan zonasi dengan memperhatikan jarak dan lokasi pendirian, kemitraan, dan kerja sama usaha.
REPUBUK INDONESIA (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha, tata ruang, dan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 15
Gudang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat huruf d merupakan salah satu sarana Perdagangan untuk mendorong kelancaran Distribusi Barang yang diperdagangkan di dalam negeri dan ke luar negeri.
Setiap pemilik Gudang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Setiap pemilik Gudang yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
Setiap Pelaku U saha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat dapat memberikan pengecualian terhadap kewajiban pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Setiap Pelaku Usaha yang tidak melakukan pemenuhan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
Pemerintah Pusat dapat meminta data dan/atau informasi kepada Pelaku Usaha mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
Pelaku Usaha dilarang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting.
Pasal 33
Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan pendaftaran Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat wajib menghentikan kegiatan Perdagangan Barang dan menarik Barang dari:
distributor;
agen;
grosir;
pengecer; dan/atau
konsumen. (2) Perintah penghentian kegiatan Perdagangan dan penarikan dari Distribusi terhadap Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (3) Produsen atau Importir yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Pasal 38
Pemerintah Pusat mengatur kegiatan Perdagangan Luar Negeri melalui kebijakan dan pengendalian di bidang Ekspor dan Impor.
Kebijakan dan pengendalian Perdagangan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
peningkatan daya saing produk Ekspor Indonesia;
peningkatan dan perluasan akses Pasar di luar negeri;
peningkatan kemampuan Eksportir dan Importir sehingga menjadi Pelaku Usaha yang andal; dan
peningkatan dan pengembangan produk invensi dan inovasi nasional yang diekspor ke luar negeri.
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri paling sedikit meliputi:
peningkatan jumlah dan jenis serta nilai tambah produk Ekspor;
pengharmonisasian Standar dan prosedur kegiatan Perdagangan dengan negara mitra dagang;
penguatan kelembagaan di sektor Perdagangan Luar Negeri;
pengembangan sarana dan prasarana penunjang Perdagangan Luar Negeri; dan
pelindungan dan pengamanan kepentingan nasional dari dampak negatif Perdagangan Luar Negeri. (4) Pengendalian Perdagangan Luar N egeri meli pu ti:
Perizinan Berusaha/ persetujuan;
Standar; dan
pelarangan dan pembatasan.
Pasal 42
Ekspor Barang dilakukan oleh Pelaku U saha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 47
Setiap Importir wajib meng1mpor Barang dalam keadaan baru.
Dalam hal tertentu, Pemerintah Pusat dapat menetapkan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Barang yang diimpor dalam keadaan tidak baru sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 52
Eksportir dilarang mengekspor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diekspor. (2) Importir dilarang mengimpor Barang yang tidak sesuai dengan ketentuan pembatasan Barang untuk diimpor. (3) Setiap Eksportir dan/atau Importir yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan mengenai kriteria Barang yang dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
Barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi:
SNI yang telah diberlakukan secara wajib; atau
persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara waji
Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;
kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; dan/atau
kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian. (5) Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian atau dilengkapi sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat. (6) Barang yang diperdagangkan dan belum diberlakukan SNI secara wajib dapat dibubuhi tanda SNI atau tanda kesesuaian sepanjang telah dibuktikan dengan sertifikat produk penggunaan tanda SNI atau sertifikat kesesuaian.
Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian atau tidak melengkapi sertifikat kesesuaian se bagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administratif.
Pasal 60
Penyedia Jasa dilarang memperdagangkan Jasa di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang telah diberlakukan secara wajib.
Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pad a ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
daya saing produsen nasional dan persaingan usaha yang sehat;
kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional;
kesiapan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian; dan/atau
budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan kearifan lokal.
Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian yang diakui oleh Pemerintah Pusat.
Jasa yang diperdagangkan dan memenuhi SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi yang belum diberlakukan secara wajib dapat menggunakan sertifikat kesesuaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang telah diberlakukan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib, tetapi tidak dilengkapi sertifikat kesesuaian se bagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administratif.
Pasal 65
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar.
Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penggunaan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
identitas dan legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen a tau Pelaku U saha Distribusi;
persyaratan teknis Barang yang ditawarkan;
persyaratan teknis atau kualifikasi Jasa yang ditawarkan;
harga dan cara pembayaran Barang dan/atau Jasa; dan
cara penyerahan Barang.
Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang sedang bersengketa dapat menyelesaikan sengketa terse but melalui pengadilan atau melalui mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara lengkap dan benar se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Pasal 74
Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka pengembangan Ekspor untuk perluasan akses Pasar bagi Barang dan Jasa produksi dalam negeri.
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian insentif, fasilitas, informasi peluang Pasar, bimbingan teknis, serta bantuan promos1 dan pemasaran untuk pengembangan Ekspor.
Pemerintah Pusat dapat mengusulkan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa insentif fiskal dan/atau nonfiskal dalam upaya meningkatkan daya saing Ekspor Barang dan/atau Jasa produksi dalam negeri.
Pemerintah Pusat dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan pemangku kepentingan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 77
Setiap Pelaku U saha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan / a tau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri wajib mendapatkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dan peserta pameran dagang yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 100
Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat , Pemerintah Pusat menunjuk petugas pengawas di bidang Perdagangan.
Petugas pengawas di bidang Perdagangan dalam melaksanakan pengawasan harus membawa surat tugas yang sah dan resmi.
Petugas pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kewenangannya paling sedikit melakukan pengawasan terhadap:
Perizinan Berusaha di bi dang Perdagangan;
Perdagangan Barang yang diawasi, dilarang, dan/atau diatur;
Distribusi Barang dan/atau Jasa;
pendaftaran Barang Produk Dalam Negeri dan asal Impor yang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup;
pemberlakuan SNI, persyaratan teknis, atau kualifikasi secara wajib;
Perizinan Berusaha terkait Gudang; dan
penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang pen tin
Petugas pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal menemukan dugaan pelanggaran kegiatan di bidang Perdagangan dapat:
merekomendasikan penarikan Barang dari Distribusi dan/atau pemusnahan Barang;
merekomendasikan penghentian kegiatan usaha Perdagangan; atau
merekomendasikan pencabutan Perizinan Berusaha di bidang Perdagangan. (5) Dalam hal pada pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti awal dugaan terjadi tindak pidana di bidang Perdagangan, petugas pengawas melaporkannya kepada penyidik untuk ditindaklanjuti.
Petugas pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan kewenangannya dapat berkoordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 106
Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha Perdagangan tidak memenuhi Perizinan Berusaha di bi dang Perdagangan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku U saha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.
Bagi Pelaku Usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi · sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77A ayat (1).
Pasal 17
Setiap pelaku usaha yang membuat dan/atau memperbaiki Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Setiap pelaku usaha yang melakukan impor Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan ke dalam wilayah Republik Indonesia harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pasal 4A
Untuk Pelaku Usaha mikro dan kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas pernyataan halal Pelaku Usaha mikro dan kecil.
Pernyataan halal Pelaku U saha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.
Pasal 5
Pemerin tah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH.
Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Dalam hal diperlukan, Menteri dapat melakukan pengembangan organisasi BPJPH di daerah sesuai kebutuhan.
Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan orgamsas1 BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 7
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:
kementerian dan/atau lembaga terkait;
LPH; dan
MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.
Selain kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJPH dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi.
Pasal 10
Kerja sama BPJPH dengan MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/ Kata, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat huruf c dilakukan dalam hal penetapan kehalalan Produk.
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, dan Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk.
Pasal 14
Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat huruf b diangkat dan diberhentikan oleh LPH.
Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
warga negara Indonesia;
beragama Islam;
berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 ( satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian;
memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; dan
mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Pasal 22
Pelaku U saha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat a tau ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 atau Pasal 26 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. - REPUBUK INDONESIA
Pasal 28
Penyelia Halal se bagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c bertugas:
mengawasi PPH di perusahaan;
menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
mengoordinasikan PPH; dan
mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan.
Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:
beragama Islam; dan
memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan.
Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH.
Dalam hal kegiatan usaha dilakukan oleh Pelaku U saha mikro dan kecil, Penyelia Halal dapat berasal dari orgamsas1 kemasyarakatan keagamaan Islam.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan / a tau penguj ian kehalalan Produk berdasarkan permohonan Pelaku Usaha.
Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat dinyatakan lengkap.
Pasal 31
Pemeriksaan dan / a tau penguj ian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat dilakukan oleh Auditor Halal paling lama 15 (lima belas) hari kerja.
Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi. (3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium. (4) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memerlukan tambahan waktu pemeriksaan, LPH dapat mengajukan perpanjangan waktu kepada BPJPH.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk diatur dalam Peraturan Pemerintah.
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 32
LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dengan tembusan yang dikirimkan kepada BPJPH, melalui sistem elektronik terin tegrasi.
Pasal 33
Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh.
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal. (3) Sidang Fatwa Halal MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat memutuskan kehalalan Produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari LPH. (4) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal. (5) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui, penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh Komite Fatwa Produk Halal, berdasarkan ketentuan Fatwa Halal. REPUBUK INDONESIA .
Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan paling lama 2 (dua) hari kerja. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 33A
Dalam hal permohonan sertifikasi halal dilakukan oleh Pelaku Usaha mikro dan kecil melalui pernyataan halal, penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh Komite Fatwa Produk Halal berdasarkan ketentuan Fatwa Halal. (2) Penetapan kehalalan Produk oleh Komite Fatwa Produk Halal sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan paling lama 1 ( satu) hari kerja sejak diterimanya hasil pendampingan PPH. (3) Pen dam pingan PPH se bagaimana dimaksud pad a ayat (2) diselesaikan paling lama 10 ( sepuluh) hari kerja sejak permohonan sertifikasi halal disam paikan Pelaku U saha mikro dan kecil se bagaimana dimaksud pada aya t (1). (4) Berdasarkan penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 33B (1) Komite Fatwa Produk Halal dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri.
Komite Fatwa Produk Halal terdiri atas unsur: a ulama; dan
akademisi.
Pasal 44
Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku U saha yang mengajukan permohonan sertifikasi halal.
Dalam hal permohonan sertifikasi halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku U saha mikro dan kecil melalui pernyataan halal, tidak dikenai biaya.
Pasal 29
Perencanaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus memenuhi standar. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 53
Pengendalian Perumahan dilakukan mulai dari tahap:
perencanaan;
pembangunan; dan
pemanfaatan.
Pengendalian Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam bentuk:
Perizinan Berusaha atau persetujuan;
penertiban; dan/atau
penataan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 55
Orang perseorangan yang memiliki Rumah Umum dengan kemudahan yang diberikan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah hanya dapat menyewakan dan/atau mengalihkan kepemilikannya atas Rumah kepada pihak_ lain dalam hal:
pewarisan; atau
penghunian setelah jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun.
Dalam hal dilakukan pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pengalihannya wajib dilaksanakan oleh lembaga yang ditunjuk atau dibentuk oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam bidang Perumahan dan Permukiman. (3) J ika pemilik meninggalkan Rumah secara terus- menerus dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun tan pa memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah berwenang mengambil alih kepemilikan Rumah tersebut.
Rumah yang telah diambil alih oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib didistribusikan kembali kepada MBR. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan dan pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan Rumah bagi MBR diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 107
Tanah yang langsung dikuasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a yang digunakan untuk pembangunan Rumah, Perumahan, dan/atau Kawasan Permukiman diserahkan melalui pemberian hak atas tanah kepada Setiap Orang yang melakukan pembangunan Rumah, Perumahan, dan Kawasan Permukiman.
Pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada penetapan lokasi atau konfirmasi, persetujuan, atau rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
Dalam hal tanah yang langsung dikuasai negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat garapan masyarakat, hak atas tanah diberikan setelah pelaku pembangunan Perumahan dan Permukiman selaku pemohon hak atas tanah menyelesaikan ganti rugi atas seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan.
Dalarn hal tidak ada kesepakatan tentang ganti rugi sebagairnana dirnaksud pada ayat (3), penyelesaiannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 117B
Badan percepatan penyelenggaraan Perumahan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 11 7 A terdiri atas:
unsur pembina;
unsur pelaksana; dan
unsur pengawas.
Unsur pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berjumlah 5 (lima) orang yang proses seleksi dan pemilihannya dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pembentukan badan percepatan penyelenggaraan Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Unsur pembina, unsur pelaksana, dan unsur pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 150
Setiap Orang yang menyelenggarakan Perumahan dan Kawasan Permukiman yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat , Pasal 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) a tau ayat (2), Pasal 36 ayat (1), ayat (2) atau ayat (4), Pasal 38 ayat (4), Pasal 45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3), atau ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, atau Pasal 146 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
peringatan tertulis;
pembatasan kegiatan pembangunan;
penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;
penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan Perumahan;
penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);
kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu;
membangun kembali Perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum yang diperjanjikan, dan standar;
pembatasan kegiatan usaha;
pembekuan Persetujuan Bangunan Gedung; J. pencabutan Persetujuan Bangunan Gedung;
pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan Rumah;
perintah pembongkaran bangunan Rumah;
pembekuan Perizinan Berusaha;
pencabutan Perizinan Berusaha;
pengawasan;
pembatalan Perizinan Berusaha;
kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu;
pencabutan insentif;
pengenaan denda administratif; dan/atau
penutupan lokasi.
REPUBUK INDONESIA (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah
Pasal 153
Setiap Orang yang menyelenggarakan Lingkungan Hunian atau Kasiba yang tidak memisahkan Lingkungan Hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan Perumahan atau Lisiba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. REPUBUK INDONESIA Pasal 51 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252) diubah sebagai berikut:
Pasal 16
Pembangunan Rumah Susun Komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dapat dilaksanakan oleh Setiap Orang.
Pelaku Pembangunan Rumah Susun Komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan Rumah Susun Umum paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari total luas lantai Rumah Susun Komersial yang dibangun. (3) Dalam hal pembangunan Rumah Susun Umum sebagaimana dimaksud pada ayat tidak dalam 1 (satu) lokasi kawasan Rumah Susun Komersial, pembangunan Rumah Susun Umum dapat dilaksanakan dalam 1 ( satu) daerah kabupaten/kota yang sama.
Kewajiban menyediakan Rumah Susun Umum paling sedikit 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikonversi dalam bentuk dana untuk pembangunan Rumah Susun Umum. (5) Pengelolaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat dilaksanakan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban menyediakan Rumah Susun Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
Standar pembangunan Rumah Susun meliputi:
persyaratan administratif;
persyaratan teknis; dan
persyaratan ekologis.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pembangunan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Pemisahan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat wajib dituangkan dalam bentuk gambar dan uraian.
Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sebelum pelaksanaan pembangunan Rumah Susun.
Gambar dan uraian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk akta pemisahan yang disahkan oleh bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, akta pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disahkan oleh gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 29
Pelaku Pembangunan harus membangun Rumah Susun dan lingkungannya sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatan.
Rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, rencana fungsi dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan Perizinan Berusaha dari gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana fungsi dan pemanfaatan pembangunan Rumah Susun diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pengubahan rencana fungsi dan pemanfaatan Rumah Susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi fungsi Bagian Bersama, Benda Bersama, dan fungsi hunian.
Pasal 39
Pelaku Pembangunan wajib mengajukan permohonan sertifikat laik fungsi kepada bupati/wali kota setelah menyelesaikan seluruh atau sebagian pembangunan Rumah Susun sepanjang tidak bertentangan dengan Persetujuan Bangunan Gedung sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. REPUBUK INDONESIA (2) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, permohonan sertifikat laik fungsi se bagaimana dimaksud pada ayat diajukan kepada gubernur sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat laik fungsi setelah melakukan pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan Rumah Susun sesuai dengan keten tuan pera turan perundang- undangan.
Pasal 40
Pelaku Pembangunan wajib melengkapi lingkungan Rumah Susun dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum.
Prasarana, sarana, dan utilitas umum se bagaimana dimaksud pada aya t (1) harus mem pertim bangkan:
kemudahan dan keserasian hubungan dalam kegiatan sehari-hari;
pengamanan jika terjadi hal yang membahayakan; dan
struktur, ukuran, dan kekuatan sesua1 dengan fungsi dan penggunaannya.
Prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memen uhi standar pelayanan minimal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan minimal prasarana, sarana, dan utilitas umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Proses jual beli Sarusun sebelum pembangunan Rumah Susun selesai dapat dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris.
PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
status kepemilikan tanah;
Persetujuan Bangunan Gedung;
ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
hal yang diperjanjikan.
Pasal 54
Sarusun umum yang memperoleh kemudahan dari pemerintah hanya dapat dimiliki atau disewa oleh MBR.
Setiap Orang yang memiliki Sarusun umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain dalam hal:
pewarisan; atau
perikatan kepemilikan Rumah Susun setelah jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
Pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya dapat dilakukan oleh badan percepatan penyelenggaraan perumahan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pemberian kemudahan kepemilikan Sarusun umum oleh MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat diatur dalam Peraturan Presiden.
REPUBUK INDONESIA
Pasal 117
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109, Pasal 111, Pasal 115 a tau Pasal 116 dilakukan oleh Badan Hukum, selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap Badan Hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
pencabutan Perizinan Berusaha; atau
pencabutan status Badan Hukum. Pasal 52 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 201 7 ten tang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Repu blik Indonesia N omor 6018) di u bah se bagai berikut:
Pasal 5
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat huruf a, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
mengembangkan struktur usaha Jasa Konstruksi;
mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan Perizinan Berusaha dalam rangka registrasi bad an usaha J asa Konstruksi;
menyelenggarakan Perizinan Berusaha terkait Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan pemberian lisensi bagi lembaga yang melaksanakan sertifikasi badan usaha;
mengembangkan sistem rantai pasok Jasa Konstruksi;
mengembangkan sistem permodalan dan sistem penjaminan usaha Jasa Konstruksi;
memberikan dukungan dan pelindungan bagi Pelaku U saha J asa Konstruksi nasional dalam mengakses pasar Jasa Konstruksi in ternasional;
mengembangkan sistem pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi; J. menyelenggarakan pen er bi tan Perizinan Berusaha dalam rangka penanaman modal asmg;
menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa Konstruksi asing dan Jasa Konstruksi kualifikasi besar;
menyelenggarakan pengembangan layanan usaha Jasa Konstruksi; REPUBUK INDONESIA m. mengumpulkan dan mengembangkan sistem informasi yang terkait dengan pasar Jasa Konstruksi di negara yang potensial un tuk Pelaku U saha J asa Konstruksi nasional;
mengembangkan sistem kemitraan antara usaha Jasa Konstruksi nasional dan in ternasional;
menjamin terciptanya persaingan yang sehat dalam pasar Jasa Konstruksi;
mengembangkan segmentasi pasar Jasa Konstruksi nasional;
memberikan pelindungan hukum bagi Pelaku Usaha Jasa Konstruksi nasional yang mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional; dan
menyelenggarakan registrasi pengalaman badan usaha. (2) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
mengembangkan sistem pemilihan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa;
mendorong digunakannya alternatif penyelesaian sengketa penyelenggaraan J asa Konstruksi di luar pengadilan; dan
mengembangkan sistem kinerja Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan registrasi penilai ahli; dan
menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan.
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
mengembangkan standar kompetensi kerja dan pelatihan J asa Konstruksi;
memberdayakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja konstruksi nasional;
menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan;
mengembangkan sistem sertifikasi kompetensi tenaga kerja konstruksi;
menetapkan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi;
menyelenggarakan pengawasan sistem sertifikasi, pelatihan, dan standar remunerasi minimal bagi tenaga kerja konstruksi;
menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi;
menyelenggarakan registrasi tenaga kerja konstruksi;
menyelenggarakan registrasi pengalaman profesional tenaga kerja konstruksi serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi; J. menyelenggarakan penyetaraan tenaga kerja konstruksi asing; dan
REPUBUK INDONESIA k membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan tugas Sertifikasi Kompetensi Kerja yang belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi atau lembaga pendidikan dan pelatihan.
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
mengembangkan standar material dan peralatan konstruksi, serta inovasi teknologi konstruksi;
mengembangkan skema kerja sama antara institusi penelitian dan pengembangan dan seluruh pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;
menetapkan pengembangan teknologi prioritas;
memublikasikan material dan peralatan konstruksi serta teknologi konstruksi dalam negeri kepada seluruh pemangku kepentingan, baik nasional maupun in ternasional;
menetapkan dan meningkatkan penggunaan standar mutu material dan peralatan sesuai dengan standar nasional Indonesia;
melindungi kekayaan intelektual atas material dan peralatan konstruksi serta teknologi konstruksi hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri; dan
membangun sistem rantai pasok material, peralatan, dan teknologi konstruksi. (6) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa Konstruksi;
memfasili tasi pen yelenggaraan forum J asa Konstruksi se bagai media aspirasi masyarakat Jasa Konstruksi;
memberikan dukungan pembiayaan terhadap penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan
meningkatkan partisipasi masyarakat yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam Usaha Penyediaan Bangunan.
Dukungan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
mengembangkan sistem informasi Jasa Konstruksi nasional; dan
mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi nasional dan internasional.
Pasal 6
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat huruf a, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
memberdayakan badan usaha Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan pengawasan pemberian Perizinan Berusaha;
menyelenggarakan pengawasan tertib usaha J asa Konstruksi di provinsi;
REPUBUK INDONESIA d menyelenggarakan pengawasan sistem rantai pasok konstruksi di provinsi; dan
memfasili tasi kemi traan an tara badan usaha J asa Konstruksi di provinsi dengan bad an usaha dari luar provinsi.
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
menyelenggarakan pengawasan pemilihan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
menyelenggarakan pengawasan konstruksi; dan
menyelenggarakan pengawasan tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan Jasa Konstruksi di provinsi. (3) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha Jasa Konstruksi kualifikasi kecil dan menengah.
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan menyelenggarakan pengawasan:
sistem Sertifikasi Kompetensi Kerja;
pelatihan tenaga kerja konstruksi; dan
upah tenaga kerja konstruksi. REPUBUK INDONESIA (5) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
menyelenggarakan pengawasan penggunaan material, peralatan, dan teknologi konstruksi;
memfasilitasi kerja sama antara institusi penelitian dan pengembangan Jasa Konstruksi dengan seluruh pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;
memfasilitasi pengembangan teknologi prioritas;
menyelenggarakan pengawasan pengelolaan dan pemanfaatan sumber material konstruksi; dan
meningkatkan penggunaan standar mutu material dan peralatan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia.
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:
memperkuat kapasitas kelembagaan masyarakat Jasa Konstruksi provinsi;
meningkatkan partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam pengawasan penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi; dan
meningkatkan partisipasi masyarakat Jasa Konstruksi yang berkualitas dan bertanggung jawab dalam Usaha Penyediaan Bangunan.
Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g, gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki kewenangan mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi di provinsi.
Pasal 20
Kualifikasi usaha bagi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 terdiri atas:
kecil;
menengah;dan c. besar.
Penetapan kualifikasi usaha sebagairnana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penilaian terhadap:
penjualan tahunan;
kemampuan keuangan;
ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan
kernampuan dalam penyediaan peralatan konstruksi. REPUBUK INDONESIA (3) Kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan batasan kemampuan usaha dan segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kualifikasi usaha se bagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf a wajib:
berbentuk badan usaha dengan kualifikasi yang setara dengan kualifikasi besar;
memenuhi Perizinan Berusaha;
membentuk kerja sama operasi dengan badan usaha J asa Konstruksi nasional berkualifikasi besar yang memenuhi Perizinan Berusaha;
mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing;
menempatkan warga negara Indonesia sebagai pim pinan tertinggi kan tor perwakilan;
mengutamakan penggunaan material dan teknologi konstruksi dalam negeri;
memiliki teknologi tinggi, mutakhir, efisien, berwawasan lingkungan, serta memperhatikan kearifan lokal;
melaksanakan proses alih teknologi; dan
melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan prinsip kesetaraan kualifikasi, kesamaan layanan, dan tanggung renteng.
Pasal 38
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilakukan melalui penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi. REPUBUK INDONESIA .
Penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjakan sendiri atau melalui pengikatan Jasa Konstruksi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan usaha J asa Konstruksi yang dikerjakan sendiri a tau melalui pengikatan J asa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 59
Dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan. REPUBUK INDONESIA (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa, dan Penyedia Jasa wajib memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 69
Pelatihan tenaga kerja konstruksi diselenggarakan dengan metode pelatihan kerja yang relevan, ef ektif, dan efisien sesuai dengan standar kompetensi kerja.
Pelatihan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kerja. (3) Standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelatihan tenaga kerja konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) Lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 72
Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman profesional, setiap tenaga kerja konstruksi harus melakukan registrasi kepada Pemerintah Pusat.
Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan tanda daftar pengalaman profesional.
Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 84
Penyelenggaraan se bagian kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi.
Keikutsertaan masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui satu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat.
Unsur pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diusulkan dari:
asosiasi perusahaan yang terakreditasi;
asosiasi profesi yang terakreditasi;
institusi pengguna Jasa Konstruksi yang memenuhi kriteria;
perguruan tinggi atau pakar yang memenuhi kriteria; dan
asosiasi terkait rantai pasok konstruksi yang terakredi tasi. (4) Pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat yang dilakukan oleh lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Biaya yang diperoleh dari masyarakat atas layanan dalam penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat yang mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 96
Setiap Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa yang tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
denda administratif;
penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;
pencantuman dalam daftar hitam;
pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang dalam memberikan pengesahan atau persetujuan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
denda administratif;
penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;
pencantuman dalam daftar hitam;
pembekuan Perizinan Berusaha;
pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
pencabutan Sertifikat Badan Usaha untuk Penyedia Jasa.
Pasal 99
Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang J asa Konstruksi tidak memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian dari tempat kerja. REPUBUK INDONESIA (2) Setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang rnernpekerjakan tenaga kerja konstruksi yang tidak rnerniliki Sertifikat Kornpetensi Kerja sebagairnana dirnaksud dalarn Pasal 70 ayat (2) dikenai sanksi adrninistratif berupa:
denda adrninistratif; dan/atau
penghentian sernentara kegiatan layanan Jasa Konstruksi.
Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi yang rnemiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 70 ayat (1) yang tidak berpraktik sesuai dengan standar kompetensi kerja nasional Indonesia, standar internasional, dan/atau standar khusus dikenai sanksi adrninistratif berupa:
peringatan tertulis;
denda adrninistratif;
pernbekuan Sertifikat Kornpetensi Kerja; dan/atau
pencabutan Sertifikat Kompetensi Kerja.
Setiap lembaga sertifikasi profesi yang tidak mengikuti ketentuan pelaksanaan uji kornpetensi sebagaimana dirnaksud dalarn Pasal 70 ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
denda administratif;
pembekuan lisensi; dan/atau
pencabutan lisensi.
Pasal 8
Hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 merupakan kebutuhan pokok minimal sehari-hari.
Selain hak rakyat atas Air yang dijamin pemenuhannya oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memprioritaskan hak rakyat atas Air sebagai berikut:
kebutuhan pokok sehari-hari;
pertanian rakyat; dan
penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui Sistem Penyediaan Air Minum. (3) Dalam hal ketersediaan Air tidak mencukupi untuk prioritas pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemenuhan Air untuk kebutuhan pokok sehari-hari lebih diprioritaskan dari yang lainnya.
Dalam hal ketersediaan Air mencukupi, setelah urutan prioritas pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), urutan prioritas selanjutnya sebagai berikut:
penggunaan Sumber Daya Air guna memenuhi kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik; dan
penggunaan Sumber Daya kebutuhan usaha lainnya ditetapkan Perizinan Berusaha. Air yang untuk telah (5) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menetapkan urutan prioritas pemenuhan Air pada Wilayah Sungai sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
Dalam menetapkan prioritas pemenuhan Air sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terlebih dahulu memperhitungkan keperluan Air untuk pemeliharaan Sumber Air dan lingkungan hidup.
Hak rakyat atas Air bukan merupakan hak kepemilikan atas Air, melainkan hanya terbatas pada hak untuk memperoleh dan menggunakan sejumlah kuota Air sesuai dengan alokasi yang penetapannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Sumber Daya Air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui Sistem Penyediaan Air Minum, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), serta untuk memenuhi kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik dan kebutuhan usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. REPUBUK INDONESIA
Pasal 9
Atas dasar penguasaan negara terhadap Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat diberi tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengelola Sumber Daya Air.
Penguasaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan tetap mengakui Hak Ulayat Masyarakat Adat setempat dan hak yang serupa dengan itu sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Hak Ulayat Masyarakat Adat atas Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah diatur dalam Peraturan Daerah.
Pasal 19
Sebagian tugas dan wewenang Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pas al 10, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 dalam mengelola Sumber Daya Air yang meliputi satu Wilayah Sungai dapat ditugaskan kepada Pengelola Sumber Daya Air.
Pengelola Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa unit pelaksana teknis kementerian/unit pelaksana teknis daerah atau badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air.
Sebagian tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada aya t (1) tidak termasuk:
menetapkan kebijakan;
menetapkan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air;
menetapkan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air;
menetapkan kawasan lindung Sumber Air;
menerbitkan Perizinan Berusaha a tau persetujuan penggunaan Sumber Daya Air;
membentuk wadah koordinasi;
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
membentuk Pengelola Sumber Daya Air; dan
menetapkan nilai satuan BJPSDA. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah di bidang Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pemantauan Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan terhadap:
Perencanaan Pengelolaan Sumber Daya Air;
pelaksanaan konstruksi Prasarana Sumber Daya Air dan pelaksanaan nonkonstruksi; dan
pelaksanaan Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air. (2) Evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air dilakukan berdasarkan hasil pemantauan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap tujuan Pengelolaan Sumber Daya Air.
Hasil evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan perbaikan penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air. REPUBUK INDONESIA (4) Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesua1 dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi Pengelolaan Sumber Daya Air diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Perizinan Berusaha penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha dapat diberikan kepada pihak swasta setelah memenuhi syarat tertentu dan ketat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat huruf f minimal:
sesuai dengan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air;
memenuhi persyaratan teknis administratif;
mendapat persetujuan dari para pemangku kepentingan di kawasan Sumber Daya Air; dan
memenuhi kewajiban biaya Konservasi Sumber Daya Air yang merupakan komponen dalam BJPSDA dan kewajiban keuangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha untuk menggunakan Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
REPUBUK INDONESIA
Pasal 52
Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain dilarang, kecuali untuk tujuan kemanusiaan.
Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan telah dapat terpenuhinya kebutuhan penggunaan Sumber Daya Air di Wilayah Sungai yang bersangkutan serta daerah sekitarnya.
Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada Pola Pengelolaan Sumber Daya Air dan Rencana Pengelolaan Sumber Daya Air pada Wilayah Sungai yang bersangkutan · dan memperhatikan kepentingan daerah di sekitarnya.
Rencana penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain dilakukan melalui proses konsultasi publik oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosed: ur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Penggunaan Sumber Daya Air untuk negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib mendapat persetujuan penggunaan Sumber Daya Air dari Pemerintah Pusat berdasarkan rekomendasi dari Pemerintah Daerah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 43
Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar ruang milik J alan setelah me men uhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar ruang milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:
usaha khusus perparkiran; atau
penunjang usaha pokok.
Fasilitas Parkir di dalam ruang milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada Jalan kabupaten, Jalan desa, atau Jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas dan/atau Marka Jalan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengguna jasa fasilitas Parkir, Perizinan Berusaha, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas Parkir untuk umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 50
Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe. REPUBUK INDONESIA (2) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, dan swasta.
Ketentuan lebih lanjut mengenai UJl tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaksanaan uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 60
Bengkel umum Kendaraan Bermotor yang berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor, wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor.
Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 78
Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 170
Alat penimbangan yang dipasang secara tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (4) huruf a dipasang pada lokasi tertentu. (2) Penetapan lokasi, pengoperasian, dan penutupan alat penimbangan yang dipasang secara tetap pada Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Pengoperasian dan perawatan alat penimbangan yang dipasang secara tetap serta sistem informasi manajemen dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan dapat dikerjasamakan dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (4) Petugas alat penimbangan yang dipasang secara tetap wajib mendata jenis barang yang diangkut, berat angkutan, dan asal tujuan.
Pasal 173
Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat tidak berlaku untuk:
pengangkutan orang sakit dengan menggunakan ambulans; atau
pengangkutanjenazah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 179
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat terkait penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek diberikan oleh:
Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk angkutan orang yang melayani:
angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui 1 ( satu) daerah provinsi;
angkutan dengan tujuan tertentu; atau
angkutan pariwisata;
gubernur untuk angkutan taksi yang wilayah operasinya melampaui lebih dari 1 (satu) daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk angkutan taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta sesua1 dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; dan
bupati/wali kota untuk taksi dan angkutan kawasan tertentu yang wilayah operasinya berada dalam wilayah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 185
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan subsidi angkutan pada trayek atau lintas tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian subsidi angkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 199
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167, Pasal 168, Pasal 173, Pasal 186, Pasal 187, Pasal 189, Pasal 192, a tau Pasal 193 dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
denda administratif;
pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 222
Pemerintah Pusat wajib mengembangkan industri dan teknologi prasarana yang menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. (2) Pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.
Pengembangan industri dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Pusat.
Pasal 24
Badan Usaha yang menyelenggarakan Prasarana Perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait Prasarana Perkeretaapian umum.
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat meliputi:
Pemerintah Pusat untuk penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provms1;
Pemerin tah Dae rah provinsi un tuk penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat; dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan Perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi Pemerintah Daerah provinsi dan persetujuan Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Prasarana Perkeretaapian umum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 185A
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24A, Pasal 28, Pasal 32A, Pasal 33A,Pasal 77,Pasal 80A,Pasal 82,Pasall07, Pasal 112, Pasal 116A, Pasal 116B, Pasal 135, atau Pasal 168 dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 196
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian dengan petugas yang tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan/atau menimbulkan korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Iuka berat bagi orang, Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. (3) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 203
Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat yang mengakibatkan kecelakaan Kereta Api dan/atau kerugian bagi harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Iuka berat bagi orang, Awak Sarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. REPUBUK INDONESIA (3) Jika tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, Awak Sarana Perkeretaapian dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tah un.
Pasal 9
Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan dilaksanakan secara terpadu, baik intramoda maupun antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.
Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan Trayek tetap dan teratur (liner} serta dapat dilengkapi dengan Trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper}. (3) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani Trayek tetap dan teratur ( liner} dilakukan dalam jaringan Trayek.
Jaringan Trayek tetap dan teratur (liner} sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Pengoperasian Kapal pada Trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper} sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah Pusat.
Pasal 13
Kegiatan Angkutan Laut Khusus dilakukan oleh Badan Usaha untuk menunjang Usaha Pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan Kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Kelaiklautan Kapal dan diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Kegiatan Angkutan Laut Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pasal 14A
Sepanjang Ka pal berbendera Indonesia belum tersedia, Kapal Asing dapat melakukan kegiatan khusus di wilayah Perairan Indonesia yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan khusus yang dilakukan oleh Kapal Asing sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Berusaha untuk angkutan laut diberikan oleh: REPUBUK INDONESIA a. bupati/wali kota yang bersangkutan bagi Badan Usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas Pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;
gubernur yang bersangkutan bagi Badan U saha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan beroperasi pad a lin tas Pelabuhan antarkabupaten/ antarkota dalam wilayah provinsi; atau
Pemerintah Pusat bagi Badan Usaha yang melakukan kegiatan pada lintas Pelabuhan antarprovinsi dan internasional.
Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Berusaha untuk Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat diberikan oleh:
bupati/wali kota yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas Pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; atau
gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan U saha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas Pelabuhan antarkabupaten/ antarkota dalam wilayah provinsi, Pelabuhan antarprovinsi, dan Pelabuhan internasional.
Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Berusaha untuk angkutan sungai dan danau diberikan oleh:
bupati/wali kota sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha; atau
Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha yang berdomisili di Daerah Khusus lbukota Jakarta.
Se lain memiliki Perizinan Berusaha se bagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk angkutan sungai dan danau, Kapal yang dioperasikan wajib memenuhi Perizinan Berusaha untuk Trayek yang diberikan oleh:
bupati/wali kota yang bersangkutan bagi Kapal yang melayani Trayek dalam wilayah kabupaten/kota;
gubernur yang bersangkutan bagi Kapal yang melayani Trayek antarkabupaten/ antarkota dalam wilayah provinsi; atau
Pemerintah Pusat bagi Kapal yang melayani Trayek antarprovinsi dan/atau antarnegara, berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Berusaha untuk angkutan penyeberangan diberikan oleh:
bupati/wali kota sesuai dengan domisili Badan Usaha; atau
Gubernur Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta untuk Badan Usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Selain memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk angkutan penyeberangan, Kapal yang dioperasikan wajib memenuhi Perizinan Berusaha untuk persetujuan pengoperasian Kapal yang diberikan oleh:
bupati/ wali kota yang bersangkutan bagi Kapal yang melayani lintas Pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;
gubernur yang bersangkutan bagi Kapal yang melayani lintas Pelabuhan antarkabupaten/ antarkota dalam provinsi; dan
Pernerintah Pusat bagi Kapal yang rnelayani lintas Pelabuhan antarprovinsi dan/atau an tarnegara, berdasarkan norrna, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pernerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut rnengenai Perizinan Berusaha sebagairnana dirnaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalarn Peraturan Pernerintah.
Pasal 31
Untuk kelancaran kegiatan Angkutan di Perairan sebagairnana dirnaksud dalarn Pasal 6, dapat diselenggarakan Usaha Jasa Terkait dengan Angku tan di Perairan.
Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan sebagairnana dirnaksud pada ayat (1) dapat berupa:
bongkar rnuat barang;
jasa pengurusan transportasi;
angkutan perairan Pelabuhan;
penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut;
tally rnandiri;
depo peti kernas;
pengelolaan Ka pal ( ship _management); _ h. perantara jual beli dan/atau sewa Kapal;
keagenan Awak Kapal (ship manning _agency); _ J. keagenan Ka pal; dan
perawatan dan perbaikan Kapal (ship repairing and maintenance). (3) Ke ten tuan le bih Ian jut mengenai U saha J asa Terkait dengan Angkutan di Perairan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 51
Angkutan Multimoda dilakukan oleh Badan Usaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan Angkutan Multimoda dari Pemerintah Pusat.
Sadan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab terhadap barang sejak diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima barang.
Pasal 59
Setiap orang yang melanggar keten tuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13 ayat (2), Pasal 19 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 33, Pasal 38 ayat , Pasal 41 ayat (3), Pasal 4 2 ayat (1), Pasal 46, Pasal 4 7, a tau Pasal 54 dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 90
Kegiatan pengusahaan di Pelabuhan terdiri atas penyediaan dan/atau pelayanan Jasa Kepelabuhanan dan Jasa terkait dengan Kepelabuhanan.
Penyediaan dan/atau pelayanan jasa Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meli pu ti penyediaan dan / a tau pelayanan j asa Kapal, penumpang, dan barang.
Penyediaan dan/atau pelayanan jasa Kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
penyediaan dan/atau pelayananjasa dermaga untuk bertambat;
penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih;
penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan;
penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas;
penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta peralatan Pelabuhan;
penyediaan dan/atau pelayanan jasa Terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan Ro- Ro;
penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang;
penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau
penyediaan dan/atau pelayanan Jasa penundaan Kapal. (4) Kegiatan jasa terkait dengan Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan yang menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai tambah bagi Pelabuhan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di Pelabuhan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 91
Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat pada Pelabuhan yang diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Badan U saha Pelabuhan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesua1 dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Kegiatan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk lebih dari 1 (satu) Terminal.
Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) pada Pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan.
REPUBUK INDONESIA (4) Dalam keadaan tertentu, Terminal dan fasilitas Pelabuhan lainnya pada Pelabuhan yang diusahakan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan perjanjian
Kegiatan jasa terkait dengan Kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau Badan Usaha.
Pasal 96
Pembangunan Pelabuhan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari:
Pemerintah Pusat untuk Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul; dan
gubernur atau bupati/wali kota untuk Pelabuhan Pengumpan, berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan laut yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Pasal 98
Pembangunan Pelabuhan sungai dan danau wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari bupati/wali kota berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan sungai dan danau yang dilakukan oleh instansi pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Perizinan Berusaha untuk mengoperasikan Pelabuhan sungai dan danau diberikan oleh bupati/wali kota berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 104
Terminal Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat hanya dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal:
Pelabuhan terdekat tidak dapat menampung kegiatan pokok tersebut; atau
berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional akan le bih efektif dan efisien serta lebih menjamin Keselamatan dan Keamanan Pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan Terminal Khusus.
Pembangunan dan pengoperasian Terminal Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pasal 125
Sebelum pembangunan dan pengerjaan Kapal termasuk perlengkapannya, pemilik atau galangan Kapal wajib membuat perhitungan dan gambar rancang bangun serta data kelengkapannya.
Pembangunan atau pengerjaan Kapal yang merupakan perombakan harus dilakukan sesuai dengan gambar rancang bangun dan data yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pengawasan terhadap pembangunan dan pengerjaan perombakan Kapal dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 126
Kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratan Keselamatan Kapal diberi sertifikat keselamatan oleh Pemerintah Pusat.
Sertifikat keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
sertifikat Keselamatan Kapal penumpang;
sertifikat Keselamatan Kapal barang; dan
sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkapikan.
Pasal 127
Sertifikat Ka pal tidak berlaku apabila:
masa berlaku sudah berakhir;
tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat _(endorsement); _ c. Kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan Keselamatan Kapal;
Kapal berubah nama;
Kapal berganti bendera;
Kapal tidak sesuai dengan data-data teknis dalam sertifikat Keselamatan Kapal;
Kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan konstruksi Kapal, perubahan ukuran utama Kapal, dan perubahan fungsi, atau jenis Kapal;
Kapal tenggelam atau hilang; atau
Ka pal ditutuh (scrapping). (2) Sertifikat Kapal dibatalkan apabila:
keterangan dalam dokumen Kapal yang digunakan untuk penerbitan sertifikat ternyata tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya;
Kapal sudah tidak memenuhi persyaratan Keselamatan Kapal; atau
sertifikat diperoleh secara tidak sah. (3) Persyaratan sertifikat Ka pal se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disesuaikan berdasarkan ketentuan standar in ternasional. (4) Ketentuan lebih lanjut mengena1 tata cara pembatalan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. REPUBUK INDONESIA
Pasal 129
Kapal berdasarkanjenis dan ukuran tertentu wajib diklasifikasikan pada Badan Klasifikasi un tuk keperluan persyaratan Keselamatan Kapal.
Badan Klasifikasi nasional atau Badan Klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap Kapal untuk memenuhi persyaratan Keselamatan Kapal.
Pengakuan dan penunjukan Badan Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Badan Klasifikasi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan kegiatannya kepada Pemerintah Pusat.
Pasal 155
Setiap Kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan pengukuran oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat. (2) Pengukuran Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat dapat dilakukan menurut 3 (tiga) metode, yaitu sebagai berikut:
pengukuran dalam negeri untuk Kapal yang berukuran panjang kurang dari 24 (dua puluh empat) meter;
pengukuran internasional untuk Kapal yang berukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter atau lebih; dan
pengukuran khusus untuk Kapal yang akan melalui terusan tertentu. (3) Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan surat ukur untuk Kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh gross tonnage). (4) Surat ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk.
Pasal 157
Pemilik, operator Kapal, atau Nakhoda melaporkan kepada Pemerintah Pusat dalam hal terjadi perombakan Kapal yang menyebabkan perubahan data yang ada dalam surat ukur.
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik.
Pasal 158
Kapal yang telah diukur dan mendapat surat ukur dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada pejabat pendaftar dan pencatat balik nama Kapal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Kapal yang dapat didaftarkan di Indonesia yaitu:
Kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang- kurangnya GT 7 (tujuh gross _tonnage); _ b. Kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan
Kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
Pendaftaran Kapal dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran dan dicatat dalam daftar Kapal Indonesia. (4) Sebagai bukti Kapal telah terdaftar, kepada pemilik diberi grosse akta pendaftaran Kapal yang berfungsi sebagai bukti hak milik atas Kapal yang telah didaftarkan. (5) Kapal yang telah didaftarkan wajib dipasang tanda pendaftaran.
Pasal 159
Pendaftaran Kapal dilakukan di tempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemilik Kapal bebas memilih salah satu tempat pendaftaran Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendaftarkan kapalnya.
Pasal 163
Ka pal yang didaftarkan di Indonesia dan berlayar di laut diberi surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia oleh Pemerintah Pusat. (2) Surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat diberikan dalam ben tuk:
surat laut untuk Kapal berukuran GT 175 ( seratus tujuh puluh lima gross tonnage) a tau lebih;
pas besar untuk Kapal berukuran GT 7 (tujuh gross tonnage) sampai dengan ukuran kurang dari GT 175 (seratus tujuh puluh lima gross _tonnage); _ atau c. pas kecil untuk Kapal berukuran kurang dari GT 7 (tujuh gross tonnage). (3) Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan danau diberi pas sungai dan danau.
Pasal 170
Pemilik a tau operator Ka pal yang mengoperasikan Kapal untuk ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keamanan Kapal.
Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keamanan Ka pal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat.
Sertifikat manajemen keamanan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa sertifikat keamanan Ka pal internasional ( international ship security certificate). (4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat.
Sertifikat manajemen keamanan Kapal diterbitkan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keamanan Kapal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 197
Untuk kepentingan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran, desain dan Pekerjaan Pengerukan Alur- Pelayaran dan Kolam Pelabuhan, serta Reklamasi wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pekerjaan Pengerukan Alur-Pelayaran dan Kolam Pelabuhan serta Reklamasi dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan Pekerjaan Pengerukan Alur-Pelayaran, Kolam Pelabuhan, dan Reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 204
Kegiatan Salvage dilakukan terhadap Kerangka Kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam.
Setiap kegiatan Salvage dan Pekerjaan Bawah Air wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pasal 213
Pemilik, operator Kapal, atau Nakhoda wajib memberitahukan kedatangan kapalnya di Pelabuhan kepada Syahbandar.
Setiap Kapal yang memasuki Pelabuhan wajib menyerahkan surat, dokumen, dan warta Kapal kepada Syahbandar seketika pada saat Kapal tiba di Pelabuhan dan/atau menyampaikan secara elektronik sebelum Kapal tiba untuk dilakukan pemeriksaan.
Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), surat, dokumen, dan warta Kapal disimpan oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali bersamaan dengan diterbitkannya surat persetujuan berlayar.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan kedatangan Kapal, pemeriksaan, penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan warta Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 225
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat , Pasal 204 ayat (2), Pasal 213 ayat (1), Pasal 213 ayat (2), Pasal 214, Pasal 215, atau Pasal 216 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 4 7. Ketentuan Pasal 243 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 243 (1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat , Pasal 233 ayat (3), Pasal 234, Pasal 235, atau Pasal 239 ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 294
Setiap Orang yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang mengakibatkan timbulnya korban manusia atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan/atau kerugian harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rpl.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 297
Setiap Orang yang membangun dan mengoperasikan Pelabuhan sungai dan danau yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat dan ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun a tau pidana denda paling ban yak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Setiap Orang yang memanfaatkan garis pantai untuk melakukan kegiatan tambat Kapal dan bongkar muat barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kepentingan sendiri di luar kegiatan di Pelabuhan, Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri tanpa memenuhi Perizinan Berusaha atau Persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 13
Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, dan baling- baling Pesawat Terbang yang akan dibuat untuk digunakan secara sah ( eligible) harus memiliki rancang bangun.
Rancang bangun Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, dan baling-baling Pesawat Terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Pasal 16
Setiap Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, dan baling-baling Pesawat Terbang yang dirancang dan diproduksi di luar negeri dan diimpor ke Indonesia harus mendapat sertifikat validasi tipe.
Sertifikat validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perJanJ1an an tarnegara di bi dang Kelaikudaraan.
Pasal 19
Setiap badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, dan/atau baling- baling Pesawat Terbang wajib memiliki sertifikat produksi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
Setiap Orang yang mengoperasikan Pesawat Udara untuk kegiatan Angkutan Udara wajib memiliki sertifikat. (2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat terdiri atas:
sertifikat operator Pesawat U dara ( air operator certificate) yang diberikan kepada badan hukum Indonesia yang mengoperasikan Pesawat Udara Sipil untuk Angkutan Udara Niaga; atau
sertifikat pengoperasian Pesawat Udara ( operating certificate) yang di berikan kepada orang atau badan hukum Indonesia yang mengoperasikan Pesawat Udara Sipil untuk Angkutan Udara Bukan Niaga.
Pasal 46
Setiap Orang yang mengoperasikan Pesawat Udara wajib merawat Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, dan komponennya untuk mempertahankan keandalan dan Kelaikudaraan secara berkelanjutan.
Dalam perawatan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, dan komponennya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang harus membuat program perawatan Pesawat Udara yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 63
Pesawat Udara yang dapat dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya Pesawat Udara Indonesia.
Dalam keadaan tertentu dan dalam waktu terbatas Pesawat Udara Sipil Asing dapat dioperasikan setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Pesawat Udara Sipil Asing dapat dioperasikan oleh perusahaan Angkutan Udara nasional untuk penerbangan ke dan dari luar negeri setelah adanya perjanjian antarnegara.
Pesawat Udara Sipil Asing yang akan dioperasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus memenuhi persyaratan Kelaikudaraan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian Pesawat Udara Sipil serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 67
Setiap Pesawat Udara Negara yang dibuat dan dioperasikan harus memenuhi standar rancang bangun, produksi, dan Kelaikudaraan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pesawat Udara Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki tanda identitas.
Pasal 85
Angkutan Udara Niaga berjadwal dalam negen hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha Angkutan Udara nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha terkait Angkutan Udara Niaga berjadwal.
Badan Usaha Angkutan Udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan atas inisiatif instansi pemerintah dan/atau atas permintaan Badan Usaha Angkutan Udara niaga nasional.
Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Angkutan Udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh Badan Usaha Angkutan Udara niaga berjadwal lainnya.
Pasal 93
Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh Badan U saha Angkutan Udara niaga nasional wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat.
Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan Angkutan Udara Niaga asing wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat.
Pasal 94
Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal oleh perusahaan Angkutan Udara asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumpang sendiri yang diturunkan pada Penerbangan sebelumnya.
Kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal oleh perusahaan Angkutan Udara asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 95
Perusahaan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut Kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut Kargo dari wilayah Indonesia, kecuali dengan persetujuan Pemerintah Pusat.
Perusahaan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut Kargo yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 97
Pelayanan yang diberikan Badan Usaha Angkutan Udara niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat dikelompokkan paling sedikit dalam:
pelayanan dengan standar maksimum;
pelayanan dengan standar menengah; atau
pelayanan dengan standar minimum.
Badan Usaha Angkutan Udara niaga berjadwal dalam menyediakan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberitahukan kepada pengguna jasa tentang kondisi dan spesifikasi pelayanan yang disediakan.
Pasal 113
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pas al 109 dilarang di pindah tangankan kepada pihak lain sebelum melakukan kegiatan usaha Angkutan Udara secara nyata dengan mengoperasikan Pesawat Udara sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan.
Pemegang Perizinan Berusaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha.
Pasal 118
Pemegang Perizinan Serusaha Angkutan Udara Niaga wajib:
melakukan kegiatan Angkutan Udara secara nyata paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Perizinan Serusaha diterbitkan dengan mengoperasikan minimal jumlah Pesawat Udara yang dimiliki dan dikuasai sesuai dengan lingkup usaha atau kegiatannya;
memiliki dan menguasai Pesawat Udara dengan jumlah tertentu;
mematuhi ketentuan wajib angkut, Penerbangan sipil, dan ketentuan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
menutup asurans1 Tanggung Jawab Pengangkut dengan nilai pertanggungan sebesar santunan penumpang Angkutan Udara Niaga yang dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi;
melayani calon penumpang secara adil tanpa diskriminasi atas dasar suku, agama, ras, antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial;
menyerahkan laporan kegiatan Angkutan Udara, termasuk Keterlambatan dan pembatalan Penerbangan setiap jangka waktu tertentu kepada Pemerintah Pusat;
menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar yang sekurang-kurangnya memuat neraca, laporan rugi laba, arus kas, dan perincian biaya, setiap tahun paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya kepada Pemerintah Pusat;
melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab a tau pemilik Sadan U saha Angkutan Udara niaga, domisili Sadan Usaha Angkutan Udara niaga, dan pemilikan Pesawat Udara kepada Pemerintah Pusat; dan
memenuhi ditetapkan. standar pelayanan yang (2) Pemegang izin kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan lembaga tertentu wajib:
mengoperasikan Pesawat Udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;
mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang Penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku;
menyerahkan laporan kegiatan Angkutan U dara setiap bulan paling lam bat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Pemerintah Pusat; dan
melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan Pesawat Udara, dan/atau domisili kantor pusat kegiatan kepada Pemerintah Pusat.
Pemegang izin kegiatan Angkutan Udara Bukan Niaga yang dilakukan oleh orang perseorangan wajib:
mengoperasikan Pesawat Udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin diterbitkan;
mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang Penerbangan sipil dan peraturan perundang- undangan lain;
menyerahkan laporan kegiatan Angkutan Udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 ( sepuluh) bulan berikutnya kepada Pemerintah Pusat; dan
melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan Pesawat Udara, dan/atau domisili pemegang 1zm kepada Pemerintah Pusat.
Pasal 138
Pemilik, agen ekspedisi muatan Pesawat Udara, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus dan/atau berbahaya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada pengelola pergudangan dan/atau Badan Usaha Angkutan Udara sebelum dimuat ke dalam Pesawat Udara.
Badan Usaha Bandar Udara, Unit Penyelenggara Bandar Udara, badan usaha pergudangan, atau Badan Usaha Angkutan Udara niaga yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus dan/atau barang berbahaya wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang terse but belum dimuat ke dalam Pesawat Udara.
Pemilik, agen ekspedisi muatan Pesawat Udara, peng1nm, Badan Usaha Bandar Udara, Unit Penyelenggara Bandar Udara, badan usaha pergudangan, atau Badan Usaha Angkutan Udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 205
Daerah lingkungan kepentingan Bandar Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf g merupakan daerah di luar lingkungan kerja Bandar Udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan dan keamanan Penerbangan serta kelancaran aksesibilitas penumpang dan Kargo.
Pemanfaatan daerah lingkungan kepentingan Bandar Udara harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Pasal 219
Setiap Badan Usaha Bandar Udara atau Unit Penyelenggara Bandar Udara wajib menyediakan fasilitas Bandar Udara yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan Penerbangan serta pelayanan jasa Bandar Udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.
Setiap Badan Usaha Bandar Udara atau Unit Penyelenggara Bandar Udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 222
Setiap personel Bandar Udara wajib memiliki Lisensi atau Sertifikat Kompetensi.
Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 233
Pelayanan jasa Kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2) dapat diselenggarakan oleh:
Badan Usaha Bandar Udara untuk Bandar Udara yang diusahakan secara komersial setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat; atau
Unit Penyelenggara Bandar Udara untuk Bandar Udara yang belum diusahakan secara komersial yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan.
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat dipindahtangankan.
Pelayanan jasa terkait Bandar Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat dapat diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. (4) Badan Usaha Bandar Udara yang memindahtangankan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha.
Pasal 247
Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan / a tau badan hukum Indonesia dapat membangun Bandar Udara Khusus setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan keselamatan dan keamanan Penerbangan pada Bandar Udara Khusus berlaku sebagaimana ketentuan pada Bandar Udara.
Pasal 254
Setiap tempat pendaratan dan lepas landas Helikopter yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan Keselamatan Penerbangan dan Keamanan Penerbangan.
Tempat pendaratan dan lepas landas Helikopter yang telah memenuhi ketentuan Keselamatan Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan tanda pendaftaran (register) oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 275
Lembaga penyelenggara pelayanan Navigasi Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memiliki sertifikat pelayanan Navigasi Penerbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada setiap unit pelayanan penyelenggara Navigasi Penerbangan.
Unit pelayanan penyelenggara Navigasi Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
unit pelayanan Navigasi Penerbangan di Bandar Udara;
unit pelayanan navigasi pendekatan; dan
unit pelayanan Navigasi Penerbangan jelajah.
Pasal 106
Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Dae rah sesua1 dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berwenang mencabut Perizinan Berusaha dan memerintahkan penarikan dari peredaran Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang telah memperoleh Perizinan Berusaha, yang terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, serta Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan tersebut dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 111
Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan Kesehatan.
Makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan/atau persyaratan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membahayakan Kesehatan dilarang untuk diedarkan, serta harus ditarik dari peredaran, dilakukan pencabutan Perizinan Berusaha, dan diamankan/ disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait makanan dan minuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Rumah Sakit yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pas al 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pas al 14, Pasal 15, a tau Pasal 16 dikenai sanksi administratif berupa:
peringatan tertulis;
penghentian sementara kegiatan;
denda administratif;
pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
Pemerintah Pusat menetapkan klasifikasi Rumah Sakit berdasarkan kemampuan pelayanan, fasilitas kesehatan, sarana penunjang, dan sumber daya manus1a.
Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memenuhi Perizinan Berusaha. (2) Setiap penyelenggara Rumah Sakit yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat dikenai sanksi administratif.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan klasifikasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pelaksanaan Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 29
Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;
memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan Pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;
memberikan pelayanan Gawat Darurat kepada Pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
berperan aktif dalam rnernberikan pelayanan kesehatan pada bencana sesuai dengan kernarnpuan pelayanannya;
rnenyediakan sarana dan pelayanan bagi rnasyarakat tidak rnarnpu atau rniskin;
rnelaksanakan f ungsi sosial an tar a lain dengan rnemberikan fasilitas pelayanan bagi Pasien tidak rnarnpu atau rniskin, pelayanan Gawat Darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan bagi korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi rnisi kernanusiaan;
mernbuat, rnelaksanakan, dan rnenjaga standar rnutu pelayanan kesehatan di Rurnah Sakit sebagai acuan dalarn rnelayani Pasien;
rnenyelenggarakan rekarn med is;
rnenyediakan sarana dan prasarana urnurn yang layak antara lain sarana ibadah, ternpat parkir, ruang tunggu, sarana untuk penyandang disabilitas, wanita rnenyusu1, anak-anak, dan lanjut usia; J. rnelaksanakan sistem rujukan;
rnenolak keinginan Pasien yang berten tangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan;
mernberikan inforrnasi yang benar, jelas, dan jujur rnengenai hak dan kewajiban Pasien;
rn. rnenghormati dan rnelindungi hak Pasien;
rnelaksanakan etika Rurnah Sakit;
rnerniliki sis tern pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
rnelaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan, baik secara regional rnaupun nasional;
rnernbuat daftar tenaga rnedis yang rnelakukan praktik kedokteran a tau kedokteran gigi dan tenaga kesehatan lainnya;
rnenyusun dan rnelaksanakan peraturan internal Rurnah Sakit;
melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
teguran;
teguran tertulis;
denda;dan/atau d. pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit, wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali.
Akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu lembaga independen, baik dari dalam maupun dari luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku.
Lembaga independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 54
Pernerintah Pusat dan Pernerintah Daerah dengan norrna, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pernerintah Pusat rnelakukan pernbinaan dan pengawasan terhadap Rurnah Sakit dengan rnelibatkan orgamsas1 profesi, asosiasi perurnahsakitan, dan organisasi kernasyarakatan lainnya sesuai dengan tugas dan fungsi rnasing-rnasing.
Pernbinaan dan pengawasan sebagairnana dirnaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
pernenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh rnasyarakat;
peningkatan rnutu pelayanan kesehatan;
keselarnatan Pasien;
pengernbangan jangkauan pelayanan; dan
peningkatan kernarnpuan kernandirian Rurnah Sakit.
Dalarn rnelaksanakan tugas pengawasan, Pernerintah Pusat dan Pernerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya rnengangkat tenaga pengawas sesuai kornpetensi dan keahliannya.
Tenaga penga was se bagairnana dirnaksud pad a ayat (3) rnelaksanakan pengawasan yang bersifat teknis rnedis dan teknis perurnahsakitan.
Dalarn rangka pernbinaan dan pengawasan, Pernerintah Pusat dan Pernerintah Daerah sebagairnana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat rnengenakan sanksi adrninistratif berupa:
teguran;
teguran tertulis;
denda; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Psikotropika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dia tur dalam Pera turan Pemerin tah.
Pasal 18
Untuk dapat memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor, eksportir atau importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 mengajukan permohonan kepada Pemerintah Pusat.
Permohonan untuk memperoleh surat persetujuan ekspor Psikotropika dilampiri dengan surat persetujuan impor Psikotropika yang telah mendapat persetujuan impor Psikotropika dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah negara pengimpor Psikotropika.
Ketentuan lebih lanjut mengenai surat persetujuan ekspor dan surat persetujuan impor diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
Eksportir Psikotropika wajib memberikan surat persetujuan ekspor Psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan impor Psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengimpor kepada orang yang bertanggungjawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor Psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan impor Psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
Penanggung jawab pengangkut ekspor Psikotropika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor Psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan impor Psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengimpor.
Penanggung jawab pengangkut impor Psikotropika yang memasuki wilayah Republik Indonesia wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor Psikotropika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan surat persetujuan ekspor Psikotropika yang diterbitkan oleh pemerintah negara pengekspor. Pasal 63 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062) diubah sebagai berikut:
Pasal 15
Industri Farmasi a tau perusahaan Pedagang Besar Farmasi milik negara dapat melaksanakan Impor Narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat memberi Perizinan Berusaha kepada perusahaan selain perusahaan milik negara se bagaimana dimaksud pada ayat yang memenuhi Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat untuk setiap kali melakukan Impor Narkotika. (2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat diberikan berdasarkan hasil audit Pemerintah Pusat terhadap rencana ke bu tuhan dan realisasi prod uksi dan / a tau penggunaan Narkotika.
Surat Persetujuan Impor Narkotika golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.
Pasal 18
Industri Farmasi atau perusahaan Pedagang Besar Farmasi dapat melaksanakan Ekspor Narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat untuk setiap kali melakukan Ekspor Narkotika.
Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus melampirkan surat persetujuan yang diterbitkan oleh negara pengimpor.
Pasal 24
Setiap pengangkutan Impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen a tau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Setiap pengangkutan Ekspor Narkotika wajib dilengkapi dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau surat persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Pera turan Pemerin tah.
Pasal 26
Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau surat persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada orang yang bertanggungjawab atas perusahaan Pengangkutan Ekspor.
Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan Pengangkutan Ekspor wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau surat persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
Penanggung jawab pengangkut Ekspor Narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau surat persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor.
Pasal 36
Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 39
Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 64 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360) diubah sebagai berikut:
Pasal 14
Sumber penyediaan Pangan diprioritaskan berasal dari:
Produksi Pangan dalam negeri;
Cadangan Pangan Nasional; dan/atau
Impor Pangan. (2) Sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan skala mikro dan kecil melalui kebijakan tarif dan nontarif.
Pasal 15
Produksi Pangan dalam negeri digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Pangan.
Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain.
Pasal 68
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin terwujudnya penyelenggaraan Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu.
Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.
Pelaku Usaha Pangan termasuk usaha mikro dan kecil wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan dan skala usaha Pangan.
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah wajib membina dan mengawasi pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan termasuk penahapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 72
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat , dan/atau ayat (2) dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
denda;
penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
ganti rugi; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 74
Pemerintah Pusat wajib memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan untuk diedarkan.
Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pemenuhan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Pasal 91
Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi, setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, Pelaku Usaha Pangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap produk Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh usaha mikro dan kecil.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9 lA sehingga berbunyi se bagai berikut:
Pasal 91A
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
denda;
penghen tian semen tara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran;
penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
ganti rugi; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 134
Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat dan yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Setiap Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.
Setiap Orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
Pasal 139
Pasal 140
Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban gangguan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Setiap Orang yang melakukan usaha dan / a tau kegiatan berisiko rendah atau menengah.
Setiap Orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administra tif se bagaimana dimaksud dalam Pasal 94.
Pasal 141
Setiap Orang yang dengan sengaJa memperdagangkan Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Setiap Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.
Setiap Orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94.
Pasal 65
Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 66 Untuk mempermudah Pelaku Usaha perfilman dalam melakukan kegiatan usaha, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang m1 mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5060) diubah sebagai berikut:
Pasal 17
Pembuatan Film oleh pelaku usaha pembuatan Film sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) harus memen uhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait pembuatan Film sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
Pembuatan Film oleh pihak asing yang menggunakan lokasi di Indonesia dilakukan berdasarkan persetujuan dari Pemerintah Pusat tanpa dipungut biaya. (2) Pembuatan Film yang menggunakan Insan Perfilman asing dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan penggunaan lokasi dan Insan Perfilman asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
U saha Pariwisata meliputi:
Daya Tarik Wisata;
kawasan Pariwisata;
jasa transportasi Wisata;
jasa perjalanan Wisata;
jasa makanan dan minuman;
penyediaan akomodasi;
penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
jasa informasi Wisata; J. jasa konsultan Pariwisata;
jasa pramuwisata;
Wisata tirta; dan
spa.
Usaha Pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
Untuk dapat menyelenggarakan Usaha Pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pengusaha Pariwisata wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Setiap Pengusaha Pariwisata wajib:
menjaga dan menghormati norma agama~ adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab; C. memberikan pelayanan yang tidak diskrimina tif;
memberikan kenyamanan, keramahan, pelindungan keamanan, dan keselamatan Wisatawan;
memberikan pelindungan asurans1 pada Usaha Pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;
mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan men gun tungkan;
mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
meningkatkan Kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;
berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat; J. turu t serta mencegah segala ben tuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya;
memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;
memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha Kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Derah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
Pemerintah provinsi berwenang:
menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan Kepariwisataan provinsi;
mengoordinasikan penyelenggaraan Kepariwisataan di wilayahnya;
menerbitkan Perizinan Berusaha;
menetapkan Destinasi Pariwisata provinsi;
menetapkan Daya Tarik Wisata provinsi;
memfasilitasi promosi Destinasi Pariwisata dan produk Pariwisata yang berada di wilayahnya;
memelihara aset provinsi yang menjadi Daya Tarik Wisata provinsi; dan
mengalokasikan anggaran Kepariwisataan.
Penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 30
Pemerintah kabupaten/kota berwenang:
menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan Kepariwisataan kabupaten/kota;
menetapkan Destinasi Pariwisata kabupaten / kota;
menetapkan Daya Tarik Wisata kabupaten/kota;
menerbitkan Perizinan Berusaha;
mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan Kepariwisataan di wilayahnya;
memfasilitasi dan melakukan promos1 Destinasi Pariwisata dan produk Pariwisata yang berada di wilayahnya;
memfasilitasi pengembangan Daya Tarik Wisata baru;
menyelenggarakan Kepariwisataan kabupaten/kota; pelatihan dan penelitian dalam lingkup 1. memelihara dan melestarikan Daya Tarik Wisata yang berada di wilayahnya; J. menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar Wisata; dan
mengalokasikan anggaran Kepariwisataan.
Penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 54
Produk, pelayanan, dan pengelolaan Usaha Pariwisata memiliki standar usaha.
Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi ketentuan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
PIHK yang tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat meliputi:
teguran lisan;
teguran tertulis;
penghentian sementara kegiatan;
denda administratif;
paksaan pemerintah; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dia tur dalam Pera turan Pemerin tah.
Pasal 85
Pemerintah Pusat melaksanakan akreditasi PIHK.
Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan un tuk menilai kinerj a dan kuali tas pelayanan PIHK. (3) Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PIHK. (4) Pemerintah Pusat memublikasikan hasil akreditasi PIHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi PIHK diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 90
Pelaksanaan lbadah U mrah dilakukan oleh PPIU setelah me men uhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PPIU menjalankan kegiatan usaha penyelenggaraan Ibadah Umrah.
Pasal 91
PPIU dapat membuka kantor cabang PPIU di luar domisili perusahaan.
Pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat.
Pasal 94
PPIU wajib:
menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang pembimbing ibadah setiap 45 (empat puluh lima) orang Jemaah Umrah;
memberikan pelayanan dokumen perjalanan, akomodasi, konsumsi, dan transportasi kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara PPIU dan Jemaah Umrah;
memiliki perjanjian kerja sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan di Arab Saudi;
memberangkatkan dan memulangkan Jemaah Umrah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi;
menyampaikan rencana perjalanan umrah kepada Menteri secara tertulis sebelum ke berangkatan;
melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.
membuat laporan kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah tiba kembali di tanah air;
memberangkatkan Jemaah Umrah yang terdaftar pada tahun hijriah berjalan;
mengikuti standar pelayanan minimal dan harga referensi; J. mengikuti prinsip syariat; dan
membuka rekening penampungan yang digunakan untuk menampung dana jemaah untuk kegiatan umrah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai rekening penampungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 95
PPIU yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dikenai sanksi administratif berupa:
teguran tertulis;
denda administratif;
pembekuan Perizinan Berusaha; atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 1 7. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 99
Pemerintah Pusat mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan lbadah Umrah.
Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur Pemerintah Pusat terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah Umrah.
Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah, Pemerintah Pusat dapat membentuk tim koordinasi pencegahan, pengawasan, dan penindakan permasalahan penyelenggaraan lbadah Umrah.
Pasal 104
Pemerintah Pusat melakukan akreditasi PPIU.
Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan PPIU.
Akreditasi terhadap PPIU dilakukan setiap 5 (lima) tahun.
Pasal 118A
PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
penghentian sementara kegiatan;
denda administratif;
paksaan pemerintah;
pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PIHK dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan sejumlah biaya yang telah disetorkan oleh Jemaah Haji Khusus serta kerugian imateriel lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerin tah.
Pasal 119A
PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 9 dikenai sanksi administra tif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
penghentian sementara kegiatan;
denda administratif;
paksaan pemerintah;
pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPIU dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan sejumlah biaya yang telah disetorkan oleh Jemaah Umrah serta kerugian imateriel lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif se bagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Pemerintah Pusat mengembangkan usaha Penyelenggara Pos melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penanaman modal.
Penyelenggara Pos asing yang telah memenuhi persyaratan dapat menyelenggarakan Pos di Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan Penyelenggara Pos asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Penyelenggaraan Telekomunikasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat dapat dilaksanakan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
Besaran tarif Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan/atau Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau Jasa Telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat dapat menetapkan tarif batas atas dan / a tau tarif batas bawah Penyelenggaraan Telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.
Pasal 30
Dalam hal penyelenggara J aringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara Jasa Telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, Penyelenggara Telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dapat menyelenggarakan Jaringan Telekomunikasi dan/atau Jasa Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat huruf a dan huruf b setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Dalam hal penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau Jasa Telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Telekomunikasi khusus tetap dapat melakukan Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan/atau Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. PRES ID EN REPUBLIK INDONESIA - 514 -
Pasal 32
Setiap Alat Telekomunikasi dan / a tau Perangkat Telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dan/atau dimasukkan untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memenuhi standar teknis.
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar teknis Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 34A
Pernerintah Pusat dan Pernerintah Daerah rnernberikan fasilitasi dan/atau kernudahan kepada Penyelenggara Telekornunikasi untuk rnelakukan pernbangunan infrastruktur Telekornunikasi secara transparan, akuntabel, dan efisien.
Dalarn Penyelenggaraan Telekornunikasi, Pernerintah Pusat dan Pernerintah Daerah dapat berperan serta untuk rnenyediakan fasilitas bersarna infrastruktur pasif Telekornunikasi untuk digunakan oleh Penyelenggara Telekornunikasi secara bersarna dengan biaya terjangkau.
Ketentuan lebih lanjut rnengenai peran Pernerintah Pusat dan Pernerintah Daerah sebagairnana dirnaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalarn Peraturan Pernerintah. Pasal 34B (1) Pelaku U saha yang rnerniliki infrastruktur pasif yang dapat digunakan untuk keperluan Telekornunikasi wajib rnernbuka akses pernanfaatan infrastruktur pasif dirnaksud kepada Penyelenggara Telekornunikasi. (2) Pelaku U saha yang memiliki infrastruktur selain se bagaimana dirnaksud pada ayat (1) di bidang Telekomunikasi dan/atau penyiaran dapat mernbuka akses pernanfaatan infrastruktur dirnaksud kepada Penyelenggara Telekornunikasi dan/atau penyelenggara penyiaran. PRES ID EN REPUBLIK INDONESIA Pemanfaatan infrastruktur pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kerja sama para pihak secara adil, wajar, dan non- diskrimina tif.
Pemanfaatan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kerja sama para pihak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan infrastruktur se bagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat , Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (7), a tau Pasal 34 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
teguran tertulis;
penghentian sementara kegiatan;
denda administratif; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
Lembaga Penyiaran swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b adalah Lembaga Penyiaran yang bersifat komersial berbentuk badan hukum Indonesia yang bidang usahanya menyelenggarakan jasa Penyiaran Radio atau Penyiaran Televisi.
Warga negara asing dapat menjadi pengurus Lembaga Penyiaran swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk bidang keuangan dan bidang teknik.
Pasal 25
Lembaga Penyiaran berlangganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf d merupakan Lembaga Penyiaran berbentuk badan hukum Indonesia yang bidang usahanya menyelenggarakan jasa Penyiaran berlangganan dan wajib terlebih dahulu memperoleh Perizinan Berusaha.
Lembaga Penyiaran berlangganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memancarluaskan atau menyalurkan materi siarannya secara khusus kepada pelanggan melalui radio, televisi, multi- media, atau media informasi lainnya.
Pasal 55
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat , Pasal 18 ayat (2), Pasal 20, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (3), Pasal 36 ayat (4), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43 ayat (2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (3), Pasal 46 ayat (6), Pasal 46 ayat (7), Pasal 46 ayat (8), Pasal 46 ayat (9), Pasal 46 ayat (10), a tau Pasal 46 ayat (11) dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
teguran tertulis;
penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
pembatasan durasi dan waktu Siaran;
denda administratif;
pembekuan kegiatan Siaran untuk waktu tertentu;
tidak diberi perpanjangan Perizinan Berusaha penyelenggaraan Penyiaran; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha penyelenggaraan Penyiaran.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 58
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat untuk Penyiaran Radio dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) untuk Penyiaran Televisi dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 60A sehingga berbunyi se bagai berikut: Pasal 60A (1) Penyelenggaraan Penyiaran dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi, termasuk migrasi Penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital. (2) Migrasi Penyiaran Televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghentian siaran analog (analog switch of.ff diselesaikan paling lambat tanggal 2 November 2022. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai migrasi Penyiaran dari teknologi analog ke teknologi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 16 Pertahanan dan Keamanan Pasal 73 Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor pertahanan dan keamanan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lem bar an Negara Repu blik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343); dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168). Pasal 74 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343), diubah sebagai berikut:
Pasal 21
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, KKIP mempunyai tugas dan wewenang:
merumuskan kebijakan nasional yang bersifat strategis di bidang Industri Pertahanan;
menyusun dan membentuk rencana induk Industri Pertahanan yang berjangka menengah dan panjang;
mengoordinasikan pelaksanaan dan pengendalian kebijakan nasional Industri Pertahanan;
mengoordinasikan kerja sama luar negen dalam rangka memajukan dan mengembangkan Industri Pertahanan;
melakukan sinkronisasi penetapan kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan antara Pengguna dan Industri Pertahanan;
menetapkan standar Industri Pertahanan;
merumuskan kebijakan pendanaan dan/atau pembiayaan Industri Pertahanan;
merumuskan mekanisme penjualan dan pembelian Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan hasil Industri Pertahanan ke dan dari luar negeri; dan
melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Industri Pertahanan secara berkala.
Rancangan rencana induk jangka panJang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan kepada DPR untuk mendapatkan pertimbangan.
Pasal 69A
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, Pasal 56, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69 dilakukan oleh instansi pemerintah, kegiatan terse but wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (2) Perizinan Berusaha dan persetujuan dari Pemerintah Pusat dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69, dan persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta surat keterangan kelaikan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 73
Setiap Orang yang menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). PRESJOEN
Pasal 74
Setiap Orang yang mengekspor dan/atau melakukan transfer alat peralatan yang digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara lain tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam keadaan perang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
Pasal 15
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
menerima laporan dan/atau pengaduan;
membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; C. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
mengeluarkan Peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif Kepolisian;
melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan Kepolisian dalam rangka pencegahan;
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta 1. J.
memotret seseorang; mencari keterangan dan barang bukti; menyelenggarakan Pusat Informasi Nasional; mengeluarkan surat 1zm dan/atau keterangan yang diperlukan dalam pelayanan masyarakat; Kriminal surat rangka 1. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; dan
menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang:
memberikan 1zm dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
memberikan Perizinan Berusaha dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perizinan Berusaha;
memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat Kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis Kepolisian;
melakukan kerja sama dengan Kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
melakukan pengawasan fungsional Kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; J. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi Kepolisian internasional; dan
melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas Kepolisian.
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Penyederhanaan Persyaratan Investasi pada Sektor Tertentu Paragraf 1 Umum Pasal 76 Untuk mempermudah masyarakat terutama Pelaku Usaha dalarn rnelakukan investasi pada sektor tertentu yaitu penanaman modal, perbankan, dan perbankan syariah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja m1 mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nornor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); dan
Undang-Undang Nornor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Repu blik Indonesia N omor 486 7). Paragraf 2 Penanaman Modal Pasal 77 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724) diubah sebagai berikut:
Pasal 12
Semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan Penanaman Modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup untuk Penanaman Modal atau kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Bidang usaha yang tertutup untuk Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
budi daya dan industri narkotika golongan I;
segala bentuk kegiatan perjudian dan/atau kasino;
penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES);
pemanfaatan atau pengambilan koral dan pemanfaatan atau pengambilan karang dari alam yang digunakan untuk bahan bangunan/kapur/kalsium, akuarium, dan souvenir/ perhiasan, serta koral hidup atau koral mati ( recent death coraij dari alam;
industri pembuatan senjata kimia; dan
industri bahan kimia industri dan industri bahan perusak lapisan ozon.
Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 18
Pemerintah Pusat memberikan fasilitas kepada Penanam Modal yang melakukan Penanaman Modal.
Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Penanaman Modal yang:
melakukan perluasan usaha; atau
m~lakukan Penanaman Modal baru. (3) Penanaman Modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memenuhi kriteria:
menyerap banyak tenaga kerja;
termasuk skala prioritas tinggi;
termasuk pembangunan infrastruktur;
melakukan alih teknologi;
melakukan industri pionir;
berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu;
menjaga kelestarian lingkungan hidup;
melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi; J. industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri; dan/atau
termasuk pengembangan usaha pariwisata.
Bentuk fasilitas yang diberikan kepada Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 9
Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
warga negara Indonesia;
badan hukum Indonesia;
Pemerintah Daerah; atau
warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia;
Pemerintah Daerah; atau
dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. BAB IV KETENAGAKERJAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 80 Dalam rangka penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran dan kesejahteraan pekerja/buruh dalam mendukung ekosistem investasi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam: a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional {Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial {Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); dan d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6141). Bagian Kedua Ketenagakerjaan Pasal 81 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279) diubah se bagai beriku t:
Pasal 13
Pelatihan Kerja diselenggarakan oleh:
lembaga Pelatihan Kerja pemerintah;
lembaga Pelatihan Kerja swasta; atau
lembaga Pelatihan Kerja Perusahaan.
Pelatihan Kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
Lembaga Pelatihan Kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam menyelenggarakan Pelatihan Kerja dapat bekerja sama dengan swasta.
Lembaga Pelatihan Kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan lembaga Pelatihan Kerja Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Pasal 14
Lembaga Pelatihan Kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat huruf b wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Bagi lembaga Pelatihan Kerja swasta yang terdapat penyertaan modal asing, Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 37
Pelaksana penempatan Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat terdiri atas: a instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan; dan
lembaga penempatan Tenaga Kerja swasta.
Lembaga penempatan Tenaga Kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 45
Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing wajib: a menunjuk Tenaga Kerja warga negara Indonesia sebagai tenaga pendamping Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari Tenaga Kerja Asing;
melaksanakan pendidikan dan Pelatihan Kerja bagi Tenaga Kerja warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh Tenaga Kerja Asing; dan
memulangkan Tenaga Kerja Asing ke negara asalnya setelah Hubungan Kerjanya berakhir.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b tidak berlaku bagi Tenaga Kerja Asing yang menduduki jabatan tertentu.
Pasal 47
Pemberi Kerja wajib membayar kompensasi atas setiap Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakannya.
Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
Ketentuan mengenai besaran dan penggunaan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 56
Perjanjian Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.
Perjanjian kerja waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:
jangka waktu; atau
selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja.
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 58
Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.
Pasal 59
Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut:
pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
pekerjaan yang bersifat musiman;
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 61
Perjanjian Kerja berakhir apabila:
Pekerja/Buruh meninggal dunia;
berakhirnya jangka waktu Perjanjian Kerja;
selesainya suatu pekerjaan tertentu;
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya Hubungan Kerja.
Perjanjian Kerja tidak berakhir karena meninggalnya Pengusaha atau beralihnya hak atas Perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.
Dalam hal terjadi pengalihan Perusahaan, hak-hak Pekerja/Buruh menjadi tanggung jawab Pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak- hak Pekerja/Buruh.
Dalam hal Pengusaha orang perseorangan meninggal dunia, ahli waris Pengusaha dapat mengakhiri Perjanjian Kerja setelah merundingkan dengan Pekerja/Buruh. (5) Dalam hal Pekerja/Buruh meninggal dunia, ahli waris Pekerja/Buruh berhak mendapatkan hak- haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 61A
Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat huruf b dan huruf c, Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada Pekerja/Buruh. (2) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Pekerja/ Buruh sesuai dengan masa kerja Pekerja/Buruh di Perusahaan yang bersangkutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 67
Pengusaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasan.
Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
Pelaksanaan jam kerja bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 78
Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat: a ada persetujuan Pekerja/Buruh yang bersangkutan; dan
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) mmggu.
Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar Upah kerja lembur.
Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan Upah kerja lembur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 79
Pengusaha wajib memberi:
waktu istirahat; dan
cuti.
Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada Pekerja/ Buruh paling sedikit meliputi:
istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada Pekerja/Buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah Pekerja/Buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. (4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 88A
Hak Pekerja/Buruh atas Upah timbul pada saat terjadi Hubungan Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat putusnya Hubungan Kerja.
Setiap Pekerja/Buruh berhak memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh sesuai dengan kesepakatan.
Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh a tau Serikat Pekerja/ Serikat Buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran Upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari Upah Pekerja/Buruh.
Pekerja/Buruh yang karena kesengajaan dikenakan denda. melakukan pelanggaran atau kelalaiannya dapat (8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada Pengusaha dan/atau Pekerja/Buruh dalam pembayaran Upah.
Pasal 88B
Upah ditetapkan berdasarkan: a satuan waktu; dan/atau
satuan hasil.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah berdasarkan satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 88C
Gubernur wajib menetapkan Upah mm1mum provms1.
Gubernur dapat menetapkan Upah mm1mum kabupaten/ kota.
Penetapan Upah m1mmum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan Upah mm1mum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah minimum provinsi.
Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan.
Kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 88D
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Upah m1n1m um.
Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengena1 formula penghitungan Upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 88E
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat dan ayat (2) berlaku bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada Perusahaan yang bersangkutan.
Pengusaha dilarang membayar Upah lebih rendah dari Upah minimum. Pasal 88F Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah m1mmum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat .
Pasal 90B
Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat dan ayat (2) dikecualikan bagi usaha mikro dan kecil.
Upah pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan. (3) Kesepakatan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Upah bagi usaha mikro dan kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 98
Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan.
Dewan pengupahan terdiri atas unsur pemerintah, organisasi Pengusaha, Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, pakar, dan akademisi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja dewan pengupahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 156
Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah;
masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan Upah.
Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: a masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan Upah;
masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan Upah;
masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan Upah;
masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan Upah;
masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan Upah;
masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan Upah;
masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan Upah;
masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan Upa
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
biaya atau ongkos pulang untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya ke tempat Pekerja/ Buruh diterima bekerja;
hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 157
Komponen Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang pengha: rgaan masa kerja terdiri atas:
Upah pokok; dan
tunjangan tetap yang diberikan kepada Pekerja/Buruh dan keluarganya.
Dalam hal penghasilan Pekerja/ Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, Upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) dikalikan Upah sehari.
Dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, Upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir.
Dalam hal Upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari Upah minimum, Upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah Upah minimum yang berlaku di wilayah domisili Perusahaan.
Pasal 157A
Selama penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Pengusaha dan Pekerja/Buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.
Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada Pekerja/Buruh yang sedang dalam proses Pemutusan Hubungan Kerja dengan tetap membayar Upah beserta hak lainnya yang biasa diterima Pekerja/ Buruh.
Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya.
Pasal 185
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat , atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Pasal 186
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) a tau ayat (3), a tau Pasal 93 ayat (2), dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rpl0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
Pasal 46A
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan.
Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan penyelenggara J aminan Sosial ketenagakerjaan dan Pemerintah Pusat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan jaminan kehilangan pekerjaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 46B
Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip Asuransi Sosial.
Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh kehilangan pekerjaan.
Pasal 46C
Peserta jaminan kehilangan pekerjaan adalah setiap orang yang telah membayar luran. (2) luran sebagaimana dimaksud pada ayat dibayar oleh Pemerintah Pusat. Pasal 46D (1) Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
Jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling ban yak 6 (enam) bulan upah.
Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Peserta setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masa kepesertaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 46E (1) Sumber pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan berasal dari:
modal awal pemerintah;
rekomposisi Iuran program jaminan sosial; dan/atau
dana operasional BPJS Ketenagakerjaan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 83 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256) diubah sebagai berikut:
Pasal 6
BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan kesehatan.
BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat huruf b menyelenggarakan program:
jaminan kecelakaan kerja;
jaminan hari tua;
jaminan pensiun;
jaminan kematian; dan
jaminan kehilangan pekerjaan.
Pasal 51
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b wajib memiliki izin yang memenuhi Perizinan Berusaha dan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan dan dipindahtangankan kepada pihak lain.
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 57
Perusahaan Penernpatan Pekerja Migran Indonesia harus rnenyerahkan pernbaruan data paling larnbat 30 (tiga puluh) hari kerja. (2) Dalarn hal Perusahaan Penernpatan Pekerja Migran Indonesia tidak rnenyerahkan pernbaruan data se bagairnana dirnaksud pada ayat , Perusahaan Penernpatan Pekerja Migran Indonesia diizinkan untuk rnernperbarui izin paling larnbat 30 (tiga puluh) hari kerja dengan rnernbayar denda keterlarnbatan. (3) Ketentuan rnengenai denda keterlarnbatan sebagairnana dirnaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 21
Perangkat organisasi Koperasi terdiri atas:
Rapat Anggota;
Pengurus;dan c. Pengawas.
Selain memiliki perangkat organisasi Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki dewan pengawas syariah.
Pasal 22
Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi.
Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh anggota yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga.
Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara daring dan/atau luring.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga.
Pasal 43
Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.
Usaha Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara tunggal usaha a tau serba usaha.
Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi dalam rangka menarik masyarakat menjadi anggota Koperasi.
Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Koperasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44A
Koperasi dapat menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai dewan pengawas syariah.
Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang atau lebih yang memahami syariah dan diangkat oleh Rapat Anggota.
Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Pengurus serta mengawasi kegiatan Koperasi agar sesuai dengan prinsip syariah. REPUBUK INDONESIA (5) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya mendapatkan pembinaan atau pengembangan kapasitas oleh Pemerintah Pusat dan/atau Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Kriteria U saha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 87 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866) diubah sebagai berikut:
Pasal 6
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat memuat modal usaha, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria U saha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 21
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Badan Usaha Milik Negara menyediakan Pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, Penjaminan, hibah, dan Pembiayaan lainnya.
Usaha Besar nasional dan asing menyediakan Pembiayaan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, Penjaminan, hibah, dan Pembiayaan lainnya.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber Pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk in sen tif lainnya yang sesuai dengan keten tuan peraturan perundang-undangan kepada Dunia Usaha yang menyediakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil.
Pasal 89
Pemerintah Pusat mendorong implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster melalui sinergi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait.
Pengelolaan terpadu U saha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kumpulan kelompok Usaha Mikro dan Kecil yang terkait dalam:
suatu rantai produk umum;
ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa; atau
penggunaan teknologi yang serupa dan saling melengkapi secara terintegrasi. RE: PUBLIK INDONESIA (3) Saling melengkapi secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan di lokasi klaster dengan tahap pendirian/legalisasi, pembiayaan, penyediaan bahan baku, proses produksi, kurasi, dan pemasaran produk Usaha Mikro dan Kecil melalui perdagangan elektronik/ non elektronik. (4) Pen en tuan lokasi klaster U saha Mikro dan Kecil disusun dalam program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan pemetaan potensi, keunggulan daerah, dan strategi penentuan lokasi usaha. (5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan pendampingan sebagai upaya pengembangan Usaha Mikro dan Kecil untuk memberi dukungan manajemen, sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan dukungan sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan fasilitas yang meliputi:
lahan lokasi klaster;
aspek produksi;
infrastruktur;
rantai nilai;
pendirian badan hukum;
sertifikasi dan standardisasi;
promos1;
pemasaran;
digi talisasi; dan J. penelitian dan pengembangan.
Pemerintah Pusat mengoordinasikan pengelolaan terpadu U saha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster.
Pemerintah Pusat melakukan evaluasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Keenam Kemitraan
Pasal 90
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan U saha Menengah dan U saha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan level usaha.
Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi. (3) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan antara Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil. (5) Pemerintah Pusat mengatur pemberian insentif kepada Usaha Menengah dan Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Ketujuh Kemudahan Perizinan Berusaha Pasal 91 (1) Dalam rangka kemudahan Perizinan Berusaha, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pembinaan dan pendaftaran bagi Usaha Mikro dan Kecil berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pendaftaran se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara daring atau luring dengan melampirkan Kartu Tanda Penduduk. (3) Pendaftaran secara daring sebagaimana dimaksud pada ayat diberi nomor induk berusaha melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik.
Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perizinan tunggal yang berlaku untuk semua kegiatan usaha.
Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi Perizinan Berusaha, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pembinaan terhadap Perizinan Berusaha, pemenuhan standar, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal.
Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki risiko menengah a tau tinggi terhadap kesehatan, keamanan, dan keselamatan serta lingkungan selain melakukan registrasi untuk mendapatkan nomor induk berusaha, Usaha Mikro dan Kecil wajib memiliki sertifikat sertifikasi standar dan/atau izin. (8) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memfasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan fasilitasi sertifikasi standar dan/atau 1zm sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedelapan Kemudahan Fasilitasi Pembiayaan dan Insentif Fiskal
Pasal 92
Usaha Mikro dan Kecil diberi kemudahan / penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Usaha Mikro dan Kecil yang mengajukan Perizinan Berusaha dapat diberi insentif berupa tidak dikenai biaya atau diberi keringanan biaya.
Usaha Mikro dan Kecil yang berorientasi ekspor dapat diberi insentif kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Usaha Mikro dan Kecil tertentu dapat diberi insentif Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan. Pasal 93 Kegiatan U saha Mikro dan Kecil dapat dijadikan jaminan kredit program. ?asal94 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mempermudah dan menyederhanakan proses untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam hal pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan penyederhanaan pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku da_n bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kesembilan Dana Alokasi Khusus, Bantuan dan Pendampingan Hukum, Pengadaan Barang dan Jasa, dan Sistem/ Aplikasi Pembukuan/Pencatatan Keuangan dan Inkubasi Pasal 95 (1) Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus untuk mendukung pendanaan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka kegiatan pemberdayaan dan pengembangan UMK-M. Pengalokasian Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 96 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pasal 97 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) produk/jasa Usaha Mikro dan Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan keten tuan pera turan perundang- undangan. Pasal 98 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memberikan pelatihan dan pendampingan pemanfaatan sistem/ aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan yang memberi kemudahan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pasal 99 Penyelenggaraan inkubasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, Dunia Usaha, dan/atau masyarakat. Pasal 100 Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 bertujuan untuk:
menciptakan usaha baru;
menguatkan dan mengembangkan kualitas UMK-M yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia terdidik dalam menggerakkan perekonomian dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 101 Sasaran pengembangan inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 meliputi:
penciptaan dan penumbuhan usaha baru serta penguatan kapasitas pelaku usaha pemula yang berdaya saing tinggi;
penciptaan dan penumbuhan usaha baru yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
peningkatan nilai tambah pengelolaan potensi ekonomi melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 102 Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha melakukan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas UMK-M sehingga mampu mengakses:
pembiayaan alternatif untuk UMK-M pemula;
pembiayaan dari dana kemitraan;
bantuan hibah pemerintah;
dana bergulir; dan
tanggung jawab sosial perusahaan. Bagian Kesepuluh Partisipasi Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi pada Infrastruktur Publik Pasal 103 Di antara Pasal 53 dan Pasal 54 dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6760) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 53A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53A (1) Jalan Tol antarkota harus dilengkapi dengan tern pat istirahat dan pelayanan untuk kepentingan pengguna Jalan Tol, serta menyediakan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah pada tempat istirahat dan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengalokasikan lahan pada Jalan Tol paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total luas lahan area komersial untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, baik untuk Jalan Tol yang telah beroperasi maupun untuk Jalan Tol yang masih dalam tahap perencanaan dan konstruksi. (3) Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan dengan partisipasi Usaha Mikro dan Kecil melalui pola kemitraan.
Penanaman dan pemeliharaan tanaman di tempat istirahat dan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan U saha Menengah.
Pasal 104
Dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan usaha swasta wajib mengalokasikan penyediaan tempat promosi, tempat usaha, dan/atau pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik yang mencakup:
terminal;
bandar udara;
pelabuhan;
stasiun kereta api;
tempat istirahat dan pelayanan jalan tol; dan
infrastruktur publik lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Alokasi penyediaan tempat promosi dan pengembangan U saha Mikro dan Kecil pada infrastruktur pu blik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas tempat perbelanjaan dan/atau promosi yang strategis pada infrastruktur publik yang bersangkutan. (3) Ketentuan mengenai penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik pada ayat (1) dan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Pera tu ran Pemerin tah. BAB VI KEMUDAHAN BERUSAHA Bagian Kesatu Umum Pasal 105 Untuk mempermudah Pelaku Usaha dalam melakukan investasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216);
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922);
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953);
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan _(Hinderordonnantie); _ f. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870); J. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817). Bagian Kedua Keimigrasian Pasal 106 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 ten tang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216) diubah sebagai berikut:
Pasal 39
Visa tinggal terbatas diberikan kepada Orang Asing:
se bagai rohaniwan, tenaga ahli, pekerja, peneliti, pelajar, investor, rumah kedua, dan keluarganya, serta Orang Asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia, yang akan melakukan perjalanan ke Wilayah Indonesia untuk bertempat tinggal dalam jangka waktu yang terbatas; atau
dalam rangka bergabung untuk bekerja di atas kapal, alat apung, atau instalasi yang beroperasi di wilayah perairan nusantara, laut teritorial, landas kontinen, dan/atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Visa tinggal terbatas se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Pemberian Visa kunjungan dan Visa tinggal terbatas merupakan kewenangan Menteri.
Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dan ditandatangani oleh Pejabat Imigrasi. (3) Dalam hal Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan di Perwakilan Republik Indonesia, pemberian Visa dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi di Perwakilan Republik Indonesia dan/atau pejabat dinas 1 uar negeri.
Pejabat dinas luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang memberikan Visa setelah memperoleh Keputusan Menteri.
Pasal 54
Izin Tinggal Tetap dapat diberikan kepada:
Orang Asing pemegang Izin Tinggal terbatas sebagai rohaniwan, pekerja, investor, dan rumah kedua;
keluarga karena perkawinan campuran;
suami, istri, dan/atau anak dari Orang Asing pemegang Izin Tinggal Tetap; dan
Orang Asing eks warga negara Indonesia dan eks subjek anak berkewarganegaraan ganda Repu blik Indonesia.
Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan kepada Orang Asing yang tidak memiliki paspor kebangsaan.
Orang Asing pemegang Izin Tinggal Tetap merupakan penduduk Indonesia. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 3
Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri.
Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, memiliki kegunaan praktis, serta dapat diterapkan dalam industri.
Pengembangan dari produk atau proses yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
produk sederhana;
proses sederhana; atau
metode sederhana.
Pasal 20
Paten wajib dilaksanakan di Indonesia.
Pelaksanaan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
pelaksanaan Paten-produk yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang diberi Paten;
pelaksanaan Paten-proses yang meliputi membuat, melisensikan, atau mengimpor produk yang dihasilkan dari proses yang diberi Paten; atau
pelaksanaan Paten-metode, sistem, dan penggunaan yang meliputi membuat, mengimpor, atau melisensikan produk yang dihasilkan dari metode, sistem, dan penggunaan yang diberi Paten.
Pasal 82
Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alasan memenuhi ketentuan:
Paten tidak dilaksanakan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan setelah diberikan Paten;
Paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau penerima Lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat; atau
Paten basil pengembangan dari Paten yang telah diberikan sebelumnya tidak bisa dilaksanakan tanpa menggunakan Paten pihak lain yang masih dalam pelindungan.
Permohonan Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya.
Pasal 122
Paten sederhana diberikan hanya untuk satu Invensi.
Permohonan pemeriksaan substantif atas Paten sederhana dilakukan bersamaan dengan pengajuan Permohonan Paten sederhana dengan dikenai biaya.
Apabila permohonan pemeriksaan substantif atas Paten sederhana tidak dilakukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau biaya pemeriksaan su bstan tif a tas Paten sederhana tidak dibayar, Permohonan Paten sederhana dianggap ditarik kembali.
Pasal 123
Pengumuman Permohonan Paten sederhana dilakukan paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten sederhana.
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak tanggal diumumkannya Permohonan Paten sederhana.
Pemeriksaan substantif atas Permohonan Paten sederhana dilakukan setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
Ketentuan pengajuan pandangan dan/atau keberatan Permohonan Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) dan ayat dikecualikan untuk pengajuan pandangan dan/atau keberatan atas Permohonan Paten sederhana.
Pasal 23
Pemeriksaan su bstan tif merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa terhadap Permohonan pendaftaran Merek.
Segala keberatan dan/atau sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 menjadi pertimbangan dalam pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal tidak terdapat keberatan terhitung sejak tanggal berakhirnya pengumuman, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
Dalam hal terdapat keberatan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan se bagaimana dimaksud dalam Pas al 1 7, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan.
Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) Hari. (7) Dalam hal diperlukan untuk melakukan pemeriksaan substantif, dapat ditetapkan tenaga ahli pemeriksa Merek di luar Pemeriksa.
Hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh tenaga ahli pemeriksa Merek di luar Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dianggap sama dengan hasil pemeriksaan su bstan tif yang dilakukan oleh Pemeriksa dengan persetujuan Menteri.
Pasal 25
Sertifikat Merek diterbitkan oleh Menteri sejak Merek tersebut terdaftar.
Sertifikat Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
nama dan alamat lengkap pemilik Merek yang didaftar;
nama dan alamat lengkap Kuasa dalam hal Permohonan melalui Kuasa;
Tanggal Penerimaan;
nama negara dan Tanggal Penerimaan permohonan yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan menggunakan Hak Priori tas;
label Merek yang didaftarkan, termasuk keterangan mengenai macam warna jika Merek tersebut menggunakan unsur warna, dan jika Merek menggunakan bahasa asing, huruf selain huruf latin, dan/atau angka yang tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, huruf latin dan angka yang lazim digunakan dalam bahasa Indonesia serta cara pengucapannya dalam ejaan latin;
nomor dan tanggal pendaftaran;
kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang Mereknya didaftar; dan
jangka waktu berlakunya pendaftaran Merek. Bagian Kelima Perseroan Terbatas Pasal 109 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 756) diubah sebagai berikut:
Pasal 7
Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat tidak berlaku dalam rangka Peleburan.
Perseroan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menteri dan mendapatkan bukti pendaftaran.
Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib:
mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain; atau
Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang:
pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian Perseroan; dan
atas permohonan pihak yang berkepentingan, pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan tersebut.
Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), dan ayat (6) tidak berlaku bagi:
persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara;
badan usaha milik daerah;
badan usaha milik desa;
Perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, dan lembaga lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal; atau
Perseroan yang memenuhi kriteria untuk usaha mikro dan kecil.
Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro dan kecil.
Pasal 32
Perseroan wajib memiliki modal dasar Perseroan.
Besaran modal dasar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keputusan pendiri Perseroan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai modal dasar Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 153A
Perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang.
Pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam bahasa Indonesia. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 153B
Pernyataan pendirian se bagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (2) memuat maksud dan tujuan, kegiatan usaha, modal dasar, dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan.
Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian.
Ketentuan lebih lanjut mengenai materi pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 153C
Perubahan pernyataan pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ditetapkan oleh RUPS dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai materi dan format 1s1an perubahan pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 153D
Direksi Perseroan un tuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A menjalankan pengurusan Perseroan untuk usaha mikro dan kecil bagi kepen tingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, dan/atau pernyataan pendirian Perseroan.
Pasal 153E
Pemegang saham Perseroan untuk usaha mikro dan kecil se bagaimana dimaksud dalam Pasal 153A merupakan orang perseorangan.
Pendiri Perseroan hanya dapat mendirikan Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sejumlah 1 (satu) Perseroan untuk usaha mikro dan kecil dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Pasal 153F (1) Direksi Perseroan un tuk usaha mikro dan kecil se bagaimana dimaksud dalam Pasal 153A harus membuat laporan keuangan dalam rangka mewujudkan tata kelola Perseroan yang baik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban membuat laporan keuangan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 153G
Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A dilakukan oleh RUPS yang dituangkan dalam pernyataan pembubaran dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri. (2) Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat terjadi karena:
berdasarkan keputusan RUPS;
jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam pernyataan pendirian telah berakhir;
berdasarkan penetapan pengadilan;
dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan;
harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang- Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau
dicabutnya Perizinan Berusaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 153H (1) Dalam hal Perseroan un tuk usaha mikro dan kecil sudah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (1), Perseroan harus mengubah statusnya menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengubahan status Perseroan untuk usaha mikro dan kecil menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 1531
Perseroan untuk usaha mikro dan kecil diberikan keringanan biaya terkait pendirian badan hukum.
Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan biaya Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
Pasal 153J
Pemegang saham Perseroan untuk usaha mikro dan kecil tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan mele bihi saham yang dimiliki.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan;
tau d. pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Bagian Keenam Undang-Undang Gangguan
Pasal 110
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Bagian Ketujuh Perpajakan Pasal 111 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736) diubah sebagai berikut:
Pasal 13
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a a tau huruf f dan/atau Pasal 16D;
penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h. (la) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. (2a) Faktur Pajak se bagaimana dimaksud pada ayat harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
Dihapus.
Dihapus.
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan ten tang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang meliputi:
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor induk kependudukan atau nomor paspor bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
nama dan alamat, dalam hal pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak merupakan subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan;
jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA (Sa) Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. (6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. (7) Dihapus. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (9) Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material. Pasal 113 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736) diubah se bagai beriku t:
Pasal 11
Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal l 7C, atau Pasal 170 dikembalikan dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. (la) Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak terse but.
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (la) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (1), a tau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat dan Pasal 1 7B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 170, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan dan diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (3a) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 15
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administratif berupa kenaikan se besar 100% ( seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. (4) Dihapus.
Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan a tau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 27B
Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
Surat Ketetapan Pajak Nihil.
Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal permohonan pembetulan, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, a tau permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan:
berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan
diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (5) Tarif bunga per bulan se bagaimana dimaksud pada ayat (4) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga adalah tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. (6) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
lmbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung:
sejak tanggal pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
sejak tanggal pembayaran Surat Tagihan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 37
Pemerintah Pusat mengendalikan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38A
Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dikenai sanksi administratif berupa:
penghentian sementara kegiatan;
pembekuan Perizinan Berusaha;
denda administratif;
paksaan Pemerintah Pusat; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
DUKUNGAN RISET DAN INOVASI Pasal 119 Untuk memberikan dukungan riset dan inovasi di bidang berusaha, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297); dan
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6374). Pasal 120 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan judul BAB V diubah sehingga berbunyi se bagai beriku t: BABV KEWAJIBAN PELAYANAN UMUM, RISET, DAN INOVASI
Pasal 66
Pemerintah Pusat dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum serta riset dan inovasi nasional.
Penugasan khusus kepada BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan, kegiatan usaha BUMN, serta mempertimbangkan kemampuan BUMN.
Rencana penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji bersama antara BUMN yang bersangkutan dengan Pemerintah Pusat.
Apabila penugasan tersebut secara finansial tidak fisibel, Pemerintah Pusat harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran sesua1 dengan penugasan yang diberikan.
Penugasan kepada BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS atau Menteri.
BUMN dalam melaksanakan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan:
badan usaha milik swasta;
badan usaha milik daerah;
koperasi;
BUMN;
lembaga penelitian dan pengembangan;
lembaga pengkajian dan penerapan; dan/atau
perguruan tinggi. Pasal 121 Ketentuan Pasal 48 dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 ten tang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6374) diubah sebagai berikut:
Pasal 48
Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional.
Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi di daerah, Pemerintah Daerah membentuk badan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai badan riset dan inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. BAB VIII PENGADAAN TANAH Bagian Kesatu Umum Pasal 122 Dalam rangka memberikan kemudahan dan kelancaran dalam pengadaan tanah untuk kepentingan penciptaan kerja, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280); dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068). Bagian Kedua Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 123 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280) diubah sebagai berikut:
Pasal 14
Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dengan melibatkan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, dan/atau Rencana Kerja Pemerintah/Instansi yang bersangkutan.
Pasal 24
Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Permohonan perpanjangan waktu penetapan lokasi disampaikan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum masa berlaku penetapan lokasi berakhir.
Pasal 28
Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan:
pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah; dan
pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. (2) Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh penyurvei berlisensi.
Pasal 34
Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai se bagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga Pertanahan disertai dengan berita acara.
Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan mengikat. (4) Besarnya nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar untuk menetapkan bentuk Ganti Kerugian.
Musyawarah penetapan bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh ketua pelaksana Pengadaan Tanah bersama dengan Penilai dengan para Pihak yang Berhak.
Pasal 36
Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
uang;
tanah pengganti;
pemukiman kembali;
kepemilikan saham; atau
bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 40 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan.
Pasal 46
Pelepasan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat dan ayat (2) tidak di berikan Gan ti Kerugian, kecuali:
Objek Pengadaan Tanah yang dipergunakan sesuai dengan tugas dan fungsi pemerin tahan;
Objek Pengadaan Tanah yang dimiliki / dikuasai oleh badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; dan/atau
Objek Pengadaan Tanah kas desa. (2) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi. (3) Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah kas desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2). (6) Nilai Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah berupa harta benda wakaf ditentukan sama dengan nilai hasil penilaian Penilai atas harta benda wakaf yang digan ti. Bagian Ketiga Pelindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelartjutan Pasal 124 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068) diubah sebagai berikut:
Pasal 44
Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihf ungsikan.
Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
dilakukan kajian kelayakan strategis;
disusun rencana alih fungsi lahan;
dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan
disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan.
Dalam hal terjadi bencana sehingga pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak diberlakukan. (5) Penyediaan Lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan. (6) Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) h uruf c dilakukan dengan pem berian gan ti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 125
Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah.
Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan khusus yang mengelola tanah.
Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Pasal 126 (1) Badan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk:
kepentingan umum;
kepentingan sosial;
kepentingan pembangunan nasional;
pemerataan ekonomi;
konsolidasi lahan; dan
reforma agraria.
Ketersediaan tanah untuk reforma agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari tanah negara yang diperuntukkan badan bank tanah. Pasal 127 Badan bank tanah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat transparan, akuntabel, dan nonprofit. Pasal 128 Sumber kekayaan badan bank tanah dapat berasal dari:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
pendapatan sendiri;
penyertaan modal negara; dan
sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 129 (1) Tanah yang dike lo la badan bank tanah diberikan hak pengelolaan. (2) Hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberi hak guna usaha, hakgunabangunan,danhakpak~. (3) Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
Dalam rangka mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah diberi kewenangan untuk:
melakukan penyusunan rencana induk;
membantu memberikan kemudahan Perizinan Berusaha/ persetujuan;
melakukan pengadaan tanah; dan
menentukan tarif pelayanan.
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 130 Badan bank tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 terdiri atas:
Komite;
Dewan Pengawas; dan
Badan Pelaksana.
Pasal 131
Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 huruf a diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan beranggotakan para menteri dan kepala yang terkait.
Ketua dan anggota Komite ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usulan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. Pasal 132 (1) Dewan Pengawas berjumlah paling ban yak 7 (tujuh) orang terdiri atas 4 (em pat) orang unsur profesional dan 3 (tiga) orang yang dipilih oleh Pemerintah Pusat.
Terhadap calon unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan proses seleksi oleh Pemerintah Pu.sat yang selanjutnya disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dipilih dan disetujui.
Calon unsur profesional yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit berjumlah 2 (dua) kali jumlah yang dibutuhkan.
Pasal 133
Badan Pelaksana terdiri atas Kepala dan Deputi.
Jumlah Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Komite. (3) Kepala dan Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Komite. (4) Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diusulkan oleh Dewan Pengawas. Pasal 134 Ketentuan lebih lanjut mengenai Komite, Dewan Pengawas, dan Badan Pelaksana diatur dalam Peraturan Presiden. Pasal 135 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan badan bank tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 2 Penguatan Hak Pengelolaan Pasal 136 Hak pengelolaan merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.
Pasal 137
Se bagian kewenangan hak menguasai dari negara berupa tanah dapat diberikan hak pengelolaan kepada:
instansi Pemerintah Pusat;
Pemerintah Daerah;
badan bank tanah;
badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
badan hukum milik negara/ daerah; atau
badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan kewenangan untuk:
menyusun rencana peruntukan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang;
menggunakan dan memanfaatkan seluruh atau sebagian tanah hak pengelolaan untuk digunakan sendiri atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga; dan
menentukan tarif dan menerima uang pemasukan/ ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan dari pihak ketiga sesuai dengan perjanjian.
Pemberian hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas tanah negara dengan keputusan pemberian hak di atas tanah negara.
Hak pengelolaan dapat dilepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat. Pasal 138 (1) Penyerahan pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga se bagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) huruf b dilakukan dengan perjanjian pemanfaatan tanah.
Di atas tanah hak pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak ketiga baik sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesua1 dengan tujuan pemberian haknya.
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Dalam hal hak atas tanah yang berada di atas hak pengelolaan telah berakhir, tanahnya kembali menjadi tanah hak pengelolaan.
Pasal 139
Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat membatalkan dan/atau mencabut hak pengelolaan sebagian atau seluruhnya.
Tata cara pembatalan hak pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Pasal 140
Dalam hal bagian bidang tanah hak pengelolaan diberikan dengan hak milik, bagian bidang tanah hak pengelolaan tersebut hapus dengan sendirinya.
Hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk keperluan rumah umum dan keperluan transmigrasi. Pasal 141 Dalam rangka pengendalian pemanfaatan hak atas tanah di atas hak pengelolaan, dalam waktu tertentu, dilakukan evaluasi pemanfaatan hak atas tanah. Pasal 142 Ketentuan lebih lanjut mengenai hak pengelolaan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Paragraf 3 Satuan Rumah Susun untuk Orang Asing Pasal 143 Hak milik atas satuan rumah susun merupakan hak kepemilikan atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Pasal 144
Hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada:
warga negara Indonesia;
badan hukum Indonesia;
.. . c. warga negara asmg yang mempunyai 1zm sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; atau
perwakilan negara asing dan lembaga internasional yang berada atau mempunyai perwakilan di Indonesia. (2) Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih atau dialihkan dan dij aminkan.
Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 145
Rumah susun dapat dibangun di atas tanah:
hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara; atau
hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.
Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan sekaligus dengan perpanjangan haknya setelah mendapat sertifikat laik fungsi.
Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak apabila sudah mendapat sertifikat laik fungsi. Paragraf 4 Pemberian Hak atas Tanah/Hak Pengelolaan pada Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah
Pasal 146
Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas tanah dan/atau ruang bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. (2) Batas kepemilikan tanah pada ruang atas tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Batas kepemilikan tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang bawah tanah oleh pemegang hak yang berbeda dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden. Pasal 147 Tanda bukti hak atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, hak pengelolaan, dan hak tanggungan, termasuk akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan tanah dapat berbentuk elektronik.
BAB IX
KAWASAN EKONOMI Bagian Kesatu Umum Pasal 148 Untuk menciptakan pekerjaan dan mempermudah Pelaku Usaha dalam melakukan investasi, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
a. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066);
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 775); dan
c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054). Pasal 149 Kawasan ekonomi terdiri atas:
a. kawasan ekonomi khusus; dan
b. kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Bagian Kedua Kawasan Ekonomi Khusus Pasal 150 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066) diubah menjadi sebagai berikut:
Pasal 3
Kegiatan usaha di KEK terdiri atas:
produksi dan pengolahan;
logistik dan distribusi;
pengembangan teknologi;
pariwisata;
pendidikan;
kesehatan;
energi; dan/atau
ekonomi lain.
Pelaksanaan kegiatan usaha pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat.
Pelaksanaan kegiatan usaha kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Kegiatan ekonomi lain se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h ditetapkan oleh Dewan Nasional.
Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. (6) Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan zonasi di KEK.
Di dalam KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK.
Pasal 5
Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional oleh:
Badan Usaha; atau
Pemerintah Daerah.
Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
koperasi;
badan usaha swasta berbentuk perseroan terbatas; atau
badan usaha patungan atau konsorsium.
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
Pemerintah Daerah provinsi; atau
Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pasal 6
Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi persyaratan minimal:
peta lokasi pengembangan serta luas area yang diusulkan yang terpisah I dari permukiman penduduk;
rencana tata ruang KEK yang diusulkan dilengkapi dengan pengaturan zonasi;
rencana dan sumber pembiayaan;
persetujuan lingkungan;
hasil studi kelayakan ekonomi dan finansial;
jangka waktu suatu KEK dan rencana strategis; dan
penguasaan lahan yang dikuasai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari yang direncanakan.
Pasal 13
Pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK dapat bersumber dari:
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah;
swasta;
kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta; dan/atau
sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dewan Nasional dapat menetapkan kebijakan tersendiri dalam kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK.
Pasal 16
Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian dan beranggotakan menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian. (2) Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat dibentuk Sekretariat Jenderal Dewan Nasional.
Ketentuan mengenai Dewan Nasional dan Sekretariat Jenderal Dewan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Dewan Kawasan dapat:
meminta penjelasan Administrator mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha, penzman lainnya, pelayanan, dan pengawasan di KEK;
meminta masukan dan/atau bantuan kepada instansi Pemerintah Pusat atau para ahli sesuai dengan kebutuhan; dan/atau
melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan kebutuhan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 24C
Administrator dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum.
Penerapan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
Dewan Nasional, Sekretariat J enderal Dewan Nasional, Dewan Kawasan, Sekretariat Dewan Kawasan, dan Administrator memperoleh pembiayaan yang bersumber dari:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan/atau
sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Badan Usaha yang melakukan pembangunan dan pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a bertugas:
membangun dan mengembangkan prasarana dan sarana di dalam KEK;
menyelenggarakan pengelolaan pelayanan prasarana dan sarana kepada Pelaku Usaha; dan
menyelenggarakan promosi.
Penyelenggaraan promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan secara terpadu dengan promosi yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau Pemerintah Daerah terkait.
Pasal 27
Di dalam KEK berlaku ketentuan larangan impor dan ekspor yang diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terhadap impor barang ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan.
Bagi barang yang membahayakan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan/atau lingkungan dapat dikenai pembatasan apabila barang dimaksud bukan merupakan bahan baku bagi kegiatan usaha dan institusi teknis terkait secara khusus memberlakukan ketentuan pembatasan di KEK.
Pelaksanaan ketentuan mengenai impor dan ekspor dilakukan melalui sistem elektronik yang terin tegrasi secara nasional.
Pemerintah Pusat mengembangkan sistem elektronik yang terin tegrasi secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 32A
Impor barang konsumsi ke KEK yang kegiatan utamanya bukan produksi dan pengolahan diberikan fasilitas:
bagi barang konsumsi yang bukan barang kena cukai dengan jumlah dan jenis tertentu sesuai dengan bidang usahanya diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor; dan
bagi barang konsumsi yang berupa barang kena cukai dikenakan cukai dan diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor. (2) Barang konsumsi asal impor yang dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean harus dilunasi bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 33A
Administrator dapat ditetapkan untuk melakukan kegiatan pelayanan kepabeanan mandiri berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Pengawasan dan pelayanan atas perpindahan barang di dalam KEK dilakukan secara manual dan/atau menggunakan teknologi informasi yang terhubung dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
Pasal 38
KEK diberi kemudahan dan keringanan di bidang Perizinan Berusaha, perizinan lainnya, kegiatan usaha, perindustrian, perdagangan, kepelabuhan, dan keimigrasian bagi orang asing, serta c; : liberi fasili tas keamanan.
Ketentuan mengenai kemudahan dan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
Dewan Kawasan membentuk Sadan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Sebas dan Pelabuhan Sebas yang selanjutnya disebut Sadan Pengusahaan.
Kepala dan Anggota Sadan Pengusahaan ditetapkan oleh Dewan Kawasan.
Sadan Pengusahaan bertanggung jawab kepada Dewan Kawasan.
Ketentuan lebih lanjut rnengenai pernbentukan Sadan Pengusahaan dan penetapan Kepala dan Anggota Sadan Pengusahaan diatur dalarn Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
Untuk rnemperlancar kegiatan Kawasan Perdagangan Sebas dan Pelabuhan Sebas, Sadan Pengusahaan diberi wewenang rnengeluarkan Perizinan Serusaha dan perizinan lainnya yang diperlukan bagi para pengusaha yang mendirikan dan rnenjalankan usaha di Kawasan Perdagangan Sebas dan Pelabuhan Sebas.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
Barang yang terkena ketentuan larangan dilarang dimasukkan ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Be bas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Sadan Pengusahaan.
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Be bas dan Pelabuhan Bebas melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberi pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah. (5) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat termasuk juga pembebasan cukai diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Be bas dan Pelabuhan Bebas ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai.
Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas diberi pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah.
Jumlah dan jenis barang yang diberi fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan. Paragraf 3 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Pasal 153 Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 ten tang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Barang yang terkena ketentuan larangan dilarang dimasukkan ke Kawasan Sabang.
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Sabang.
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Sabang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya. (4) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberi pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah.
Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk juga pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan keten tuan di bi dang cukai.
Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Sabang diberikan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah.
Jumlah dan jenis barang yang diberi fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. BABX INVESTASI PEMERINTAH PUSAT DAN KEMUDAHAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL Bagian Kesatu Investasi Pemerintah Pusat Paragraf 1 Umum Pasal 154 (1) Investasi Pemerintah Pusat dilakukan dalam rangka meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja. (2) Maksud dan tujuan investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya yang ditetapkan sebelumnya;
memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;
memperoleh keuntungan; dan/atau
menyelenggarakan kemanfaatan umum, tetapi tidak terbatas pada penciptaan lapangan kerja.
lnvestasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara selaku bendahara umum negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai investasi Pemerintah Pusat; dan/atau
lembaga yang diberikan kewenangan khusus (sui generis) dalam rangka pengelolaan investasi, yang selanjutnya disebut Lembaga.
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara selaku bendahara umum negara dan lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang untuk:
melakukan penempatan dana dalam bentuk instrumen keuangan;
melakukan kegiatan pengelolaan aset;
melakukan kerja sama dengan pihak lain termasuk en ti tas dana perwalian ( _trust fund); _ d. menentukan calon mitra investasi;
memberikan dan menerima pinjaman; dan/atau
menatausahakan aset yang dimilikinya. Pasal 155 (1) Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf a, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dapat menetapkan dan/atau menunjuk badan layanan umum, badan usaha milik negara, dan/atau badan hukum lainnya.
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara membentuk rekening investasi bendahara umum negara untuk menampung dana investasi Pemerintah Pusat.
Dana yang ditampung dalam rekening investasi bendahara umum negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan kembali secara langsung untuk mendapatkan manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya. (4) Tata kelola investasi Pemerintah Pusat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara selaku bendahara umum negara sepanjang tidak diatur secara khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 156
Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat membentuk Lembaga.
Lembaga se bagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerin tah Indonesia.
Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 157
Investasi Pemerintah Pusat yang dilakukan oleh Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b dapat bersumber dari aset negara, aset badan usaha milik negara, dan/atau sumber lain yang sah. (2) Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat dipindahtangankan menjadi aset Lembaga yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab Lembaga.
A set negara dan a set bad an usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga, dengan persetujuan Lembaga dapat dipindahtangankan secara langsung kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga.
Pemindahtanganan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara jual beli, dijadikan penyertaan modal, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aset negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menjadi aset perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam sengketa dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun.
Aset badan usaha milik negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menjadi aset perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam sengketa, tidak sedang dilakukan sita pidana atau perdata, dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun kecuali disepakati oleh pemilik hak.
Ketentuan mengenai pemindahtanganan aset badan usaha milik negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk Perusahaan Perseroan (Persero) atau ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara untuk Perusahaan Umum (Perum).
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtanganan aset negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 158
Modal Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b berasal dari penyertaan modal negara dan/atau sumber lainnya.
Setiap perubahan penyertaan modal negara pada Lembaga, baik berupa pengurangan maupun penambahan modal yang berasal dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Lembaga dapat melaksanakan investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, atau melalui pembentukan entitas khusus yang berbentuk badan hukum Indonesia atau badan hukum asing.
Keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga.
Dalam hal Lembaga mengalami keuntungan se bagaimana dimaksud pada ayat ( 4}, se bagian keuntungan ditetapkan sebagai laba bagian Pemerintah Pusat untuk disetorkan ke kas negara, setelah dilakukan pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal. (6} Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang menjadi kekayaan Lembaga dicatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. (7} Ketentuan lebih lanjut mengenai pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 159
(1} Untuk meningkatkan nilai aset, Lembaga dapat melakukan pengelolaan aset melalui kerja sama dengan pihak ketiga.
Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Lembaga melalui:
kuasa kelola;
pembentukan perusahaan patungan; dan/atau
bentuk kerja sama lainnya. (3) Dalam hal kerja sama dilakukan melalui pembentukan perusahaan patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, aset Lembaga dapat dipindahtangankan untuk dijadikan penyertaan modal dalam perusahaan patungan.
Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aset yang dijadikan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh berada dalam keadaan:
sengketa;
disita, baik sita pidana maupun sita perdata;
terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun, kecuali disepakati oleh pemilik hak; dan/atau
sedang dalam pengikatan sebagai jaminan utang, kecuali disepakati oleh kreditur.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan aset Lembaga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 160
Aset Lembaga dapat berasal dari:
penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1);
hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset Lembaga;
pemindahtanganan aset negara atau aset badan usaha milik negara;
hibah; dan/atau
sumber lain yang sah.
Aset Lembaga dapat dijaminkan dalam rangka penarikan pinjaman.
Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan aset Lembaga, kecuali atas aset yang telah dijaminkan dalam rangka pinjaman.
Pengelolaan aset Lembaga sepenuhnya dilakukan oleh organ Lembaga berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan transparan. Pasal 161 Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada Badan Pemeriksa Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 162
Organ dan pegawai Lembaga bukan merupakan penyelenggara negara, kecuali yang berasal dari pejabat negara yang bersifat ex-officio. (2) Lembaga menetapkan sistem kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga.
Lembaga tidak dapat dipailitkan, kecuali dapat dibuktikan dalam kondisi insolven. Pasal 163 Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, pejabat kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, dan organ dan pegawai Lembaga, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian investasi jika dapat membuktikan:
kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan investasi dan tata kelola;
tidak memiliki benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengelolaan investasi; dan
tidak memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah.
Pasal 164
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola Lembaga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Sepanjang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan negara, kekayaan negara, dan/atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi Lembaga. Paragraf 2 Lembaga Pengelola Investasi Pasal 165 (1) Dalam rangka pengelolaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dibentuk Lembaga Pengelola Investasi.
Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengoptimalisasi nilai aset secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan.
Organ Lembaga Pengelola Investasi terdiri atas:
Dewan pengawas; dan
Dewan direktur.
Pasal 166
Dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) huruf a terdiri atas:
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara sebagai ketua merangkap anggota;
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara sebagai anggota; dan
3 (tiga) orang yang berasal dari unsur profesional sebagai anggota.
Anggota dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Untuk memilih anggota dewan pengawas dari unsur profesional se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Presiden membentuk panitia seleksi.
Panitia seleksi melakukan:
pengumuman penerimaan dan pendaftaran calon;
proses seleksi; dan
penyampaian nama calon kepada Presiden.
Penyampaian nama calon kepada Presiden dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak pembentukan panitia seleksi.
Presiden menyampaikan nama calon untuk dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyelenggarakan sesi konsultasi dengan Presiden paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya daftar nama calon dari Presiden.
Presiden menetapkan dan mengangkat anggota dewan pengawas dari unsur prof esional dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) selesai dilaksanakan.
Dalam hal sesi konsultasi tidak terlaksana sesuai jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Presiden menetapkan dan mengangkat anggota dewan pengawas dari unsur profesional dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (8). (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi anggota dewan pengawas dari unsur profesional diatur dalam Peraturan Pemerintah. (11) Sesama anggota dewan pengawas dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua atau besan dengan sesama anggota dewan pengawas dan/atau dengan anggota dewan direktur. (12) Anggota dewan pengawas dari unsur profesional diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Dalam rangka pengangkatan anggota dewan pengawas dari unsur profesional untuk pertama kali, Presiden menetapkan masa jabatan 3 (tiga) anggota dewan pengawas sebagai berikut:
1 (satu) anggota diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun;
1 (satu) anggota diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun; dan
1 (satu) anggota diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. (14) Dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Lembaga Pengelola Investasi oleh dewan direktur.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dewan pengawas berwenang:
menyetujui rencana kerja dan anggaran tahunan beserta indikator kinerja utama (key perfonnance indicator} yang diusulkan dewan direktur;
melakukan evaluasi pencapaian indikator kinerja utama (key perfonnance _indicator}; _ c. menerima dan mengevaluasi laporan pertanggungjawaban dari dewan direktur;
menyampaikan laporan pertanggungjawaban dewan pengawas dan dewan direktur kepada Presiden;
menetapkan dan mengangkat anggota dewan penasihat;
mengangkat dan memberhentikan dewan direktur;
menetapkan remunerasi dewan pengawas dan dewan direktur;
mengusulkan peningkatan dan/atau pengurangan modal Lembaga kepada Presiden;
menyetujui laporan keuangan tahunan Lembaga; J. memberhentikan sementara satu atau lebih anggota dewan direktur dan menunjuk pengganti sementara untuk dewan direktur; dan
menyetujui penunjukan auditor Lembaga. (16) Untuk membantu dewan pengawas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, dewan pengawas dapat membentuk komite.
Pasal 167
Dewan direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) huruf b berjumlah 5 (lima) orang dari unsur profesional.
Anggota dewan direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh dewan pengawas.
Sesama anggota dewan direktur dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua atau besan dengan sesama anggota dewan direktur dan/atau dengan anggota dewan pengawas.
Anggota dewan direktur diangkat untuk masajabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. (5) Dalam rangka pengangkatan anggota dewan direktur untuk pertama kali, dewan pengawas menetapkan masa jabatan 5 (lima) anggota dewan direktur sebagai berikut:
2 (dua) anggota diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun;
2 (dua) anggota diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun; dan
1 (satu) anggota diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
Dewan direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menyelenggarakan pengurusan operasional Lembaga Pengelola Investasi. (7) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat , dewan direktur berwenang:
merumuskan dan menetapkan kebijakan lembaga;
melaksanakan kebijakan dan pengurusan operasional lembaga;
menyusun dan mengusulkan remunerasi dewan pengawas dan dewan direktur kepada dewan pengawas;
menyusun dan mengusulkan rencana kerja dan anggaran tahunan beserta indikator kinerja utama ( key perfonnance indicator} kepada dew an pengawas; REPLIBLIK INOONESIA e. menyusun struktur orgamsas1 lembaga dan menyelenggarakan manajemen kepegawaian termasuk pengangkatan, pemberhentian, sistem penggajian, remunerasi, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga Pengelola Investasi; dan
mewakili Lembaga Pengelola Investasi di dalam dan di luar pengadilan.
Dewan direktur dapat mendelegasikan tugas dan/atau wewenang pelaksanaan operasional Lembaga Pengelola Investasi kepada pegawai Lembaga Pengelola Investasi dan/atau pihak lain yang khusus ditunjuk untuk itu.
Pembidangan setiap anggota dewan direktur ditetapkan oleh dewan direktur. Pasal 168 Untuk dapat diangkat sebagai anggota dewan pengawas dari unsur prof esional dan anggota dew an direktur, cal on anggota dewan pengawas dari unsur profesional dan calon anggota dewan direktur harus memenuhi persyaratan:
warga negara Indonesia;
mampu melakukan perbuatan hukum;
sehat jasmani dan rohani;
berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama;
bukan pengurus dan/atau anggota partai politik;
memiliki pengalaman dan / a tau keahlian di bidang investasi, ekonomi, keuangan, perbankan, hukum, dan/atau organisasi perusahaan;
tidak pernah dipidana penjara karena melakukan tindak pidana kej aha tan;
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit; dan
tidak dinyatakan sebagai orang perseorangan yang tercela di bidang investasi dan bidang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 169 (1) Dalam hal diperlukan, Lembaga Pengelola Investasi dapat membentuk dewan penasihat untuk memberikan saran dan bimbingan kepada Lembaga Pengelola Investasi dalam hal terkait investasi.
Anggota dewan penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh dewan pengawas. Pasal 170 (1) Modal awal Lembaga Pengelola Investasi dapat berupa:
dana tunai;
barang milik negara;
piutang negara pada badan usaha milik negara atau perseroan terbatas; dan/atau
saham milik negara pada badan usaha milik negara atau perseroan terbatas. (2) Modal awal Lembaga Pengelola Investasi ditetapkan paling sedikit Rp15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah) berupa dana tunai.
Dalam hal modal Lembaga Pengelola Investasi berkurang secara signifikan, Pemerintah dapat menambah kembali modal Lembaga Pengelola Investasi.
Penyertaan modal awal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 171 (1) Lembaga Pengelola Investasi yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang.
Pembinaan Lembaga Pengelola Investasi dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Pengelola Investasi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 172
Lembaga Pengelola Investasi dapat melakukan transaksi baik langsung maupun tidak langsung dengan entitas yang dimilikinya.
Perlakuan perpajakan atas transaksi yang melibatkan Lembaga Pengelola Investasi dan/atau entitas yang dimilikinya, termasuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan a tau berdasarkan Pera tu ran Pemerin tah. Bagian Kedua Kemudahan Proyek Strategis Nasional
Pasal 173
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam menyediakan lahan dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah.
Dalam hal pengadaan tanah belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh Badan U saha.
Pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip kemampuan keuangan negara dan kesinambungan fiskal.
Dalam hal pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Badan Usaha, mekanisme pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan tanah dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB XI PELAKSANAAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN UNTUK MENDUKUNG CIPTA KERJA Bagian Kesatu Umum Pasal 174 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, kewenangan menteri, kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang untuk menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden. Bagian Kedua Administrasi Pemerin tahan Pasal 175 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) diubah menjadi sebagai berikut:
Pasal 39A
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi.
Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan atau dilakukan oleh profesi yang memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan bidang pengawasan.
Ketentuan mengenaijenis, bentuk, dan mekanisme pembinaan dan pengawasan atas Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi yang dapat dilakukan oleh profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 53
Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan di berikan sesuai dengan keten tuan peraturan perundang-undangan.
Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. e'ltt, e \ • -------=- (3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Ketiga Pemerintahan Daerah Pasal 176 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679) diubah sebagai berikut:
Pasal 16
Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kri teria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu atau mengadopsi praktik yang baik (good practices). (3) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berbentuk ketentuan peraturan perundang- undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai aturan pelaksanaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada kepala daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibantu oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkemen terian. (6) Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat harus dikoordinasikan dengan kementerian terkait.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan.
Pasal 252
Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi a tau kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 dikenai sanksi. (2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat berupa sanksi administratif. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan kepada kepala daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkan hak keuangan selama 3 (tiga) bulan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dihapus.
Pasal 292A
Dalam hal penyederhanaan perizinan dan pelaksanaan Perizinan Berusaha oleh Pemerin tah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang m1 menyebabkan berkurangnya pendapatan asli Daerah, Pemerintah Pusat memberikan dukungan insentif anggaran.
Pemberian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 349
Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing Daerah dan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta kebijakan Pemerintah Pusat.
Penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda. (3) Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pasal 350
Kepala daerah wajib memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sesuai dengan keten tuan peraturan perundang-undangan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pu.sat. (2) Dalam memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat , Daerah membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu.
Pembentukan unit pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pelayanan Perizinan Berusaha se bagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan sistem Perizinan Berusaha secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pu.sat.
Kepala daerah dapat mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan sis tern Perizinan Berusaha secara elektronik se bagaimana dimaksud pada ayat (4) yang terintegrasi sesuai dengan standar yang ditetapkan Pemerintah Pu.sat.
Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan sistem Perizinan Berusaha secara elektronik se bagaimana dimaksud pada ayat (4) yang terintegrasi dikenai sanksi administratif.
Sanksi administratif se bagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa teguran tertulis kepada gubernur oleh Menteri dan kepada bupati/wali kota oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pelanggaran yang bersifat administratif.
Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diberikan oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor setelah berkoordinasi dengan Menteri.
Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan oleh kepala daerah:
a.
menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor mengam bil alih pem berian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan gubernur; atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih pem berian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan bupati/wali kota. (10) Pengam bilalihan pem berian Perizinan Berusaha oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a dilakukan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
BAB XII
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 177
Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap setiap pelaksanaan Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha. (2) Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya.
Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan profesi bersertifikat sesuai dengan bidang pengawasan dan pembinaan yang dilakukan.
Dalam hal Aparatur Sipil Negara dan profesi bersertifikat dalam melaksanakan tugasnya menemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif kepada pemegang Perizinan Berusaha.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
peringatan;
penghentian sementara kegiatan berusaha;
pengenaan denda administratif;
pengenaan daya paksa polisional;
pencabutan lisensi/ sertifikasi/ persetujuan; dan/atau
pencabutan Perizinan Berusaha.
Kewenangan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif lainnya dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 178 Setiap pemegang Perizinan Berusaha yang dalam melaksanakan kegiatan/usahanya menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan hidup, selain dikenai sanksi administratif se bagaimana dimaksud dalam Pasal 1 77 ayat (5), pemegang Perizinan Berusaha wajib memulihkan kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan/usahanya. Pasal 179 (1) Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pembinaan.
Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Kewenangan . ., .
Kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 180
Hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikan, dicabut dan dikembalikan kepada negara. (2) Dalam pelaksanaan pengembalian kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat , Pemerintah Pusat dapat menetapkan hak, izin, atau konsesi tersebut sebagai aset bank tanah. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan hak, izin, atau konsesi dan penetapannya sebagai aset bank tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 181
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, setiap peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang yang berlaku dan bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1m atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan putusan pengadilan harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan bersama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi dan sinkronisasi se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 182 Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku:
Perizinan Berusaha dan / a tau sertifikat yang sudah terbit berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perizinan Berusaha dan/ a tau sertifikat;
Persetujuan, izin sektor, sertifikat, dan/atau bentuk perizinan lain yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya persetujuan, izin sektor, sertifikat, dan/atau bentuk perizinan lain;
Badan Usaha yang didirikan berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan berakhir jangka waktu berdirinya Badan U saha;
Perizinan Berusaha yang sedang dalam proses permohonan, di proses berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini;
Segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan badan/lembaga yang dibentuk oleh atau berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan sah dan tetap berlaku sepanjang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik atau tata kelola yang baik. Pasal 183 Lembaga Pengelola Investasi yang dibentuk dengan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilanjutkan berdirinya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP Pasal 184 Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini; dan
b. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini. Pasal 185 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 186 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2022 ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2022 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PRATIKNO I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Rcpublik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiel maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional yang akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski tingkat pengangguran terbuka terus turun, Indonesia masih membutuhkan penciptaan kerja yang berkualitas karena:
Jumlah angkatan kerja pada Februari Tahun 2022 sebanyak 144,01 juta orang, naik 4,20 juta orang dibanding Februari 2021;
Penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, di mana sebanyak 81,33 juta orang (59, 97%) bekerja pada kegiatan informal;
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) memberikan dampak kepada 11,53 juta orang (5,53%) penduduk usia kerja, yaitu pengangguran sebanyak 0,96 juta orang, Bukan Angkatan Kerja sebanyak 0,55 juta orang, tidak bekerja sebanyak 0,58 juta orang, dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja sebanyak 9,44 juta orang;
dibutuhkan kenaikan upah yang pertumbuhannya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas pekerja. Pemerintah Pu.sat telah berupaya untuk perluasan program jaminan dan bantuan sosial yang merupakan komitmen dalam rangka meningkatkan daya saing dan penguatan kualitas sumber daya manusia, serta untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian melalui dukungan jaminan dan bantuan sosial, total manfaat tidak hanya diterima oleh pekerja, namun juga dirasakan oleh kel uarga pekerj a. Terhadap hal tersebut, Pemerintah Pusat perlu mengambil kebijakan strategis untuk menciptakan dan memperluas kerja melalui peningkatan investasi, mendorong pengembangan dan peningkatan kualitas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Untuk dapat meningkatkan penciptaan dan perluasan kerja, diperlukan pertumbuhan ekonomi stabil dan konsisten naik setiap tahunnya. Namun upaya tersebut dihadapkan dengan kondisi saat ini, terutama yang menyangkut terjadinya pelemahan pertumbuhan ekonomi yang bersamaan dengan kenaikan laju harga (yang dikenal dengan fenomena stagflasi). Pada laporan the World Economic Outlook (WEO) Oktober Tahun 2022, International Monetary Fund (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan globalnya menjadi 3,2% pada Tahun 2022 dari sebelumnya di angka 3,6% di WEO pada April Tahun 2022. Kondisi perekonomian dunia diproyeksikan akan memburuk di Tahun 2023, turun pada level 2,7%, jauh di bawah angka 4,9% yang dilaporkan WEO pada Oktober Tahun 2021. Revisi pertumbuhan paling tajam dilaporkan untuk perekonomian utama Eropa, perekonomian Amerika Serikat, dan perekonomian Republik Rakyat Tiongkok. Pertumbuhan Amerika Serikat diproyesikan akan turun pada level 1,0% di Tahun 2023, dari ekspektasi 1,6% di Tahun 2022 dan 5, 7% di Tahun 2021. Ekonomi Zona Eropa yang tumbuh sebesar 5,2% di Tahun 2021 diprediksi akan turun pada level 3, 1 % Tahun 2022 dan 0,5% di Tahun 2023. Perekonomian Republik Rakyat Tiongkok diperkirakan tumbuh sekitar 3,2% di Tahun 2022 dan 4,4% di Tahun 2023, jauh di bawah 8, 1 % yang dilaporkan tahun lalu. Yang terjadi di dunia saat ini, permasalahan supply chains atau mata rantai pasokan yang dalam berdampak pada keterbatasan suplai, terutama pada barang-barang pokok, seperti makanan dan energi. Keterbatasan pasokan yangjauh lebih parah dari pada turunnya permintaan berdampak pada kenaikan inflasi yang tidak pernah terjadi selama 40 tahun terakhir di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Ekonomi pasar yang disurvei Bloomberg pada pertengahan Tahun 2022 mengantisipasi laju inflasi dunia di atas 6% di Tahun 2022, jauh lebih tinggi dari pada angka di sekitar 2% berdasarkan survei Bloomberg di akhir Tahun 2021. Perekonomian Indonesia akan terdampak akibat stagflasi global yang sudah terlihat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tadinya diproyeksikan IMF akan pada kisaran 6% pada Tahun 2022 (WEO, Oktober 2021) telah dipangkas turun cukup signifikan. Survei Bloomberg dan laporan IMF (WEO, Oktober 2022), Bank Dunia dan Asian Development Bank melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya pada kisaran 5, 1 % - 5,3% untuk Tahun 2022, dan turun pada level 4,8% di Tahun 2023. Pada saat bersamaan tekanan inflasi sudah mulai terlihat, di mana laju inflasi pada akhir Kuartal III Tahun 2022 sudah mencapai hampir 6% year-on- year, dibandingkan dengan level di kisaran 3% di Kuartal I Tahun 2022. Tingkat ketidakpastian (uncertainties) yang tinggi pada perekonomian dunia, terutama didorong oleh kondisi geopolitik, mendorong risiko pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih lemah dan inflasi yang lebih tinggi. Respon standar bauran kebijakan, khususnya antara kebijakan moneter dan fiskal, yang terus diperkuat semenjak awal pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) akan semakin dibutuhkan. Di era stagflasi, koordinasi kebijakan menjadi jauh lebih kompleks, di mana pemerintah harus menavigasi antara mendukung pertumbuhan ekonomi dan menahan inflasi. Di tengah kondisi global yang bergejolak dan keterbatasan ruang gerak dari kebijakan makro, penguatan fundamental ekonomi domestik untuk menjaga daya saing ekonomi domestik harus menjadi prioritas utama. Stabilitas kekuatan permintaan domestik, terutama konsumsi privat dan investasi di tengah meningkatnya tekanan harga dan terpuruknya pertumbuhan global, sangat bergantung pada kemampuan Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik pasar domestik bagi investor. Di sini pelaksanaan reformasi struktural yang komprehensif yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja menjadi sangat penting dan urgen. Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait dengan:
peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja;
kemudahan, pemberdayaan, dan pelindungan Koperasi dan UMK-M; dan Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha paling sedikit memuat pengaturan mengenai penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah menggunakan metode omnibus (omnibus law). Namun Undang-Undang tersebut telah dilakukan pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menetapkan amar putusan, antara lain:
pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan; dan
melakukan perbaikan dalamjangka waktu 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU- XVIII/2020 tersebut, telah dilakukan:
Menetapkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah mengatur dan memuat metode omnibus dalam penyusunan undang-undang dan telah memperjelas partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2022 tersebut, maka penggunaan metode omnibus telah memenuhi cara dan metode yang pasti, baku, dan standar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. b. Meningkatkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) yang mencakup 3 (tiga) komponen yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Untuk itu Pemerintah Pusat telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja (Satgas UU Cipta Kerja) yang memiliki fungsi untuk melaksanakan proses sosialisasi dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerj Satgas UU Cipta Kerja bersama kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan telah melaksanakan proses sosialisasi di berbagai wilayah yang diharapkan dapat meningkatkan pemahaman serta kesadaran masyarakat terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Selanjutnya, juga telah dilakukan perbaikan kesalahan teknis penulisan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 antara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak su bstansial. Selain sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 /PUU-XVIII/ 2020 terse but, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tentang Cipta Kerjajuga melakukan perbaikan rumusan ketentuan umum Undang-Undang sektor yang diundangkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan perbaikan rumusan ketentuan umum (batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim, dan hal-hal yang bersifat umum) tersebut, maka ketentuan yang ada dalam Undang- Undang sektor yang tidak diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja harus dibaca dan dimaknai sama dengan yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tentang Cipta Kerja. Sebagai tindak lanjut berikutnya, perlu menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja uqtuk melakukan perbaikan dan penggantian atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini meliputi:
peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
ketenagakerjaan;
kemudahan, pelindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M;
kemudahan berusaha;
dukungan riset dan inovasi;
pengadaan tanah;
kawasan ekonomi;
investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional;
pelaksanaan administrasi pemerin tahan; dan J. pengenaan sanksi. Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, kondisi tersebut di atas telah memenuhi parameter sebagai kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain:
karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam kegentingan yang memaksa, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "pemerataan hak" adalah bahwa penciptaan kerja untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyat Indonesia dilakukan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan "kepastian hukum" adalah bahwa penciptaan kerja dilakukan sejalan dengan penciptaan iklim usaha kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya. Huruf c Yang dimaksud dengan "kemudahan berusaha" adalah bahwa penciptaan kerja yang didukung dengan proses berusaha yang sederhana, mudah, dan cepat akan mendorong peningkatan investasi, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah untuk memperkuat perekonomian yang mampu membuka seluas-luasnya lapangan kerja bagi rakyat Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan "kebersamaan" adalah bahwa penciptaan kerja dengan mendorong peran seluruh dunia usaha dan usaha mikro, kecil, dan menengah termasuk Koperasi secara bersama- sama dalam kegiatannya untuk kesejahteraan rakyat. Huruf e Yang dimaksud dengan "kemandirian" adalah bahwa pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah termasuk Koperasi dilakukan dengan tetap mendorong, menjaga, dan mengedepankan potensi dirinya. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha berbasis risiko" adalah pemberian Perizinan Berusaha dan pelaksanaan pengawasan berdasarkan tingkat risiko usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksud dengan "tingkat risiko" adalah potensi terjadinya suatu bahaya terhadap kesehatan, keselamatan, lingkuhgan, pemanfaatan sumber daya alam dan / a tau bahaya lainnya yang masuk ke dalam kategori rendah, menengah, atau tinggi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d - 8 - Yang dimaksud dengan "pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya" termasuk di dalamnya penggunaan frekuensi radio. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "aspek lainnya" termasuk aspek keamanan atau pertahanan sesuai dengan kegiatan usaha. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "risiko volatilitas" yaitu risiko yang memiliki kecenderungan untuk mudah berubah. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1) Huruf a Contoh kegiatan usaha berisiko menengah rendah antara lain wisata agro dan jasa manajemen hotel. Huruf b Contoh kegiatan usaha berisiko menengah tinggi antara lain industri mesin pendingin dan industri konstruksi berat siap pasang dari baja untuk bangunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 6
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 8
Ayat (1) Huruf a ettfi e f) ' . ---. . .......: : : : : : ~ PRESIOEN REPUBLIK INDONESIA - 10 - Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Kerja sama Penataan Ruang antarnegara melibatkan negara lain sehingga terdapat aspek hubungan antarnegara yang merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Yang termasuk kerja sama Penataan Ruang antarnegara adalah kerja sama Penataan Ruang di kawasan perbatasan negara. Pemberian wewenang kepada Pemerintah Pusat dalam memfasilitasi kerja sama Penataan Ruang antarprovinsi dimaksudkan agar kerja sama Penataan Ruang memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh provinsi yang bekerja sama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Penyebarluasan informasi dilakukan antara lain melalui media elektronik, media cetak, dan media komunikasi lain, sebagai bentuk pewujudan asas keterbukaan dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang. Huruf b Standar pelayanan merupakan hak dan kewajiban penerima dan pemberi layanan yang disusun sebagai alat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata. Standar pelayanan bidang Penataan Ruang disusun oleh Pemerintah Pusat dan diberlakukan untuk seluruh Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menjamin mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka Penyelenggaraan Penataan Ruang. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 9
Ayat (1) Penyelenggaraan Penataan Ruang oleh Pemerintah Pusat mencakup antara lain pengaturan, pembinaan, pengawasan Penataan Ruang lintas sektor, lintas Wilayah dan lintas pemangku kepentingan yang dapat dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui komite atau forum. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5
Pasal 10
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 11
Cukup jelas. Angka 7 SK No 137376 A
Pasal 14
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Rencana rinci Tata Ruang merupakan penjabaran rencana umum Tata Ruang yang dapat berupa Rencana Tata Ruang Kawasan strategis yang penetapan kawasannya tercakup di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah. Rencana rinci Tata Ruang merupakan operasionalisasi rencana umum Tata Ruang yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga muatan rencana masih dapat disempurnakan dengan tetap mematuhi batasan yang telah diatur dalam rencana rinci dan peraturan zonasi. Ayat (2) Rencana umum Tata Ruang dibedakan menurut Wilayah administrasi pemerintahan karena kewenangan mengatur Pemanfaatan Ruang dibagi sesuai dengan pembagian administrasi pemerin tahan. Huruf a Cukup jelas. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Secara administrasi pemerintahan, Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dan Rencana Tata Ruang Wilayah kota memiliki kedudukan yang setara. Ayat (3) Huruf a Rencana Tata Ruang pulau/kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional merupakan rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf b Rencana detail Tata Ruang kabupaten/kota merupakan rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Angka 8 Huruf b Ef ektivitas pen era pan Rencana Tata Ruang sangat dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta dalam Rencana Tata Ruang. Perencanaan Tata Ruang yang mencakup Wilayah yang luas pada umumnya memiliki tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta yang tidak rinci. Oleh karena itu, dalam penerapannya masih diperlukan perencanaan yang lebih rinci. Apabila Perencanaan Tata Ruang yang mencakup Wilayah yang luasnya memungkinkan pengaturan dan penyediaan peta dengan tingkat ketelitian tinggi, rencana rinci tidak diperlukan. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 14A
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 17
Ayat (1) SK No 137378 A Cukup jelas. Ayat (2) Dalam sistem Wilayah, pusat permukiman adalah Kawasan Perkotaan yang merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik pada Kawasan Perkotaan maupun pada Kawasan Perdesaan. Dalam Sistem Internal Perkotaan, pusat permukiman adalah pusat pelayanan kegiatan perkotaan. Sistem jaringan prasarana, antara lain, mencakup sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan ketenagalistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem persampahan dan sanitasi, serta sistem jaringan sumber daya air. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penetapan proporsi luas Kawasan hutan terhadap luas daerah aliran sungai dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan tata air, karena sebagian besar Wilayah Indonesia mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air. Distribusi luas Kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi daerah aliran sungai yang, antara lain, meliputi morfologi, jenis batuan, serta bentuk pengaliran sungai dan anak sungai. Dengan demikian Kawasan hutan tidak harus terdistribusi secara merata pada setiap Wilayah administrasi yang ada di dalam daerah aliran sungai. Ayat (6) Keterkaitan antarwilayah merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarwilayah, yaitu Wilayah nasional, Wilayah provinsi, dan Wilayah kabupaten/kota. Keterkaitan antarfungsi Kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarkawasan, antara lain, meliputi keterkaitan antara Kawasan Lindung dan Kawasan Budi Daya. Keterkaitan antarkegiatan Kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarkawasan, antara lain, meliputi keterkaitan antara Kawasan · Perkotaan dan Kawasan Perdesaan. Ayat (7) Rencana Tata Ruang untuk fungsi pertahanan dan keamanan karena sifatnya yang khusus memerlukan pengaturan tersendiri. Sifat khusus tersebut terkait dengan adanya kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan sebagian informasi untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Rencana Tata Ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem Rencana Tata Ruang Wilayah mengandung pengertian bahwa Penataan Ruang Kawasan pertahanan dan keamanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya keseluruhan Penataan Ruang Wilayah. Angka 10
Pasal 18
Ayat(l) Persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat dimaksudkan agar peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan kebijakan nasional, sedangkan rencana rinci Tata Ruang mengacu pada rencana umum Tata Ruang. Selain itu, persetujuan tersebut dimaksudkan pula untuk menjamin kesesuaian muatan peraturan daerah, baik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dengan pedoman bidang penataan ruang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 11
Pasal 20
Ayat(l) Huruf a Tujuan Penataan Ruang Wilayah nasional mencerminkan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarwilayah, dan antarpemangku kepentingan. Kebijakan dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional merupakan landasan bagi pembangunan nasional yang memanfaatkan Ruang. Kebijakan dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional dirumuskan dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketersediaan data dan informasi, serta pembiayaan pembangunan. Kebijakan dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional, antara lain, dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global, serta mewujudkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Huruf b Sistem perkotaan nasional dibentuk dari Kawasan Perkotaan dengan skala pelayanan yang berhierarki yang meliputi pusat kegiatan skala nasional, pusat kegiatan skala Wilayah, dan pusat kegiatan skala lokal. Pusat kegiatan tersebut didukung dan dilengkapi dengan jaringan prasarana Wilayah yang tingkat pelayanannya disesuaikan dengan hierarki kegiatan dan kebutuhan pelayanan. Sistem jaringan prasarana utama merupakan sistem primer yang dikembangkan untuk mengintegrasikan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selain untuk melayani kegiatan berskala nasional yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan ketenagalistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air. Yang termasuk dalam sistem jaringan primer yang direncanakan adalah jaringan transportasi untuk menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bagi lalu lintas damai sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Huruf c Pola Ruang Wilayah nasional merupakan gambaran Pemanfaatan Ruang Wilayah nasional, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang bersifat strategis nasional, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Kawasan Lindung nasional, antara lain, Kawasan Lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu Wilayah provinsi, Kawasan Lindung yang memberikan pelindungan terhadap Kawasan bawahannya yang terletak di Wilayah provinsi lain, Kawasan Lindung yang dimaksudkan untuk melindungi warisan kebudayaan nasional, Kawasan hulu daerah aliran sungai suatu bendungan atau waduk, dan Kawasan Lindung lain yang menurut peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Kawasan Lindung nasional adalah Kawasan yang tidak diperkenankan dan/atau dibatasi pemanfaatan ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, warisan budaya dan sejarah, serta untuk mengurangi dampak dari bencana alam. Kawasan Budi Daya yang mempunyai nilai strategis nasional, antara lain Kawasan yang dikembangkan untuk mendukung fungsi pertahanan dan keamanan nasional, Kawasan industri strategis, Kawasan pertambapgan sumber daya alam strategis, Kawasan Perkotaan, Kawasan Metropolitan, dan Kawasan Budi Daya lain yang menurut peraturan perundang-undangan penzman dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Huruf d Yang termasuk Kawasan Strategis Nasional adalah Kawasan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai Kawasan khusus. Huruf e lndikasi program utama merupakan petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan dalam rangka mewujudkan Pemanfaatan Ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program Pemanfaatan Ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan Penataan Ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama 5 (lima) tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun. Huruf f Cukup jelas. Ayat (2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan Ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan Pemanfaatan Ruang. Ayat (3) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang. Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional berakhir, dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang baru, hak yang telah dimiliki Orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional tetap diakui. Ayat (4) Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan Pemanfaatan Ruang. Hasil pemnJauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
perlu dilakukan revisi karena ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang akibat perkembangan teknologi dan/atau keadaan yang bersifat mendasar; atau
tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang akibat perkembangan teknologi dan keadaan yang bersifat mendasar. Ayat (5) Peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun hanya apabila memenuhi syarat terjadinya perubahan lingkungan strategis. Peninjauan ke~bali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan Pemanfaatan Ruang. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ayat (6) Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan Wilayah, dan pengembangan ekonomi. Cukup jelas. Angka 12
Pasal 22
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 23
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Rencana Struktur Ruang Wilayah provinsi merupakan arahan pewujudan sistem perkotaan dalam Wilayah provinsi dan jaringan prasarana Wilayah provinsi yang dikembangkan untuk mengintegrasikan Wilayah provinsi selain untuk melayani kegiatan skala provinsi yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energ1 dan ketenagalistrikan, sis tern jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari daerah aliran sungai. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi digambarkan sistem perkotaan dalam Wilayah provinsi dan peletakan jaringan prasarana Wilayah yang menurut peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan Struktur Ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Rencana Struktur Ruang Wilayah provinsi memuat rencana Struktur Ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf c Pola Ruang Wilayah provinsi merupakan gambaran Pemanfaatan Ruang Wilayah provinsi, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan provinsi apabila dikelola oleh Pemerin tah Dae rah provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan Pola Ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Kawasan Lindung provinsi adalah Kawasan Lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari 1 (satu) Wilayah kabupaten/kota, Kawasan Lindung yang memberikan pelindungan terhadap Kawasan bawahannya yang terletak di Wilayah kabupaten/kota lain, dan Kawasan Lindung lain yang menurut peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi. Kawasan Budi Daya yang mempunyai nilai strategis provinsi merupakan Kawasan Budi Daya yang dipandang sangat penting bagi upaya pencapaian pembangunan provinsi dan/atau menurut peraturan perundang- undangan penzman dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi. Kawasan Budi Daya yang memiliki nilai strategis provinsi dapat berupa Kawasan permukiman, Kawasan kehutanan, Kawasan pertanian, Kawasan pertambangan, Kawasan perindustrian, dan Kawasan pariwisata. Rencana Pola Ruang Wilayah kabupaten memuat Rencana Pola Ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf d Indikasi program utama adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan, dalam rangka mewujudkan Pemanfaatan Ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program Pemanfaatan Ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan Penataan Ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama 5 (lima) tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi menjadi acuan bagi instansi Pemerintah Daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan Ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan Pemanfaatan Ruang di daerah yang bersangkutan. Selain itu, rencana tersebut menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan Pemanfaatan Ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah provms1 dan rencana pembangunan jangka panjang provms1 serta rencana pembangunan jangka menengah provinsi merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu. Ayat (3) Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang daerah. Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi berakhir, maka dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi yang baru hak yang telah dimiliki Orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi tetap diakui. Ayat (4) Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan Pemanfaatan Ruang. Hasil peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi berisi rekomendasi tindak lanjut, sebagai berikut:
perlu dilakukan revisi karena adanya perubahan kebijakan dan strategi nasional yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang Wilayah provinsi dan/atau terjadi dinamika internal provinsi yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang provinsi secara mendasar; atau
tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada perubahan kebijakan dan strategi nasional dan tidak terjadi dinamika internal provinsi yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang provinsi secara mendasar. Ayat (5) Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun dilakukan apabila dinamika internal provinsi yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang provinsi secara mendasar diakibatkan terjadinya perubahan lingkungan strategis yang antara lain dikarenakan adanya bencana alam, perubahan batas teritorial, perubahan batas Wilayah dan/atau perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang provinsi dan / a tau dinamika internal provinsi yang tidak mengu bah kebijakan dan strategi Pemanfaatan Ruang Wilayah nasional. Peninjauan kembali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan Pemanfaatan Ruang. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan Wilayah, dan pengembangan ekonomi. Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 14
Pasal 24
Dihapus. Angka 15
Pasal 25
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Daya dukung dan daya tampung Wilayah kabupaten diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang penyusunannya dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Angka 16
Pasal 26
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Struktur Ruang Wilayah kabupaten merupakan gambaran sistem perkotaan Wilayah kabupaten dan jaringan prasarana Wilayah kabupaten yang dikembangkan uhtuk mengintegrasikan Wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan ketenagalistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistemjaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari daerah aliran sungai. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten digambarkan sistem pusat kegiatan Wilayah kabupaten dan perletakan jaringan prasarana Wilayah yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten. Rencana Struktur Ruang Wilayah kabupaten memuat rencana Struktur Ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi yang terkait dengan Wilayah kabupaten yang bersangkutan. Huruf c Pola Ruang Wilayah kabupaten merupakan gambaran Pemanfaatan Ruang Wilayah kabupaten, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi. Pola Ruang Wilayah kabupaten dikembangkan dengan sepenuhnya memperhatikan Pola Ruang Wilayah yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi. Rencana Pola Ruang Wilayah kabupaten memuat rencana Pola Ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi yang terkait dengan Wilayah kabupaten yang bersangku tan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan Ruang serta dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan Pemanfaatan Ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan Pemanfaatan Ruang, sehingga Pemanfaatan Ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten. Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten yang dapat disusun sebagai instrumen pemanfaatan ruang untuk mengoptimalkan kegiatan pertanian yang dapat berbentuk Kawasan Agropolitan. Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dan rencana pembangunan jangka panjang daerah merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten mengacu pada rencana pembangunan jangka panjang kabupaten begitu juga sebaliknya. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal serta pelaksanaan Pemanfaatan Ruang. Hasil peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
perlu dilakukan revisi karena adanya perubahan kebijakan dan strategi nasional dan / a tau provinsi yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang Wilayah kabupaten dan/atau terjadi dinamika internal kabupaten yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang kabupaten secara mendasar; atau
tidak perlu dilakukan revisi karena tidak ada perubahan kebijakan dan strategi nasional dan/atau provinsi dan tidak terjadi dinamika internal kabupaten yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang kabupaten secara mendasar. Ayat (6) Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun atau lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dilakukan apabila strategi Pemanfaatan Ruang dan Struktur Ruang Wilayah kabupaten yang bersangkutan menuntut adanya suatu perubahan yang mendasar sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan strategis. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ayat (7) Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan Wilayah, dan pengembangan ekonomi. Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Angka 17
Pasal 27
Dihapus. Angka 18 Pasal 34A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "rencana zonasi" adalah rencana pengelolaan Ruang laut yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 19 Pasal 35 Pengendalian Pemanfaatan Ruang dimaksudkan agar Pemanfaatan Ruang dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Angka 20 Pasal 37 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 49 Dihapus. Angka 23 Pasal 50 Dihapus. Angka 24 Pasal 51 Dihapus. Angka 25
Pasal 52
Dihapus. Angka 26
Pasal 53
Dihapus. Angka 27
Pasal 54
Dihapus. Angka 28
Pasal 60
SK No 137394 A Huruf a Setiap Orang dapat mengetahui Rencana Tata Ruang melalui Lembaran Negara atau Lembaran Daerah, pengumuman, dan/atau penyebarluasan oleh pemerintah. Pengumuman atau penyebarluasan tersebut dapat diketahui setiap Orang, antara lain melalui pemasangan peta Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan pada tempat umum, kantor kelurahan, dan/atau kantor yang secara fungsional menangani Rencana Tata Ruang tersebut. Huruf b Pertambahan nilai Ruang dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan yang dapat berupa dampak langsung terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan. Huruf c Yang dimaksud dengan "penggantian yang layak" adalah bahwa nilai atau besarnya penggantian tidak menurunkan tingkat kesejahteraan Orang yang diberi penggantian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hurufd Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Angka 29
Pasal 61
SK No 137395 A Huruf a Menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan dimaksudkan sebagai kewajiban setiap Orang untuk memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dari pejabat yang berwenang sebelum pelaksanaan Pemanfaatan Ruang. Huruf b Memanfaatkan Ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap Orang untuk melaksanakan Pemanfaatan Ruang sesuai dengan fungsi Ruang. Huruf c Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap Orang untuk memenuhi ketentuan amplop Ruang dan kualitas Ruang. Huruf d Pemberian akses dimaksudkan untuk menjamin agar masyarakat dapat mencapai Kawasan yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan sebagai milik umum. Kewajiban memberikan akses dilakukan apabila memenuhi syara t se bagai beriku t:
untuk kepentingan masyarakat umum; dan/atau
tidak ada akses lain menuju Kawasan dimaksud. Yang termasuk dalam Kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum, antara lain, adalah sumber air dan pesisir pantai. Angka 30 Pasal 62 Cukup jelas. Angka 31 Pasal 65 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 69 Cukup jelas. Angka 33 Pasal 70 Cukup jelas. Angka 34 Pasal 71 Cukup jelas. Angka 35 Pasal 72 Dihapus. Angka 36 Pasal 73 Cukup jelas. Angka 37 Pasal 74 Cukup jelas. Angka 38 Pasal 75 Cukup jelas. PRESIOEN REPUBLIK INDONESIA - 32 -
Pasal 18
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 7
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 7A
Cukup jelas.
Pasal 7B
Cukup jelas.
Pasal 7C
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 8
Dihapus. Angka 5
Pasal 9
Dihapus. Angka 6
Pasal 10
Dihapus. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 33 - Angka 7
Pasal 11
Dihapus. Angka 8
Pasal 12
Dihapus. Angka 9
Pasal 13
Dihapus. Angka 10
Pasal 14
Dihapus. Angka 11 Cukup jelas. Angka 12
Pasal 16
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 16A
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 17A
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 34 - Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kebijakan nasional yang bersifat strategis" antara lain proyek strategis nasional atau kegiatan strategis nasional lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang- undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Angka 16
Pasal 18
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 17
Pasal 19
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 20
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "memfasilitasi" dapat berupa kemudahan persyaratan dan pelayanan cepat. Ayat (2) Angka 19
Pasal 22
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 20
Pasal 22A
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Termasuk dalam kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi. Angka 21
Pasal 22B
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 22C
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 26A
Cukup jelas. Angka 24
Pasal 26B
Cukup jelas. Angka 25
Pasal 50
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 51
Cukup jelas. Angka 27
Pasal 60
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "wilayah penangkapan ikan secara tradisional" adalah wilayah penangkapan ikan untuk kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisional. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf 1 Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 28
Pasal 71
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 71A
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 73A
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 75
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 75A
Dihapus. Angka 33
Pasal 78A
PRESIOEN REPUBLIK INDONESIA - 38 - Penetapan melalui peraturan perundang-undangan adalah penetapan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pasal 19
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 32
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 42
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 43
Ayat (1) SK No 137403 A Perencanaan ruang Laut merupakan suatu proses untuk menghasilkan rencana tata ruang Laut dan/atau rencana zonasi untuk menentukan struktur ruang Laut dan pola ruang Laut. Struktur ruang Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan Kelautan dan sistem jaringan prasarana dan sarana Laut yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang Laut meliputi kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur Laut, dan kawasan strategis nasional tertentu. Perencanaan ruang Laut dipergunakan untuk menentukan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan Laut, industri maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk melindungi kelestarian Sumber Daya Kelautan; serta untuk menentukan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/ kabel bawah Laut, dan migrasi biota Laut. Huruf a Perencanaan tata ruang Laut nasional mencakup wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Rencana zonasi kawasan strategis nasional merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional. Rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional tertentu. Yang dimaksud dengan "kawasan antarwilayah" antara lain:
teluk misalnya Teluk Tomini, Teluk Bone, dan Teluk Cendrawasih;
selat misalnya Selat Makassar, Selat Sunda, dan Selat Karimata; dan
Laut misalnya Laut Jawa, Laut Arafura, dan Laut Sawu. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 5
Pasal 43A
Ayat (1) Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Perencanaan ruang Laut menggunakan sifat komplementer antarhasil perencanaan ruang. Jika dalam dokumen perencanaan ruang yang le bih rinci tidak terdapat alokasi ruang atau pola ruang untuk suatu kegiatan pemanfaatan ruang Laut maka menggunakan rencana tata ruang atau rencana zonasi kawasan antarwilayah. Angka 6
Pasal 47
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 47A
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 48
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 49
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 49A
Cukup jelas.
Pasal 49B
Cukup jelas.
Pasal 20
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 7
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 12
Dihapus. Angka 4
Pasal 13
Ayat (1) PRESIDEN REPLIBLIK INDONESIA - 42 - Yang dimaksud dengan "pasang surut air laut" adalah naik turunnya posisi muka air laut yang disebabkan pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "garis pantai ditentukan dengan mengacu pada JKVN" adalah garis pantai dan JKVN membentuk suatu kesatuan, karena pengamatan pasang surut diperlukan dalam membangun JKVN dan JKVN diperlukan dalam menentukan garis pantai. Angka 5
Pasal 17
Ayat(l) Yang dimaksud dengan "bertahap" adalah diselenggarakan secara berjenjang, wilayah demi wilayah, skala demi skala, atau berselang waktu sesuai dengan prioritas kepentingan. Yang dimaksud dengan "sistematis" adalah diselenggarakan secara teratur sesuai dengan sistem dan teknis pemetaan. Yang dimaksud dengan "wilayah yurisdiksi" adalah wilayah di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "jangka waktu tertentu" adalah jangka waktu untuk memutakhirkan IG yang ditentukan berdasarkan kondisi, teknologi, kebutuhan, prioritas, dan anggaran yang tersedia. Yang dimaksud dengan "periodik" adalah kurun waktu tertentu, misalnya setiap 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun, atau 10 (sepuluh) tahun. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6
Pasal 18
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 22A
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 28
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "daerah terlarang" adalah daerah yang oleh instansi yang berwenang dinyatakan terlarang pada kurun waktu tertentu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Angka 9
Pasal 55
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 10
Pasal 56
Dihapus.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 20
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "baku mutu air" adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air. Hurufb Yang dimaksud dengan "baku mutu air Limbah" adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air. Huruf c Yang dimaksud dengan "baku mutu air laut" adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air la u t. Huruf d Yang dimaksud dengan "baku mutu udara ambien" adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Huruf e Yang dimaksud dengan "baku mutu emisi" adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara. Huruf f Yang dimaksud dengan "baku mutu gangguan" adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3 SK No 137410 A
Pasal 24
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "keputusan kelayakan Lingkungan Hidup" adalah keputusan yang menyatakan kelayakan Lingkungan Hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal. Yang dimaksud dengan "persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah" adalah bentuk keputusan yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah se bagai dasar pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 25
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f - 47 - Rencana pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasi dampak suatu usaha dan/atau kegiatan. Angka 5
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 27
Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain lembaga penyusun Amdal atau konsultan. Angka 7
Pasal 28
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 29
Dihapus. Angka 9
Pasal 30
Dihapus. Angka 10
Pasal 31
Dihapus. Angka 11
Pasal 32
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 34
Ayat (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 48 - Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pernyataan kesanggupan pengelolaan Lingkungan Hidup" adalah standar pengelolaan Lingkungan Hidup dan pemantauan Lingkungan Hidup dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 13
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 36
Dihapus. A~gka 15
Pasal 37
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 38
Dihapus. Angka 17
Pasal 39
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 40
Dihapus. Angka 19
Pasal 55
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 59
Ayat (1) Pengelolaan Limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan Limbah B3. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan Limbah B3 dan telah mendapatkan Perizinan Berusaha. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 21
Pasal 61
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 61A
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 63
Cukup jelas. Angka 24
Pasal 69
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Kearifan Lokal" adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 (dua) hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Angka 25
Pasal 71
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 72
Cukup jelas. Angka 27
Pasal 73
Cukup jelas. Angka 28
Pasal 76
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 77
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 79
Dihapus. Angka 31
Pasal 82
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 82A
Cukup jelas.
Pasal 82B
Cukup jelas.
Pasal 82C
Cukup jelas. Angka 33
Pasal 88
Yang dimaksud dengan "bertanggung jawab mutlak (strict liability)" adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan Pasal ini merupakan ketentuan khusus (lex specialis) dalam gugatan mengenai perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak Lingkungan Hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai "batas tertentu". Yang dirnaksud dengan "batas tertentu" adalah jika rnenurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan / a tau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana Lingkungan Hidup. Angka 34
Pasal 93
Dihapus. Angka 35
Pasal 102
Dihapus. Angka 36
Pasal 109
Cukup jelas. Angka 37
Pasal 110
Dihapus. Angka 38
Pasal 111
Cukup jelas. Angka 39
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 5
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 6
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 7
Ayat (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 54 - Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "Bangunan Gedung adat" adalah Bangunan Gedung yang didirikan berdasarkan kaidah- kaidah adat atau tradisi Masyarakat sesuai budayanya, misalnya bangunan rumah adat. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 5
Pasal 8
Dihapus. Angka 6
Pasal 9
Dihapus. Angka 7
Pasal 10
Dihapus. Angka 8
Pasal 11
Dihapus. Angka 9
Pasal 12
Dihapus. Angka 10
Pasal 13
Dihapus. Angka 11
Pasal 14
Dihapus. Angka 12
Pasal 15
Ayat (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 55 - Yang dimaksud dengan "dampak penting" adalah perubahan yang sangat mendasar pada suatu lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Bangunan Gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan adalah Bangunan Gedung yang dapat menyebabkan:
perubahan pada sifat-sifat fisik dan/atau hayati lingkungan, yang melampaui baku mutu lingkungan menurut peraturan perundang-undangan;
perubahan mendasar pada komponen lingkungan yang melampaui kriteria yang diakui berdasarkan pertimbangan ilmiah;
terancam dan/atau punahnya spesies-spesies yang langka dan/atau endemik, dan/atau dilindungi menurut peraturan perundang-undangan atau kerusakan habitat alaminya;
kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung (seperti hutan lindung, cagar alam, taman nasional, dan suaka margasatwa) yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan;
kerusakan atau punahnya benda-benda dan Bangunan Ged ung peninggalan sej arah yang bernilai tinggi;
perubahan areal yang mempunyai nilai keindahan alami yang tinggi; dan/atau
timbulnya konflik atau kontroversi dengan Masyarakat dan/atau pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 13
Pasal 16
Dihapus. Angka 14
Pasal 17
Dihapus. Angka 15
Pasal 18
Dihapus. Angka 16
Pasal 19
Dihapus. Angka 17
Pasal 20
Dihapus. Angka 18
Pasal 21
Dihapus. Angka 19
Pasal 22
Dihapus. Angka 20
Pasal 23
Dihapus. Angka 21
Pasal 24
Dihapus. Angka 22
Pasal 25
Dihapus. Angka 23
Pasal 26
Dihapus. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 57 - Angka 24
Pasal 27
Dihapus. Angka 25
Pasal 28
Dihapus. Angka 26
Pasal 29
Dihapus. Angka 27
Pasal 30
Dihapus. Angka 28
Pasal 31
Dihapus. Angka 29
Pasal 32
Dihapus. Angka 30 SK No 137422 A
Pasal 33
Dihapus. PRESIDEN REPUBLIK. INDONESIA - 58 - Angka 31
Pasal 34
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan mengenai Penyedia Jasa Konstruksi mengikuti peraturan perundang-undangan mengenai jasa konstruksi. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 32
Pasal 35
SK No 137423 A Ayat (1) Perencanaan pembangunan Bangunan Gedung adalah kegiatan penyusunan rencana teknis Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi dan persyaratan teknis yang ditetapkan, sebagai pedoman dalam pelaksanaan dan pengawasan pem bangunan. Pelaksanaan pembangunan Bangunan Gedung adalah kegiatan pendirian, perbaikan, penambahan, perubahan, atau pemugaran konstruksi Bangunan Gedung dan/atau instalasi dan/atau perlengkapan Bangunan Gedung sesuai dengan rencana teknis yang telah disusun. Pengawasan pembangunan Bangunan Gedung adalah kegiatan pengawasan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan hasil akhir pekerjaan atau kegiatan manajemen konstruksi Bangunan Gedung. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "perjanjian tertulis" adalah akta otentik yang memuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban setiap pihak, jangka waktu berlakunya perjanjian, dan ketentuan lain yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Kesepakatan perjanjian sebagaimana dimaksud di atas harus memperhatikan fungsi Bangunan Gedung dan bentuk pemanfaatannya, baik keseluruhan maupun sebagian. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "penyedia jasa perencana konstruksi" antara lain arsitek, ahli struktur, ahli mechanical, ahli electrical, dan ahli plumbing. Ayat (6) Yang dimaksud dengan "pengujian" antara lain berupa hasil uji laboratorium, simulasi, dan/atau analisis. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Prototipe telah menyesuaikan dengan kondisi geografis pada rencana lokasi Bangunan Gedung. Angka 33
Pasal 36
Dihapus. Angka 34
Pasal 36A
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat" merupakan Sistem Informasi Manajemen Bangunan Ge dung yang diperuntukkan bagi Bangunan Gedung bukan untuk kegiatan usaha, dan pelayanan Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik yang diperuntukkan bagi Bangunan Gedung untuk kegiatan usaha.
Pasal 36B
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas Hurufb Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan "pengujian" adalah pelaksanaan pengetesan instalasi mekanis dan elektrik Bangunan Gedung. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 35
Pasal 37
Ayat (1) Yang dimaksud "laik fungsi" yaitu berfungsinya seluruh atau sebagian dari Bangunan Gedung yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan, serta persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Ayat(2) . Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 36 Pasal 37A Cukup jelas. Angka 37 Pasal 39 Ayat (1) Huruf a Bangunan Gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki akan membahayakan keselamatan Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung apabila Bangunan Gedung tersebut terus digunakan. Dalam hal Bangunan Gedung dinyatakan tidak laik fungsi tetapi masih dapat diperbaiki, Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung diberikan kesempatan untuk memperbaikinya sampai dengan dinyatakan laik fungsi. Dalam hal Pemilik Bangunan Gedung tidak mampu, untuk rumah tinggal apabila tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki serta membahayakan keselamatan penghuni atau lingkungan, bangunan tersebut harus dikosongkan. Apabila bangunan terse but membahayakan kepentingan umum, pelaksanaan pembongkarannya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Huruf b Yang dimaksud "menimbulkan bahaya" adalah ketika dalam Pemanfaatan Bangunan Gedung dan/atau lingkungannya dapat membahayakan keselamatan Masyarakat dan lingkungan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan status Bangunan Gedung dapat dibongkar setelah mendapatkan hasil pengkajian teknis Bangunan Gedung yang dilaksanakan secara profesional, independen, dan objektif. Ayat (3) Dikecualikan bagi rumah tinggal tunggal, khususnya rumah inti tumbuh dan rumah sederhana sehat. Kedalaman dan keluasan tingkatan pengkajian teknis sangat bergantung pada kompleksitas dan fungsi Bangunan Gedung. Ayat (4) Rencana teknis Pembongkaran Bangunan Gedung termasuk gambar-gambar rencana, gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat pelaksanaan Pembongkaran, jadwal pelaksanaan, serta rencana pengamanan lingkungan. Ayat (5) Cukup jelas. PRES I DEN REPLIBLIK. INDONESIA Angka 38
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 39
Pasal 41
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Tidak dibenarkan memanfaatkan Bangunan Gedung yang tidak sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Pemeriksaan Berkala atas kelaikan fungsi Bangunan Gedung meliputi pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan administratif dan teknis Bangunan Gedung sesuai dengan fungsinya, dengan tingkatan Pemeriksaan Berkala disesuaikan dengan jenis konstruksi, mekanikal dan elektrikal, serta kelengkapan Bangunan Gedung. Pemeriksaan Berkala dilakukan pada periode tertentu, atau karena adanya perubahan fungsi Bangunan Gedung, atau karena adanya bencana yang berdampak penting pada keandalan Bangunan Gedung, seperti kebakaran dan gempa. Pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung dilakukan oleh Pengkaji Teknis yang kompeten dan memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Huruf e Perbaikan dilakukan terhadap seluruh, bagian, komponen, atau bahan Bangunan Gedung yang dinyatakan tidak laik fungsi dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengkaji Teknis, sampai dengan dinyatakan telah laik fungsi. Huruf f Selain Pemilik Bangunan Gedung, Pengguna Bangunan Gedung juga dapat diwajibkan membongkar Bangunan Gedung dalam hal yang bersangkutan terikat dalam perJanJian menggunakan bangunan yang tidak laik fungsi. Ayat (3) Angka 40
Pasal 43
Cukup jelas. Ayat(l) Pembinaan dilakukan dalam rangka tata pemerintahan yang baik melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan, ! dan pengawasan sehingga setiap Penyelenggaraan Bangunan Gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan Bangunan Gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum. Pengaturan dilakukan dengan pelembagaan peraturan perundang-undangan, pedoman, petunjuk, dan standar teknis Bangunan Gedung sampai dengan di daerah dan operasionalisasinya di Masyarakat. Pemberdayaan dilakukan terhadap para penyelenggara Bangunan Gedung dan aparat Pemerintah Daerah untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung. Pengawasan dilakukan melalui pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundang-undangan di bidang Bangunan Gedung dan upaya penegakan hukum. Ayat (2) REPLIBLIK INDONESIA Masyarakat yang terkait dengan Bangunan Gedung seperti Masyarakat ahli, asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, Masyarakat Pemilik Bangunan Gedung dan Pengguna Bangunan Gedung, dan aparat Pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 41 Pasal 44 Pengenaan sanksi tidak berarti membebaskan Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung dari kewajibannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Yang dimaksud dengan "sanksi administratif' adalah sanksi yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung tan pa melalui proses peradilan karena tidak terpenuhinya ketentuan Undang-Undang lnl. Sanksi administratif meliputi beberapa jenis, yang pengenaannya bergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukan oleh Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung. Angka 42 Pasal 45 Cukup jelas. Angka 43 Pasal 46 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "nilai Bangunan Gedung" dalam ketentuan sanksi adalah nilai keseluruhan suatu bangunan pada saat sedang dibangun bagi yang sedang dalam proses pelaksanaan konstruksi, atau nilai keseluruhan suatu Bangunan Gedung yang ditetapkan pada saat sanksi dikenakan bagi Bangunan Gedung yang telah berdiri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 44 Pasal 47A Cukup jelas. Pasal 25 Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 6 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 6A Cukup jelas. Angka 5 Pasal 13 Cukup jelas. Angka 6 Pasal 14 Cukup jelas. REPLIBLIK INDONESIA Angka 7
Pasal 19
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c - 68 - Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan/atau lembaga pengembangan" adalah lembaga Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau swasta. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Angka 8
Pasal 28
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 9
Pasal 34
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 35
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "kebijakan" antara lain kebijakan terkait penyelenggaraan profesi Arsitek. Huruf b Yang dimaksud dengan "pemberdayaan" antara lain berupa penetapan gelar profesi Arsitek (Ar.), penetapan standar pendidikan Arsitektur, dan penetapan standar Praktik Arsitek. Huruf c Yang dimaksud dengan "pengawasan" antara lain pengendalian Praktik Arsi tek. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 11
Pasal 36
Dihapus. Angka 12
Pasal 37
Dihapus. Angka 13
Pasal 38
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 39
Dihapus. Angka 15
Pasal 40
Dihapus. Angka 16
Pasal 41
Dihapus.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 7
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. - 70 - PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Yang dimaksud dengan "sistem pemantauan Kapal Perikanan" adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang Penangkapan Ikan dengan menggunakan peralatan pemantauan Kapal Perikanan yang telah ditentukan, seperti sistem pemantauan Kapal Perikanan (vessel monitoring system/VMS). Huruf 1 Dalam usaha meningkatkan produktivitas suatu perairan dapat dilakukan pene baran Ikan jenis baru, yang kemungkinan menimbulkan efek negatif bagi kelestarian sumber daya Ikan setempat sehingga perlu dipertimbangkan agar penebaran Ikan jenis baru dapat beradaptasi dengan lingkungan sumber daya Ikan setempat dan/atau tidak merusak keaslian Sumber Daya Ikan. Huruf m Yang dimaksud dengan "Penangkapan Ikan berbasis budi daya" adalah penangkapan Sumber Daya Ikan yang berkembang biak dari hasil penebaran kembali. Hurufn Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan Sumber Daya Ikan serta lingkungannya, antara lain, dengan penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang buatan, pembuatan tempat berlindung atau berkembang biak Ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya Ikan, atau pengerukan dasar perairan. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit Ikan bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam wilayah tersebut terjangkit wabah, dan ditetapkan langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah penyakit Ikan dari 1 (satu) wilayah ke wilayah lainnya. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 20A
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 25A
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 27
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 27A
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 28
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 28A
Cukup jelas. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 73 - Angka 10
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 31
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 32
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 33
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 35
Ayat (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 74 - Dalam rangka pengendalian pemanfaatan Sumber Daya Ikan, penataan dan pengendalian terhadap pengadaan kapal baru dan/atau bekas perlu dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung Sumber Daya Ikan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 15
Pasal 35A
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 36
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 38
Ayat (1) Kewajiban menyimpan alat penangkapan Ikan di dalam palka diberlakukan bagi setiap Kapal Perikanan berbendera asing yang melintasi perairan Indonesia, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dan ZEEI. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 18
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 41
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Klasifikasi Pelabuhan Perikanan termasuk di antaranya Pelabuhan Perikanan samudera, Pelabuhan Perikanan nusantara, dan Pelabuhan Perikanan pantai. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Untuk mendukung dan menJamm kelancaran operasional Pelabuhan Perikanan, ditetapkan batas- batas wilayah kerja dan pengoperasian Pelabuhan Perikanan dalam koordinat geografis. Dalam hal wilayah kerja dan pengoperasian Pelabuhan Perikanan berbatasan dan/atau mempunyai kesamaan kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya dilakukan melalui koordinasi dengan instansi yang bersangkutan. Huruf f Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "bongkar muat Ikan" adalah termasuk juga pendaratan Ikan. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 20
Pasal 42
Ayat (1) Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dirnaksud dengan "log boo'Jc' adalah laporan harian nakhoda rnengenai kegiatan Penangkapan Ikan atau pengangkutanikan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf 1 Cukup jelas. Huruf rn Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Syahbandar yang akan diangkat pengusulannya terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Menteri. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 21
Pasal 43
Cukup jelas. Angka 22 Pasa144 Cukup jelas. Angka 23
Pasal 45
Kapal Perikanan yang berlayar tidak dari Pelabuhan Perikanan termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada Pelabuhan Perikanan. Termasuk Kapal Perikanan yang berlayar tidak dari Pelabuhan Perikanan di antaranya kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan tangkahan, pelabuhan rakyat, dan pelabuhan lainnya dimana persetujuan berlayar diberikan setelah memenuhi standar laik operasi dari penga was Perikanan. Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi Kapal Perikanan yang pada daerah tersebut memang tidak ada Pelabuhan Perikanan dan / a tau pelabuhan um um, dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan ini, maka persetujuan berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh syahbandar setempat. Angka 24
Pasal 49
Cukup jelas. Angka 25
Pasal 89
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 92
Cukup jelas. Angka 27
Pasal 93
Cukup jelas. Angka 28
Pasal 94
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 94A
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 95
Dihapus. Angka 31
Pasal 96
Dihapus. Angka 32
Pasal 97
Cukup jelas. Angka 33
Pasal 98
Cukup jelas. Angka 34
Pasal 100B
Cukup jelas. Angka 35 Pasal l00C Cukup jelas. Angka 36
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas. PRESIDEN RE: PUBLIK JNDONESIA - 80 -
Pasal 29
Angka 1
Pasal 14
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 15
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 16
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 18
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 24
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 30
Cukup jelas. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 81 - Angka 8
Pasal 31
Dihapus. Angka 9
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 39
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 42
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 43
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 45
Dihapus. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 82 - Angka 15
Pasal 47
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan sesuai dengan skala usaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Yang dimaksud dengan "kapasitas pabrik tertentu" adalah kapasitas minimal unit Pengolahan Hasil Perkebunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Angka 16
Pasal 48
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 17
Pasal 49
Dihapus. Angka 18
Pasal 50
Dihapus. Angka 19
Pasal 58
Ayat (1) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% (dua puluh persen) hanya ditujukan kepada Pekebun yang mendapatkan lahan untuk Perkebunan yang berasal dari areal penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha dan/atau yang berasal dari areal lahan dari pelepasan hutan. Kewajiban tersebut timbul atas Lahan Perkebunan yang bersumber dari lahan negara. Dalam hal perolehan Lahan Perkebunan dilakukan langsung kepada masyarakat yang diberikan hak guna usaha, maka Pekebun tersebut tidak diwajibkan untuk mem berikan fasili tasi. Kewajiban fasilitasi Perkebunan masyarakat tersebut diintegrasikan dengan kewajiban lainnya yang timbul dalam perolehan Lahan Perkebunan, antara lain dalam hal lahan berasal dari kawasan hutan yang memberikan kewajiban untuk 20% (dua puluh persen) lahan kepada masyarakat dan telah dilaksanakan, maka kewajiban tersebut sudah selesai. Namun Pekebun tetap didorong memberikan fasilitasi kepada masyarakat yang bersifat sukarela agar masyarakat dapat mengembangkan pengelolaan kebunnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 20
Pasal 60
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 67
Ayat (1) Memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup di dalamnya termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha dari Pelaku U saha Perkebunan. Dalam hal ini Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib membina dan memfasilitasi pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup tersebut, khususnya kepada Pekebun. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 22
Pasal 68
Dihapus. Angka 23
Pasal 70
Cukup jelas. Angka 24
Pasal 74
Ayat (1) Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor an tara lain gula te bu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 25
Pasal 75
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 93
Cukup jelas. Angka 27
Pasal 95
Cukup jelas. Angka 28
Pasal 96
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 97
Ayat (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 86 - Yang dimaksud dengan "pembinaan teknis" adalah penerapan budi daya yang baik (good agricultural practices), penerapan pascapanen yang baik (good handling practices), dan penerapan pengolahan yang baik (good manufacturing practices), serta penerapan pengembangan Perkebunan berkelanjutan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 30
Pasal 99
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 103
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 105
Dihapus. Angka 33
Pasal 106
Dihapus. Angka 34
Pasal 30
Pasal 109
Dihapus. Angka 1
Pasal 11
Ayat (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 87 - Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai bentuk formulir permohonan dan tata cara pengisiannya, serta komponen dan besarnya biaya pemrosesan permohonan, contoh surat kuasa khusus, dan bentuk surat pernyataan aman untuk varietas transgenik. Angka 2
Pasal 29
Ayat (1) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah berakhirnya pengumuman, Kantor PVT belum menerima permohonan pemeriksaan tersebut, maka permohonan PVT dianggap ditarik kembali. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 40
Ayat (1) Hak PVT pada dasarnya dapat beralih dari, atau dialihkan oleh pemegang hak PVT kepada perorangan atau badan hukum lain. Yang dimaksud dengan "sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang" misalnya pengalihan hak PVT melalui putusan pengadilan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai persyaratan pengalihan, formulir permohonan pengalihan dan dokumen kelengkapannya, serta komponen dan besarnya biaya pencatatan pengalihan hak PVT. Angka 4
Pasal 43
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai perjanjian lisensi meliputi hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi termasuk bagian-bagian dari pelaksanaan hak PVT yang dilisensikan, jangka waktu, serta bentuk perjanjian lisensi tersebut. Angka 5 Pasa163 Cukup jelas.
Pasal 31
Angka 1
Pasal 19
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 22
Cukup jelas. Angka 3 Pasa132 Cukup jelas. Angka 4 Pasa143 Cukup jelas. Angka 5 Pasa144 Cukup jelas. Angka 6
Pasal 86
Ayat(l) Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah batasan atau persentase yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pelaku Usaha dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 7
Pasal 102
Ayat (1) SK No 137454 A Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pusat data dan informasi paling sedikit menyampaikan data dan informasi mengenai Varietas Tanaman, letak dan luas wilayah, kawasan, dan unit Usaha Budi Daya Pertanian, permintaan pasar, peluang dan tantangan pasar, perkiraan produksi, perkiraan harga, perkiraan pasokan, perkiraan musim tanam dan musim panen, prakiraan iklim, Organisme Pengganggu Tumbuhan serta hama dan penyakit hewan, ketersediaan Prasarana Budi Daya Pertanian, dan ketersediaan Sarana Budi Daya Pertanian. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) ettfl e \ * -----·---==c- Cukup jelas. Angka 8
Pasal 108
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 32
Pasal 111
Dihapus. Angka 1
Pasal 15
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 30
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kebutuhan konsumsi" adalah besarnya rata-rata tingkat konsumsi langsung ataupun tidak langsung perkapita (termasuk kebutuhan industri) dikalikan jumlah penduduk pada waktu tertentu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 101
Dihapus.
Pasal 33
Angka 1
Pasal 15
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 33
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 35A
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 48
Dihapus. Angka 6
Pasal 49
Ayat (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 92 - Pendataan dilakukan dalam rangka pembinaan dan pemberdayaan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 7
Pasal 51
Dihapus. Angka 8
Pasal 52
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 54
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "persyaratan teknis minimal" adalah batasan terendah dari spesifikasi teknis yang diterapkan agar Usaha Hortikultura terlaksana dengan baik, jika standar baku belum ditetapkan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "keamanan pangan Produk Hortikultura" adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan Produk Hortikultura dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 10
Pasal 56
Ayat (1) PRESJOEN REPUBUK INDONESIA Yang dimaksud dengan "Kemitraan" adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha baik langsung maupun tidak langsung antara usaha mikro dan/atau usaha kecil dengan usaha menengah dan/atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan/atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cuku p j elas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "bentuk Kemitraan lainnya" seperti kontrak budi daya, bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan Uoint venture), dan penyumberluaran (outsourcing). Kontrak budi daya merupakan perjanjian jual beli dengan pemesanan pada awal penanaman. Kerja sama operasional meliputi kerja sama pembiayaan, penyediaan sarana produksi, teknis budi daya, manajemen, sampai dengan pemasaran. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 11
Pasal 57
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "introduksi dalam bentuk Benih atau materi induk" adalah pemasukan Benih atau materi induk dari luar negeri untuk pertama kali dan tidak diedarkan atau diperdagangkan, melainkan untuk keperluan pemuliaan tanaman. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "kelompok" adalah kumpulan pelaku usaha yang menyepakati suatu kegiatan, tanggung jawab atau penanganan risiko secara bersama berdasarkan kesamaan jenis usaha, kesamaan komoditas, dan/atau kesamaan ekosistem. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 12
Pasal 63
Dihapus. Angka 13
Pasal 68
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 73
Cukup jelas. Angka 15 REPLIBLIK INDONESIA · - 96 -
Pasal 88
Ayat(l) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ayat (2) Ketentuan mengenai keamanan dan pelindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan mengacu pada perjanjian internasional Sanitary and Phitosanitary dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa- Bangsa. Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan "pintu masuk" bagi impor Produk Hortikultura dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terkait dengan masuknya OPT Karantina, keamanan hayati, spesies asing yang invasif, dan keamanan pangan. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 16
Pasal 90
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 92
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 100
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 101
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 122
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 126
Dihapus. Angka 22
Pasal 128
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 34
Pasal 131
Dihapus. Angka 1
Pasal 6
Ayat(l) PRESIOEN REPUBLIK INOONESIA - 97 - Yang dimaksud dengan "dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan" adalah upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk memasukkan Kawasan Penggembalaan Umum dalam program pembangunan daerah. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kastrasi" adalah tindakan mencegah berfungsinya testis dengan jalan menghilangkannya atau menghambat fungsinya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "penetapan lahan sebagai Kawasan Penggembalaan Umum" adalah upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menyediakan lahan penggembalaan umum, antara lain tanah pangonan, tanah titisara, atau tanah kas desa. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 2
Pasal 13
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 15
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "mutu genetik" adalah ekspresi keunggulan sifat individu. Yang dimaksud dengan "keragaman genetik" adalah ekspresi keunggulan variasi genetik antarindividu. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "kekurangan Benih" adalah ketidakcukupan jumlah Benih (semen atau embrio) Ternak bukan asli atau lokal (eksotik) yang digunakan untuk kebutuhan pemuliaan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan/atau mutu genetik. Yang dimaksud dengan "kekurangan Bibit" adalah ketidakcukupan jumlah Bibit Ternak eksotik yang sebelumnya telah dikembangkan atau beradaptasi di Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu genetik Ternak eksotik. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 16
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Ternak lokal" adalah hasil persilangan antara Ternak asli luar negeri dan Ternak asli Indonesia, yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi pada lingkungan dan/atau manajemen setempat. Ayat (2) Ketentuan larangan terhadap pengeluaran Benih dan Bibit terbaik dimaksudkan untuk mempertahankan populasi dan mutu genetik Ternak asli dan lokal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 5
Pasal 22
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cara pembuatan Pakan yang baik, misalnya dalam hal proses produksi, dan pembuatan Pakan harus menjamin Pakan tidak mengandung cemaran biologi, fisik, kimia di atas ambang batas maksimal yang diperbolehkan, serta memperhatikan dampak sosial akibat buangan bahan baku dan bahan ikutan yang digunakan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan "Pakan yang tidak layak dikonsumsi" antara lain Pakan yang:
tidak berlabel;
kedaluwarsa;
kemasannya rusak, fisiknya rusak, berbau, atau berubah warna; dan/atau
palsu, yaitu tidak memiliki nomor pendaftaran, isi tidak sesuai dengan label, atau menggunakan merek orang lain. Huruf b Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya penyakit sapi gila (bovine spongifonn encephalopathy) atau scrapie pada domba/kambing. Yang dimaksud dengan "ruminansia" adalah hewan yang memamah biak. Huruf c Ayat (5) Yang dimaksud dengan "hormon tertentu" adalah hormon sin tetik. Yang dimaksud dengan "antibiotik" antara lain chloramphenicol dan tetracycline. Cukup jelas. Angka 6
Pasal 29
SK No 137471 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pihak tertentu" antara lain Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, lembaga kepabeanan, lembaga penelitian, dan lembaga pendidikan. Yang dimaksud dengan "kepentingan khusus" antara lain kuda untuk kavaleri, anjing untuk hewan pelacak pelaku kriminal, dan kelinci untuk penelitian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "tidak mengganggu ketertiban umum" antara lain kegiatan budi daya Ternak dilakukan dengan memperhatikan kaidah agama dan/atau kepercayaan serta sistem nilai yang dianut oleh masyarakat setempat serta ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 7
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 36B
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 36C
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 37
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 102 - Yang dimaksud dengan "industri pengolahan Produk Hewan" adalah industri yang melakukan kegiatan penanganan dan pemrosesan hasil Hewan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi, dengan memperhatikan aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan. Angka 11
Pasal 52
Ayat (1) SK No 137472 A Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "tidak memenuhi standar mutu", antara lain kedaluwarsa dan/atau telah D-ISak atau mengalami perubahan fisik, kimiawi, dan biologik. Ayat (3) Angka 12
Pasal 54
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 13
Pasal 59
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 60
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "nomor kontrol Veteriner" atau NKV adalah nomor registrasi unit usaha Produk Hewan sebagai bukti telah dipenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan Produk Hewan. Bagi unit usaha Produk Hewan yang mengedarkan Produk Hewan segar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memasukkan dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau mengeluarkan ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki NKV. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 15 Angka 15
Pasal 62
Ayat(l) Kewajiban Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki rumah potong Hewan dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan pangan asal Hewan yang aman, sehat, utuh, dan/atau halal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 16
Pasal 69
SK No 137474 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pelayanan Kesehatan Hewan" adalah serangkaian tindakan yang diperlukan, antara lain untuk:
melakukan prognosis dan diagnosis penyakit secara klinis, patologis, laboratoris, dan/atau epidemiologis;
melakukan tindakan transaksi terapeutik berupa konsultasi dan/atau informasi awal (prior informed consent) kepada pemilik Hewan yang dilanjutkan dengan beberapa kemungkinan tindakan preventif, kooperatif, kuratif, rehabilitatif, dan promotif dengan menghindari tindakan mal praktik;
melakukan pemeriksaan dan pengujian keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan Produk Hewan;
melakukan konfirmasi kepada unit pelayanan Kesehatan Hewan rujukan jika diperlukan;
menyampaikan data penyakit dan kegiatan pelayanan kepada Otoritas Veteriner;
menindaklanjuti keputusan Pemerintah Pu sat dan/atau Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan dan/atau Kesehatan Masyarakat Veteriner; dan
melakukan pendidikan klien dan/atau pendidikan masyarakat sehubungan dengan paradigma sehat dan penerapan kaidah kesejahteraan Hewan. Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium Veteriner" adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pelayanan Kesehatan Hewan. Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian Veteriner" adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan atau Zoonosis, pelaksanaan Kesehatan Masyarakat Veteriner, dan/atau pengujian mutu obat, residu/cemaran, mutu Pakan, mutu Bibit/Benih, dan/atau mutu Produk Hewan. Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa Medik Veteriner'' adalah layanan jasa yang berkaitan dengan kompetensi Dokter Hewan yang diberikan kepada masyarakat dalam rangka praktik kedokteran Hewan, seperti rumah sakit Hewan, klinik Hewan, klinik praktik bersama, klinik rehabilitasi reproduksi Hewan, ambulatori, praktik Dokter Hewan, dan praktik konsultasi kesehatan Hewan. Yang dimaksud dengan "pelayanan jasa di pusat Kesehatan Hewan (puskeswan)" adalah layanan jasa Medik Veteriner yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pelayanan ini dapat bersifat rujukan dan/atau terintegrasi dengan laboratorium Veteriner dan/atau laboratorium pemeriksaan dan pengujian Veteriner. Ayat (2) Kualifikasi Perizinan Berusaha antara lain:
rumah sakit Hewan;
praktik kedokteran Hewan; dan
laboratorium Kesehatan Hewan dan laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner yang diselenggarakan oleh swasta. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 17
Pasal 72
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 85
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Angka 1
Pasal 15
Ayat (1) Huruf a Penunjukan Kawasan Hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan Kawasan Hutan yang dilakukan secara digital, antara lain berupa:
pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar;
pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas;
pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan
pengumuman tentang rencana batas Kawasan Hutan, terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 2
Pasal 18
SK No 137477 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "penutupan Hutan" atau forest coverage adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi Hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem Hutan. Yang dimaksud dengan "pengoptimalan manfaat" adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekosistem secara lestari. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 19
Ayat (1) Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin objektivitas dan kualitas basil penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleb lembaga Pemerintab yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiab (scientific authority) bersama-sama dengan pibak lain yang terkait. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 26 Ayat (1) Pemanfaatan kawasan pada Hutan Lindung adalab segala bentuk usaba yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:
budi daya jamur;
penangkaran satwa; dan
budi daya tanaman obat dan tanaman bias. Pemanfaatan jasa lingkungan pada Hutan Lindung adalab bentuk usaba yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:
pemanfaatan untuk wisata alam;
pemanfaatan air; dan
pemanfaatan keindaban dan kenyamanan. Pemungutan Hasil Hutan bukan kayu pada Hutan Lindung adalab segala bentuk kegiatan untuk mengambil Hasil Hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:
mengambil rotan;
mengambil madu; dan
mengambil buab. Usaha pernanfaatan dan pernungutan pada Hutan Lindung dirnaksudkan untuk rneningkatkan kesejahteraan rnasyarakat sekaligus rnenurnbuhkan kesadaran rnasyarakat untuk rnenjaga dan rneningkatkan fungsi lindung, sebagai arnanah untuk rnewujudkan keberlanjutan surnber daya alarn dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Ayat (2) Angka 5
Pasal 27
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 6
Pasal 28
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 29
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 29A
Cukup jelas.
Pasal 29B
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 30
Kerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyaraka t yang tinggal di dalam dan di seki tar Hu tan merasakan dan mendapatkan manfaat Hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerja sama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai keutamaan yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama. Kewajiban badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta bekerja sama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional. Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta. Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut. Angka 10
Pasal 31
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "aspek kelestarian Hutan" antara lain:
kelestarian lingkungan;
kelestarian produksi; dan
terselenggaranya fungsi sosial dan budaya yang adil, merata, dan transparan. Yang dimaksud dengan "aspek kepastian usaha" antara lain:
kepastian kawasan;
kepastian waktu usaha; dan
kepastian jaminan hukum berusaha. Ayat (2) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
pembatasan luas;
pembatasan jumlah izin usaha; dan
penataan lokasi usaha. Angka 11
Pasal 32
Khusus bagi pemegang Perizinan Berusaha berskala besar, kewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan Hutan tempat usahanya, mencakup juga pengertian untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar Hutan tempat usahanya. Angka 12
Pasal 33
Ayat(l) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pengolahan Hasil Hutan" adalah pengolahan hulu Hasil Hutan. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 13
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 38
Ayat (1) Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi Hutan yang bersangkutan dilarang. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 15
Pasal 48
SK No 137482 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "perlindungan Hutan" termasuk di dalamnya melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat yang berada di dalam maupun di luar Kawasan Hutan, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. Hak masyarakat hukum adat diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kewajiban melindungi Hutan oleh pemegang Perizinan Berusaha meliputi pengamanan Hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
prinsip-prinsip perlindungan Hutan;
wewenang kepolisian khusus Kehutanan;
tata usaha peredaran Hasil Hutan; dan
pemberian kewenangan operasional kepada daerah. Angka 16
Pasal 49
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 50
SK No 137483 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "orang" adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Yang dimaksud dengan "kerusakan Hutan" adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan Hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "pejabat yang berwenang" adalah pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan dalam pemberian Perizinan Berusaha. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 18
Pasal 50A
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 78
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 37
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 7
Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah masyarakat setempat, masyarakat hukum adat, dan masyarakat umum. Masyarakat setempat merupakan masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial berdasarkan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Masyarakat umum adalah masyarakat di luar masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat. Badan hukum adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan koperasi. Angka 3
Pasal 12
Huruf a Yang dimaksud dengan "Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan" adalah Perizinan Berusaha untuk memanfaatkan hutan dalam kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan berupa: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan Hasil Hutan kayu, pemanfaatan Hasil Hutan bukan kayu, pemungutan Hasil Hutan kayu, dan/atau pemungutan Hasil Hutan bukan kayu. Huruf b Yang dimaksud dengan "penebangan pohon dalam Kawasan Hu tan tan pa memiliki Perizinan Berusaha" adalah penebangan pohon yang dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan yang diperoleh secara tidak sah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "memuat" adalah memasukkan ke dalam alat angkut. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon", tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah alat seperti parang, mandau, golok atau alat sejenis lainnya yang dibawa oleh masyarakat setempat sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf 1 Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Angka 4
Pasal 12A
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 17A
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 18
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 24
Huruf a - 117 - Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "memindahtangankan" atau "menjual Perizinan Berusaha" adalah terbatas pada pengalihan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan dari pemegang Perizinan Berusaha kepada pihak lain yang dilakukan melalui jual beli, tetapi tidak termasuk akuisisi. Angka 9
Pasal 28
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "melindungi" adalah kegiatan yang dapat menghambat berlangsungnya proses penyidikan terhadap pelaku yang telah diketahui sebagai daftar pencarian orang (DPO), seperti menyembunyikan pelaku. Huruf d Yang dimaksud dengan "membantu" adalah mereka yang dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan dan/atau yang dengan sengaja memberi kesempatan dan sarana untuk melakukan kejahatan pembalakan liar. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Angka 10
Pasal 53
Dihapus. Angka 11
Pasal 54
Dihapus. Angka 12
Pasal 82
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan" adalah orang perseorangan yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki mata pencaharian yang bergantung pada kawasan hutan. Ayat (3) Angka 13
Pasal 83
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 14
Pasal 84
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 85
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 92
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 93
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 96
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 105
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 110A
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "memiliki Perizinan Berusaha" dalam ayat ini adalah setiap orang yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 110B
SK No 137490 A Ayat(l) Yang dimaksud dengan "tanpa memiliki Perizinan Berusaha" dalam ayat ini adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha tanpa perizinan di bidang kehutanan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Huruf a Cukup jelas. Hurufb Contoh penghitungan pembayaran denda administratif pada usaha perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan, antara lain dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
Luas kawasan hutan yang dikuasai dan digunakan untuk kegiatan perkebunan.
Jangka waktu penguasaan kegiatan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan, dengan perhitungan jangka waktu pada saat usia tanaman produktif secara ekonomi pertama kali sampai dengan waktu saat terakhir penguasaannya.
Persentase tarif denda dari nilai keuntungan ekonomi yang diperoleh per satuan luas kegiatan perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya. Rumus perhitungan denda pada kegiatan perkebunan kelapa sawit sebagai berikut: Denda sama dengan luas perkebunan kelapa sawit dikalikan dengan jangka waktu kegiatan perkebunan berada dalam kawasan hutan (tahun) dikalikan dengan tarif denda dari persen tase keuntungan pertahun (Rupiah). D = L X J X TD Keterangan: L = Luas Perkebunan Kelapa Sawit dalam kawasan hutan (Hektare) J = Jangka waktu kegiatan perkebunan berada dalam kawasan hutan (Tahun) TD = Tarif Denda dari persentase keuntungan per tahun (Rupiah). Contoh Asumsi Perhitungan Denda (D) yang digunakan adalah:
((L) Luas Perkebunan Kelapa Sawit yang berada di dalam kawasan hutan (dalam satuan Hektare). Contoh luas perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan adalah 10.000 (sepuluh ribu) Hektare;
(J) Jangka waktu kegiatan perkebunan berada dalam kawasan hutan (dalam satuan tahun). Perhitungan waktu dimulai saat usia produktif secara ekonomi sampai dengan terakhir penguasaannya. Perkebunan kelapa sawit akan mulai usia produktif (UP) pada usia tanaman mencapai umur 5 tahun. Sehingga apabila ada kelapa sawit usia tanaman (UT) 15 tahun pada tahun 2020, maka diasumsikan jangka waktu kegiatan perkebunan dihitung sebagai berikut: Jangka Waktu (J) = Usia Tanaman (UT) - Usia Tanaman Produktif (UP) J = 15 Tahun - 5 Tahun J = 10 Tahun;
(TD) Persentase tarif denda nilai keuntungan ekonomi yang diperoleh per satuan luas per tahun (dalam satuan Rupiah), yaitu tarif denda per sen tase dari total nilai total keun tungan ekonomi yang didapatkan oleh kegiatan perkebunan kelapa sawit selama 1 (satu) tahun. Contoh perhitungannya adalah asumsi rata-rata pendapatan bersih (PB) per tahun adalah Rp25.000.000,00. Persentase Tarif Denda Nilai Keuntungan (DK) antara 20% - 60% dari total pendapatan bersih. TD = Pendapatan Bersih Per Tahun (PB) x % Tarif Denda Nilai Keuntungan (DK) TD = Rp25.000.000,00 X 20 % (Jika tarif 20%) = Rp5.000.000,00 d. Sehingga Perhitungan Total Denda pada Sawit dengan luas Tanaman 10.000 (sepuluh ribu) hektare, Jangka waktu penguasaan perkebunan 10 (sepuluh) tahun dan Tarif Denda 20% (dua puluh persen) (RpS.000.000,-) adalah: D=LxJXTD D = 10.000 Hex 10 tahun x RpS.000.000,00 D= RpS00.000.000.000,00 Huruf c Untuk memberikan efek eksekutorial sanksi administratif pada ayat (1) huruf a dan huruf b, perlu diatur sanksi paksaan oleh Pemerintah Pusat termasuk pemberlakuan paksa badan (gizelling) bagi orang yang tidak melaksanakan sanksi administratif. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 21
Pasal 111
Dihapus. Angka 22
Pasal 112
Dihapus.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Angka 1
Pasal 128A
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 40
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 4
Ayat (1) Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 4
Pasal 23
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 23A
Cukup jelas. Angka 6 Pasal 25 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 52 Cukup jelas. Angka 8 Pasal 53 Cukup jelas. Angka 9
Pasal 55
REPUBUK INDONESIA - 125 - Dalam ketentuan m1 yang dimaksudkan dengan menyalahgunakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan perseorangan a tau badan usaha dengan cara yang merugikan masyarakat banyak dan negara seperti antara lain kegiatan pengoplosan Bahan Bakar Minyak, penyimpangan alokasi Bahan Bakar Minyak, Pengangkutan dan Penjualan Bahan Bakar Minyak ke luar negeri.
Pasal 41
Angka 1 Pasal 4 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 5 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 6 Huruf a Pembuatan kebijakan nasional, antara lain berupa:
pembuatan dan penetapan standardisasi;
penetapan kebijakan pemanfaatan dan konservasi Panas Bumi;
penetapan kebijakan kerja sama dan kemitraan;
penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi; dan
perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan 1uran produksi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Pendorongan dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan nilai tambah produksi kegiatan penyelenggaraan Panas Bumi. Angka 4
Pasal 7
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 8
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 11
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 12
Dihapus. Angka 8
Pasal 13
Dihapus. Angka 9
Pasal 14
Dihapus. Angka 10
Pasal 15
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 23
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 24
Cukup jelas. - 127 - Angka 13
Pasal 25
Dihapus. Angka 14
Pasal 36
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 37
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 38
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 42
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 43
Cukup jelas. - 128 - Angka 20
Pasal 46
Yang dimaksud dengan "menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi" adalah segala bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat menimbulkan kerugian secara materiil. Angka 21
Pasal 47
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 48
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 49
Cukup jelas. Angka 24
Pasal 50
Cukup jelas. Angka 25
Pasal 56
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 59
Cukup jelas. Angka 27 Pasal 60 Dihapus. Angka 28
Pasal 67
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 68
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 69
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 70
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 71
Cukup jelas. Angka 33
Pasal 72
Cukup jelas. Angka 34
Pasal 73
Cukup jelas. - 130 - Angka 35
Pasal 42
Pasal 74
Dihapus. Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 3
Ayat (1) Mengingat Tenaga Listrik merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dikuasai oleh negara yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3 SK No 158334 A
Pasal 4
Ayat (1) Badan usaha milik negara dalam ketentuan ini adalah yang berusaha di bidang penyediaan Tenaga Listrik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 5
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 7
Ayat (1) Yang dirnaksud dengan "kebijakan energi nasional" adalah ke bij akan energi nasional se bagairnana dirnaksud dalarn Undang-Undang tentang Energi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 6
Pasal 10
Cukup jelas. Angka 7 SK No 158336 A
Pasal 11
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pernberian prioritas kepada badan usaha rnilik negara rnerupakan perwujudan penguasaan negara terhadap penyediaan Tenaga Listrik. Badan usaha rnilik negara adalah badan usaha yang sernata-rnata berusaha di bidang penyediaan Tenaga Listrik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 8
Pasal 13
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kepen tingan sendiri" adalah penyediaan Tenaga Listrik untuk digunakan sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lembaga/badan usaha lainnya" adalah perwakilan lembaga asing atau badan usaha asing. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 9
Pasal 16
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 18
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 19
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 20
Dihapus. Angka 13
Pasal 21
Dalam penetapan Perizinan Berusaha, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah memperhatikan kemampuan dalam penyediaan Tenaga Listrik pemegang Perizinan Berusaha penyediaan Tenaga Listrik yang memiliki Wilayah Usaha setempat. Perizinan Berusaha penyediaan Tenaga Listrik memuat, antara lain, nama dan alamat badan usaha, jenis usaha yang diberikan, kewajiban dalam penyelenggaraan usaha, syarat teknis, dan ketentuan sanksi. Angka 14
Pasal 22
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 23
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 24
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 25
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 27
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 28
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Penggunaan produk dan potensi luar negen dapat digunakan apabila produk dan potensi dalam negen tidak tersedia. Angka 20 SK No 158339 A
Pasal 29
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "instalasi Tenaga Listrik milik Konsumen" adalah instalasi Tenaga Listrik setelah alat pengukur atau alat pembatas penggunaan Tenaga Listrik. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 21
Pasal 30
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ganti Rugi Hak Atas Tanah termasuk untuk sisa tanah yang tidak dapat digunakan oleh pemegang hak sebagai akibat dari penggunaan sebagian tanahnya oleh pemegang izin U saha Penyediaan Tenaga Listrik. Yang dimaksud dengan "secara langsung'' adalah penggunaan tanah untuk pembangunan instalasi Tenaga Listrik, antara lain, pembangkitan, gardu induk, dan tapak menara transmisi. Ayat (3) Secara tidak langsung dalam keten tuan ini an tara lain penggunaan tanah untuk lintasan jalur transmisi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 22
Pasal 32
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 33
Ayat (1) Pengertian harga jual Tenaga Listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penjualan Tenaga Listrik dari pembangkit Tenaga Listrik. Pengertian harga sewa jaringan Tenaga Listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penyewaan jaringan transmisi dan/atau distribusi Tenaga Listrik. Ayat (2) Dalam memberikan persetujuan harga jual Tenaga Listrik dan sewa jaringan Tenaga Listrik, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah memperhatikan kesepakatan di antara badan usaha. Angka 24
Pasal 34
Ayat (1) Tarif Tenaga Listrik untuk Konsumen meliputi semua biaya yang berkaitan dengan pemakaian Tenaga Listrik oleh Konsumen, antara lain, biaya beban (Rp/kVA) dan biaya pemakaian (Rp/kWh), biaya pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh), dan/atau biaya kVA maksimum yang dibayar berdasarkan harga langganan (Rp / bulan) sesuai dengan batasan daya yang dipakai atau bentuk lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 25
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 37
Cukup jelas. Angka 27
Pasal 44
Cukup jelas. Angka 28
Pasal 45
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 46
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 48
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 49
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 50
Cukup jelas. Angka 33 Pasal SIA Cukup jelas. - 138 - Angka 34
Pasal 52
Dihapus. Angka 35
Pasal 53
Cukup jelas. Angka 36
Pasal 54
Pasal 43
Angka 1 Cukup jelas.
Pasal 2A
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 4
Ayat (1) - 139 - Yang dimaksud dengan "badan pengawas" adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 9
Cukup jelas. Angka 4 · SK No 158343 A
Pasal 9A
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Kewajiban mengalihkan kepada negara atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi orang perseorangan atau badan usaha yang sudah ·memiliki izin sebelum Undang-Undang ini berlaku. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 5
Pasal 10
Dihapus. Angka 6 SK No 158344 A
Pasal 14
Ayat (1) Pengawasan ini perlu dilakukan mengingat bahwa Tenaga Nuklir itu selain bermanfaat juga mempunyai bahaya radiasi. Pengawasan ini dimaksudkan agar bahaya itu tidak terjadi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "peraturan" yaitu bahwa pemerintah dalam melakukan pengawasan mengeluarkan peraturan di bidang keselamatan nuklir agar tujuan pengawasan tercapai. Yang dimaksud dengan "perizinan" yaitu bahwa pemerintah mengeluarkan instrumen perizinan untuk mengendalikan kegiatan Pemanfaatan Tenaga Nuklir. , 1> ' • -----=-- Yang dimaksud dengan "inspeksi" yaitu kegiatan pemeriksaan baik secara berkala maupun sewaktu- waktu untuk mengetahui kesesuaian Pemanfaatan Tenaga Nuklir dengan peraturan yang ditetapkan. Angka 7
Pasal 17
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "hal terten tu" adalah Pemanfaatan zat, alat, atau benda yang pancaran radiasi dan aktivitasnya lebih kecil daripada pancaran radiasi dan aktivitas yang seharusnya memiliki Perizinan Berusaha, antara lain, alat navigasi, jam, kaos lampu petromaks, dan pendeteksi asap. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pembangunan" adalah termasuk penentuan tapak dan konstruksi Instalasi Nuklir. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 8
Pasal 18
Dihapus. Angka 9 SK No 158345 A
Pasal 20
Ayat (1) Inspeksi dilakukan dalam rangka pengawasan terhadap ditaatinya syarat-syarat dalam perizinan dan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan nuklir. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 10
Pasal 25
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Angka 11
Pasal 41
Penentuan tempat peny1mpanan lestari Limbah Radioaktif tingkat tinggi perlu ditetapkan oleh Pemerintah Pusat karena menyangkut perubahan suatu daerah yang semula dapat dimanfaatkan menjadi suatu daerah yang sama sekali tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Limbah Radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak diizinkan disimpan di wilayah hukum Republik Indonesia. Cukup jelas.
Pasal 44
Angka 1
Pasal 15
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 48A
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 50
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 53
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 57
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 59
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "seluruh rangkaian" adalah kegiatan pengawasan di pabrik dan koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan lembaga pemerin tah nonkemen terian terkai t. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 7 SK No 158347 A
Pasal 84
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta melalui kepemilikan modal mayoritas oleh Pemerintah Pusat. Huruf c Ayat (5) Yang dimaksud dengan "pembatasan kepemilikan" adalah tidak diperbolehkannya penanaman modal asing. Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk dilakukan dalam rangka memelihara kemantapan stabilitas ekonomi nasional serta ketahanan nasional. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 8
Pasal 101
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 102
Dihapus. Angka 10
Pasal 104
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 105
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 105A
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 106
Ayat (1) - 145 - Yang dimaksud dengan "Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri" adalah Industri baru atau yang melakukan perluasan pada lokasi yang berbeda. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 14
Pasal 108
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 115
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 117
Pasal 45
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengawasan dilakukan antara lain melalui audit, inspeksi, pengamatan intensif (surveillance), atau pemantauan (monitoring). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 46
Angka 1
Pasal 6
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "label berbahasa Indonesia" adalah setiap keterangan mengenai Barang yang berbentuk tulisan berbahasa Indonesia, kombinasi gambar dan tulisan berbahasa Indonesia, atau bentuk lain yang memuat informasi tentang Barang dan keterangan Pelaku U saha, serta informasi lainnya yang disertakan pada Barang, dimasukkan ke dalam, ditempelkan/melekat pada Barang, tercetak pada Barang, dan/atau merupakan bagian kemasan Barang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Angka 2
Pasal 11
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 3
Pasal 14
Ayat (1) Pengaturan tentang pengembangan, penataan, dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap Pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan dimaksudkan untuk menyederhanakan dan kepastian proses Perizinan Berusaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha. Penyederhanaan juga mencakup pengintegrasian dengan persyaratan lain yang diperlukan dan dilakukan menggunakan sistem elektronik. Yang dimaksud dengan "pemasok" adalah Pelaku Usaha yang secara teratur memasok Barang kepada pengecer dengan tujuan untuk dijual kembali melalui kerja sama usaha. Yang dimaksud dengan "pengecer" adalah perseorangan atau badan usaha yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen akhir. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "tata ruang" adalah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 15
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 24
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 33
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 37
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 38
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 42
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 43
Cukup jelas. - 148 - Angka 13
Pasal 45
Ayat (1) Permohonan Impor Barang diajukan langsung kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan, dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat diberikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bi dang Perdagangan setelah ada rekomendasi dari kementerian lain jika diperlukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 14
Pasal 46
Cukup jelas. Angka 15 SK No 158354 A
Pasal 47
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam hal barang yang dibutuhkan oleh Pelaku Usaha berupa Barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri sehingga perlu diimpor dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan Ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, investasi dan relokasi industri, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali. Selain itu, dalam hal terjadi bencana alam dibutuhkan Barang atau peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam serta Barang bukan baru untuk keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 16
Pasal 49
Dihapus. Angka 17
Pasal 51
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 52
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 53
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 57
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 60
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 61
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 63
Cukup jelas. Angka 24
Pasal 65
Cukup jelas. Angka 25
Pasal 74
Ayat (1) - 151 - Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pemangku kepentingan" adalah perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi usaha, dan/atau pemangku kepentingan lainnya. Ayat (5) Angka 26
Pasal 77
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 27
Pasal 77A
Cukup jelas. Angka 28
Pasal 81
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 98
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 99
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 100
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 102
Cukup jelas. Angka 33
Pasal 104
Cukup jelas. Angka 34
Pasal 106
Cukup jelas. - 152 - Angka 35
Pasal 109
Cukup jelas. Angka 36
Pasal 116
Pasal 47
Angka 1 Cukup jelas.
Pasal 13
Angka 2 Huruf a Jenis-jenis Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan antara lain ialah meter air, meter gas, meter listrik, meter taxi, meter pulsa telepon, alat pengukur kelembaban (moisture tester, perlu ditunjuk tempat-tempat dan daerah-daerah di mana dilaksanakan tera dan Tera Ulang. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1) Karena penggunaan Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan berada di bawah pengawasan instansi Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab di bidang metrologi, maka pembuatan alat-alat tersebut wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat supaya mudah diawasi dan dibina, sehingga alat- alat itu dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian. Demikian pula untuk memperbaiki Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan misalnya memperbaiki timbangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, supaya mudah diawasi dan dibina. Dengan demikian diharapkan bahwa pekerjaan memperbaiki timbangan dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian dalam bidang itu dan dengan rasa penuh bertanggung jawab, sehingga para pemilik timbangan tidak akan terperdaya oleh orang-orang yang mengaku sebagai reparatir timbangan padahal tidak mempunyai keahlian dalam pekerjaan tersebut dan hanya semata-mata mencari keuntungan untuk dirinya saja. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 18
Perizinan Berusaha diperlukan untuk menghindari masuk dan beredarnya Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang tidak memenuhi persyaratan, sebab jika ini terjadi akan menyulitkan dalam melaksanakan Undang- Undang ini. Angka 4
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 48
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 4A
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 7
Huruf a Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta pengawasan obat dan makanan. Huruf b LPH bersifat mandiri. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5
Pasal 10
Cukup jelas. Angka 6 Pasal lOA Cukup jelas. Angka 7
Pasal 11
Cukup jelas. Angka 8 SK No 158360 A
Pasal 13
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lembaga keagamaan Islam berbadan hukum" di antaranya organisasi kemasyarakatan Islam berbadan hukum dan yayasan Islam yang mengelola perguruan tinggi. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 9
Pasal 14
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 16
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 22
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 25
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 27
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 28
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 29
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 31
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 32
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 33
Cukup jelas. Angka 20 Pasal 33A Cukup jelas. Pas?-1 33B Ayat (1) - 157 - Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "ulama" adalah ahli agama tentang syariat kehalalan produk yang berasal dari organisasi kemasyarakatan keagamaan Islam berbadan hukum. Huruf b Angka 21 Pasal 35 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 35A Cukup jelas. Angka 23 Pasal 40 Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 24 Pasal 41 Cukup jelas. Angka 25 Pasal 42 Cukup jelas. Angka 26 Pasal 44 Cukup jelas. Angka 27 Pasal 48 Cukup jelas. Angka 28 Pasal 50 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengawasan kehalalan Produk termasuk pengawasan perubahan Bahan dan/atau PPH. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Angka 29 Pasal 52A Cukup jelas. Pasal 52B Cukup jelas. Angka 30 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Hurufb Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ayat (3) Pengawasan Produk Halal yang beredar antara lain pengawasan terhadap perubahan Bahan dan/atau PPH, pencantuman Label Halal atau keterangan tidak halal, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal. Cukup jelas. Angka 31 Pasal 55 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 63A Cukup jelas. Pasal 63B Cukup jelas. Pasal 63C Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Angka 1 Pasal 26 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 29 Cukup jelas. Angka 3 Pasal 33 Ayat (1) Pemberian kemudahan Perizinan Berusaha bagi Badan Hukum yang mengajukan rencana pembangunan Perumahan untuk MBR dimaksudkan untuk mendorong iklim berusaha bagi Badan Hukum di bidang Perumahan dan Permukiman sekaligus dalam upaya mewujudkan pemenuhan kebutuhan Perumahan bagi MBR. Angka 4 Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 36
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 42
SK No 158365 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "perjanjian pendahuluan jual beli" adalah kesepakatan melakukan jual beli Rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli Rumah dengan penyedia Rumah yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 8 Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Ayat (3) Yang dimaksud dengan "keterbangunan Perumahan" adalah persentase telah terbangunnya Rumah dari seluruh jumlah unit Rumah serta ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum dalam suatu Perumahan yang direncanakan. Cukup jelas.
Pasal 53
SK No 158366 A Ayat (1) Pengendalian Perumahan dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas Perumahan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus mencegah terjadinya penurunan kualitas dan terjadinya pemanfaatan yang tidak sesuai. Ayat (2) Huruf a Perizinan Berusaha diberikan kepada Pelaku Usaha, sedangkan persetujuan diberikan kepada non Pelaku Usaha. Hurufb Yang dimaksud dengan "penertiban" adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui tindakan penegakan hukum bagi Perumahan yang dalam pembangunan dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan rencana atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Ayat (3) Yang dimaksud dengan "penataan" adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui perbaikan dalam penyelenggaraan agar sesuai dengan tujuan penyelenggaraan Perumahan. Cukup jelas. Angka 9
Pasal 55
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pelaksanaan ketentuan ini hanya berlaku dalam kondisi normal, namun tidak berlaku dalam kondisi kahar, antara lain seperti: bencana alam, huru-hara, perang, dan pandemi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 10
Pasal 107
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 109
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 114
Cukup jelas. Angka 13 Pasal 117A Cukup jelas. Pasal 117B Cukup jelas. Angka 14
Pasal 134
Cukup jelas. Angka 15 Pasal 150 Cukup jelas. Angka 16 Pasal 151 Cukup jelas. Angka 17
Pasal 153
Pasal 51
Angka 1 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. - 163 - Angka 2
Pasal 24
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "persyaratan administratif' adalah perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan Rumah Susun. Huruf b Yang dimaksud dengan "persyaratan teknis" adalah persyaratan yang berkaitan dengan struktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasili tas lingkungan. Huruf c Ayat (2) Yang dimaksud dengan "persyaratan ekologis" adalah persyaratan yang memenuhi analisis dampak lingkungan dalam hal pembangunan Rumah Susun. Cukup jelas. Angka 3
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 28
Cukup jelas. RE: PUBLIK INDONESIA Angka 5
Pasal 29
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 30
Dihapus. Angka 7
Pasal 31
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 32
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 33
Dihapus. Angka 10
Pasal 39
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "laik fungsi" adalah berfungsinya seluruh atau sebagian bangunan Rumah Susun yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan Rumah Susun sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Yang dimaksud dengan "sebagian pembangunan Rumah Susun" adalah satu bangunan Rumah Susun atau lebih dari seluruh rencana bangunan Rumah Susun dalam satuan lingkungan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 11
Pasal 40
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "lingkungan Rumah Susun" adalah se bidang tanah dengan batas-batas yang jelas yang di atasnya dibangun Rumah Susun, termasuk prasarana, sarana, dan utilitas umum yang secara keseluruhan merupakan kesatuan tern pat permukiman. Yang dimaksud dengan "prasarana" adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian Rumah Susun yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan tempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman meliputi jaringan jalan, drainase, sanitasi, air bersih, dan tempat sampah. Yang dimaksud dengan "sarana" adalah fasilitas dalam lingkungan hunian Rumah Susun yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi meliputi sarana sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan perniagaan) dan sarana umum (ruang terbuka hijau, tempat rekreasi, sarana olahraga, tempat pemakaman umum, sarana pemerintahan, dan lain- lain). Yang dimaksud dengan "utilitas umum" adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian Rumah Susun yang mencakup jaringan listrik, jaringan telepon, dan jaringan gas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 12
Pasal 43
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 54
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 56
SK No 158372 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pemeliharaan" adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi. Yang dimaksud dengan "perawatan" adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 15
Pasal 67
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 72
Dihapus. Angka 17
Pasal 73
Dihapus. Angka 18
Pasal 107
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 108
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 110
Dihapus. Angka 21
Pasal 112
Dihapus. Angka 22
Pasal 113
Cukup jelas. - 168 - Angka 23
Pasal 114
Cukup jelas. Angka 24
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 52
Angka 1
Pasal 5
SK No 158374 A Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "rantai pasok Jasa Konstruksi" adalah alur kegiatan produksi dan distribusi material, peralatan, dan teknologi yang digunakan dalam pelaksanaan Jasa Konstruksi. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf 1 Cukup jelas. Hurufm Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan antara lain pemberian pelatihan bagi penerapan teknologi, metode, dan standar kompetensi baru. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Standar remunerasi minimal ditetapkan dengan mempertimbangkan kompleksitas dari jenis layanan profesional, biaya, risiko, dan teknologi dari penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang terkait dengan hasil layanan profesional, dan/atau harga pasar yang berlaku di provinsi tempat diselenggarakannya Jasa Konstruksi. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Teknologi prioritas meliputi:
teknologi sederhana tepat guna dan padat karya;
teknologi yang berkaitan dengan posisi geografis Indonesia;
teknologi konstruksi berkelanjutan;
teknologi material baru yang berpotensi tinggi di Indonesia; dan
teknologi dan manajemen pemeliharaan aset infrastruktur. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 2
Pasal 6
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 7
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 8
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 9
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 10
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 20
Ayat (1) - 173 - Kualifikasi usaha menentukan batasan kemampuan suatu usaha Jasa Konstruksi dalam melaksanakan Jasa Konstruksi pada saat yang bersamaan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 8
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 27
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 28
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 29
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 31
Dihapus. Angka 14
Pasal 33
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 34
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 36
Dihapus. - 174 - Angka 18
Pasal 38
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri merupakan kegiatan yang pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh pemerintah sebagai penanggung jawab anggaran, dan/atau kelompok masyarakat. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 19
Pasal 42
Dihapus. Angka 20
Pasal 44
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 57
Dihapus. Angka 22
Pasal 58
Dihapus. Angka 23
Pasal 59
Cukup jelas. Angka 24 Pasal 69 Cukup jelas. Angka 25
Pasal 72
Ayat(l) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dirnaksud dengan "tanda daftar pengalarnan profesional" adalah dokurnen yang rnernuat dan rnenjelaskan pengalarnan tenaga kerja konstruksi yang telah didaftarkan secara resrni kepada pernerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 26
Pasal 74
Dihapus. Angka 27
Pasal 84
Ayat (1) Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pernerintah Pusat antara lain registrasi badan usaha Jasa Konstruksi, akreditasi bagi asosiasi perusahaan Jasa Konstruksi dan asosiasi terkait rantai pasok Jasa Konstruksi, registrasi pengalarnan badan usaha, registrasi penilai ahli, rnenetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalarn hal terjadi Kegagalan Bangunan, akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lernbaga sertifikasi profesi, registrasi tenaga kerja, registrasi pengalaman profesional tenaga kerja serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi, penyetaraan tenaga kerj a asing, dan / a tau rnern ben tuk lembaga sertifikasi profesi untuk rnelaksanakan tugas Sertifikasi Kompetensi Kerja yang belurn dapat dilakukan lernbaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi/lembaga pendidikan dan pelatihan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lembaga" adalah lembaga pengembangan Jasa Konstruksi. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Ayat (4) Asosiasi terkait rantai pasok konstruksi antara lain asosiasi terkait material dan peralatan konstruksi. Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Pengaturan pembentukan lembaga antara lain tata cara pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan fungsi, mekanisme kerja lembaga. Angka 28
Pasal 89
Cukup jelas. Angka 29
Pasal 92
Dihapus. Angka 30
Pasal 96
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 99
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 101
Dihapus. Angka 33
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 53
Angka 1
Pasal 8
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 9
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 12
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 19
Cukup jelas. - 178 - Angka 6
Pasal 38
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 40A
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pengalihan alur sungai" adalah kegiatan mengalihkan alur sungai dengan cara membuat alur sungai baru yang mengakibatkan alur sungai yang dialihkan tidak berfungsi secara permanen. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 9
Pasal 43
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 44
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 45
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 49
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 50
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 51
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 52
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 56
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 70
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 73
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 54
Pasal 75A
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 55
Angka 1
Pasal 19
Cukup jelas. - 180 - Angka 2
Pasal 36
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 38
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "fasilitas utama" adalah jalur keberangkatan, jalur kedatangan, ruang tunggu penumpang, tempat naik turun penumpang, tempat parkir kendaraan, papan informasi, kantor pengendali terminal, dan loket. Yang dimaksud dengan "fasilitas penunjang" antara lain adalah fasilitas untuk penyandang disabilitas, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, fasilitas peribadatan, pos kesehatan, pos polisi, dan alat pemadam kebakaran. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 39
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "lingkungan kerja Terminal" adalah lingkungan yang berkaitan langsung dengan fasili tas Terminal dan di ba tasi dengan pagar. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Angka 5
Pasal 40
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 6 SK No 158387 A
Pasal 43
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Parkir untuk umum" adalah tempat untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 7
Pasal 50
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 8
Pasal 53
Cukup jelas. Angka 9 SK No 158388 A
Pasal 60
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "mempunyai kualitas tertentu" adalah bengkel umum yang mampu melakukan jenis pekerjaan Perawatan Berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, serta perbaikan sasis dan bodi. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 10
Pasal 78
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 99
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur" adalah pembangunan baru, perubahan penggunaan lahan, perubahan intensitas tata guna lahan dan/atau perluasan lantai bangunan dan/atau perubahan intensitas penggunaan, perubahan kerapatan guna lahan tertentu, penggunaan lahan tertentu, antara lain Terminal, Parkir untuk umum di luar Ruang Milik Jalan, tempat pengisian bahan bakar minyak, dan fasilitas umum lain. Analisis dampak Lalu Lintas dalam implementasinya dapat diintegrasikan dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 12
Pasal 100
Dihapus. Angka 13
Pasal 101
Dihapus. Angka 14
Pasal 126
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 162
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 165
Angka 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "angkutan multimoda" adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari 1 (satu) tempat penerimaan barang oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 170
SK No 158390 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "lokasi tertentu" adalah tempat pengawasan angkutan barang yang dilakukan secara efektif dan efisien. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 18
Pasal 173
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 174
Dihapus. Angka 20
Pasal 175
Dihapus. Angka 21
Pasal 176
Dihapus. Angka 22
Pasal 177
Dihapus. Angka 23
Pasal 178
Dihapus. Angka 24
Pasal 179
Cukup jelas. Angka 25
Pasal 180
Dihapus. Angka 26
Pasal 185
Angka 27 Ayat(l) Yang dimaksud dengan "trayek atau lintas tertentu" adalah trayek angkutan penumpang umum orang yang secara finansial belum menguntungkan, termasuk trayek angkutan perintis. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas. Angka 28
Pasal 220
SK No 158392 A Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "badan hukum" adalah badan (perkumpulan dan sebagainya) yang dalam hukum diakui sebagai subjek hukum yang dapat dilekatkan hak dan kewajiban hukum, seperti perseroan, yayasan, dan lembaga. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 29 Pasal 222 Cukup jelas. Angka 30 Pasal 302 Cukup jelas. Angka 31 Pasal 305 Cukup jelas. Angka 32 Pasal 308 Dihapus. Pasal 56 Angka 1 Pasal 24 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 24A Cukup jelas. Angka 3 Pasal 28 Cukup jelas. Angka 4 Pasal 32 Cukup jelas. Angka 5
Pasal 32A
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 33
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 33A
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 77
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 80A
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 82
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 107
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 112
Cukup jelas. - 189 - Angka 13
Pasal 116A
Cukup jelas.
Pasal 1168
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 135
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 168
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 185A
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 188
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 190
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 191
Cukup jelas. - 190 - Angka 20
Pasal 195
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 196
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 203
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 204
Cukup jelas. Angka 24
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 57
Angka 1
Pasal 5
Ayat (1) - 191 - Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh negara" yaitu bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan Pelayaran yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Ayat (2) REF'UBLIK INDONESIA Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 2
Pasal 9
Ayat (1) Yang dirnaksud dengan "intrarnoda" rneliputi angkutan laut dalarn negeri, angkutan laut luar negeri, angkutan laut khusus, dan angkutan pelayaran-rakyat. Yang dirnaksud dengan "antarrnoda" adalah keterpaduan transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara. Intra dan antarrnoda tersebut rnerupakan satu kesatuan transportasi nasional. Ayat (2) Yang dirnaksud dengan "Trayek tetap dan teratur (liner!' adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan rnenyebutkan pelabuhan singgah. Yang dirnaksud dengan "Trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper)" adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tidak tetap dan tidak teratur. Ayat (3) Yang dirnaksud dengan "jaringan Trayek" adalah kurnpulan dari Trayek yang rnenjadi satu kesatuan pelayanan angkutan penurnpang dan/atau barang dari satu Pelabuhan ke Pelabuhan lainnya. Ayat (4) Penyusunan jaringan Trayek tetap dan teratur dirnaksudkan untuk rnernberikan kepastian hukurn dan usaha kepada pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan laut. Angka 3 Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 13
Angka 4 Ayat (1) Termasuk dalam kegiatan Angkutan Laut Khusus antara lain kegiatan angkutan yang dilakukan oleh usaha bidang industri, pariwisata, pertambangan, pertanian serta kegiatan khusus seperti penelitian, pengerukan, kegiatan sosial, dan sebagainya, serta tidak melayani pihak lain dan tidak mengangkut barang umum. Angkutan Laut Khusus baik dalam negeri maupun luar negeri dapat diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang karena sifat muatannya belum dapat diselenggarakan oleh penyedia jasa angkutan laut umum. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 14A
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "belum tersedia" adalah jumlah dan jadwal saat diperlukan kapal berbendera Indonesia tersebut tidak tersedia atau belum mencukupi kebutuhan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5
Pasal 27
Kewajiban pemenuhan Perizinan Berusaha dalam melakukan kegiatan Angkutan di Perairan dimaksudkan sebagai alat pembinaan, pengendalian, dan pengawasan Angkutan di Perairan untuk memberikan kepastian usaha dan perlindungan hukum bagi penyedia dan pengguna jasa. Angka 6
Pasal 28
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 30
Dihapus. Angka 8
Pasal 31
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 32
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 33
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 34
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 51
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 52
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 59
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 90
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 91
Ayat (1) - 195 - Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah apabila tern ya ta terdapat Badan U saha Pelabuhan yang mampu memanfaatkan Terminal dan fasilitas Pelabuhan lainnya untuk melayani kegiatan yang memberikan manfaat komersial. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 17
Pasal 96
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 97
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 98
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 99
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 103
Dihapus. Angka 22
Pasal 104
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 106
Cukup jelas. Angka 24
Pasal 107
Dihapus. Angka 25
Pasal 111
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 124
Yang dimaksud dengan "pengadaan Kapal" adalah kegiatan memasukkan Kapal dari luar negeri, baik Kapal bekas maupun Kapal baru untuk didaftarkan dalam daftar Kapal Indonesia. Yang dimaksud dengan "pembangunan Kapal" adalah pembuatan Kapal baru baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang langsung berbendera Indonesia. Yang dimaksud dengan "pengerjaan Kapal" adalah tahapan pekerjaan dan kegiatan pada saat dilakukan perombakan, perbaikan, dan perawatan Kapal. Yang dimaksud dengan "perlengkapan Kapal" adalah bagian yang termasuk dalam perlengkapan navigasi, alat penolong, penemu (smoke detector) dan pemadam kebakaran, radio dan elektronika Kapal, dan peta serta publikasi nautika, serta perlengkapan pengamatan meteorologi untuk Kapal dengan ukuran dan daerah Pelayaran tertentu. Yang dimaksud dengan "ketentuan standar internasional" adalah berpedoman pada antara lain Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 197 4 beserta peraturan pelaksanaannya. Angka 27
Pasal 125
Ayat (1) Cukup jelas. Angka 28 Ayat (2) Yang dimaksud dengan "perombakan" adalah perombakan konstruksi dan memerlukan pengesahan gambar dan perhitungan konstruksi karena mengubah fungsi, stabilitas, struktur, dan dimensi Kapal. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 126
Ayat (1) Sertifikat keselamatan diberikan kepada semua jenis Kapal ukuran GT 7 (tujuh Gross Tonnage) atau lebih kecuali:
Kapal Perang;
KapalNegara;dan c. Kapal yang digunakan untuk keperluan olah raga. Ayat (2) Huruf a Jenis sertifikat keselamatan Kapal penumpang an tara lain:
sertifikat keselamatan Kapal penumpang (meliputi keselamatan konstruksi, perlengkapan, dan radio kapal); dan
sertifikat pembebasan (sertifikat yang Huruf b memperbolehkan bebas dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi). Jenis sertifikat keselamatan Kapal barang sesuai dengan Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 1974 antara lain:
sertifikat keselamatan Ka pal barang;
sertifikat keselamatan konstruksi Kapal barang;
sertifikat keselamatan perlengkapan Kapal barang;
sertifikat keselamatan radio Ka pal barang; dan
sertifikat pembebasan (sertifikat yang memperbolehkan bebas dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi). Huruf c Sertifikasi kelaikan dan pengawakan Kapal penangkap ikan dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. Angka 29
Pasal 127
Ayat(l) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "ketentuan standar internasional" adalah berpedoman antara lain: Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 197 4 beserta peraturan pelaksanaannya. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 30
Pasal 129
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 130
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 133
Cukup jelas. Angka 33
Pasal 154
Dalam rangka percepatan kemudahan berusaha, proses pengukuran, pendaftaran, dan penetapan kebangsaan Kapal pada Kapal penangkap ikan dilakukan secara terintegrasi melalui pelayanan 1 (satu) atap. Sarana dan prasarana penyelenggaraan sis tern 1 ( satu) a tap disediakan oleh Pemerintah Pusat. Angka 34
Pasal 155
Ayat (1) Pelaksanaan pengukuran Kapal dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. Khusus untuk Kapal penangkap ikan, pelaksanaan pengukuran dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perikanan berdasarkan kompetensi, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 35
Pasal 157
Cukup jelas. REF'UBLIK INDONESIA Angka 36
Pasal 158
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pendaftaran Kapal" adalah pendaftaran hak milik atas Kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain memenuhi ketentuan pendaftaran Kapal, yang merupakan persyaratan untuk menerbitkan surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia bagi Kapal yang mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini, pemilik Kapal penangkap ikan wajib memenuhi ketentuan atau persyaratan pendaftaran Kapal penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pendaftaran Kapalpenangkapikan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "grosse akta pendaftaran" adalah salinan resm1 dari minut (asli dari akta pendaftaran). Bukti hak milik atas Kapal merupakan dokumen kepemilikan yang disampaikan oleh pemilik Kapal pada saat mendaftarkan Kapalnya antara lain berupa:
Bagi Kapal bangunan baru a. kontrak pembangunan Kapal;
berita acara serah terima Kapal; dan
surat keterangan galangan.
Bagi Ka pal yang pernah didaftar kan di negara lain a. bill of _sale; _ dan b. protocol of delivery and acceptance. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "tanda pendaftaran" merupakan rangkaian angka dan huruf yang terdiri atas angka tahun pendaftaran, kode pengukuran dari tempat Kapal didaftarkan, nomor urut akta pendaftaran, dan kode kategori Kapal. Contoh: 12008 Pst No.499911 2008 Tahun pendaftaran Kapal Pst No. 49991 L Kade pengukuran dari tempat Kapal didaftarkan Nomor Nomor akta pendaftaran Kapal Kode kategori Kapal (L kode kategori untuk Kapal laut, N kode kategori untuk Kapal nelayan, P kode kategori untuk Kapal pedalaman yaitu Kapal yang berlayar di sungai dan danau). Angka 37
Pasal 159
Cukup jelas. Angka 38 SK No 158415 A
Pasal 163
Ayat(l) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "perairan sungai dan danau" meliputi sungai, danau, waduk, kanal, terusan, dan rawa. Angka 39
Pasal 168
Cukup jelas. Angka 40
Pasal 169
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Kapal untukjenis dan ukuran tertentu" adalah Kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) a tau le bih dan Ka pal penumpang semua ukuran yang melakukan Pelayaran internasional, sedangkan untuk Kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat" adalah badan klasifikasi yang diakui Pemerintah Pusat. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 41 Pasal 170 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "ukuran tertentu" adalah Kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan Kapal penumpang semua ukuran yang melakukan Pelayaran internasional, sedangkan untuk Kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Untuk Kapal yang berlayar di dalam negeri pengaturan mengenai sertifikat ditetapkan tersendiri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 42 Pasal 171 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dihapus. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 43 Pasal 197 Cukup jelas. Angka 44 Pasal 204 Cukup jelas. Angka 45 Pasal 213 Cukup jelas. Angka 46 Pasal 225 Cukup jelas. Angka 47 Pasal 243 Cukup jelas. Angka 48 Pasal 273 Cukup jelas. Angka 49 Pasal 288 Cukup jelas. Angka 50 Pasal 289 Cukup jelas. Angka 51 Pasal 290 Cukup jelas. Angka 52 Pasal 291 Cukup jelas. - 205 - Angka 53 Pasal 292 Cukup jelas. Angka 54 Pasal 293 Cukup jelas. Angka 55 Pasal 294 Cukup jelas. Angka 56 Pasal 295 Cukup jelas. Angka 57 Pasal 296 Cukup jelas. Angka 58 Pasal 297 Cukup jelas. Angka 59 Pasal 298 Cukup jelas. Angka 60
Pasal 299
Cukup jelas. - 206 - Angka 61
Pasal 307
Cukup jelas. Angka 62 Pasal 308 Cukup jelas. Angka 63
Pasal 310
Cukup jelas. Angka 64 Pasal 313 Cukup jelas. Angka 65 Pasal 314 Cukup jelas. Angka 66 Pasal 321 Cukup jelas. Angka 67 Pasal 322 Cukup jelas. Angka 68
Pasal 336
Cukup jelas. - 207 -
Pasal 58
Angka 1
Pasal 13
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 14
Dihapus. Angka 3
Pasal 15
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 16
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 18
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 19
Cukup jelas. - 208 - Angka 8
Pasal 20
Dihapus. Angka 9
Pasal 21
Dihapus. Angka 10
Pasal 22
Dihapus. Angka 11
Pasal 26
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 209 - Cukup jelas. Angka 12
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 31
Dihapus. Angka 14
Pasal 32
Dihapus. Angka 15
Pasal 33
Dihapus. Angka 16
Pasal 37
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 41
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 42
Dihapus. Angka 20
Pasal 43
Dihapus. Angka 21
Pasal 45
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 46
Cukup jelas. - 210 - Angka 23
Pasal 47
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Personel pemegang Lisensi ahli perawatan Pesawat Udara yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat melakukan perawatan Pesawat Udara untuk perusahaan Angkutan Udara Bukan Niaga yang berkapasitas penumpang kurang dari 9 (sembilan) orang. Angka 24
Pasal 48
Dihapus. Angka 25
Pasal 49
Cukup jelas. Angka 26
Pasal 50
Cukup jelas. Angka 27
Pasal 51
Cukup jelas. Angka 28
Pasal 58
Ayat (1) Personel Pesawat Udara meliputi personel operasi Pesawat Udara, personel penunjang operasi Pesawat Udara, dan personel perawatan Pesawat Udara. Personel operasi Pesawat Udara meliputi:
penerbang; dan
juru mesin Pesawat Udara. Personel penunjang operasi Pesawat Udara meliputi:
personel penunjang operasi Penerbangan; dan
personel kabin. Personel perawatan Pesawat Udara, yaitu personel yang telah memiliki Lisensi ahli perawatan Pesawat Udara. Ayat (2) Angka 29
Pasal 60
Yang dimaksud dengan "sah" adalah dikeluarkan atau dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. Yang dimaksud dengan "masih berlaku" adalah Lisensi yang diberikan memiliki batas waktu berlakunya sesuai dengan bidang pekerjaannya. Cukup jelas. Angka 30
Pasal 61
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 63
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah:
tidak tersedianya kapasitas Pesawat Udara di Indonesia;
tidak tersedianya jenis atau kemampuan Pesawat Udara Indonesia untuk melakukan kegiatan Angkutan Udara;
bencana alam; dan/atau
bantuan kemanusiaan. Yang dimaksud dengan "dalam waktu yang terbatas" adalah waktu pengoperasian Pesawat Udara Sipil Asing dibatasi sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu oleh Pesawat Udara Indonesia. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "perjanjian antarnegara" adalah perjanjian pelimpahan kewenangan fungsi Kelaikudaraan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "persyaratan Kelaikudaraan" adalah sesua1 dengan ketentuan nasional dan in ternasional. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 32
Pasal 64
Dihapus. Angka 33
Pasal 66
Cukup jelas. Angka 34
Pasal 67
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "tanda identitas" adalah tanda pendaftaran. Angka 35
Pasal 84
Cukup jelas. Angka 36 SK No 158429 A
Pasal 85
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah adanya kebutuhan kapasitas Angkutan Udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas Angkutan Udara Niaga berjadwal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (meeting, insentive travel, convention, and exhibition), Angkutan Udara haji, bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan yang bersifat nasional dan internasional. Angka 37 Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa Angkutan Udara oleh Badan Usaha Angkutan Udara niaga berjadwal pada rute tertentu. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Angka 38
Pasal 93
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 39
Pasal 94
Cukup jelas. Angka 40
Pasal 95
Cukup jelas. PRES ID EN REPUBLIK INOONESIA Angka 41
Pasal 96
Cukup jelas. Angka 42
Pasal 97
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "pelayanan dengan standar maksimum" antara lain, pemberian makan dan minum, makanan ringan, dan fasilitas ruang tunggu eksekutif (lounge) untuk kelas bisnis ( business class) dan kelas u tama (first class). Huruf b Yang dimaksud dengan "pelayanan dengan standar menengah" antara lain, pemberian makanan ringan, dan fasili tas lain ruang tunggu eksekutif untuk penumpang kelas ekonomi tertentu. Huruf c Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pelayanan dengan standar minimum" antara lain, hanya ada 1 (satu) kelas pelayanan, tanpa pemberian makan dan minum, makanan ringan, fasilitas ruang tunggu eksekutif, dan dikenakan biaya untuk bagasi tercatat. Cukup jelas. Angka 43
Pasal 99
Dihapus. Angka 44
Pasal 100
Cukup jelas. Angka 45
Pasal 109
Cukup jelas. Angka 46
Pasal 110
Dihapus. Angka 47
Pasal 111
Dihapus. Angka 48
Pasal 112
Cukup jelas. Angka 49
Pasal 113
Ayat (1) - 217 - Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan" adalah perubahan kepemilikan sebagian atau seluruh saham Badan Usaha Angkutan Udara niaga berupa penggabungan (merger) atau pengambilalihan (akuisisi). Ayat (2) Cukup jelas. Angka 50
Pasal 114
Cukup jelas. Angka 51
Pasal 118
Cukup jelas. Angka 52
Pasal 119
Cukup jelas. Angka 53
Pasal 120
Cukup jelas. Angka 54
Pasal 130
Cukup jelas. Angka 55
Pasal 131
Dihapus. Angka 56
Pasal 132
Dihapus. Angka 57
Pasal 133
Dihapus. - 218 - Angka 58 Pasal 137 Cukup jelas. Angka 59 Pasal 138 Cukup jelas. Angka 60
Pasal 139
Cukup jelas. Angka 61 Pasal 205 Cukup jelas. Angka 62
Pasal 215
Dihapus. Angka 63 Pasal 218 Cukup jelas. Angka 64 Pasal 219 Cukup jelas. Angka 65 Pasal 221 Cukup jelas. - 219 - Angka 66
Pasal 222
Cukup jelas. Angka 67
Pasal 224
Cukup jelas. Angka 68
Pasal 225
Cukup jelas. Angka 69
Pasal 233
Cukup jelas. Angka 70
Pasal 237
Cukup jelas. Angka 71
Pasal 238
Cukup jelas. Angka 72
Pasal 242
Cukup jelas. Angka 73
Pasal 247
Cukup jelas. - 220 - Angka 74
Pasal 249
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu", antara lain, untuk tujuan medical evacuation dan penanganan bencana. Angka 75
Pasal 250
Angka 76 Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu", dapat berupa:
terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya Bandar Udara Umum; dan/atau
pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat Bandar Udara Umum dan belum ada moda transportasi yang memadai.
Pasal 252
Cukup jelas. Angka 77
Pasal 253
Cukup jelas. Angka 78
Pasal 254
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "memenuhi ketentuan Keselamatan Penerbangan dan Keamanan Penerbangan", antara lain, memiliki buku pedoman pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas Helikopter ( heliport manuaij. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 79
Pasal 255
Cukup jelas. Angka 80
Pasal 275
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan "unit pelayanan Navigasi Penerbangan di Bandar Udara" terdiri atas pelayanan Aerodrome oleh personel pemandu (Aerodrome controij, pelayanan komunikasi Penerbangan ( aeronautical flight infonnation services), dan pelayanan Aerodrome tan pa person el pemand u (unattended). Huruf b Yang dimaksud dengan "unit pelayanan navigasi pendekatan" adalah unit pelayanan Navigasi Penerbangan pada kawasan pendekatan kedatangan ( standard arrival route) dan ke berangkatan ( standard instrnment departure). Huruf c Yang dimaksud dengan "unit pelayanan Navigasi Penerbangan jelajah" adalah unit pelayanan lalu lintas Penerbangan terkendali yang diberikan kepada Pesawat Udara yang mendapatkan persetujuan dari personel pemandu lalu lintas Penerbangan ( air traffic control clearance), pelayanan informasi Penerbangan (flight infonnation service), dan pelayanan kesiagaan ( alerting service). PRES ID EN REPUBLIK INDONESIA Angka 81
Pasal 277
Cukup jelas. Angka 82
Pasal 292
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "personel Navigasi Penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas Navigasi Penerbangan" meliputi:
personel pelayanan lalu lintas Penerbangan, yang terdiri atas:
pemandu lalu lintas Penerbangan; dan
pemandu komunikasi Penerbangan.
personel teknik telekomunikasi Penerbangan, yang terdiri atas:
teknisi komunikasi Penerbangan;
teknisi radio N avigasi Penerbangan;
teknisi pengamatan Penerbangan; dan
teknisi kalibrasi Penerbangan.
personel pelayanan informasi aeronautika; dan
personel perancang prosedur Penerbangan adalah personel yang bertugas antara lain:
merancang suatu prosedur pergerakan Pesawat Udara untuk: a) ke berangka tan ( standard instrument departure). Prosedur pergerakan Pesawat Udara keberangkatan adalah jalur Penerbangan tertentu dari suatu Bandar U dara, ditandai oleh fasilitas navigasi, yang merupakan panduan bagi penerbang. Angka 83
Pasal 294
b) kedatangan (standard instrument arrival route). Prosedur pergerakan Pesawat Udara kedatangan adalah jalur Penerbangan tertentu menuju suatu Bandar Udara, ditandai oleh fasilitas-fasilitas navigasi, yang merupakan panduan bagi penerbang. c) ancangan pendaratan (instrument approach procedure). Prosedur pergerakan Pesawat Udara ancangan pendaratan adalah rangkaian manuver yang ditetapkan bagi penerbang dalam melaksanakan prosedur ancangan pendaratan dengan hanya berpedoman pada instrumen-instrumen yang terdapat dalam cockpit serta fasilitas komunikasi dan navigasi. d) terbang jelajah (en-route). Prosedur pergerakan Pesawat Udara terbang jelajah adalah prosedur pergerakan Pesawat Udara yang dimulai dari fase keberangkatan sampai dengan awal fase kedatangan melalui suatu jalur Penerbangan dengan batas ketinggian minimum yang ditentukan (minimum en-route altitude). 2) melakukan kajian aeronautika terhadap objek halangan yang berada dalam area operasi Penerbangan. Cukup jelas. Angka 84
Pasal 295
Cukup jelas. Angka 85
Pasal 317
Cukup jelas. Angka 86 Pasal 389 Cukup jelas. Angka 87 Pasal 392 Cukup jelas. Angka 88 Pasal 409 Cukup jelas. Angka 89 Pasal 414 Cukup jelas. Angka 90 Pasal 416 Cukup jelas. Angka 91 Pasal 418 Cukup jelas. Angka 92 Pasal 423 Cukup jelas. Angka 93 Pasal 426 Cukup jelas. Angka 94 Pasal 427 Cukup jelas. Angka 95 Pasal 428 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Angka 1 Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Angka 2 Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat pertama" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Huruf b Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat kedua" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan spesialistik. Huruf c Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pelayanan kesehatan tingkat ketiga" adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sub spesialistik. Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 60
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "alat dan teknologi" dalam keten tuan ini adalah yang tidak berten tangan dengan tindakan pengobatan tradisional yang dilakukan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 106
Angka 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Sediaan Farmasi" adalah Obat, bahan Obat, Obat Tradisional, dan kosmetik. Termasuk dalam Sediaan Farmasi adalah suplemen kesehatan dan Obat kuasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 111
SK No 158442 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "standar" antara lain terkait dengan pemberian tanda atau label yang berisi:
nama produk;
daftar bahan yang digunakan;
berat bersih atau isi bersih;
nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan makanan dan minuman ke dalam wilayah Indonesia; dan
tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 6
Pasal 182
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 183
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 187
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 188
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 197
Pasal 61
Angka 1 Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 24
Ayat (1) - 228 - Kemampuan pelayanan antara lain ditentukan oleh sumber daya manusia, bangunan, sarana, dan peralatan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 25
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 27
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 28
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 29
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "standar pelayanan Rumah Sakit" adalah semua standar pelayanan yang berlaku di Rumah Sakit, antara lain standar prosedur operasional, standar pelayanan medis, dan standar asuhan keperawatan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "Pasien tidak mampu atau miskin" adalah Pasien yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "menyelenggarakan rekam medis" adalah penyelenggaraan rekam medis yang dilakukan sesuai dengan standar yang secara bertahap diupayakan mencapai standar internasional. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf 1 Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Angka 8 Huruf o Rumah Sakit dibangun serta dilengkapi dengan sarana, prasarana dan peralatan yang dapat difungsikan serta dipelihara sedemikian rupa untuk mendapatkan keamanan, mencegah kebakaran atau bencana dengan terjaminnya keamanan, kesehatan dan keselamatan Pasien, petugas, pengunjung, dan lingkungan Rumah Sakit. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Yang dimaksud dengan "peraturan internal Rumah Sakit" (hospital by laws) adalah peraturan organisasi Rumah Saki t ( corporate by laws) dan peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) yang disusun dalam rangka menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance). Dalam peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) antara lain diatur kewenangan klinis ( Clinical Privilege). Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Angka 9
Pasal 54
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pengawasan yang bersifat teknis medis" adalah audit medis. Yang dimaksud dengan "pengawasan yang bersifat teknis perumahsakitan" adalah audit kinerja rumah sakit. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Angka 10
Pasal 62
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 62
Angka 1
Pasal 5
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 9
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 16
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 18
Angka 5 Ayat (1) Surat persetujuan ekspor dari Pemerintah Pusat berisi keterangan tertulis antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah Psikotropika yang disetujui untuk diekspor, nama dan alamat eksportir dan importir di negara pengimpor, jangka waktu pelaksanaan ekspor dan keterangan bahwa ekspor tersebut untuk kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan. Surat persetujuan impor dari Pemerintah Pusat berisi keterangan tertulis antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah Psikotropika yang disetujui untuk diimpor, nama dan alamat importir dan eksportir di negara pengekspor, jangka waktu pelaksanaan impor dan keterangan bahwa impor tersebut untuk kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 20
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 21
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 22
Pasal 63
Angka 1 Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1) Ketentuan m1 membuka kemungkinan untuk memberikan Perizinan Berusaha kepada lebih dari satu Industri Farmasi yang berhak memproduksi obat Narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 2
Pasal 15
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dirnaksud dengan "dalarn keadaan tertentu" dalarn ketentuan ini adalah apabila Pedagang Besar Farrnasi rnilik negara dirnaksud tidak dapat rnelaksanakan fungsinya dalarn rnelakukan irnpor Narkotika karena bencana alarn, kebakaran dan lain- lain. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 16
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 18
Ayat (1) Pedagang Besar Farmasi dalarn ketentuan m1 adalah badan usaha milik negara rnaupun swasta. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 5
Pasal 19
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 22
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 24
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 36
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 39
Ayat (1)
Pasal 64
Yang dimaksud dengan "Industri Farmasi" adalah Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika. Yang dimaksud dengan "Pedagang Besar Farmasi" adalah Pedagang Besar Farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika. Ayat (2) Ketentuan ini menegaskan bahwa Perizinan Berusaha bagi sarana penyimpanan Sediaan Farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan pendirian sarana penyimpanan Sediaan Farmasi tersebut tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 14
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 15
Ayat (1) Cuku p j elas. Ayat (2) Yang dirnaksud dengan "untuk keperluan lain" adalah penggunaan kelebihan Produksi Pangan selain untuk konsurnsi, antara lain, untuk pakan, bahan baku energi, industri, dan/atau ekspor. Angka 4
Pasal 36
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 39
Usaha tani rneliputi peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pernbudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan skala rnikro dan kecil. Angka 6
Pasal 68
Ayat (1) Yang dirnaksud dengan "rantai Pangan" adalah urutan tahapan dan operasi di dalarn produksi, pengolahan, distribusi, penyirnpanan, dan penanganan suatu Pangan dan bahan bakunya rnulai dari produksi hingga konsurnsi, tef'rnasuk bahan yang berhubungan dengan Pangan hingga Pangan siap dikonsurnsi. Yang dirnaksud dengan "secara terpadu" adalah penyelenggaraan Kearnanan Pangan harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh sernua pernangku kepentingan pada setiap rantai Pangan. Angka 7 Ayat (2) Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan dilakukan antara lain, dengan berbasis analisis risiko. Analisis risiko merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara sistematis dan transparan berdasarkan informasi ilmiah yang meliputi manajemen risiko, kajian risiko, dan komunikasi risiko. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 74
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 77
Ayat (1) Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam Perizinan Berusaha adalah dari aspek Keamanan Pangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "bahan baku" adalah bahan utama yang dipakai dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, yang dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi, atau bahan jadi. Yang dimaksud dengan "bahan lain" adalah bahan yang tidak termasuk bahan baku maupun bahan tambahan Pangan. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 10
Pasal 81
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 87
Dihapus. Angka 12
Pasal 88
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 91
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Pangan Olahan tertentu" adalah Pangan Olahan yang dibuat oleh industri rumah tangga Pangan, yaitu industri Pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan manual hingga semi otomatis. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 14
Pasal 91A
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 133
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 134
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 135
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 139
Cukup jelas. Angka 19
Pasal 140
Cukup jelas. Angka 20 ·Pasal 141 Cukup jelas. Angka 21
Pasal 65
Pasal 142
Cukup jelas. Ayat(l) Yang dimaksud dengan kata "dapat" dalam ketentuan ini pada dasarnya kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha tidak berlaku pada sektor pendidikan kecuali lembaga pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus yang diatur tersendiri. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 1m menganut prinsip bahwa pengelolaan satuan pendidikan bersifat nirlaba sehingga tidak dapat disamakan dengan pengelolaan kegiatan usaha. Dengan demikian perlakuan, persyaratan, dan proses izin yang diperlukan oleh satuan pendidikan untuk kegiatan operasionalnya tidak dapat sama dengan perlakuan, persyaratan, dan proses Perizinan Berusaha untuk kegiatan yang dapat bersifat laba. Ketentuan izin untuk satuan pendidikan tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pendidikan:
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi;
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran;
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Undang-Undang tersebut tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dan oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi satuan pendidikan tersebut termasuk satuan pendidikan nonformal yang dikelola oleh masyarakat melakukan proses izin melalui sistem Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Ketentuan pasal ini memberikan ruang bagi pengelola satuan pendidikan secara sukarela untuk dapat menggunakan proses sistem Perizinan Berusaha antara lain untuk proses kesesuaian tata ruang, persetujuan lingkungan, dan standar bangunan gedung. Untuk pengelolaan satuan pendidikan cuku p dengan proses yang telah ada sehingga tidak dilakukan melalui sistem Perizinan Berusaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Sebagai contoh bahwa untuk pendirian pesantren telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang mengatur bahwa pendirian pesantren hanya dengan mendaftarkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Sehingga dengan demikian pendirian pesantren tidak berlaku kewajiban untuk menggunakan sistem Perizinan Berusaha dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Ayat (2)
Pasal 66
Angka 1 Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 22
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 78
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 79
Dihapus.
Pasal 67
Angka 1
Pasal 14
Ayat (1) Huruf a SK No 158458 A Yang dimaksud dengan "usaha Daya Tarik Wisata" adalah usaha yang kegiatannya mengelola Daya Tarik Wisata alam, Daya Tarik Wisata budaya, dan Daya Tarik Wisata buatan/binaan manusia. Huruf b Yang dimaksud dengan "usaha kawasan Pariwisata" adalah usaha yang kegiatannya membangun dan/atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan Pariwisata. Huruf c Yang dimaksud dengan "usaha jasa transportasi Wisata" adalah usaha khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan Pariwisata, bukan angkutan transportasi reguler / um um. Huruf d Yang dimaksud dengan "usaha jasa perjalanan Wisata" adalah usaha biro perjalanan Wisata dan usaha agen perjalanan Wsata. Usaha biro perjalanan Wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan Pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. U saha agen perjalanan Wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan. Huruf e Yang dimaksud dengan "usaha jasa makanan dan minuman" adalah usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan dapat berupa restoran, kafe, jasa boga, dan bar/kedai minum. Huruf f Yang dimaksud dengan "usaha penyediaan akomodasi" adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan Pariwisata lainnya. Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan Pariwisata. Huruf g Yang dimaksud dengan "usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi" adalah usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa usaha seni pertunjukan, arena permainan, karaoke, bioskop, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan untuk Pariwisata. Huruf h Yang dimaksud dengan "usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran" adalah usaha yang memberikan jasa bagi suatu pertemuan sekelompok orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam rangka menyebarluaskan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala nasional, regional, dan in ternasional. Huruf i Yang dimaksud dengan "usaha jasa informasi Wisata" adalah usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai Kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik. Huruf j Yang dimaksud dengan "usaha jasa konsultan Pariwisata" adalah usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang Kepariwisataan. Huruf k Cukup jelas. Hurufl Yang dimaksud dengan "usaha Wisata tirta" adalah usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk. Huruf m Ayat (2) Yang dimaksud dengan "usaha spa" adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia. Cukup jelas. Angka 2
Pasal 15
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 16
Dihapus. Angka 4 SK No 158461 A
Pasal 26
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "Usaha Pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi" meliputi, antara lain Wisata selam, arung jeram, panjat tebing, permainan jet coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu, seperti melihat satwa liar di alam be bas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf 1 Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Angka 5
Pasal 29
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 6
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 54
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 56
Dihapus. Angka 9
Pasal 68
Pasal 64
Dihapus. Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 19
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 20
Cukup jelas. - 248 - Angka 4
Pasal 58
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "jaminan bank" adalah garansi bank atau deposito atas nama biro perjalanan wisata. Huruf d Cukup jelas. Angka 5
Pasal 59
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 61
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 63
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 83
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 84
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 85
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 89
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 90
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 91
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 92
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 94
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 95
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 99
Cukup jelas. - 250 - Angka 18 Pasal 101 Cukup jelas. Angka 19 Pasal 103 Cukup jelas. Angka 20 Pasal 104 Cukup jelas. Angka 21 Pasal 106 Cukup jelas. Angka 22 Pasal 118A Cukup jelas. Angka 23 Pasal 119A Cukup jelas. Angka 24 Pasal 125 Cukup jelas. Angka 25 Pasal 126 Cukup jelas. - 251 -
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Angka 1
Pasal 10
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 12
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 13
Dihapus. Angka 4
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 71
Angka 1
Pasal 11
Ayat (1) Pemenuhan Perizinan Berusaha dalam Penyelenggaraan Telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan Penyelenggaraan Telekomunikasi yang sehat. Angka 2 Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 28
Angka 3 Ayat (1) Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif. Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif perubahan. Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan Telekomunikasi. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1) Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebutuhan Jasa Telekomunikasi di suatu daerah yang karena keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh Jasa Telekomunikasi. Oleh karena itu perlu memberikan kemungkinan kepada Penyelenggara Telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk kepentingan sendiri, dapat memberikan pelayanan Jasa Telekomunikasi kepada masyarakat yang bertem pat tinggal di daerah terse but. Angka 4 Ayat (2) Penyelenggara Telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan Jaringan Telekomunikasi dan/atau Jasa Telekomunikasi dapat melanjutkan Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan/atau Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi dengan pertimbangan investasi yang telah dilakukannya dan kesinambungan pelayanan kepada Pengguna. Dalam hal ini Penyelenggara Telekomunikasi khusus yang bersangkutan wajib memenuhi seluruh ketentuan yang berlaku bagi Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan/atau Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 33
SK No 097283 A Ayat (1) Pemberian Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio dan hasil analisis teknis. Slot orbit satelit bukan merupakan aset nasional. Pemberian Perizinan Berusaha penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui mekanisme seleksi atau evaluasi. Ayat (2) Pemberian persetujuan terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio dan hasil analisis teknis. Pemberian persetujuan terkait penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui mekanisme evaluasi. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "sesuai dengan peruntukan" adalah penggunaan spektrum frekuensi radio wajib sesuai dengan perencanaan spektrum frekuensi radio dan ketentuan teknis penggunaan spektrum frekuensi radio yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Yang dimaksud dengan "gangguan yang merugikan" adalah jenis gangguan/interferensi yang memberikan dampak merugikan terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio yang mendapatkan proteksi dari Pemerintah Pusat. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. REF'UBLIK INDONESIA Angka 6
Pasal 34
Ayat (1) Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan kompensasi atas penggunaan spektrum frekuensi radio sesuai dengan izin yang diterima. Di samping itu, biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar spektrum frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Besarnya biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio ditentukan berdasarkan jenis dan le bar pita frekuensi radio. Jenis spektrum frekuensi radio akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan, sedangkan lebar pita frekuensi radio akan berpengaruh pada kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/ dikirimkan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 7 SK No 158471 A
Pasal 34A
Cukup jelas.
Pasal 34B
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "infrastruktur pasif' termasuk tetapi tidak terbatas pada gorong-gorong (ducting), tiang Telekomunikasi (tower), tiang (pole), dan lain-lain yang dapat digunakan untuk penggelaran Jaringan Telekomunikasi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "infrastruktur" dalam ketentuan ini adalah infrastruktur aktif. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 8
Pasal 45
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 46
Dihapus. Angka 10
Pasal 47
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 48
Dihapus.
Pasal 72
Angka 1
Pasal 16
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 25
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 33
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 34
Dihapus. Angka 5
Pasal 55
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 57
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 58
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 60A
Ayat (1) Penyelenggaraan Penyiaran harus mengikuti perkembangan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan Spektrum Frekuensi Radio dan spektrum elektromagnetik lainnya, kualitas penerimaan dan pilihan program Siaran radio dan televisi bagi masyarakat, efisiensi dalam operasional penyelenggaraan jasa Penyiaran Radio dan Penyiaran Televisi dan pertumbuhan industri-industri yang terkait dengan bidang Penyiaran. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "migrasi Penyiaran Televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital" adalah proses yang dimulai dengan penerapan sistem Penyiaran berteknologi digital untuk Penyiaran Televisi yang diselenggarakan melalui media transmisi terestrial dan dilakukan secara bertahap, serta diakhiri dengan penghentian penggunaan teknologi analog dalam lingkup nasional. Ayat (3)
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Angka 1
Pasal 11
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 2
Pasal 21
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 38
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 52
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 55
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 56
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 66
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 67
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 68
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 69
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 69A
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 72
Cukup jelas. - 260 - Angka 13
Pasal 73
Cukup jelas. Angka 14 Pasal 74 Cukup jelas. Angka 15
Pasal 75
Pasal 75
Pasal 15
Cukup jelas. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/ praktik lintah darat, dan pungutan liar. Wewenang yang dimaksud dalam ayat (1) m1 dilaksanakan secara terkoordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Huruf d Yang dimaksud dengan "aliran" adalah semua aliran atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang berten tangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "tindakan Kepolisian" adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Keterangan dan barang bukti dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses pidana maupun dalam rangka tugas Kepolisian pada umumnya. Huruf j Yang dimaksud dengan "Pu.sat Informasi Kriminal Nasional" adalah sistem jaringan dari dokumentasi kriminal yang memuat baik data kejahatan dan pelanggaran maupun kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas serta registrasi dan identifikasi lalu lintas. Huruf k Surat izin dan / a tau surat keterangan yang dimaksud dikeluarkan atas dasar permintaan yang berkepen tingan. Huruf 1 Wewenang terse but dilaksanakan berdasarkan permintaan instansi yang berkepentingan atau permintaan masyarakat. Hurufm Ayat (2) Yang dimaksud dengan "barang temuan" adalah barang yang tidak diketahui pemiliknya yang ditemukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia a tau masyarakat yang diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Barang temuan itu harus dilindungi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu tertentu tidak diambil oleh yang berhak akan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah menerima barang temuan wajib segera mengumumkan melalui media cetak, media elektronik dan/atau media pengumuman lainnya. Huruf a Yang dimaksud "keramaian umum" dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 510 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu keramaian atau tontonan untuk umum dan mengadakan arak-arakan di jalan umum. Kegiatan masyarakat lainnya adalah kegiatan yang dapat membahayakan keamanan umum seperti diatur dalam Pasal 495 ayat (1), Pasal 496, Pasal 500, Pasal 501 ayat (2), dan Pasal 502 ayat (1) KUHP. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kegiatan politik yang memerlukan pemberitahuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kegiatan politik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang politik, antara lain kegiatan kampanye pemilihan umum (pemilu), pawai politik, pen ye baran pamflet, dan penampilan gambar/lukisan bermuatan politik yang disebarkan kepada umum. Huruf e Yang dimaksud dengan "senjata tajam" dalam Undang- Undang ini adalah senjata penikam, senjata penusuk, dan senjata pemukul, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk pertanian, atau untuk pekerjaan rumah tangga, atau untuk kepentingan melakukan pekerjaan yang sah, atau nyata untuk tujuan barang pusaka, atau barang kuno, atau barang ajaib sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 12/Drt/ 1951. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "kejahatan internasional" adalah kejahatan tertentu yang disepakati untuk ditanggulangi antarnegara, antara lain kejahatan narkotika, uang palsu, terorisme, dan perdagangan manusia. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Huruf k Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Angka 1·
Pasal 2
Angka 2 Lingkup Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini tidak termasuk Penanaman Modal tidak langsung atau portofolio.
Pasal 12
Ayat (1) Pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal didasarkan atas kepentingan nasional yang mencakup antara lain pelindungan sumber daya alam, pelindungan, pengembangan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk pemerintah. Kepentingan nasional tersebut dapat mencakup pelindungan atas kegiatan usaha yang dapat membahayakan kesehatan (seperti obat, minuman keras mengandung alkohol), pemberdayaan petani, nelayan, petambak ikan, dan garam, usaha mikro dan kecil dengan pengaturan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, namun tetap memperhatikan aspek peningkatan ekosistem Penanaman Modal. Angka 3 Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat merupakan kegiatan yang bersifat pelayanan atau dalam rangka pertahanan dan keamanan, mencakup antara lain alat utama sistem persenjataan, museum pemerintah, peninggalan sejarah dan purbakala, penyelenggaraan navigasi penerbangan, telekomunikasi/ sarana ban tu navigasi pelayaran dan vessel. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Persyaratan Penanaman Modal ditujukan untuk bidang usaha yang diprioritaskan oleh Pemerintah Pusat yang dituangkan dalam bentuk daftar prioritas investasi yang diatur dalam Peraturan Presiden yang meliputi antara lain:
Bidang usaha prioritas yang diberikan insentif fiskal;
Bidang usaha yang diberi kemudahan insentif non fiskal, antara lain dalam bentuk kemudahan Perizinan Berusaha, lokasi Penanaman Modal, penyediaan infrastruktur dan energi, dan lain-lain;
Bidang usaha bagi usaha mikro, kecil, dan menengah dan persyaratan kemitraan antara usaha besar dengan usaha mikro, kecil, dan menengah tidak termasuk kemitraan sebagai pemegang saham; dan
Bidang usaha terbuka dengan persyaratan tertentu.
Pasal 13
Ayat (1) Dalam rangka pelindungan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah:
Penanaman Modal Asing hanya diperbolehkan pada usaha skala besar dan hanya boleh bermitra dengan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah.
Mengalokasikan bidang usaha untuk koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta bidang usaha untuk usaha besar dengan syarat harus bekerjasama melalui kemitraan dengan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, dan menengah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 18
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Angka 5 Huruf e Yang dimaksud dengan "ind ustri pionir" adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 25
Pasal 78
Pasal 22
Cukup jelas. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas.
Pasal 79
Pasal 9
Huruf b Yang termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Negara Republik Indonesia, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta. Huruf c Ayat (2) Sadan hukum asing yang mendirikan Bank Umum terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Perbankan. Cukup jelas. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Ayat (2) Sadan hukum asmg yang mendirikan Bank Umum Syariah terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Perbankan. Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (3) Persyaratan dan tata cara kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Cukup jelas.
Pasal 81
Angka 1
Pasal 13
Ayat (1) Angka 2 Huruf a Yang dimaksud dengan "lembaga Pelatihan Kerja pemerintah" adalah lembaga Pelatihan Kerja yang dimiliki oleh pemerintah. Huruf b Yang dimaksud dengan "lembaga Pelatihan Kerja swasta" adalah lembaga yang dimiliki oleh swasta. Huruf c Ayat (2) Yang dimaksud dengan "lembaga Pelatihan Kerja Perusahaan" adalah unit pelatihan yang terdapat di dalam Perusahaan. Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 37
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 42
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 43
Dihapus. Angka 6
Pasal 44
Dihapus. Angka 7 SK No 158487 A
Pasal 45
Ayat (1) Huruf a Tenaga pendamping Tenaga Kerja Asing tidak secara otomatis menggantikan atau menduduki jabatan Tenaga Kerja Asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti Tenaga Kerja Asing yang didampinginya. Huruf b Pendidikan dan Pelatihan Kerja oleh Pemberi Kerja tersebut dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan Tenaga Kerja warga negara Indonesia untuk berlatih ke luar negeri. efll , ' : 9 .. --. . .....-..: =·- Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 8
Pasal 46
Dihapus. Angka 9
Pasal 47
Ayat (1) Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 10
Pasal 48
Dihapus. Angka 11
Pasal 49
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 56
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 57
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 58
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 59
SK No 158489 A Ayat (1) Perjanjian Kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pekerjaan yang bersifat tetap" adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu Perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 16
Pasal 61
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Ayat (2) Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan. Cukup jelas. · Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hak- hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama" adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan Pekerja/Buruh yang bersangkutan. Angka 17
Pasal 61A
Cukup jelas. Angka 18 Pasal 64 Cukup jelas. Angka 19
Pasal 65
Dihapus. Angka 20 Pasal 66 Angka 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pengalihan pelindungan hak- hak bagi Pekerja/Buruh" yaitu Perusahaan alih daya yang baru memberikan perlindungan hak-hak bagi Pekerja/Buruh minimal sama dengan hak-hak yang diberikan oleh Perusahaan alih daya sebelumnya. Yang dimaksud dengan "objek pekerjaannya tetap ada" adalah pekerjaan yang ada pada 1 (satu) Perusahaan pemberi pekerjaan yang sama. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 22 Pasal 67 Ayat (1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan aksesibilitas serta pemberian alat kerja dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kedisabilitasan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 23 Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu dapat diberlakukan ketentuan waktu kerja yang kurang atau lebih dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 24 Pasal 78 Ayat (1) Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena Pekerja/Buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga Pekerja/Buruh harus bekerja melebihi waktu kerja. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 25 Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bagi Perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 26
Pasal 84
Cukup jelas. Angka 27 SK No 158493 A
Pasal 88
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "alasan tertentu" antara lain alasan karena Pekerja/Buruh sedang berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, atau menjalankan hak waktu istirahatnya. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah" antara lain berupa denda, ganti rugi, pemotongan Upah untuk pihak ketiga, uang muka Upah, sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh, hutang atau cicilan utang Pekerja/Buruh kepada Pengusaha, atau kelebihan pembayaran Upah. Huruf g Ayat (4) Yang dimaksud dengan "Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya" antara lain Upah untuk pembayaran pesangon atau Upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Cukup jelas. Angka 28
Pasal 88A
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pengusaha dilarang tidak membayar Upah bagi Pekerja/Buruh. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas.
Pasal 88B
Cukup jelas.
Pasal 88C
Cukup jelas.
Pasal 88D
Cukup jelas.
Pasal 88E
Cukup jelas.
Pasal 88F
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" mencakup antara lain bencana yang ditetapkan oleh Presiden, kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional seperti bencana nonalam pandemi. Angka 29
Pasal 89
Dihapus.
PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA Angka 30 Pasal 90 Dihapus Angka 31 Pasal 90A Cukup jelas. Pasal 908 Cukup jelas. Angka 32
Pasal 91
Dihapus. Angka 33
Pasal 92
Angka 34 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyusunan struktur dan skala Upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan Upah sehingga terdapat kepastian Upah tiap Pekerja/Buruh serta mengurangi kesenjangan antara Upah terendah dan tertinggi di Perusahaan yang bersangkutan. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 92A
Peninjauan Upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan Perusahaan. Angka 35
Pasal 94
Yang dimaksud dengan "tunjangan tetap" adalah pembayaran kepada Pekerja/Buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran Pekerja/Buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu. Angka 36
Pasal 95
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "didahulukan pembayarannya" yaitu pembayaran Upah Pekerja/Buruh didahulukan dari semua jenis kreditur termasuk kreditur separatis atau kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 37
Pasal 96
Dihapus. Angka 38
Pasal 97
Dihapus. Angka 39
Pasal 98
Cukup jelas. Angka 40
Pasal 151
Ayat (1) Yang dirnaksud dengan "rnengupayakan" adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat rnenghindari terjadinya Pernutusan Hubungan Kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghernatan, pernbenahan rnetode kerja, dan rnern berikan pern binaan kepada Pekerj a/ Buruh. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 41
Pasal 151A
Cukup jelas. Angka 42
Pasal 152
Dihapus. Angka 43
Pasal 153
Cukup jelas. Angka 44
Pasal 154
Dihapus. Angka 45
Pasal 154A
Cukup jelas. Angka 46
Pasal 155
Dihapus. Angka 47
Pasal 156
Cukup jelas. Angka 48
Pasal 157
Cukup jelas. Angka 49
Pasal 157A
Ayat (1) - 283 - Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "hak lainnya" yaitu hak-hak lain yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Contoh: hak cuti yang belum diambil dan belum gugur. Ayat (3) Yang dimaksud "sesuai tingkatannya" adalah penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit atau mediasi/konsiliasi/ arbitrase atau pengadilan Hubungan Industrial. Angka 50
Pasal 158
Dihapus. Angka 51
Pasal 159
Dihapus. Angka 52 SK No 097239 A
Pasal 160
Ayat (1) Keluarga Pekerja/Buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/ suami, Anak, · a tau orang yang sah menjadi tanggungan Pekerja/Buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 53
Pasal 161
Dihapus. Angka 54
Pasal 162
Dihapus. Angka 55
Pasal 163
Dihapus. Angka 56
Pasal 164
Dihapus. Angka 57
Pasal 165
Dihapus. Angka 58
Pasal 166
Dihapus. Angka 59
Pasal 167
Dihapus. Angka 60
Pasal 168
Dihapus. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 285 - Angka 61
Pasal 169
Dihapus. Angka 62
Pasal 170
Dihapus. Angka 63
Pasal 171
Dihapus. Angka 64
Pasal 172
Dihapus. Angka 65
Pasal 184
Dihapus. Angka 66
Pasal 185
PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 286 - Cukup jelas. Angka 67
Pasal 186
Cukup jelas. Angka 68 Pasal 187 Cukup jelas. Angka 69 Pasal 188 Cukup jelas. Angka 70 Pasal 190 Cukup jelas. Angka 71 Pasal 19 lA Huruf a Yang dimaksud dengan "untuk pertama kali" adalah Upah minimum Tahun 2021 yang ditetapkan pada Tahun 2020. Huruf b Cukup jelas. Pasal 82 Angka 1 Pasal 18 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 46A Cukup jelas. Pasal 46B Cukup jelas. Pasal 46C Cukup jelas.
Pasal 83
Pasal 46D
Cukup jelas.
Pasal 46E
Ayat (1) . Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "rekomposisi Iuran" adalah rekomposisi Iuran yang tidak berasal dari pekerja/buruh tanpa mengurangi manfaat programjaminan sosial lainnya yang menjadi hak pekerja/ buruh. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 1
Pasal 6
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 9
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 84
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 51
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 53
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 57
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 85
Pasal 86
Pasal 89A
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 1
Pasal 6
Pasal 17
Angka 3 Ayat (1) Sebagai pemilik dan pengguna jasa Koperasi, anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan Koperasi. Sekalipun demikian, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, Koperasi dapat pula memberikan pelayanan kepada bukan anggota sesuai dengan sifat kegiatan usahanya, dengan maksud untuk menarik yang bukan anggota menjadi anggota Koperasi. Ayat (2) Buku daftar anggota Koperasi dapat berbentuk dokumen tertulis atau dokumen elektronik.
Pasal 21
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 22
Cukup jelas. Angka 5 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA
Pasal 43
Ayat (1) Usaha Koperasi terutama diarahkan pada bidang usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota baik untuk menunjang usaha . maupun kesejahteraannya. Dalam hubungan m1 maka pengelolaan usaha Koperasi harus dilakukan secara produktif, efektif dan efisien dalam arti pelayanan usaha yang dapat meningkatkan nilai tam bah dan manfaat yang se besar-besarnya pada anggota dengan tetap mempertimbangkan untuk memperoleh sisa hasil usaha yang wajar. Untuk mencapai kemampuan usaha seperti tersebut di atas, maka Koperasi dapat berusaha secara luwes baik ke hulu maupun ke hilir serta berbagai jenis usaha lainnya yang terkait. Adapun mengenai pelaksanaan usaha Koperasi, dapat dilakukan di mana saja, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan mempertimbangkan kelayakan usahanya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi" adalah kelebihan kapasitas dana dan daya yang dimiliki oleh Koperasi untuk melayani anggotanya. Kelebihan kapasitas tersebut oleh Koperasi dapat dimanfaatkan untuk berusaha dengan bukan anggota dengan tujuan untuk mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar volume usaha dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat se besar- besarnya kepada anggotanya serta memasyarakatkan Koperasi. Ayat (4) Agar Koperasi dapat mewujudkan fungsi dan peran seperti yang dimaksud dalam Pasal 4 maka Koperasi melaksanakan usaha di segala bidang kehidupan ekonomi dan berperan utama dalam kehidupan ekonomi rakyat. Yang dimaksud dengan "kehidupan ekonomi rakyat" adalah semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dan menyangkut kepentingan orang banyak. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 6
Pasal 87
Pasal 44A
Cukup jelas. Angka 1
Pasal 6
Cukup jelas. Angka 2 SK No 097242 A
Pasal 12
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan" adalah memberikan kemudahan persyaratan dan tata cara perizinan serta informasi yang seluas-luasnya. Yang dimaksud dengan "_sistem pelayanan terpadu satu pintu" adalah proses pengelolaan perizinan usaha yang dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen, dilakukan dalam satu tempat berdasarkan prinsip pelayanan se bagai beriku t:
kesederhanaan dalam proses;
kejelasan dalam pelayanan;
kepastian waktu penyelesaian;
kepastian biaya;
keamanan tempat pelayanan;
tanggung jawab petugas pelayanan;
kelengkapan sarana dan prasarana pelayanan;
kemudahan akses pelayanan; dan
kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan pelayanan. Hurufb Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 21
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 25
Dihapus. Angka 5 SK No 096528 A
Pasal 26
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "bentuk-bentuk kemitraan lain" seperti bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan Uoint venture), dan penyumberluaran (outsourcing). Angka 6
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 32A
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 35
Ayat (1) Yang dimaksud "memiliki" adalah adanya peralihan kepemilikan secara yuridis atas badan usaha/perusahaan dan/atau aset atau kekayaan yang dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan. Ayat (2)
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "insentif kepabeanan" antara lain pemberian keringanan atau pembebasan bea masuk. Ayat (4)
Pasal 93
Pelaku Usaha Mikro perlu diberikan dukungan antara lain melalui pemberian insentif Pajak Penghasilan agar dapat meningkatkan kapasitas dan skala usahanya untuk berkembang. Pemberian dukungan insentif Pajak Penghasilan tersebut juga ditujukan sebagai sarana pembelajaran bagi pelaku usaha mikro agar dapat lebih memahami hak dan kewajiban perpajakan. Insentif Pajak Penghasilan diberikan kepada pelaku Usaha Mikro tertentu berdasarkan basis data tunggal UMK-M agar insentif yang diberikan tepat sasaran.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Huruf a PRESIDEN REPUBLIK INOONESIA - 296 - Yang dimaksud dengan "pembiayaan alternatif untuk UMK-M" antara lain meliputi:
urun dana _(crowd.funding); _ b. modal ventura;
angel _capital; _ d. dana padanan ( seed _capitaij; _ dan e. kewajiban pelayanan universal (universal service obligation). Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.
Pasal 103
Pasal 53A
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 38
Visa kunjungan dalam penerapannya dapat diberikan untuk melakukan kegiatan, antara lain:
wisata;
keluarga; Angka 3 3. sosial;
seni dan budaya;
tugas pemerintahan;
olahraga yang tidak bersifat komersial;
studi banding, kursus singkat, dan pelatihan singkat;
memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pelatihan dalam penerapan dan inovasi teknologi industri untuk meningkatkan mutu dan desain produk industri serta kerja sama pemasaran luar negeri bagi Indonesia;
melakukan pekerjaan darurat dan mendesak;
jurnalistik yang telah mendapat izin dari instansi yang berwenang;
pembuatan film yang tidak bersifat komersial dan telah mendapat izin dari instansi yang berwenang;
melakukan pembicaraan bisnis;
melakukan pembelian barang;
memberikan ceramah atau mengikuti seminar;
mengikuti pameran internasional;
mengikuti rapat yang diadakan dengan kantor pusat atau perwakilan di Indonesia; 1 7. melakukan audit, kendali mutu produksi, atau inspeksi pada cabang perusahaan di Indonesia;
calon tenaga kerja asing dalam uji coba kemampuan dalam bekerja;
meneruskan perjalanan ke negara lain; dan
bergabung dengan alat angkut yang berada di Wilayah Indonesia.
Pasal 39
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "Visa tinggal terbatas rumah kedua" adalah Visa yang diberikan kepada Orang Asing beserta keluarganya untuk tinggal menetap di Indonesia selama 5 (lima) tahun atau 10 ( sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan tertentu. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 46
SK No 096534 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di Wilayah Indonesia" adalah dalam rangka tugas penempatan di perwakilan negara setempat atau perwakilan organisasi in ternasional. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 6
Pasal 54
Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "rohaniwan" adalah pemuka agama yang diakui di Indonesia. Huruf b Yang dimaksud dengan "keluarga" adalah suami/istri dan anak. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Angka 7
Pasal 63
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 8
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 107
Angka 1
Pasal 3
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Paten sederhana diberikan untuk Invensi yang berupa produk yang bukan sekadar berbeda ciri teknisnya, tetapi harus memiliki fungsi/kegunaan yang lebih praktis daripada Invensi sebelumnya yang disebabkan bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya yang mencakup alat, barang, mesin, komposisi, formula, penggunaan, senyawa, atau sistem. Paten sederhana juga diberikan untuk Invensi yang berupa proses atau metode yang baru. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 2
Pasal 20
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 82
SK No 096549 A Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Angka 4 Huruf c Ayat (2) Keadaan ini biasanya terjadi dalam pelaksanaan Paten yang merupakan hasil penyempurnaan atau pengembangan Invensi yang lebih dahulu telah dilindung Paten. Oleh karenanya pelaksanaan Paten yang baru tersebut berarti rnelaksanakan sebagian atau seluruh Invensi yang telah dilindungi Paten yang dirniliki oleh pihak lain. Jika Pemegang Paten terdahulu memberi Lisensi kepada Pemegang Paten berikutnya, yang memungkinkan terlaksananya Paten berikutnya tersebut, rnaka dalarn hal ini tidak ada masalah pelanggaran Paten. Tetapi kalau Lisensi untuk itu tidak diberikan, semestinya Undang-Undang m1 menyediakan jalan keluarnya. Ketentuan m1 dirnaksudkan agar Paten yang diberikan belakangan dapat dilaksanakan tanpa rnelanggar Paten yang terdahulu melalui pernberian Lisensi- wajib oleh Menteri. Cukup jelas.
Pasal 122
Angka 5 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "satu Invensi" adalah Paten sederhana hanya diajukan untuk satu klaim mandiri produk atau satu klairn rnandiri proses, tetapi dapat terdiri atas be berapa klairn turunan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 108
Angka 1
Pasal 20
Huruf a Yang dimaksud dengan "bertentangan dengan ketertiban umum" adalah tidak sejalan dengan peraturan yang ada dalam masyarakat yang sifatnya menyeluruh seperti menyinggung perasaan masyarakat atau golongan, menyinggung kesopanan atau etika umum masyarakat, dan menyinggung ketenteraman masyarakat atau golongan. Huruf b Merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang dan/atau Jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Huruf c Yang dimaksud dengan "memuat unsur yang dapat menyesatkan" misalnya Merek "Kecap No. l" tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan kualitas barang, Merek "netto 100 gram" tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan ukuran barang. Huruf d Yang dimaksud dengan "memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi" adalah mencantumkan keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, khasiat, dan/atau risiko dari produk dimaksud. Contohnya: obat yang dapat menyembuhkan seribu satu penyakit, rokok yang aman bagi kesehatan. Huruf e Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak j elas. Huruf f Yang dimaksud dengan "nama umum" antara lain Merek "rumah makan" untuk restoran, Merek "warung kopi" untuk kafe. Adapun "lambang milik umum" antara lain "lambang tengkorak" untuk barang berbahaya, lam bang "tanda racun" un tuk bahan kimia, "lam bang sendok dan garpu" untuk jasa restoran. Huruf g Cukup jelas. Angka 2
Pasal 23
Cukup jelas. Angka 3 SK No 096552 A
Pasal 25
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.
Pasal 109
Angka 1
Pasal 1
Huruf e Cukup jelas. Huruf f Yang dimaksud dengan "tanggal pendaftaran" adalah tanggal didaftarnya Merek. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 2
Pasal 7
SK No 096553 A Ayat (1) Yang dimaksud dengan "orang" adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing. Ketentuan dalam ayat ini menegaskan prinsip yang berlaku berdasarkan Undang-Undang ini bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang saham. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam hal Peleburan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan yang meleburkan diri masuk menjadi modal Perseroan hasil Pele buran dan pendiri tidak mengam bil bagian saham sehingga pendiri dari Perseroan hasil Peleburan adalah Perseroan yang meleburkan diri dan nama pemegang saham dari Perseroan hasil Peleburan adalah nama pemegang saham dari Perseroan yang meleburkan diri. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Perikatan dan kerugian Perseroan yang menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham adalah perikatan dan kerugian yang terjadi setelah lewat waktu 6 (enam) bulan tersebut. Huruf b Ayat (7) Yang dimaksud dengan "pihak yang berkepentingan" adalah kejaksaan untuk kepentingan umum, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, kreditor, dan/atau pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Karena status dan karakteristik yang khusus, persyaratan jumlah pendiri bagi Perseroan se bagaimana dimaksud pada ayat ini diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Ayat (8) Huruf a Yang dimaksud dengan "persero" adalah badan usaha milik negara yang berbentuk Perseroan yang modalnya terbagi dalam saham yang diatur dalam Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 3
Pasal 32
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan pada ayat m1 diperlukan untuk mengantisipasi perubahan keadaan perekonomian. Angka 4
Pasal 153
Cukup jelas. Angka 5 SK No 096555 A
Pasal 153A
Cukup jelas.
Pasal 153B
Ayat (1) Modal dasar perseroan untuk usaha mikro dan kecil berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 153C
Cukup jelas.
Pasal 1530
Cukup jelas.
Pasal 153E
Ayat(l) Yang dimaksud dengan "orang perseorangan" adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 153F
Cukup jelas.
Pasal 153G
Cukup jelas.
Pasal 153H
Cukup jelas.
Pasal 1531
Cukup jelas.
Pasal 153J
Cukup jelas.
Pasal 110
Dihapus.
Pasal 111
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1) Huruf a Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan terse but tetap dapat dilaksanakan. Huruf b Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan c; lalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tan pa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerin tah Pu sat dan Pemerin tah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama. Huruf c Cukup jelas. Ayat (la) Cukup jelas. Ayat (2) Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sum ber penghasilan di Indonesia;
Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;dan c. Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final. Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam r: iegen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Ayat (3) Huruf a Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan. Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 ( seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Ayat (4) Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris. Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya. Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak le bih dari 183 ( seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek !pajak luar negeri. Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut. Ayat (5) Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan ototnatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Angka 2 Ayat (6) Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan i.: mtuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak.
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut 2 (dua) sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya. Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. Ayat (1) Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain ben tuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto. Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
keuntungan karena pembebasan utang. Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen). Ayat (la) Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggaL atau tempat kedudukan dari penenma manfaat dari penghasilan dimaksud. Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berkedudukan a tau ef ektif manajemennya berada. Ayat (1 b) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut. Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2). Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari ben tuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen). Contoh: Penghasilan Kena Pajak bentuk usaha tetap di Indonesia dalam tahun 2023: Pajak Penghasilan: 22% x Rpl 7.500.000.000,00 Penghasilan Kena Pajak setelah pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 yang teru tang 20% x Rpl3.650.000.000,00 Rpl 7.500.000.000,00 Rp3.850.000.000,00(-) Rpl3.650.000.000,00 Rp2.730.000.000,00 Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp13.650.000.000,00 (tiga belas miliar enam ratus lima puluh juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dikenai pajak. Ayat (5) Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Contoh: A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2023. Pada tanggal 20 April 2023 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2023. Jika perjanjian kerja terse but tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2023. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2023 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B. Berdasarkan ketentuan ini, untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2023, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret 2023 tersebut dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
Pasal 112
Angka 1 Pasal IA Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "perjanjian" meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang. Huruf b Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing). Yang dimaksud dengan "pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha ( leasing)" adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha ( leasing) dengan hak opsi. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (suppliefJ kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee). Huruf c Yang dimaksud dengan "pedagang perantara" adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner. Yang dimaksud dengan "juru lelang" adalah juru lelang pemerintah atau yang ditunjuk oleh pemerintah. Huruf d Yang dimaksud dengan "pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Yang dimaksud dengan "pemberian cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli. Huruf e Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pernakaian sendiri sehingga dianggap se bagai penyerahan Barang Kena Pajak. Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal lA ayat (2) huruf e. Huruf f Dalam hal suatu perusahaan rnempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antarternpat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak. Yang dimaksud dengan "pusat" adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan. 1 Yang dimaksud dengan "cabang" antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pernasaran, dan ternpat kegiatan usaha sejenisnya. Huruf g Dihapus. Huruf h Contoh: Ayat (2) Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Me ski pun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B. Huruf a Yang dimaksud dengan "makelar" adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun ca bang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak terse but telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang. Huruf d Yang dimaksud dengan "pemecahan usaha" adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, yang dilakukan oleh:
Pengusaha Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak lainnya, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga tidak ada Pajak Pertambahan Nilai yang terutang;
pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang terutang namun tidak dipungut oleh pengusaha tersebut karena belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau
Pengusaha Kena Pajak kepada pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang harus dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam hal Barang Kena Pajak yang dialihkan berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan maka Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan. Angka 2
Pasal 13
Huruf e Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak. Ayat (1) Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib dibuatkan Faktur Pajak. Ayat (la) Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada instansi pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak. Ayat (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dima,ksud pada ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli Barang Kena Pajak yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan. Ayat (2a) Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya. Contoh 1: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2023, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2023 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli 2023, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2023. Contoh 2: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2023. Pada tanggal 28 September 2023 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan pada tanggal 2 September 2023. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A membuat Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2023 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September 2023. Contoh 3: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 8, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2023. Pada tanggal 28 September 2023 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2023 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2023 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A membuat Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2023 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September 2023. Ayat (3) Dihapus. Ayat (4) Dihapus. Ayat (5) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang 1 tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat m1 mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f. Ayat (Sa) Cukup jelas. Ayat (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:
faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal 1mpor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud. Ayat (7) Dihapus. Ayat (8) Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman. Ayat (9) Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6). Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak a tau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material.
Pasal 113
PRES ID EN Angka 1
Pasal 9
Ayat (1) Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak 1 yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (2b) Cukup jelas. Ayat (2c) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (3a) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 2
Pasal 11
Ayat (1) Jika setelah dilakukan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih Uumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak. Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak. Ayat(la) Cukup jelas. Ayat (2) Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis ten tang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 7 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
untuk Surat Keputusan Pengernbalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagairnana dirnaksud dalarn Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;
untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pernbetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Adrninistrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Adrninistrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pernbatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pernberian Irnbalan Sunga, dihitung sejak tanggal penerbitan;
untuk Putusan Banding dihitung sejak diterirnanya Putusan Bandiri'g oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang rnelaksanakan putusan pengadilan; a tau f. untuk Putusan Peninjauan Kernbali dihitung sejak diterirnanya Putusan Peninjauan Kernbali oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang rnelaksanakan putusan pengadilan, sarnpai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengernbalian Kelebihan Pernbayaran Pajak. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (3a) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 13A
Dihapus. Angka 4
Pasal 15
Ayat (1) Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat. Ketetapan Pajak Le bih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak dapat diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi. Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan Wajib Pajak yang diserahkan !pada waktu pemeriksaan. Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan / a tau b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau mem berikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang. Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap. Conteh:
Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rpl0.000.000,00, (sepuluhjuta rupiah) sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas RpS.000.000,00 (lima juta rupiah) biaya iklan di media massa dan RpS.000.000,00 (lima juta rupiah) sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tict'ak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.
Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan permcian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak ! yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap.
Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang- barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli. Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang terse but dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap. Ayat (2) Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dihapus. Angka 5 Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 17B
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Ayat (la) Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan" adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Ayat (2) Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan te~sebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Angka 6
Pasal 19
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 7
Pasal 27A
Dihapus. Angka 8
Pasal 27B
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 37
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 38
Ayat(l) Yang dimaksud dengan "standar mutu wajib" adalah standar nasional Indonesia (SNI) / standar mutu yang diberlakukan secara wajib pada Komoditas Perikanan atau SNI yang diberlakukan secara wajib pada Komoditas Pergaraman. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 4
Pasal 38A
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 87
Ayat(l) BUM Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya. Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam. BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dalam rangka keterpaduan pembangunan daerah, BUM Desa dan unit usaha dibawahnya dalam menjalankan kegiatan usaha harus sesuai dengan rencana induk pembangunan daerah. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 118
Angka 1
Pasal 44
Ayat (1) 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak diterimanya petikan putusan Komisi oleh Pelaku Usaha atau kuasa hukumnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 2
Pasal 45
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 46
Cukup jelas. Angka 4 SK No 097144 A
Pasal 47
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penghen tian in tegrasi vertikal an tara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, pengalihan se bagian perusahaan kepada Pelaku Usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya. Huruf c Yang di perin tahkan un tuk dihen tikan adalah kegiatan atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha Pelaku Usaha secara keseluruhan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Gan ti rugi di berikan kepada Pelaku U saha dan kepada pihak lain yang dirugikan. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Angka 5
Pasal 48
Cuku p j elas. Cukup jelas. Angka 6
Pasal 119
Pasal 49
Dihapus. Cukup jelas. PRE: SIDEN
Pasal 120
Angka 1 Cukup jelas. Angka 2
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 121
Pasal 48
Pasal 122
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "terintegrasi" adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan untuk menghasilkan Invensi dan Inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 123
Angka 1
Pasal 8
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Mekanisme pinjam pakai kawasan hutan digunakan khusus untuk proyek-proyek yang sifatnya tidak permanen. Angka 2 SK No 097237 A
Pasal 10
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "bendungan" adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air juga untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing) atau lumpur sehingga terbentuk waduk. Yang dimaksud dengan "bendung" adalah tanggul untuk menahan air di sungai, tepi laut, dan sebagainya. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Yang dimaksud dengan "sampah" adalah sampah sesuai dengan undang-undang mengenai pengelolaan sampah. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud "fasilitas keselamatan umum" adalah semua fasilitas yang diperlukan untuk menanggulangi akibat suatu bencana, antara lain rumah sakit darurat, rumah penampungan darurat, serta tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan longsor. Huruf k Cukup jelas. Huruf 1 Yang dimaksud dengan "fasilitas sosial" digunakan antara lain untuk kepentingan keagamaan atau beribadah. Yang dimaksud dengan "ruang terbuka hijau publik" adalah ruang terbuka hijau sesuai dengan undang- undang yang mengatur penataan ruang. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Yang dimaksud dengan "kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah . Daerah, atau Desa" adalah sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, termasuk lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan unit pelaksana teknis lembaga pemasyarakatan lain. Huruf o Yang dimaksud dengan "perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah" adalah perumahan masyarakat yang dibangun di atas tanah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan kepada penghuninya diberikan status rumah sewa. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Yang dimaksud dengan "pasar umum dan lapangan parkir umum" adalah pasar dan lapangan parkir yang direncanakan, dilaksanakan, dikelola, dan dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dan pengelolaannya dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Cukup jelas. Angka 3
Pasal 14
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 19
Angka 5 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "pengelola barang milik negara/barang milik daerah" adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara. Huruf c Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pengguna barang milik negara/barang milik daerah" adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara. Yang dimaksud dengan "masyarakat yang terkena dampak" misalnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan lokasi Pengadaan Tanah. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "surat kuasa" adalah surat kuasa untuk mewakili Konsultasi Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "dari dan oleh Pihak yang Berhak" adalah penerima kuasa dan pemberi kuasa sama-sama berasal dari Pihak yang Berhak. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 19A Cukup jelas. Pasal 198 Cukup jelas. Pasal 19C Cukup jelas. Angka 6 Pasal 24 Cukup jelas. Angka 7 Pasal 28 Ayat (1) Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan untuk mengetahui Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi tersebut memuat daftar nominasi Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Pihak yang Berhak meliputi nama, alamat, dan pekerjaan pihak yang menguasai/memiliki tanah. Objek Pengadaan Tanah meliputi letak, luas, status, serta jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 34 Cukup jelas. Angka 9 Pasal 36 Ayat (1) Angka 10 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "pemukiman kembali" adalah proses kegiatan penyediaan tanah pengganti kepada Pihak yang Berhak ke lokasi lain sesuai dengan kesepakatan dalam proses Pengadaan Tanah. Huruf d Yang dimaksud dengan "kepemilikan saham" adalah penyertaan saham dalam kegiatan pembangunan untuk Kepentingan Umum terkait dan/atau pengelolaannya yang didasari kesepakatan antarpihak. Huruf e Ayat (2) Yang dimaksud dengan "bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak" misalnya gabungan dari 2 (dua) atau lebih bentuk Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. Cukup jelas.
Pasal 40
Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, Pihak yang Berhak karena hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian. Yang berhak antara lain:
pemegang hak atas tanah;
pemegang hak pengelolaan;
nadzir, untuk tanah wakaf;
pemilik tan ah bekas milik ada t;
masyarakat hukum adat;
pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik antara lain tanah terlantar, tanah bekas hak barat;
pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tana Yang dimaksud dengan "pihak yang menguasai tanah negara dengan i tikad baik" adalah:
penguasaan tanah yang diakui oleh peraturan perundang- undangan;
tidak ada keberatan dari Masyarakat Hukum Adat, kelurahan/ desa atau yang disebut dengan nama lain, atau pihak lain atas penguasaan Tanah baik sebelum maupun selama pengumuman berlangsung; dan
penguasaan dibuktikan dengan kesaksian dari 2 (dua) orang saksi yang dapat dipercaya. Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan. Gan ti Kerugian · atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan a tau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan. Yang dimaksud dengan "pemegang dasar penguasaan atas tanah" adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak atas Tanah yang belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertipikat, dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak atas Tanah, ganti rugi diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. Angka 11
Pasal 42
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 124
Angka 1 SK No 097174 A
Pasal 44
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan sebagian besar masyarakat yang meliputi kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, serta pembangkit dan jaringan listrik. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Angka 2
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Reforma agraria dalam kerangka badan bank tanah tidak termasuk tanah dalam kawasan hutan. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) PRESIOEN REPUBLIK INDONESIA - 351 - Yang dimaksud dengan "sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya" adalah pemegang hak atas tanah sudah memiliki sertifikat laik fungsi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas. PRESIDEN REPUBLIK INOONESIA - 352 -
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kepemilikan satuan rumah susun oleh warga negara asing hanya diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya. Huruf d Kepemilikan satuan rumah susun oleh badan hukum asing hanya diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Angka 1
Pasal 1
REPUBLIK INDONESIA - 354 - Cukup jelas. Angka 2
Pasal 3
SK No 097179 A Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "logistik dan distribusi" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan , dan perekondisian permesinan dari dalam neged dan dari luar negeri. Huruf c Yang dimaksud dengan "pengembangan teknologi" adalah kegia tan usaha yang meli pu ti an tar a lain kegiatan riset dan teknologi, rancangan bangunan dan rekayasa, teknologi terapan, pengembangan perangkat lunak, serta jasa di bidang teknologi informasi. R.EPUBUK INDONESIA Huruf d Yang dimaksud dengan "pariwisata" adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain kegiatan usaha pariwisata untuk mendukung penyelenggaraan hiburan dan rekreasi, pertemuan, perjalanan insentif dan pameran, serta kegiatan yang terkait. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Hurufh Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "perumahan bagi pekerja" adalah pembangunan perumahan terpisah dari kegiatan usaha yang ada di KEK. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 3
Pasal 4
Huruf a Yang dimaksud dengan "kawasan lindung" adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Huruf b Yang dimaksud dengan "mempunyai batas yang jelas" adalah batas alam (sungai atau laut) atau batas buatan (pagar atau tembok). Huruf c Cukup jelas. Angka 4
Pasal 5
Cukup jelas. Angka 5 SK No 097181 A
Pasal 6
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Lokasi pengembangan yang diusulkan dapat merupakan area baru atau perluasan KEK yang sudah ada. Hurufb Yang dimaksud dengan "rencana tata ruang KEK" adalah rencana peruntukan ruang pada lokasi KEK. Yang dimaksud dengan "pengaturan zo: hasi" adalah rencana pengembangan KEK yang ditetapkan oleh Badan Usaha, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, atau Badan Usaha Pengelola KEK; Angka 6
Pasal 8A
Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukupj'elas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 7
Pasal 10
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 11
Dihapus. Angka 9
Pasal 13
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) RE: PUBLIK INDONESIA Materi dan syarat kerja sama meliputi antara lain jangka waktu kerja sama, pertanggungjawaban terhadap aset yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta, serta hak kepemilikan setelah masa kerja sama berakhir. Angka 10
Pasal 16
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 17
Huruf a Cukup jelas. Hurufb Cukup jelas. Huruf c Standar pengelolaan di KEK mengatur antara lain standar infrastruktur dan pelayanan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "permasalahan strategis" antara lain permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh Dewan Kawasan atau menyangkut kebijakan nasional dan/atau daerah yang memengaruhi pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan KEK. REPUBUK INDONESIA Huruf h Cukup jelas. Angka 12
Pasal 19
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 20
Dihapus. Angka 14
Pasal 21
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 22
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 23
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dirnaksud dengan "pelayanan non perizinan" adalah segala bentuk kernudahan pelayanan fasilitas fiskal, fasilitas non-fiskal dan inforrnasi rnengenai penanarnan modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. RE: PUBLIK INDONESIA Contoh pelayanan non perizinan antara lain pajak, kepabeanan, cukai, lalu lintas barang, dan keimigrasian. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 17
Pasal 24
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 24A
SK No 097185 A Cukup jelas.
Pasal 24B
Cukup jelas.
Pasal 24C
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum" adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ayat (2) Cukup jelas. SIA Angka 19
Pasal 25
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 26
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 27
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pada wilayah yang tidak ditetapkan sebagai KEK, terdapat ketentuan mengenai pembatasan impor. Namun, ketentuan mengenai pembatasan 1mpor tersebut tidak dapat diberlakukan bagi barang yang dimasukkan ke dalam KEK mengingat barang yang dimasukkan ke dalam KEK digunakan untuk pembangunan dan pengoperasian KEK. Apabila pembatasan impor diberlakukan di KEK maka dapat mengurangi daya saing KEK. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "sistem elektronik yang terin tegrasi secara nasional" adalah in tegrasi s1stem secara nasional yang memungkinkan dilakukannya penyampaian data dan informasi secara tunggal, pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron, dan penyampaian keputusan secara tunggal untuk pemberian perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 22
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 23
Pasal 31
Dihapus. Angka 24
Pasal 32
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud serta jasa kena pajak di KEK" adalah pemanfaatan baik yang berasal dari dalam KEK sendiri ataupun yang berasal dari KEK lainnya, luar daerah pabean, tempat 'lain dalam daerah pabean, kawasan bebas, dan tempat penimbunan berikat. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 25
Pasal 32A
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "barang konsumsi" antara lain:
barang konsurnsi yang diperlukan oleh Pelaku Usaha di KEK yang kegiatan utarnanya bukan produksi dan pengolahan dalarn rnenjalankan usahanya;
waktu penggunaannya relatif singkat; dan
tidak ditujukan untuk penggunaan di luar KEK. Jenis dan jurnlahnya diusulkan oleh Administrator dan disetujui oleh Dewan Nasional. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 26
Pasal 33A
Ayat (1) Yang dirnaksud dengan "pelayanan kepabeanan rnandiri" rneliputi antara lain pelekatan dan/atau pelepasan tanda pengarnan, pelayanan pernasukan barang, pelayanan pernbongkaran barang, pelayanan penirnbunan barang, pelayanan pernuatan barang, pelayanan pengeluaran barang, dan / a tau pelayanan lainnya. Ayat (2) Angka 27
Pasal 35
Cukup jelas. Cukup jelas. Angka 28
Pasal 36
Cukup jelas. N Angka 29
Pasal 38
Cukup jelas. Angka 30
Pasal 38A
Cukup jelas. Angka 31
Pasal 40
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 41
Pasal 43
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "lembaga kerja sama tripartit khusus" adalah lembaga kerja ·sama tripartit yang berada di KEK. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 34
Pasal 44
Dihapus. Angka 35
Pasal 45
Dihapus. Angka 36
Pasal 47
REPUBUK INDONESIA Yang dimaksud dengan "Perjanjian Kerja Bersama" adalah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat oleh Serikat Pekerja/ Serikat Buruh atau beberapa Serikat Pekerja/ Serikat Buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan dengan Pengusaha. Angka 37
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Angka 1
Pasal 6
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 7
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 10
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 153
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 154
Ayat (1) Dalam melakukan investasi, pemerintah melakukan pengelolaan dan penempatan sejumlah dana dan/atau aset untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a SK No 097191 A Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "kegiatan pengelolaan aset" adalah antara lain kegiatan akuisisi, pengelolaan, restrukturisasi perusahaan (saham) maupun aset tetap, divestasi, dan lain- lain yang dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung baik dilakukan sendiri atau melalui kerja sama dengan pihak ketiga atau melalui pembentukan entitas khusus baik berbentuk badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing. Huruf c Dalam melakukan kerja sama dengan entitas dana perwalian ( trust fund), penyedia dana ( settlor) harus mem berikan kuasa kepada en ti tas dana perwalian ( trust fund) dalam rangka melakukan pengelolaan investasi dengan Lembaga.
Pasal 155
Huruf d l\ang dimaksud dengan "menentukan calon mitra investasi" adalah menunjuk mitra secara langsung dengan pertimbangan antara lain mengikuti praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan dalam rangka percepatan proses penentuan calon mitra, dengan tetap menjaga tata kelola yang baik. Kriteria bagi calon mitra yang dapat dipertimbangkan antara lain memiliki reputasi baik, memiliki kemampuan keuangan untuk dapat menunjang komitmen investasinya, dan/atau memiliki keahlian di bidang investasi yang akan dikerjasamakan. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
SK No 097238 A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Aset negara yang berasal dari cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan tidak dapat dipindahtangankan kepada orang lain termasuk Lembaga. Aset negara yang berisikan atau mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tetap dikuasai oleh negara dan tidak dipindahtangankan menjadi aset Lembaga. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang- undangan", misalnya: peralihan hak milik atas saham dilakukan dengan Akta Jual Beli atau Akta Hibah atas saham, pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Dalam putusan Rapat Umum Pemegang Saham untuk Persero dengan tetap mengacu ketentuan dan pengaturan dalam anggaran dasar badan usaha milik negara dimaksud atau memuat antara lain proses administrasi pengalihan aset termasuk cara pemindahtanganan. Ayat (8) Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai mekanisme pembukuan aset yang dipindahtangankan, penentuan aset yang dipindahtangankan dan nilai pasar wajar aset tersebut, dan prosedur pemindahtanganan. Mekanisme yang diatur tersebut memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan memperhatikan prinsip independensi dan transparansi dari Lembaga.
Pasal 158
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) REPUBUK INDONESIA Kerja sama dengan pihak ketiga dimaksud antara lain dilakukan dengan mitra investasi, badan usaha milik negara, badan atau lembaga pemerintah atau melalui penunjukan manajer investasi berbadan hukum Indonesia atau asing. Lembaga dalam kerja sama dengan pihak ketiga, tetap mempertahankan kedudukannya sebagai penentu utama kebijakan usaha dan penentu dalam pengambilan keputusan di badan usaha yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Ayat (4) Modal dan kekayaan Lembaga merupakan milik Lembaga dan setiap kerugian yang dialami oleh Lembaga bukan merupakan kerugian negara. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur antara lain pertimbangan untuk melakukan pencadangan dan penggunaan akumulasi modal untuk investasi kembali.
Pasal 159
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" mencakup mitra investasi, manajer investasi, badan usaha milik negara, badan atau lembaga pemerintah, dan/atau entitas lainnya baik di dalam maupun luar negeri. Ayat (2) REPLIBLIK INDONESIA Yang dimaksud dengan "bentuk kerja sama lainnya" dapat mencakup pendirian dana kelolaan investasi (fund) bersama pihak lain. Lembaga dalam kerja sama dengan pihak ketiga, tetap mempertahankan kedudukannya sebagai penentu utama kebijakan usaha dan penentu dalam pengambilan keputusan di badan usaha dengan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Ayat (3) Pemindahtanganan aset Lembaga untuk dijadikan penyertaan modal dengan memperhatikan tujuan pemindahtanganan, penilaian atas aset dan memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan dilakukan dengan prinsip usaha yang sehat. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Peraturan Pemerintah dalam ayat ini sekurang-kurangnya mengatur:
kerja sama dengan pihak ketiga yang mencakup antara lain tata kelola aset yang. dikerjasamakan, pembagian keuntungan hasil kerja sama, mekanisme partisipasi, audit dari aset yang bersangkutan;
pembentukan dana kelolaan investasi (fund) yang mencakup permodalan, ruang lingkup tujuan investasi, bentuk, jenis dana kelolaan investasi dan tata kelola dana investasi; dan
penilaian aset. Pengaturan di dalam Peraturan Pemerintah didasarkan pada praktik in ternasional yang baik.
Pasal 160
Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset Lembaga dapat berupa keuntungan atau aset tetap yang dibeli Lembaga selama masa operasional. Huruf c Aset badan usaha milik negara dapat menjadi aset Lembaga antara lain melalui mekanisme transaksi jual beli. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Ayat (2) Sumber lain yang sah antara lain aset yang dibeli dari pinjaman atau aset yang berasal dari barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang barang milik negara/ daerah. Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 161
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga oleh akuntan publik dilakukan dengan mengikuti standar akuntansi yang diakui secara in ternasional se bagai standar akun tansi yang berlaku untuk badan hukum pengelola investasi sejenisnya.
Pasal 162
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dirnaksud dengan "kondisi insolven" adalah kondisi di rnana Lernbaga kekurangan modal yang berdarnpak pada kesulitan untuk rnelakukan kegiatan usaha dalarn jangka panjang.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Ayat (1) Peraturan Pernerintah dirnaksud rnengatur antara lain kebijakan investasi, keterbukaan inforrnasi, benturan kepentingan, kerahasiaan inforrnasi, pengadrninistrasian dari data dan inforrnasi yang berkaitan dengan aset yang dikelola, audit internal, tanggung jawab sosial dan lingkungan serta rnanajernen risiko dengan rnernperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara in ternasional. Ayat (2)
Pasal 165
Ketidakberlakuan peraturan perundang-undangan terkait yang rnengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/badan usaha rnilik negara bagi Lembaga, karena kegiatan pengelolaan aset dan investasi telah diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Ayat (1) Lernbaga Pengelola Investasi dapat disebut dengan narna lain seperti: Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Ayat (1) Cukup jelas. PRESIDEN REPUDLIK INDONESIA - 373 - Ayat (2) REPUOUK INDONESIA Yang dimaksud dengan "badan usaha" antara lain Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 24
Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "alasan-alasan yang objektif' adalah alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta berdasarkan AUPB. Huruf d Cukup jelas. REPUBUK INDONESIA Huruf e Yang dimaksud dengan "iktikad baik" adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB. Angka 3 Pasal 38 Ayat (1) Prosedur penggunaan Keputusan Berbentuk Elektronis berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "memerlukan perhatian khusus" adalah setiap usaha atau kegiatan yang dilakukan atau dikerjakan oleh Warga Masyarakat, dalam rangka menjaga ketertiban umum, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan perlu memberikan perhatian dan pengawasan. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "swasta" meliputi perorangan, korporasi yang berbadan hukum di Indonesia, dan asing. Huruf c Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Angka 6
Pasal 39A
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 176
Angka 1
Pasal 16
Ayat(l) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "praktik yang baik (good practices)" adalah sesuai standar atau ketentuan yang berlaku secara internasional. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 2
Pasal 250
Yang dimaksud . dengan "putusan pengadilan" adalah putusan pengadilan yang telah diikuti oleh putusan hakim berikutnya. Angka 3
Pasal 251
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 252
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Dihapus. Angka 5
Pasal 260
Cukup jelas. Angka 6
Pasal 292A
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 300
Dihapus. Angka 8
Pasal 349
Ayat (1) Yang dimaksud dengan "penyederhanaan jenis pelayanan publik" adalah menggabungkan beberapa jenis pelayanan publik yang diamanatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi 1 (satu) jenis pelayanan yang di dalamnya menampung/memuat substansi pelayanan yang digabungkan tersebut. Yang dimaksud dengan "penyederhanaan prosedur pelayanan publik" adalah mengurangi dan/atau mengintegrasikan persyaratan atau langkah-langkah pemberian layanan, sehingga mempermudah proses pemberian layanan kepada masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 9 Pasal 350 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 402A Cukup jelas. Pasal 177 Cukup jelas. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Cukup jelas. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Cukup jelas. Pasal 182 Huruf a Yang dimaksud dengan "sertifikat" antara lain: sertifikat halal, sertifikat laik fungsi, dan lain-lain. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Huruf a Cukup jelas. Huruf b PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 380 - Dalam hal dilakukan penyesuaian _peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan:
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang menangani bidang legislasi; dan/atau
Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah dan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Daerah yang menangani bidang legislasi.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6841