Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Nomor 18 Pendapatan dari Transaksi Nonpertukaran ...
Relevan terhadap
Persyaratan dalam perjanjian transfer yang mengharuskan entitas penerima 1 aset melakukan tindakan yang tidak ada alternatif selain dilakukannya 2 tindakan tersebut, dapat menunjukan bahwa persyaratan tersebut secara 3 substansi bukan merupakan persyaratan maupun pembatasan. Hal ini 4 disebabkan, dalam kasus ini, ketentuan terkait transfer tidak menimbulkan 5 kewajiban pelaksanaan kepada entitas penerima aset. 6 22. Untuk memenuhi kriteria pengakuan suatu kewajiban, maka 7 pengeluaran sumber daya kemungkinan besar terjadi, dan pelaksanaan 8 ketentuan yang dipersyaratkan harus dipenuhi dan dapat diukur. Karena itu, 9 suatu ketentuan perlu menentukan hal-hal seperti sifat atau jumlah barang 10 atau jasa yang akan diberikan atau sifat aset yang akan diperoleh, dan jika 11 relevan, periode pada saat pelaksanaan kewajiban terjadi. Sebagai tambahan, 12 pelaksanaan kewajiban harus dipantau oleh entitas yang mentransfer aset 13 secara berkelanjutan. Hal ini terutama terjadi jika suatu ketentuan 14 mewajibkan pengembalian secara proporsional dari nilai aset jika entitas 15 melaksanakan sebagian persyaratan ketentuan tersebut, dan kewajiban 16 pengembalian dianggap telah dapat dipaksakan jika kegagalan signifikan 17 pemenuhan ketentuan telah terjadi di masa lalu. 18 23. Dalam beberapa kasus, suatu aset dapat ditransfer dengan syarat 19 bahwa aset tersebut dikembalikan kepada entitas yang mentransfer aset jika 20 peristiwa tertentu di masa yang akan datang tidak terjadi. Dalam kasus 21 tersebut, kewajiban pengembalian tidak terjadi sampai dengan waktu tidak 22 dipenuhinya ketentuan tersebut dan suatu kewajiban tidak diakui sampai 23 dengan kriteria pengakuan kewajiban terpenuhi. 24 24. Namun demikian, entitas penerima aset perlu mempertimbangkan 25 apakah transfer aset ini menurut sifatnya merupakan penerimaan di muka. 26 Dalam pernyataan standar ini, penerimaan di muka mengacu pada 27 penerimaan atas suatu sumber daya yang diterima sebelum terjadinya 28 peristiwa kena pajak atau perjanjian yang terkait transfer menjadi mengikat. 29 Penerimaan di muka akan menyebabkan kenaikan aset dan kenaikan 30 kewajiban kini, karena perjanjian yang terkait transfer belum mengikat. 31 Ketika suatu transfer memenuhi sifat dari transaksi pertukaran, maka dapat 32 merujuk pada PSAP mengenai Pendapatan dari Transaksi Pertukaran. 33 Perpajakan 34 25. Pajak adalah sumber pendapatan utama bagi pemerintah. Pajak 35 didefinisikan dalam paragraf 6 sebagai kontribusi wajib kepada negara yang 36 terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan 37 undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan 38 digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran 39 rakyat. 40 26. Undang-undang dan peraturan perpajakan menetapkan hak 41 pemerintah untuk memungut pajak, mengidentifikasi dasar perhitungan 42 pajak, dan menetapkan prosedur pengelolaan pajak, terkait dengan prosedur 43 untuk perhitungan pajak yang akan diterima serta memastikan 44 pembayarannya diterima. Berdasarkan undang-undang dan peraturan 45
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan
Relevan terhadap 15 lainnya
Dalam hal Perusahaan Asuransi a tau perusahaan reasuransi memiliki unit syariah, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dimaksud wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasurans1 syariah.
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta pemisahan unit syariah menjadi Perusahaan Asuransi Syariah dan perusahaan reasuransi syariah dalam rangka konsolidasi perasuransian.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan dan konsolidasi serta sanksi bagi Perusahaan Asuransi dan perusahaan reasuransi yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keu~ngan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Dalam hal Perusahaan Penjaminan memiliki unit syariah, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan Penjaminan dimaksud wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah.
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta pemisahan unit syariah menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka konsolidasi penjaminan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan dan konsolidasi serta sanksi bagi Perusahaan Penjaminan yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2) BABX USAHA JASA PEMBIAYAAN
Pembayaran Manfaat Pensiun secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (2) dapat dilakukan dengan cara:
dibayarkan oleh Dana Pensiun; atau
Peserta, Janda/Duda, atau anak memilih untuk membeli anuitas atau anuitas syariah dari perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah. Tata cara pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta atau Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dana Pensiun. jdih.kemenkeu.go.id (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan pengaturan terkait tata cara pembayaran Manfaat Pensiun dalam Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pembebasan Bea Masuk dan Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang d ...
Relevan terhadap 10 lainnya
Atas penyerahan Hasil Produksi ke Perusahaan KITE Pembebasan lain atau Perusahaan KITE IKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c, berlaku ketentuan sebagai berikut:
tidak memiliki kandungan Barang dan Bahan yang berasal dari pemasukan Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3);
menggunakan pemberitahuan pabean penyelesaian barang asal impor yang mendapat kemudahan impor tujuan ekspor;
melunasi PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan; dan
Perusahaan KITE Pembebasan yang menyerahkan Hasil Produksi wajib membuat faktur pajak serta memungut PPN atau PPN dan PPnBM, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besaran PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sebesar nilai impor dan/atau pemasukan.
PPN atau PPN dan PPnBM yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terutang pada saat penyerahan barang.
Dalam hal pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM dilakukan setelah saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan KITE Pembebasan dikenakan sanksi keterlambatan penyetoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Tanggung jawab atas Bea Masuk yang terutang atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c beralih ke Perusahaan KITE Pembebasan atau Perusahaan KITE IKM penerima barang, terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean penyelesaian barang asal impor yang mendapat kemudahan impor tujuan ekspor.
Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban atas Barang dan Bahan apabila dilakukan dalam periode KITE pembebasan dan telah diterima oleh Perusahaan KITE Pembebasan atau Perusahaan KITE IKM penerima barang.
Perusahaan KITE Pembebasan dapat mengajukan permohonan penyelesaian atas kewajiban pembayaran Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, dan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang, serta sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan atas Barang dan Bahan dalam hal:
terjadi kondisi tertentu yang mengakibatkan Perusahaan KITE Pembebasan tidak dapat menyampaikan laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; dan/atau
terdapat saldo Barang dan Bahan dari Barang dan Bahan yang telah disampaikan laporan pertanggungjawabannya.
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU melakukan penetapan sebagai dasar penagihan atas kewajiban pembayaran Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, serta PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapat fasilitas KITE Pembebasan, serta sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan atas Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar nilai impor atau pemasukan.
Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu pada saat impor atau pemasukan barang.
Dalam hal pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM dilakukan setelah saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan KITE Pembebasan dikenakan sanksi keterlambatan penyetoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU menyampaikan surat pemberitahuan dengan menyebutkan alasan penolakan.
Perusahaan KITE Pembebasan wajib membuktikan penyelesaian atas seluruh Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sebagai pertanggungjawaban atas seluruh Barang dan Bahan.
Pertanggungjawaban atas seluruh Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam 1 (satu) laporan pertanggungjawaban atau lebih.
Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal periode KITE Pembebasan berakhir.
Kewajiban penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terpenuhi apabila telah mendapatkan register.
SKP menyampaikan pemberitahuan pertama kepada Perusahaan KITE Pembebasan bahwa periode KITE Pembebasan akan segera berakhir dan terdapat saldo Barang dan Bahan yang belum disampaikan laporan pertanggungjawabannya, 30 (tiga puluh) hari sebelum periode KITE Pembebasan berakhir.
SKP menyampaikan pemberitahuan kedua kepada Perusahaan KITE Pembebasan bahwa periode KITE pembebasan telah berakhir dan terdapat saldo Barang dan Bahan yang belum disampaikan laporan pertanggungjawabannya, pada saat periode KITE pembebasan berakhir.
SKP menyampaikan pemberitahuan ketiga kepada Perusahaan KITE Pembebasan bahwa periode penyampaian laporan pertanggungjawaban akan segera berakhir dan terdapat saldo Barang dan Bahan yang belum disampaikan laporan pertanggungjawabannya, 30 (tiga puluh) hari sebelum batas waktu penyampaian laporan pertanggungjawaban berakhir.
Dalam hal sampai berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terdapat saldo Barang dan Bahan yang tidak disampaikan laporan pertanggungjawaban, SKP melakukan pembekuan fasilitas KITE Pembebasan dan Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi:
Bea Masuk atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
Bea Masuk Tambahan dalam hal Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan, karena tidak memenuhi ketentuan pemberian fasilitas KITE Pembebasan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikecualikan dalam hal jumlah nilai Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, dan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang kurang dari atau sama dengan Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah).
Dalam hal saldo Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terutang nilai Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, serta PPN atau PPN dan PPnBM kurang dari atau sama dengan Rp100.000,00 (seratus ribu Rupiah), diselesaikan dengan cara:
diajukan permohonan penyelesaian atas kewajiban oleh Perusahaan KITE Pembebasan; atau
diakumulasi dan dilakukan penetapan tagihan pada akhir periode tahun berjalan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala KPU yang menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan Perusahaan KITE Pembebasan.
Atas penyelesaian saldo Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Perusahaan KITE Pembebasan wajib melunasi:
Bea Masuk atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
Bea Masuk Tambahan apabila Barang dan Bahan yang diimpor atau dimasukkan dikenakan Bea Masuk Tambahan;
PPN atau PPN dan PPnBM atas Barang dan Bahan yang pada saat impor atau pemasukan mendapatkan fasilitas KITE Pembebasan;
sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda di bidang kepabeanan; dan
sanksi administrasi atas PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan.
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung besaran PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c dan ayat (11) huruf c yaitu sebesar nilai impor atau pemasukan.
Saat terutangnya PPN atau PPN dan PPnBM yang wajib dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c dan ayat (11) huruf c yaitu pada saat impor atau pemasukan barang.
PPN atau PPN dan PPnBM yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c dan ayat (11) huruf c tidak dapat dikreditkan.
Atas pelunasan PPN atau PPN dan PPnBM yang dilakukan setelah saat terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (13), Perusahaan KITE Pembebasan dikenakan sanksi keterlambatan penyetoran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Tarif dan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi ...
Relevan terhadap
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 5 Peraturan Pemerintah ini tanggal I Jamtari2024. mulai berlaku pada Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengeta , memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam Lembaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desemfur 2023 ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2023 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 163 I PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2023 TENTANG TARIF PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKER.IAAN, JASA, ATAU KEGIATAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI I. UMUM Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahurl. 2O2l tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, terdapat perubahan materi khususnya perubahan tarif pajak penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, Untuk itu, perlu dilakukan penyesuaian tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi. Selanjutnya, dalam rangka mendorong tingkat kepatuhan Wajib Pajak terhadap pemenuhan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, perlu memberikan kemudahan teknis pcnghitungan dan administrasi pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, Untuk mewujudkan hal-hal tersebut di atas, perlu diatur penggunaan tarifefektifyang digunakan untuk pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21, selain tarif pajak penghasilan Pasal L7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2l ayat (5) Undang- Undang Pajak Penghasilan, tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat ditetapkan berbeda dari tarif pajak penghasilan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, melalui Peraturan Pemerintah. Penetapan tarif efektif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan telah memperhatikan adanya pengurang penghasilan bruto berupa biaya ^jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak. Penerapan tarif efektif ini akan memberikan kemudahan dan penyederhanaan bagi Wajib Pajak. Pajak Penghasilan Pasal 21 Peraturan Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai tarif ^pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 berupa tarif Pasal 17 ayat ^(1) huruf a dan ^tarif ^efektif yang digunakan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, ^jasa, atau kegiatan, termasuk ^pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota tentara nasional Indonesia, ^anggota kepolisian negara Republik Indonesia, dan ^pensiunannya. II. PASALDEMI PASAL
Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan ...
Relevan terhadap
Wajib Pajak Berstatus Pusat mengajukan permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3) secara tertulis kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Berstatus Pusat terdaftar.
Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
secara elektronik.
Tata cara pengajuan permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
Wajib Pajak dapat diberikan Surat Keterangan sepanjang telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan;
telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir yang telah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
memenuhi kriteria Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dikecualikan untuk:
Wajib Pajak yang baru terdaftar; atau
Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir.
Surat permohonan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dokumen yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Berstatus Pusat terdaftar.
Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
secara elektronik.
Tata cara penyampaian pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada akhir Tahun Pajak.
Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai Tahun Pajak berikutnya.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), bagi Wajib Pajak yang baru terdaftar dapat dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan mulai Tahun Pajak terdaftar dengan cara menyampaikan pemberitahuan pada saat mendaftarkan diri.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), untuk Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pemberitahuan Wajib Pajak yang memilih dikenai Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dokumen yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan Berdasarkan Ketentuan Umum Pajak Penghasilan adalah Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan mempertimbangkan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak badan.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Wajib Pajak Berstatus Pusat adalah Wajib Pajak yang dalam administrasi perpajakan memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Surat Keterangan adalah surat yang menerangkan bahwa Wajib Pajak memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Jangka Waktu Tertentu adalah jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam undang- undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada kepala kantor wilayah.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Ritel di Pasar Perdana Domestik
Relevan terhadap
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
penetapan Mitra Distribusi, persetujuan pendahuluan calon Mitra Distribusi, penetapan imbalan jasa oleh Direktur Jenderal, perjanjian kerja antara Direktur Jenderal dan wakil dari Mitra Distribusi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.08/2018 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Ritel di Pasar Perdana Domestik, dinyatakan tetap berlaku untuk selanjutnya dilakukan penetapan kembali oleh KPA setelah dilakukan evaluasi kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
proses penetapan calon Mitra Distribusi yang masih dalam proses serta pelaksanaannya dimulai sebelum Peraturan Menteri ini diundangkan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dalam Peraturan Menteri ini;
bagi Perusahaan Fintech yang telah ditetapkan sebagai Mitra Distribusi wajib melengkapi kriteria dan persyaratan sebagai Mitra Distribusi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Menteri ini diundangkan; dan
evaluasi kelayakan Mitra Distribusi untuk tahun 2024 dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.08/2018 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Ritel di Pasar Perdana Domestik.
Untuk dapat menjadi Mitra Distribusi, calon Mitra Distribusi harus:
menyampaikan surat permohonan menjadi Mitra Distribusi sesuai dengan kemampuan layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) kepada Direktur Pembiayaan Syariah.
memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko;
menyediakan Sistem Elektronik yang memenuhi standar, dalam hal calon Mitra Distribusi mengajukan permohonan sebagai Mitra Distribusi dengan kemampuan layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a; dan
lulus seleksi sebagai Mitra Distribusi.
Surat permohonan menjadi Mitra Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dilengkapi dengan surat pernyataan mengenai:
kesanggupan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan;
kesediaan untuk dievaluasi oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko;
tidak sedang dalam pengawasan khusus oleh otoritas terkait atau mendapatkan sanksi administratif berupa pembatasan dan/atau pembekuan kegiatan usaha dari otoritas terkait;
kesediaan bekerja sama dengan PPE-EBUS/ Bank/Perusahaan Efek/bank kustodian bagi calon Mitra Distribusi dalam rangka membantu investor untuk pembuatan SID, rekening surat berharga, penatausahaan SBSN Ritel, dan/atau perdagangan SBSN Ritel di pasar sekunder; dan
kesediaan menandatangani perjanjian kerja.
Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh direktur utama calon Mitra Distribusi atau pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di perusahaan.
Periode pendaftaran dan penyampaian surat permohonan untuk menjadi Mitra Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan oleh Menteri dan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan terkait penerbitan SBSN Ritel.
Kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit sebagai berikut:
didirikan dan/atau beroperasi di wilayah Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
memiliki izin usaha yang masih berlaku dari otoritas terkait atau izin pelaksanaan kegiatan usaha lainnya dari Pemerintah;
memiliki pengalaman sebagai perantara, penjual, dan/atau distributor produk keuangan ritel;
memiliki layanan yang dapat diakses secara elektronik;
memiliki kemampuan untuk menjangkau Investor Ritel;
memiliki rencana kerja, strategi, dan metodologi penjualan SBSN Ritel; dan
memiliki rekam jejak kegiatan usaha yang baik.
Standar Sistem Elektronik calon Mitra Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditentukan oleh Direktur Jenderal.
Format surat permohonan dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
SBSN Ritel adalah SBSN yang dijual oleh Pemerintah kepada investor ritel di pasar perdana domestik.
SBSN Ritel yang Dapat Diperdagangkan adalah SBSN Ritel yang dapat diperjualbelikan di pasar sekunder.
SBSN Ritel yang Tidak Dapat Diperdagangkan adalah SBSN Ritel yang tidak dapat diperjualbelikan di pasar sekunder.
Pasar Perdana Domestik adalah kegiatan penawaran dan/atau penjualan SBSN Ritel yang dilakukan untuk pertama kali di wilayah Negara Republik Indonesia.
Investor Ritel adalah individu atau orang perseorangan sebagaimana tertuang dalam memorandum informasi SBSN Ritel maupun dalam ketentuan dan persyaratan SBSN yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pimpinan unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang membidangi urusan pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Anggaran Pengelolaan Utang (BA 999.01) yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang memperoleh penugasan dari Menteri untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran utang yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Utang.
Pejabat Pembuat Komitmen Bagian Anggaran Pengelolaan Utang (BA 999.01) dalam rangka Penjualan SBSN kepada Investor Ritel di Pasar Perdana Domestik yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh KPA untuk mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara pengelolaan utang atas pelaksanaan penjualan SBSN.
Mitra Distribusi adalah pihak yang membantu Pemerintah dalam pemasaran, penawaran, dan/atau penjualan SBSN Ritel.
Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan.
Perusahaan Efek adalah perusahaan efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin emisi efek, perantara pedagang efek, dan/atau manajer investasi.
Perusahaan Financial Technology yang selanjutnya disebut Perusahaan Fintech adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan jasa keuangan berbasis teknologi informasi.
Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat PPMSE adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
Perantara Pedagang Efek untuk Efek Bersifat Utang dan Sukuk yang selanjutnya disingkat PPE-EBUS adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli efek bersifat utang dan sukuk untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabahnya sebagaimana diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai perantara pedagang efek untuk efek bersifat utang dan sukuk.
Konsultan Hukum adalah pihak yang ditunjuk untuk memberikan pendapat hukum dan membantu penyusunan dokumen hukum maupun dokumen transaksi lainnya dalam rangka penerbitan SBSN Ritel.
Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/atau barang milik negara yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN.
Akad adalah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa sewa, bagi hasil atau margin, atau bentuk pembayaran lainnya sesuai dengan Akad penerbitan SBSN Ritel, yang diberikan kepada pemegang SBSN Ritel sampai dengan berakhirnya periode SBSN Ritel.
Nomor Tunggal Identitas Pemodal ( Single Investor Identification ) yang selanjutnya disebut SID adalah kode tunggal dan khusus yang diterbitkan oleh PT Kustodian Sentral Efek Indonesia selaku lembaga penyimpanan dan penyelesaian.
Pemesanan Pembelian adalah pengajuan pemesanan pembelian SBSN Ritel oleh Investor Ritel di Pasar Perdana Domestik.
Memorandum Informasi adalah informasi tertulis kepada publik mengenai penawaran SBSN Ritel yang ditujukan untuk Investor Ritel.
Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik yang disediakan oleh Kementerian Keuangan dan Mitra Distribusi.
Keadaan Kahar adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan dan kendali manusia, tidak dapat dihindarkan, dapat berupa bencana alam, kebakaran, banjir, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, terorisme, wabah/epidemi, dan diketahui secara luas yang mengakibatkan gangguan atau kerusakan pada perangkat keras, perangkat lunak, jaringan komunikasi, maupun sarana pendukung teknologi informasi termasuk sumber daya yang mengoperasikan teknologi informasi.
Setelmen adalah penyelesaian transaksi dalam rangka penjualan SBSN Ritel, yang terdiri dari setelmen dana dan setelmen kepemilikan SBSN.
Hari Kerja adalah hari operasional sistem pembayaran terkait penatausahaan surat berharga negara yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan di Ibu Kota Nusantara
Relevan terhadap 22 lainnya
bahwa perusahaan telah memenuhi persyaratan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor... Tahun 2024 tentang Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan di Ibu Kota Nusantara;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas Impor Barang Modal/Barang dan Bahan ^) Untuk Pembangunan/Pengembangan Industri Di Ibu Kota Nusantara/Daerah Mitra ^) kepada ……….(2)..........;
Pemberi Kerja wajib melaporkan pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (1) dalam surat pemberitahuan masa Pajak Penghasilan Pasal 21 sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Paragraf 7 Kewajiban bagi Wajib Pajak yang Memanfaatkan Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah dan Bersifat Final
Barang modal dan/atau barang dan bahan yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1), Pasal 194 ayat (5), dan/atau Pasal 195 ayat (7), wajib digunakan sesuai dengan tujuan pemasukannya oleh Perusahaan yang bersangkutan.
Atas penyalahgunaan pemanfaatan barang modal dan/atau barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan:
wajib membayar Bea Masuk yang terutang dan/atau pajak dalam rangka impor yang semula memanfaatkan fasilitas; dan
dikenakan sanksi administratif, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau perpajakan.
Pajak dalam rangka impor yang semula memanfaatkan fasilitas yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tidak termasuk Pajak Penghasilan Pasal 22.
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dibayar oleh Perusahaan yang telah diberikan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terutang pada saat dilakukannya impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebesar nilai yang menjadi dasar pengenaan pajak dalam rangka impor yang semula diberikan Fasilitas PDRI.
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administratif lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah dibayar dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan pada masa pajak dilakukannya impor.
Atas keterlambatan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga terhitung sejak saat terutang hingga dilakukannya pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Atas kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang tidak dilaksanakan oleh Wajib Pajak, kepala kantor pelayanan pajak tempat Wajib Pajak terdaftar menagih jumlah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang disertai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Paragraf 3 Tata Cara Penyelesaian Kewajiban Pabean Barang Modal atau Barang dan Bahan
Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu
Relevan terhadap
bahwa untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum, serta menyederhanakan administrasi perpajakan dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian tertentu, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai pengenaan pajak pertambahan nilai atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu;
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89/PMK.010/2020 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu belum dapat menampung perkembangan kebutuhan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sehingga perlu diganti;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16G huruf i Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, __ perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu;
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (4) disampaikan secara elektronik melalui saluran tertentu yang disediakan dan/atau ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam hal saluran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau terdapat gangguan terhadap saluran tertentu dimaksud, pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Penyampaian secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan:
secara langsung;
melalui alamat pos elektronik Kantor Pelayanan Pajak yang telah terdaftar;
melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh:
orang pribadi yang bersangkutan, untuk Pengusaha Kena Pajak orang pribadi;
wakil yang diberikan wewenang untuk menjalankan kegiatan usaha dan bertanggung jawab terkait dengan perpajakan, yang dibuktikan dengan fotokopi dokumen pendirian badan usaha berupa akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahannya, untuk Pengusaha Kena Pajak badan; atau c. kuasa, yang disertai dengan surat kuasa khusus.
Ketentuan mengenai contoh pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan ...
Relevan terhadap
bahwa untuk mendukung penggunaan produk dalam negeri, serta mendorong transparansi dan efisiensi belanja Instansi Pemerintah, perlu diberikan kemudahan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak dan/atau pengusaha kena pajak sebagai penyedia barang dan/atau jasa dan bagi pihak lain yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi sehubungan dengan pengadaan melalui sistem informasi pengadaan pemerintah;
bahwa untuk mendukung gerakan nasional nontunai, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan mengenai pemungutan pajak bagi Instansi Pemerintah Pusat, Instansi Pemerintah Daerah, dan Instansi Pemerintah Desa yang melakukan belanja dengan menggunakan kartu kredit pemerintah;
bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah belum mengatur kebijakan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b sehingga perlu diubah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (3c), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 44E ayat (2) huruf a Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Pasal 21 ayat (8) dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dan Pasal 16A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah;
PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh Instansi Pemerintah, dalam hal:
pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
pembayaran dengan kartu kredit pemerintah atas belanja Instansi Pemerintah;
pembayaran untuk pengadaan tanah;
pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina (Persero) dan/atau anak usaha PT Pertamina (Persero) yang meliputi PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, dan PT Elnusa Pertrofin;
pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;
pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN; dan/atau
pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh PKP Rekanan Pemerintah kepada Instansi Pemerintah yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan.
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f, dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh PKP Rekanan Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang atas pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pihak Lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penunjukan Pihak Lain sebagai pemungut pajak dan tata cara pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak yang dipungut oleh Pihak Lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan.
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah (Berita Negara Tahun 2019 Nomor 1746);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031);
Tata Cara Penerbitan dan Pembelian Kembali Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah oleh Pemerintah Daerah
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh pemerintah daerah.
Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh pemerintah daerah.
Pembelian Kembali Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah adalah kegiatan pembelian Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah sebelum jatuh tempo oleh pemerintah daerah di pasar sekunder.
Aset Sukuk Daerah adalah objek pembiayaan Sukuk Daerah dan/atau barang milik daerah yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka penerbitan Sukuk Daerah dijadikan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah.
Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Akad adalah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
Barang Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BMD adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.
Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum. 11. Pasar Modal adalah bagian dari sistem keuangan yang berkaitan dengan kegiatan penawaran umum dan transaksi efek, pengelolaan investasi, emiten dan perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, dan lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota.
Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan pembangunan Daerah sebagai landasan dan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan 5 (lima) tahun.